Anda di halaman 1dari 7

Thariqat

Adalah thariqat itu suatu sikap hidup


Orang yang teguh pada pegangan yang genap
Ia waspada dalam ibadah yang mantap
Bersikap wara' berperilaku dan sikap
Dengan riyadhah itulah jalan yang tetap.

Para Ulama berpendapat thariqat adalah jalan yang ditempuh dan sangat waspada dan berhati-
hati ketika beramal ibadah. Seseorang tidak begitu saja melakukan rukhshah (ibadah yang
meringankan) dalam menjalankan macam-macam ibadah. Walaupun ada kebolehan melakukan
rukhshah, akan tetapi sangat berhati-hati melaksanakan amal ibadah. Diantara sikap hati-hati itu
adalah bersifat wara'.

Menurut al-Qusyairy, wara' artinya berusaha untuk tidak melakukan hal-hal yang bersifat
syubhat (sesuatu yang diragukan halal haramnya). Bersikap wara' adalah suatu pilihan bagi ahli
thariqat.

Imam al-Ghazaly membagi sifat wara' dalam empat tingkatan. Tingkat yang terendah adalah
wara'ul 'adl (wara' orang yang adil) yakni meninggalkan suatu perbuatan sesuai dengan ajaran
fiqh, seperti makan riba atau perjanjian-perjanjian yang meragukan dan amal yang dianggap
bertentangan atau batal.

Tingkat agak ke atas adalah wara'ush shâlihîn (wara' orang-orang saleh). Yakni menjauhkan diri
dari semua perkara subhat, seperti makanan yang tidak jelas asal usulnya, atau ragu atas suatu
yang ada di tangan atau sedang dikerjakan, atau disimpan.

Tingkat yang atasnya lagi, adalah wara'ul muttaqqîn (wara' orang-orang yang takwa). Yakni
meninggalkan perbuatan yang sebenarnya dibolehkan (mubah), karena kuatir kalau-kalau
membahayakan, atau mengganggu keimanan, seperti bergaul dengan orang-orang yang
membahayakan, orang-orang yang suka bermaksiat, memakai pakaian yang serupa dengan
orang- orang yang berakhlak jelek, menyimpan barang-barang berbahaya atau diragukan
kebaikannya. Contoh, sahabat Umar bin Khattab meninggalkan 9/10 (sembilan per sepuluh) dari
hartanya yang halal karena kuatir berasal dari perilaku haram.

Tingkat yang tertinggi adalah, wara'ush shiddiqqîn (wara' orang-orang yang jujur). Yakni
menghindari sesuatu walaupun tidak ada bahaya sedikitpun, umpamanya hal-hal yang mubah
yang terasa syubhat.
Kisah-kisah berikut ini menunjukkan sifat-sifat orang yang wara'.

Pada masa Imam Ahmad bin Hambal, hiduplah seorang sufi bernama Bisyir al-Hafy. Ia
mempunyai saudara perempuan yang bekerja memintal benang tenun. Biasanya pekerjaan itu
dikerjakan di loteng rumahnya. Ia bertanya kepada Imam Ahmad, "Pada suatu malam ketika ia
sedang memintal benang, cahaya obor lampu orang Thahiriyah (mungkin tetangga) masuk
memancar ke loteng kami. Apakah kami boleh memanfaatkan cahaya lampu obor tersebut untuk
menyelesaikan pekerjaan kami?" Imam Ahmad menjawab "Sungguh dari dalam rumahmu telah
ada cahaya orang yang sangat wara', maka janganlah engkau memintal benang dengan
memanfaatkan cahaya obor itu".

Abu Hurairah mengatakan: "Pada suatu hari seorang saudaraku datang mengunjungiku. Untuk
menyajikan makanan buat menghormatinya, saya belikan lauk seekor ikan panggang. Setelah
selesai menyantap makanan itu, saya ingin membersihkan tangannya dari bau ikan bakar itu.
Dari dinding rumah tetangga, saya mengambil debu bersih untuk membersihkan dan
menghilangkan bau amis dari tangannya. Akan tetapi saya belum minta izin tetangga tersebut
untuk menghalalkan perbuatan saya itu. Saya menyesali atas perbuatan saya itu empat puluh
tahun lamanya".

Dikisahkan juga bahwa ada seorang laki-laki mengontrak sebuah rumah. Ia ingin menghiasi
ruangan rumah itu, lalu menuliskan khat-khat riq'i pada salah satu dindingnya. Ia berusaha
menghilangkan debu-debu pada dinding rumah kontrakan itu. Karena ia merasa bahwa perbuatan
itu baik dan tidak ada salahnya. Ketika ia sedang membersihkan debu-debu pada dinding rumah
itu, didengarnya suara, "Hai orang yang menganggap remeh pada debu engkau, akan mengalami
perhitungan amal yang sangat lama".

Imam Ahmad bin Hanbal pernah menggadaikan sebuah bejana tembaga kepada tukang sayur
Makkah. Ketika hendak ditebusnya bejananya itu, si tukang sayur mengeluarkan dua buah bejana
lalu ia berkata: "Ambillah salah satu, mana yang jadi milikmu". Imam Ahmad berkata, "Saya
sendiri ragu, mana dari dua bejana itu yang menjadi milikku. Untuk itu ambil olehmu bejana
dan uang tebusannya. Saya rela semua untukmu". Tukang sayur itu serta merta menunjukkan,
mana bejana milik Imam Ahmad, lalu berkata: "Inilah milikmu". Imam Ahmad berkata,
"Sesungguhnya aku hanya menguji kejujuranmu! Sudah, saya tidak akan membawanya lagi,"
sambil berjalan meninggalkan tukang sayur itu.

Diriwayatkan bahwasannya Ibnu al-Mubarak pulang pergi dari Marwan ke Syam untuk
mengembalikan setangkai pena, yang belum sempat dikembalikan kepada pemiliknya.

Hasan al-Bashry pernah menanyakan kepada seorang putera sahabat Ali bin Abi Thalib, ketika
itu sedang bersandar di Ka'bah sambil memberi pelajaran. Hasan al-Bashry bertanya: "Apakah
yang membuat agama menjadi kuat?" Dijawabnya: "yang menguatkan agama adalah sifat
wara'". "Apa yang merusak agama?" "yang merusak agama adalah tamak". Jawaban itu
mengagumkan Hasan al-Basry, lalu ia berkata "Dengan sifat wara' yang ikhlas lebih baik dari
seribu kali shalat dan puasa".

Itulah beberapa kisah yang menghiasi akhlak para sufy masa lampau. Sifat yang mengagumkan
yang melekat dalam hidup mereka. Demikian juga sifat mulia para sahabat tabi'in dan tabi'it-
tabi'in.

Kata wa-azimatun, menurut lughat, artinya cita-cita yang kuat. Maksudnya penuh kesungguhan
dan sabar menghadapi bermacam-macam masalah hidup, akan tetapi kuat menghadapinya dan
mampu mengendalikan hawa nafsu. Demikian juga melatih diri dengan riyadlah yang dapat
memperkuat ibadah dan melakukan ketaatan. Umpamanya riyadlah mengendalikan keinginan
yang mubah, seperti puasa makan, minum, tidur, menahan lapar seperti puasa, sunnat, atau
meninggalkan hal-hal yang kurang berguna bagi kemantapan dan konsentrasi jiwa kaum sufi.

Nabi SAW bersabda: "Cukurlah kiranya bagi manusia beberapa suapan untuk menegakkan
tulang punggungnya. Apabila ingin lebih dari itu, hendaklah ia membagi perutnya; sepertiga
untuk makan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga lagi untuk bernafas".

Dalam hadits lain Nabi SAW bersabda: "Bukankah manusia itu tertelungkup dalam neraka, tidak
lain karena buah omongan lisannya. Sedangkan usia manusia itu adalah modal pokok
perdagangannya. Apabila disia-siakan dengan makhluk perbuatan yang tidak berguna, maka
sungguh ia telah merusaknya dengan kesia-siaan".

Oleh karena itu mengamalkan ilmu thariqat sama dengan menghindari segala macam perbuatan
mubah, seperti telah dicontohkan di atas. Itulah jalan suci akan mengantarkan manusia kepada
ketaatan dan kebahagiaan.

Haqiqat

Haqiqat adalah akhir perjalanan mencapai tujuan


Menyaksikan cahaya nan gemerlapan
Dari ma'rifatullah yang penuh harapan

Untuk menempuh jalan menuju akhirat haqiqat adalah tonggak terakhir. Dalam haqiqat itulah
manusia yang mencari dapat menemukan ma'rifatullâh. Ia menemukan hakikat yang tajalli dari
kebesaran Allah Penguasa langit dan bumi.

Menurut Imam al-Ghazaly, tajalli adalah rahasia Allah berupa cahaya yang mampu membuka
seluruh rahasia dan ilmu. Tajalli akan membuka rahasia yang tidak dapat dipandang oleh mata
kepala. Mata hati manusia menjadi terang, sehingga dapat memandang dengan jelas semua yang
tertutup rapat dari penglihatan lahiriah manusia.

Al-Qusyairi membedakan antara syari'at dan haqiqat sebagai berikut: Haqiqat adalah penyaksian
manusia tentang rahasia-rahasia ketuhanan dengan mata hatinya. Syari'at adalah kepastian
hukum dalam ubudiyah, sebagai kewajiban hamba kepada Al-Khaliq. Syari'at ditunjukkan dalam
bentuk kaifiyah lahiriyah antara manusia dengan Allah SWT .

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa, perumpamaan syari'at adalah ibarat kepala, thariqat ibarat
lautan, dan haqiqat ibarat mutiara.

Seperti pada bunyi syair, "Barangsiapa yang ingin mendapatkan mutiara di dalam lautan, maka
ia harus mengarungi lautan dengan menumpang kapal (ilmu syari'at), kemudian ia harus pula
menyelam untuk mendapatkan perbendaharaan yang berada di kedalaman laut, yakni bernama
mutiara (ilmu haqiqat)".

Para penuntut ilmu tasawuf tidak akan mencapai kehidupan yang hakiki, kecuali telah
menempuh tingkatan hidup ruhani yang tiga tersebut. Menuju kesempurnaan hidup ruhani dan
jasmani yang hakiki menuju hidup akhirat yang sempurna, tiga jalan itu hendaklah ditempuh
bersama-sama dan bertahap. Apabila tahap-tahap itu tidak ditempuh maka penuntut tasawuf atau
mereka yang berminat mencari hidup ruhani yang tentram, tidak akan mendapatkan mutiara yang
sangat mahal harganya itu.

Wajib Bersyari'at

Thariqat dan haqiqat bergantung kepada syari'at. Dua tahapan itu tidak akan berhasil ditempuh
oleh para penuntut, kecuali melalui syari'at.

Dasar pokok ilmu syari'at adalah wahyu Allah yang tertulis jelas dalam Al-Qur'an dan Sunnah
Nabi Muhammad SAW. Sebab ibadah mahdlah dan ghairu mahdlah serta ibadah muamalah
tercantum dengan jelas dalam ilmu syari'at.
Siapa pun tidak boleh menganggap dirinya terlepas dari syari'at, walaupun ia ulama sufi yang
besar dan piawai, atau wali sekalipun. Orang yang menganggap dirinya tidak memerlukan
syari'at untuk mencapai thariqat sangat tersesat dan menyesatkan.

Karena syari'at itu seluruhnya bermuatan ibadah dan muamalah, maka menjadi satu paduan
dengan thariqat dan haqiqat. Ibadah seperti itu tidak gugur kewajibannya walaupun seseorang
telah mencapai tingkat wali. Bahkan ibadah syari'atnya wajib melebihi tingkat ibadah manusia
biasa. Umpamanya mutu ibadah seorang waliyullah melebihi mutu ibadah orang-orang awam.
Sebagaimana Rasulullah SAW, ketika mendirikan shalat dengan penuh kekhusyuan dan begitu
lama berdiri, ruku' dan sujudnya, sehingga dua kakinya menjadi membengkak, karena dikerjakan
dengan penuh kecintaan dan ketulusan.

Ketika Nabi SAW ditanya berkaitan dengan ibadahnya yang begitu hebat dan sungguh-sungguh,
beliau menjawab: "Mengapa saya tidak menjadi hamba yang bersyukur?" Karena ibadah itu
termasuk salah satu cara untuk mensyukuri nikmat Allah dan semua anugerah-Nya. Maka para
shufiyah atau waliyullah sekalipun tetap berkewajiban melaksanakan ibadah syari'at yang
ditaklifkan kepada setiap muslimin dan muslimat. Oleh karena itu wajib bagi penuntut kehidupan
akhirat dan para penuntut ilmu-ilmu Islam secara intensif mempelajari ilmu syari'at. Sebab
semua ilmu yang berkaitan erat dengan kehidupan dunia dan akhirat, bergantung erat kepada
ilmu syari'at. Ilmu tasawuf dengan pendekatan kebatinan (ruhaniyah) tetap bergantung erat
dengan syari'at. Tanpa syari'at semua ilmu dan keyakinan ruhaniyah tidak ada artinya.

Hati para shufiyah akan cemerlang sinarnya dalam menempuh kehidupan ruhaniyah yang tinggi,
hanya akan diperoleh dengan ilmu syari'at. Demikian juga kemaksiatan batin dan pencegahannya
sudah tercantum dari teladan Nabi SAW, semuanya tercantum dalam ilmu syari'at.

Ilmu tasawuf, adalah bahagian dari akhlak mahmudah, hanya akan diperoleh dari uswah
hasanah-nya Nabi Muhammad SAW. Cahaya yang bersinar dari kehidupan Nabi SAW adalah
pokok dasar bagi pengembangan ilmu tasawuf atau dasar pribadi bagi para penuntut ilmu
tasawuf. Menurut tuntunan Nabi SAW, hati adalah ukuran pertama penuntut ilmu tasawuf.
Dengan kesucian hati dan ketulusannya melahirkan akhlak mahmudah dan mencegah akhlak
mazmumah, seperti yang diajarkan dalam sunnah Nabi SAW, sebagian dari ilmu syari'at. Dengan
pengertian lain, hati manusia shufiyah itu akan ditempati oleh thariqat yang berdasarkan syari'at.

Ma'rifatullah

Para ulama tasawuf dan kaum shufiyah menempuh beberapa cara untuk mecapai tingkat tertinggi
dalam shufiyah, atau ma'rifatullah. Untuk mencapai ma'rifatullah ini setiap penuntut shufiyah
menempuh jalan yang tidak sama. Ma'rifatullah adalah tingkat telah mencapai thariqat al-
haqiqah.

Akan tetapi tidak berarti thariqat menuju ma'rifatullah itu harus secara khusyusiah, lalu
menempatkan diri hanya dalam ibadah batiniyah belaka. Akan tetapi untuk mencapai tingkat
thariqat ma'rifatullah itu, para penuntut dapat juga mencapai melalui berguru langsung dengan
para syaikh yang mursyid.

Para syaikh yang mursyid, biasanya suka memberi pelajaran dan pendidikan kepada masyarakat
untuk memberi petunjuk kaifiyat ibadah dan tauhid Uluhiyah yang bersih dan uswah hasanah
Nabi SAW.

Imam al-Ghazaly berkata: "Barangsiapa berilmu dan beramal serta mengajarkan ilmunya, maka
ia termasuk orang yang mendapat predikat orang mulla di kerajaan langit. Ia telah berma'rifat
kepada Allah. Ia adalah ibarat matahari yang menyinari dirinya sendiri, atau laksana minyak
misik yang harum yang menyebarkan keharuman disekitarnya, sedangkan ia sendiri berada
dalam keharuman".

Ketika seorang guru (da'i) sedang asyik mengajarkan ia berada dalam suasana yang agung dan
suci. Oleh karena itu seorang da'i atau guru yang sedang mengajar Al Islam, hendaklah selalu
menjaga kesucian dan adab-adabnya. Ada pula yang menempuh jalan zikrullah dengan
mewiridkan zikir-zikir yang ma'tsur atau amalan yang bernilai ibadah, seperti membaca Al-
Qur'an, bertahmid, tasbih dan tahlil. Cara ini dijalankan oleh penuntut ilmu mutajarridah
(konsentrasi diri untuk semata-mata beribadah), termasuk jalan yang ditempuh oleh orang-orang
saleh.

Cara lain lagi yang ditempuh ialah dengan menghidmatkan diri kepada ulama Fiqh, atau ulama
tasawuf atau ulama Islam umumnya. Cara berguru, belajar dan mengajar seperti ini sangat
penting dan lebih utama dari shalat sunnat. Karena perbuatan atau amal seperti itu termasuk
maslahah mursalah (kepentingan umum), karena juga bernilai ibadah.

Sayyid Abdul Qadir Jailany RA, berkata: "Saya tidak akan mencapai ma'rifatullah dengan hanya
qiyamullail, atau berpuasa sepanjang hari. Akan tetapi sampainya saya kepada ma'rifatullah,
adalah juga dengan amalan maslahah mursalah, seperti bermurah hati dan menyantuni semua
orang, tasamuh dan tawadlu'. Ada juga yang beribadah untuk membantu dan menggembirakan
orang lain. Termasuk berusaha mencari nafkah, seperti mencari kayu bakar di hutan, lalu dijual
dan hasilnya disedekahkan bagi kepentingan umum. Cara-cara seperti ini merupakan ibadah,
selain banyak manfaatnya, juga akan mencapai ma'rifatullah karena akan memperoleh do'anya
masyarakat umum dan kaum dhu'afa".

Anda mungkin juga menyukai