Anda di halaman 1dari 17

A.

Konsep Teori
1. Definisi
RDS (Respiratory Distress Syndrome) adalah penyakit yang
diderita oleh bayibaru lahir yang disebut juga dengan penyakit
membrane hialin dimana penyebab dari penyakit ini diduga karena
prematuritas dan penyakit ini paling banyak diderita oleh bayi yang
dilahirkan sebelum usia 28 minggu. Abnormalitas yang terjadi pada
bayi premature adalah adanya insufisiensi surfaktan paru sehingga
menyebabkan kegagalan paru untuk berkembang setelag lahir.RDS
disebut dengan penyakit membrane hialin karena membrane ini
melapisi bronkus respiratorius, duktus alveolus, dan sel alveolus,
ketika bayi yang dilahirkan memiliki reaksi inflamasi neutrofil yang
menyebabkan adanya lesi pada membrane ini maka akan muncul
gejala gagal nafas karena paru-paru masih belum berfungsi dengan
sempurna pada bayi premature (Ham & Saraswati, 2019).

Sindrom gawat napas RDS (Respiratory Distress Syndrom) adalah


istilah yang digunakan untuk disfungsi pernapasan pada neonatus.
Gangguan ini merupakan penyakit yang berhubungan dengan
keterlambatan perkembangan maturitas paru. (Surasmi, dkk, 2013).

Syndrome distress pernapasan adalah perkembangan yang imatur


pada sistem pernapasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam
paru. RDS dikatakan sebagai hyaline membrane disease (HMD)
(Suriadierita Yulianni,2006).

RDS merupakan penyakit paru yang akut dan berat terutama


menyerang bayi preterm dengan tanda disfungsi pernafasan saat
dilahirkan. Sistem pernafasan yang tidak adequate dikarenakan
ketidakadekuatan jumlah surfaktan didalam paru-paru sehingga
menyebabkan pertukaran gas dalam alveolus tidak berjalan dengan
efektif. RDS dapat menimbulkan kematian pada bayi sekitar 3%
hingga 38% (Hardriana, 2016).

RDS disebut juga HMD (Hyaline Membrane Disease)yang terjadi


pada 10% bayi prematur yang disebabkan defisiensi sulfaktan yang
berfungsi untuk menjafa kantong alveolus tetap berkembang dan berisi
udara, pada penyakit RDS paru-paru neonatus tidak bisa mengembang
dengan sempurna sehingga menyebabkan gejala sesak nafas dan akan
bertambah berat dengan berjalannya waktu. RDS akan mengalami
takipnea (Respiratory Rate (RR) > 60x /menit) dan dan adanya sianosis
dalam rentang waktu 48-96 jam pertama setelah lahir. RDS sangatlah
berbahaya jika tidak segera dilakukan intervensi oksigenasi yang
adekuat (Soegijanto, 2016).

2. Patofisiologi
Menurut (Lilis, 2016), Faktor yang memicu atau resiko terjadinya
RDS pada bayi prematur atau kurang bulan disebabkan oleh alveoli
masih kecil sehingga sulit berkembang, pengembangan kurang
sempurna paru disebabkan karena dinding dada masih lemah sehingga
menyebabkan produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan
surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru
menjadi kaku dan kapasitas udara yang masuk kedalam paru-paru
tidak bisa sempurna dan penuh. Hal tersebut menyebabkan perubahan
fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance)
menurun hingga 25 % dari kapasitas normal, pernafasan menjadi berat
sehingga kejadian shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi
hipoksemia berat yang menyebabkan hipoventilasi dan pada tahapan
lebih lanjut menyebabkan asidosis respiratorik. Pada manusia
diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10%
protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan
dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik,
paru-paru tampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti
hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang
tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang
luas dari rongga udara bagian distal menyebabkan edem interstisial
dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari
epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli
menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya
atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan
toksisitas oksigen, menyebabkan kerusakan pada endothelial dan
epithelial sel jalan napas bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi
matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi
alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium
mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah
lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang
immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari
ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi
Bronchopulmonal Displasia (BPD). Gambaran radiologi tampak
adanya retikulogranular karena atelektasis,dan air bronchogram.

3. Etiologi
Menurut (Febri Agrina et al., 2017), penyebab dari penyakit RDS
atau penyakit gagal nafas oada neonatus adalah:
a. Neonatus preterm atau premature
Neonatus dengan kelahiran yang premature menjadi faktor
penyebab utama kejadian RDS dikarenakan fungsi organ bayi baru
lahir masih belum sempurna atau matur sehingga alveoli kecil dan
sulit mengembang karena dinding dada masih sangat lemah,
produksi surfaktan belum sempurna sehingga menyebabkan
kapasitas paru kurang mencukupi kebutuhan oksigen didalam
tubuh.
b. Neonatus preterm dengan jenis kelamin laki-laki
Neonatus prematur dengan jenis kelamin laki-laki lebih beresiko
mengalami RDS dikarenakan adanya hormone androgen pada laki-
laki yang dapat menurunkan produksi surfaktan oleh sel pneumosit
tipe II.
c. Neonatus dengan ibu yang memiliki penyakit Diabetes Melitus
gestasional
Neonatus yang dilahirkan ibu dengan gestasional DM akan
mengalami hipoglikemia dikarenakan ibu pada saat kehamilan
mengalami kelebihan glukosa didalam darah dan janin
mengkompensasi hal tersebut dengan cara memproduksi insulin
sebanyak mungkin atau kondisi hiperinsulin, pada saat bayi
dilahirkan maka pasokan glukosa ibu yang biasanya disalurkan
melewati plasenta bayi sudah terhenti sehingga hiperinsulin pada
neonatus dapat menghambat proses maturasi paru dan
menyebabkan gangguan surfaktan paru.

Menurut (Rogayyah, 2016), penyebab lainnya dari penyakit


RDS atau penyakit gagal nafas pada neonatus adalah:

a. Neonatus yang dilahirkan dengan cara Sectio Caesaria


Neonatus yang dilahirkan secara SC (Sectio Caesaria)
meningkatkan resiko terjadinya gangguan pernafasan karena
saat neonatus dilahirkan dengan SC maka akan memiliki
volume resido paru yang lebih besar dibandingkan dengan
cairan paru sehingga paru-paru bayi dengan SC kurang
mengeluarkan surfaktan pada permukaan alveolar dimana hal
ini menyebabkan resiko tinggi menderita RDS.
b. Ibu yang melahirkan neonatus dalam keadaan hipertensi
Neonatus yang lahir dari ibu dengan riwayat hipertensi dapat
menyebabkan vasospasme pada pembuluh darah ibu sehingga
sirkulasi airan darah yang masuk keplasenta janin tidak efektif
dan ketika neonatus dilahirkan akan mengalai penurunan kadar
oksigen.
c. Asfiksia Neonatorum
Gangguan ini dikarenakan adanya gangguan perfusi neonatus,
hipoksia, dan kegagalan nafas secara spontan saat neonatus
dilahirkan. Hal ini berkaitan dengan kondisi ibu saat
melahirkan, jeratan tali pusat, maupun keadaan bayi baik saat
dilahirkan maupun sebelum dilahirkan.
d. KPD (Ketuban Pecah Dini)
Air ketuban ibu berfungsi untuk melindungi dan
mempertahankan janin agar tidak terbentur lingkungan
sekitarnya baik didalam rahim ibu maupun lingkungan luar dan
air ketuban dapat membuat janin dapat bergerak bebas. KPD
dapat menyebabkan adanya interaksi antara intrauterine dan
ekstrauterine Hal ini dapat menyebabkan infeksi pada saat
intrapartum bahkan peritonitis pada ibu.
e. Infeksi Perinatal
Pneumonia primer menyebabkan RDS pada pasien sekitar 10%
sehingga berkembang menjadi sepsis dan kegagalan
multiorgan. Neonatus saat lahir dapat terinfeksi bakteri patogen
dari ibu seperti bakkteri Streptococcus dan Staphylococcus. Hal
ini terjadi karena infeksi intrauterine atau selama persalinan.

4. Klasifikasi RDS
Menurut (Atika, 2019), Klasifikasi RDS dibagi menjadi 3 jenis
sesuai dengan perhitungan Down Score dibawah ini:

Down Score
Pemeriksaan
0 1 2
Frekuensi nafas <60x/mnt 60-80x/mnt>80x/mnt
Retraksi dada Tidak ada Ringan Berat
Sianosis Tidak ada Sianosis hilang
Sianosis menetap
dengan oksigen
walaupun
diberikan oksigen
Air entry Udara masuk Penurunan Tidak ada udara
ringan udara masuk
masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat didengar
dengan tanpa alat bantu
stetoskop
Evaluasi Score <4 = RDS Ringan
Score 4-7 = RDS Sedang
Score >7 = RDS Berat

5. Pemeriksaan penunjang
Menurut Cecily & Sowden (2009) dalam (Moi, 2019), pemeriksaan
yang dapat menunjang diagnosis RDS pada neonatus adalah dengan:
a. Kajian pada penampakan foto rontgen thoraks
b. Pola retikulogranular difus atau bercampur dengan udara yang
saling tumpang tindih
c. Tanda paru sentral dan batas jantung sukar dilihat karena tertutupi
udara yang terlihat adanya bercak putih yang diikuti hipoinflasi
paru
d. Pada beberapa kasus terdapat kardiomegali bila system organ lain
juga terkena (bayi memiliki faktor resiko dilahirkan oleh ibu yang
diabetes, hipoksia atau gagal jantung kongestif)
e. Bayangan timus yang besar
f. Bergranul merata pada bronkogram udara yang menandakan
penyakit berat jika muncuk pada beberapa jam pertama
g. Gas darah arteri-hipoksia dengan asidosis respiratorik dan atau
metabolik
h. AGD menunjukkan asidosis respiratory dan metabolik yaitu adanya
penurunan pH, penurunan PaO2, dan peningkatan paCO2,
penurunan HCO3.
i. Hitung darah lengkap atau cek darah lengkap pasien untuk
mengetahui jumlah haemoglobin, leukosit, dan trombosit neonates
j. Periksa serum elektrolit, kalsium, natrium, kalium, glukosa serum
untuk menentukan intervensi lanjutan
k. Tes cairan amnion (lesitin banding spingomielin) untuk
menentukan maturitas paru dan pastikan cairan ketuban saat
neonatus dilahirkan sudah hilang pada jalan nafasnya
l. Periksa Saturasi Oksigen dengan menggunakan oksimetri untuk
menentukan hipoksia dan banyak kebutuhan oksigen yang harus
diberikan pada bayi
m. Biopsi paru, terdapat adanya pengumpulan granulosit secara
abnormal dalam parenkim paru.

Menurut (Rogayyah, 2016), pemeriksaan penunjang lainnya


yang dapat dilakukan untuk penetapan diagnosa RDS adalah
dengan melakukan CT Scan thorax dimana biasanya pada neonatus
dengan RDS menunjukkan jika adanya konsolidasi parenkim diarea
paru mengikuti arah gravitasi dan biasanya penemuan ini tidak
dapat dilihat menggunakan pemeriksaan rontgen thorax saja. Pada
hasil pemeriksaan ini, RDS cenderung asimetris pada paru-paru.

6. Penatalaksanaan
Menurut Lowdermilk et al., (2014) dalam (Atika, 2019),
penatalakasanaan pada bayi baru lahir atau neonatus dengan gangguan
pernafasan atau RDS adalah sebagai berikut :
a. Terapi oksigen
Tujuan terapi oksigen adalah untuk menyediakan oksigen sesuai
dengan kebutuhan jaringan tubuh, mencegah adanya penumpukan
zat asam laktat yang dihasilkan oleh ketika keadaan hipoksia, serta
pada waktu yang sama menghindari efek buruk yang potensial dari
hiperoksia dan radikal bebas. Jika bayi tidak membutuhkan
ventilasi mekanik seperti penggunaan ventilator maka oksigen
dapat dipasok menggunakan tudung plastic yang ditempatkan di
atas kepala bayi, menggunakan nasal kanul, atau penggunaan
continuous positive airway pressure (CPAP) untuk menyediakan
konsentrasi dan kelembapan oksigen yang bervariasi. Ventilasi
mekanik (bantuan pernafasan dengan memberikan sejumlah
oksigen yang ditentukan melalui tabung endotrakeal) diatur untuk
memberikan sejumlah oksigen yang telah ditentukan pada bayi
selama nafas spontan dan menyediakan pernafasan mekanik pada
saat tidak ada nafas spontan.
b. Resusitasi Neonatal
Pengkajian bayi secara cepat dapat mengidentifikasi bayi yang
tidak membutuhkan resusitasi seperti:
1) bayi lahir cukup bulan tanpa ada bukti meconium atau infeksi
pada pada cairan amnion;
2) bernafas atau menangis; dan
3) memiliki tonus otot yang baik.
Keputusan untuk melanjutkan langkah tindakan berdasarkan
pengkajian pernafasan, denyut jantung dan warna. Jika salah
satu karakteristik tersebut tidak ada, maka bayi harus menerima
tindakan berikut secara berurutan :
1) Langkah awal penstabilan berikan kehangatan dan
menempatkan bayi di bawah pemancar panas, posisikan kepala
pada posisi jalan nafas terbuka, bersihkan jalan nafas dengan
bulb syringe atau kateter pengisap (suction), keringkan bayi,
rangsang untuk bernafas dan ubah posisi bayi.
2) Ventilasi
3) Kompresi dada
4) Pemberian epinefrin atau ekspansi volume atau keduanya.
5) Terapi Penggantian Surfaktan
Surfaktan dapat diberikan sebagai tambahan untuk terapi
oksigen dan ventilasi. Pada umumnya, bayi yang lahir sebelum
usia kehamilan 32 minggu belum mempunyai surfaktan paru
yang cukup adekuat untuk kelangsungan hidup di luar rahim.
Penggunaan surfaktan disarankan pada bayi dengan distress
pernafasan sesegera mungkin, setelah kelahiran, terutama bayi
BBLR, yang belum terpapar steroid antenatal pada ibu hamil.
Pemberian steroid antenatal pada ibu hamil dan penggantian
surfaktan dapat mengurangi insiden distress pernafasan dan
penyakit penyerta.
6) Terapi Tambahan Terapi tambahan Nitrat hidup (inhaled nitric
oxcide-INO), extracorporeal membrane oxygenation (ECMO),
dan cairan ventilasi merupakan terapi tambahan yang
digunakan pada digunakan bagi bayi matur/cukup bulan dan
prematur akhir dengan kondisi seperti hipertensi pulmonal,
sindrom aspirasi mekonium, pneumonia, sepsis, dan hernia
diafragmatika kongenital untuk mengurangi atau membalikkan
hipertensi pulmonal, vasokontstriksi paru, asidosis, serta
distres pernapasan dan gagal napas bayi baru lahir. Terapi INO
digunakan bersamaan dengan terapi penggantian surfaktan,
ventilasi frekuensi tinggi, atau ECMO. ECMO digunakan pada
penatalaksanaan bayi baru lahir dengan gagal napas akut hebat
pada kondisi yang sama seperti yang disebutkan untuk INO.
Terapi sebuah mesin jantung-paru yang dimodifikasi,
meskipun begitu, pada ECMO jantung tidak berhenti dan darah
tidak sepenuhnya melewati paru. Darah didorong dari kateter
atrium kanan atau vena jugularis kanan dengan gaya gravitasi
ke sebuah pompa pengatur, dipompa melalui membran paru di
mana darah dioksigenasi, kemudian melalui sebuah mesin
penukar panas yang kecil di mana darah menghangatkan, dan
kemudian dikembalikan ke sistem sirkulasi melalui sebuah
arteri utama seperti arteri karotis ke lengkung menyediakan
oksigen untuk sirkulasi, yang memungkinkan paru beristirahat
serta menurunkan hipertensi paru maupun hipoksemia pada
kondisi seperti hipertensi paru menetap bayi baru lahir, hernia
diafragmatika kongenital, sepsis, aspirasi mekonium, dan
pneumonia berat.

Menurut (Lilis, 2016), penatalakasanaan neonatus dengan gangguan


pernafasan atau RDS adalah sebagai berikut:
a. Pemberian surfaktan merupakan salah satu terapi rutin yang
diberikan pada bayi prematur dengan RDS. Sampai saat ini ada
dua pilihan terapi surfaktan, yaitu natural surfaktan yang berasal
dari hewan dan surfaktan sintetik bebas protein, dimana surfaktan
natural secara klinik lebih efektif. Adanya perkembangan di
bidang genetik dan biokimia, maka dikembangkan secara aktif
surfaktan sintetik. Surfaktan paru merupakan pilihan terapi pada
neonatus dengan RDS sejak awal tahun 1990 dan merupakan
campuran antara fosfolipid, lipid netral, dan protein yang
berfungsi menurunkan tegangan permukaan pada air-tissue
interface.
b. Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlu untuk
mempertahankan homeostasis dan menghindarkan dehidrasi. Pada
permulaan diberikan glukosa 5-10% dengan jumlah yang
disesuaikan dengan umur dan berat badan ialah 60-125
ml/kgBB/hari. Asidosis metabolic yang selalu dijumpai harus
segera dikoreksi dengan memberikan NaHCO3 secara intravena
yang berguna untuk mempertahankan agar pH darah 7,35-7,45.
Bila tidak ada fasilitas untuk pemeriksaan analisis gas darah,
NaHCO3 dapat diberi langsung melalui tetesan dengan
menggunakan campuran larutan glukosa 5-10% dan NaHCO3
1,5% dalam perbandinagn 4:1
c. Pemberian antibiotic pada bayi dengan RDS perlu untuk
mencegah infeksi sekunder. dapat diberikan penisilin dengan
dosis 50.000-100.000 U/kgBB/hari atau ampisilin 100
mg/kgBB/hari, dengan atau tanpa gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari.

7. Konsep hospitalisasi
a. Definisi hospitalisasi
Hospitalisasi adalah suatu keadaan yang menyebabkan
seorang anak harus tinggal dirumah sakit untuk menjadi pasien dan
menjalani berbagai perawatan seperti pemeriksaan kesehatan,
prosedur operasi, pembedahan, dan pemasangan infuse sampai
anak pulang kembali ke rumah (Dayani dkk, 2015).

Hospitalisasi merupakan suatu proses yang mengharuskan


anak untuk tinggal dirumah sakit, menjalani terapi dan perawatan
(Supartini, 2004 dalam jurnal Savitri dkk, 2018).
Hospitalisasi adalah masuknya individu ke rumah sakit
sebagai pasien dengan berbagai alasan seperti pemeriksaan
diagnostik, prosedur operasi, perawatan medis, pemberian obat dan
menstabilkan atau pemantauan kondisi tubuh (Saputro dan Fazrin,
2017).

Beberapa faktor yang dapat menimbulkan stres ketika anak


mengalami hospitalisasi seperti:
1) Faktor Lingkungan rumah sakit
Rumah sakit dapat menjadi suatu tempat yang menakutkan
dilihat dari sudut pandang anak-anak. Suasana rumah sakit
yang tidak familiar, wajah-wajah yang asing, berbagai macam
bunyi dari mesin yang digunakan, dan bau yang khas, dapat
menimbulkan kecemasan dan ketakutan baik bagi anak ataupun
orangtua.
2) Faktor Berpisah dengan orang yang sangat berarti
Berpisah dengan suasana rumah sendiri, benda-benda yang
familiar digunakan sehari-hari, juga rutinitas yang biasa
dilakukan dan juga berpisah dengan anggota keluarga lainnya.
3) Faktor kurangnya informasi yang didapat anak dan orang
tuanya ketika akan menjalani hospitalisasi
Hal ini dimungkinkan mengingat proses hospitalisasi
merupakan hal yang tidak umum di alami oleh semua orang.
Proses ketika menjalani hospitalisasi juga merupakan hal yang
rumit dengan berbagai prosedur yang dilakukan.
4) Faktor kehilangan kebebasan dan kemandirian
Aturan ataupun rutinitas rumah sakit, prosedur medis yang
dijalani seperti tirah baring, pemasangan infus dan lain
sebagainya sangat mengganggu kebebasan dan kemandirian
anak yang sedang dalam taraf perkembangan.
5) Faktor pengalaman yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan
Semakin sering seorang anak berhubungan dengan rumah sakit,
maka semakin kecil bentuk kecemasan atau malah sebaliknya.
6) Faktor perilaku atau interaksi dengan petugas rumah sakit.
Khususnya perawat, mengingat anak masih memiliki
keterbatasan dalam perkembangan kognitif, bahasa dan
komunikasi. Perawat juga merasakan hal yang sama ketika
berkomunikasi, berinteraksi dengan pasien anak yang menjadi
sebuah tantangan, dan dibutuhkan sensitifitas yang tingi serta
lebih kompleks dibandingkan dengan pasien dewasa. Selain itu
berkomunikasi dengan anak juga sangat dipengaruhi oleh usia
anak, kemampuan kognitif, tingkah laku, kondisi fisik dan
psikologis tahapan penyakit dan respon pengobatan (Utami
dalam Jurnal Ilmiah Widya, 2014).

b. Dampak hospitalisasi
Hospitalisasi berdampak pada perkembangan anak. Hal ini
bergantung pada faktor-faktor yang saling berhubungan seperti
sifat anak, keadaan perawatan dan keluarga. Perawatan anak yang
berkualitas tinggi dapat mempengaruhi perkembangan intelektual
anak dengan baik terutama pada anak-anak yang kurang beruntung
yang mengalami sakit dan dirawat di rumah sakit. Anak yang sakit
dan dirawat akan mengalami kecemaan dan ketakutan.

Dampak jangka pendek dari kecemasan dan ketakutan yang


tidak segera ditangani akan membuat anak melakukan penolakan
terhadap tindakan perawatan dan pengobatan yang diberikan
sehingga berpengaruh terhadap lamanya hari rawat, memperberat
kondisi anak dan bahkan dapat menyebabkan kematian pada anak.

Dampak jangka panjang dari anak sakit dan dirawat yang


tidak segera ditangani akan menyebabkan kesulitan dan
kemampuan membaca yang buruk, memiliki gangguan bahasa dan
perkembangan kognitif, menurunnya kemampuan intelektual dan
sosial serta fungsi imun (Saputro dan Fazrin, 2017).

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pengkajian dilakukan dengan berbagai cara yaitu anamnesa, observasi,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik yang dilakukan
dilaboratorium. Data yang dicari dalam riwayat keperawatan adalah:
a. Kaji riwayat kehamilan sekarang (apakah selama hamil ibu
menderita hipotensi atau perdarahan).
b. Kaji riwayat neonatus (lahir afiksia akibat hipoksia akut, terpajan
pada keadaan hipotermia)
c. Kaji riwayat keluarga (koping keluarga positif)
d. Kaji nilai apgar rendah (bila rendah di lakukkan tindakan resustasi
pada bayi)
e. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan tanda dan gejala RDS.
Seperti: takipnea (>60x/menit), pernapasan mendengkur, retraksi
dinding dada, pernapasan cuping hidung, pucat, sianosis, apnea.

2. Diagnosa keperawatan
a. Gangguan pertukaran gas (D.0003) berhubungan dengan
perubahan membran alveolar-kapiler
b. Pola nafas tidak efektif (D.0005) berhubungan dengan
hiperventilasi
c. Bersihan jalan napas tidak efektif (D.0001) berhubungan dengan
penumpukan sekret pada paru-paru

3. Intervensi

Diagnosa Tujuan & kriteria hasil Intervensi


Gangguan Setelah dilakukan tindakan Pemantauan respirasi (I.01014)
pertukaran gas keperawatan selama 3 x 24jam Observasi
(D.0003) diharapkan pertukaran gas  Monitor frekuensi, irama,
meningkat (L.01003) dengan kedalaman dan upaya
kriteria hasil : napas
 Dispnea menurun  Monitor pola napas (seperti
 Bunyi nafas tambahan bradipnea, takipnea,
menurun hiperventilasi, kussmaul,
 Napas cuping hidung Cheyne-Stokes, biot,
menurun ataksik)
 PCO2 membaik  Monitor kemampuan
 PO2 membaik bantuk efektif

 Takikardi membaik  Monitor adanya produksi

 pH arteri membaik sputum

 Sianosis membaik  Monitor adanya sumbatan


jalan napas
 pola nafas membaik
 Palpasi kesimetrisan
 warna kulit membaik
ekspansi paru
 Auskultasi bunyi napas
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor nilai AGD
 Monitor hasil x-ray toraks
Teraupetik
 Atur interval pemantauan
respirasi sesuai kondisi
pasien
 Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
 Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
Pola nafas Setelah dilakukan tindakan Pemantauan respirasi (I.01014)
tidak efektif keperawatan selama 3 x 24jam Observasi
(D.0005) diharapkan pola nafas  Monitor frekuensi, irama,
membaik (L.01004) dengan kedalaman dan upaya
kriteria hasil : napas
 ventilasi semenit  Monitor pola napas (seperti
meningkat bradipnea, takipnea,
 kapasitas vital meningkat hiperventilasi, kussmaul,
 diameter thoraks anterior- Cheyne-Stokes, biot,
posterior meningkat ataksik)
 tekanan ekspirasi  Monitor kemampuan
meningkat bantuk efektif
 tekanan inspirasi  Monitor adanya produksi
meningkat sputum
 dipsnea menurun  Monitor adanya sumbatan

 penggunaan otot bantu jalan napas

nafas menurun  Palpasi kesimetrisan

 pernafasan cuping hidung ekspansi paru

menurun  Auskultasi bunyi napas

 ortopnea menurun  Monitor saturasi oksigen

 frekuensi nafas membaik  Monitor nilai AGD

 kedalaman nafas membaik  Monitor hasil x-ray toraks

 ekskursi dada membaik Teraupetik


 Atur interval pemantauan
respirasi sesuai kondisi
pasien
 Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
Bersihan jalan Setelaj dilakukan tindakan Manajemen jalan nafas
nafas tidak keperawatan selama 3 x 24jam (I.01011)
efektif diharapkan bersihan jalan Observasi
(D.0001) nafas meningkat (L.01001)  Monitor pola napas
(frekuensi, kedalaman,
dengan kriteria hasil : usaha napas)
 produksi sputum menurun  Monitor bunyi napas
 mengi menurun tambahan (mis. gurgiling,
 wheezing menurun mengi, wheezing, ronkhi

 mekonium menurun kering)

 dispnea menurun  Monitor sputum (jumlah,


warna, aroma)
 ortopnea menurun
Terapeutik
 sianonis menurun
 Pertahanan kepatenan jalan
 frekuensi nafas membaik
napas dengan head-tift dan
 pola nafas membaik
chin-lift (jaw-thrust jika
curiga trauma servikal)
 Posisikan Semi-Fowler
atau Fowler
 Berikan minuman hangat
 Lakukan fisioterapi dada,
jika perlu
 Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15 detik
 Lakukan hiperoksigenasi
sebelum penghisapan
endotrakeal
 Keluarkan sumbatan benda
padat dengan proses
McGill
 Berikan Oksigen, Jika
perlu
Edukasi
 Anjurkan asupan cairan
2000 ml/hari, Jika tidak
kontraindikasi
 Ajarkan teknik batuk
efektif
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, Jika perlu

DAFTAR PUSTAKA

Kurniawan & Wiwin. 2020. Hubungan antara Diabetes Melitus Gestasional dan

Berat Badan Lahir dengan Kejadian Respiratory Distress Syndrome (RDS)

pada Neonatus di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Samarinda:

Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur.

Maryanti. 2015. Asuhan Neonatus & bayi. Jakarta: EGC

Surasmi,Asrining.2013.Perawatan Bayi Resiko Tinggi.Jakarta: EGC.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia :

definisi dan indikator diagnostik. Jakarta Selatan : DPP PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2017. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia :

definisi dan indikator diagnostik. Jakarta Selatan : DPP PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2017. Standar Luaran Keperawatan Indonesia :

definisi dan indikator diagnostik. Jakarta Selatan : DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai