Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaku Pembunuhan Begal Atas Dasar Pembelaan Diri
Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaku Pembunuhan Begal Atas Dasar Pembelaan Diri
DISUSUN OLEH :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TARUMANAGARA
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS
TERHADAP PELAKU PEMBUNUHAN BEGAL ATAS DASAR PEMBELAAN DIRI”
ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ujian
Akhir Semester pada mata kuliah Hukum Pidana. Selain itu, mini skripsi ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKU
PEMBUNUHAN BEGAL ATAS DASAR PEMBELAAN DIRI” bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. HERY FIRMANSYAH S.H, M.H.,
MPA. selaku dosen pengampu Hukum Pidana yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang penulis tekuni.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari, makalah yang dibuat ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dalam undang-undang dan dikenakan sanksi.
Tidak semua perbuatan yang melanggar dari ketentuan Undang- undang dapat dipidana,
terdapat dalam pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan alasan
penghapusan pidana. Seseorang yang menjadi korban tindak pidana pembegalan dalam keadaan
mendesak mengancam nyawanya melakukan perbuatan pembelaan tidak dipidana. Penelitian
ini dilakukan dengan tujuan mengungkap bagaimanakah suatu perbuatan pidana dapat
dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa dan bagaimanakah perlindungan hukum bagi pelaku
pembunuhan begal atas dasar pembelaan terpaksa. Tipe penelitian yang digunakan adalah
penelitian hukum normatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa suatu perbuatan pembelaan
terpaksa tidak dapat dikenakan hukuman sesuai dengan pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana yang menyatakan perbuatan pidana dilakukan dengan keadaan yang mengancam atau
serangan saat itu juga, seperti halnya seorang korban pembegalan melakukan pembelaan diri.
Hakim sebagai penegak hukum yang memeriksa dan memutuskan suatu hukuman dapat melihat
bukti-bukti dari perbuatan pelaku pembelaan diri yang memenuhi unsur-unsur pembelaan
terpaksa. Hakim juga mempertimbangkan alasan-alasan pelaku yang dapat memperingan,
apalagi pelaku yang melakukan pembelaan diri masih tergolong anak. Kepada aparat penegak
hukum khususnya hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku lebih memperhatikan
seseorang melakukan pembelaan terpaksa sehingga terciptanya keadilan.
A criminal act is an act that is prohibited by law and is subject to sanctions. Not all acts that
violate the provisions of the law can be convicted, as contained in article 49 of the Criminal
Code which was once called a criminal penalty. A person who is a victim of a criminal act of
ransom in an affected situation which threatens his life who commits the act shall not be
punished. This research was conducted with the aim of revealing how an act can be categorized
as a defense and how is the legal protection for the perpetrator of murder on the basis of defense.
The type of research used is normative legal research. The results of this study indicated that
an act which states that it cannot be charged in accordance with Article 49 of the Criminal Code,
is that a criminal act is committed in a threatening situation or an immediate attack, such as a
victim of tampering with self-defense. Judges as law enforcers who examine and decide on
evidence that can see evidence of the perpetrator's actions of self-defense that meet the elements
of the defense. The judge also considered the reasons for the offender that could make it easier,
especially since the perpetrator who did self-defense was still classified as a child. To law
enforcement officials, judges in defending offenders who pay more attention to someone who
is doing it so that justice can be created.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini marak terjadinya kasus kejahatan yang terjadi dikalangan masyarakat,
contohnya; kemanusiaan, Genosida, Korporasi, Terorganisasi, Perang, Dunia maya, Bisnis, dan
Agrasi. Pada pembahasan kali ini penulis ingin membahas tentang kejahatan kemanusiaan salah
satunya yaitu pembegalan. Belakangan ini kasus pembegalan sering terjadi di beberapa kota di
Indonesia dan hal ini cukup menimbulkan keresahan masyarakat. Aksi pembegalan biasanya
dilakukan dengan cara mencuri atau merampas kendaraan dengan disertai kekerasan. Sasaran
pembegalan ini umumnya adalah pengendara sepeda motor. Kasus pembegalan pada umumnya
dilakukan pada malam hari dan di daerah yang sepi. Hal tersebut sangatlah meresahkan,
terutama masyarakat yang bekerja dan pulang saat malam hari. Pembegal dalam melakukan
aksinya tidak pandang bulu terhadap siapa saja korbannya seperti wanita, pria, bahkan kepada
anak-anak. Polisi sebagai aparat penegak hukum diharapkan untuk lebih tegas dalam menindak
kasus tindak pidana pencurian kendaraan bermotor dengan kekerasan atau pembegalan. Maka
dari itu peran kepolisian sangatlah penting untuk menjaga keamanan dan kesejahteraan
masyarakat.
Tindak pidana pencurian dengan kekerasan adalah perbuatan mencuri sesuatu yang
bukan miliknya disertai dengan perbuatan fisik menggunakan tenaga atau kekuatan fisik yang
cukup besar yang ditujukan kepada orang sebagai objek pencurian dan mengakibatkan orang
tersebut tidak berdaya. 1 Seperti pembahasan diatas terdapat kasus adanya pembelaan diri secara
darurat terhadap diri sendiri atau orang lain untuk melindungi harta dan mempertahankan hak
miliknya. Hal seperti ini dapat dilihat dalam sebuah kasus pembegalan.
Di dalam buku Viktimologi menurut Arief Gosita korban kejahatan adalah orang yang
menderita jasmaniah dan rohaniah akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan
kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak
yang dirugikan. Di mana jasmaniah memiliki arti yang sama dengan kerugian fisik, kerugian
1
Soerjono Soekanto, Et Al, 2016, Penanggulangan Pencurian Tinjauan Kriminologi, Aksara, Jakarta, hlm. 20.
harta benda, dan mengakibatkan mati. Rohaniah memiliki arti penderitaan mental dapat
melakukan pembelaan diri atau melakukan pembelaan darurat (noodweer). 2
Pada kenyataannya tidak semua korban hanya diam saja pada saat dirampas barang-
barangnya. Ada beberapa korban yang melakukan perlawanan untuk membela diri agar
barangnya tidak dirampas. Demi keselamatannya korban tidak segan-segan untuk melakukan
serangan balik terhadap pelaku pembegalan sehingga pelaku pembegalan bisa saja mengalami
luka-luka sampai kematian untuk melakukan perlawanan dan membelaan dirinya. Dengan
demikian tindakan pembelaan diri secara hukum harus dibedakan dengan tindakan main hakim
sendiri.
Di dalam teori hukum pidana dikenal yang namanya pembelaan diri yaitu upaya yang
dilakukan oleh seseorang untuk menjaga keselamatan hidup baik jiwa, harta, benda maupun
kehormatannya dan itu dibenarkan oleh kitab undang-undangan hukum pidana (KUHP) sebagai
salah satu alasan pembenar tindakan pembelaan diri atau self defense atau dalam Bahasa
Belandanya disebut dengan nodweer tertuang dalam pasal 49 KUHP yang berbunyi sebagai
berikut:
Ayat (1) Tidak dipidana, barang siapa yang melakukan perbuatan pembelaan darurat
untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda
sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat
dekat pada saat itu yang melawan hukum.
Ayat (2) Pembelaan darurat yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh
keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak
dipidana.
Menurut dari pasal yang disebutkan di atas orang yang melakukan pembelaan diri tidak
dapat dihukum. Di dalamnya juga dijelaskan alasan penghapusan pidana, yaitu karena
perbuatan pembelaan diri darurat bukan didasari oleh tindakan melawan hukum. Dalam
melakukan pembelaan diri yang darurat harus mempunyai beberapa syarat menurut R. Soesilo
2
Mahrus Ali, 2021, Viktimologi, Rajawali Pers, Bandung, hlm. 30.
dalam buku “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar lengkap pasal
demi pasal”, yaitu:3
Ayat (1) Perbuatan yang dilakukan itu harus darurat dilakukan untuk mempertahankan
(membela).
Ayat (2) Pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap kepentingan-
kepentingan yang disebut dalam pasal yaitu badan, kehormatan, dan barang diri sendiri
atau orang lain.
Ayat (3) Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-
koyong atau pada saat itu juga.
B. Rumusan Masalah
3
Soesilo, Op.Cit., hlm. 65-66
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian
TUJUAN PENELITIAN
KEGUNAAN PENELITIAN
1. Secara Teoritis
2. Secara Praktis
Dalam pembahasan mini skripsi ini dibagi kedalam beberapa bab yaitu, sebagai
berikut:
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Andi Hamzah pada buku ciptaannya sendiri mengatakan bahwa daya paksa
absolut (vis absoluta) sebenarnya merupakan bukan daya paksa yang sesungguhnya, karena di
sini pembuat sendiri menjadi korban paksaan fisik orang lain. Jadi orang tersebut tidak punya
pilihan lain sama sekali. Contohnya seperti seseorang yang diangkat oleh orang pegulat yang
kuat lalu dilemparkan ke orang lain sehingga orang lain itu tertindas dan cedera. Orang yang
dilemparkan itu sendiri sebenarnya menjadi korban juga sehingga sama sekali tidak dapat
dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan menindas orang lain.
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 1 ayat (1) dijelaskan
“Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lage Poenali” yang artinya “Tiada suatu
perbuatan dapat dipidana jika tidak ada aturan hukum yang mengatur sebelumnya”. Dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pengertian dan alasan penghapus pidana
tidak dijelaskan secara gamblang serta tidak membedakan secara tegas antara alasan
pembenar dan alasan pemaaf dalam pengahapus pidana. Namun Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) menyatakan dalam beberapa Pasal, yaitu sebagai berikut :
Suatu tindakan atau suatu perbuatan melawan hukum (PMH) mempunyai sanksi hukum yang
tegas namun tidak semua perbuatan melawan hukum dapat dikenakan hukuman pidana, hal
ini disebabkan karena adanya alasan-alasan penghapus pidana. Oleh sebab itu, Hal ini
membuat seorang pelaku tidak dapat dijatuhi hukuman meskipun telah terbukti melakukan
suatu perbuatan melawan hukum. Alasan tersebut dibagi menjadi 3 bagian:
a) Alasan Pembenar: Alasan ini menghilangkan sifat melawan hukum bagi pelaku,
dimana tindakan tersebut dipandang sebagai suatu tindakan yang benar dan patut
untuk dilakukan. Seperti yang tertera pada Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yang berbunyi “Barang siapa melakukan perbuatan untuk
melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana”. Contoh seperti, ketika
ada seorang aparat penegak hukum memanggil A untuk dimintai keterangan, A
akhirnya ditahan, itu dinamakan melanggar hak kebebasan seseorang, tetapi hal
tersebut dibenarkan dalam undang-undang.
b) Alasan Pemaaf: Pada dasarnya alasan ini tidak dapat disalahkan, menghapus
kesalahan si pelaku sehingga perbuatannya tidak mendapat hukuman. Seperti yang
tertuang pada Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
berbunyi “Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya
atau sakit berubah akal.” Contohnya sebagai berikut, ketika A sedang berjalan
seorang diri, kemudian tiba-tiba dilempar batu oleh B, yang diketahui bahwa B
adalah seorang penyandang gangguan jiwa. Perbuatan B merupakan suatu tindakan
yang melawan hukum, akan tetapi karena dia orang dengan gangguan jiwa, maka
unsur kesalahan didalamnya hilang, sehingga tidak dapat dipidana. Alasan pemaaf
ini terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 48 - Pasal
51.
c) Alasan Penghapus Penuntutan : Yang menjadi pertimbangan dalam alasan
penghapusan penuntutann adalah kepentingan umum, dan kemanfaatan bagi
masyarakat, maka diharapkan untuk tidak diadakannya penuntutan. Seperti yang
tertuang pada Pasal 53 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
berbunyi:
1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan
adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan
semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi
sepertiga.
3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.” Contohnya
seperti ini: jika ada seorang yang mencoba untuk melakukan suatu tindakan
kejahatan, tetapi pelaku sendiri dengan kesadaran dirinya mengurungkan niat
tersebut, karena pada saat akan melakukan perbuatan tersebut ternyata banyak
polisi di tempat kejadian, atau ada hal lain yang menyebabkan pelaku
membatalkan niatnya.”
1) Alasan pembenar, yaitu alasan yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum yang
terdapat pada perbuatan tersebut sehingga perbuatan yang dilakukan oleh
terdakwa/pelaku menjadi perbuatan yang patut dan benar.
2) Alasan pemaaf, yaitu alasan yang dapat menghapuskan kesalahan yang dilakukan oleh
terdakwa. Jadi, perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum,
dan tetap dikatakan perbuatan pidana, namun terdakwa/ pelaku tidak dapat dipidana
karena tidak adanya kesalahan.
3) Alasan penghapus penuntutan, dalam hal ini permasalahannya bukan karena terdapat
alasan pembenar maupun alasan pemaaf, penulis menegaskan bahwa jadi tidak ada
pikiran mengenai sifatnya perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa/pelaku maupun
sifatnya orang/subjek hukum yang melakukan perbuatan tersebut, namun hakim
menganggap bahwa atas dasar ada kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak
diadakan penuntutan
B. Tinjauan Umum Tentang Batasan dan Syarat-Syarat Melakukan Pembelaan Diri Menurut
Pasal 49 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Batasan perbuatan pembelaan diri ini sendiri menurut tokoh yang bernama
Schaffmeister, Keijzer, dan Sutorius (1995) ialah pembelaan itu merupakan suatu
keharusan dan, meskipun tidak secara eksplisit tertuang dalam rumusan delik pasal itu,
cara pembelaan haruslah bersifat patut. unsur serangan (aanranding). Suatu tindakan
dapat diklasifikasi sebagai serangan jika memenuhi tiga syarat, yaitu perbuatan yang
melanggar hukum, mendatangkan suatu bahaya yang mengancam secara langsung, dan
bersifat berbahaya bagi tubuh, kehormatan, atau benda kepunyaan sendiri atau
kepunyaan orang lain. Jika dilihat pada rumusan pasal, juga diharuskan serangan itu
bersifat seketika atau mendadak.
Dalam Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ayat (1) dan (2) yang
berbunyi : (1)"Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa
untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda
sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat
dekat pada saat itu yang melawan hukum". (2)“Pembelaan terpaksa yang melampaui
batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan
itu, tidak dipidana”
Perbuatan pembelaan diri secara terpaksa yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1)
dibenarkan apabila perbuatan tersebut dilakukan karena terpaksa untuk menyelamatkan
nyawa, kehormatan, kesusilaan, dan harta benda diri sendiri maupun oranglain,
sehingga pelaku atau seseorang yang melakukan pembelaan diri dapat dibenarkan dan
bahkan dilindungi oleh hukum yang berlaku.
Oleh sebab itu, pelaku yang melakukan pembelaan diri seharusnya tidak dapat
dijatuhi hukuman pidana karena perbuatan pembelaan diri dilakukan secara terpaksa
dan spontanitas untuk menghindari diri dari serangan atau ancaman yang datang secara
tiba-tiba dari oranglain. Perbuatan pembelaan terpaksa atau pembelaan diri diatur
dalam Pasal 49 ayat (2), yaitu “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang
langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman
serangan itu, tidak dipidana” Dapat disimpulkan bahwa perbuatan pembelaan diri harus
dilakukan seperlunya saja, dalam hal ini pembelaan dilakukan seperlunya itu harus
disebabkan karena pengaruh dari suatu kegoncangan jiwa yang hebat sehingga
mempengaruhi jiwa si pelaku dan bukan semata-mata disebabkan karena ketidaktahuan
apa yang harus akan si pelaku lakukan dan adanya rasa takut.
Disamping kedua syarat pokok itu, juga harus disebut syarat-syarat yang penting yaitu:
A. Tidak terhadap tiap serangan dapat dilakukan pembelaan diri, akan tetapi hanya
terhadap serangan yang memenuhi syarat syarat sebagai berikut yaitu:
1) Serangan itu harus datang mengancam dengan tiba-tiba (orgen blikkelijk of
onmiddelijk dreigend)
2) Selanjutnya serangan itu harus wedderechtelijk.
Akan tetapi di samping ketentuan, bahwa serangan itu harus ada pembelaan diri, maka
pembelaan diri harus memenuhi syarat yang ditentukan.
B. Tidak tiap pembelaan dapat merupakan noodweer akan tetapi hanya pembelaan
yang memenuhi syarat-syarat sebagai :
1) Pembelaan itu harus geboden.
2) Pembelaan itu harus noodzakelijk.
3) Selanjutnya pembelaan itu harus merupakan pembelaan terhadap diri sendiri
atau diri orang lain, kehormatan atau benda. Hanya jika ada serangan yang
bertentangan dengan hukum (wederrechtelijk) dan mengancam dengan tiba-tiba
terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan atau benda dapat dilakukan
pembelaan. Nampaklah bahwa kepentingan hukum yang dibela itu tidak perlu
kepentingan hukumnya sendiri. Dapat juga pembelaan itu dilakukan guna
membela kepentingan hukum orang lain
Penulis berpendapat bahwa tidak dapat dihukumnya pelaku yang melakukan pembelaan
diri itu sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan berdasarkan kepatutan. Jadi dalam hal ini,
pertimbangan yang digunakan harus tetap mengacu bedasarkan pada nilai-nilai dan norma-
norma hukum yang berlaku maka pada saat mengadili pelaku yang melakukan pembelaan diri
harus benar- benar adanya keseimbangan antara kepentingan yang dibela dengan kepentingan
yang dikorbankan.
Istilah dari tindak pidana ialah terjemahan dari Bahasa Belanda yaitu Strafbaarfeit, di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada penjelasan sendiri dengan yang
dimaksud Strafbaarfeit. Biasanya tindak pidana ini memiliki arti yang sama dengan delik, yang
berasal dari Bahasa Latin yaitu dari kata delictum. Dalam kamus hukum pembatasan delik telah
dicantumkan bahwa “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena
merupakan pelanggaran terhadap undang-undang (tindak pidana).”. Tindak Pidana dalam
Bahasa Belanda yaitu Strafbaarfeit, terdiri dari tiga (3) suku kata, straf yang diterjemahkan
sebagai pidana dan hukum, baar diterjemahkan sebagai dapat dan boleh, dan felt yang
diterjemahkan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Pengertian dari tindak
pidana ini dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sering disebut dengan istilah
Strafbaarfeit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan delik,
sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan
istilah peristiwa pidana perbuatan pidana, atau kejadian pidana.
Menurut Pompe sebagaimana dikutip dalam buku Karya Laminating Strafbaarfeit yaitu
; “Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang dengan sengaja
ataupun tidak Sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman
terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.”
Simons mengartikan sebagaimana dikutip dalam buku Leden Marpaung strafbaarfeit
sebagai berikut. “strafbaarfeit adalah suatu tindakan yang melanggar hukum yang telah
dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut
dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan
yang dapat dihukum.”
Van Hamel juga merumuskan delik (strafbaarfeit) yakni sebagai berikut: “Kelakuan
manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan
dilakukan dengan kesalahan.”
a. Subyektif adalah berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu
segala sesuatu yang terkandung dihatinya.
b. Obyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang ada
hubungannya dengan keadaan-keadaannya, yaitu dalam keadaan- keadaan mana
tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.
Berdasarkan beberapa pengertian dari para ahli yang telah dijelaskan di atas, kita dapat
mengetahui bahwa tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu
yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang dimaksud dengan begal
merupakan penyamun. Membegal dapat diartikan sebagai merampas dijalan atau menyamun.
Pembegalan merupakan proses, cara perbuatan membegal, perampasan ini sering terjadi di
kota-kota besar bahkan kecil sehingga masyarakat tidak berani memakai perhiasan jika ingin
pergi. Pembegal atau yang biasa kita sebut dengan begal merupakan Tindakan merampas atau
mencuri sesuatu milik orang lain secara paksa, hampir mirip dengan perampok, namun begal
langsung melukai korbannya tanpa basa-basi. Para pelaku begal ini melakukan Tindakan
kejahatannya tanpa pandang bulu bahkan dapat dibilang dengan cara sadis, tanpa adanya rasa
belas kasihan dan pelaku tersebut langsung berani melukai korbannya bahkan hingga tewas dan
meninggalkan korban dengan begitu saja.
Sedangkan menurut England and West of Theft Act, “seseorang dinyatakan melakukan
pembegalan ketika ia melakukan pencurian atau perampasan dengan paksaan, sehingga
membuat korban tersebut takut”.
Menurut Louise E. Porter, “pembegalan itu bisa ditujukan untuk mendapatkan barang
komersil (biasanya lebih terencana dan dalam jumlah besar) serta bisa pula barang personal”.
Menurut Porter, “pelaku begal yang tujuannya untuk barang personal cenderung lebih kejam
atau hostile “berseteru”.
Tindak Pidana merupakan perbuatan yang sangat dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan ini disertai dengan ancaman (sanksi) yang dapat berupa pidana tertentu, bagi
barangsiapa yang melanggar aturan hukum tersebut. Tindak Pidana Perampasan ini sendiri
telah diatur dalam BAB XXIII Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berisikan
bahwa terdiri dari dua (2) macam tindak pidana, yakni tindak pidana perampasan (afpersing)
dan tindak pidana pengancaman (afdreiging). Kedua macam tindak pidana ini memiliki sifat
yang sangat mirip, yaitu suatu perbuatan yang bertujuan untuk merampas barang atau hak orang
lain. Oleh karena memiliki sifat yang sangat mirip kedua tindak pidan aini biasanya disebut
dengan nama yang sama, yakni “perampasan” serta telah diatur dalam bab yang sama.
Tindak Pidana merupakan perbuatan yang sangat dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan ini disertai dengan ancaman (sanksi) yang dapat berupa pidana tertentu, bagi
barangsiapa yang melanggar aturan hukum tersebut. Berkaitan dengan masalah pengertian dari
tindak pidana terdapat tiga (3) hal yang perlu diperhatikan yaitu perbuatan pidana ialah
perbuatan oleh suatu aturan hukum yang dilarang dan diancam pidana. Larangan ini ditujukan
untuk perbuatan yaitu suatu keadaan atau kejadian yang diciptakan oleh seseorang. Sedangkan
ancaman pidana ini dikhususkan kepada seseorang yang menciptakan kejadian tersebut. Antara
larangan dan ancaman pidana ada keterkaitan yang sangat erat, oleh karena itu antara kejadian
dan seseorang yang menciptakan kejadian tersebut ada keterkaitan yang sangat erat juga.
Kejadian tidak dapat dilarang apabila yang menciptakan bukan seseorang, dan orang tidak dapat
diancam pidan ajika tidak karena kejadian yang diciptakan oleh dirinya. Sekalipun demikian,
tidak ada salahnya apabila orang menyebut, bahwa kedua tindak pidana ini mempunyai julukan
sendiri, yakni perampasan untuk tindak pidana yang telah diatur dalam pasal 368 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) dan pengancaman untuk tindak pidana yang telah diatur dalam
pasal 369 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Oleh karena itu, dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri juga masih menggunakan kedua nama
tersebut untuk merujuk pada tindak pidana yang diatur dalam pasal 368 dan pasal 369 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam ketentuan pasal 368 KUHP tindak pidana perampasan dirumuskan dengan
rumusan sebagai berikut:
1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan, untuk memberikan suatu barang, yang seluruhnya atau Sebagian
adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun piutang,
diancam karena pemerasan, dengan pidana paling lama sembilan tahun.
2. Ketentuan pasal 365 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) berlaku dalam tindak pidana
ini.
4. Unsur-Unsur dan Ketentuan Hukum Tindak Pidana Perampasan
1. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau
membuatkan)
2. Diancam dengan pidana (strafbaarfeit gesteld)
3. Melawan hukum (onrechtmatige daad)
4. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)
5. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab (toerenkeningsvatbaar).
Dari unsur-unsur tindak pidana yang telah disebutkan diatas, kemudian untuk cara
membedakan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari strafbaarfeit. Bahwa yang
dimaksud unsur obyektif adalah perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.
Sedangkan yang dimaksud dengan subyektif ialah orang yang mampu bertanggungjawab dan
adanya kesalahan (dolus atau culpa). Unsur-unsur tindak pidana meliputi ;
Untuk memungkinkan pemindahan secara wajar maka tidak cukup apabila seseorang
itu telah melakukan perbuatan belaka, di samping itu pada seseorang tersebut harus ada
kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab. Jadi unsur-unsur yang harus dipenuhi agar
seseorang dapat dikenakan pemidanaan adalah harus dipenuhinya unsur-unsur dalam perbuatan
pidana (criminal act) dan unsur-unsur dalam pertanggungjawaban pidana (criminal
responsibility). Unsur-unsur perbuatan pidana yaitu perbuatan manuia yang memenuhi
rumusan undang-undang (ini merupakan syarat formil), dan bersifat melawan hukum (ini
merupakan syarat materil).
Unsur-unsur yang ada dalam ketentuan pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Unsur- unsur dalam ketentuan ayat (1) pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) :
Beberapa unsur yang dimaksud dalam uraian diatas adalah sebagai berikut ;
Unsur- unsur dalam ketentuan yang telah ada dalam ayat (2) pasal 368 KUHP.
Berdasarkan ketentuan ini pasal 368 ayat (2) KUHP tindak pidana perampasan diperberat
ancaman pidananya apabila :
1. Tindak pidana perampasan itu dilakukan apabila pada waktu malam hari dalam
sebuah rumah atau dalam sebuah pekarangan tertutup yang ada rumahnya atau
apabila perampasan dilakukan dijalan umum atau diatas kereta api atau
kendaraan lainnya yang sedang berjalan. Ketentuan ini berdasarkan pasal 368
ayat (2) jo pasal 365 ayat (2) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dengan ancaman pidana selama dua belas (12) tahun penjara.
2. Tindak pidana perampasan yang telah dilakukan oleh dua orang atau lebih secara
23idan a-sama. Sesuai dengan ketentuan pasal 368 ayat (2) jo pasal 365 ayat (2)
ke-2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman pidana
dua belas (12) tahun penjara.
3. Tindak pidana perampasan,apabila untuk masuk ketempat atau keruangan
melakukan perbuatan kejahatan yang dilakukan dengan cara membongkar,
merusak atau memanjat, memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau jabatan
(seragam) palsu. Sesuai dengan ketentuan pasal 368 ayat (2) jo pasal 365 ayat
(2) ke-3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan pidana penjara
dua belas (12) tahun.
4. Tindak pidana perampasan yang dilakukannya mengakibatkan terjadinya luka
berat, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 368 ayat (2) jo pasal 365 ayat
(2) ke-4 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ancaman pidananya
sama dengan yang diatas, yaitu dua belas (12) tahun penjara.
5. Tindak pidana perampasan yang mengakibatkan matinya seseorang. Telah
diatur dalam ketentuan pasal 368 ayat (2) jo pasal 365 ayat (3) Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman pidana yang lebih berat, yaitu
lima belas (15) tahun penjara.
6. Tindak pidana perampasan yang dilakukan tersebut telah menimbulkan luka
berat atau kematian serta dilakukan oleh dua orang atau lebih secara 23idan a-
sama dengan disertai hal-hal yang memberatkan sebagaimana yang diatur dalam
pasal 365 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Berdasarkan ketentuan pasal 368 ayat (2) jo pasal 365 ayat (4) Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) tindak pidana perampasan ini diancam dengan
pidana yang lebih berat lagi, yaitu dengan hukuman pidana mati, pidana seumur
hidup atau pidana selama waktu tertentu paling lama dua puluh (20) tahun
penjara.
Berdasarkan ketentuan yang telah dijelaskan diatas, maka terdapat enam (6) macam
tindak pidana perampasan dengan pemberatan dengan ancaman pidana yang diperberat.
Bentuk dari tindak pidana perampasan yang kedua merupakan “pengancaman”. Dalam
Bahasa Inggris arti dari tindak pidana “pengancaman” ini dikenal dengan nama blackmail,
sedangkan dalam Bahasa Perancis dikenal dengan istilah chantage. Sebagaimana yang telah
dikemukakan sebelumnya, bahwa tindak pidana yang diatur dalam pasal 368 dan 369 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sama-sama merupakan perampasan. Perbedaanya
ialah hanya terletak pada cara-cara yang digunakan dalam kedua tindak 24idan aini. Tindak
pidana dalam pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lazim disebut
“perampasan” menggunakan “kekerasan atau ancaman kekerasan” sedangkan tindak pidana
yang tertuang dalam pasal 369 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lazim
disebut sebagai “pengancaman” menggunakan cara “pencemaran baik lisan maupun tertulis
Ketentuan pasal 369 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selengkapnya berbunyi :
1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran baik lisan maupun
tulisan atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa seseorang
supaya memberikan sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang
lain, atau supaya memberikan hutang atau menghapus piutang, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun
2. Kejahatan ini tidak dituntut kecuali atas pengaduan orang yang terkena
kejahatan.
Unsur-unsur tindak pidana pengancaman berdasarkan pada pasal 369 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatas juga
memberikan pengertian terhadap apa yang dimaksud dengan “pencemaran lisan”. Lantas apa
yang dimaksud dengan “pencemaran tertulis?” Apabila perbuatan tindak pidana tersebut
sebagaimana disebutkan dalam pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) tersebut dilakukan dengan tulisan, misalnya dengan menyebarkan atau menempelkan
tulisan atau lukisan, maka hal itu disebut “pencemaran secara tertulis”.
Unsur lain dari pasal 369 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih
belum dijelaskan merupakan unsur “ancaman membuka rahasia”. Apa yang dimaksud dengan
rahasia. Tentang pengertian dari rahasia ini berbeda dengan pengertian rahasia sebagaimana
yang dimaksud dalam ketentuan pasal 322 Kitan Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Membuka rahasia” yang dimaksud dalam ketentuan pasal 322 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) ini berhubungan dengan pembukaan rahasia oleh seseorang yang karena
jabatannya atau pekerjaannya itu mewajibkan untuk menyimpan rahasia itu. Sebagai
contoh,misalnya seperti, seorang notaris diwajibkan untuk menyimpan rahasia terhadap isi dari
surat hibah wasiat yang bersifat rahasia (geheim testament), sehingga apabila notaris tersebut
membuka rahasia ini, notaris tersebut dapat dikenakan hukuman sesuain ketentuan pasal 322
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), membuka rahasia dalam pengertiannya yang
sesuai dalam ketentuan pasal 369 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengandung
arti, memberitahukan kepada orang lain atau pihak ketiga tentang hal-hal mengenai orang yang
diancam atau orang ketiga yang terkait dengan orang yang diancam.
Pada hakikatnya baik itu pencemaran nama baik maupun membuka rahasia mempunyai
tujuan yang sama, yakni memberitahu kepada orang lain atau pihak ketiga atau khalayak umum
tentang sesuatu hal yang menyangkut orang yang diancam. Rahasia pada dasarnya mengenai
suatu hal yang benar-benar terjadi, tatapi karena sesuatu hal (misalnya takut diketahui oleh
seorang istrinya, anaknya, atasannya, dan sebagainya) disembunyikan. Sedangkan pencemaran
nama baik sendiri mengenai suatu hal yang benar atau tidak benar yang dapat mencemarkan
nama dan kehormatan atau harga diri seseorang yang diancam. Berdasarkan dari ketentuan
pasal 369 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tindak pidana pengancaman
ini merupakan delik aduan, yaitu delik yang hanya dapat dituntut atas pengaduan. Dengan
demikian, tanpa adanya pengaduan tindak pidana pengancaman tersebut tidak dapat dituntut.
Peraturan Kepolisian adalah peraturan berupa perintah atau larangan yang dikeluarkan oleh
Kepolisian dan ditujukan kepada penduduk (Polizeiverordnungen an die
Bevolkerunggerichtete Polizeiliche Gebote Oder Verbote). Jadi, Peraturan Kepolisian mengikat
warga masyarakat karena peraturan tersebut dikeluarkan untuk kepentingan masyarakat dalam
kaitannya dengan tugas Kepolisian.
Peran dan fungsi Kepolisian dalam mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang
merata berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat dan berkedaulatan
rakyat dalam suasana berperikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib dalam lingkungan
pergaulan dunia yang bersahabat dan damai. Pelayanan yang diberikan Polri kepada masyarakat
yaitu dengan cara menerima laporan dan pengaduan apapun dari masyarakat dalam waktu 1x24
jam, Polri secara langsung telah memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat dalam
menjalankan segala aktifitasnya sehari-hari.
Peranan utama seorang polisi adalah sebagai penegak hukum pidana, dan penjaga ketertiban.
Tugas tambahan kepolisian adalah melakukan kegiatan pencegahan (preventif) melalui
kegiatan kemasyarakatan. Dapat disimpulkan bahwa fungsi dan tugas dari seorang polisi
dimulai sebagai “penjaga keamanan” (watchman), yang pasif dan reaktif berubah menjadi
“pemberantas kejahatan” (crime fighter) yang agresif dan reaktif serta “penegak hukum” (law
enforcer) yang agresif dan pro-aktif.
Menurut pasal 13 Undang-Undang nomor 2 Tahun 2002 dinyatakan bahwa tugas pokok dari
Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah untuk “Memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat”.
6. Komplotan begal di Sidoarjo yang beraksi pertengahan April 2020 lalu di Jalan KH Ali
Mas'ud, sekitaran Museum Mpu Tantular, Buduran, berhasil ditangkap Satreskrim Polresta
Sidoarjo. Termasuk dua penadah barang hasil curian komplotan bandit itu juga diungkap
petugas. Semua digelandang ke Polresta Sidoarjo, Jumat (8/5/2020).
"Dari laporan masyarakat yang masuk terkait terjadinya aksi begal tersebut, tim kami dari
Satreskrim Polresta Sidoarjo berhasil mengungkap kasus begal ini. Tim menangkap
sembilan pelaku. Tujuh sebagai pelaku begal sudah ditangkap, dan satu lagi masih DPO.
Kemudian ada lagi dua pelaku sebagai penadah," ungkap Kapolresta Sidoarjo Kombes Pol.
Sumardji, Jumat (8/5/2020) di Mapolresta Sidoarjo.
Sembilan orang itu, antara lain Rahmat Maulana (18) Warga Tebel Barat, Sidoarjo; Givril
Fardan Abdullah (23) Warga Jl Lokomotif Gedangan; Zainul Abidin (24) Warga Kediri
yang kos di Jalan Seruni, Gedangan; Azriya Aji Wibowo (18) Desa Seruni, Gedangan. Serta
ada Ahmad Faridzotur Roikhan (18), Dekris Guruh Kurnia (22), dan Raju Maulana (17),
ketiganya warga Desa Keboansikep, Kecamatan Gedangan, Sidoarjo. Satu pelaku yang
masih dalam pengejaran berinisial IW. Sedangkan dua penadah yang juga tertangkap adalah
Jeris Prasesan (25) warga Simorukun, Surabaya; dan Chairil Achmed (49) asal Simogunung
Kramat Timur, Surabaya.
Dari sembilan tersangka itu, satu di antara diketahui baru keluar dari penjara setelah
mendapat asimilasi 10 maret 2020 lalu. Dia adalah Givril Fardan yang pada 2018 lalu juga
ditangkap polisi dalam kasus serupa di kawasan Mpu Tantular. "Tentu dia akan mendapat
hukuman lebih berat. Berstatus residivis, dan mengulangi lagi perbuatannya," ujar
Sumardji.
Komplotan ini terbilang sadis. Mereka tak segan menganiaya korbannya. Seperti yang
dilakukan terhadap dua korban, Arif Fauzan bersama Candra Pratama, pertengahan April
2020 lalu di Jalan KH Ali Mas'ud, sekitaran Museum Mpu Tantular, Sidoarjo.
Saat itu kedua korban berboncengan, melintas di jalan tersebut pukul 00.30 WIB hendak
pulang ke rumahnya. Kemudian di Jalan KH. Ali Mas'ud, ia dihadang delapan orang pelaku
begal mengendarai empat unit motor matic. Kemudian kedua korban dikeroyok oleh
delapan pelaku.
Hingga akhirnya motor matic milik korban dirampas para pelaku. Akibat pengeroyokan ini,
korban mengalami luka pukul benda keras di bagian kepala.
Mendapat motor, para bandit itu kemudian kabur meninggalkan korban. Di sela menjalani
pemeriksaan, para bandit itu mengaku langsung menjual sepeda motor hasil kejahatan
mereka ke Surabaya. "Laku Rp 2,4 juta," jawab seorang tersangka saat ditanya penyidik.
Uang hasil penjualan motor itu lantas dipakai untuk pesta minuman keras. Mereka juga
sempat bagi-bagi hasil kejahatan. Satu pelaku mendapat bagian Rp 200.000.
Dalam penangkapan ini, polisi juga menyita sepeda motor yang dipakai sarana oleh pelaku.
Serta mengamankan sepeda motor korban dari tangan penadahnya. Jumat sore, Kapolres
menyerahkan sepeda motor tersebut kepada korban. Penyerahan dilakukan di Polresta
Sidoarjo. "Terima kasih pak. Saya bersyukur para pelaku berhasil ditangkap dan sepeda
motor saya bisa kembali," kata Candra usai menerima kembali sepeda motornya. (cat/rev)
Terhadap para pelaku begal, mereka dikenakan perkara 365 KUHP dengan ancaman
hukuman 12 tahun penjara. Sedangkan bagi kedua pelaku yang berprofesi sebagai penadah
dikenakan ancaman hukuman 4 tahun penjara, sesuai dengan pasal 480 KUHP. Dalam
kesempatan ini, Kapolresta Sidoarjo Kombes Pol. Sumardji mengimbau kepada masyarakat
untuk senantiasa waspada dan berhati-hati saat berkendara. "Meskipun polisi sudah
berpatroli di titik-titik rawan, kepada masyarakat diimbau jangan keluar malam, serta
jangan melintas di jalan raya yang kondisinya sepi. Di tengah pandemi Covid-19 saat ini
lebih baiknya tetap di rumah saja," pungkasnya. (cat/rev)18 Suatu kejahatan belum
dikriminalisasi, tidak berarti perbuatan tersebut tidak dapat dikenakan sanksi sosial dari
masyarakat. Berkaitan dengan kejahatan begal, pada dasarnya istilah ini tidak diatur dalam
hukum positif Indonesia, melainkan sebuah istilah yang digunakan masyarakat tradisional
yang kemudian berkembang menjadi istilah terhadap pelaku kejahatan yang mencegat
korban di jalan dan melakukan perampasan harta si korban. Adapun dalam koridor hukum
positif, aksi begal biasanya dikenakan Pasal 365 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) mengenai pencurian dengan kekerasan dan/atau Pasal 368 KUHP mengenai
pemerasan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Berkenaan dengan kasus di atas maka diketahui bahwa seseorang menjadi pelaku kejahatan
pemerasan dengan kekerasan dalam bentuk pembegalan terhadap pengendara sepeda motor.
Pengaturan mengenai kejahatan perampasan dengan kekerasan dalam kasus diatas diatur di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah dalam Pasal 368 ayat (2)
KUHP yang berbunyi “ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi
kejahatan ini. Dan isi pasal 365 KUHP adalah sebagai berikut:
1. Diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun pencurian yang didahului,
disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan
maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap
tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya atau untuk tetap
menguasai barang yang dicuri.
2. Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun :
a. Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan
tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang
berjalan.
b. Jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu.
c. Jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat atau dengan
memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
d. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
3. Jika perbuatan mengakibatkan kematian, maka diancam dengan pidana penjara paling
lama lima belas tahun.
4. Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau
kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah
satu hal yang diterangkan dalam nomor 1 dan 3.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 365 KUHP di atas maka diketahui bahwa hukum positif
yang berlaku di Indonesia telah mengatur secara terperinci mengenai kejahatan perampasan
dengan kekerasan berikut sanksi pidana yang diancamkan kepada pelaku kejahatan
perampasan dengan kekerasan (pembegalan).
BAB III
METODE PENELITIAN
A.Sifat Penelitian
Dilihat dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif. Metode deskriptif yaitu penelitian
yang berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada berdasarkan data, jadi ia
menyajikan data tersebut dan kemudian menganalisa serta menginterpretasikannya.4 Seperti
halnya namanya, sifat penelitian tersebut ialah menggambarkan keadaan seperti yang ada saat
ini. Hal tersebut hanya menggambarkan fenomena atau situasi yang diteliti dan
karakteristiknya, serta melaporkan apa yang telah terjadi atau apa yang terjadi.5 Penelitian
deskriptif diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta, atau kejadian-kejadian secara
sistematis dan akurat. 6
Lebih spesifiknya lagi, penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu untuk
menggambarkan, menemukan fakta-fakta hukum secara menyeluruh dan mengkaji secara
sistematis peraturan perundang-undangan serta kasus yang berkaitan dengan pembelaan diri.
Secara rinci menggambarkan dan menemukan fakta-fakta hukum berkenaan dengan masalah
yang diteliti.
Sudah dimaklumi bahwa penelitian merupakan aktivitas ilmiah yang sistematis, terarah,
dan bertujuan, maka pengumpulan data penelitian adalah sangat penting guna
Dalam penelitian ini yaitu Penelitian Hukum Normatif, cara dan alat pengumpulan data
dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier dan atau bahan non-
hukum. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat dilakukan dengan membaca,
melihat, mendengarkan, maupun sekarang banyak dilakukan penelusuran bahan hukum
tersebut dengan melalui media internet. 9 Bahan hukum primer berupa peraturan
perundang-undangan. Sedangkan bahan hukum sekunder terdiri atas buku-buku, jurnal,
makalah, laporan hasil penelitian dan bentuk tulisan-tulisan lain yang berakitan dengan
pokok permasalahan yang dibahas. Selanjutnya bahan hukum tersier yaitu berupa
kamus-kamus.
3. Jalannya Penelitian
Penelitian ini berjalan dengan waktu selama 7 hari, mulai dari tanggal 31 Oktober 2022
sampai dengan tanggal 6 November 2022. Dilakukan secara berkelompok yang
beranggotakan 8 orang, nama anggota kelompok sudah tercantum di cover judul
penelitian. Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data dari buku-buku, jurnal,
makalah, serta sumber lainnya. Dengan menggabungkan informasi-informasi yang
didapat lalu merangkainya dalam penelitian ini.
A. Hasil Penelitian
“(1) Tidak dipidana, barangsiapa melakukan tindakan pembelaan terpaksa untuk diri
sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri
maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat
dan yang melawan hukum pada saat itu.
(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh
keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak boleh
dipidana.”
Adapun menurut KUHP, pembelaan diri diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu
pembelaan diri biasa (noodweer) dan pembelaan diri luar biasa (Noodweer excess).
Titik perbedaan antara pembelaan diri biasa (noodweer) dan pembelaan diri luar biasa
(noodweer excess) adalah terletak pada syarat terjadinya suatu tindak pidana.
Pembelaan diri biasa memberikan wewenang kepada seseorang untuk melakukan suatu
diskresi atau kebebasan untuk mengambil keputusan tersendiri dalam situasi tertentu
yang dapat “menghapus” unsur melanggar hukum untuk membela dirinya yang terletak
pada situasi yang memerlukan dirinya untuk membela diri. Sedangkan dalam
pembelaan diri luar biasa, haruslah untuk memenuhi syarat terjadinya guncangan jiwa
yang hebat sehingga menjadikan batas-batas kebutuhan dalam pembelaan dapat
melampaui batas. Walaupun suatu ancaman, serangan, atau gangguan tersebut sudah
selesai, namun dikarenakan ancaman, serangan, atau gangguan tersebut mengguncang
jiwa seseorang, maka sudah otomatis alasan pemaaf berlaku bagi seseorang yang
melakukan pembelaan terhadap dirinya. Menurut R.Soesilo, terdapat 3 (tiga) syarat
pembelaan darurat, yaitu :
3. Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-konyong
atau pada ketika itu juga.
Walaupun pasal 49 KUHP yang mengatur mengenai pembelaan diri berfungsi sebagai
alasan pemaaf, namun pasal ini tidak serta merta menjustifikasi suatu perbuatan yang
melanggar hukum, tidak semua pembelaan diri memenuhi unsur-unsur pembelaan diri.
Agar sebuah perbuatan dapat diklasifikasikan sebagai pembelaan diri, maka harus
memenuhi unsur-unsur berikut :
• Ancaman atau serangan yang melanggar hukum terhadap seseorang harus bersifat
spontan dan sedang atau masing berlangsung;
• Ancaman atau serangan harusnya berupa suatu delik (tindak pidana) dan harus tertuju
kepada raga dan martabat milik diri sendiri atau orang lain;
• Perbuatan pembelaan diri dilakukan dengan maksud untuk menghentikan ancaman atau
serangan dan pembelaan diri tersebut harus seimbang dan seseorang harus di dalam
situasi dimana tidak ada metode lain untuk melindungi diri sendiri kecuali melakukan
suatu tindakan pembelaan yang dimana pembelaan tersebut merupakan perbuatan yang
melawan hukum.
Dalam prakteknya, sering terjadi dimana seseorang yang melakukan pembelaan diri
namun justru ia dijadikan tersangka karena telah melampaui batas-batas dari pembelaan
diri. Seperti misalnya, seseorang yang menjadi korban pembegalan membela dirinya
dengan merebut pisau milik pelaku pembegalan dan kemudian melumpuhkan sang
pelaku begal, namun setelah sang pelaku begal telah dilumpuhkan, korban pembegalan
tersebut menikam si pelaku pembegalan yang kemudian pelaku pembegalan tersebut
meninggal. Dalam kasus tersebut, korban pembegalan masih tetap melakukan
penyerangan kepada sang pelaku pembegalan meskipun serangan dari pelaku tersebut
telah berakhir karena ia sudah berhasil dilumpuhkan, oleh karena itu korban
pembegalan tersebut melakukan tindak pidana pembunuhan dan alasan pemaaf yang
merupakan pembelaan diri yang diatur dalam pasal 49 KUHP tidak berlaku karena sang
korban pembegalan telah melampaui batas-batas pembelaan diri.
Penegak hukum haruslah memeriksa kronologis kasus pembelaan diri terhadap suatu
ancaman atau serangan secara cermat dan berlandaskan pada unsur-unsur pembelaan
diri untuk menentukan apakah sebuat kejadian dapat dikategorikan sebagai perbuatan
pembelaan diri seseorang. Untuk menentukan suatu kasus dapat dikategorikan sebagai
pembelaan diri harus dilakukan dengan cermat dan jeli karena pasal 49 KUHP tersebut
memberikan perlindungan hukum bagi seseorang yang melakukan sebuah pembelaan
yang sifatnya terpaksa. Jadi apabila penegak hukum tidak cermat dalam menentukan
kasus pembelaan diri, maka dapat terjadi dua (dua) kemungkinan, yaitu :
1. Sebuah pembelaan diri tidak dikategorikan sebagai sebuah pembelaan diri, sehingga
seseorang yang merupakan korban dari sebuah serangan yang melakukan pembelaan
terpaksa justru disangkakan melakukan tindak pidana;
2. Sebuah tindak pidana dikategorikan sebagai sebuah pembelaan diri, sehingga seseorang
yang melakukan suatu pembelaan terpaksa yang melampau batas-batas unsur
pembelaan diri tidak disangkakan melakukan tindak pidana.
1. Asas Subsidiaritas
Pembelaan diri terhadap serangan haruslah dengan cara yang paling ringan,
apabila seseorang melanggar kepentingan hukum orang lain dan dinilai bahwa
perbuatan tersebut sangat merugikan, maka perbuatan tersebut tidak diperkenankan
menurut hukum.
2. Asas Proposionalitas
Pembelaan diri terhadap serangan haruslah seimbang antara kepentingan orang lain
yang dikorbankan dengan kepentingan yang dilindungi. Pelanggaran kepentingan
hukum seseorang merupakan sebuah tindakan yang dilarang apabila kepentingan
hukum yang dilindungi tidak proporsional dengan pelanggaran yang dilakukan.
Di dalam menjalankan tugasnya hakim terlebih dahulu akan memeriksa terdakwa, saksi-
saksi, memperhatikan barang bukti, dan kriteria peniadaan hukuman. Hal in penting sekali
ditegaskan oleh pembentukan undang-undang, supaya para hakim dalam kebebasannya sebagai
seorang hakim mempunyai batas yang ditentukan secara objektif dalam memberikan keputusan.
Karena peniadaan hukuman terhadap dir seorang terdakwa disamping dilihat dari perkaranya
10
juga tergantung dari penilaian seorang hakim. Dalam memutus suatu perkara yang
berhubungan dengan pembelaan terpaksa, hakim juga ikut memperhatikan perkembangan yang
ada dalam kehidupan masyarakat. Karena dalam meniadakan hukuman hakim wajib
mempertimbangkan segala sesuatu yang memberatkan dan meringankan terdakwa, maka
faktor-faktor tersebut hendaknya tidak hanya dicari pada diri si pembuat saja, melainkan juga
pada hal-hal yang objektif diluar kehendak dan sifat si pembuat. Suatu perbuatan masuk sebagai
pembelaan terpaksa, apabila perbuatan itu dilakukan akan tetapi dapat meniadakan hukuman.
Untuk mengetahui hal-hal tersebut ada beberapa kriteria sehingga orang yang melakukan
perbuatan tersebut dapat dibebaskan dari hukuman. Kriteria tersebut adalah:
1. karena terpaksa/sifatnya terpaksa
2. yang dilakukan ketika timbulnya ancaman serangan dan berlangsungnya serangan
3. untuk mengatasi adanya ancaman serangan atau serangan yang bersifat melawan hukum
4. yang harus seimbang dengan serangan yang mengancam
S. pembelaan itu hanya terbatas dalam hal mempertahankan 3 (tiga) macam kepentingan
hukum, ialah (1) kepentingan hukum atas diri (artinya badan atau fisik), (2) kepentingan hukum
mengenai kehormatan kesusilaan, dan (3) kepentingan hukum mengenai kebendaan. Kelima-
lima kriteria in adalah suatu kebulatan yang tidak dapat terpisahkan, dan keterkaitan satu
dengan yang lain sangat erat. Mengenai kriteria yang pertama, harus diartikan ialah perbuatan
yang dilakukan untuk mengatasi serangan yang mengancam itu sangat benar-benar terpaksa,
artinya tidak ada alternatif perbuatan lain yang dapat dilakukan dalam keadaan mendesak ketika
ada ancaman serangan dan atau serangan dengan mengancam. Apabila seorang memegang
golok mengancam akan melukai atau membunuh orang lain, maka dalam hal in apabila menurut
akal masih memungkinkan untuk lari, maka orang yang terancam itu harus lari. Apabila
menurut akal orang pada umumnya, kemungkinan lari itu ada, misalnya diukur dari jarak yang
jauh, tetapi dia tidak gunakan, melainkan menunggu pengancam tersebut mendekat, dan setelah
dekat lalu mendahului membacok penyerang, maka disini tidak ada pembelaan terpaksa. Tetapi
menurut akal dalam kondisi tertentu dia mungkin tidak dapat mengambil pilihan lari, atau sudah
10 K. Wantjik Saleh, Kehakiman dan Keadilan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, hlm. 17
mengambil pilihan lain tetapi juga mash dikejarnya, maka disini ada keadaan terpaksa.
Perbuatan lari menghindari serangan yang mengancam adalah alternatif pilihan yang harus
digunakan, apabila kesempatan itu memang ada. Pembelaan terpaksa harus dilakukan dalam
hal memang terpaksa, artinya jika tidak ada pilihan perbuatan lain dalam usaha membela dan
mempertahankan kepentingan hukumnya yang terancam. Tetapi apabila pilihan perbuatan lari
itu telah dilakukannya, dan tetap dikejar dengan golok yang terhunus, dan pada saat yang tepat
dan menguntungkan orang itu berbalik dengan mengangkat sebuah batu bear atau mengambil
sepotong besi atau kayu didekatnya dan dipukulkan pada penerang, kena kepalanya dan ambruk
tak berdaya, maka disini terdapat pembelaan terpaksa.
Mengenai kriteria yang kedua ialah adanya "serangan" atau "ancaman serangan" ketika itu.
Disini ada dua unsur, yakni:
a. adanya serangan, dan
b. adanya ancaman serangan.
Kriteria kedua ini KUHP kita berbeda dengan WvS Belanda. Menurut WvS Belanda Pasal 41
kriteria kedua in hanya disebut "ogenblikkeelijke anranding" yang diterjemahkan serangan tiba-
tiba atau serangan, 11sedangkan KUHP kita selain disebutkan ogenblikkelijke aanrading juga
disebutkan atau ditambahkan onmiddelijke dreigende yang diterjemahkan ole Satochid
Kartanegara dengan "mengancam langsung" atau ole Moeljatno "ancaman serangan". Ada
perbedaan prinsip antara serangan dengan ancaman serangan dalam hubungannya dengan
perbuatan pembelaan terpaksa. Kapan bolehdilakukan perbuatan pembelaan terpaksa pada
adanya serangan, dikaitkan "pada ketika itu" (ogenblikkelijke), ini artinya pembelaan terpaksa
ituboleh dilakukan ialah dalam jarak waktu sejak dimulainya serangan dengan diwujudkannya
perbuatan pembelaan terpaksa tidak lama. Begitu sescorang mengetahui adanya serangan,
ketika itu a mengadakan pembelaan terpaksa, dengan kata lain pembelaan terpaksa itu
dilakukan ialah dalam waktu berlangsungnya serangan atau bahaya serangan sedang
mengancam.
Berbeda dengan "ancaman serangan" seperti dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP kita, dalam arti
pembolehan pembelaan terpaksa itu dimajukan lagi, bukan saja pada sat serangan sedang
berlangsung, akan tetapi sudah boleh dilakukan cukup pada sat adanya ancaman serangan,
artinya serangan itu secara objektif belum diwujudkan, baru adanya ancaman serangan.
11 dengan27Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Il, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 43
Misalnya seseorang baru mengeluarkan pisau (memaksa meminta uang), maka yang dipaksa
sudah boleh memukul orang itu. Kesempatan untuk melakukan pembelaan yang diperluas
sampai pada ketika serangan hendak dimulai, sangat menguntungkan bagi korban serangan
untuk mempertahankan kepentingan hukumnya sendiri atau orang lain yang terancam, tapa
menunggu bekerjanya kekuasaan negara. Jika KUHP menyebutkan adanya ancaman serangan
atau serangan, yang artinya orang sudah boleh melakukan pembelaan terpaksa sejak
timbulnya/adanya ancaman serangan, pada sat serangan berlangsung dan berakhirnya adanya
serangan. Tentang berakhirnya serangan haruslah diartikan secara luas, jangan diartikan secara
fisik tidak ada serangan lagi. Oleh sebab itu objek serangan itu adalah suatu kepentingan hukum
(kepentingan hukum tubuh, kehormatan, kesusilaan, dan harta benda) maka selam mash
memungkinkan dapat mempertahankan kepentingan hukum secara langsung terhadap bahaya
tiga kepentingan hukum, maka disitu serangan mash ada, yang artinya akan berakhir apabila
mempertahankan kepentingan hukum itu tidak mungkin lagi secara langsung dan pada sat itulah
tidak dapat dilakukan lagi pembelaan terpaksa. Mengenai kriteria ketiga, ialah pembelaan
terpaksa hanya boleh dilakukan terhadap serangan yang bersifat "melawan hukum", artinya
serangan tersebut tida dibenarkan baik dari sudut undang-undang (melawan hukum formil)
maupun dari sudut masyarakat (melawan hukum materil). Disebut serangan melawan hukum,
harus dilihat dari semata-mataperbuatan penyerang yang melawan hukum yang tidak perlu
mempertahankan sikap batin atau dasar batin penyerang. Oleh karena itu orang boleh
melakukan pembelaan terpaksa terhadap serangan oleh orang yang tidak mampu bertanggung
jawab, misalnya terhadap serangan oleh orang gila. Kriteria bahwa serangan itu harus bersifat
melawan hukum adalah sangat penting, mengingat banyak ha serangan terhadap suatu
kepentingan hukum orang lain yang diperkenankan, misalnya polisi dengan menggunakan
kekerasan memborgol pencuri, atau seorang bapak memukul anaknya yang nakal dengan
maksud mendidik. Dokter kandungan yang membedah (melukai) pert seorang ibu untuk
menolong kelahiran bayi dari kandungannya. Mengenai kriteria keempat, bahwa tindakan
pembelaan terpaksa harus seimbang dengan bahaya yang ditimbulkan dari serangan yang
melawan hukum,tidak secara eksplisit didapat dari rumusan Pasal 49 ayat (1) KUHP, tetapi
secara
terselubung dari rumusan itu. Dalam doktrin hukum, lembaga pembelaan terpaksa
ini menganut ass keseimbangan (proposionaliteit), artinya tindakan pembelaan
terpaksa itu dapat dilakukan sepanjang perlu dan sesudah cukup untuk pembelaan
kepentingan hukumnya yang terancam dan diserang, artinya upaya pembelaan
terpaksa itu harus seimbang dengan bahaya serangan yang mengancam. Tindakan
pembelaan terpaksa sebatas apa yang diperlukan saja, tidak diperkenankan
melampaui apa yang diperlukan.
Mengenai kriteria kelima, sebagaimana di atas terlah diterangkan, adalah
menyangkut macam atau bidang apa yang boleh dilakukan pembelaan terpaksa,
ialah bidang-bidang badan/fisik, kehormatan, kesusilaan (seks) dan bidangharta
benda. Di luar bidang itu tidak dapat dilakukan pembelaan terpaksa, misalnya
kehormatan nama baik atau penghinaan.
2. Serangan itu datangnya tiba-tiba atau suatu ancaman yang kelak akan dilakukan;
4. Serangan itu diadakan terhadap diri sendiri, orang lain, hormat diri sendiri, hormat diri
orang lain, harta benda sendiri, dan harta benda orang lain;
6. Alat yang dipakai untuk membela atau cara membela haruslah setimpal.
Dalam lingkup pembelaan diri, seringkali terjadi suatu kejadian dimana pembelaan diri
tersebut melampaui batas sehingga pada akhirnya menyebabkan seseorang yang
berposisi sebagai korban justru dijadikan tersangka dikarenakan pembelaan dirinya
melampaui batas-batas pembelaan diri dan tidak memenuhi unsur pembelaan diri,
contohnya adalah dalam kasus pembelaan diri atas pencurian dan ancaman
pemerkosaan dalam putusan nomor 1/Pid.Sus-Anak/2020/Pn.Kpn. Penuntut umum
dalam kasus tersebut mendakwa “korban” dengan dakwaan yang disusun secara
kombinasi dengan dakwaan sebagai berikut :
Kesatu :
Primair.
Bahwa Anak pada hari Minggu tanggal 08 September 2019 sekira pukul 19.30 Wib atau
setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan September 2019bertempatdijalan ladang
tebu Serangan desa Gondanglegi Kulon Kec Gondanglegi Kab Malang atau setidak-
tidaknya ditempat lain yang masih dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Kepanjen
dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang
yakni terhadap korban MISNAN , perbuatan mana dilakukan Anak pelaku dengan cara
sebagai berikut :
Bahwa bermula Anak sedang mengedarai sepeda motor bersama Anak saksi dan
tepatnya di lokasi tanaman tebu Serangan desa Gondanglegi Kulon Kec Gondanglegi
Kab Malang selanjutnya Anak bersama Anak Saksi berhenti dan pada saat yang
demikian korban MISNAN dan MAD menghampiri Anak pelaku Anak yang sedang
duduk diatas motor bersama Anak Saksi, kemudian korban MISNAN mencabut kunci
sepeda motor Anak;
Bahwa selanjunya korban MISNAN meminta seluruh barang milik Anak, dan Anak
menyerahkan HP dan berharap kunci sepeda motor dikembalikan oleh saksi MAD,
namun kunci tidak dikembalikan selajutnya korban MISNAN dan MAD berunding dan
meminta sepeda motor Anak juga HP milik Anak Saksi, namun Anak tetap tidak mau
memberikan HP milik Anak Saksi dan menjanjikan akan memberikan uang kepada
korban dan MAD.
Disclaimer
Selanjutnya Anak bersama Anak Saksi pergi meninggalkan lokasi, dan keesokan
harinya korban yang bernama MISNAN ditemukan sudah dalam keadaan meninggal
dunia dengan luka ditubuh, sesuai hasil Visum et Repertum nomor : 19.262/IX Tanggal
09 Oktober 2019 yang dibuat dan ditandatangani oleh dokter WENING PRASTOWO,
SH, SpF dokter pada Rumah Sakit Umum Syaiful Anwar Malang dengan hasil
pemeriksaan :
• Kepala :
• Dada :
Pada dada kanan ditemukan luka terbuka, tepi rata, ujung runcing, berukuran panjang 7
cm sedalam paru.
• Rongga dada :
Didapatkan darah dengan volume tiga ratus tujuh puluh mililiter pada rongga dada
kanan dan kiri.
Ditemukan luka pada dada kanan, miring dari kanan ke bawah, jarak satu koma lima
sentimeter garis tengah tubuh dan empat koma lima sentimeter memotong tulang rusuk
ketiga dan keempat dan mengenai paru.
• Paru :
Paru berwarna hitam berisi darah, permukaan licin dan konsisten kenyal, ditemukan
tanda pembusukan dengan berat paru kanan empat ratus lima puluh gran, ukuran dua
puluh empat kali dua belas sentimeter dan barat paru kiri lima ratus gram, ukuran dua
puluh koma lima kali tiga belas sentimeter. Namun dalam hal-hal tertentu masih
dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian
informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Terdapat luka luka terbuka pada paru kanan, tepi rata, panjang tujuh
mulut, ditemukan luka tusuk pada dada kanan akibat keerasan tajam.
• Pada pemeriksaan dalam didapatkan luka tusuk pada otot dada kanan, luka tusuk pada
paru kanan, tulang iga ketiga dan keempat kanan
terpotong.
kanan yang mengenai paru, akibat kekerasan tajam. ( Visum et Repertum terlampir )
Perbuatan Anak sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 340 KUHP.
Subsidiair
Bahwa Anak pada hari Minggu tanggal 08 September 2019 sekira pukul 19.30 Wib atau
setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan September 2019 bertempat di jalan
Ladang Tebu Serangan desa Gondanglegi Kulon Kec Gondanglegi Kab Malang atau
setidak-tidaknya ditempat lain yang masih dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri
Kepanjen dengan sengaja menghilangkan nyawa orang yakni terhadap korban
MISNAN , perbuatan mana dilakukan Anak pelaku dengan cara sebagai berikut :
Bahwa bermula Anak sedang mengedarai sepeda motor bersama Anak Saksi dan
tepatnya di lokasi tanaman tebu Serangan desa Gondanglegi Kulon Kec Gondanglegi
Kab Malang selanjutnya Anak bersama Anak saksi berhenti dan pada saat yang
demikian korban MISNAN dan MAD menghampiri Anak yang sedang duduk diatas
motor bersama Anak Saksi, kemudian korban MISNAN mencabut kunci sepeda motor
Anak ;
Bahwa selanjunya korban MISNAN meminta seluruh barang milik Anak, dan Anak
menyerahkan HP dan berharap kunci sepeda motor dikembalikan oleh saksi MAD,
namun kunci tidak dikembalikan selajutnya korban MISNAN dan MAD berunding dan
meminta sepeda motor Anak juga HP milik Anak Saksi, namun Anak tetap tidak mau
memberikan HP milik Anak saksi dan menjanjikan akan memberikan uang kepada
korban dan MAD.
Setelah itu korban MISNAN dan MAD berunding, kemudian Anak berkesempatan
membuka jok sepeda motornya, dan setelah jok terbuka kemudian Anak mengambil
sebilah pisau dan setelah korban MISNAN dan MAD mendekat Anak dan tetap
meminta barang barang milik Anak, melihat keadaan seperti itu Anak emosi dan
mengarahkan ujung pisau yang telah dipersiapkan kedada korban MISNAN sebanyak 1
kali hingga menancap didada korban sambil Anak mengatakan “JANCUK TAK
PATENI KON“, lalu Anak mencabut pisau dari dada korban selanjutnya berusaha
menyerang saksi MAD namun korban MISNAN dan saksi MAD berhasil melarikan diri
; Selanjutnya Anak bersama Anak Saksi pergi meninggalkan lokasi, dan keesokan
harinya korban yang bernama MISNAN ditemukan sudah dalam keadaan meninggal
dunia dengan luka ditubuh, sesuai hasil Visum et Repertum nomor : 19.262/IX Tanggal
09 Oktober 2019 yang dibuat dan ditandatangani oleh dokter WENING PRASTOWO,
SH, SpF dokter pada Rumah Sakit Umum Syaiful Anwar Malang dengan hasil
pemeriksaan :
• Kepala:
• Dada:
Pada dada kanan ditemukan luka terbuka, tepi rata, ujung runcing, berukuran panjang 7
cm sedalam paru.
• Ronggadada:
Didapatkan darah dengan volume tiga ratus tujuh puluh mililiter pada rongga dada
kanan dan kiri.
Ditemukan luka pada dada kanan, miring dari kanan ke bawah, jarak satu koma lima
sentimeter garis tengah tubuh dan empat koma lima sentimeter memotong tulang rusuk
ketiga dan keempat dan mengenai paru.
• Paru:
Paru berwarna hitam berisi darah, permukaan licin dan konsisten kenyal, ditemukan
tanda pembusukan dengan berat paru kanan empat ratus lima puluh gran, ukuran dua
puluh empat kali dua belas sentimeter dan barat paru kiri lima ratus gram,ukuran dua
puluh koma lima kali tiga belas sentimeter.
Terdapat luka luka terbuka pada paru kanan, tepi rata, panjang tujuh sentimeter, sedalam
empat sentimeter.
Kesimpulan :
• Pada pemeriksaan luar didapatkan perdarahan pada lubang hidung dan mulut,
ditemukan luka tusuk pada dada kanan akibat keerasan tajam.
• Pada pemeriksaan dalam didapatkan luka tusuk pada otot dada kanan, luka tusuk
pada paru kanan, tulang iga ketiga dan keempat kanan terpotong.
• Korban meninggal dunia karena perdarahan, akibat luka tusuk didada kanan yang
mengenai paru, akibat kekerasan tajam.
Perbuatan Anak sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 338 KUHP ;
Lebih subsidiair
Bahwa Anak pada hari Minggu tanggal 08 September 2019 sekira pukul 19.30 Wib atau
setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan September 2019 bertempat dijalan
ladangtebu Serangan desa Gondanglegi Kulon Kec Gondanglegi Kab Malang atau
setidak-tidaknya ditempat lain yang masih dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri
Kepanjen, melakukan penganiayaan yang mengakibatkan korban MISNAN meninggal
dunia, perbuatan mana dilakukan Anak dengan cara sebagai berikut :
Bahwa bermula Anak sedang mengedarai sepeda motor bersama Anak saksi dan
tepatnya di lokasi tanaman tebu Serangan desa Gondanglegi Kulon Kec Gondanglegi
Kab Malang selanjutnya Anak bersama Anak saksi berhenti dan pada saat yang
demikian korban MISNAN dan MAD menghampiri Anak yang sedang duduk diatas
motor bersama Anak saksi, kemudian korban MISNAN mencabut kunci sepeda motor
Anak ;
Bahwa selanjunya korban MISNAN meminta seluruh barang milik Anak, dan Anak
menyerahkan HP dan berharap kunci sepeda motor dikembalikan oleh saksi MAD,
namun kunci tidak dikembalikan selajutnya korban MISNAN dan MAD berunding dan
meminta sepeda motor Anak juga HP milik Anak saksi, namun Anak tetap tidak mau
memberikan HP milik Anak saksi dan menjanjikan akan memberikan uang kepada
korban dan MAD ; Setelah itu korban MISNAN dan MAD berunding, kemudian Anak
berkesempatan membuka jok sepeda motornya, dan setelah jok terbuka kemudian Anak
mengambil sebilah pisau dan setelah korban MISNAN dan MAD mendekat Anak dan
tetap meminta barang barang milik Anak, melihat keadaan seperti itu Anak emosi dan
mengarahkan ujung pisau yang telah dipersapkan kedada korban MISNAN sebanyak 1
kali hingga menancap didada korban sambil Anak mengatakan “ JANCUK TAK
PATENI KON “ , lalu Anak mencabut pisau dari dada korban selanjutnya berusaha
menyerang saksi MAD namun korban MISNAN dan saksi MAD berhasil melarikan
diri.
• Kepala:
Terdapat perdarahan yang keluar dari lubang hidung dan mulut.
• Dada:
Pada dada kanan ditemukan luka terbuka, tepi rata, ujung runcing, berukuran panjang 7
cm sedalam paru.
• Rongga dada:
Didapatkan darah dengan volume tiga ratus tujuh puluh mililiter pada rongga dada
kanan dan kiri.
Ditemukan luka pada dada kanan, miring dari kanan ke bawah, jarak satu koma lima
sentimeter garis tengah tubuh dan empat koma lima sentimeter memotong tulang rusuk
ketiga dan keempat dan mengenai paru.
• Paru:
Paru berwarna hitam berisi darah, permukaan licin dan konsisten kenyal, ditemukan
tanda pembusukan dengan berat paru kanan empat ratus lima puluh gran, ukuran dua
puluh empat kali dua belas sentimeter dan barat paru kiri lima ratus gram,ukuran dua
puluh koma lima kali tiga belas sentimeter.
Terdapat luka luka terbuka pada paru kanan, tepi rata, panjang tujuh sentimeter, sedalam
empat sentimeter.
Kesimpulan :
• Pada pemeriksaan dalam didapatkan luka tusuk pada otot dada kanan, luka tusuk pada
paru kanan, tulang iga ketiga dan keempat kanan terpotong.
• Korban meninggal dunia karena perdarahan, akibat luka tusuk didada kanan yang
mengenai paru, akibat kekerasan tajam.
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu
mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah
Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi
peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan
teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana
akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi
informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum
tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Halaman 8
Subsidiair
Bahwa Anak pada hari Minggu tanggal 08 September 2019 sekira pukul 19.30 Wib atau
setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan September 2019 bertempat dijalan ladang
tebu Serangan desa Gondanglegi Kulon Kec Gondanglegi Kab Malang atau setidak-
tidaknya ditempat lain yang masih dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Kepanjen
dengan sengaja menghilangkan nyawa orang yakni terhadap korban MISNAN ,
perbuatan mana dilakukan Anak pelakudengan cara sebagai berikut :
Bahwa bermula Anak sedang mengedarai sepeda motor bersama Anak Saksi dan
tepatnya di lokasi tanaman tebu Serangan desa Gondanglegi Kulon Kec Gondanglegi
Kab Malang selanjutnya Anak bersama Anak saksi berhenti dan pada saat yang
demikian korban MISNAN dan MAD menghampiri Anak yang sedang duduk diatas
motor bersama Anak Saksi, kemudian korban MISNAN mencabut kunci sepeda motor
Anak ;
Bahwa selanjunya korban MISNAN meminta seluruh barang milik Anak, dan Anak
menyerahkan HP dan berharap kunci sepeda motor dikembalikan oleh saksi MAD,
namun kunci tidak dikembalikan selajutnya korban MISNAN dan MAD berunding dan
meminta sepeda motor Anak juga HP milik Anak Saksi, namun Anak tetap tidak mau
memberikan HP milik Anak saksi dan menjanjikan akan memberikan uang kepada
korban dan MAD.
Setelah itu korban MISNAN dan MAD berunding, kemudian Anak berkesempatan
membuka jok sepeda motornya, dan setelah jok terbuka kemudian Anak mengambil
sebilah pisau dan setelah korban MISNAN dan
Disclaimer
Halaman 5
MAD mendekat Anak dan tetap meminta barang barang milik Anak, melihat keadaan
seperti itu Anak emosi dan mengarahkan ujung pisau yang telah dipersiapkan kedada
korban MISNAN sebanyak 1 kali hingga menancap didada korban sambil Anak
mengatakan “ JANCUK TAK PATENI KON “ , lalu Anak mencabut pisau dari dada
korban selanjutnya berusaha menyerang saksi MAD namun korban MISNAN dan saksi
MAD berhasil melarikan diri ; Selanjutnya Anak bersama Anak Saksi pergi
meninggalkan lokasi, dan keesokan harinya korban yang bernama MISNAN ditemukan
sudah dalam keadaan meninggal dunia dengan luka ditubuh, sesuai hasil Visum et
Repertum nomor : 19.262/IX Tanggal 09 Oktober 2019 yang dibuat dan ditandatangani
oleh dokter WENING PRASTOWO, SH, SpF dokter pada Rumah Sakit Umum Syaiful
Anwar Malang dengan hasil pemeriksaan :
• Kepala:
• Dada:
Pada dada kanan ditemukan luka terbuka, tepi rata, ujung runcing, berukuran panjang 7
cm sedalam paru.
• Ronggadada:
Didapatkan darah dengan volume tiga ratus tujuh puluh mililiter pada rongga dada
kanan dan kiri.
Ditemukan luka pada dada kanan, miring dari kanan ke bawah, jarak satu koma lima
sentimeter garis tengah tubuh dan empat koma lima sentimeter memotong tulang rusuk
ketiga dan keempat dan mengenai paru.
• Paru:
Paru berwarna hitam berisi darah, permukaan licin dan konsisten kenyal, ditemukan
tanda pembusukan dengan berat paru kanan empat ratus lima puluh gran, ukuran dua
puluh empat kali dua belas sentimeter dan barat paru kiri lima ratus gram, ukuran dua
puluh koma lima kali tiga belas sentimeter.
Terdapat luka luka terbuka pada paru kanan, tepi rata, panjang tujuh sentimeter, sedalam
empat sentimeter.
Kesimpulan :
dan mulut, ditemukan luka tusuk pada dada kanan akibat keerasan tajam.
Disclaimer
Halaman 6
• Pada pemeriksaan dalam didapatkan luka tusuk pada otot dada kanan, luka tusuk pada
paru kanan, tulang iga ketiga dan keempat kanan terpoton g.
• Korban meninggal dunia karena perdarahan, akibat luka tusuk didada kanan yang
mengenai paru, akibat kekerasan tajam.
Perbuatan Anak sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 338 KUHP ;
Lebih subsidiair.
pukul 19.30 Wib atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan September 2019
bertempat dijalan ladang tebu Serangan desa Gondanglegi Kulon Kec Gondanglegi Kab
Malang atau setidak-tidaknya ditempat lain yang masih dalam wilayah hukum
Pengadilan Negeri Kepanjen, melakukan penganiayaan yang mengakibatkan korban
MISNAN meninggal dunia, perbuatan mana dilakukan Anak dengan cara sebagai
berikut :
Bahwa bermula Anak sedang mengedarai sepeda motor bersama Anak saksi dan
tepatnya di lokasi tanaman tebu Serangan desa Gondanglegi Kulon Kec Gondanglegi
Kab Malang selanjutnya Anak bersama Anak saksi berhenti dan pada saat yang
demikian korban MISNAN dan MAD menghampiri Anak yang sedang duduk diatas
motor bersama Anak saksi, kemudian korban MISNAN mencabut kunci sepeda motor
Anak ;
Bahwa selanjunya korban MISNAN meminta seluruh barang milik Anak, dan Anak
menyerahkan HP dan berharap kunci sepeda motor dikembalikan oleh saksi MAD,
namun kunci tidak dikembalikan selajutnya korban MISNAN dan MAD berunding dan
meminta sepeda motor Anak juga HP milik Anak saksi, namun Anak tetap tidak mau
memberikan HP milik Anak saksi dan menjanjikan akan memberikan uang kepada
korban dan MAD ; Setelah itu korban MISNAN dan MAD berunding, kemudian Anak
berkesempatan membuka jok sepeda motornya, dan setelah jok terbuka kemudian Anak
mengambil sebilah pisau dan setelah korban MISNAN dan MAD mendekat Anak dan
tetap meminta barang barang milik Anak, melihat keadaan seperti itu Anak emosi dan
mengarahkan ujung pisau yang telah dipersapkan kedada korban MISNAN sebanyak 1
kali hingga menancap didada korban sambil Anak mengatakan “ JANCUK TAK
PATENI KON “ , lalu Anak mencabut pisau dari dada korban
Disclaimer
Halaman 7
hkama ahkamah Agung Republ Mahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung
Republik Indonesia blik Indonesi
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
selanjutnya berusaha menyerang saksi MAD namun korban MISNAN dan saksi MAD
berhasil melarikan diri.
• Kepala:
• Dada:
Pada dada kanan ditemukan luka terbuka, tepi rata, ujung runcing, berukuran panjang 7
cm sedalam paru.
• Ronggadada:
Didapatkan darah dengan volume tiga ratus tujuh puluh mililiter pada rongga dada
kanan dan kiri.
Ditemukan luka pada dada kanan, miring dari kanan ke bawah, jarak satu koma lima
sentimeter garis tengah tubuh dan empat koma lima sentimeter memotong tulang rusuk
ketiga dan keempat dan mengenai paru.
• Paru:
Paru berwarna hitam berisi darah, permukaan licin dan konsisten kenyal, ditemukan
tanda pembusukan dengan berat paru kanan empat ratus lima puluh gran, ukuran dua
puluh empat kali dua belas sentimeter dan barat paru kiri lima ratus gram, ukuran dua
puluh koma lima kali tiga belas sentimeter.
Terdapat luka luka terbuka pada paru kanan, tepi rata, panjang tujuh sentimeter, sedalam
empat sentimeter.
Kesimpulan :
dan mulut, ditemukan luka tusuk pada dada kanan akibat keerasan
tajam.
luka tusuk pada paru kanan, tulang iga ketiga dan keempat kanan
terpoton g.
Halaman 8
hkama ahkamah Agung Republ Mahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung
Republik Indonesia blik Indonesi
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
Perbuatan Anak sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 351(3) KUHP.
Atau
Kedua :
Bahwa Anak pada hari Minggu tanggal 08 September 2019 sekira pukul 19.30 Wib atau
setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan September 2019 bertempat dijalan ladang
tebu Serangan desa Gondanglegi Kulon Kec Gondanglegi Kab Malang atau setidak-
tidaknya ditempat lain yang masih dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Kepanjen,
tanpa hak
memasukan ke Indonesia,
memperolehnya, menyerahkan,
menguasai, membawa,mempunyai
Perbuatan Anak sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 2 (1) UU Darurat
No 12 tahun 1951 ; Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
( Visum et Repertum terlampir )
Perbuatan Anak sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 351(3) KUHP.
Atau
Kedua :
Bahwa Anak pada hari Minggu tanggal 08 September 2019 sekira pukul 19.30 Wib atau
setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan September 2019 bertempat dijalan ladang
tebu Serangan desa Gondanglegi Kulon Kec Gondanglegi Kab Malang atau setidak-
tidaknya ditempat lain yang masih dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Kepanjen,
tanpa hak
memasukan ke Indonesia,
memperolehnya, menyerahkan,
Perbuatan anak sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 2 (1) UU Darurat
No 12 tahun 1951 ;
“1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman
dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi.
2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan
derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.”
Setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan juga memiliki hak untuk melakukan
pembelaan diri yang dituliskan Dalam pasal 28I ayat (1) dan (2) juga menyebutkan
bawasan nya setiap manusia memiliki hak untuk hidup, berikut merupakan isi dari pasal
28I ayat (1) dan (2);
“1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemer-dekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”
“2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu.”
Akibat hukum terhadap korban karena adanya pembelaan diri dari pelaku pembegalan
yang mengakibatkan pembegal tersebut meninggal dunia yaitu pelaku yang membunuh
korban tidak dipidana karena telah memenuhi syarat - syarat pembelaan diri yang jelas.
Sesuai dengan ketentuan pasal 49 Kitab Undang - Undang Hukum Pidana yang
berbunyi ;
“(1) Tidak dipidana, barangsiapa melakukan tindakan pembelaan terpaksa untuk diri
sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri
maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat
dan yang melawan hukum pada saat itu.
(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh
keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak boleh
dipidana.”
Berdasarkan hal tersebut korban tidak dijadikan tersangka sebagai pelaku tindak pidana
karena telah memenuhi syarat - syarat yang berlaku sebagai adanya tindakan dan hak
atas pembelaan diri, karena jika seorang telah terancam nyawa nya dia memiliki hak
untuk hidup dan hak untuk membela diri. Lain hal jika seorang korban membunuh
pembegal tanpa syarat-syarat yang jelas dan bukti yang jelas, jika tidak memiliki 2
komponen tersebut, korban bisa di jadikan sebagai tersangka tindak pidana atas dasar
pembunuhan.
Tindak pidana pembegalan yang dilakukan Perluasan penafsiran dengan memasukkan delik
delik harta benda yang termuat dalam Buku 2 KUHP, Pasal 362 sampai dengan 367 tentang
pencurian dan Pasal 362sampai dengan 367 yang memuat delik perampokanPasal 365 KUHP
Praktis. Semua perbuatan atau kejahatan diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP). Namun, KUHP juga mengatur bahwa alasan seseorang untuk melakukan kejahatan
dapat dihilangkan. Alasan penghapusan KUHP terutama peraturan yang ditujukan untuk hakim.
Hakim dalam hal ini mempunyai kekuasaan untuk memutuskan keadaan si pelaku, khususnya
kasus khusus yang menentukan penghapusan delik tersebut. Namundemikian, dilihat dari
perilaku pelaku yang telah memenuhi semua unsur yang ditetapkan oleh undang-undang,
terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan pelaku suatu tindak pidana atau
pengecualian dapat menjatuhkan sanksi pidana yang dirumuskan oleh pelaku tindak pidana
tersebut. alasan. Alasan pemberantasan tindak pidana dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
alasan untuk memberantas pelaku yang merupakan dasar pengampunan, dan alasan kedua
untuk memberantas pelaku yang merupakan dasar pembenaran. Alasan untuk memaafkan
adalah alasan untuk menghilangkan delik dari pelaku dan mempengaruhi pribadi pelaku.
Sedangkan alasan pembenaran adalah alasan untuk menghapus suatu tindak pidana yang
berkaitan dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku, alasan
pembenarandan pengampunan menyebabkan orang tersebut merasa menyesal atau
mengundurkan diri secara sukarela untuk menghindari penuntutan penghapusan kejahatan.
Perbuatan pidana yang yang termasuk dalam alasan pengapusan pidana terdapat dalam buku I
KUHP tentang Aturan Umum yaitu:
1. Pembelaan terpaksa (pasal 49 ayat (1) KUHP) Dari pasal 49 KUHP dapat diartikan
pembelaan terpaksa adalah perbuatan seseorang yang melanggar hukum atau melawan hukum
untuk melindungi diri sendiri, orang lain, kehormatan, harta bendamilik diri sendiri maupun
orang lain. Pembelaan terpaksa dilakukanhanya sebatas keperluan dan keharusan tidak boleh
lebih dariancaman atau serangan yang diterima.
2. Pembelaan terpaksa melampaui batas (pasal 49 ayat (2) KUHP) Tidak jauh berbeda
denganpembelaan terpaksan pada pasal 49 ayat (1) KUHP, pembelaan terpakasa dilakukan oleh
pelakumelakukanperbuatan atau pembelaan yang dilakukan melebihi ancaman yangditerima,
ini diakibatkan karenakejiawaan pelaku yang terguncangseperti emosi.
Sesuai dengan uraian pasal 49 KUHP, ada unsur-unsur yangharusdipenuhi oleh seseorang yang
melakukan pembelaan wajib untukmenghapus atau mengurangipelanggaran. yaitu
(1). Anda perlu memperkuat pertahanan Anda
(2). Melindungi dirisendiri, orang lain, kehormatan, kesusilaan, dan harta benda (3).Serangan
atau ancaman harus ada
(4). Menyerang adalah ilegal.
A. Kesimpulan
Sesuai dengan ketentuan pasal 49 Kitab Undang - Undang Hukum Pidana yang berbunyi;
1. Tidak dipidana, barangsiapa melakukan tindakan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri
maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang
lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat dan yang melawan
hukum pada saat itu.
2. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan
jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak boleh dipidana.”
Karena jika seorang telah terancam nyawa nya dia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk
membela diri. Lain hal jika seorang korban membunuh pembegal tanpa syarat - syarat yang
jelas dan bukti yang jelas, jika tidak memiliki 2 komponen tersebut, korban bisa di jadikan
sebagai tersangka tindak pidana atas dasar pembunuhan.
B. Saran
1. Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa saran yang perlu disampaikan kepada
beberapa pihak, yaitu: pertama, kepada hakim sebagai penegak hukum, untuk lebih
memperhatikan setiap orang yang melakukan pembelaan terpaksa, khususnya hakim
harus mempertimbangkan dalam memutuskan hukuman agar terciptanya keadilan
sosial. Selanjutnya, kepada masyarakat, saat mengalami tindak pidana begal,
masyarakat harus berani dalam mempertahankan diri dengan cara melakukan
pembelaan diri untuk melindungi hak-hak yang perlu dipertahankan. Terakhir, kepada
pelaku pembelaan terpaksa, dalam terjadi tindak pidana pelaku pembelaan terpaksa
dapat menjelaskan kejadian yang sebenarnya terjadi kepada penegak hukum atas
perbuatan yang dilakukan.
2. Sebaiknya kepala polisi daerah tersebut memerintahkan dan memberikan ijin kepada
jajarannya yang bertugas di lapangan untuk menembak di tempat pelaku kejahatan
pembegalan yang memang dianggap membahayakan masyarakat. Namun, tindakan
tembak di tempat tersebut dilakukan jika memang pelaku dalam kondisi yang sangat
membahayakan dan untuk menumbuhkan efek jera kepada para pelaku tindak pidana
pembegalan yang sudah mengancam keselamatan korban.