Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

EVIDANCE BASED DALAM PRAKTIK KEBIDANAN


TENTANG
IMPLIKASI DAN PENTINGNYA EBP DALAM PRAKTIK KEBIDANAN

Di Sususn Oleh
Kelompok 10
1.Yanti
2. Dewi Ratih purnamasari
3. Nur siti ngaisah
4. Ratih kesuma dewi
5. Rista awalia
6. Saraswati
7. Siti rodiah almunawiah
8. Wardatul qudsiah
9. Fajar wiji asmara
10. Mudiatul mila
11. Pipit haptiani
11. Nurjana
12. Windi lia sari
13. Sisilia mei six sabagata
14. Mimik yuliantini
15. Bella yunita

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN S1 ALIH JENJANG


STIKES BHAKTI PERTIWI INDONESIA
2023

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah S.W.T yang hingga saat ini masih memberikan
kita nikmat iman dan kesehatan, sehingga kami di berikan kesempatan untuk
menyelesaikan tugas penulisan makalah tentang “IMPLIKASI DAN
PENTINGNYA EBP DALAM PRAKTIK KEBIDANAN”, shalawat serta
salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi kita Nabi Muhammad
SAW.

Kami juga menyampaikan rasa terimakasih yang sebanyak banyak nya


untuk seluruh pihak yang telah mendukung dalam proses pembuatan makalah ini,
kami berharap makalah ini mampu bermanfaat dalam meningkatkan pengetahuan
sekaligus wawasan terkait Sistem Informasi Kesehatan Nasional.

Selain itu, kami pun menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh sebab itu, kami memohon maaf dan menerima kritik dan
saran untuk kemudian dapat kami perbaiki di masa selanjutnya.

Bogor, Juni 2023

Kelompok 1

DAFTAR ISI

Halaman Judul…………………………………………………………………...i

Kata Pengantar…………………………………………………………………..ii
Daftar Isi………………………………………………………………………...iii

BAB I

1.1 Latar Belakang………………………………………………………4


1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………...5
1.3 Tujuan…………………………………………………………….….5
1.4 Manfaat……………………………………………………………....5

BAB II

2.1 Pengertian EBP……………………………………………………..6

2.2Implikasi Dan Pentingnya EBP Daalam Praktik


Kebidanan………………………………………………….….......….7

BAB III

3.1 Kesimpulan…………………………………………………………24

3.2 Saran………………………………………………………..............24

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................25


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Evidence based practice (EBP) adalah sebuah proses yang akan membantu
tenaga kesehatan agar mampu uptodate atau cara agar mampu memperoleh
informasi terbaru yang dapat menjadi bahan untuk membuat keputusan klinis
yang efektif dan efisien sehingga dapat memberikan perawatan terbaik kepada
pasien ( Macnee, 2011 ).
Sedangkan menurut ( Bostwick, 2013 ) evidence based practice adalah
strategi untuk memperoleh pengetahuan dan skill untuk bias meningkatkan
tingkah laku yang positif sehingga bias menreapkan EBP di dalam praktik.
Dari kedua pengertian EBP tersebut dapat di pahami bahwa evidence based
practice merupakan suatu strategi untuk mendapatkan knowledge atau
pengetahuan terbaru berdasarkan evidence atau abukti yang jelas dan relevan
untuk membuat keputusan klinis yang efektif dan meningkatkan skill dalam
praktik klinik guna meningkatkan kualitas kesehatan pasien. Tujuan EBP
adalah memberi alat, berdasarkan bukti-bukti terbaik yang ada, untuk
mencegah, medeteksi dan menangani gangguan kesehatan dan kepribadian
( Stout & Hayes, 2005 & Haynes, 1998 ) artinya bahwa dalam memilihsuatu
pendekatan pengobatan dan kepribadian, kita hendaknya secara empiris
melihat-lihat kajian penelitian yang telah divalidasikan secara empiris yang
menunjukan keefektifan suatu pendekatan terafi tertentu pada diri indvidu
tertentu.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang di atas, maka untuk mempermudah
penulisan,penulis merumuskan masalah-masalah pokok yang akan di bbahas
sebagai berikut :
1. Apa yang di maksud dengan implikasi dan pentingnya EBP dalam
praktik kebidanan.
1.3 TUJUAN
Untuk menghasilkan hasil yang lebih terarah , maka diperlukan adanya tujuan
sebagai berikit :
1. Untuk mengetahui maksud dari implikasi dan pentingnya EBP dalam
praktik kebidanan.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian EBP

1. Pengertian Evidence Based Practice. Praktik klinik merupakan tentang


membuat pilihan dengan beberapa pertanyaan, untuk mengetahui lebih
lanjut mengenai kondisi tentang pasien dengan uji mana yang terbaik?
Pengobatan apa yang paling efektif untuk pasien ini? Jawaban atas
beberapa pertanyaan ini tergantung pada pengetahuan yang dimiliki
dokter, ketrampilan dan sikap, serta sumber-sumber yang tersedia serta
kepentingan, harapan dan nilai pasien. Pada awal tahun 1990-an, David
Sackett dan teman sejawatnya di Universitas McMaster, Ontario,
Kanada, menciptakan istilah evidence-based medicine (EBM) yang
artinya mengintegrasikan keahlian klinis individu dengan bukti klinis
eksternal terbaik yang tersedia dari penelitian yang sistematis untuk
mencapai manajemen pasien sebaik mungkin. Mereka kemudian
menyempurnakan definisinya dengan memperhatikan juga nilai Model
EBP.
Model Stetler
Model Stetler dikembangkan pertama kali tahun 1976 kemudian
diperbaiki tahun 1994 dan revisi terakhir 2001. Model ini terdiri dari 5
tahapan dalam menerapkan Evidence Base Practice tidak berarti intervensi
akan bekerja dengan cara yang persis sama dalam pengaturan klinis.
Memantau efek perubahan EBP pada kualitas dan hasil perawatan kesehatan
dapat membantu dokter menemukan kekurangan dalam implementasi dan
mengidentifikasi dengan lebih tepat.pasien.

Model IOWA
Model IOWA diawali dengan adanya trigger atau masalahh. Trigger
bisa berupa knowledge focus atau problem focus. Jika masalah yang ada
menjadi prioritas organisasi, maka baru dibentuklah tim. Tim terdiri atas
dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain yang tertarik dan paham dalam
penelitian. Langkah berikutnya adalah minsintesis buktii-buktii yang
ada.Apabila buktii yang kuat sudah diperoleh, maka segera dilakukan uji
coba dan hasilnya harus di evaluasi dan didiseminasikan.

Komponen –komponen dalam pengambilan keputusan klinik yaitu


1. Pengetahuan tenaga kesehatan tentang bukti, ketrampilan dan sikap.
2. Aturan akses sistem kesehatan (skema jaminan obat, skema jaminan
obat, jaminan pemeliharaan kesehatan, dsb).
3. Kekhawatiran terhadap tuntutan.
4. Nilai, kekhawatiran dan harapan pasien.
Sedangkan beberapa unsur penting pendekatan Evidence Based Practice
yaitu
1. Mengenali ketidakpastian dalam pengetahuan klinik.
2. Menggunakan informasi penelitian untuk mengurangi kepastian.
3. Membedakan bukti yang kuat dan yang lemah.
4. Mengukur dan mengkomunikasikan ketidakpastian dengan probabilitas.

Tujuan Evidence Based Practice. Implementasi Praktik berbasis bukti


mempunyai maksud untuk memberikan respon terbaik dan menambah derajat
asuhan kebidanan. Dalam rutinitas harian tenaga pelayanan kesehatan
professional baik bidan maupun perawat, farmasi serta tenaga kesehatan
professional lainnya sering memilih respon dari persoalan yang muncul pada
waktu menetapkan pemberian treatment yang paling baik bagi pasien,
contoh : ibu post SC akan bertanya tentang teknik pernapasan relaksasi itu
apa lebih baik guna mengurangi kecemasan dibandingkan aromaterapi?
Kemudian apa metode relaksasi kian efektif apabila disbanding metode
distraksi guna mengatasi kesakitan ibu pada waktu inpartu.
Komponen kunci Evidence Based Practice Evidence merupakan sebuah
bukti dari sekumpulan fakta dimana kebenarannya dapat diyakini. Evidence
dapat dibagi menjadi 2 bukti atau evidence yaitu eksternal evidence (bukti
eksternal) dan internal evidence (bukti internal). Bukti yang akan diperoleh
dari riset ketat serta didapatkan dari prosedur maupun desain suatu riset yang
bersifat keilmuan. Persoalan yang utama guna menerapkan data dari luar
diperoleh pada sebuah riset yaitu Apa penemuan dalam penelitian atau
produk yang sudah diperoleh bisa di implementasikan ke dalam masyarakat
atau dunia praktik kesehatan dan apakah seorang tenaga kesehatan akan dapat
memperoleh hasil sama dengan hasil yang diperoleh dalam riset tersebut.
Namun, bukti internal lain dengan bukti eksternal, bukti internal yaitu hasil
perbaikan kualitas
Evidence Based Practice dalam Grove tahun 2012, menjelaskan critical
expertise adalah salah satu komponen bukti internal yaitu knowledge dan
ketrampilan bidan yang professional serta expert menyampaikan sebuah
servis kesehatan.
Parameter guna membuktikan bidan mempunyai keahlian (critical
expertise) yaitu memiliki professionalisme kerja yang cukup lama,
pendidikan yang sudah diperoleh, Pustaka acuan klinis yang dimilikinya serta
pemahaman tentang penelitian, sebaliknya yang dimaksud patient preference
yaitu sebuah pilihan untuk pasien, kebutuhan pasien untuk keinginan, mutu,
jalinan atau ikatan, dan nilai kepercayaannya terhadap sebuah budaya.
Melalui mekanisme Evidence Based Practice, pasien dan keluarga pasien
akan turut berperan aktif untuk mengelola serta menentukan penerimaan
pelayanan bidang kesehatan. Keperluan pada pasien dapat dilaksanakan pada
sebuah kegiatan mencegah, promosi kesehatan, penyembuhan untuk masalah
parah maupun penyakit gawat, serta reaksi pemulihan.
Bagian atau elemen Evidence Based Practice yang akan menafsirkan bukti
ke dalam praktikum digunakan sebagai alat dan mempunyai integrasi
terhadap bukti dari internal guna menambah kualitas dalam pelayanan.
Komponen Evidence Based Practice dalam membuat keputusan klinis
berdasarkan evidence based yaitu
1. Bukti eksternal yang dapat bermula dari penelitian, fakta berdasarkan
prinsip, pendapat seorang pimpinan, dan konsultasi dengan seorang
yang professional.
2. Bukti internal berupa kemampuan klinis yang diperoleh dari tata
laksana dampak dan pengembangan mutu, analisis pada pasien dan
evaluasi pelayanan pada pasien, dan pemakaian sumber yang ada.
3. Pilihan pada pasien.
Meskipun evidence atau bukti yang dianggap paling kuat adalah
systematic reviews dari penelitian-penelitian Randomized Control
Trial namun penelitian deskriptif ataupun penelitian kualitatif yang
berasal dari opini leader juga dapat dijadikan landasan untuk membuat
sebuah keputusan klinis, jika memang penelitian sejenis RCT tidak
tersedia. Begitu juga dengan teori-teori, pilihan atau nilai pasien untuk
membuat keputusan klinis guna meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan kepada pasien. Sering kali pertanyaan dari klinisi,
bagaimana sebuah evidence atau bukti dan jenis bukti yang bagaimana
yang dibutuhkan sampai bisa merubah sebuah praktek kesehatan.
Level dan kualitas dari evidence atau bukti dapat dijadikan dasar dan
meningkatkan kepercayaan diri seorang klinisi untuk merubah
praktek.

Model – model Evidence Based Practice. Dalam memindahkan sebuah


evidence ke dalam praktek yang berguna untuk menaikkan mutu kesehatan dan
kesejahteraan atau keselamatan pasien (pasien safety), memerlukan berbagai
prosedur sistematis dan model-model Evidence Based Practice yang bisa
membantu bidan maupun tenaga kesehatan yang lain dalam memperluas
rancangan pelayanan kesehatan melalui strategi yang terstruktur dan pasti,
memiliki pembagian waktu dan asal yang spesifik, sumber daya yang turut serta
dan menghalangi penerapan yang runut dan komprehensif dalam sebuah
organisasi.

Pentingnya EBP
Mengapa EBP penting untuk praktik kebidanan:
1. Memberikan hasil asuhan kebidanan yang lebih baik kepada pasien
2. Memberikan kontribusi perkembangan ilmu kebidanan
3. Menjadikan standar praktik saat ini dan relevan
4. Meningkatkan kepercayaan diri dalam mengambil keputusan
5. Mendukung kebijakan dan prodesur sant ini dan termasuk menjadi
penelitian terbaru
6. Integrasi EBP dan praktik asuhan kebidanan sangat penting untuk
meningkatkan kualitas perawatan pada pasien.

Hambatan Untuk Menggunakan EBP

Hambatan dari perawat untuk menggunakan penelitian dalam praktik sehari-hari


telah di kutip dalam berbagai penelitian, diantaranya (Clifford & Murray, 2001)
antara lain :
1. Kurangnya nilai untuk penelitian dalam praktik
2. Kesulitan alam mengubah praktik
3. Kurangnya dukungan administratif
4. Kurangnya mentor berpengetahuan
5. Kurangnya waktu untuk melakukan penelitian
6. Kurangnya pendidikan tentang proses penelitian
7. Kurangnya kesadaran tentang praktik penelitian atau berbasis buktii
8. Laporan Penelitian/artikel tidak tersedia
9. Kesulitan mengakses laporan penelitian dan artikel
10. Tidak ada waktu dalam bekerja untuk membaca penelitian
11. Kompleksitas laporan penelitian
12. Kurangnya pengetahuan tentang EBP dan kritik dari antikel
13. Merasa kewalahan

2.2 Implikasi Dan Pentingnya EBP Dalam Praktik Kebidanan

EBP adalah bentuk perilaku terkait tujuan , kami mengarturnya tinjauan


kami menngunakan integrasi teori Ajzen ( 1991 ) tentang perilaku terencana
dan teori perilaku tempat kerja vitom ( 1964 ). Kerangka kerja terintegrasi
kemampuan, motivasi, peluang ( AMO ) berguna untuk menggabarkan
perilaku yang berhubungan dengan tempat kerja ( Hughes 2007, Prety &
Caciopo 1986 ). Keangka kerja ini membantu menjelaskan mengapa orang
mengadopsi atau tidak mengadopsi EBP sebagi fungsi dan kemampuan,
motivasi dan peluang mereka untuk terlibat dalam aktivitas terkait EBP.
1. Kemampuan untuk berlatih
Pengguinaan EBP yang efektif membutuhkan individu untuk memeiliki
kompetensi dasar dan fungsional. Kompetensi dasar adalah keterampilan
umum dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk terlihat dalam semua aspek
EBP. Kompetensi fungsional adalah keterampilan dan pengetahuan khusus
yang terkait dengan aktivitas EBP yang terpoisah, seperti pencarian bukti dan
penilaian kritis.
Kompetensi dasar EBP mencakup kapasitas untuk berpikir kritis dan
domainnya atau pengetahuan teknis yang diperoleh melaui pendidikan dan
pnegalaman praktik di bidang tertentu ( Sackett 2000 ). Berpikir kritis adalah
proses disiplin intelektual untuk secara aktif dan terampil membuat konsep,
menanalisis, mengevaluasi dan mensintesis informasi sebagai panduan untuk
keyakinan dan tindakan ( Facione & Facione 2008, Profetto McGrafth 2005 ).
Ini mencerminkan kapasitas untuk berpikir tingkat tinngi, termasuk refleksi
pada pemikiran dan pengalaman seseorang, evaluasi, informasi dan pemikiran
hipotesis tentang alternative. Karena pengamatan individu dan model mental
bias jadi agak tidak akurat atau tidak lengkap, praktisi yang dapat
memperhatikan ketidaksesuaian dan model mental alternative lebih mampu
mencari dan memahami ruang masalah. Karna individu tampaknya mengalami
kesulitan menggunakan lebih dari satu model mental pada satu waktu,
bagaimanapun kemampuan untuk mempertimbangkan beberapa model mental
membutuhkan individu untuk mengadopsi standar kritis untuk menghindari
hanya menerima model mental pertama yang memberikan jawaban yang
minimal memuaskan (Simon 1990). Aibatnya, pemikiran kritis memaksakan
standar pada pemiiran seseorang untuk mengurangi bias dan distorsi serta
meningkatkan kelengkapan informasi yang tersedia. Dengan demikian
kemunginan akan membantu proses EBP dalam mengajukan pertanyaan
terkait praktik dan mengaaptasi bukti ke praktik (Profetto-McGrate).
Berfikir kritis berhubungan positif dengan kinerja akademis (Kowalski &
Taylor 2009). Denney (1995) mengamati bahwa tampaknya meningkat seiring
bertambahnya usia, setidaknya diantara orang –orang yang berpendidikan.
Beberapa bukti dari keperawatan menunjukan bahwa pelatihan dan proses
berpikir dapat meningkatkan pemikiran kritis (misalnya, Alex et al.2004).
Sebaliknya, ketika individu sibuk atau kelebihan kognitif, kemampuan mereka
untuk berfikir kritis dapat terganggu (Bittner & Gravlin 2009). Tingat kritis
yang rendah berfikir sesuai dengan realisme naive (Lilienfeldetal.2008),
dimana individu tidak reflektif menerima model mental awal yang dipicu oleh
pengalaman seolah – olah tidak ada kesalahan dalam persepsi. Pemikiran kritis
yang tidak memadai dikaitkan dengan preferensi untuk keputusan intuitif
(Dawes 2008) dan preferensi untuk intuisi atas bukti ilmiah (Iih. Highhouse
2008, Lilienfeld et al. 2008). Kompetensi dasar lain untuk EBP adalah domain
atau pengetahuan teknis – mis, Spesifik pengetahuan dan keterampilan
prosedural yang terkait dengan bidang praktik profesional, sesuai dengan
konstruksi psikologis keahlian (Ericcosan & Lehmann1996). Penting dalam
dirinya sendiri untuk mencapai dan mempertahankan karir profesional yang
sukses, pengetahuan domain juga memfasilitasi pemikiran kritis yang
mendasari EBP, dan keduanya mungkin saling memperkuat (Bailin 2002).
Secara khusus pengetahuan domain membantu praktisi mengenali informasi
yang tidak lengkap, mengepaluasi bukti kualitas, dan menafsirkan bukti baru
(Erison &Lehmann 1996). Secara lebih umum, pengetaghuan domain
menyediakan model mental yang dapat memfasilitasi kesimpulan yang sesuai
mengenai masalah dan membantu praktisi menilai relevansi bukti.

2. Motivasi untuk berlatih

Motivasi, dorongan untuk terlibat dalam perilaku tertentu, merupakan


fungsi dari tiga keyakinan individu (Ajzen 1991). Keyakinan perilaku mewakili
sikap yang menguntungkan atau tidak menguntungkan terhadap perilaku, kontrol
prilaku yang dirasakan mencerminkan keyakinan individu bahwa dia mampu
berprilaku, dan keyakinan normatif mencerminkan norma –norma sosial yang
dipersepsian mengenai kesamaan perilaku. Niat individu untuk melakukan suatu
perilaku pada umumnya diharapkan menjadi yang paling kuat ketika ketiga
keyakinan tersebut tinggi (Ajzen 1991).

Keyakinan perilaku mencerminkan sejauh mana suatu perilaku dipandang


bemanfaat. Daya tarik EBP telah dikaitkan dengan keyakinan akan manfaatnya
(Aarons 2004). Praktisi yang memiliki terkait EBP pengetahuan lebih mungkin
untuk melihatnya sebagai sesuatu yang bermanfaat (misalnya, Jette et al.2003),
Melnyk et al 2004). Dimana pengenalan EBP secara ekonomis atau psikologis
merugikan praktisi dalam beberapa cara, itu lebih mungkin untuk ditolak
(Ajzen1991). Hanya menghentikan praktik berbasis non-bukti cenderung lebih
sulit dari pada menggantinya dengan praktik berbasis bukti yang membawa
manfaat bagi pengguna (Bates et al.2003). misalnya manager cenderung menolak
mengiuti praktik prekrutan tersruktur yang hanya mengurangi kendali mereka atas
siapa yang dipekerjakan (Bozionelos 2005). Biaya seperti itu bagi praktisi sering
kali membuat intervensi tingkat tinggi dan proses implementasi yang lebih
kompleks diperlukan untuk melakukan transisi ke EBP (Bates et al.2003).

Memliki mentor EBP meningkatkan persepsi manfaat, pengetahuan, dan


praktik EBP (Melnyk et al.2004). Hubungan dengan pemimpin opini EBP yang
disukai diluar organisasi juga meningkatkan manfaat yang dirasakan dari EBP dan
meningtkan keterbukaan orang terhadap inovasi, disposisi dan kontribusi pada
sikap EBP yang positif (Aarons 2004). Praktik yang lebih tua yang datang dari
usia sebelum EBP cenderung lebih skeptis dan memiliki pemahaman yang
berbeda dibanding praktisi yang lebih muda ( Aarons & Sawitzy 2006 ) Yang
mungkin berkontribusi pada temuan bahwa pengalaman berhubungan negative
dengan kepatuhan pedoman ( Choudhry et al. 2005 ) Apapun sumbernya,
keyakinan prilaku bahwa EBP bermanfaat berkontribusi pada adopsi aktifnya.

Norma terkait EBP, serta keyakinan motivasi lainnya , dibentuk oleh


organisasiyang luas dan atau budaya kelembungan ketika pertaman kali di adopsi
dalam suatu bidang .EBP menekankan pada ilmiah kwalitas bukti dan bukti dapat
mengabaikan pengalamaan praktik. Pada tahun – tahun awalanya misalnya ,
protocol dan pedoman pengobatan brbasis bukti di ejek sebagai “ obat buka
masuk “ ( LaPagie 2005 ). Dengan cara yang sama, Pengenlaan EBP pada
awalnya dapat mengancam identitas professional praktis ( misanya, menurut anda
polisi korup” Shrman 2002 ) atau perasaan menejer diri sebagai
pembuatkeputusan yang kompeten ( Highhouse 2008), Penanggulangan yang
sangat penting force adalah dukungan kepemimpinan. Yang membantu untuk
melegitimasi EBP dan menjelaskan saling melengkapi pengalaman praktisi.
( Melnyek et. al 2004, 2012) begitu pula dengan dukungan dari rekan professional
mendorong penyerapan inovasi secara umum. Dan EBP pada khususnya ( Ferlie
et al. 2006) seperti halnya pandangan para pemimpin opoini prp EBP ( Soumerai
et al 1998 ).

Pengaturan structural juga dapat membentuk keyakinan akan kesamaan


EBP. Misalnya peran yang mendrorng praktisi untuk mendorok berpartisipasi atau
melakukan penelitian mereka sendiri untuk mepromosikan pro – EBP norma
( Kothari dan Wathen 2013 ) , Melnyk & Fineout-overholot 2011). Norma
sepeerti itu lebih mungkin menjadi lemah atau absen ketika pemimpin dan rekan
rekan kerja menolak EBP atau tidak ada dukungan situasional lainnya. Terakhir,
penelitian tentang difusi inovasi telah menyarankan bahwa anggota suatu profesi
adapt melakukan tidak sepenuhnya mengadopsi norma – norma baru dan transisi
ke praktik baru untuk ke suatu organisasi ( Rogers 19995 ). Dan perbedaan
generasi seperti itu dapat menjadi ciri EBP . singatnya . keyakinan normative
dilacak ke sebuah aray faktoe organisasi dan atu kelembagaan dan dapat
memberikan pengaruh yang kuat pada keputusan untuk terlihat dalam EBP.

3. Kesempatan Untuk Berlatih

Peluang Untuk berlatih mengacu pada presepsi mengenai dukungan yang


diberikan konteks praktik untukterlibat dalam EBP, Memiliki kemampuan dan
motivasi untuk terlibat EBP Cenderung tidak mengarah pada prilaku actual
kecuali individu juga mengalami kesempatan untuk berlatih ( Jatte et al 2003 ).
Pengertian bahwa kondisi praktik menggangu EBP sering disebut sebagai
“Realitas praktik” ( Mantzoukas 2008, Novetney 2014 ). Kesempataan untuk
memperaktikan EBP terkait dengan otonomi dan dan fleksibilitas di tempat kerja (
Delhim eet al 2021 , Jette et al 2003 ). Dan meningkatkan ketergantunga pada
intutisi ( Klein et al 2001 ). Kekurangan otoritas untuk bertndak berdasarkan bukti
menciptakan penghalang lain ( Dalheim et al 2012 )

Kompeksitas dan veribialtas dalam kondisi praktek juga menimbulkan


hambatan yang dirasakan. Menghadapi berapa masalah yang saling terkait
daripada hanya satu ( Misalnya, pasien alkhoholik yang depresi versus sekedar
pasien depresi ) dapat mempersulit praktisi untuk menyesuaikan bukti dengan
kondisi praktik. Selain itu, kesempatan untuk berlatihdapat dibatasi oleh beban
kasus yang heterogen , membatasi aksebilitas bukti yang releven dan pendukung
ke putusan ( Hougwood et al 2011 . dan oleh kurangnya dukungan pengawasaan (
Hoagw00d et al 2001: Melnyek et al 2004, 2021 ). Khususnya factor
pentingdalam kesempatan untuk berlatih adalah keamanan psikologis.
Kepercayaan bersama diantara anggota kelompok kerja yang pengaturannya aman
untuk pengambilan risiko. Keamanan psikologi meningkatkan
kemungkinaanterlihat dalam pembelajaran berdasarkan pengalaman yang
diperlukan untuk menyesuaikan EBP dengan pengaturan kerja ( Tucker dkk, 2007
). Dukungan kelembagaan diluar lingkungan kerja dapat menyediakan
infrastruktur yang meningkatkan peluang EBP yang dirasakan pengembangan
portal pencarian onlne dan databest penelitian ( mis Perpustakan Chochrane )
memiliki akses fropesional tingkat lanjut kepenilitian ilmiah selama dakade
terakhir. Pada tahun – tahun awal EBP , informasi dalam database semacam itu
sebagian besar terbatas pada pertanyaan tentang pekerjaan apa. Dalam beberapa
tahun terakhir. Tinjauan sistematis mengunakan penekatan baru telah muncul
yang menjawab pertanyaan yang lebih luas termasuk efektivitas biaya. Reseiko
yang terkait dengan intervensi dan masalah implementasi ( Lavis et al 2005 ).
Perluasaan topic ulasan ini dibantu oleh pengembangan penelitian berorientasi
praktik yang menyelidiki kondisi praktik yang berfungsi sebgai EBP hambatan
dan fasilitator ( Castonguay et al 2013 ). Singkatnya . kta sekaramg memiliki
pemahaman yang baik tentang factor – factor bahwa tanpa kesempatan untuk
berlatih, serta fakta bahwa . tanpa kesempatan untuk berlatih , serta fakta bahwa
tiap kesempatan untuk berlatih , kemampuan dan motivasi untuk berlatih mungkin
tidak cukup.

B. Prinsip dan langkah dalam Evidence Based Midwifry Care.

Berdasarkan ( Melnyk et al 2014) ada beberapa tahapan atau langkah


dalam prses EBP. Tujuh langkah dalam evidence based praktik (EBP) dimulai
dengan semangat unutuk melakukan penyelidikan atau pencarian ( inquiry)
personal. Budaya EBP dan lingkungan merupakan factor yang sangat penting
untuk tetap mempertahnkan timbulnya pertanyaan pertanyaan klinis yang kritis
dalm praktik keseharian . langkah – langkah dalam proses evidance baset practice
adalah sebagai berikut :

1. Menumbuhkan semangat penyelidikan ( inquiry)


2. Mengajukan pertanyaan PICOT Question
3. Mencari bukti – bukti terbaik
4. Melakukan penelitian (appraisal ) terdapat bukti – bukti yang yang
ditemukan.
5. Mengintergrasikan bukti dengan keahlian klinis dan pilihian pasien untuk
membuat keputusan klinis terbaik.
6. Evaluasi hasil dari perubahan prktek setelah penerapan EBP
7. Menyebarluaskan hasil ( disaminate outcome ) jika diuraikan 7 langkah
dalam proses evidence baset practice adalah sebagai berikut :
1. Membutuhkan semangat penyelidikan (inquiry)
Inquiry adalah semangat untuk melakukan penyelidikan yaitu sikap
kritis untuk selalu bertanya terhadap fhenomena – fenomena serta
kejadian – kejadian yang terjadi saat praktik dilakukan oleh seoramg
klinis atau petugas kesehtan dalam melakukan perwatan kepada
pasien . namun demikian tanpa adanya budaya yang mendukung.
Semangat untuk menyelidiki dan meneliti baik dalam lingkup individu
ataupun institusi tidak akan bias berhasil dan dipertahankan . elemen
kunci dalam membangaun budaya EBP adalah semangat untuk
melakukan penyelidikan dimana semua professional kesehatan
didorong untuk mempertanyakan kualtas praktik yang merkea jalankan
saat ini . sebuak pilosofi, misi dan system promosi klinis dengan
mengintergrasikan evidence baset practice . mampu membi,bimg
oramg lain dan mampu mengatasi tentang hambatan yang mungkin
terjadi , ketersediaan infrakstruktur yang mendukung untuk mencari
informasi atau literature seperti computer dan laptop. Dukungan adari
administrsi dan kepemimpinana serta motivasi dan konsistensi
individu itu sendiri dalam menerapkan evidence baset practice
( Tolson et al 1011).
2. Mengajukan pertanyaan PICOT (T) question
Menurut ( Newhouse et al 2007 ) dalam mencari jawaban untuk
pertanyaan klinis yang muncul. Maka diperlukan strategi yang efektif
yaitu dengan membuat format PICO .P adalah pasien, opulasi atau
masalah baik itu umur , gander, ras, ataupun penyakit kaya hepatitis
dll. I adalah intervensi baik itu meliputi treatment diklinis atau
pendidikan dan administrative. Selain itu juga intervensi jua dapat
berupa perjanan penyakit ataupun prilaku beresiko seperti merokok . C
atau camparsion merupakan intervensi pembanding bias dalm bentuk
terapi., factor resiko, placeboataupun nonintervensi . sedangkan O atau
outcome adalah hasil yanga ingin dicari dapat berupa kwalitas hidup,
paten safety , menurunkan biaya ataupun meningkatkan kepuasaan
pasien. ( Bostowick at et 2013 ) menyatakan pada langkah selanjutnya
membuat pertanyaan klinis dengan menggunakan format PICOT yaitu
P ( patient atau populasi) I ( intervention atau tindakan atau pokok
persoalan yang menarik ), C (Comparcion intervention atau intervensi
yang dibandingkan ). O ( Outcome atau hasil ) T ( time frame atau
kerngka waktu ). Contohnya ada dalam membentuk pertanyaan sesui
sesai PICOT adalah pada mahasiswa keperawatan ( Population )
bagaimana preses pembelajaran PBL tutotial ( Intervention atau
tindakan ) dibandingkan degan small grup discussion ( comparsion
atau intervensi pembanding ) berdampak pada peningkatan critical
thinking (outcome ) setelah pelaksanaan dalam kurun waktu 1
semester ( time frame ). Ataupun dalam penggunaan PICOT non
intervensi seperti bagaimana seorang ibu guru ( Population ) yang
payudaranya terkena komplikasi ( Issue of interest ) terhadap
kemampuannya dalam memberikan ASI ( Outcome) ) pada 3 bulan
pertama pada saat bayi baru lahir . hasil atau sumber data atau
literature yang dihasilkan akan sngat berbeda jika kita menggunakan
pernyataan yang tidak tepat maka kita akan mendpatkan berbagai
abstrak yang tidak releven dngan apa yg dibutuhkan ( Melnyk &
Fineout 2011 .
Sedangkan dalam lobiondo & hebar (2006 ) dicontohkan cara
memfofulasiakan pertanyaan EBP yaitu dengan lansia denga fraktur
hip ( Fatien problem ). Apakah patient tanalgesic control ( Intervensi )
lebeih efektif dibndingkan dengan standar of care nurse administrative
analgesic ( Comparison ) dalam menurunkan intensitas nyeri dan
menurunkan LOS ( Outcome )

3. Mencari Buti – Bukti Terkait


kTa kunci yang sudah disusun dengan menggunakan picot
digunkan untuk memulai pencarian bakat terbaik. Bukti terbaik
dilihat dri tipe dan tingkatan penelitian . tingkatan penelitian yang
bias dijadikan evidence atau bukti trbaik adalah matanalisyis dan
syistematic riview. Systematic riview adalah ringasan hasil dari
banyak penelitian yang memakai metode kuantitatif . sedangkan
metanalisis adalah ringkasan dari banyak penelitian yang
menamilkan fampak dari intervensi dari berbagai studi . namun
jika meta analissi dan systematic riview tidak tersedia maka
evidence pada tingkatan selanjutnya bias digunakan seperti RCT.
Evidence tersebut dapat ditemukan pada beberapa data base seperti
CINHAL, MEDLINE, PUBMED, NEJM, dan CHORANE
LIBRARY ( Melnyek & Finecout , 2011 )

Ada 5 tingkatan yang bisa dijadikan bukti atau evidance


(Guyatt&Rennie, 2022) yaitu :

a. Bukti yang berasal dari meta – analysis ataukah systematic riview,


b. Bukti yang berasal dari disain RCT,
c. Bukti yang berasal dari kontrol trial tanpa randominasi,
d. Bukti yang berasal dari kasus kontrol dan studi kohort,
e. Bukti dari systematic riview yang berasal dari penelitian kualitatif dan
diskriptif,
f. Bukti yang berasal dari single-diskriptif atau kualitatif studi,
g. Bukti yang berasal dari opini dan komite ahli.
Dalam mencari best evidance, hal yang sering menjadi hambatan
dalam proses pencarian adalah keterbatasan lokal atau sumber data base
yang free access terhadap jurnal –jurnal penelitian. Namun demiian seiring
dengan perkembangan teknologi, berikut contoh database yang free
acceses dan paling banyak dikunjungi oleh tenaga kesehatan,
yaitu,MIDIRS, CINAHL, Pubmed, cohrane library dan PsycINFO serta
Medline. Berikut adalah contoh pertanyaan EBP beserta data based yang
disarankan, diantaranya adalah (Schneider & Whitehead, 2013).

Sedangkan menurut (Newhouse, 2007) langkah – langkah atau


strategi mencari informasi melalui databased diantaranya adalah :
a. Mencari kata kunci, sinonim atau yang mempunyai hubungan dengan
pertanyaan yang sudah disusun dengan PICO format
b. Menentukan sumber atau database terbaik untuk mencari informasi
yang tepat
c. Mengembangkan beberapa strategi dalam melakukan pencarian
dengan controlled vocabularries yang dapat menuntut kita untuk
memasukan input yang sesuai dengan yang ada pada database. Seperti
misalnya MeSH pada Pubmed serta CINAHL. Subject Heading pada
datbase CINAHL menggunakan bolean operator misalnya AND, OR,
NOT, AND untuk mencari 2 tema atau istilah, OR untuk mencari 2
tema atau istilah, OR untuk mencari selain dari salah satu atau dapat
digunakan dengan menggunakan limit yang sesuai seperti umur,
bahasa,tanggal publikasi. Contohnya adalah limit terakhir 5 tahun
untuk jurnal atau english or american only.
d. Melakukan evaluasi memilih evidance dengan metode terbaik dan
menyimpan hasil sedangkan menurut (Bowman etal., dalam levin &
fedlmn, 2012) khususnya pada level undergradute student.

4. Melakukan penilaian (appraisal) terhadap bukti-bukti yang ditemukan


Setelah menemukan evidence atau bukti yang terbaik, sebelum di
implementasikan ke institusi atau praktik klinis, hal yang perlu kita lakukan
adalah melakukan appraisal atau penilaian terhadap evidence tersebut. Untuk
melakukan penilaian ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan diantaranya
adalah (Polit & Beck, 2013) :
a. Evidence quality adalah bagaimana kualitas bukti jurnal tersebut? (apakah
tepat atau rigorous dan reliable atau handal)
b. What is magnitude of effect? (seberapa penting dampakya?)
c. How pricise the estimate of effect? (Seberapa tepat perkiraan efeknya?)
d. Apakah evidence memiliki efek samping ataukah keuntungan?
e. Seberapa banyak biaya yang perlu disiapkan untuk mengaplikasikan bukti?
f. Apakah bukti tersebut sesuai untuk situasi atau fakta yang ada di klinis?
Sedangkan kriteria penilaian evidence menurut (Bernadette & Ellen, 2011)
yaitu :
a. Validity
Evidence atau penelitian tersebut dikatakan valid adalah jika
penelitian tersebut menggunakan metode penelitian yang tepat.
Contohnya adalah apakah variabel pengganggu dan bias di kontrol
dengan baik, bagaimana proses random pada kelompok kontrol dan
intervensi, equal atau tidak.
b. Reliability
Reliabel maksudnya adalah konsistensi hasil yang mungkin
didapatkan dalam membuat keputusan klinis dengan
mengimplementasikan evidence tersebut, apakah intervensi tersebut
dapat dikerjakan serta seberapa besar dampak dari intervensi vang
mungkin didapatkan.
c. Applicability
Applicable maksudnya adalah kemungkinan hasilnya bisa
diimplementasikan dan bisa membantu kondisi pasien. Hal tersebat
bisa dilakukan dengan mempertimbangkan apakah subjek
penelitiannya sama keuntungan dan resiko dari intervensi tersebut dan
keinginan pasien (patient preference) dengan intervensi tersebut.
Namun demikian dalam (Hande et al., 2017) dijelaskan bahwa
critical appraisal merupakan proses yang sangat kompleks. Level atau
tingkat critical appraisal sangat dipengaruhi oleh kedalaman dan
pemahaman individu dalam menilai evidence. Tingkat critical
appraisal pada mahasiswa sarjana adalah identifikasi tahapan yang
ada dalam proses penelitian kuantitatif. Namun pada beberapa
program sarjana, ada juga yang mengidentifikasi tidak hanya
kuantitatif namun juga proses penelitian kualitatif. Sedangkan pada
master student, tingkatan critical appraisal nya tidak lagi pada tahap
identifikosi, namun harus bisa menunjukkan dan menyimpulkan
kekuatan dan kelemahan, tingkat kepercayaan evidence serta pelajaran
yang dapat diambil dari pengetahuan dan praktik.
5. Mengintegrasikan buktii dengan keahlian klinis dan pilihan pasien untuk
membuat keputusan klinis terbaik
Sesuai dengan definisi dari EBP, untuk mengimplementasikan EBP ke
dalam praktik klinis kita harus bisa mengintegrasikan buktii penelitian
dengan informasi lainnya. Informasi itu dapat berasal dari keahlian dan
pengetahuan yang kita miliki, ataukah dari pilihan dan nilai yang dimiliki
oleh pasien. Selain itu juga. menambahkan penelitian kualitatif mengenai
pengalaman atau perspektif klien bisa memjadi dasar untuk mengurangi
resiko kegagalan dalam melakukan intervensi terbaru (Polit & Beck, 2013).
Setelah mempertimbangkan beberapa hal tersebut maka langkah selanjutnya
adalah menggunakan berbagai informasi tersebut untuk membuat keputusan
klinis yang tepat dan efektif untuk pasien. Tingkat keberhasilan pelaksanaan
EBP proses sangat dipengaruhi oleh evidence yang digunakan serta tingkat
kecakapan dalam melalui setiap proses dalam EBP (Polit & Beck, 2008).
Setelah menerapkan EBP. penting untuk memantau dan mengevaluasi
setiap perubahan hasil sehingga efek positif dapat di dukung dan yang negatif
diperbaiki. Hanya karena intervensi efektif dalam uji coba terkontrol secara
ketat.tidak berarti intervensi akan bekerja dengan cara yang persis sama
dalam pengaturan klinis. Memantau efek perubahan EBP pada kualitas dan
hasil perawatan kesehatan dapat membantu dokter menemukan kekurangan
dalam implementasi dan mengidentifikasi dengan lebih tepat.
6. Evaluasi hasil dari perubahan praktik setelah penerapan EBP
Evaluasi terhadap pelaksanaan evidence based sangat perlu dilakukan
untuk mengetahui seberapa efektif evidence yang telah diterapkan, apakah
perubahan yang terjadi sudah sesuai dengan hasil yang diharapkan dan
apakah evidence tersebut berdampak pada peningkatan kualitas kesehatan
pasien (Melnyk & Fincout, 2011).
7. Menyebarluaskan hasil (disseminate outcome)
Langkah terakhir dalam evidence based practice adalah
menyebarluaskan hasil. Jika evidence yang didapatkan terbuktii mampu
menimbulkan perubahan dan memberikan hasil yang positif maka hal
tersebut tentu sangat perlu dan penting untuk dibagi (Polit & Beck, 2013)
Namun selain langkah-langkah yang disebutkan diatas, menurut (Levin
& Feldman, 2012) terdapat 5 langkah utama evidence based practice dalam
akademik vaitu Framing the question (menyusun pertanyaan klinis),
searching for evidence, apprasing the evidence, interpreting the evidence
atau membandingkan antara literatur yang diperoleh dengan nilai yang di
anut pasien dan merencanakan pelaksanaan evidence ke dalam praktik, serta
evaluating your application of the evidence atau mengevaluasi sejauh mana
evidence tersebut dapat menvelesaikan masalah klinis.

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

EBP adalah bentuk perilaku terkait tujuan , kami mengarturnya tinjauan


kami menngunakan integrasi teori Ajzen ( 1991 ) tentang perilaku terencana
dan teori perilaku tempat kerja vitom ( 1964 ). Kerangka kerja terintegrasi
kemampuan, motivasi, peluang ( AMO ) berguna untuk menggabarkan
perilaku yang berhubungan dengan tempat kerja ( Hughes 2007, Prety &
Caciopo 1986 ). Keangka kerja ini membantu menjelaskan mengapa orang
mengadopsi atau tidak mengadopsi EBP sebagi fungsi dan kemampuan,
motivasi dan peluang mereka untuk terlibat dalam aktivitas terkait EBP.

Langkah – langkah dalam proses evidence based practice adalah sebagai


berikut

1. Menumbuhkan semangat penyelidikan ( Inquiry )

2. Mengajukan pertanyaan PICO ( T ) question

3. Mencari bukti-bukti terbaik

4. Melakukan penilaian ( Apprasial ) terhadap bukti-bukti yang ditemukan

5. Mengintegrasikan bukti dengan keahlian klinis dan pilihan pasien untuk


membuat keputusan klinis terbaik

6. Evaluasi hasil dari perubahan praktek setelah penerapan EBP

7. Menyebarluaskan hasil ( disseminate outcome )

3.2 SARAN

Penulis menyadari jika dalam penyusunan makalah di atas masih terdapat


bayak kekurangan, ada pun nantinya penulis akan melakukan perbaikan
dengan menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan kritik yang
membangun dari para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Evidance- based practice : step by step : the seven steps ofevidance based
practice. AJN The American Journal of Nursing, 110. %1-53

Melynk , B, M., Finecout-Overholt, ., Stillwell, S, B., & Williamson, K, M,


( 2010 )

Rouseseau , D, M., & Gunia, B, C, ( 2010 ). Evidenced based practice : The


psychology of EBP implementation . Annual Review of Psychology, 67, 667-
692

Anda mungkin juga menyukai