Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN STUDY KASUS

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)


DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH M. NATSIR SOLOK

INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT


“PEMILIHAN, PERENCANAAN DAN PENGADAAN”

Preseptor:
apt. Adrizal, M.Farm.

Disusun oleh :

Wahyuti,S.Farm 2330122038

Ayuni Kamalia Putri, S.Farm 2330122045

Dela Karlea, S.Farm 2330122048

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA
PADANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Studi Kasus Praktek Kerja Profesi
Apoteker (PKPA) di Rumah Sakit Umum Daerah Mohammad Natsir Solok. Dalam proses
penyelesaian laporan kasus ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan banyak
terima kasih kepada :
1. Bapak apt. Adrizal, M. Farm selaku kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum
Daerah M. Natsir Solok, serta seluruh apoteker yang bertugas yang telah
memberikan kesempatan, bimbingan, petunjuk, arahan sehingga Laporan Studi
Kasus ini dapat selesai.
2. Staf tenaga kefarmasian di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Daerah M. Natsir
Solok yang telah memberikan bantuan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan Laporan Studi Kasus ini.
Terimakasih atas semua bimbingan, bantuan dan dukungan yang telah diberikan
kepada penulis. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua untuk perkembangan ilmu
pengetahuan pada masa mendatang khususnya tentang “Pemilhan, Perencanaan dan
Pengadaan “ Penulis menyadari laporan kasus ini masih memiliki kekurangan dan jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari semua pihak.

Solok, Oktober 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................3

1.1 Latar Belakang....................................................................................................3

1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................5

1.3 Tujuan.................................................................................................................5

BAB II TINJAUAN UMUM.........................................................................................6

2.1 Rumah Sakit........................................................................................................6

2.2 Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)................................................................8

2.3 Pengelolaan Obat di Rumah Sakit.......................................................................9

2.3.1 Pemilihan......................................................................................................9

2.3.2 Perencanaan Kebutuhan.............................................................................11

2.3.3 Pengadaan..................................................................................................18

BAB III PEMBAHASAN...........................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................28

LAMPIRAN................................................................................................................29

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rumah Sakit adalah salah satu sarana penyelenggara pelayanan kesehatan, dituntut
untuk mampu memberikan pelayanan yang baik dan bermutu. Hal tersebut diperjelas
dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun (2016) tentang Standar Pelayanan
Rumah Sakit, disebutkan bahwa pelayanan farmasi Rumah Sakit merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari sistem pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk
pelayanan farmasi klinik, yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Dan praktik
pelayanan kefarmasian merupakan hal yang terpadu dengan tujuan untuk mengidentifikasi,
mencegah, dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan
kesehatan. (DepKes RI, 2004).
Instalasi Farmasi adalah unit pelaksana fungsional yang menyelenggarakan seluruh
kegiatan pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit, dan dipimpin oleh seorang Apoteker
sebagai penanggung jawab. Dimana seorang Apoteker bertanggung jawab untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat dengan dilakukannya perluasan paradigma lama yang
berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang berorientasi pada
pasien (patient oriented). (Peraturan Menteri Kesehatan, 2014). Tugas pokok dari IFRS ini
adalah pengelolaan mulai dari perencanaan pengadaan, penyimpanan penyiapan, peracikan,
pelayanan langsung kepada pasien sampai dengan pengendalian semua perbekalan
kesehatan yang beredar dan digunakan dalam rumah sakit (Aji et al., 2013).
Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan kebutuhan. Sistem pemilihan ini
digunakan untuk menentukan apakah kebutuhan obat benar-benar diperlukan sesuai dengan
jumlah pasien atau kunjungan dan pola penyakit dirumah sakit. Pemilihan obat dirumah
sakit berdasarkan Formularium Rumah Sakit mengacu pada Formularium Nasional.
Formularium Nasional (Fornas) adalah daftar produk obat yang dirancang komite nasional
yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan serta berdasarkan pada bukti ilmiah terkini, yang
memiliki khasiat, aman, dan dengan harga terjangkau yang disediakan serta digunakan
sebagai pedoman dalam pemakaian obat pada program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN). Setiap rumah sakit harus menggunakan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan,
BMHP berdasarkan Formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi,

3
pola penyakit, efektivitas dan keamanan, pengobatan berbasis bukti, mutu harga, dan
ketersediaan di pasaran. (Depkes, 2004).
Perencanaan merupakan tahap penting dalam pengelolaan obat di rumah sakit.
Perencanaan merupakan suatu proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah dan harga
perbekalan sediaan farmasi sesuai dengan kebutuhan dan anggaran rumah sakit untuk
menghindari kekosongan stok obat dengan metode yang telah ditentukan antara lain
konsumsi, epidemiologi, dan kombinasi. (Kemenkes, 2004).
Menurut Undang-Undang No.72 tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan
perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan, jumlah, dan
waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu. Pengadaan
dilakukan bertujuan untuk menghindari kekosongan stok.
Maka dari itu sangatlah penting untuk dilakukannya kegiatan pemilihan,
perencanaan dan pengadaan yang sesuai dengan standar kefarmasian di Rumah Sakit
sehingga Instalasi Farmasi di Rumah Sakit dapat memenuhi kebutuhan pasien. Berdasarkan
hal ini lah penulis membahas tentang pemilihan, perencanaan dan pengadaan di Instalasi
Farmasi Rumah Sakit M. Natsir Solok.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana sistem pemilihan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai di RSUD M. Natsir Solok berdasarkan Permenkes No. 72 tahun 2016?

2. Bagaimana sistem perencanaan sediaan farmasi, alat Kesehatan, dan bahan medis
habis pakai di RSUD M. Natsir Solok berdasarkan Permenkes No. 72 tahun 2016?

3. Bagaimana sistem pengadaan sediaan farmasi, alat Kesehatan, dan bahan medis
habis pakai di RSUD M. Natsir Solok berdasarkan Permenkes No. 72 tahun 2016?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui bagaimana sistem pemilihan, perencanaan dan pengadaan


sediaan farmasi, alat Kesehatan, dan bahan medis habis pakai di RSUD M. Natsir
Solok berdasarkan Permenkes No. 72 tahun 2016.

4
BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1 Rumah Sakit

Menurut UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, rumah sakit adalah institusi
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
Pelayanan Kesehatan Paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 3 Tahun 2020, menjelaskan bahwa


sesuai jenis pelayanan yang diberikan, rumah sakit dikategorikan dalam rumah sakit
umum dan rumah sakit khusus. Rumah sakit umum memberikan pelayanan kesehatan pada
semua bidang dan jenis pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit dan
rumah sakit khusus memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau sejenis penyakit
atau kekhususan lainnya. Rumah sakit dapat diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan
kemampuan pelayanan meliputi rumah sakit umum kelas A, kelas B, kelas C dan Kelas
D.

Adapun klasifikasi rumah sakit umum menurut Permenkes No 30 tahun 2020 yaitu :
A. Rumah Sakit Umum Kelas A

Rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan


medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar yaitu : pelayanan penyakit dalam,
kesehatan anak, bedah, obstetrik dan ginekologi, ada 5 (lima) spesialis penunjang
medik yaitu : pelayanan anestesiologi, radiologi, rehabilitasi medik, patologi klinik
dan patologi anatomi, 12 (dua belas) spesialis lain yaitu: mata, telinga, hidung
tenggorokan, syaraf, jantung, dan pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran
jiwa, paru, orthopedik, urologi, bedah syaraf, bedah plastik dan kedokteran forensik
dan 16 (enam belas) subspesialis yaitu: bedah, penyakit dalam, kesehatan anak,
obstetrik dan ginekologi, mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan
pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedik, urologi, bedah
syaraf, bedah plastik dan gigi mulut.
B. Rumah Sakit Umum Kelas B

5
Rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan
medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar yaitu: pelayanan penyakit dalam,
kesehatan anak, bedah, obstetrik dan ginekologi, 4 (lima) spesialis penunjang medik
yaitu: pelayanan anestesiologi, radiologi, patologi klinik dan rehabilitasi medik.
Sekurang-kurangnya 8 (delapan) pelayanan spesialis lain yaitu: mata, telinga hidung
tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran
jiwa, paru, orthopedik, urologi, bedah syaraf, bedah plastik dan kedokteran forensik
mata, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru,
urologi dan kedokteran forensik. Pelayanan medik subspesialis 2 (dua) subspesialis
dasar meliputi : bedah, penyakit dalam, kesehatan anak, obstetrik dan ginekologi.
C. Rumah Sakit Umum Kelas C

Rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan


medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar : pelayanan penyakit dalam, kesehatan
anak, bedah, obstetrik dan ginekologi, radiologi, rehabilitasi medik dan patologi
klinik dan 4 penunjang medik spesialis yaitu pelayanan darah, pelayanan gizi, rekap
medik dan rehabilitas medik.
D. Rumah Sakit Umum Kelas D

Rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan


medik paling sedikit 2 (dua) dari 4 (empat) spesialis dasar yaitu : pelayanan penyakit
dalam, kesehatan anak, bedah, obstetrik dan ginekologi.

2.2 Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)


Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab
kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang
pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)
adalah suatu bagian atau unit atau divisi atau fasilitas di rumah sakit, tempat
penyelenggaraan semua kegiatan pekerjaan kefarmasian yang ditujukan untuk keperluan
rumah sakit itu sendiri. Instalasi farmasi rumah sakit adalah bagian tidak terpisahkan dari
sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang utuh dan selalu berorientasi pada pelayanan
pasien, menyediakan obat yang bermutu, dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.
Instalasi Farmasi sebagaimana dimaksud dipimpin oleh seorang Apoteker sebagai
penanggung jawab. Dalam Permenkes RI Nomor 72 tahun 2016 disebutkan mengenai
tugas dan fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit.

6
Adapun Tugas Instalasi Farmasi Rumah Sakit antara lain, sebagai berikut
(Kemenkes, 2016):
a. Menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur, dan mengawasi
seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian yang optimal dan profesional serta
sesuai prosedur dan etik profesi.
b. Melaksanakan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai efektif, aman, bermutu, dan efisien.
c. Melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai guna memaksimalkan efek
terapi dan keamanan serta meminimalkan risiko.
d. Melaksanakan komunikasi, edukasi dan informasi (KIE) serta memberikan
rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien.
e. Berperan aktif dalam Komite/Tim Farmasi dan Terapi
f. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan pelayanan
kefarmasian.
g. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan
forularium Rumah Sakit.
Didalam keputusan Menteri Kesehatan Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah
Sakit, Persyaratan kefarmasian harus menjamin ketersediaan sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang bermutu, bermanfaat, aman dan terjangkau. Pelayanan sediaan farmasi di
Rumah Sakit harus mengikuti standar pelayanan kefarmasian. Pengelolaan alat kesehatan,
sediaan farmasi, dan bahan habis pakai di Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi
farmasi sistem satu pintu.

2.3 Pengelolaan Obat di Rumah Sakit


Berdasarkan PERMENKES Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi pengelolaan obat teriri dari:

2.3.1 Pemilihan

Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan kebutuhan. Pemilihan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai ini berdasarkan:
A. Formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi
B. Standar sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang telah
7
ditetapkan
C. Pola penyakit;
D. Efektifitas dan keamanan;
E. Pengobatan berbasis bukti;
F. Mutu;
G. Harga; dan
H. Ketersediaan di pasaran.
Formularium Rumah Sakit disusun mengacu kepada Formularium Nasional.
Formularium Rumah Sakit merupakan daftar Obat yang disepakati staf medis, disusun oleh
Komite/Tim Farmasi dan Terapi yang ditetapkan oleh Pimpinan Rumah Sakit.
Formularium Rumah Sakit harus tersedia untuk semua penulis Resep, pemberi Obat, dan
penyedia Obat di Rumah Sakit. Evaluasi terhadap Formularium Rumah Sakit harus secara
rutin dan dilakukan revisi sesuai kebijakan dan kebutuhan Rumah Sakit. Penyusunan dan
revisi Formularium Rumah Sakit dikembangkan berdasarkan pertimbangan terapetik dan
ekonomi dari penggunaan Obat agar dihasilkan Formularium Rumah Sakit yang selalu
mutakhir dan dapat memenuhi kebutuhan pengobatan yang rasional.
Tahapan proses penyusunan Formularium Rumah Sakit:
a. membuat rekapitulasi usulan Obat dari masing-masing Staf Medik Fungsional
(SMF) berdasarkan standar terapi atau standar pelayanan medik;
b. mengelompokkan usulan Obat berdasarkan kelas terapi;
c. membahas usulan tersebut dalam rapat Komite/Tim Farmasi dan Terapi, jika
diperlukan dapat meminta masukan dari pakar;
d. mengembalikan rancangan hasil pembahasan Komite/Tim Farmasi dan Terapi,
dikembalikan ke masing-masing SMF untuk mendapatkan umpan balik;
e. membahas hasil umpan balik dari masing-masing SMF;
f. menetapkan daftar Obat yang masuk ke dalam Formularium Rumah Sakit;
g. menyusun kebijakan dan pedoman untuk implementasi; dan
h. melakukan edukasi mengenai Formularium Rumah Sakit kepada staf dan
melakukan monitoring.
Kriteria pemilihan Obat untuk masuk Formularium Rumah Sakit menurut KEPMENKES
No. HK 01.07/MENKES/200/2020:
a. mengutamakan penggunaan Obat generik;
b. memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan
penderita;
8
c. mutu terjamin, termasuk stabilitas dan bioavailabilitas;
d. praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan;
e. praktis dalam penggunaan dan penyerahan;
f. menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh pasien;
g. memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi berdasarkan biaya
langsung dan tidak lansung; dan
h. Obat lain yang terbukti paling efektif secara ilmiah dan aman (evidence based
medicines) yang paling dibutuhkan untuk pelayanan dengan harga yang terjangkau.
Dalam rangka meningkatkan kepatuhan terhadap formularium Rumah Sakit, maka Rumah
Sakit harus mempunyai kebijakan terkait dengan penambahan atau pengurangan Obat
dalam Formularium Rumah Sakit dengan mempertimbangkan indikasi penggunaaan,
efektivitas, risiko, dan biaya.

2.3.2 Perencanaan Kebutuhan

Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah dan periode


pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan
hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah,
tepat waktu dan efisien.
Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan Obat dengan menggunakan
metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah
ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan
epidemiologi dan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.
Pedoman perencanaan harus mempertimbangkan:
a. anggaran yang tersedia;
b. penetapan prioritas;
c. sisa persediaan;
d. data pemakaian periode yang lalu;
e. waktu tunggu pemesanan; dan
f. rencana pengembangan.
Dalam perencanaan obat perlu dilakukan perhitungan secara tepat. Perhitungan kebutuhan
obat dapat dilakukan dengan menggunakan metode konsumsi dan metode epidemiologi.
a. Metode Konsumsi adalah metode yang didasarkan atas analisa data konsumsi obat
tahun sebelumnya. Untuk menghitung jumlah obat yang dibutuhkan berdasarkan
metode konsumsi perlu diperhatikan hal- hal sebagai berikut :
9
1) Pengumpulan dan pengolahan data
2) Analisa data untuk menginformasi dan evaluasi
3) Perhitungan perkiraan kebutuhan obat
4) Penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan alokasi dana
Untuk memperoleh data kebutuhan obat yang mendekati ketepatan, perlu dilakukan
analisa trend pemakaian obat 3 (tiga) tahun sebelumnya atau lebih.
Data yang perlu dipersiapkan untuk perhitungan dengan metode konsumsi:
a) Daftar obat
b) Stok awal
c) Penerimaan
d) Pengeluaran
e) Sisa stok
f) Obat hilang/rusak, kadarluarsa g)
g) Kekosongan obat h)
h) Pemakaian rata-rata/pergerakan obat pertahun i)
i) Waktu tunggu
j) Stok pengaman
k) Perkembangan pola kunjungan
RUMUS : A = ( B+C+D)-E
Ket:
A= RENCANA PENGADAAN
B= pemakaian rata-rata*12 bulan
C= Stok pengaman 10%-10%
D = Waktu tunggu 3-6 bulan
E = Sisa stok
Kelebihan metode konsumsi:
1) Datanya akurat metode paling mudah.
2) Tidak perlu data penyakit dan standar pengobatan
3) Kekurangan dan kelebihan obat sangat kecil
Kekurangan;
1) Data konsumsi, obat dan jumlah kontak pasien sulit.
2) Tidak dapat untuk dasar penggunaan obat dan perbaikan pola peresepan
3) Kekurangan,kelebihan dan kehilangan obat sulit diandalkan
4) Tidak perlu catatan morbiditas yang baik
10
b. Metode morbiditas/epidemiologi : Metode ini diterapkan berdasarkan jumlah
kebutuhan perbekalan farmasi yang digunakan untuk beban kesakitan (morbidity
load), yang didasarkan pada pola penyakit, perkiraan kenaikan kunjungan dan
waktu tunggu (lead time). Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam metode
ini, yaitu menentukan jumlah pasien yang akan dilayani dan jumlah kunjungan
kasus berdasarkan prevalensi penyakit, menyediakan formularium/ standar/
pedoman perbekalan farmasi, menghitung perkiraan kebutuhan perbekalan farmasi,
dan penyesuaian dengan alokasi dana yang tersedia. Persyaratan utama dalam
metode ini adalah rumah sakit harus sudah memiliki standar pengobatan, sebagai
dasar untuk penetapan obat yang akan digunakan berdasarkan penyakit.
Langkah-langkah perhitungan metode morbiditas adalah:
1) Menetapkan pola morbiditas penyakit berdasarkan kelompok umur
penyakit.
2) Menyiapkan data populasi penduduk.
3) Menyediakan data masing-masing penyakit/tahun untuk seluruh populasi
pada kelompok umur yang ada.
4) Menghitung frekuensi kejadian masing-masing penyakit/tahun untuk
seluruh populasi pada kelompok umur yang ada.
5) Menghitung jenis, jumlah, dosis, frekuensi dan lama pemberian obat
menggunakan pedoman pengobatan yang ada.
6) Menghitung jumlah yang harus diadakan untuk tahun anggaran yang akan
datang.
Kelebihan metode epidemiologi :
 Perkiraan kebutuhan mendekati kebenaran
 Standar pengobatan mendukung usaha memperbaiki pola penggunaan obat
Kekurangan;
 membutuhkan waktu dan tenaga terampil
 data penyakit sulit diperoleh secara pasti
 perlu pencatatan dan pelaporan yang baik
3. Metode kombinasi merupakan kombinasi metode konsumsi dan metode
epidemiologi. Metode kombinasi merupakan metode perhitungan kebutuhan obat
yang mana telah mempunyai data konsumsi yang jelas namun kasus penyakit
cenderung berubah (naik atau turun).Gabungan perhitungan metode konsumsi

11
dengan koreksi epidemiologi yang sudah dihitung dengan suatu prediksi (persentase
kenaikan kasus atau analisis trend).
4) Metode kombinasi digunakan untuk obat yang terkadang fluktuatif, maka dapat
dengan menggunakan metode konsumsi dengan koreksi-koreksi pola penyakit,
perubahan, jenis/jumlah tindakan, perubahan pola peresepan, perubahan kebijakan
pelayanan. Analisis perencanaan persediaan farmasi rumah sakit adalah sebagai
berikut (Satibi, 2016):
1. Analisis ABC
Berdasarkan berbagai pengamatan dalam pengelolaan obat, yang paling banyak
ditemukan adalah tingkat konsumsi pertahun hanya diwakili oleh relative sejumlah
item. Sebagai contoh, dari pengamatan terhadap pengadaan obat dijumpai bahwa
sebagian besar daba obat (70%) digunakan untuk pengadaan, 10% dari jenis/item
obat yang paling banyak digunakan sedangkan sisanya sekitar 90% jenis/item obat
menggunakan dana sebesar 30%.
Oleh karena itu analisa ABC mengelompokkan item obat berdasarkan kebutuhan
dananya, dibagi dalam tiga kelompok yaitu:
a) Kelompok A: kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya
menunjukkan penyerapan dana sekitar 70% dari jumlah dana obat keseluruhan.
b) Kelompok B: kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya
menunjukkan penyerapan dana sekitar 20%.
c) Kelompok C: kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya
menunjukkan penyerapan dana sekitar 10% dari jumlah dana obat keseluruhan.
Langkah-langkah menentukan kelompok A, B dan C :
a. Hitung jumlah dana yang dibutuhkan untuk masing-masing obat dengan cara
mengalikan kuantum obat dengan harga obat
b. Tentukan rankingnya mulai dari yang terbesar dananya sampai yang terkecil
c. Hitung persentasenya terhadap total dana yang dibutuhkan
d. Hitung kumulasi persennya
e. Obat kelompok A termasuk dalam kumulasi 70%
f. Obat kelompok B termasuk dalam kumulasi 70% - 90%
g. Obat kelompok C termasuk dalam kumulasi 91% - 100%
2. Analisis VEN
Salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dana obat yang terbatas
adalah dengan mengelompokkan obat yang didasarkan kepada dampak tiap jenis
12
obat pada kesehatan. semua jenis obat yang tercantum dalam daftar obat
dikelompokkan tiga kelompok berikut:
a. Kelomok Vital (V) : Adalah kelompok obat yang vital, yang termasuk dalam
kelompok ini antara lain: obat penyelamat (life saving drugs), obat untuk pelayanan
kesehatan pokok (vaksin, dll) dan obat untuk mengatasi penyakit-penyakit penyebab
kematian terbesar.
Contoh obat : adrenalin (epinefrin, nonepinefrin), antitoksin, insulin (insulin
glargine, insulin lispro, insulin aspart, dan insulin glulisine), obat jantung (digoxin injeksi,
diltiazem injeksi), streptokinase injeksi.
b. Kelompok Esensial (E) : Adalah kelompok obat yang bekerja kausal, yaitu
obat yang bekerja pada sumber penyebab penyakit. Terdapat dalam daftar
obat esensial nasional (PERMENKES No. HK.01.07/MENKES/6477/2021
Tentang Daftar Obat Esensial Nasional).
Contoh obat : analgesik non narkotik (ibuprofen, paracetamol), Antibakteri
(eritromisin, amoksisilin).
c. Kelompok Non-esensial (N) : Merupakan obat penunjang yaitu obat yang
kerjanya ringan dan biasa dipergunakan untuk menimbulkan kenyamanan
atau untuk mengatasi keluhan ringan.
Contoh obat : curcuma, vitamin.
Adapun penggolongan obat sistem VEN dapat digunakan untuk:
a. Penyesuaian rencana kebutuhan obat dengan alokasi dana yang tersedia.
b. Dalam penyusunan rencana kebutuhan obat yang masuk kelompok vital agar
diusahakan tidak terjadi kekosongan obat.
c. Untuk menyususn daftar VEN perlu ditentukan terlebih dahulu kriteria
penentuan VEN. Dalam penentuan kriteria perlu mempertimbangkan
kebutuhan masing-masing spesialisasi.
Langkah-langkah menentukan VEN, sebagai berikut:
a. Menyusun kriteria menentukan VEN’
b. Menyediakan data pola penyakit
c. Standar pengobatan
3. Kombinasi ABC dan VEN
Jenis obat yang termasuk kategori A dari analisis ABC adalah benar-benar jenis
obat yang diperlukan untuk penanggulangan penyakit terbanyak dan obat tersebut
statusnya harus E dan sebagian V dari analisa VEN. Sebaliknya jenis obat dengan
13
status N harusnya masuk dalam kategori C, digunakan untuk menetapkan prioritas
pengadaan obat dimana anggaran yang ada tidak sesuai kebutuhan. Metode
gabungan ini digunakan untuk melakukan pengurangan obat. Mekanismenya adalah
sebagai berikut:
a. Obat yang termasuk kategori NC menjadi prioritas pertama untuk dikurangi
atau dihilangkan dari rencana kebutuhan, bila dana masih kurang, maka obat
kategori NB menjadi prioritas berikutnya. Jika setelah dilakukan dengan
pendekatan ini dana yang tersedia masih juga kurang, lakukan langkah
selanjutnya.
b. Pendekatan sama sengan pada saat pengurangan obat pada kriteria NC, NB,
NA dimulai dengan pengurangan obat kategaori EC, EB dan EA.
Tabel Prioritas Pengadaan Obat Dengan Metode Kombinasi ABC Dan VEN
A B C

V AV BV CV

E AE BE CE

N AN BN CN

2.3.3 Pengadaan

Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan


perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan, jumlah, dan
waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu. Pengadaan
merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari pemilihan, penentuan jumlah
yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan dana, pemilihan metode pengadaan,
pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi kontrak, pemantauan proses pengadaan, dan
pembayaran.
Untuk memastikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sesuai dengan mutu dan spesifikasi yang dipersyaratkan maka jika proses pengadaan
dilaksanakan oleh bagian lain di luar Instalasi Farmasi harus melibatkan tenaga
kefarmasian.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai antara lain:
a. Bahan baku Obat harus disertai Sertifikat Analisa.
14
b. Bahan berbahaya harus menyertakan Material Safety Data Sheet (MSDS).
c. Masa kadaluarsa (expired date) minimal 2 (dua) tahun kecuali untuk Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai tertentu (vaksin, reagensia,
dan lain-lain), atau pada kondisi tertentu yang dapat dipertanggung jawabkan.
Rumah Sakit harus memiliki mekanisme yang mencegah kekosongan stok Obat
yang secara normal tersedia di Rumah Sakit dan mendapatkan Obat saat Instalasi Farmasi
tutup.
Pengadaan dapat dilakukan melalui:
a. Pembelian
Untuk Rumah Sakit pemerintah pembelian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai harus sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa yang
berlaku.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelian adalah:
1) Kriteria Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai, yang
meliputi kriteria umum dan kriteria mutu Obat.
2) Persyaratan pemasok.
3) Penentuan waktu pengadaan dan kedatangan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai.
4) Pemantauan rencana pengadaan sesuai jenis, jumlah dan waktu.
Sediaan yang dibuat di Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan mutu dan terbatas
hanya untuk memenuhi kebutuhan pelayanan di Rumah Sakit tersebut. Pengadaan obat
pada era Jaminan Kesehatan Nasional tahun 2014 dilakukan secara elektronik atau dikenal
dengan e-procurement. Pengadaan secara elektronik dapat dilakukan dengan e-tendering
atau e-purchasing. E- tendering merupakan tata cara pemilihan penyedia barang/jasa yang
dilakukan secara terbuka dan dapt diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang terdaftar
pada sistem elektronik. Pengadaan obat yang tersedia dalam daftar di sistem e-katalog obat
dilakukan dengan prosedur e-purchasing. E- purchasing merupakan tata cara pembelian
barang/jasa melalui sistem e- katalog obat.
Adapun pengertian e-katalog obat adalah sistem informasi yang memuat daftar,
jenis, spesifikasi teknis, dan harga obat dari berbagai penyedia barang/jasa tertentu.
Pengadaan dilakukan secara elektronik bertujuan untuk meningkatkan
transparansi/keterbukaan dalam proses pengadaan obat, meningkatkan persaingan yang
sehat dalam rangka penyediaan pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan yang
baik, dan meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam pengelolaan obat proses pengadaan.
15
E-purchasing diselenggarakan dengan tujuan: agar tercipta proses pemilihan barang/jasa
secara langsung melalui sistem katalog elektronik (e-katalog) sehingga dimungkinkan
dapat memilih barang/jasa pada pilihan terbaik; dan efisiensi biaya serta waktu pemilihan
baang/jasa dari sisi penyedia barang/jasa dan pengguna barang/jasa. Prinsip pemilihan
penyedia secara elektronik sebagaimana diatur dalam peraturan presiden tentang
pengadaan barang/jasa ialah secara efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak
diskriminatif, dan akun tabel (Pemenkes No. 63 Tahun 2014).
Pengadaan obat oleh Satuan Kerja di bidang kesehatan baik Pusat maupun Daerah
dan FKTP atau FKRTL mengadakan obat yang tersedia dalam daftar Katalog Elektronik
(E-Catalogue) Portal Pengadaan Nasional menggunakan metode pembelian secara
elektronik (E- Purchasing). Jika obat yang dibutuhkan tidak terdapat dalam Katalog
Elektronik (E- Catalogue) obat, proses pengadaan dapat mengikuti metode lainnya
(Pemenkes No. 63 Tahun 2014)
b. Produksi Sediaan Farmasi
Instalasi Farmasi dapat memproduksi sediaan tertentu apabila:
1) Sediaan Farmasi tidak ada di pasaran;

2) Sediaan Farmasi lebih murah jika diproduksi sendiri;

3) Sediaan Farmasi dengan formula khusus;

4) Sediaan Farmasi dengan kemasan yang lebih kecil/repacking;

5) Sediaan Farmasi untuk penelitian; dan

6) Sediaan Farmasi yang tidak stabil dalam penyimpanan/harus dibuat baru


(recenter paratus).
Sediaan yang dibuat di Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan mutu dan terbatas
hanya untuk memenuhi kebutuhan pelayanan di Rumah Sakit tersebut.
Cara Pembuatan Obat yang Baik disingkat CPOB adalah cara pembuatan Obat
dan/atau bahan Obat yang bertujuan untuk memastikan agar mutu Obat dan/atau bahan
Obat yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan dan tujuan penggunaan. Pedoman CPOB
wajib menjadi acuan bagi Rumah Sakit yang melakukan kegiatan pembuatan Obat.
Persyaratan dasar dalam Pedoman ini berlaku untuk pembuatan obat mencakup
seluruh atau sebagian proses, mulai dari penerimaan bahan, pengolahan dan pengemasan
hingga menjadi produk jadi, jika diperlukan di rumah sakit, sesuai peraturan perundang-
undangan. Kegiatan pembuatan Obat dikecualikan untuk kegiatan:

16
a. peracikan atau pencampuran Obat sesuai dengan resep atau instruksi dokter
(compounding); dan
b. penyiapan Obat sesuai dengan resep atau instruksi dokter (dispensing).
Kegiatan compounding dan dispensing dikecualikan untuk sediaan radiofarmaka.
Pedoman CPOB meliputi:
a. Sistem pemastian mutu;
b. Personalia;
c. Bangunan dan fasilitas;
d. Dokumentasi;
e. Produksi;
f. Pengawasan mutu;
g. Pembuatan berdasarkan kontrak;
h. Penanganan keluhan dan penarikan kembali produk; inspeksi diri/audit internal;
i. Pedoman persyaratan standar untuk pembuatan produk obat steril;
j. Pedoman persyaratan standar untuk pembuatan produk obat cairan, krim, dan salep
nonsteril; dan
k. Cara pembuatan radiofarmaka yang baik di Rumah Sakit.
c. Sumbangan/Dropping/Hibah
Instalasi Farmasi harus melakukan pencatatan dan pelaporan terhadap penerimaan
dan penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sumbangan/dropping/ hibah.
Seluruh kegiatan penerimaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai dengan cara sumbangan/dropping/hibah harus disertai dokumen administrasi
yang lengkap dan jelas. Agar penyediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai dapat membantu pelayanan kesehatan, maka jenis Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai harus sesuai dengan kebutuhan pasien di
Rumah Sakit. Instalasi Farmasi dapat memberikan rekomendasi kepada pimpinan Rumah
Sakit untuk mengembalikan/menolak sumbangan/dropping/hibah Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak bermanfaat bagi kepentingan pasien
Rumah Sakit.

17
18
BAB III
PEMBAHASAN

Pada studi kasus kali ini akan dibahas tentang standar pelayanan kefarmasian di
Rumah Sakit yang berhubungan dengan kegiatan pengelolaan sediaan farmasi, Alat
kesehatan dan Bahan medis habis pakai yaitu kegiatan pemilihan, perencanaan dan
pengadaan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit M.Natsir Solok.
Standar pelayanan kefarmasian di Rumah sakit meliputi standar pengelolaan
sediaan farmasi, alat kesehatan, bahan medis habis pakai serta melakukan pelayanan
farmasi klinik. Pengeloahan sediaan farmasi meliputi kegiatan pemilihan, perencanaan,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan.
Seorang apoteker memilki tanggung jawab terhadap pengeloaan sediaan farmasi yang
dipakai di Rumah sakit untuk menjamin seluruh rangkaian kegiatan perbekalan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan ketentuan yang berlaku
serta dapat memastikan kualitas, manfaat dan keamanannya.
Tahap pengelolaan obat di rumah sakit terdiri dari tahapan pemilihan dan
perencanaan (selection), pengadaan (procurement), penyimpanan (storage), distribusi
(distribution) dan penggunaan (use) yang memiliki keterkaitan di antara masing–masing
tahap sehingga harus terkoordinasi dengan baik agar masing– masing dapat berfungsi
optimal. Tidak efisiennya salah satu tahap saja akan mengakibatkan tidak efisien pula
sistem suplai dan penggunaan obat yang ada..
Kegiatan pengadaan yang dilakukan di Rumah Sakit M. Zein Painan dilakukan
dengan cara yaitu pengadaan barang secara E-catalog dan Manual. Pemesanan barang
menggunakan metode E-Catalog digunakan untuk pengadaan obat- obatan BPJS kesehatan.
Pengadaan barang dengan metode E-catalog harus dilakukan berdasarkan Lembaga
kebijakan pengadaan barang/jasa Pemerintah (LKPP). Hal ini sesuai dengan peraturan surat
edaran Menteri Kesehatan Nomor KF/MENKES/167/III/2014 tentang pengadaan obat
berdasarkan katalog elektronik. Seluruh satuan kerja di bidang kesehatan baik pusat
maupun daerah dan fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun tingkat lanjutan yang
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan dalam pengadaan obat baik untuk program jaminan
kesehatan maupun program kesehatan lainnya dihimbau agar pengadaan obat dilakukan
berdasarkan e-catalog. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan dan pemerataan
obat yang aman bermutu dan berkhasiat untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan,

19
yang pengadaanya dilaksanakan secara transparan, efektif, efisien, serta hasilnya dapat
dipertanggung jawabkan. Pengadaan melalui proses e- catalog bertujuan agar pemilihan
barang dapat dilakukan langsung melalui sistem elektronik sehingga memungkinkan para
pejabat dalam sistem pengadaan dapat memilih barang dalam pilihan terbaik, efektif,
efisien dimana pengadaan sistem elektronik tercantum jenis barang barang serta harga yang
dapat langsung diketahui antara LKPP dan Penyedia jasa barang.
Namun metode tersebut memiliki kekurangan yaitu diantaranya waktu pengiriman
obat yang bervariasi dari yang cepat dan lama (lebih dari 30 hari/melebih waktu
pengiriman dengan pengadaan langsung secara manual) padahal kebutuhan obat ada yang
bersifat mendesak dan tidak dapat ditunda, beberapa obat yang stoknya kosong di e-
catalogue sehingga menyebabkan pembelian dilakukan secara manual dengan harga yang
lebih mahal; beberapa penyedia yang mensyaratkan pembelian dengan minimal faktur
sehingga tidak sesuai dengan perencanaan; pemesanan yang tidak direspon atau direspon
tetapi lama oleh penyedia; obat tidak tersedia di daftar e-catalogue; terbatasnya tenaga
kefarmasian sebagai pejabat pengadaan obat (Saputra et al., 2019).
Sedangkan proses pengadaan yang dilakukan secara manual melakukan beberapa
proses pengadaan yang mempunyai beberapa langkah yang baku dan merupakan siklus
yang berjalan terus menerus sesuai dengan kegiatan rumah sakit. Langkah proses
pengadaan dimulai dengan mereview daftar sediaan farmasi dan BMHP yang akan
diadakan, menentukan jumlah masing - masing item yang akan dibeli, menyesuaikan
dengan situasi keuangan, memilih metode pengadaan, memilih distributor, membuat syarat
kontrak kerja, memonitor pengiriman barang, menerima barang, melakukan pembayaran
serta menyimpan kemudian mendistribusikan.
Pemesanan dibagi menjadi empat surat pesanan khusus yaitu, surat pesanan khusus
obat narkotika, surat pesanan psikotropika, surat pesanan prekursor, Obatobat Tertentu
(OOT) dan surat pesanan obat bebas. Pemesanan BMHP, ALKES, dan Obat-obatan Hight
Alert dilakukan menggunakan Surat Pesanan obat bebas. Pemesanan obat golongan
narkotika, psikotropika, prekursor dan Obat- obat Tertentu (OOT) harus dilakukan
langsung oleh Apoteker Penanggung jawab yang bertugas, pemesanan obat harus
dilakukan di PBF yang telah memiliki surat izin untuk dapat melakukan penyaluran obat.
Dimana hal ini telah sesuai dengan peraturan pada Permenkes No 72 tahun 2016 dan
BPOM No 24 Tahun 2021. Penulisan surat pesanan untuk obat biasa dilakukan dengan
cara menuliskan nama obat, bentuk sediaan, kekuatan sediaan, nama apoteker yang
memesan, mencantumkan nama PBF tempat pemesanan. Sedangkan penulisan surat
20
pesanan yang digunakan untuk memesan obat golongan narkotika dilakukan dengan cara
satu surat pesanan digunakan untuk satu obat jika kekuatan sediaan berbeda atau nama
sediaan yang berbeda harus menggunakan surat pesanan yang berbeda. Surat pesanana
narkotika hanya ditulis oleh seorang apoteker penanggung jawab dengan mencantumkan
nama apoteker yang memesan, alamat apoteker yang memesan, mencantumkan nama
distributor/ PBF yang dituju, No telepon PBF, tujuan pemesanan obat golongan narkotika.
Apoteker yang memesan harus yang telah memiliki No surat Izin Praktek (SIPA). Surat
pesanan narkotika dan psikotropika dilakukan secara terpisah surat pesanan psikotropika
dilakukan dengan cara membuat form pesanan khusus psikotropika dengan mencantumkan
nama apoteker yang memesan, Nama PBF yang dituju, bentuk sediaan, kekuatan sediaan,
bentuk sediaan. Pemesanan barang di RSUD Dr. M. Natsir Solok dilakukan oleh seorang
apoteker kepala Instalasi Farmasi RSUD Dr. M. Natsir Solok. Hal ini menunjukan bahwa
sistem pengadaan sediaan farmasi IFRS RSUD Dr. M. Natsir Solok telah sesuai dengan
aturan yang ada yaitu pada PERMENKES No 72 Tahun 2016 dan BPOM No 24 Tahun
2021.
Perencanaan Kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah dan periode
pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP sesuai dengan hasil kegiatan
pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan
efisien. Perencanaan kebutuhan perbekalan farmasi di RSUD Dr. M. Natsir Solok
dilakukan untuk menghindari kekosongan, kelebihan barang dan kerugian dalam
penyediaan perbekalan farmasi. Perencanaan kebutuhan perbekalan farmasi di RSUD Dr.
M. Natsir Solok dilakukan dengan menggunakan metode konsumsi yang dapat
dipertanggung jawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan dengan
mempertimbangkan anggaran yang tersedia. Keuntungan dari metode konsumsi tidak
membutuhkan data morbiditas, standar pengobatan, perhitungannya lebih sederhana dan
juga adanya pertimbangan gudang penyimpan obat di RSUD Dr. M. Natsir Solok yang
tidak memiliki kapasitas penyimpan yang luas.
Metode perencanaan di RSUD Dr. M. Natsir Solok menggunakan metode
konsumsi, perhitungan dengan metode konsumsi didasarkan atas analisa data konsumsi
sediaan farmasi periode sebelumnya ditambah stok penyangga (buffer stock), stok waktu
tunggu (lead time) dan memperhatikan sisa stok. Buffer stock dapat mempertimbangkan
kemungkinan perubahan pola penyakit dan kenaikan jumlah kunjungan (misal: adanya
Kejadian Luar Biasa). Jumlah buffer stock bervariasi antara 10% sampai 20% dari
kebutuhan atau tergantung kebijakan Rumah Sakit. Di Rumah Sakit RSUD Dr. M. Natsir
21
Solok menggunakan buffer stock 20%. Sedangkan stok lead time adalah stok obat yang
dibutuhkan selama waktu tunggu sejak obat dipesan sampai obat diterima. Untuk
menghitung jumlah obat yang dibutuhkan berdasarkan metode konsumsi, perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Pengumpulan dan pengolahan data
2. Analisis data untuk informasi dan evaluasi
3. Perhitungan perkiraan kebutuhan obat
4. Penyesuaian jumlah kebutuhan sediaan farmasi dengan alokasi dana.
Evaluasi perencanaan di RSUD Dr. M. Natsir Solok menggunakan analisa
kombinasi yaitu : penggabungan antara metode konsumsi, metode mobiditas, metode VEN
dan metode ABC. Metode ini digunakan untuk menetapkan prioritas dalam pengadaan
obat. Evaluasi perencaan dilakukaan pertiga bulan sekali untuk mengantisipasi kekurangan
obat karena kenaikan jumlah kasus.

22
DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2020. Petunjuk teknis penatalaksanaan


tuberkulosis resistan obat di Indonesia. Kementrian Kesehatan RI. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI Tahun 2017 .Tentang program pengendalian HIV aids dan
PIMS fasilitas Kesehatan tingkat pertama. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK. 01.07/ MENKES/
200/2020. Tentang pedoman penyusunan formularium Rumah Sakit.
Peraturan Menteri Kesehatan RI. 2020. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan di Rumah Sakit.
Peraturan Mentri Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 63 Tahun 2014 tentang pengadaan obat berdasarkan katalog elektronik (e-
catalogue).
Peraturan Mentri Kesehatan RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
Peraturan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 .Tentang Rumah
Sakit
Satibi. 2016. Manajemen Obat Di Rumah Sakit. Gadjah Mada Univeristas Press.
Yogyakarta.
Saputra,W.A., Puspandari, D.A dan Kurniawan, M.F. 2019. Evaluasi Pengadaan Obat
Dengan E-Phurchasing Melalui E- Catalogue di Rumah Sakit Grhasia Daerah
Yogyakarta Tahun 2017-2016. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia. Vol 06.
Tootellian, D.H. 2012. A essentials of pharmacy management 2nd edition. United
Kingdom Management Committee: Pharmaceutical Press.

23
LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Pesanan

24
Lampiran 2. Surat Pesanan Psikotropika

25
Lampiran 3. Surat Pesanan Obat-Obat Tertentu

Lampiran 4. Surat Pesanan Narkotika

26
Lampiran 5. Surat Pesanan Bahan Medis Habis Pakai

27
Lampiran 6. E-catalog

Lampiran 7. Form formulir usulan obat masuk fomularium RUSD M. Natsir

28
Lampiran 8. Contoh Faktur Pembelian Obat

29
30

Anda mungkin juga menyukai