Anda di halaman 1dari 19

A.

Pendahuluan

Perubahan dan perkembangan akuntabilitas belaksanaan program bimbingan dan


konseling profesinal dapat dilikaji dari jejak artikel evolusi akuntabilitas program bimbingan
dan konseling yang dimulai dari tahun 1920 sampai 2003. Fokus diberikan untuk
menunjukkan perhatian akan kebutuhan akuntabilitas sebagai rekomendasi untuk konselor
sekolah tentang bagaimana menjadi konselor yang akuntabel. Hasil penelitian empiris
menunjukkan bukti bahwa manfaat dari program bimbingan dan konseling yang dirancang.

Isu tentang akuntabilitas menjadi garis terdepan dalam dialog profesional (Dahir &
Stones, 2003; Gysbers & Henderson, 2003; Myrick, 2003). Konselor sekolah, bekerja tanpa
kerangka kerja dari program BK komprehensif, semakin diminta untuk menunjukkan bahwa
kinerja konselor sekolah memberikan kontribusi untuk keberhasilan siswa, terutama
pencapaian akademik siswa. Tidak hanya konseling sekolah yang diminta menjelaskan apa
yang mereka lakukan, konselor sekolah juga diminta untuk menunjukkan bagaimana dan apa
yang konselor sekolah lakukan untuk membuat perbedaan dalam kehidupan siswa.

Fokus akuntabilitas pada fenomena baru atau yang dimiliki profesi konselor selalu
memberikan perhatian tentang dampak penilaian hasil dari kerja konselor sekolah? Tujuan
artikel ini untuk menjawab pertanyaan ini oleh cacatan evolusi akuntabilitas sebagai
dokumen dalam literatur profesional. Cerita dimulai pada 1920-an, segera setelah BK
diperkenalkan disekolah sebagai bimbingan vokasional pada awal 1900-an. Sebuah contoh
dari literatur pada setiap dekade ditinjau dari 1920 sampai 2003, pertama untuk membuktikan
dari pernyataan fokus tentang perlunya fokus akuntabilitas, dan kemudian, untuk beberapa
rekomendasi bahwa konselor sekolah dapat ikut menjadi akuntabel. Hasil dari tinjauan ini
adalah diberikan dalam bagian pertama artikel. Kemudian contoh dari literatur untuk periode
yang sama dari waktu peninjauan kajian empiris yang menyediakan bukti program BK
memiliki dampak pada kehidupan siswa. Hasil dari tinjauan ini ditunjukkan pada bagian
kedua. Akhirnya, bagian terakhir dari artikel mengidentifikasi beberapa tema dari literatur
yang menggambarkan perlunya kondisi prasyarat untuk terjadinya akuntabilitas.

Akuntabilitas merujuka kepada fungsi responsibility dari konselor dalam


mengimpelementasi program bimbingan dan konseling. Eksistensi dari kerja profesional
konselor dapat diukur melalui kualitas layanan yang diberikan kepada siswa. Menjadi
konselor yang akuntabel bukan hanya bagian dari tuntutan komponen formal dalam tahapan
evaluasi, tetapi akuntabilitas dapat meningkatkan kesadaran moral konselor sekolah dalam
menunjukkan transparansi dalam kegiatan layanan bimbingan dan konseling berdasarkan
kode etik yang berlaku.

B. Fokus dan Rekomendasi tentang Akuntabilitas


1. Tahun 1920

Sebelum tahun 1920, fokus kerja profesional dalam membangun bimbingan dan
konseling (disebut bimbingan vokasional) di sekolah. Kemajuan yang cepat dibuat dan
berkembang hingga tahun 1920. Pada tahun 1920-an, perhatian tentang akuntabilitas mulai
dinyatakan dalam kajian literatur sebagaimana yang ditunjukkan oleh pernyataan dari Payne
(1924):

Metode apa yang dimiliki bimbingan dan konseling untuk mengukur hasil dari kegiatan
bimbingan? Untuk kelompok bimbingan tertentu, petunjuk yaang salah, atau hanya
kontribusi pengalaman? Evaluator hanya harus bekerja dengan beberapa metode testing
dalam menilai hasil kerja konselor. Jika konselor tidak melakukan, beberapa kelompok
lainnya akan berdampak buruk terhadap hasil kerja konselor.(p.63)

Edgerton and Herr (1924) menggambarkan upaya sekolah dari 143 kota diseluruh
Amerika untuk menyediakan pengorganisasian pendidikan dan kegiatan bimbingan
vokasional dalam perspektif sistem pendidikan di sekolah wilayah Amerika Serikat. Edgerton
and Herr tidak menjelaskan beberapa kajian yang telah selesai untuk menilai dampak
kegiatan bimbingan vokasional, tetapi mengidentifikasi beberapa hasil yang menurut pihak
sekolah dapat dicapai.

Sebagaian besar kinerja akuntabiltas pada 1920 berfokus pada membangun standar
baku untuk menilai lengkap atau tidaknya program bimbingan dan konseling. Myers (1926)
adalah salah satu tokoh yang pertama menyarankan standar tersebut. Myers mengidentifikasi
empat komponen, yang meliputi: menekankan distribusi waktu yang ditunjukkan untuk
setiap kegiatan bimbingan, ketelitianyang ditunjukkan oleh kualitas jenis pekerjaan yang
diselesaikan, dan konsistensi secara organisasi. Edgerton (1929) juga menunjukkan data yang
mengindikasikan bahwa program bimbingan vokasional perlu untuk memuat tujuan dari
kegiatan bimbingan untuk diklaim sebagai kegiatan yang lengkap.

2. Tahun 1930

Tahun 1930 menunjukkan upaya intensif terkait isu akuntabilitas, upaya yang diambil
dimulai pada tahun 1920. Penelitian dari Myers (1926) dan Edgerton (1929) difokuskan pada
pemantapan standar untuk menilai kegiatan bimbingan dan konseling, ketika
dimplementasikan secara bersamaan, akankah merupakan program yang lengkap. Diperlukan
pengembangan standarisasi untuk menilai kelengkapan dimuculkannya program bimbingan
karena bermacam-macam kegiatan yang dilakukan saat ini berada dibawah naungan
bimbingan dan konseling. Proctor (1930) membuat titik ini sebagai berikut:

Salah satu kebutuhan yang besar dilapangan dari bimbingan adalah beberapa cara yang
cukup obyektif dari perbandingan kegiatan bimbingan dari sistem sekolah yang satu
dengan yang lainnya. Hanya dengan cara ini evaluator akan sampai pada perkiraan pada
apa yang merupakan aturan standar untuk melaksanakan program bimbingan dan
konseling. (p.58).

Proctor (1930) mengembangkan sistem score card yang dirancang untuk menilai
apakah kegiatan bimbingan dan konseling berada pada fungsi dan tempat serta cara yang
sebagaimana mestinya. Sistem ini adalah cikal bakal dari konsep hari ini terkait evaluasi
program (audit program). Rujukan untuk aspek akuntabilitas terus muncul dalam beberapa
kajian literatur pada tahun 1930. Hal Ini merupakan pekerjaan penting karena kebutuhan
untuk mengembangkan gagasan yang berlaku umum tentang apa yang merupakan program
lengkap dari bimbingan dan konseling di sekolah.

Hedge dan Hutson (1931) memberikan perhatian pada individu yang terlibat dalam
personil bimbingan "masih begitu sibuk dengan penetapan prosedur bimbingan yang belum
mencapai sikap kritis yang dapat meningkatkan upaya pengukuran hasil yang objektif" (hlm.
508). Fokus pada hasil mendorong sejumlah penulis mulai mengidentifikasi apa yang mereka
rasakan adalah hasil yang diinginkan dari program bimbingan dan konseling. Misalnya,
Christy, Stewart, dan Rosecrance (1930), Hinderman (1930), dan Rosecrance (1930)
mengidentifikasi hasil siswa yang diperoleh siswa sebagai berikut:

 Lebih sedikit siswa yang putus sekolah


 Peningkatan standar beasiswa
 Moral yang lebih baik dalam diri siswa
 Kehidupan sekolah yang serba lebih baik
 Sedikit kegagalan siswa dan penarikan subjek (dikembalikannya siswa kepada orang
tua).
 Orang muda (remaja) yang memiliki informasi yang lebih baik tentang masa depan.
 Penyesuaian yang memuaskan dari lulusan dalam kehidupan masyarakat dan
pekerjaan, serta perguruan tinggi atau universitas.
 Sedikit kasus disiplin
 Pilihan lebih cerdas tentang tujuan
 Kebiasaan belajar yang lebih baik

Hutson (1935) menyatakan bahwa kebutuhan untuk mengukur hasil bimbingan mulai
menerima penghargaan. “Ini adalah hari..... ketika semua kegiatan sekolah tunduk pada
pengawasan yang teliti, dan administrator dipanggil untuk membenarkan setiap pengeluaran
waktu dan uang dalam operasional sekolah.” (p.21)

Tracy (1937) menawarkan serangkaian pertanyaan kepada administrator yang


digunakan untuk meninjau program bimbingan di sekolah. Salah satu pertanyaan adalah
"Apakah ada upaya terus-menerus untuk mengevaluasi efektivitas program bimbingan?”
(p.30). Altstetter (1938) menyatakan bahwa tidak ada program di sekolah yang lebih sulit
untuk dievaluasi daripada layanan bimbingan. Akhirnya, Becker (1937) mencatat sejumlah
kriteria yang dapat digunakan untuk menilai efektivitas bimbingan. Dia juga mengidentifikasi
sejumlah cara bahwa kriteria ini dapat diukur.

3. Tahun 1940

Kajian literatur dari tahun 1940 terus menekankan perlunya evaluasi bimbingan.
Wrenn (1940), menggantikan frasa siswa sebagai personel bekerja untuk bimbingan,
mendesak agar diperlukan studi lebih lanjut. Wrenn merekomendasikan:

Konselor dapat mengembangkan banyak kajian yang akan digunakan selama


periode satu tahun dalam konseling siswa yang berkaitan dengan prosedur personil
tertentu; menggunakan kelompok kontrol yang cocok pada aspek yang tidak dapat
dinyatakan secara jelas seperti mengukur kepribadian serta pengukuran objektif seperti
tes dan nilai; mengevaluasi keberhasilan dari pekerjaan yang dilakukan dengan siswa
dalam konteks yang lebih luas dari penyesuaian dalam kehidupan sehari-hari,
menunjukkan sejauh mana membantu siswa memiliki penerimaan secara efektif dalam
after-institutional environment (lingkungan masyarakat) serta dalam lingkungan sekolah.
(p. 414).

Pada tahun 1940, isu terkait jenis pelatihan yang harus diterima konselor sekolah
mendapatkan perhatian yang meningkat. Jager (1948) menunjukkan bahwa sedikit atau tidak
ada sama sekali yang menyebutkan pelatihan dalam evaluasi program dapat ditemukan dalam
kajian literatur. Jager menunjukkan bahwa pelatihan seperti dalam kegiatan evaluasi harus
mengambil dua bentuk: "Program secara keseluruhan, teknik, staf, dan ketentuan administrasi
dalam pelaksanaannya; dan hasil-hasilnya terbukti terhadap konseli (siswa)." (p. 481).

Sebuah dokumen yang menjadi landmark terkait kegiatan evaluasi muncul di tahun
1940 yang ditulis oleh Froehlich (1949), Froehlich meninjau dan mengklasifikasikan 173
kajian sesuai dengan sistem berikut:

1. Kriteria eksternal, the do-you-do-this? Method


2. Tindak lanjut, what-happened-then? method.
3. Pendapat konseli, the what-do-you-think? method.
4. Pendapat ahli, the “Information Please” method.
5. teknik khusus, the little-little method.
6. Dalam perubahan kelompok, the before-and-after method.
7. Antara perubahan kelompok, the what’s-the-difference? method. (p. 2)

Froehlich (1949) menyimpulkan tinjauannya dengan menyatakan bahwa banyak


pekerjaan evaluasi yang diperlukan. Froehlich memberikan perhatian tentang kurangnya
kriteria evaluasi yang sesuai dan kebutuhan untuk metode yang memenuhi standar penelitian
yang diterima, tetapi belum dapat digunakan oleh praktisi.
"Sejak awal lahirnya gerakan bimbingan telah difokuskan dengan hal pokok yang
terkait pembentukan filsafat, pengembangan instrumen dan teknik, serta organisasi program -
dengan mengesampingkan evaluasi hasil. Wilson dalam bukunya yang berjudul, Prosedur
dalam Mengevaluasi Program Bimbingan, memberikan fokus pada prosedur evaluasi yang
berbeda termasuk penggunaan survei, kuesioner, wawancara, observasi, dan self-evaluations.
Kemudian pada tahun 1940, Wrenn (1947) sekali lagi berbicara tentang kebutuhan untuk
mengevaluasi layanan yang dibeikan oleh personil bimbingan dan konseling (evaluasi
personil). Wrenn menyatakan bahwa “baik konselor (personil) maupun masyarakat telah
menyadari kebutuhan untuk evaluasi, tetapi sebagai masyarakat menjadi lebih cerdas tentang
apa yang konselor lakukan dan menuntut bukti melalui nilai serta konselor harus siap untuk
memberikan itu”. (p. 512)
Travers (1949), dalam sebuah artikel panjang yang meninjau sejumlah isu seputar
evaluasi bimbingan, menyatakan bahwa:
Progres program bimbingan dan konseling akan mengalami kelambatan sampai
personil bimbingan datang untuk mengakui bahwa bimbingan sebagai situasi belajar
yang dapat diselidiki oleh metode yang dikembangkan untuk menyelidiki situasi belajar
lainnya. Metode ini melibatkan tujuan spesifik pembelajaran yang akan dicapai,
sarana/cara untuk mencapai tujuan tersebut, pemilihan kriteria untuk menentukan
apakah tujuan pembelajaran telah dicapai, dan ketentuan untuk mengendalikan
variabel yang relevan. Melalui banyak penelitian bimbingan yang dilakukan mengikuti
langkah-langkah tersebut, meka sedikit pengetahuan tertentu dari apa yang sebenarnya
dicapai dalam bimbingan. (p. 223)
4. Tahun 1950
Kegiatan Bimbingan dan konseling di tahun 1950 telah tiga kali ditinjau dalam
Tinjauan Penelitian Pendidikan. Wagner, Arbuckle, & Carnes (1951) mencatat bahwa terjadi
peningkatan jumlah kajian bimbingan selama periode 3 tahun, fokus dari studi ini terbatas
pada bagian-bagian tertentu dari bimbingan. Wagner, Arbuckle, & Carnes menekankan
perlunya "untuk mengevaluasi keseluruhan program serta tahapan tertentu atau tahapan yang
terisolasi" (p. 106). Kemudian, McDaniel (1954), dalam tinjauan literaturnya selama 3 tahun,
menunjukkan bahwa penelitian yang dilakukan terutama pada aspek proses program
bimbingan dan penelitian lebih lanjut diperlukan pada efektivitas berbagai struktur organisasi
untuk bimbingan. Akhirnya Cottle (1957) melaporkan beberapa studi yang menunjukkan
jumlah program bimbingan di sekolah telah berdampak pada kehidupan siswa.
5. Tahun 1960
Pada tahun 1958, rancangan Undang-Undang Pendidikan Pertahanan Nasional
(NDEA) menjadi undang-undang. Tidak seperti sejak diberlakukannya Undang-Undang
Pendidikan Kejuruan tahun 1946 (sering disebut sebagai George-Barden Act) menggunakan
hukum federal yang memiliki banyak dampak pada bidang bimbingan dan konseling. NDEA
menyediakan dana bagi negara untuk pengawas kegiatan bimbingan, program pengujian
seluruh negara bagian, dan pelatihan bagi individu untuk menjadi konselor sekolah melalui
lembaga summer and yeras-long. Didorong oleh NDEA, tahun 1960 dimulai periode
ekspansi yang cepat untuk bimbingan di sekolah, khususnya di tingkat SD.
Tahun 1960 juga munculnya gerakan akuntabilitas dalam pendidikan. Lembaga
Pendidikan bertanggung jawab untuk hasil dari proses pendidikan, begitu juga kegiatan
bimbingan. Jelas bahwa hal itu diperlukan konselor sekolah untuk tujuan bimbingan yang
terukur dan kemudian menunjukkan bagaimana tujuan tersebut terkait dengan tujuan
pendidikan. Itu juga jelas bahwa penilaian dari program bimbingan berdasarkan pengaruhnya
terhadap siswa.
Pada tahun 1961, Wellman dan Twiford menyiapkan buletin untuk the U.S. Office of
Education (USOE) dan menguji evaluasi program. Buletin ini merupakan tanggapan terhadap
kebutuhan di Judul V-I-I NDEA yang mewajibkan negara-negara untuk meninjau dan
mengevaluasi setiap tahun, program lokal bimbingan dan konseling. Buletin merangkum
rekomendasi dari para peserta melalui serangkaian lokakarya yang diselenggarakan pada
tahun 1959 mengenai evaluasi program bimbingan sekolah. Ini memberikan beberapa hasil
yang diinginakan siswa dari program bimbingan, saran untuk pengumpulan data, dan
memberikan saran metode prosedural yang dapat digunakan dalam studi siswa. Hasil siswa
yang diidentifikasi adalah:
1. Apakah siswa mengembangkan pemahaman yang lebih luas dari kemampuan, bakat,
dan minat mereka?
2. Adalah siswa, dan orang tua mereka, sepenuhnya menyadari peluang dan persyaratan
untuk pendidikan dan karir?
3. Apakah siswa memilih program, dan mencapainya, sejalan dengan kemampuan, bakat,
minat dan kesempatan mereka?
4. Apakah para pelajar yang mampu melakukannya menyelesaikan sekolah menengah?
5. Apakah siswa yang mampu melakukannya melanjutkan pendidikan di luar sekolah
menengah?
6. Apakah para siswa yang melanjutkan pendidikan di luar sekolah menengah sukses
dalam kegiatan pendidikan mereka?
7. Adalah angka yang signifikan dari siswa khusus yang terampil mendapatkan latar
belakang yang lebih luas dalam matematika, sains, dan bahasa asing? (Wellman &
Twiford, 1961, p. 26)
The USOE terus memberikan perhatian pada evaluasi bimbingan dan konseling
dengan mensponsori seminar penelitian di University of Georgia pada tahun 1961 dan di
University of Michigan pada tahun 1962. Fokus dari seminar ini adalah pada masalah dalam
mengevaluasi efektivitas program bimbingan. Pada tahun 1963, USOE memprakarsai
permohonan usulan untuk mengevaluasi efektivitas bimbingan yang berfokus pada hasil
dengan menggunakan rekomendasi dari seminar ini. Charles Neidt (1965) dianugerahi
kontrak untuk mengembangkan desain penelitian sementara Fred Proff (1965) mendapatkan
kontrak untuk melakukan tinjauan literatur.
Dalam laporannya, Neidt (1965) merekomendasikan bahwa tujuan Nasional kajian
yang diusulkan untuk kegiatan Bimbingan harus "mengidentifikasi faktor-faktor dari proses
bimbingan yang unik terkait dengan perubahan perilaku siswa" (hal. 2). Seperti dilaporkan
dalam Wellman dan Moore (. 1975, p 5), desain penelitian Neidt disarankan memiliki empat
fase:
1. Perkembangan taksonomi dan definisi operasional variabel yang akan dimasukkan
dalam masing-masing empat domain variabel, yaitu, proses, kriteria, siswa, dan
situasional.
2. Instrumentasi dan uji coba lapangan instrumen.
3. Pemilihan sampel.
4. Menugmpulkan data and analysis.
(Wellman & Moore)
Salah satu hasil dari karya Wellman dan rekan-rekannya adalah pengembangan dari
model sistem untuk evaluasi disertai dengan taksonomi tujuan bimbingan yang
diklasifikasikan dalam tiga domain yaitu pendidikan, kejuruan, dan pembangunan sosial.
Model dan taksonomi menyediakan dasar untuk sejumlah model evaluasi yang mulai muncul
pada akhir tahun 1960 dan awal 1970. Sebuah Panduan Proses Pengembangan Tujuan,
awalnya diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Negara bagian California pada tahun 1970
dan kemudian oleh the California Personnel and Guidance (Sullivan & O'Hare, 1971),
adalah contoh dari satu model tersebut.

Dalam serangkaian tinjauan tentang evaluasi bimbingan dan konseling yang


diterbitkan pada tahun 1960 dalam Tinjauan Penelitian Pendidikan oleh Rothney dan Farwell
(1960), Patterson (1963), Struwig dan Farwell (1966), dan Gelatt (1969), diskusi berpusat
tentang perlunya evaluasi dan kurangnya bukti bahwa itu terjadi. Rothney dan Farwell
menyatakan bahwa "layanan bimbingan, seperti dalam bidang pendidikan, sebagian besar
masih ditawarkan pada dasar harapan dan keyakinan" (hlm. 168). Strowig dan Farwell sangat
peduli tentang kurang total dalam program penelitian.

6. Tahun 1970

Pada awal tahun 1970, gerakan akuntabilitas semakin intensif. Bersamaan dengan hal
itu, minat dalam pengembangan pendekatan sistematis komprehensif untuk pengembangan
dan manajemen program bimbingan terus meningkat. Konvergensi gerakan-gerakan ini pada
tahun 1970 menyediakan stimulus untuk melanjutkan tugas mendefinisikan perkembangan
bimbingan dalam mengukur terminologi hasil individu-sebagai program dalam dirinya
sendiri bukan sebagai layanan tambahan untuk program lain yang terukur.

Di West coast, McDaniel (1970) mengusulkan sebuah model untuk bimbingan yang
disebut Youth Guidance Systems. Model ini diselenggarakan meliputi tujuan, sasaran,
program, rencana implementasi, dan desain untuk evaluasi. Terkait erat dengan model ini
adalah the Comprehensive Career Guidance System (CCGS) yang dikembangkan oleh
personil di the American Institutes. Penelitian (Jones, Helliwell, Ganschow, & Hamilton,
1971; Jones, Hamilton, Ganschow, Helliwell, & Wolff, 1972). CCGS dirancang untuk secara
sistematis merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program bimbingan. Pada waktu
yang sama, personil di the National Center for Vocational and Technical Education
merancang model behavioral untuk bimbingan karir berdasarkan pendekatan sistematis yang
berfokus pada evaluasi (Campbell et al., 1971). Kemudian, American College Testing
Program (1976) menciptakan model River City Guidance yang juga menekankan evaluasi
hasil program.

Selain pendekatan ini, pendekatan sistematis untuk bimbingan juga dianjurkan pada
PLAN (Program of Learning in Accordance with Needs) dan System of Individualized
Education pada waktu yang sama (Dunn, 1972). Bimbingan dipandang sebagai komponen
utama dari PLAN dan diperlakukan sebagai bagian integral dari program pembelajaran
reguler. Menurut Dunn program bimbingan PLAN "untuk menjadi efektif, harus didasarkan
pada bukti empiris." (Hal. 8)

Bersamaan dengan upaya ini, upaya nasional dimulai untuk membantu negara dalam
mengembangkan dan menerapkan model panduan untuk bimbingan karir, konseling, dan
penempatan serta penyaluran. Pada tahun 1971, the University of Missouri-Columbia
dianugerahi hibah oleh U.S. Office of Education untuk membantu setiap negara, the District
of Columbia dan Puerto Rico dalam mengembangkan model atau panduan untuk
melaksanakan dan mengevaluasi bimbingan karir, konseling, dan program penempatan di
sekolah-sekolah lokal.

Sebagai bagian dari bantuan yang diberikan kepada negara-negara, proyek dilakukan
pada konferensi nasional bulan Januari 1972 dan mengembangkan buku petunjuk (Gysbers &
Moore, 1974) untuk digunakan oleh negara-negara seperti mengembangkan panduan secara
mandiri. Buku panduan menjelaskan bagaimana mengembangkan, melaksanakan, dan
mengevaluasi program bimbingan dan konseling komprehensif. Konsep program yang
dijelaskan dalam buku panduan ini adalah evaluation-based, fokus baik pada proses dan
evaluasi hasil. Empat pertanyaan yang diajukan. Apa yang ingin kita capai? Apa jenis sistem
penyampaian yang dibutuhkan? Apa yang kita berikan dan lakukan? Apa dampaknya?.

Pada tahun 1974, the American Institutes for Research mulai bekerja pada upaya
menyatukan perencanaan program yang sebelumnya dilakukan oleh divisi kesiswaan dari the
California State Department of Education and their own Youth Development Research
Program in Mesa, Arizona, and tempat lain (Jones, Helliwell, & Ganschow, 1975). Hal ini
menghasilkan pengembangan 12 modul pengembangan staf berbasis kompetensi pada
pengembangan program bimbingan karir yang komprehensif untuk K-12. Modul 3, berjudul
Menilai Hasil yang diinginkan (Dayton, t.t.), difokuskan pada kebutuhan untuk program
akuntabel dengan menilai hasil keinginan siswa yang dijabarkan dalam bentuk “konkrit,
terukur, dan bukuan pernyataan yang samar-samar. (Dayton, p. 7).

Pine (1975) melanjutkan dalam artikelnya untuk mengidentifikasi kriteria yang


biasanya digunakan untuk menetapkan bahwa perubahan perilaku pada siswa telah terjadi di
tingkat sekolah dasar sebagai pengaruh dalam keterlibatan proses konseling.
1. Prestasi akademik
2. Peningkatan nilai rata-rata
3. Peningkatan dalam membaca
4. Hubungan dengan teman
5. Penyesuaian Pribadi
6. Pelayanan Sekolah
7. Penyesuaian di Sekolah
8. Sikap di Sekolah
9. Kecemasan di sekolah
10. Konsep diri
11. Self-esteem
12. Self-undestanding
13. Hubungan Guru-murid
14. Pengurangan perilaku yang tidak pantas
15. Skor tes kecerdasan
16. Menetapkan tujuan yang realistis (p. 138)
Pine (1975) juga mengidentifikasi metode yang biasanya digunakan untuk
mengevaluasi efektivitas program konseling sekolah dasar, yaitu:
1. The experimental approach—“after-only” design, the “before-and-after” design, and
the “beforeand-after-with-control-group design
2. The tabulation approach—the number of clients, the number of counseling sessions,
the nature and kinds of problems discussed, the number of parental contacts
3. The follow-up approach
4. The expert opinion, the “information-please” method—a subjective evaluation by
experts
5. The client opinion (“what-do-you-think” method) characterized by opinion surveys of
counselees
6. The external criteria, the “do you do this?” method—the first step is to set up
standards against which the program to be evaluated is compared
7. Opinion surveys of teachers, parents, and employers
8. The descriptive approach—counseling practices are analyzed and described
9. The case-study approach—a longitudinal view of each client (p. 139)
Perhatian tentang akuntabilitas pada tahun 1970 juga terlihat dalam artikel di
sejumlah jurnal lainnya (Atkinson, Furlong, & Janoff, 1979; Bardo, Cody, & Bryson, 1978;
Carr, 1977; Crabbs & Crabbs, 1977; Gamsky, 1970; Gerler, 1976; Gubser, 1974; Krumboltz,
1974; Thompson, & Borsari, 1978). Selain itu, Wellman dan Gysbers (1971) dalam judul
artikelnya mengajukan pertanyaan yang sebelumnya telah diminta oleh banyak orang,
"Apakah program membuat perbedaan?". Wellman dan Gysbers berpendapat bahwa hasil
harus dinyatakan dalam bentuk perilaku yang memungkinkan dilakukannya pengukuran.
Akhirnya, Wellman dan Gysbers menyarankan berbagai desain untuk evaluasi hasil termasuk
baseline comparison group, within group design, and experimental design.
Pada pertengahan tahuan 1970, the College Entrance Examination Board (1978)
mengembangkan Program Penilaian Keterampilan Karir dan John Krumboltz adalah
konsultan utama. Enam modul konten yang terdiri dari buku latihan, self-scorable dan lembar
respon machines-scorable, dan panduan self-instructions diciptakan sebagai berikut:
1. Self-evaluation dan pengembangan keterampilan
2. Career awareness skills
3. Career decision-making skills
4. Employment-seeking skills
5. Work effectiveness skills
6. Personal economics skills
7. Tahun 1980
Sejumlah penulis lain selama tahun 1980 memberikan ide-ide tentang bagaimana
melakukan evaluasi program (Lewis, 1983; Lombana, 1985; Pine, 1981; Wheeler & Loesch,
1981). Fairchild dan Zins (1986) melaporkan pada survei nasional dari praktik akuntabilitas.
Dari 239 responden (239 dari 500), 55 persen mengindikasikan mereka mengumpulkan data
akuntabilitas. Sisanya menyatakan mereka tidak memiliki pengetahuan tentang prosedur
akuntabilitas dan waktu adalah masalah besar bagi mereka.
Pada tahun 1981, Departemen Pendidikan Negara Bagian California menerbitkan
Pedoman Pengembangan Program Bimbingan dan Konseling Komprehensif di Sekolah
Umum California: TK sampai SMA. Dalam dokumen ini evaluasi formatif dan sumatif
digambarkan menggunakan data produk, data proses, dan data konteks. Dinyatakan bahwa
evaluasi formatif menjawab pertanyaan "Bagaimana kita melakukan" sementara evaluasi
sumatif menjawab pertanyaan "Bagaimana kita lakukan?".
8. Tahun 1990
Respon yang terus berlanjut tentang kurangnya penelitian mengenai dampak
bimbingan dan konseling dimulai pada dekade 1990. Lee dan Workman (1992) mencatat
bahwa "Dibandingkan dengan profesi lain, konseling sekolah tampaknya memiliki sedikit
bukti empiris untuk mendukung klaim bahwa program bimbingan dan konseling memiliki
dampak signifikan pada perkembangan anak-anak dan remaja" (hal. 15).
Cara melanjutkan evaluasi program bimbingan sekolah juga dijelaskan pada tahun
1990. Johnson dan Whitfield (1991) mempresentasikan rencana keseluruhan untuk
mengevaluasi program bimbingan sekolah. Dalam redaksi kalimat pembukaan pengantar
monografi mereka menyatakan bahwa "Evaluasi merupakan bagian integral dari setiap
program dan ketika menyatakan pengembangan program, keyakinkan jelas, dan target yang
terukur" (hal. 1).

Gysbers, Hughey, Starr, dan Lapan (1992) menggambarkan kerangka evaluasi


keseluruhan yang diberikan oleh Missouri untuk mengevaluasi program bimbingan sekolah
yang komprehensif. Dua dari lima pertanyaan bimbingan dalam proses eveluasi difokuskan
pada pengukuran penguasaan kompetensi siswa dan kemungkinan dampak program
bimbingan terhadap iklim dan tujuan sekolah.

Kemudian Whiston (1996) menguraikan sejumlah pendekatan penelitian yang dapat


digunakan di banyak setting termasuk dalam setting sekolah. Whiston menunjukkan bahwa
konselor sekolah yang menghadapi peningkatan tekanan untuk bertanggung jawab, dan
karenanya, harus lebih aktif dalam pemaparan hasil penelitian. Kemudian pada tahun 1998,
Whiston dan Sexton (1998) menyajikan review penelitian hasil konseling di sekolah yang
diterbitkan antara tahun 1988 dan 1995. Dalam kalimat pembuka, mereka menyatakan bahwa
"dalam era akuntabilitas, konselor sekolah semakin diminta untuk memberikan informasi
kepada orang tua, administrator, dan anggota legislatif terkait efektivitas kegiatan konseling
sekolah "(hal. 412).

9. Tahun 2000

Penekanan pada akuntabilitas yang dimulai pada tahun 1920 terus berlanjut dengan
semangat baru dalam dekade pertama abad ke-21. Trevisan dan Hubert (2001) menegaskan
pernyataan yang dibuat selama 20 tahun terakhir mengenai pentingnya evaluasi program dan
memperoleh data pertanggungjawaban mengenai hasil siswa. Foster, Watson, Meeks, dan
Young (2002) juga menegaskan perlunya akuntabilitas konselor sekolah dan menawarkan
desain penelitian single-subject sebagai cara untuk menunjukkan efektivitas. Lapan (2001)
menekankan pentingnya program bimbingan dan konseling komprehensif "dikonsepkan
sebagai results-based systems” (289 p.). Dalam artikelnya Lapan menggambarkan kerangka
kerja untuk perencanaan program bimbingan dan evaluasi. Hughes dan James (2001)
mencatat pentingnya menggunakan data akuntabilitas dengan tim manajemen berbasis Web
dan personil sekolah lainnya. Selain itu, artikel oleh Myrick (2003), Johnson dan Johnson
(2003), dan Dahir dan Stone (2003) dalam edisi Februari 2003 terkait isu Semua Konseling
Profesional di Sekolah menekankan perlunya akuntabilitas.

C. Kajian Empiris
1. Kefauver and Hand

Pada musim gugur 1934, Kefauver dan Hand (1941) melakukan studi yang melibatkan
siswa SMP selama 3 tahun, didukung oleh dana dari Yayasan Carnegie untuk Kemajuan
Pengajaran. Dalam penelitian ini, dua sekolah SMP dari Oakland, California, dan dua SMP
dari Pasadena, California, dipilih. Siswa yang memasuki kelas tujuh pada musim gugur 1934
bertindak sebagai subyek. Salah satu sekolah di setiap kota dipilih sebagai sekolah
eksperimental sedangkan yang kedua dipilih sebagai sekolah kontrol. Enam tes dan dua
inventori dikembangkan oleh Kefauver dan Hand untuk diberikan kepada siswa kelompok
eksperimen dan kontrol pada awal dan akhir penelitian.

Apa temuan penelitian ini? Kefauver dan Hand (1941) melaporkan bahwa terdapat
dampak kecil dalam mendukung sekolah eksperimental memberikan informasi pendidikan,
rekreasi, dan informasi panduan tentang social-civic. Dampak menguntungkan yang lebih
besar yang dicatat dalam informasi panduan kesehatan. Bahkan dampak menguntungkan
yang lebih besar tercatat dalam menyampaikan informasi bimbingan kejuruan dan informasi
tentang bimbingan yang salah. Kepentingan tertentu untuk kita hari ini adalah bahwa "siswa
di sekolah-sekolah eksperimental biasanya membuat keuntungan sedikit lebih besar nilai rata-
rata dalam the Stanford Achievement Test yang dilakukan (1) dalam situasi kontrol yang
sesuai, atau (2) mereka yang telah lulus oleh dua sekolah eksperimental sebelum periode 3
tahun selama penelitian yang dilaporkan dalam bagian ini dari volume (jumlah pertemuan)
dilakukan (Kefauver & Tangan, 1941, hlm. 215)

2. Rothney and Roens

Studi utama lainnya dari bimbingan dimulai pada tahun ajaran 1936-1937 di
Arlington, Massachusetts (Rothney & Roens, 1950). Siswa kelas delapan dibagi menjadi
kelompok yang dipandu (experimentals) dan kelompok terarah (kontrol). Pada awal
penelitian terdapat 129 siswa di masing-masing kelompok. Kelompok eksperimen menerima
bantuan intensif oleh konselor, sedangkan kelompok kontrol tidak menerima bantuan selain
bantuan rutin dalam memilih pembelajaran dan membuat rencana pendidikan serta kejuruan
yang telah tersedia sebelumnya.

Perbandingan dibuat antara dua kelompok akhir tingkat atas (Juni 1941). Ada 81
siswa dalam kelompok eksperimen dan 90 siswa pada kelompok kontrol saat wisuda pada
bulan Juni 1941. Perbandingan dibuat pada kriteria sebagai berikut: drop-out, kegagalan
subjek, kegagalan kelas, perubahan kurikulum, kedudukan dalam kelulusan (perkiraan secara
menyeluruh pencapaian di sekolah) dan masuk ke perguruan tinggi. Temuannya adalah
sebagai berikut:

1. Insiden drop-out dalam dua kelompok itu kira-kira sama. Kegiatan bimbingan
tampaknya tidak berpengaruh terhadap retensi siswa.
2. Tingkat kegagalan subjek dan jumlah rata-rata kegagalan per subjek menurun lebih
cepat pada kelompok eksperimen dibandingkan kelompok kontrol.
3. Tingkat kegagalan kelas lebih tinggi pada kelompok kontrol pada kelas 10, yang paling
utama adalah tahun pertama SMA. Tampaknya masuk akal untuk mengasumsikan
bahwa tingkat kegagalan kelas yang lebih rendah dari kelompok eksperimen adalah
sebagian hasil dari kegiatan bimbingan.
4. Lebih sedikit siswa dalam kelompok eksperimen membuat perubahan kurikulum, dan
jumlah total perubahan yang mereka buat adalah kurang dari pada kelompok kontrol.
Lebih dari siswa yang dibimbing berada di kurikulum perguruan tinggi tetap di
dalamnya. Keputusan permanen yang relatif lebih dibuat oleh kelompok eksperimen
mungkin disebabkan sebagian kegiatan bimbingan.
5. Makna dari penilaian skolastik kelompok eksperimen lebih tinggi dari pada elompok
kontrol dengan margin statistik yang dapat diandalkan.
6. Signifikansi presentase yang lebih luas dari kelompok eksperimen dari kelompok
kontrol yang diakui lembaga pendidikan tinggi. (Rothney & Roens, 1950, hlm. 216-
217).

Hasil tambahan dari penelitian ini dikumpulkan dengan membandingkan jawaban atas
pertanyaan yang diberikan kepada kelompok siswa eksperimen dan kontrol selama tingkat
akhir pendidikan mereka (85 eksperimen dan 94 kontrol) dan 8 bulan kemudian (85
eksperimen dan 82 kontrol). Pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan pendidikan dan
pekerjaan. Apa hasilnya? Tanggapan menunjukkan bahwa siswa dalam kelompok eskperimen
yang lebih baik dilengkapi dengan informasi tentang tujuan mereka, lebih baik
penyesuaiannya dan lebih percaya diri, lebih akrab dengan lembaga masyarakat, lebih aman
tentang masa depan mereka, dan lebih puas dengan pilihan sekolah atau pekerjaan.

3. Rothney

Studi utama dari tahun 1950 mengenai dampak bimbingan di sekolah terjadi di negara
bagian Wisconsin. Hal ini dikenal sebagai kajian konseling (Rothney, 1958). Rincian lengkap
dari penelitian itu diterbitkan dalam bukunya Guidance Practices and Results. 870 siswa di
sekolah dari empat komunitas di Wisconsin ditempatkan di salah satu kelompok eksperimen
atau kelompok kontrol. Kelompok eksperimen menerima program bimbingan secara intensif
sementara kontrol tidak.

Sejak subjek konstrol dan eksperimen dihadirkan di sekolah yang sama di kota yang
sama, pertanyaan itu muncul tentang kontaminasi. Rothney (1958) mengakui bahwa
kontaminasi mungkin terjadi, tetapi mengingat fakta bahwa ini adalah pengaturan alami, itu
tidak bisa dihindari. Dia menyatakan bahwa ia memiliki “bahkan mengamati anak laki-laki
dalam kelompok eksperimen dengan lengan disekitar kelompok kontrol anak perempuan,
disamping keluar pada wisata malam hari dan diasumsikan bahwa beberapa 'kontaminasi'
mungkin telah berdampak" (hal. 61).

Pada hari wisuda bulan Juni 1951, ada 690 lulusan. Tiga langkah tindak lanjut yang
perlu diambil adalah: setelah 6 bulan lulus SMA, satu-setengah tahun setelah lulus, dan 5
tahun setelah lulus pada tahun 1956. Seratus persen siswa (685) yang berpatisipasi dalam
tindak lanjut akhir. Berikut adalah temuan dari studi penting ini. Siswa yang menerima
konseling:
1. Dicapai catatan akademis sedikit lebih tinggi di sekolah SMA dan pendidikan pasca-
sekolah SMA.
2. Menunjukkan banyak kenyataan tentang kekuatan dan kelemahan mereka sendiri pada
saat mereka lulus dari sekolah SMA.
3. Kurang puas dengan pengalaman di SMA.
4. Memiliki cita-cita kejuruan yang berbeda.
5. Lebih konsisten dalam menunjukkan, masuk ke dalam, dan dan sisanya dalam pilihan
kejuruan mereka, diklasifikasikan oleh tempat.
6. Membuat kemajuan lebih dalam pekerjaan selama periode 5 tahun setelah lulus SMA.
7. Lebih mungkin untuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, untuk tetap
pascasarjana, dan untuk merencanakan kelanjutan pendidikan tinggi.
8. Lebih puas dengan pendidikan pasca SMA.
9. Menyatakan kepuasan yang lebih besar dengan status 5 tahun setelah SMA dan lebih
puas jika mengingat kembali pengalaman pasca SMA.
10. Berpartisipasi dalam kegiatan self-improvement setelah menyelesaikan SMA.
11. Melihat kembali hal yang lebih menguntungkan dari konseling yang telah mereka
peroleh (Rothney, 1958, hlm. 479- 480).

Rothney (1950) menawarkan kesimpulan berikut untuk penelitian ini:

Ketika begitu banyak hal kecil dan beberapa perbedaan besar terkait aturan hipotesis
oleh personil bimbingan dapat diperoleh di bawah kondisi konseling SMA yang terwakili.
Nampaknya mungkin perbedaan yang lebih besar akan muncul jika konseling dilakukan
dalam keadaan yang lebih ideal. Keadaan tampak seperti membutuhkan penerimaan lebih
dari konseling sebagai bagian rutin dari pengalaman sekolah menengah, dukungan lebih
antusias oleh orang tua dan personel sekolah, dan teknik yang lebih baik dari evaluasi. (Pp.
482-483)

D. Akuntabilitas adalah Tanggung Jawab yang Terus Menerus

Mengapa akuntabilitas menjadi topik perhatian khusus yang panjang? Pada saat ini
orang mungkin berpikir bahwa topik ini tidak lagi memerlukan perhatian profesional karena
studi empiris telah menunjukkan bahwa bimbingan dan konseling tidak membuat perbedaan
dalam kehidupan siswa. Gysbers percaya bahwa topik terus muncul kembali karena
akuntabilitas bukanlah fenomena satu kali. Akuntabilitas merupakan tanggung jawab
berkelanjutan profesi di tingkat nasional, negara bagian, dan tingkat lokal. Jika akuntabilitas
tidak pernah berakhir, apa yang dapat dipelajari dari literatur yang luas pada akuntabilitas
dari 80 tahun terakhir yang dapat membantu konselor sekolah memenuhi kewajiban
akuntabilitas mereka hari ini? Ruang tidak mengizinkan presentasi rinci mengenai bagaimana
teknik akuntabilitas yang spesifik dan metode masa lalu dapat diterapkan untuk dunia
sekarang ini. Namun ada beberapa tema dominan yang muncul secara konsisten dalam
literatur akuntabilitas yang berbicara dengan kondisi prasyarat yang diperlukan yang harus
ada jika akuntabilitas adalah untuk dicapai.

Tema pertama berkaitan dengan pola pikir bahwa individu memiliki akuntabilitas.
Beberapa melihatnya sebagai ancaman. literatur menjelaskan bahwa adalah penting untuk
menyingkirkan pikiran dari fobia akuntabilitas, ketakutan terus-menerus dari akuntabilitas
yang sering menyebabkan keinginan kuat untuk menghindarinya. Apa yang diperlukan
adalah pola pikir bahwa menjadi akuntabel hanyalah sebuah bagian dari pekerjaan bimbingan
dan konseling yang dilakukan di sekolah-sekolah setiap hari. Ini adalah cara bahwa pekerjaan
ini dapat ditingkatkan dan menunjukkan efektifitasnya. Hal ini penting untuk memulai setiap
tahun ajaran, semester, bulan, minggu, dan hari dengan menjadi berorientasi pada hasil. Saat
memberikan kegiatan dan layanan bimbingan dan konseling, selalu dimulai dengan terlebih
dahulu mengidentifikasi hasil yang diharapkan.

Tema kedua berfokus pada hasil bimbingan dan konseling di sekolah-sekolah. Jika
pertanyaan yang timbul menunjukkan hasil yang memprihatinkan, meninjau distrik sekolah
lokal atau rencana perbaikan bangunan lokal. Rencana tersebut berisi hasil bahwa kabupaten
setempat telah dianggap penting. Kebanyakan rencana berisi hasil upaya program bimbingan
dan konseling atau kegiatan dan jasa yang dapat memberikan kontribusi. Ada bahasa yang
luas yang menggambarkan kemungkinan hasil bimbingan dan konseling yang tersedia dalam
literatur kembali ke tahun 1930-an.

Tema ketiga dan terakhir adalah bahwa akuntabilitas tidak cukup dengan bicara.
Penting untuk diingat bahwa mengekspresikan kekhawatiran tentang akuntabilitas diperlukan
tetapi tidak cukup. Ini saatnya untuk bertindak. Ini adalah waktu untuk konselor sekolah dan
para pemimpin di semua tingkatan untuk menerima tantangan akuntabilitas. Masa lalu
memiliki banyak hal untuk menawarkan kami mengenai tantangan ini dan bagaimana
mengatasinya. Mari kita menggunakan kebijaksanaan dari masa lalu untuk mengatasi
tantangan akuntabilitas hari ini dan besok.
Kajian Empiris Evaluasi Pengaruh Bimbingan dan Konseling

Peneliti Tahu Jenis Kajian Temuan Utama


n
Cantoni 1954 Eksperimen Manindak lanjuti daya yang menunjukkan
longitudinal/studi kelompok eksperimen memiliki hal yang
kontrol, siswa SMA secara lebih baik terkait penyesuaian
dalam:
 Pencapaian pendidikan
 Tingkat pekerjaan
 Stabilitas emosi
Wellman & 1975 Studi Kelompok eksperimen yang memiliki
Moore eksperimen/kontrol prestasi akademik lebih tinggi.
sekolah dasar
Lapan, 1997 Membadingkan Siswa di SMA dengan laporan
Gysbers, & Sun siswa di SMA pelaksanaan program yang lebih lengkap:
dengan dilaksanakan  mereka telah mendapatkan nilai
sepenuhnya program yang lebih tinggi
bimbingan dengan  pendidikan mereka lebih baik
siswa dalam dipersiapkan untuk masa depan
program yang mereka.
kurang dilaksanakan  Sekolah mereka memiliki iklim
sepenuhnya. yang positif.
Nelson, 1998 Membadingkan Siswa si SMA dengan pelaksanaan
Gardner, & Fox siswa di SMA program yang lebih lengkap:
dengan dilaksanakan  mengambil lebih maju
sepenuhnya program pembelajaran matematika dan
bimbingan dengan sains.
siswa dalam  Mengambil banyak pembelajaran
program yang pekerjaan/teknik(keterampilan)
kurang dilaksanakan  memiliki skor ACT lebih tinggi
sepenuhnya. pada setiap skala tes

Lapan, 2001 Membandingkan Siswa di SMP dengan laporan


Gysbers, & siswa pada SMP pelaksanaan program yang lebih lengkap:
Petroski dengan banyak  mereka mendapatkan nilai yang
pelaksanaan program lebih tinggi
yang lengkap terkait  Sekolah yang lebih relevant
program bimbingan  Mereka memiliki hubungan yang
dengan siswa siswa positif dengan guru
dalam program yang  Mereka memiliki banyak kepuasan
kurang dilaksanakan dengan pendidikan.
sepenuhnya.  mereka merasa lebih aman di
sekolah
Sink & Stroh 2003 Membandingkan Siswa SD (kelas 3 & 4) terdaftar di
siswa SD yang sekolah dengan program konseling
terdaftar selama sekolah yang prosedural dengan
beberapa tahun di pencapaian tinggi melalui skor test pada
program konseling Iowa Test of Basic Skills-Form M dan the
sekolah yang mapan Washington Assessment of Student
dengan siswa yang Learning
terdaftar dalam
program konseling
sekolah di sekolah
yang tidak
komprehensif.

Anda mungkin juga menyukai