Makalah Evaluasi
Makalah Evaluasi
Pendahuluan
Isu tentang akuntabilitas menjadi garis terdepan dalam dialog profesional (Dahir &
Stones, 2003; Gysbers & Henderson, 2003; Myrick, 2003). Konselor sekolah, bekerja tanpa
kerangka kerja dari program BK komprehensif, semakin diminta untuk menunjukkan bahwa
kinerja konselor sekolah memberikan kontribusi untuk keberhasilan siswa, terutama
pencapaian akademik siswa. Tidak hanya konseling sekolah yang diminta menjelaskan apa
yang mereka lakukan, konselor sekolah juga diminta untuk menunjukkan bagaimana dan apa
yang konselor sekolah lakukan untuk membuat perbedaan dalam kehidupan siswa.
Fokus akuntabilitas pada fenomena baru atau yang dimiliki profesi konselor selalu
memberikan perhatian tentang dampak penilaian hasil dari kerja konselor sekolah? Tujuan
artikel ini untuk menjawab pertanyaan ini oleh cacatan evolusi akuntabilitas sebagai
dokumen dalam literatur profesional. Cerita dimulai pada 1920-an, segera setelah BK
diperkenalkan disekolah sebagai bimbingan vokasional pada awal 1900-an. Sebuah contoh
dari literatur pada setiap dekade ditinjau dari 1920 sampai 2003, pertama untuk membuktikan
dari pernyataan fokus tentang perlunya fokus akuntabilitas, dan kemudian, untuk beberapa
rekomendasi bahwa konselor sekolah dapat ikut menjadi akuntabel. Hasil dari tinjauan ini
adalah diberikan dalam bagian pertama artikel. Kemudian contoh dari literatur untuk periode
yang sama dari waktu peninjauan kajian empiris yang menyediakan bukti program BK
memiliki dampak pada kehidupan siswa. Hasil dari tinjauan ini ditunjukkan pada bagian
kedua. Akhirnya, bagian terakhir dari artikel mengidentifikasi beberapa tema dari literatur
yang menggambarkan perlunya kondisi prasyarat untuk terjadinya akuntabilitas.
Sebelum tahun 1920, fokus kerja profesional dalam membangun bimbingan dan
konseling (disebut bimbingan vokasional) di sekolah. Kemajuan yang cepat dibuat dan
berkembang hingga tahun 1920. Pada tahun 1920-an, perhatian tentang akuntabilitas mulai
dinyatakan dalam kajian literatur sebagaimana yang ditunjukkan oleh pernyataan dari Payne
(1924):
Metode apa yang dimiliki bimbingan dan konseling untuk mengukur hasil dari kegiatan
bimbingan? Untuk kelompok bimbingan tertentu, petunjuk yaang salah, atau hanya
kontribusi pengalaman? Evaluator hanya harus bekerja dengan beberapa metode testing
dalam menilai hasil kerja konselor. Jika konselor tidak melakukan, beberapa kelompok
lainnya akan berdampak buruk terhadap hasil kerja konselor.(p.63)
Edgerton and Herr (1924) menggambarkan upaya sekolah dari 143 kota diseluruh
Amerika untuk menyediakan pengorganisasian pendidikan dan kegiatan bimbingan
vokasional dalam perspektif sistem pendidikan di sekolah wilayah Amerika Serikat. Edgerton
and Herr tidak menjelaskan beberapa kajian yang telah selesai untuk menilai dampak
kegiatan bimbingan vokasional, tetapi mengidentifikasi beberapa hasil yang menurut pihak
sekolah dapat dicapai.
Sebagaian besar kinerja akuntabiltas pada 1920 berfokus pada membangun standar
baku untuk menilai lengkap atau tidaknya program bimbingan dan konseling. Myers (1926)
adalah salah satu tokoh yang pertama menyarankan standar tersebut. Myers mengidentifikasi
empat komponen, yang meliputi: menekankan distribusi waktu yang ditunjukkan untuk
setiap kegiatan bimbingan, ketelitianyang ditunjukkan oleh kualitas jenis pekerjaan yang
diselesaikan, dan konsistensi secara organisasi. Edgerton (1929) juga menunjukkan data yang
mengindikasikan bahwa program bimbingan vokasional perlu untuk memuat tujuan dari
kegiatan bimbingan untuk diklaim sebagai kegiatan yang lengkap.
2. Tahun 1930
Tahun 1930 menunjukkan upaya intensif terkait isu akuntabilitas, upaya yang diambil
dimulai pada tahun 1920. Penelitian dari Myers (1926) dan Edgerton (1929) difokuskan pada
pemantapan standar untuk menilai kegiatan bimbingan dan konseling, ketika
dimplementasikan secara bersamaan, akankah merupakan program yang lengkap. Diperlukan
pengembangan standarisasi untuk menilai kelengkapan dimuculkannya program bimbingan
karena bermacam-macam kegiatan yang dilakukan saat ini berada dibawah naungan
bimbingan dan konseling. Proctor (1930) membuat titik ini sebagai berikut:
Salah satu kebutuhan yang besar dilapangan dari bimbingan adalah beberapa cara yang
cukup obyektif dari perbandingan kegiatan bimbingan dari sistem sekolah yang satu
dengan yang lainnya. Hanya dengan cara ini evaluator akan sampai pada perkiraan pada
apa yang merupakan aturan standar untuk melaksanakan program bimbingan dan
konseling. (p.58).
Proctor (1930) mengembangkan sistem score card yang dirancang untuk menilai
apakah kegiatan bimbingan dan konseling berada pada fungsi dan tempat serta cara yang
sebagaimana mestinya. Sistem ini adalah cikal bakal dari konsep hari ini terkait evaluasi
program (audit program). Rujukan untuk aspek akuntabilitas terus muncul dalam beberapa
kajian literatur pada tahun 1930. Hal Ini merupakan pekerjaan penting karena kebutuhan
untuk mengembangkan gagasan yang berlaku umum tentang apa yang merupakan program
lengkap dari bimbingan dan konseling di sekolah.
Hedge dan Hutson (1931) memberikan perhatian pada individu yang terlibat dalam
personil bimbingan "masih begitu sibuk dengan penetapan prosedur bimbingan yang belum
mencapai sikap kritis yang dapat meningkatkan upaya pengukuran hasil yang objektif" (hlm.
508). Fokus pada hasil mendorong sejumlah penulis mulai mengidentifikasi apa yang mereka
rasakan adalah hasil yang diinginkan dari program bimbingan dan konseling. Misalnya,
Christy, Stewart, dan Rosecrance (1930), Hinderman (1930), dan Rosecrance (1930)
mengidentifikasi hasil siswa yang diperoleh siswa sebagai berikut:
Hutson (1935) menyatakan bahwa kebutuhan untuk mengukur hasil bimbingan mulai
menerima penghargaan. “Ini adalah hari..... ketika semua kegiatan sekolah tunduk pada
pengawasan yang teliti, dan administrator dipanggil untuk membenarkan setiap pengeluaran
waktu dan uang dalam operasional sekolah.” (p.21)
3. Tahun 1940
Kajian literatur dari tahun 1940 terus menekankan perlunya evaluasi bimbingan.
Wrenn (1940), menggantikan frasa siswa sebagai personel bekerja untuk bimbingan,
mendesak agar diperlukan studi lebih lanjut. Wrenn merekomendasikan:
Pada tahun 1940, isu terkait jenis pelatihan yang harus diterima konselor sekolah
mendapatkan perhatian yang meningkat. Jager (1948) menunjukkan bahwa sedikit atau tidak
ada sama sekali yang menyebutkan pelatihan dalam evaluasi program dapat ditemukan dalam
kajian literatur. Jager menunjukkan bahwa pelatihan seperti dalam kegiatan evaluasi harus
mengambil dua bentuk: "Program secara keseluruhan, teknik, staf, dan ketentuan administrasi
dalam pelaksanaannya; dan hasil-hasilnya terbukti terhadap konseli (siswa)." (p. 481).
Sebuah dokumen yang menjadi landmark terkait kegiatan evaluasi muncul di tahun
1940 yang ditulis oleh Froehlich (1949), Froehlich meninjau dan mengklasifikasikan 173
kajian sesuai dengan sistem berikut:
6. Tahun 1970
Pada awal tahun 1970, gerakan akuntabilitas semakin intensif. Bersamaan dengan hal
itu, minat dalam pengembangan pendekatan sistematis komprehensif untuk pengembangan
dan manajemen program bimbingan terus meningkat. Konvergensi gerakan-gerakan ini pada
tahun 1970 menyediakan stimulus untuk melanjutkan tugas mendefinisikan perkembangan
bimbingan dalam mengukur terminologi hasil individu-sebagai program dalam dirinya
sendiri bukan sebagai layanan tambahan untuk program lain yang terukur.
Di West coast, McDaniel (1970) mengusulkan sebuah model untuk bimbingan yang
disebut Youth Guidance Systems. Model ini diselenggarakan meliputi tujuan, sasaran,
program, rencana implementasi, dan desain untuk evaluasi. Terkait erat dengan model ini
adalah the Comprehensive Career Guidance System (CCGS) yang dikembangkan oleh
personil di the American Institutes. Penelitian (Jones, Helliwell, Ganschow, & Hamilton,
1971; Jones, Hamilton, Ganschow, Helliwell, & Wolff, 1972). CCGS dirancang untuk secara
sistematis merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program bimbingan. Pada waktu
yang sama, personil di the National Center for Vocational and Technical Education
merancang model behavioral untuk bimbingan karir berdasarkan pendekatan sistematis yang
berfokus pada evaluasi (Campbell et al., 1971). Kemudian, American College Testing
Program (1976) menciptakan model River City Guidance yang juga menekankan evaluasi
hasil program.
Selain pendekatan ini, pendekatan sistematis untuk bimbingan juga dianjurkan pada
PLAN (Program of Learning in Accordance with Needs) dan System of Individualized
Education pada waktu yang sama (Dunn, 1972). Bimbingan dipandang sebagai komponen
utama dari PLAN dan diperlakukan sebagai bagian integral dari program pembelajaran
reguler. Menurut Dunn program bimbingan PLAN "untuk menjadi efektif, harus didasarkan
pada bukti empiris." (Hal. 8)
Bersamaan dengan upaya ini, upaya nasional dimulai untuk membantu negara dalam
mengembangkan dan menerapkan model panduan untuk bimbingan karir, konseling, dan
penempatan serta penyaluran. Pada tahun 1971, the University of Missouri-Columbia
dianugerahi hibah oleh U.S. Office of Education untuk membantu setiap negara, the District
of Columbia dan Puerto Rico dalam mengembangkan model atau panduan untuk
melaksanakan dan mengevaluasi bimbingan karir, konseling, dan program penempatan di
sekolah-sekolah lokal.
Sebagai bagian dari bantuan yang diberikan kepada negara-negara, proyek dilakukan
pada konferensi nasional bulan Januari 1972 dan mengembangkan buku petunjuk (Gysbers &
Moore, 1974) untuk digunakan oleh negara-negara seperti mengembangkan panduan secara
mandiri. Buku panduan menjelaskan bagaimana mengembangkan, melaksanakan, dan
mengevaluasi program bimbingan dan konseling komprehensif. Konsep program yang
dijelaskan dalam buku panduan ini adalah evaluation-based, fokus baik pada proses dan
evaluasi hasil. Empat pertanyaan yang diajukan. Apa yang ingin kita capai? Apa jenis sistem
penyampaian yang dibutuhkan? Apa yang kita berikan dan lakukan? Apa dampaknya?.
Pada tahun 1974, the American Institutes for Research mulai bekerja pada upaya
menyatukan perencanaan program yang sebelumnya dilakukan oleh divisi kesiswaan dari the
California State Department of Education and their own Youth Development Research
Program in Mesa, Arizona, and tempat lain (Jones, Helliwell, & Ganschow, 1975). Hal ini
menghasilkan pengembangan 12 modul pengembangan staf berbasis kompetensi pada
pengembangan program bimbingan karir yang komprehensif untuk K-12. Modul 3, berjudul
Menilai Hasil yang diinginkan (Dayton, t.t.), difokuskan pada kebutuhan untuk program
akuntabel dengan menilai hasil keinginan siswa yang dijabarkan dalam bentuk “konkrit,
terukur, dan bukuan pernyataan yang samar-samar. (Dayton, p. 7).
9. Tahun 2000
Penekanan pada akuntabilitas yang dimulai pada tahun 1920 terus berlanjut dengan
semangat baru dalam dekade pertama abad ke-21. Trevisan dan Hubert (2001) menegaskan
pernyataan yang dibuat selama 20 tahun terakhir mengenai pentingnya evaluasi program dan
memperoleh data pertanggungjawaban mengenai hasil siswa. Foster, Watson, Meeks, dan
Young (2002) juga menegaskan perlunya akuntabilitas konselor sekolah dan menawarkan
desain penelitian single-subject sebagai cara untuk menunjukkan efektivitas. Lapan (2001)
menekankan pentingnya program bimbingan dan konseling komprehensif "dikonsepkan
sebagai results-based systems” (289 p.). Dalam artikelnya Lapan menggambarkan kerangka
kerja untuk perencanaan program bimbingan dan evaluasi. Hughes dan James (2001)
mencatat pentingnya menggunakan data akuntabilitas dengan tim manajemen berbasis Web
dan personil sekolah lainnya. Selain itu, artikel oleh Myrick (2003), Johnson dan Johnson
(2003), dan Dahir dan Stone (2003) dalam edisi Februari 2003 terkait isu Semua Konseling
Profesional di Sekolah menekankan perlunya akuntabilitas.
C. Kajian Empiris
1. Kefauver and Hand
Pada musim gugur 1934, Kefauver dan Hand (1941) melakukan studi yang melibatkan
siswa SMP selama 3 tahun, didukung oleh dana dari Yayasan Carnegie untuk Kemajuan
Pengajaran. Dalam penelitian ini, dua sekolah SMP dari Oakland, California, dan dua SMP
dari Pasadena, California, dipilih. Siswa yang memasuki kelas tujuh pada musim gugur 1934
bertindak sebagai subyek. Salah satu sekolah di setiap kota dipilih sebagai sekolah
eksperimental sedangkan yang kedua dipilih sebagai sekolah kontrol. Enam tes dan dua
inventori dikembangkan oleh Kefauver dan Hand untuk diberikan kepada siswa kelompok
eksperimen dan kontrol pada awal dan akhir penelitian.
Apa temuan penelitian ini? Kefauver dan Hand (1941) melaporkan bahwa terdapat
dampak kecil dalam mendukung sekolah eksperimental memberikan informasi pendidikan,
rekreasi, dan informasi panduan tentang social-civic. Dampak menguntungkan yang lebih
besar yang dicatat dalam informasi panduan kesehatan. Bahkan dampak menguntungkan
yang lebih besar tercatat dalam menyampaikan informasi bimbingan kejuruan dan informasi
tentang bimbingan yang salah. Kepentingan tertentu untuk kita hari ini adalah bahwa "siswa
di sekolah-sekolah eksperimental biasanya membuat keuntungan sedikit lebih besar nilai rata-
rata dalam the Stanford Achievement Test yang dilakukan (1) dalam situasi kontrol yang
sesuai, atau (2) mereka yang telah lulus oleh dua sekolah eksperimental sebelum periode 3
tahun selama penelitian yang dilaporkan dalam bagian ini dari volume (jumlah pertemuan)
dilakukan (Kefauver & Tangan, 1941, hlm. 215)
Studi utama lainnya dari bimbingan dimulai pada tahun ajaran 1936-1937 di
Arlington, Massachusetts (Rothney & Roens, 1950). Siswa kelas delapan dibagi menjadi
kelompok yang dipandu (experimentals) dan kelompok terarah (kontrol). Pada awal
penelitian terdapat 129 siswa di masing-masing kelompok. Kelompok eksperimen menerima
bantuan intensif oleh konselor, sedangkan kelompok kontrol tidak menerima bantuan selain
bantuan rutin dalam memilih pembelajaran dan membuat rencana pendidikan serta kejuruan
yang telah tersedia sebelumnya.
Perbandingan dibuat antara dua kelompok akhir tingkat atas (Juni 1941). Ada 81
siswa dalam kelompok eksperimen dan 90 siswa pada kelompok kontrol saat wisuda pada
bulan Juni 1941. Perbandingan dibuat pada kriteria sebagai berikut: drop-out, kegagalan
subjek, kegagalan kelas, perubahan kurikulum, kedudukan dalam kelulusan (perkiraan secara
menyeluruh pencapaian di sekolah) dan masuk ke perguruan tinggi. Temuannya adalah
sebagai berikut:
1. Insiden drop-out dalam dua kelompok itu kira-kira sama. Kegiatan bimbingan
tampaknya tidak berpengaruh terhadap retensi siswa.
2. Tingkat kegagalan subjek dan jumlah rata-rata kegagalan per subjek menurun lebih
cepat pada kelompok eksperimen dibandingkan kelompok kontrol.
3. Tingkat kegagalan kelas lebih tinggi pada kelompok kontrol pada kelas 10, yang paling
utama adalah tahun pertama SMA. Tampaknya masuk akal untuk mengasumsikan
bahwa tingkat kegagalan kelas yang lebih rendah dari kelompok eksperimen adalah
sebagian hasil dari kegiatan bimbingan.
4. Lebih sedikit siswa dalam kelompok eksperimen membuat perubahan kurikulum, dan
jumlah total perubahan yang mereka buat adalah kurang dari pada kelompok kontrol.
Lebih dari siswa yang dibimbing berada di kurikulum perguruan tinggi tetap di
dalamnya. Keputusan permanen yang relatif lebih dibuat oleh kelompok eksperimen
mungkin disebabkan sebagian kegiatan bimbingan.
5. Makna dari penilaian skolastik kelompok eksperimen lebih tinggi dari pada elompok
kontrol dengan margin statistik yang dapat diandalkan.
6. Signifikansi presentase yang lebih luas dari kelompok eksperimen dari kelompok
kontrol yang diakui lembaga pendidikan tinggi. (Rothney & Roens, 1950, hlm. 216-
217).
Hasil tambahan dari penelitian ini dikumpulkan dengan membandingkan jawaban atas
pertanyaan yang diberikan kepada kelompok siswa eksperimen dan kontrol selama tingkat
akhir pendidikan mereka (85 eksperimen dan 94 kontrol) dan 8 bulan kemudian (85
eksperimen dan 82 kontrol). Pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan pendidikan dan
pekerjaan. Apa hasilnya? Tanggapan menunjukkan bahwa siswa dalam kelompok eskperimen
yang lebih baik dilengkapi dengan informasi tentang tujuan mereka, lebih baik
penyesuaiannya dan lebih percaya diri, lebih akrab dengan lembaga masyarakat, lebih aman
tentang masa depan mereka, dan lebih puas dengan pilihan sekolah atau pekerjaan.
3. Rothney
Studi utama dari tahun 1950 mengenai dampak bimbingan di sekolah terjadi di negara
bagian Wisconsin. Hal ini dikenal sebagai kajian konseling (Rothney, 1958). Rincian lengkap
dari penelitian itu diterbitkan dalam bukunya Guidance Practices and Results. 870 siswa di
sekolah dari empat komunitas di Wisconsin ditempatkan di salah satu kelompok eksperimen
atau kelompok kontrol. Kelompok eksperimen menerima program bimbingan secara intensif
sementara kontrol tidak.
Sejak subjek konstrol dan eksperimen dihadirkan di sekolah yang sama di kota yang
sama, pertanyaan itu muncul tentang kontaminasi. Rothney (1958) mengakui bahwa
kontaminasi mungkin terjadi, tetapi mengingat fakta bahwa ini adalah pengaturan alami, itu
tidak bisa dihindari. Dia menyatakan bahwa ia memiliki “bahkan mengamati anak laki-laki
dalam kelompok eksperimen dengan lengan disekitar kelompok kontrol anak perempuan,
disamping keluar pada wisata malam hari dan diasumsikan bahwa beberapa 'kontaminasi'
mungkin telah berdampak" (hal. 61).
Pada hari wisuda bulan Juni 1951, ada 690 lulusan. Tiga langkah tindak lanjut yang
perlu diambil adalah: setelah 6 bulan lulus SMA, satu-setengah tahun setelah lulus, dan 5
tahun setelah lulus pada tahun 1956. Seratus persen siswa (685) yang berpatisipasi dalam
tindak lanjut akhir. Berikut adalah temuan dari studi penting ini. Siswa yang menerima
konseling:
1. Dicapai catatan akademis sedikit lebih tinggi di sekolah SMA dan pendidikan pasca-
sekolah SMA.
2. Menunjukkan banyak kenyataan tentang kekuatan dan kelemahan mereka sendiri pada
saat mereka lulus dari sekolah SMA.
3. Kurang puas dengan pengalaman di SMA.
4. Memiliki cita-cita kejuruan yang berbeda.
5. Lebih konsisten dalam menunjukkan, masuk ke dalam, dan dan sisanya dalam pilihan
kejuruan mereka, diklasifikasikan oleh tempat.
6. Membuat kemajuan lebih dalam pekerjaan selama periode 5 tahun setelah lulus SMA.
7. Lebih mungkin untuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, untuk tetap
pascasarjana, dan untuk merencanakan kelanjutan pendidikan tinggi.
8. Lebih puas dengan pendidikan pasca SMA.
9. Menyatakan kepuasan yang lebih besar dengan status 5 tahun setelah SMA dan lebih
puas jika mengingat kembali pengalaman pasca SMA.
10. Berpartisipasi dalam kegiatan self-improvement setelah menyelesaikan SMA.
11. Melihat kembali hal yang lebih menguntungkan dari konseling yang telah mereka
peroleh (Rothney, 1958, hlm. 479- 480).
Ketika begitu banyak hal kecil dan beberapa perbedaan besar terkait aturan hipotesis
oleh personil bimbingan dapat diperoleh di bawah kondisi konseling SMA yang terwakili.
Nampaknya mungkin perbedaan yang lebih besar akan muncul jika konseling dilakukan
dalam keadaan yang lebih ideal. Keadaan tampak seperti membutuhkan penerimaan lebih
dari konseling sebagai bagian rutin dari pengalaman sekolah menengah, dukungan lebih
antusias oleh orang tua dan personel sekolah, dan teknik yang lebih baik dari evaluasi. (Pp.
482-483)
Mengapa akuntabilitas menjadi topik perhatian khusus yang panjang? Pada saat ini
orang mungkin berpikir bahwa topik ini tidak lagi memerlukan perhatian profesional karena
studi empiris telah menunjukkan bahwa bimbingan dan konseling tidak membuat perbedaan
dalam kehidupan siswa. Gysbers percaya bahwa topik terus muncul kembali karena
akuntabilitas bukanlah fenomena satu kali. Akuntabilitas merupakan tanggung jawab
berkelanjutan profesi di tingkat nasional, negara bagian, dan tingkat lokal. Jika akuntabilitas
tidak pernah berakhir, apa yang dapat dipelajari dari literatur yang luas pada akuntabilitas
dari 80 tahun terakhir yang dapat membantu konselor sekolah memenuhi kewajiban
akuntabilitas mereka hari ini? Ruang tidak mengizinkan presentasi rinci mengenai bagaimana
teknik akuntabilitas yang spesifik dan metode masa lalu dapat diterapkan untuk dunia
sekarang ini. Namun ada beberapa tema dominan yang muncul secara konsisten dalam
literatur akuntabilitas yang berbicara dengan kondisi prasyarat yang diperlukan yang harus
ada jika akuntabilitas adalah untuk dicapai.
Tema pertama berkaitan dengan pola pikir bahwa individu memiliki akuntabilitas.
Beberapa melihatnya sebagai ancaman. literatur menjelaskan bahwa adalah penting untuk
menyingkirkan pikiran dari fobia akuntabilitas, ketakutan terus-menerus dari akuntabilitas
yang sering menyebabkan keinginan kuat untuk menghindarinya. Apa yang diperlukan
adalah pola pikir bahwa menjadi akuntabel hanyalah sebuah bagian dari pekerjaan bimbingan
dan konseling yang dilakukan di sekolah-sekolah setiap hari. Ini adalah cara bahwa pekerjaan
ini dapat ditingkatkan dan menunjukkan efektifitasnya. Hal ini penting untuk memulai setiap
tahun ajaran, semester, bulan, minggu, dan hari dengan menjadi berorientasi pada hasil. Saat
memberikan kegiatan dan layanan bimbingan dan konseling, selalu dimulai dengan terlebih
dahulu mengidentifikasi hasil yang diharapkan.
Tema kedua berfokus pada hasil bimbingan dan konseling di sekolah-sekolah. Jika
pertanyaan yang timbul menunjukkan hasil yang memprihatinkan, meninjau distrik sekolah
lokal atau rencana perbaikan bangunan lokal. Rencana tersebut berisi hasil bahwa kabupaten
setempat telah dianggap penting. Kebanyakan rencana berisi hasil upaya program bimbingan
dan konseling atau kegiatan dan jasa yang dapat memberikan kontribusi. Ada bahasa yang
luas yang menggambarkan kemungkinan hasil bimbingan dan konseling yang tersedia dalam
literatur kembali ke tahun 1930-an.
Tema ketiga dan terakhir adalah bahwa akuntabilitas tidak cukup dengan bicara.
Penting untuk diingat bahwa mengekspresikan kekhawatiran tentang akuntabilitas diperlukan
tetapi tidak cukup. Ini saatnya untuk bertindak. Ini adalah waktu untuk konselor sekolah dan
para pemimpin di semua tingkatan untuk menerima tantangan akuntabilitas. Masa lalu
memiliki banyak hal untuk menawarkan kami mengenai tantangan ini dan bagaimana
mengatasinya. Mari kita menggunakan kebijaksanaan dari masa lalu untuk mengatasi
tantangan akuntabilitas hari ini dan besok.
Kajian Empiris Evaluasi Pengaruh Bimbingan dan Konseling