Anda di halaman 1dari 16

“Reforma Agraria dan Kebijakan Politik Hukum Pertanahan Nasional

Memberikan Jaminan Kepastian Hukum Bagi Penanaman Modal”

Oleh : I Made Pria Dharsana

I Putu Gede Budiarta

I Made Setiasa

Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa, Bali

Dharsanaimade@yahoo.co.id

Abstrak

Ketentuan yang terdapat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia (UUDNRI)
tahun 1945 sebagai tonngak awal lahirnya Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria atau lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Pasal
33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia (UUDNRI) tahun 1945, merupakan
landasan konstitusional bagi pembentukan politik Hukum Tanah Nasional. Di dalam perkembangannya,
UUPA dianggap sebagai payung (umbrella act) dari peraturan-peraturan lain yang mengatur mengenai
agrarian dan pertanahan. Hukum tanah itu sendiri adalah hukum yang mengatur hak-hak penguasaan
tanah atau permukaan bumi. pembangunan politik hukum pertanahan tidak boleh bertentangan dengan
esensi tujuan negara yang sudah diatur dalam tujuan negara yang diatur dalam UUD 1945, dimana
Pancasila sebagai norma dasar yang melahirkan ketentuan pembukaan dalam UUD 1945. bicara soal
reforma agraria, menurut hukum agraria nasional tujuannya adalah mengadakan pembagian yang merata
dan adil atas sumber penghidupan rakyat tani yaitu berupa tanah, sehingga dengan pembagiuan tersebut
diharapkan dapat tercapai hasil yang adil dan merata. Melaui UUPA atau peraturan lainnya dapat
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat saat ini, sehingga dapat diterapkan secara efektif dan efesien.
Terlebih lagi pemerintah harus siap menghadapi arus globalisasi yang terus meningkat terutama dalam hal
kebijakan investasi. Berbicara Investasi, Tanah memiliki daya Tarik tersendiri bagi para investor yang
menjadi pertimbangan bagi Investor yang akan menanamkan modal di Indonesia. Untuk itu Peran
Pemerintah sangat penting bagi penyelenggaraan dibidang pertanahan bagi Penanaman Modal yang harus
memberikan kepastiaan Penguasaan Tanah

Kata Kunci : Undang-Undang Pokok Agraria, Politik Hukum Pertanahan, Investasi dan Penguasaan
Tanah

1. Latar Belakang

Judul tulisan ini mungkin terkesan kontroversial yakni : “Reforma Agraria dan Kebijakan
Politik Hukum Pertanahan Yang Merubah Struktur Penguasan dan Penggunaan Sumber-Sumber
Agraria Nasional”. Terdapat argumentasi mendasar mengapa Saya memilih judul ini,
sebagaimana dikatakan pengamat agraria Bachriadi, bahwa reforma agraria merupakan bagian
dari program pembangunan perekonomian, yang juga bermakna sebagai program politik untuk
merubah struktur penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agrarian. 1 Dan redistribusi tanah
dan sumber-sumber agraria lainnya yang telah dikuasai dalam skala besar atau melebihi batas
maksimum yang ditentukan dan pengembalian tanah-tanah dari sumber-sumber agraria lainnya
yang diambil dari pengusaan rakyat sebelumnya menjadi suatu program penting dalam rangka
merombak struktur pengusaan tanah atau sumber-sumber agraraia tersebut.

Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau


lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sampai saat ini masih
konsisten digunakan. UUPA melakasanakan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negera Republik Indonesia (UUDNRI) tahun 1945, sebagaimanan disebutkan dalam pasal (2)
ayat (1) UUPA, yaitu : ”Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar2 dan hal-
hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negera, sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat”. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia (UUDNRI) tahun
1945, merupakan landasan konstitusional bagi pembentukan politik Hukum Tanah Nasional
yang berisi perintah kepada negara agar bumi, air, kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
danyang diletakan dalam pengusaan negara itu digunakan untuk mewujudkan sebesar-besarnya
bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

UUPA sampai saat ini juga masih dipandang sebagai parameter hukum pertanahan
nasional, karena UUPA hamper mengatur hamper semua hak-hak atas tanah sebagaimana diatur
dalam Pasal 16 kecuali hak pengelolaan. Namun demikian UUPA tidak mengatur secara
eksplesit tentang hukum pertanahan, dan UUPA hanya menyebutkan pengertian hukum tanah
sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 4 ayat 1, yang menyatakan : Atas dasar hak
mengusai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adnya macam-
macam hak atas di permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-
badan hukum.

Meskipun UUPA dalam hal ini tidak memberi pengertian secara tegas hukum tentang
hukum pertanahan, tetapi para sarjana hukum (pertanahan) memberikan pemahaman tentang
pengertian hukum pertanahan, diantaranya: hukum pertanahan adalah bidang hukum yang
mengatur hak-hak penguasaan atas tanah. Hak penguasaan adalah hak yang memberikan
wewenang kepada pemegang hak untuk berbuat dengan tanah yang dikuasainya. 3 Pendapat
1
Bachriadi, Pembaharuan Agraraia (Agrarian Reform) ; Urgency dan Hambatannya Dalam Pemerintahan Baru di
Indonesia pasca Pemilu 1999, makalah untuk seminar “Mendesakan Agenda Pembaharuan Agraria Dalam Sidang
Umum MPR 1999” yang diselenggarakan oleh KPA ELSAM dan Lab Sosiologi Antropologi IPB di Jakarta, 22
September 1999, hlm 27

2
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia (UUDNRI) tahun 1945,
3
Yudhi Setiawan, Hukum Pertanahan Teori dan Praktek, malang: Bayumedia, 2010, hal 2
hukum yang lain mengatakan bahwa hukum pertanahan adalah bagian hukum agrarian itu sendiri
yang terdiuri dari hukum bumi (tanah) air dan ruang angkasa.4

UUPA dianggap oleh sejumlah pengamat agraria sebagai suatu produk hukum yang
paling populis dibandingkan dengan produk-produk hukum lainnya yang dibuat di masa Orde
Lama, Orde Baru maupun sampai sekarang ini. 5 di dalam perkembangannya, UUPA dianggap
sebagai payung (umbrella act) dari peraturan-peraturan lain yang mengatur mengenai agrarian
dan pertanahan. Lahirnya undang-undang baru berkaitan dengan agrarian dan pertanahan
diharapkan dapat meneruskan semangat UUPA yang lebih populis (berpihak pada rakyat kecil
dan petani). Akan tetapi dalam kenyataannya telah terjadi ketidak sinkronan antara UUPA
dengan undang-undang sektoral yang tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam
UUPA. Untuk menjawab persoalan-persoalan yang bersifat dualisme di bidang hukum agraria,
maka penciptaan hukum agraria yang baru menganut pada satu prinsip hukum nasional, yang
sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.6

2. Reforma Agraria dan Kebijakan Politik Hukum Agraria Nasional

Politik Agraria adalah garis besar kebijaksanaan yang dianut oleh Negara dalam
memelihara, mengawetkan, memperuntukkan, mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus
dan membagi tanah dan sumber alam lainnya termasuk hasilnya untuk kepentingan kesejahteraan
rakyat dan Negara, yang bagi Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
dasar (UUD) 1945. Politik Agraria dapat dilaksanakan, dijemalkan dalam sebuah Undang-
Undang mengatur agrarian yang memuat asas-asas, dasar-dasar, dan soal-soal agraria dalam
garis besarnya, dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya. Dengan demikian, ada hubungan
yang erat antara politik dan hukum.7

Dalam Politik Agraria, permasalahan diatas adalah permasalahan pokok yang ingin
dipecahkan. Politik agrarian mempunyai objek, hubungan manusia dengan tanah, beserta segala
persoalan dan Lembaga-lembaga masyarakat yang timbul karenanya, yang bersifat politis,
ekonomis, social dan budaya. Secara ringkas dapat disimpulkan fokus utama politik agrarian ada
pada tiga faktor yakni:8 Pertama, adanya hubungan antar manusia dengan tanah yang merupakan
suatu realita yang selamanya akan ada. Kedua, manusia dari sudut politis, social, ekonomis,
kultural dan mental. Ketiga, alam khususnya tanah. Dan menurut penulis, permasalahan agraria
menjadi salah satu kajian menaarik di dalam ilmu hukum yang cukup penting untuk dibahas.
Boleh jadi agraria menjadi salah satu hal penting yang cukup kompleks untuk dibahas. Karena

4
Mudakir Iskandar Syah, Dasar-Dasar pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Jakarta : Jala Pratama, 2007,
hal 8
5
Bernhard Limbong, Politik Pertanahan: Pustaka Maragaretha, 2014, hal 348
6
Nurus Zaman, Politik Hukum Pengadaan Tanah : “Antara Kepentingan Umum dan Perlindungan Hak Asasi”,
Reflika Aditama, 2016, hal 6
7
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif (Kencana:Jakarta, 2015), Hal.24
8
Noer Fauzi, Petani dan Penguasa (Insist Press: Jogjakarta, 1999) hal.256
banyak persoalan sosial maupun hukum yang selalu mewarnai pemberitaan di media di
Indonesia terkait dengan sengeketa, perkara dan konflik pertanahan

Menurut Satjipto Rahardjo, politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang
hendak dipakai mencapai tujuan sosial dengan hukum tertentu di dalam masyarakat yang
cakupannya meliputi jawaban atas berbagai pertanyaan mendasar, yaitu: 9 Pertama, tujuan apa
yang hendak dicapai Kedua, cara-cara apa yang mana dirasakan paling baik untuk dipakai dalam
mencapai tujuan tersebut, Ketiga, kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu
diubah. Dan kemapat, dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu
memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara mencapai tujuan tersebut dengan baik.

Masalah agraria dan pengelolaan sumber daya alam bangsa Indonesia secara umum
pernah dirumuskan secara sederhana oleh elite pemerintahan nasional di zaman reformasi
melalui Ketetapan MPR RI No.IX/MPRRI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam, sebagai berikut:(i) ketimpangan (terkonsentrasinya) penguasaan tanah dan
sumber daya alam ditangan segelintir perusahaan, (ii) konflik konflik agraria dan pengelolaan
sumber daya alam yang Meletus di sana-sini dan tidak ada penyelesaiannya, dan (iii) kerusakan
ekologis yang parah dan membuat layanan alam tidak lagi dapat dinikmati rakyat. 10

Hukum tanah itu sendiri adalah hukum yang mengatur hak-hak penguasaan tanah atau
permukaan bumi; dan jika pengrtian system hukum dikaitkan dengaan hukumm agraria tentang
Pembaharuan Hukum Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, maka yang dimaksud
dengan sisitem Hukum Agraria adalah rangkaian teratur mengenai aturan-aturan hukum agraria,
yang di dalamnya mengatur hak-hak penguasaan atas bumi, air ruang angkasa dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya.11

Selanjutnya, bicara soal reforma agraria, menurut hukum agraria nasional tujuannya
adalah mengadakan pembagian yang merata dan adil atas sumber penghidupan rakyat tani yaitu
berupa tanah, sehingga dengan pembagiuan tersebut diharapkan dapat tercapai hasil yang adil
dan merata. Adapun tujuan pokok UUPA meliputi: Pertama, meletakan dasar-dasar bagi
penyusunan hukum agrarian nasional yang merupakan alat untuk membawakan kemakmuran,
kebahagian dan keadilan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masayarakay yang adil dan
makmur. Kedua, meletakan dasar-dasar untuk mengadakan jesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan. Ketiga, meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hakk-hak bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang digariskan


UUPA dimaksudkan untuk memastikan tanah tidak dimonopoli oleh segelintir penguasa tanah
9
Sajtipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Aditya Bakti, 2009, hlm 235
10
Noer Fauzi, Bersaksi untuk pembaharuan Agraria (Yogyakarta : Insist Press, 2003) hal.134
11
TAP MPR IX/MPR/ 2001 TANGGAL 9 November 2001 tentang pembaharuan Araria dan Peneglolaan Sumber
daya Alam
yang mengorbankan golongan ekonomi lemah yang hidupnya bergantung pada tanah terutama
petani. Demi tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran
bagi selruruh rakyat Indonesia maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 86
Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.

Dalam penelusuran melalui literature yang dilakukan oleh penulis, ternyata UUPA hanya
memuat asas-asas pokok yang mengatur tentang bumi, air ruang angkasa dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya, sehingga penulis sependapat dengan pernyataan yang menyebut
bahwa UUPA sebagai “payung” ( umbrella provision kaderwet) bagi penyusunan peraturan
perundang-undangan tentang tanah lainnya yang bersifat operasional.12

Oleh karenanya, maka pembangunan politik hukum pertanahan tidak boleh bertentangan
dengan esensi tujuan negara yang sudah diatur dalam tujuan negara yang diatur dalam UUD
1945, dimana Pancasila sebagai norma dasar yang melahirkan ketentuan pembukaan dalam UUD
1945.13 Artinya, apa hukum pertanahan tidak dapat dilepaskan dari politik hukum nasional,
karena politik hukum pertanahan bagian yang tidak terpisahkan dari politik hukum nasional.
Sebagai bagian dari politik hukum nasional, sudah semestinya pembangunan hukum pertanahan
itu tidak boleh bertentangan dengan grand desain dari pembangunan hukum nasional yang
berlandasakan pada Pancasila dan UUD 1945, disamping hukum yang tidak tertulis.

Hukum pertanahan merupakan kebijakan negara yang menjadikan isi kebijkan itu
mengatur hal-hal terkait dengan tanah. Berkaitan dengan kebijakan hukum pertanahan itu,
menurut Oloan Sitorus dan Nomadyawati, kewenangan negara dalam bidang pertanahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA merupakan pelimpahan tugas bangsa untuk
mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah bersama yang merupakan kekayaan
Nasional. Hak menguasai negara adalah pelimpahan kewenangan publik dari hak bangsa maka
konsekuensinya, kewenanangan tersebut hanya bersifat public semata. 14 Pelaksanaan hak
menguasai negara atas tanah dapat dikuasakan atau di limpahkan kepada Daerah Swatantra
(Pemerintah Daerah) dan masyarakat-masyarakat Hukum Adat, sekedar diperlukan dan
bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Menurut Bernharrd Limbong, keberhasilan reforma agraraia juga mengandalkan adanya


reformas terhadap regulasi pertanahn. Hal ini terkait regulasi yang berupa peraturan perundang-
undangan dibidang pertanahan yang berlaku kemerdekaan turut memberi andil bagi munculnya
konflik pertanahan di Indonesia. Politik pertanahan di negara kita sejauh ini belum mampu
menghadirkan peraturan perundang-undangan yang menjamin keadilan dalam bidang
pertanahan.15
12
Sitinrangkuti Sundari, Hukum Lingkungna dan kebijaksanaan Lingkungan Nssional, Airlangga University Press,
Surabaya, 2005 hal 113
13
Nurus Zaman, Politik Hukum Pengadaan Tanah : “Antara Kepentingan Umum dan Perlindungan Hak Asasi”,
Reflika Aditama, 2016, hal 7
14
Urip Santosa, Perolehan Hak Atas Tanah, Dr Kencana, 2015, hal 17)
15
Bernharrd Limbong, Politik Pertanahan, Pustaka Margaretha, 2018, hal 346
Pakar Hukum Agraria, Gunawan Wiradi mengatakan bahwa pada awalnya kebijakan land
reform adalah suatu kebijakan sosial, yaitu pemerataan penguasaan tanah, bukan sebuah
kebijakan ekonomi (produksi); namun kemudian orang sadar bahwa dibutuhkan suatu economic
rationale yang mampu memberi alasan dari segi ekonomi mengapa suatu reforma agraria perlu
dilakukan. Itulah sebabnya selepas perang dunia kedua negara-negara mulai menambahkan
aspek-aspek sosial, ekonomi, politik, hukum dan kebudayaan pada program reforma agraria
mereka.16

Agaknya tak bisa disangkal, reforma agraria sejatinya hanya bisa dilakukan jika ada
kemauan politik. Di negara-negara non sosialis muatan konkrit reforma agraria adalah: mengatur
ulang alokasi penyediaan tanah; menata ulang status pemilikan, penguasaan, penggunaan tanah;
mengatur ulang tata cara perolehan tanah; dan menata ulang penggunaan tanah. Bahkan para
pakar sedunia sepakat, berdasarkan pengalaman sejarah berbagai negara yang pernah
melaksanakan program reforma agraria membutuhkan sejumlah prasyarat, dan untuk itu
diperlukan melalui pembaharuan reforma agraria agar bisa berjalan dengan sukses. Prasyarat
terpenting adalah, harus ada kemauan politik dari pemerintah, dan harus ada organisasi rakyat
(khususnya organisasi petani) yang kuat dan pro reform, ada data lengkap dan teliti tentang
keagrariaan. Dan yang terpenting, mesti dipisahkan para elite penguasa dari elite bisnis, aparat
birokrasinya harus bersih, jujur dan faham akan konsep serta tujuan reforma agraria.

Landreform agrarian pada prinsipnya adalah landreform dalam pengertian redistrubisi


kepemilikan dan penguasaan tanah. Namun landreform tak akan berhasil jika tidak didukung
oleh program-program penunjang seperti pendidikan, penyuluhan, pemasaran, dann sebagainya,
mengutip pendapat Tuma Elias, Landreform “dalam pengertian luas dapat disamakan dengan
“agrarian reform” (reforma agrarian), yakni suatu upaya untuk mengubah struktur agrarian
demi terciptanya redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah dan akses kesumber-sumber
ekonomi17 Selanjutnya, penulis menegaskan apa yang dikatakan oleh Kepala Perwakilan Bank
Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste, Rodrigo A. Chaves, reformasi agraria merupakan
landasan penting dalam pembangunan suatu negara karena akan membawa kejelasan
penggunaan tanah, hak akses dan lisensi, yang pada akhirnya membantu mengurangi tingkat
kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Saat ini, Indonesia berada di jalur yang tepat untuk
mencapai sasaran mensertifikasi dan mendaftarkan setiap bidang tanah di Indonesia pada tahun
2025.18

Penulis melihat ada tiga pokok persoalan di dalam Reforma Agraria (RA) hingga saat ini.
Pertama, bagaimana kesesuaian Reforma Agraria yang sebenarnya ada sebelum masa

16
Gunawan Wiradi, bahan ceramah pada Temu Tani se Jawa, YTKI Jakarta 1 Mei 2003, dimuat dlm: Reforma
Agraria untuk Pemula, Sekretariat Bina Desa Jakarta, 2005, hl 12 - 15.
17
Tuma. Elias, H, Twenty Six Centuries of Agraraian reform, a comparative Analaysis, University of California
Press Berkeley, 1965 . Berhard Limbong “Politik Pertanahan” Pustaka Margaretha, 2014 hal hal 338 -339)
18
Siaran Pers Bank Dunia, No 2019/006/EAP (4,3 juta Penduduk Akan Menerima Manfaat dan Pengelolaan Tanah
Yang Berkelanjutan, 20/08/2018, www.worldbank.org)
pemerintahan Jokowi dikenal sebagai TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) dengan konsep
awal reforma agraria mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA 1960). Kedua, bagaimana perjalanan kebijakan RA yang
dicanangkan pemerintah Jokowi. Ketiga, kendala-kendala struktural dan kelembagaan dari
kebijakan RA saat ini. Gunawan Wiradi dari Sajogyo Institue dalam sebuah “Diskusi Hukum
Reforma Agraria, pada Kamis, 11 Juli 2019, yang dselenggarakan Prisma mengatakan bahwa
hampir semua kebijakan saat ini serba rancu. Bukan salah siapa-siapa, karena itu merupakan
produk dari dinamika sejarah. “Kita harus melacaknya dari sana kalau bicara masalah agraria dan
ini bukan hal yang mudah. Kita perlu mempelajari sejarah Indonesia yang mengait dengan
penjajahan Belanda”. Pertanyaan yang tertuang di dalam ToR mengenai “konteks historis dan
struktural apa saja yang membedakan penerapan UUPA di masa lalu, dengan program RAPS di
masa kini” memang sangat bagus. Dalam berbagai kesempatan, Gunawan kerap kali mengatakan
bahwa reforma agraria adalah “landreform plus”, yaitu plus berbagai program penunjang. Intinya
adalah asset reform. Bahwa diperlukan acces reform, tenancy reform, dan sebagainya, itulah
yang dimaksud dengan “plus.” 19

Gunawan Wiradi merasa ragu, apakah elite nasional dewasa ini mengerti apa yang
dimaksud dengan “reforma agraria.” Ketika dirinya diundang ke Kantor Staf Presiden (KSP),
banyak yang tidak mengerti, atau sengaja menyesatkan, konsep reforma agraria. Dia sendiri
mengingatkan generasi muda, “hati-hati jangan terkecoh konsep yang keliru.” Banyak
kalangan kerap mencampuradukkan istilah “reformasi” dengan “reforma”, yang artinya sama
sekali berbeda. Menegaskan apa yang disampaikan Gunawan Wiradi, menurut Usep Setiawan
selaku Tenaga Ahli Utama Kantor Staff Presiden (KSP), menyimpulkan sebagai dokumen politik
dan amanat konstitusi, Reforma Agraria dan agenda-agendanya telah dituangkan dalam
Nawacita, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, dan
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahun. Intinya, pelaksanaan Reforma Agraria sebagai
upaya menata ulang pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah untuk keadilan,
kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat menjadi prioritas nasional, yang dijalankan pemerintah
melalui dua skema, yakni penyediaan TORA dari berbagai sumber dengan target Reforma
Agraria sebesar 9 juta hektar dan Perhutanan Sosial melalui berbagai skema dengan target 12,7
juta hektar. 20

Menanggapi kritik Gunawan Wiradi, Usep menyadari bahwa pemahaman pemerintah


mengenai reforma agraria masih sangat minim. Karena itu, sejak 2016, Kantor Staf Presiden
perlu memasok sejumlah bahan agar program reforma agraria untuk dipahami oleh seluruh
menteri dan kepala daerah. Reforma agraria sebagai program prioritas dalam Rencana Kerja

19
Gunawan Wiradi, “Reforma Agraria adalah “Landreform Plus”. (Diksusi Hukum Reforma Agraria, Prisma
Bersama Kemitraan, Kamis 11 Juli 2019). https://www.prismajurnal.com/post/reforma-agraria-ditinjau-kembali/
20
Usep Setiawan, “Pelaksanaan Reforma Agraria sebagai Upaya Menata Ulang Pemilikan, Penguasaan,
Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah untuk Keadilan, Kemakmuran, dan Kesejahteraan Rakyat (Diksusi Hukum
Reforma Agraria, Prisma Bersama Kemitraan, Kamis 11 Juli 2019) https://www.prismajurnal.com/post/reforma-
agraria-ditinjau-kembali/
Pemerintah (RKP) 2019 memuat lima hal. Pertama, penguatan kerangka regulasi dan
penyelesaian konflik agraria. Kedua, penataan, penguasaan, dan pemilikan tanah TORA. Ketiga,
kepastian hukum dan legalisasi atas TORA. Penerbitan sertifikat hak milik atas tanah masyarakat
menjadi bagian dari kegiatan Reforma Agraria. Ada kritik, bahwa proses sertifikasi tanah
sebenarnya di luar Reforma Agraria, tetapi dalam RKP dimasukkan sebagai bagian dari Reforma
Agraria. Keempat, pemberdayaan masyarakat dalam penggunaan, pemanfaatan, dan produksi
TORA. Kelima, kelembagaan pelaksana Reforma Agraria di tingkat pusat dan daerah. Dengan
adanya kelembagaan, dalam Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria dicantumkan Tim
Reforma Agraria yang beranggotakan 16 menteri dan kepala lembaga, termasuk Kepala Kantor
Kepresidenan. Tim di tingkat pusat dipimpin Menko Perkonomian. Selain itu, di tingkat pusat
ada Gugus Tugas Reforma Agraria yang merupakan institusi pelaksana dan diketuai Menteri
ATR/Kepala BPN, di tingkat daerah ada gugus tugas tingkat provinsi yang dibentuk melalui SK
Gubernur, di tingkat kabupaten/kota melalui SK Bupati dan Wali Kota.

Akan tetapi, percepatan pelaksanaan berbagai agenda Reforma Agraria pada periode
pertama pemerintahan Jokowi memang belum berjalan cepat dan terlaksana utuh, khususnya
redistribusi tanah. Untuk mewujudkan Reforma Agaria, menurut Usep, idealnya, Reforma
Agraria masuk ke dalam rencana kerja pemerintah daerah, sehingga anggarannya bisa
dialokasikan dalam APBD.21

Diungkapakan Usep, sebagai ilustrasi, sejak tahun 2016, Kabupaten Sigi, Sulawesi
Tengah, sudah menetapkan reforma agraria sebagai misi, visi, dan program aksi ke dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD), dan dianggarkan dalam APBD-nya. Secara garis besar ada empat tahapan kegiatan
Reforma Agraria yang mencakup persiapan, pelaksanaan, penetapan hak dan penerbitan izin,
serta pemantauan dan evaluasi. Bila hendak dilaksanakan serentak secara terpadu, skema dari
pengalaman Kabupaten Sigi itu bisa direplika di kabupaten lain. Tentu saja skema tersebut perlu
disesuaikan dengan konteks dan tantangan di tingkat lokal. Mayoritas tanah di Kabupaten Sigi
berada di kawasan hutan. Pemkab Sigi pun mengidentifikasi tanah dari bekas kawasan hutan dan
tanah dari bekas hak guna usaha (HGU) perkebunan, yang kemudian ditetapkan sebagai TORA
ke pemerintah pusat. Kini sedang diproses.

Dr. Yanis Maladi, SH, MH berpendapat 22 bahwa substansi atau karakter reforma agraria
berdasarkan pada orientasi politik guna mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa yang
berparadigma Pancasila haruslah: Pertama, politik hukum agrarian nasional harus secara
konsisten melindungi kepentingan rakyatnya guna mendapatkan hak untuk hidup sejahtera lahir
dan batin secara berkeadilan, berhak memiliki hak milik tersebut dan tidak boleh diambil alih
sewenang-wenang oleh siapapun termasuk oleh negara dan korporasi besar sekalipun. Kedua,
politik hukum agrarian nasional harus didorong oleh nilai-nilai moral agama yang luhur dan
21
Usep Setiawan, ibid
22
Dr. Yanis Maladi, SH, MH, “Reforma Agraria Berparadigma Pancasila Dalam Penataan Kembali Politik
Agraria Nasional”, Jurnal Mimbar Hukum (2013) Volume 25, Nomor 1, Febrauari (hal 27 – 41)
melindungi hak-hak asasi manusia tanpa diskriminasi. Dari dua hal tersebut dapat dilihat bahwa
terdapat dua nilai sosial yang dipadukan menjaadi satu dalam konsep politik hukum agraria yang
berparadigma Pancasila. Namun begitu, pandangan Yanis ini jika dianalisa lbih lanjut, akan
banyak menemui rintangnya yang berasal dari berbagai produk legislasi dibidang agrarian (baik
dilevel pusat maupun daerah) yang Nampak tumpang tindih antara yang satu dengan yang
lainnya, sehingga pada dasarnya dibutuhkan lebih dari sekadar mengubah cara kita didalam
memandang persoalan semata, melainkan sebuah rencana strategis yang komprehensif di dalam
melihat persoalan tumpang tindih produk legislasi dimaksud.

Boedi Harsono menjelaskan bahwa, “UUPA bukan saja hanya memuat tentang ketentuan
mengenai perombakan Hukum Agraria semata, tapi juga memuat Program Revolusi yang
strategis dalam bidang agraria, yang disebut reforma agraria, Indonesia yang notabene memiliki
cita-cita guna mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila sehingga
UUPA ini secara substansial adalah fondasi strategis dalam terwujudnya tujuan mulia tadi. 23

Penerapan Reforma agraria di Indonesia menurut Boedi Harsono, setidaknya meliputi


lima program dasar”, yakni: “Pembaharuan Hukum Agraria melalui unifikasi hukum yang
berkonsepsi nasional dan pemberian jaminan kepastian hukum (rule of law); Penghapusan hak-
hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah; Mengakhiri penghisapan feodal secara
bertahap; Revolusi kepemilikan dan penguasaan tanah serta relasi hukum yang bersangkutan
dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan.
Perencanaan persediaan dan peruntukkan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya”, serta penggunaannya secara terencana, terstruktur dan sistematis, sesuai dengan
daya dukung dan kemampuan”.

Sementara itu, dalam kaitannya kebijakan Refroma Agraria Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada, Prof. Dr. Maria Sri Wulan Sumardjono, SH, M.C.L., M.P.A dalam
“Kunjungan Kerja Akuntabilitas Keuangan Negara Dalam Rangka Mendapatkan masukan terkait
Penelaahan BAKN DPR RI tentang Agraria, Tata Ruang dan Pertanahan Nasional ke Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta Masa persidangan II Tahun 2021 – 2022 11 – 13 November 2021 silam
mengatakan bahwa rumusan reforma agraria (RA) dalam UU Cipta Kerja itu berasal dari
rumusan RA di RUU Pertanahan (RUUP) versi setelah Mei 2019. Dalam hal ini, pemerintah
bermaksud membentuk Lembaga Pengelola Tanah (LPT) dengan tujuan untuk menyediakan
tanah untuk: kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan, pemerataan
ekonomi; dan konsolidasi lahan. Kritik tajam dari berbagai pihak yang menengarai bahwa
pembentukan LPT sangat bias pada kepentingan investasi, diredam dengan menambahkan “RA
dan keadilan pertanahan” yang ketersediaan tanahnya dijamin oleh LPT (Pasal 76 RUUP versi
September 2019). 24

23
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Jilid 1 (Djambatan 1995) Hal 2-3
24
Maria Sri Wulan Sumardjono, Laporan Kunjungan Kerja Akuntabilitas Keuangan negara Dalam Rangka
mendapatkan masukan terkait Penelaahan BAKN DPR RI tentang Agraria, Tata Ruang dan Pertanahan Nasional ke
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta Masa persidangan II Tahun 2021 – 2022 11 – 13 November 2021 (Hal 9 )
Selanjutnya, dalam perkembangannya, frasa “keadilan pertanahan” itu tak dimuat dalam
UU Cipta Kerja tanpa diketahui alasannya (Pasal 126 Ayat (1) huruf f). Lebih lanjut, dalam Pasal
126 Ayat (2) ditegaskan bahwa ketersediaan tanah untuk RA paling sedikit 30 persen dari tanah
negara yang diperuntukkan BT. Sementara itu, dalam PP, ketersediaan tanah untuk RA
dirumuskan dalam Pasal 2 Ayat (1) huruf f dan diulang lagi dalam Pasal 16 huruf f. Definisi RA
dalam PP diambil dari definisi RA pada Peraturan Presiden (Perpres) No 86 Tahun 2018 tentang
RA. Pasal 22 PP menegaskan bahwa ketersediaan tanah untuk RA adalah dalam rangka
redistribusi tanah, yang besarannya paling sedikit 30 persen dari tanah negara yang
diperuntukkan BT

Masalah kemudian timbul, ketika Pasal 7 menyebutkan bahwa perolehan tanah BT yang
merupakan hasil penetapan pemerintah terdiri dari tanah negara yang berasal dari: a) tanah
bekas hak; b) kawasan dan tanah terlantar; c) pelepasan kawasan hutan; d) tanah timbul; e) tanah
reklamasi; f) tanah bekas tambang; g) tanah pulau-pulau kecil; h) tanah yang terkena kebijakan
tata ruang; dan i) tanah yang tidak ada penguasaan di atasnya. Tanah negara yang disebut pada
huruf a, b, c, d, dan f itu ternyata merupakan sebagian dari jenis tanah obyek reforma agraria
(TORA) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Perpres RA. Pertanyaannya adalah, apakah maksud
dari perumusan RA dalam PP ini sedangkan paradigma BT dan RA itu jelas bersimpang jalan?
10 Kontestasi atau Sinergi? Pencantuman RA dalam PP yang sejak awal tidak diniatkan untuk
diatur dalam UU Cipta Kerja, jika tidak diklarifikasi berpotensi memutar balik perjalanan RA.

Dalam implementasinya, berbagai kendala menyebabkan kurang gesitnya kerja-kerja


Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) sesuai pengamatan di lapangan antara lain
karena:25belum tersedianya kebijakan dan mekanisme penyelesaian konflik agraria dalam rangka
RA yang komprehensif, upaya penyelesaian konflik belum menyentuh akar permasalahan,
rencana penyelesaian konflik belum disertai tenggang waktu penyelesaian yang jelas, anggaran
pelaksanaan RA dan penyelesaian konflik belum merupakan prioritas. Kekurang lancaran kerja-
kerja GTRA itu dijawab dengan komitmen Presiden untuk akselerasi penyelesaian konflik
agraria dan redistribusi tanah pada penghujung 2020, dengan terbentuknya “Tim Percepatan
Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria Tahun 2021” melalui
Keputusan Kepala Staf Kepresidenan RI Nomor 1B/T Tahun 2021. Tim diketuai Kepala Staf
Kepresidenan, Menteri ATR/Kepala BPN sebagai Wakil Ketua I dan Menteri LHK sebagai
Wakil Ketua II. Anggota berjumlah 32 orang berasal dari kementerian koordinasi, kementerian
dan lembaga, perwakilan empat organisasi non-pemerintah (ornop) yaitu Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA), Serikat Petani Indonesia (SPI), Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dan
Gema Perhutanan Sosial Indonesia (Gema PS).

25
Maria Sri Wulan Sumardjono, Laporan Kunjungan Kerja Akuntabilitas Keuangan negara Dalam Rangka
mendapatkan masukan terkait Penelaahan BAKN DPR RI tentang Agraria, Tata Ruang dan Pertanahan Nasional ke
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta Masa persidangan II Tahun 2021 – 2022 11 – 13 November 2021 (Hal 10 )
Prof Maria mengindentifikasi realisasi komitmen tersebut adalah Hasil pelaksanaan tugas
dan tanggung jawab tim ditindaklanjuti oleh Tim Nasional Reforma Agraria dan GTRA
sebagaimana diatur dalam Perpres RA dan dilaporkan kepada Presiden setiap tiga bulan atau
sewaktu-waktu jika diperlukan. Adapun pembentukan tim ini setidaknya mendorong pendekatan
“bottom-up” dalam pelaksanaan RA. Dan sebagai gambaran awal kerja Tim, telah diusulkan 71
Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) untuk TORA dari empat ornop anggota tim, dan
empat lokasi diusulkan oleh ornop lain. Dari 71 lokasi, tiga lokasi sudah diredistribusikan; 13
lokasi masuk prioritas I, siap diredistribusikan tahun 2021; prioritas II menyelesaikan delapan
konflik tahun 2021 untuk diredistribusikan pada 2022; prioritas III menyelesaikan 11
sengketa/konflik pada 2022 untuk diredistribusikan pada 2022 atau 2023. Sisanya, 36 LPRA
akan ditangani oleh Kementerian ATR/BPN. Dari catatan KPA disebutkan, bahwa 13 lokasi
redistribusi seluruhnya berasal dari tanah bekas HGU perusahaan swasta serta meliputi luasan 84
hektar (2015), 1.139 hektar (2016), 444 hektar (2018), dan 288 hektar (2020). Dalam rangka
mendorong akselerasi RA, seyogianya tanah negara hasil penetapan pemerintah yang merupakan
tanah BT (Pasal 7 PP) yang tumpang tindih dengan TORA menurut Pasal 7 Perpres RA
seluruhnya (tidak hanya 30 persen) diserahkan oleh BBT sebagai land 11 manager (yang ketua
komitenya dijabat oleh Menteri ATR/Kepala BPN) kepada GTRA dalam bentuk tanah negara,
untuk ditindaklanjuti redistribusinya. Dan pekerjaan rumah selanjutnya ialah memastikan hak
subyek RA untuk memperoleh fasilitasi dalam rangka penataan akses. Sinergi dalam seluruh
proses RA dan akselerasinya serta penguatan kebijakan RA dimaksudkan untuk menguatkan
posisi tawar kelompok rentan dalam memperoleh keadilan terhadap akses dan pemanfaatan tanah
untuk pemenuhan kebutuhan dasarnya, yang berpotensi tergerus jika kebijakan pertanahan
cenderung difokuskan untuk mendorong investasi belaka.

Prof. Dr. Nurhasan Ismail, SH., M.S.i, berpendapat, peraturan Redistribusi Tanah Obyek
Landreform (TOL atau sekarang TORA) tidak relevan dan tidak implementatif. 26 Adanya
ketentuan dalam UU No.56/1960 dan PP 224/1961, PP 41/1964, dan PP 4/1977 juga sudah tidak
relevan dan tidak implementatif karena: pertama, dasar hukum di bidang Landreform dibuat
berdasarkan kebijakan dan kondisi Indonesia pada tahun 1960; kedua, selama Orde Baru tidak
ada perhatian terhadap Landreform sehingga tidak ada kebijakan baru; ketiga, Orde Baru bahkan
memati-surikan Landreform karena dinilai sebagai penghambat pembangunan ekonomi; dan
keempat, perkembangan sosial, ekonomi, dan politik yang mendasari kebijakan landreform
sudah berubah sehingga menuntut juga perubahan peraturan mengenai pendistribusian TOL atau
TORA.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada ini menilai sekarang ini terdapat
Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria (RA) yang bertujuan memperluas kegiatan RA yaitu
mencakup distribusi atau redistribusi TORA dan legalisasi hak atas tanah yang sudah dipunyai
oleh warga masyarakat berupa sertipikasi. Satu catatan = seharusnya kegiatan legalisasi tidak
26
Nurhasan Ismail,Laporan Kunjungan Kerja Akuntabilitas Keuangan negara Dalam Rangka mendapatkan masukan
terkait Penelaahan BAKN DPR RI tentang Agraria, Tata Ruang dan Pertanahan Nasional ke Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta Masa persidangan II Tahun 2021 – 2022 11 – 13 November 2021 (hal 13)
dimasukkan sebagai kegiatan RA. Dan TORA juga sudah diperluas yaitu tanah pertanian dan
tanah non pertanian termasuk harapannya yang berada di perkotaan, baik yang sejak semula
berstatus Tanah Negara seperti yang berasal di Kawasan Hutan maupun yang karena sebab
tertentu dibatalkan hak atas tanahnya dan menjadi Tanah Negara sebagai TORA.

Nurhasan menilai, ada ego sektoral seperti KLH yang melakukan distribusi tanah melalui
Program Perhutanan Sosial dengan pola KLH sendiri. Kebijakan pemberian tanah dengan luasan
yang sangat besar yaitu puluhan ribu dan bahkan ratusan ribu hektar sebagai kebijakan liberal
dan tentu membatasi jumlah luasan TORA. Dan ketentuan yang tidak konsisten seperti tanah
yang tidak diperpanjang atau diperbaharui haknya menjadi TORA jika sudah lewat 1 tahun sejak
berakhirnya (versi Perpres) dan 2 tahun (versi PP 18/2021).

Adapun subyek penerima distribusi atau redistribusi tanah juga sudah diperluas yaitu
mereka yang berprofesi petani tanaman-tambak-peternakan, nelayan, dan profesi lain di luar
sektor pertanian & nelayan, baik secara perseorangan maupun secara bersama sebagai kelompok
dan koperasi. Sebagai catatan, Guru Besar FH UGM ini menegaskan, bahwa ada subyek
penerima yang harus dinilai kurang tepat yaitu berbentuk Perseroan Terbatas atau Badan Usaha
Milik Desa yang sepenuhnya berkarakter individualisme dan berorientasi pada murni pencarian
keuntungan serta membatasi warga masyarakat untuk terlibat di dalamnya kecuali mampu
menjadi pemegang saham. Dia berharap kedepan, diperlukan perbaikan kebijakan pertanahan,
tata ruang dan pelaksanaannya. Selanjutnya, upaya memperbaiki atau menyempurnakan
kebijakan termasuk peraturan perUUan harus terus dilakukan oleh pemerintah termasuk bersama
DPR yaitu di bidang pendaftaran tanah, pengurusan hak atas tanah termasuk pengadaan tanah
untuk kepentingan umum, dan penataan ruang.

Penulis berpendapat bahwa kebijakan hukum pertanahan merupakan suatu proses yang
dinamis dan terus menerus mengalami perubahan sesuai dinamika masyarakat, untuk itu kedepan
pembaharuan substansi hukum agraria dan pembentukan peraturan perundang-undangan di
bidang pertanahan perlu memperhatikan tiga hal, yaitu: pertama, perlu memperhatikan sejarah
perjuangan bangsa terkait penyusunan UUPA di masa lalu. Kedua, kondisi obyektif yang terjadi
saaat ini. perhatian di masa kini tentu sangat diperlukan agar Undang-Undang Pertanahan yang
sedang dibentuk sesuai dengan dengan UUPA atau paling tidak lebih menyempurnakan dan
dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat saat ini, sehingga dapat diterapkan secara
efektif dan efesien. Persepektif terhadap perkembangan mendatang diperlukan agar pembentuk
peraturan perundang-unndangan dapat berpikir futuristic untuk mengantisipasi perkembangan
masyarakat yang berjalan seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi.

3. Kepastian Hukum Penguasaan Tanah Bagi Penanaman Modal di Indonesia

Pemerintah menatap optimisme pertumbuhan ekonomi pada tahun 2022 ini salah satunya
didorong melalui perbaikan regulasi dalam rangka reformasi struktural yakni dengan adanya
Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. UU Cipta Kerja, tidak hanya menjadi upaya meningkatkan
investasi, tetapi juga untuk memperluas peran UMKM. Dalam mendorong legalitas UMKM,
Pemerintah telah memberikan kemudahan pendirian perseroan terbatas yakni cukup
secara online sistem yang dikelola oleh Kementerian Hukum dan HAM. Peningkatan modal
melalui penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang pada 2022 telah ditargetkan menjadi
sebesar Rp373 triliun serta Pemerintah juga memberikan subsidi bunga KUR sebesar 3%.

Di samping itu, Pemerintah telah memberikan kemudahan perizinan berusaha melalui


Sistem Online Single Submission (OSS), di mana pelaku UMKM cukup mendaftarkan kegiatan
usahanya. Untuk usaha yang memiliki risiko menengah rendah ke bawah, perizinan usaha akan
dapat diberikan secara online melalui OSS. Perizinan berusaha tersebut melengkapi pemenuhan
kewajiban lainnya, seperti SNI dan izin edar sesuai NSPK yang telah ditetapkan. Untuk
mendukung penerapan Sistem OSS Risk Based Approach (RBA), Pemerintah terus melakukan
perbaikan pelayanan dan Sistem OSS serta pendukungnya. Selain itu, Pemerintah juga
melakukan upaya peningkatan kapasitas SDM, baik di K/L pusat maupun daerah, sehingga
operasionalisasi Sistem OSS untuk memberikan kemudahan perizinan berusaha secara cepat,
mudah, dan pasti, dapat ditingkatkan lagi.

Investasi sebagai salah satu bagian penting dalam aktivitas perekonomian modern
belakangan ini telah berkembang pesat seiring dengan meningkatnya perkembangan teknologi
dan ilmu pengetahuan. Untuk itu, dari segi hukum, para pelaku investasi atau pihak yang tertarik
untuk terjun dalam kegiatan investasi harus memahaminya dengan benar agar investasi yang
dilakukannya tidak melanggar hukum sehingga merugikan diri sendiri dan pihak lain.

Pada prinsipnya, hukum investasi merupakan kaedah hukum yang mengkaji tentang
penanaman investasi, baik itu investasi domistik maupun investasi asing. Hukum investasi dapat
dilihat berdasarkan persepektif dari dua kepentingan yang berbeda yaitu dari negara yang
melakukan kegiatan ekpor modal untuk diinvestasikan ke negara lain (modal exporting ststes)
dan dari negra yang bekepentingan menarik modal asing agar diinvestasikan di negara (modal
importing states/host states). Bagi negara pengekpor modal, hukum investasai harus
mengakomodir kepentingan investor dengan memberi perlindungan kepada investor dan
menetapkan kewajiban kepada host states untuk melindungi modal yang diinvestasikan di host
states.Adapun bagi host states hukum investasi harus berisi kaedah untuk mengontrol investasi
agar dapat mendukung pertumbuhan ekonomi.

Dalam menarik investasi (penanaman modal), hukum investasi memiliki fungsi sangat
penting yaitu: pertama, memberikan konstribusi pada kualitas dan karakteristik dari iklim
investasi karena hukum investasi menjadi bagian dari pengembnagan dan perwujudan paket
kebijakan investasi nasional. Kedua, menjadi point penting bagi pemerintah atas harapannya
terhadap investor dan dalam memberikan perlakuan kepada investor. Ketiga, mengingat
ekonomi, kerangka hukum serta lembaga public dan privat di developing countries masih dalam
taraf pengembangan, hukum investasi sangat penting karena menjadi begitu banyak kebijakan
investasi dengan landasan hukumnya dengan menata semuanya dalam satu wadah yang
mencakup semuanya. Keempat, menjadi tanda, bahwa pemerintah menyambut baik investasi
yang dan membingkai beberapa persyaratan yang diinginkan oleh negara dalam menarik
investasi (khususnya investasi asing), mengingat investasi asing menjadi suymber penting untuk
mengakses teknologi, keuangan know how dan pasar asing.

Berbicara Investasi, Tanah memiliki daya Tarik tersendiri bagi para investor yang menjadi
pertimbangan bagi Investor yang akan menanamkan modal di Indonesia. Untuk itu Peran
Pemerintah sangat penting bagi penyelenggaraan dibidang pertanahan bagi Penanaman Modal
yang harus memberikan kepastiaan Penguasaan Tanah. Fungsi Strategis Tanah dapat dilihat dari
beberapa aspek yaitu Unsur pembentuk negara, Tempat hidup dan kehidupan warga bangsa,
Tempat investasi (melakukan usaha), Karunia Tuhan (untuk memanusiakan manusia)

Hukum investasi dibentuk untuk mendesain, mengatur dan mendorong kegiatan penanaman
modal yang dipengaruhi oleh ideologi, pertimbangan politik, teori ekonomi, tujuan
pembangunan, serta kepentingan nasional masing-masing negara. hukum yang dibuat oleh suatu
negara ada yang sangat fleksibel menerima masuknya modal khususnya modal asing27

Terkait Penggunaan Tanah dalam Investasi dilihat dari pemberian hak-hak atas tanah bagi
subyek hukum untuk dapat menggunakan Tanahnya di Indonesia berdasarkan Jenis hak yaitu
Hak Milik, dan Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP) yang
memiliki Jangka waktu terbatas.Pengaturan mengenai penguasaan tanah dalam hal pemberian
hak-hak atas tanah bagi masyarakat tertera dalam PP No. 24 Tahun 1997 jo. PP No. 18 Tahun
2021 tentang tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran
Tanah. Hal penting lainnya yang harus diperhatikan adalan Pemanfaatan Tanah dalam Investasi
yang harus berdasar pada Wawasan Lingkungan Berkelanjutan untuk Kemakmuran Rakyat.

Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,


dibentuklah Badan Bank Tanah. Dengan terbentuknya Badan Bank Tanah ini diharapkan
kebutuhan negara atas tanah mendapat solusi. Badan Bank Tanah merupakan badan khusus yang
mengelola tanah serta berfungsi untuk melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan,
pengelolaan, pemanfaatan dan pendistribusian tanah. Terbentuknya Badan Bank Tanah ini
ditujukan untuk menjamin ketersediaan tanah dalam rangka kepentingan umum, kepentingan
sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan dan reforma
agraria. Sehingga pengaturan mengenai Bank Tanah ini diharapkan dapat menjembatani
keperluan negara untuk memenuhi kebutuhan atas tanah seperti untuk pembangunan proyek
strategis nasional berupa jalan tol, waduk, bendungan atau untuk pembangunan infrastruktur
lainnya yang menyangkut kepentingan umum.

III. KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat ditarik berbagai kesimpulan, sebagai berikut:


27
Ibrahim F.I. Shihata, 2010, Regulation Foreign Investement : Dalam A. F Munir Maniruzzaman et.al. (eds).
Internasional Suistainable Development Law, Volume II, Singapura, EOLSS Publisher h.2
1. Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma
Agararia Tahun 2021 sebagai bentukan pemerintah diharapkan tidak lagi hanya
bersifat teknis semata dan mengabaikan unsur-unsur moral (kebenaran subtansial).
2. Pendekatan perundang-undangan menunjukan bahwa pelaksanaan reforma yang telah
dilakukan Pemerintah, ternyata masih menyisakan berbagai persoalan utama yang
dihadapi di bidang pertanahan yang menimbulkan sengketa, konflik dan perkara
dibidang pertanahan khususnya legalisasi dan redistribusi tanah yang meskipun
berdampak posiitif bagi masyarakat namun juga mampu menjawab berbagai
persoalan sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang sebenarnya salah tugasnya
utamanya harus diselesaikan dalam pelaksanaan reforma agrarian. Demikian juga
akan memberikan daya tarik bagi penanaman modal langsung dalam perolehan tanah
di Indonesia.
3. Penulis juga menyarankan Evaluasi terhadap Kebijakan-kebijakan di bidang
pertanahan dengan tetap memperhatikan falsafah maupun prinsip-prinsip dasar yang
terdapat dalam UUPA sehingga tujuan dari pembaharuan agraria dan perangkat
hukumnya dapat berjalan sebagaimanan mestinya sehingga memberikan jaminan
kepastian hukum penguasaan tanah bagi penanaman modal dan dampaknya
memberikan kesejahteraan kepada masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan
pendiri bangsa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA:

1. Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Permen


- Pancasila
- Undang-Undang Dasar 1945
- Undang-Undang No 5 tahun 1960 tentang Dasar
- Peraturan Presiden (Perpres) No 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
- TAP MPR IX/MPR/ 2001 TANGGAL 9 November 2001 tentang pembaharuan
Araria dan Peneglolaan Sumber daya Alam
-
2. Buku
- Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Jilid 1 (Djambatan 1995) Hal 2-3
- Bachriadi, Pembaharuan Agraraia (Agrarian Reform) ; Urgency dan
Hambatannya Dalam Pemerintahan Baru di Indonesia pasca Pemilu 1999,
makalah untuk seminar “Mendesakan Agenda Pembaharuan Agraria Dalam
Sidang Umum MPR 1999” yang diselenggarakan oleh KPA ELSAM dan Lab
Sosiologi Antropologi IPB di Jakarta, 22 September 1999
- Bernhard Limbong, Politik Pertanahan: Pustaka Maragaretha, 2014
- Gunawan Wiradi, bahan ceramah pada Temu Tani se Jawa, YTKI Jakarta 1 Mei
2003, dimuat dalam: Reforma Agraria untuk Pemula, Sekretariat Bina Desa
Jakarta, 2005.
- Mudakir Iskandar Syah, Dasar-Dasar pembebasan Tanah Untuk Kepentingan
Umum, Jakarta : Jala Pratama, 2007
- Nurus Zaman, Politik Hukum Pengadaan Tanah : “Antara Kepentingan Umum
dan Perlindungan Hak Asasi”, Reflika Aditama, 2016.
- Sajtipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Badnung: Aditya Bakti, 2009
- Sitinrangkuti Sundari, Hukum Lingkungna dan kebijaksanaan Lingkungan
NAsional, Airlangga University Press, Surabaya, 2005 Urip Santosa, SH, MH
Perolehan Hak Atas, , Kencana, 2015
- Yudhi Setiawan, Hukum Pertanahan Teori dan Praktek, malang: Bayumedia,
2010
3. Jurnal Hukum
Dr. Yanis Maladi, SH, MH, “Reforma Agraria Berparadigma Pancasila Dalam
Penataan Kembali Politik Agraria Nasional”, Jurnal Mimbar Hukum (2013) Volume
25, Nomor 1, Febrauari.
4. Website :
- Siaran Pers Bank Dunia, No 2019/006/EAP (4,3 juta Penduduk Akan Menerima
Manfaat dan Pengelolaan Tanah Yang Berkelanjutan, 20/08/2018,
www.worldbank.org)
- www.bpnri.go.id
- www.bisnis.com “Cara Pemerintah Jokowi Mengatasi Konflik Agraria”
(21/4/2021)
- https://www.prismajurnal.com/post/reforma-agraria-ditinjau-kembali/Gunawan
Wiradi, “Reforma Agraria adalah “Landreform Plus”. (Diksusi Hukum Reforma
Agraria, Prisma Bersama Kemitraan, Kamis 11 Juli 2019).
- https://www.prismajurnal.com/post/reforma-agraria-ditinjau-kembali/
Usep Setiawan, “Pelaksanaan Reforma Agraria sebagai Upaya Menata Ulang
Pemilikan, Penguasaan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah untuk Keadilan,
Kemakmuran, dan Kesejahteraan Rakyat (Diksusi Hukum Reforma Agraria,
Prisma Bersama Kemitraan, Kamis 11 Juli 2019) Jurnal
5. Laporan Kunjungan Kerja Akuntabilitas Keuangan negara Dalam Rangka
mendapatkan masukan terkait Penelaahan BAKN DPR RI tentang Agraria, Tata
Ruang dan Pertanahan Nasional ke Universitas Gajah Mada, Yogyakarta Masa
persidangan II Tahun 2021 – 2022 11 – 13 November 2021

Anda mungkin juga menyukai