Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pola Makan
i. Pengertian Pola Makan
Pola Makan adalah konsumsi makanan sehari-hari yang sesuai dengan
kebutuhan gizi setiap individu untuk hidup sehat dan produktif. Untuk dapat mencapai
keseimbangan gizi maka setiap orang harus mengkonsumsi minimal satu jenis bahan
makanan dan tiap golongan bahan makanan yang sering disebut empat sehat lima
sempurna (Bobak, 2012). Kebutuhan energi pada kehamilan trimester III meningkat
300 kkal/hari atau sama dengan mengkonsumsi 100 gram daging ayam atau minum
dua gelas susu sapi (Varney, 2016).
Pola makan ialah information dimana mendeskripsikan jenis dan intensitas
konsumsi makanan dalam satu hari suatu individu atau kelompok masyarakat tertentu
(Sulistyoningsih, 2011).
Saat hamil seorang wanita memerlukan asupan gizi banyak. Mengingat selain
kebutuhan gizi tubuh, wanita hamil harus memberikan nutrisi yang cukup untuk sang
janin. Karenanya wanita hamil memerlukan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang lebih
tinggi dibandingkan wanita yang sedang tidak hamil. Kekurangan gizi selama
kehamilan bisa menyebabkan anemia gizi, bayi terlahir dengan berat badan rendah
bahkan bisa menyebabkan bayi lahir cacat (Waryana, 2016).
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pola makan adalah
kebutuhan gizi setiap individu untuk hidup sehat dan produktif atau mencapai
keseimbangan gizi pada tiap makanan yang dikonsumsinya dan ibu hamil kebutuhan
energinya meningkat.
ii. Asupan Makan
Asupan makan merupakan salah satu dari berbagai faktor yang berperan
penting dalam terjadinya kurang energi kronik (KEK). Pola makan masyarakat
Indonesia pada umumnya mengandung sumber besi heme (hewani) yang rendah dan
tinggi sumber besi non heme (nabati), menu makanan juga banyak mengandung serat
yang merupakan faktor penghambat penyerapan besi. Kebiasaan dan pandangan
wanita terhadap makanan, pada umumnya wanita lebih memberikan perhatian khusus
pada bentuk tubuhnya. Mereka selalu takut pada hal yang membuat mereka terlihat
gemuk. Sehingga kebanyakan dari wanita takut akan mengkonsumsi makanan yang
mengandung kalori banyak. Jika kebiasaan atau pandangan ini terus terjadi, maka
kejadian kurang energi kronik (KEK) akan terjadi pada wanita yang memiliki pola
makan tersebut. Jika wanita punya kebiasaan buruk seperti merokok, maka akan
bertambah pula faktor resiko dari kejadian kurang energi kronik ini (Supariasa, 2013)
Kecukupan gizi ibu saat hamil erat kaitannya dengan keadaan bayi yang
dilahirkan. Masa kehamilan yang paling kritis adalah trimester ketiga, yakni saat umur
janin sudah mencapai enam bulan, janin akan tumbuh cepat sekali. Hal ini dapat
dilihat dari kenaikan berat badan ibu yang makin cepat ketika memasuki trimester
kedua kehamilan. Selain itu, pertumbuhan otak janin selama kehamilan juga sangat
dipengaruhi oleh keadaan gizi ibu. Pertumbuhan sel otak dimulai sejak berusia dua
puluh minggu atau lima bulan, jika terjadi kekurangan gizi pada ibu, maka jumlah sel
otak yang terbentuk juga tidak dapat mencapai jumlah yang seharusnya. Gangguan
pertumbuhan sel otak akibat kurang gizi akan menyebabkan terganggunya
pertumbuhan mental pada masa kanak-kanak seperti, kemampuan sosial anak
berkurang, kemampuan verbal anak tidak begitu baik, anak juga kurang mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Hal tersebut dapat mempengaruhi Intelegensi
Quotient I.Q anak. Sehingga dapat menyebabkan rendahnya daya konsenterasi atau
pemusatan pikiran (Moehji, 2013).
Menurut Permenkes RI nomor 75 tahun 2013 angka kecukupan gizi untuk
perempuan umur 16-49 tahun adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1 Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, Karbohidrat, yang
Dianjurkan untuk Perempuan 16-29 Tahun di Indonesia (perorang perhari)

BB TB Energi Karbohidrat Protein Lemak


Umur
(kg) (cm) (kkal) (g) (g) (g)

16-18 50 158 2125 292 59 71


Tahun

19-29 55 159 2250 309 56 75


Tahun
30-49 54 159 2150 323 57 60
Tahun

iii. Jenis Makanan


Di alam terdapat berbagai jenis bahan pangan baik pangan nabati maupun
pangan hewani. Diantara berbagai jenis bahan pangan tersebut, ada yang kaya akan
satu jenis zat gizi dan ada yang kekurangan zat gizi tertentu. Oleh karena itu
Universitas Sumatera Utara 10 manusia memerlukan berbagai macam bahan pangan
untuk menjamin agar semua zat gizi yang diperlukan tubuh dapat dipenuhi dalam
jumlah yang cukup. Jenis makanan yang kita konsumsi harus mengandung
karbohidrat, protein, lemak dan nutrient spesifik.
Karbohidrat kompleks bisa kita penuhi dari gandum, beras, terigu, buah dan
sayuran. Jenis karbohidrat yang baik dikonsumsi adalah karbohidrat yang berserat
tinggi. Karbohidrat yang berasal dari gula, sirup dan makanan yang manis-manis
sebaiknya dikurangi yakni 3-5 sendok makan per hari saja. Konsumsi protein harus
lengkap antara protein nabati dan protein hewani. Sumber protein nabati didapat dari
kedelai, tempe dan tahu, sedangkan protein hewani berasal dari ikan, telur, dan
daging (sapi, ayam, kambing, kerbau). Sumber vitamin dan mineral terdapat pada
vitamin A (hati, susu, wortel dan sayuran), vitamin D (ikan, susu dan kuning telur),
vitamin E (minyak, kacang-kacangan dan kedelai), vitamin K (brokoli, bayam dan
wortel), vitamin B (gandum, ikan, susu dan telur), serta kalsium (susu, ikan dan
kedelai).
Kebutuhan gizi untuk ibu hamil mengalami peningkatan dibandingkan
dengan ketika tidak hamil. Bila kebutuhan energi perempuan sebelum hamil sekitar
2.650 kkal/hari untuk usia 19—29 tahun dan 2.550 kkal untuk usia 30—49 tahun,
maka kebutuhan ini akan bertambah sekitar 180 kkal/hari pada trimester I dan 300
kkal/hari pada trimester II dan III. Demikian juga dengan kebutuhan protein, lemak,
vitamin dan mineral, akan meningkat selama kehamilan (Kemenkes, 2019).
Makanan terbagi atas dua jenis yaitu makanan selingan dan makanan utama.
Makanan selingan adalah makanan yang dikonsumsi disela-sela waktu makanan
utama. Makanan utama terdiri dari makanan pokok, lauk pauk hewani dan nabati,
sayur, buah dan minuman. Penjelasan lebih lanjut mengenai dua jenis makanan
tersebut dijelaskan di bawah ini :
1. Makanan Utama
Makanan utama adalah makanan yang dikonsumsi seseorang berupa makan
pagi, makan siang, dan makan malam yang terdiri dari makanan pokok, seperti nasi,
lauk pauk, sayur, buah, dan minuman. Makanan pokok adalah makanan yang
dianggap memegang peranan penting dalam susunan hidangan. Pada umumnya
makanan berfungsi sebagai sumber energi (kalori) dalam tubuh dan memberi rasa
kenyang.
2. Makanan Selingan
Makanan selingan adalah makanan kecil yang dibuat sendiri maupun yang dijual
di depan rumah atau di toko atau di supermarket. Makanan selingan menurut
bentuknya terdiri dari :
a. Makanan selingan bentuk kering seperti keripik pisang, kripik singkong, kacang
telur, popcorn dan sebagainya.
b. Makanan selingan berbentuk basah seperti lemper, semar, mendem, tahu isi, pastel,
pisang goreng dan sebagainya.
c. Makanan selingan berbentuk kuah seperti bakso, mie ayam, empek-empek, mie
ketupat dan sebagainya (Setyaningsih, 2011)
iv. Frekuensi Makan
Frekuensi makan adalah suatu kejadian yang berkelanjutan atau kejadian
yang berulang. Menurut Okviani (2011), Frekuensi makan adalah jumlah makan
dalam sehari-hari baik kualitatif maupun kuantitatif. Jadi, frekuensi makan adalah
sejumlah pengulangan yang dilakukan dalam hal mengonsumsi makanan baik
kualitatif maupun kuantitatif yang terjadi secara berkelanjutan. Frekuensi makan
juga dapat diartikan sebagai seberapa seringnya seseorang melakukan kegiatan
makan dalam sehari baik makan utama maupun makan selingan.
Frekuensi makan merupakan jumlah waktu makan dalam sehari meliputi
makanan lengkap (full meat) dan makan selingan (snack). biasanya diberikan tiga
kali sehari (makan pagi, makan siang dan makan malam), sedangkan makanan
selingan biasa diberikan antara makan pagi dan makan siang dan antara makan siang
dan makan malam. Frekuensi makan yang dapat memicu munculnya kejadian maag
adalah frekuensi makan kurang dari frekuensi yang dianjurkan yaitu makan tiga kali
sehari. Secara alamiah makanan diolah dalam tubuh melalui alat-alat pencernaan
mulai dari mulut sampai usus halus. Lama makanan dalam lambung tergantung sifat
dan jenis makanan. Jika rata-rata umumnya lambung kosong antara 3-4 jam. Maka
jadwal makan ini pun harus menyesuaikan dengan kosongnya lambung. Pada
umumnya setiap orang melakukan kegiatan makan makanan utama 3 kali dalam
sehari yaitu makan pagi, makan siang, dan makan malam atau sore.
Ketiga waktu makan tersebut yang paling penting adalah makan pagi sebab
dapat membekali tubuh dengan berbagai zat makanan terutama kalori dan protein
yang berguna sebagai cadangan energi untuk melakukan aktivitas dalam sehari.
Berdasarkan penelitian Pereira dari University of Minnesota School of Public Health
menyatakan bahwa orang yang makan pagi dapat mengendalikan nafsu makan
mereka. Hal itu dapat mencegah mereka makan secara berlebihan saat makan siang
atau makan malam. Makan siang diperlukan setiap orang karena sejak pagi merasa
lelah akibat melakukan aktivitas. Selain makan utama yang dilakukan tiga kali,
makan selingan juga harus dilakukan yakni sekali atau dua kali diantara waktu
makan guna menanggulangi rasa lapar, sebab jarak waktu makan yang lama.
v. Jadwal Makan
Jadwal makan Dalam pola makan sehari-hari kebiasaan jadwal makan sering
tidak teratur seperti terlambat makan atau menunda waktu makan bahkan tidak
makan sehingga membuat perut mengalami kekosongan dalam jangka waktu yang
lama. Jadwal makan yang tidak teratur tentunya akan dapat menyerang lambung dan
berisiko menyebabkan gastritis. Frekuensi makan dalam sehari terdiri dari tiga
makan utama yaitu makan pagi, makan siang, dan makan malam. Jadwal makan
sehari dibagi menjadi makan pagi (sebelum pukul 09.00), makan siang (jam 12.00-
13.00), dan makan malam (jam 18.00-19.00). Jadwal makan ini disesuaikan dengan
waktu pengosongan lambung yakni 3-4 jam sehingga waktu makan yang baik adalah
dalam rentang waktu ini sehingga lambung tidak dibiarkan kosong terutama dalam
waktu yang lama (Oktaviani, 2011).
Lambung yang kosong mengakibatkan kadar asam yang meningkat sehingga
dapat mengiritasi lambung dan menimbulkan berbagai keluhan gejala maag. Jenis
makanan yang dikonsumsi sebaiknya makanan yang tidak menyebabkan
pengeluaran asam lambung secara berlebih serta jadwal makan harus teratur, lebih
baik makan dalam jumlah sedikit tapi sering dan teratur daripada makan dalam porsi
banyak tapi tidak teratur (Almatsier, 2010).
Jadwal makan malam juga tidak boleh terlalu dekat dengan waktu tidur.
Cristina-Maria Kastorini, MSc, ahli gizi dari University of Ioannina di Yunani
mengatakan jika seseorang langsung tidur setelah makan malam maka orang tersebut
rentan mengalami refluks asam lambung. Kondisi ini menyebabkan asam lambung
naik menuju kerongkongan dan memicu rasa tidak nyaman.
2. Hipertensi
i. Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik dan diastolik ≥ 140/90 mmHg.
Pengukuran tekanan darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam.
Kenaikan tekanan darah sistolik ≥ 30 mmHg dan kenaikan tekanan darah diastolik ≥
15 mmHg sebagai parameter hipertensi sudah tidak dipakai lagi (Saifuddin, 2018).
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu peningkatan abnormal
tekanan darah dalam pembuluh darah arteri yang mengangkut darah dari jantung dan
memompa keseluruh jaringan dan organ–organ tubuh secara terus-menerus lebih dari
suatu periode (Irianto, 2014).
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik dengan
konsistensi diatas 140/90 mmHg ( Cunningham, 2013).
Hipertensi dalam kehamilan adalah adanya tekanan darah 140/90 mmHg atau
lebih setelah kehamilan 20 minggu pada wanita yang sebelumnya normotensif, atau
kenaikan tekanan sistolik 30 mmHg dan atau tekanan diastolik 15 mmHg di atas nilai
normal (Pujiastuti, 2012).
Hipertensi pada kehamilan adalah hipertensi yang ditandai dengan tekanan
darah ≥140/90 mmHg setelah umur kehamilan 20 minggu, disertai dengan proteinuria
≥300 mg/24jam (Nugroho, 2012).
Ibu hamil dengan hipertensi adalah ibu hamil yang tekanan darahnya mencapai
140/90 mmHg atau lebih yang terjadi saat kehamilan (Pratiwi dan Fatimah, 2018)
ii. Etiologi
Menurut Prawirohardjo (2013) penyebab hipertensi dalam kehamilan belum
diketahui secara jelas. Namun ada beberapa faktor risiko yang menyebabkan
terjadinya hipertensi dan dikelompokkan dalam faktor risiko. Beberapa faktor risiko
sebagai berikut :
1. Primigravida (kehamilan untuk pertama kalinya)
2. Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes melitus,
hidrops fetalis, bayi besar.
3. Umur
4. Riwayat keluarga pernah pre eklampsia/eklampsia
5. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
6. Obesitas
Berdasarkan penyebabnya hipertensi terbagi menjadi dua golongan menurut
Corwin (2010), Irianto (2014), Padila (2013), Price dan Wilson (2010),Syamsudin
(2011),Udjianti (2010) :
1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer.
Merupakan 90% dari seluruh kasus hipertensi adalah hipertensi esensial yang
didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang tidak diketahui penyebabnya
(Idiopatik). Beberapa faktor diduga berkaitan dengan berkembangnya hipertensi
esensial seperti berikut ini:
a. Genetik : individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi,
beresiko tinggi untuk mendapatkan penyakit ini. Faktor genetik ini tidak dapat
dikendalikan, jika memiliki riwayat keluarga yang memiliki tekanan darah
tinggi.
b. Jenis kelamin dan usia : laki – laki berusia 35- 50 tahun dan wanita menopause
beresiko tinggi untuk mengalami hipertensi. Jika usia bertambah maka tekanan
darah meningkat faktor ini tidak dapat dikendalikan serta jenis kelamin laki–laki
lebih tinggi dari pada perempuan.
c. Diet : konsumsi diet tinggi garam atau lemak secara langsung berhubungan
dengan berkembangnya hipertensi. Faktor ini bisa dikendalikan oleh penderita
dengan mengurangi konsumsinya karena dengan mengkonsumsi banyak garam
dapat meningkatkan tekanan darah dengan cepat pada beberapa orang,
khususnya dengan penderita hipertensi, diabetes, serta orang dengan usia yang
tua karena jika garam yang dikonsumsi berlebihan, ginjal yang bertugas untuk
mengolah garam akan menahan cairan lebih banyak daripada yang seharusnya di
dalam tubuh. Banyaknya cairan yang tertahan menyebabkan peningkatan pada
volume darah seseorang atau dengan kata lain pembuluh darah membawa lebih
banyak cairan. Beban ekstra yang dibawa oleh pembuluh darah inilah yang
menyebabkan pembuluh darah bekerja ekstra yakni adanya peningkatan tekanan
darah di dalam dinding pembuluh darah. Kelenjar adrenal memproduksi suatu
hormon yang dinamakan Ouabain. Kelenjar ini akan lebih banyak memproduksi
hormon tersebut ketika seseorang mengkonsumsi terlalu banyak garam. Hormon
ouabain ini berfungsi untuk menghadirkan protein yang menyeimbangkan kadar
garam dan kalsium dalam pembuluh darah, namun ketika konsumsi garam
meningkat produksi hormon ouobain menganggu kesimbangan kalsium dan
garam dalam pembuluh darah.
d. Kalsium dikirim ke pembuluh darah untuk menyeimbangkan kembali, kalsium
dan garam yang banyak inilah yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah
dan tekanan darah tinggi. Konsumsi garam berlebih membuat pembuluh darah
pada ginjal menyempit dan menahan aliran darah. Ginjal memproduksi hormon
renin dan angiotensin agar pembuluh darah utama mengeluarkan tekanan darah
yang besar sehingga pembuluh darah pada ginjal bisa mengalirkan darah seperti
biasanya. Tekanan darah yang besar dan kuat ini menyebabkan seseorang
menderita hipertensi.
e. Konsumsi garam per hari yang dianjurkan adalah sebesar 1500-2000 mg atau
setara dengan satu sendok teh. Perlu diingat bahwa sebagian orang sensitif
terhadap garam sehingga mengkonsumsi garam sedikit saja dapat menaikan
tekanan darah. Membatasi konsumsi garam sejak dini akan membebaskan anda
dari komplikasi yang bisa terjadi.
f. Berat badan : Faktor ini dapat dikendalikan dimana bisa menjaga berat badan
dalam keadaan normal atau ideal. Obesitas (>25% diatas BB ideal) dikaitkan
dengan berkembangnya peningkatan tekanan darah atau hipertensi.
g. Gaya hidup : Faktor ini dapat dikendalikan dengan pasien hidup dengan pola
hidup sehat dengan menghindari faktor pemicu hipertensi itu terjadi yaitu
merokok, dengan merokok berkaitan dengan jumlah rokok yang dihisap dalam
waktu sehari dan dapat menghabiskan berapa puntung rokok dan lama merokok
berpengaruh dengan tekanan darah pasien. Konsumsi alkohol yang sering, atau
berlebihan dan terus menerus dapat meningkatkan tekanan darah pasien
sebaiknya jika memiliki tekanan darah tinggi pasien diminta untuk menghindari
alkohol agar tekanan darah pasien dalam batas stabil dan pelihara gaya hidup
sehat penting agar terhindar dari komplikasi yang bisa terjadi.
2. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder merupakan 10% dari seluruh kasus hipertensi adalah
hipertensi sekunder, yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah karena
suatu kondisi fisik yang ada sebelumnya seperti penyakit ginjal atau gangguan
tiroid, hipertensi endokrin, hipertensi renal, kelainan saraf pusat yang dapat
mengakibatkan hipertensi dari penyakit tersebut karena hipertensi sekunder yang
terkait dengan ginjal disebut hipertensi ginjal (renal hypertension).
Gangguan ginjal yang paling banyak menyebabkan tekanan darah tinggi
karena adanya penyempitan pada arteri ginjal, yang merupakan pembuluh darah
utama penyuplai darah ke kedua organ ginjal. Bila pasokan darah menurun maka
ginjal akan memproduksi berbagai zat yang meningkatkan tekanan darah serta
gangguan yang terjadi pada tiroid juga merangsang aktivitas jantung, meningkatkan
produksi darah yang mengakibatkan meningkatnya resistensi pembuluh darah
sehingga mengakibatkan hipertensi.
Faktor pencetus munculnya hipertensi sekunder antara lain: penggunaan
kontrasepsi oral, coarctation aorta, neurogenik (tumor otak, ensefalitis, gangguan
psikiatris), kehamilan, peningkatan volume intravaskuler, luka bakar, dan stress
karena stres bisa memicu sistem saraf simpatis sehingga meningkatkan aktivitas
jantung dan tekanan pada pembuluh darah.
iii. Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan
Klasifikasi yang dipakai di Indonesia adalah berdasarkan Report of the
National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood
Pressure in Pregnancy (Saifuddin, 2018), ialah :
1. Hipertensi Kronik
Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20
minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosissetelah umur kehamilan 20
minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pasca persalinan.
2. Preeklampsia
Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai
dengan proteinuria.
3. Eklampsia
Ekslampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang-kejang dan/atau
koma.
4. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia
Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia adalah hipertensi kronik
disertai tanda-tanda preeklampsia atau hipertensi kronik disertai proteinuria.
5. Hipertensi gestasional (disebut juga transien hipertension)
Hipertensi gestasional (disebut juga transien hipertension) adalah hipertensi yang
timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah
3 bulan pasca persalinan atau kehamilan dengan tanda-tanda preeklampsia tetapi
tanpa proteinuria
iv. Patofisiologi
Tekanan arteri sistemik adalah hasil dari perkalian cardiac output (curah
jantung) dengan total tahanan perifer. Cardiac output (curah jantung) diperoleh dari
perkalian antara stroke volume dengan heart rate (denyut jantung). Pengaturan tahanan
perifer dipertahankan oleh sistem saraf otonom dan sirkulasi hormon. Empat sistem
kontrol yang berperan dalam mempertahankan tekanan darah antara lain sistem
baroreseptor arteri, pengaturan volume cairan tubuh, sistem renin angiotensin dan
autoregulasi vaskular (Udjianti, 2010).
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak
di vasomotor, pada medulla di otak. Pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis,
yang berlanjut ke bawah korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis
ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan
dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia
simpatis. Titik neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang
serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya
norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah (Padila, 2013).
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon
pembuluh darah terhadap rangsangan vasokontriksi. Individu dengan hipertensi sangat
sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bisa terjadi (Padila, 2013). Meski etiologi hipertensi masih belum jelas,
banyak faktor diduga memegang peranan dalam genesis hipertensi seperti yang sudah
dijelaskan dan faktor psikis, sistem saraf, ginjal, jantung pembuluh darah,
kortikosteroid, katekolamin, angiotensin, sodium, dan air (Syamsudin, 2011).
Sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang
emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas
vasokontriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan
vasokontriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat
memperkuat respon vasokonstriktor pembuluh darah (Padila, 2013).
Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan
pelepasan renin. Rennin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian
diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya
merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi
natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler.
Semua faktor ini cenderung menciptakan keadaan hipertensi (Padila, 2013).
v. Gangguan hipertensi kehamilan
Faktor – faktor lain yang dapat membantu diagnosis antara lain multiparitas,
factor keturunan dan obesitas. Secara klinis hipertensi kronik kemungkinan ditemukan
pada pasien : berusia > 40 tahun, sudah menderita hipertensi sebelum hamil ini,
tekanan darah > 160/110 mmHg, biasanya tidak menunjukkan gejala-gejala lain selain
hipertensi, gejala – gejala seperti kelainan jantung, arteriosklerosis, perdarahan tak dan
penyakit ginjal baru timbul setelah waktu yang lama dan penyakit terus berlanjut.
Bahaya yang dapat terjadi pada kehamilan dengan hipertensi kronis adalah
resiko terjadinya superimposed preeklampsia/eklampsia, yang dapat terjadi pada lebih
dari 25% wanita. Superimposed pre eklampsia/eklampsia adalah timbulnya pre
eklamsi pada hipertensi kronis. Disebut superimposed preeklampsia bila disertai
dengan odema dan proteinuria, namun bila disertai dengan kejang yang bukan akibat
dari kelainan neurologik, disebut superimposed eclampsia. Selain itu hipertensi kronis
meningkatkan resiko terjadinya insuifisiensi plasenta dan solusio plasenta dan janin
bertumbuh kurang sempurna : prematuritas dan dismaturitas. Angka kematian pada
janin: 20%.
Penanganan hipertensi kronis pada kehamilan adalah istirahat yang cukup,
pemeriksaan antenatal yang teratur, menjaga penambahan berat badan dengan diet
tinggi protein dan rendah karbohidrat dan lemak. Ketenangan jiwa penderitasangat
diperlukan, yang dapat dicapai dengan pendekatan psikologis atau pemberian
fenobarbital 3x30 mg. Obat antihipertensi hanya diberikan bila tekanan darah diastolik
> 90mmHg.
Bila terjadi superimposed preeklamsi/eklamsi maka diterapi seperti preeklamsi
dan eklamsi. Pengakhiran kehamilan dilakukan bila ada tanda-tanda hipertensi ganas
(tekanan darah 200/120 mmHg) atau janin mati dalam kandungan. Pengakhiran
kehamilan dapat secara pervaginam dengan memperpendek kala II atau secara
abdominal dengan seksio sesarea (Cunningham, 2013).
vi. Penatalaksanaan Hipertensi
1. Pengaturan diet
Mengkonsumsi gizi yang seimbang dengan diet rendah garam dan rendah
lemak sangat dianjurkan bagi penderita hipertensi untuk dapat mengendalikan
tekanan darahnya dan secara tidak langsung menurunkan resiko terjadinya
komplikasi hipertensi. Selain itu juga perlu mengkonsumsi buah-buahan segar
seperti pisang, sari jeruk dan sebagainya yang tinggi kalium dan menghindari
konsumsi makanan awetan dalam kaleng karena meningkatkan kadar natrium
dalam makanan (Vitahealth, 2013).
Modifikasi gaya hidup yang dapat menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler.
Mengurangi asupan lemak jenuh dan menggantinya dengan lemak polyunsaturated
atau monounsaturated dapat menurunkan resiko tersebut. Meningkatkan konsumsi
ikan, terutama ikan yang masih segar yang belum diawetkan dan tidak diberi
kandungan garam yang berlebih (Syamsudin, 2011).
2. Perubahan gaya hidup menjadi lebih sehat
Gaya hidup dapat merugikan kesehatan dan meningkatkan resiko komplikasi
hipertensi seperti merokok, mengkonsumsi alkohol, minum kopi, mengkonsumsi
makanan cepat saji (junk food), malas berolahraga (Junaidi, 2012), makanan yang
diawetkan dalam kaleng memiliki kadar natrium yang tinggi di dalamnya. Gaya
hidup itulah yang meningkatkan resiko terjadinya komplikasi hipertensi karena jika
pasien memiliki tekanan darah tinggi tetapi tidak mengontrol dan merubah gaya
hidup menjadi lebih baik maka akan banyak komplikasi yang akan terjadi
(Vitahealth, 2015).
Penurunan berat badan merupakan modifikasi gaya hidup yang baik bagi
penderita penyakit hipertensi. Menurunkan berat badan hingga berat badan ideal
dengan mengurangi asupan lemak berlebih atau kalori total. Kurangi konsumsi
garam dalam konsumsi harian juga dapat mengontrol tekanan darah dalam batas
normal. Perbanyak buah dan sayuran yang masih segar dalam konsumsi harian
(Syamsudin, 2011).
3. Manajemen Stres
Stres atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, rasa marah, murung, dendam, rasa
takut, rasa bersalah) merupakan faktor terjadinya komplikasi hipertensi. Peran
keluarga terhadap penderita hipertensi diharapkan mampu mengendalikan stres,
menyediakan waktu untuk relaksasi, dan istirahat (Lumbantobing, 2013). Olahraga
teratur dapat mengurangi stres dimana dengan olahraga teratur membuat badan
lebih rileks dan sering melakukan relaksasi (Muawanah, 2012).
Ada 8 teknik yang dapat digunakan dalam penanganan stres untuk mencegah
terjadinya kekambuhan yang bisa terjadi pada pasien hipertensi yaitu dengan cara :
scan tubuh, meditasi pernafasan, meditasi kesadaran, hipnotis atau visualisasi
kreatif, senam yoga, relaksasi otot progresif, olahraga dan terapi musik (Sutaryo,
2011).
4. Mengontrol kesehatan
Penting bagi penderita hipertensi untuk selalu memonitor tekanan darah.
Kebanyakan penderita hipertensi tidak sadar dan mereka baru menyadari saat
pemeriksaan tekanan darah. Penderita hipertensi dianjurkan untuk rutin
memeriksakan diri sebelum timbul komplikasi lebih lanjut. Obat antihipertensi juga
diperlukan untuk menunjang keberhasilan pengendalian tekanan darah (Sudoyo,
Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, dan Setiati, 2010). Keteraturan berobat sangat
penting untuk menjaga tekanan darah pasien dalam batas normal dan untuk
menghindari komplikasi yang dapat terjadi akibat penyakit hipertensi yang tidak
terkontrol (Annisa, Wahiduddin, dan Jumriani, 2013).
5. Olahraga teratur
Olahraga secara teratur dapat menyerap atau menghilangkan endapan
kolesterol pada pembuluh darah nadi. Olahraga yang dimaksut adalah latihan
menggerakan semua nadi dan otot tubuh seperti gerak jalan, berenang, naik sepeda,
aerobik. Oleh karena itu olahraga secara teratur dapat menghindari terjadinya
komplikasi hipertensi (Corwin, 2010).
Latihan fisik regular dirancang untuk meningkatkan kebugaran dan kesehatan
pasien dimana latihan ini dirancang sedinamis mungkin bukan bersifat isometris
(latihan berat) latihan yang dimaksud yaitu latihan ringan seperti berjalan dengan
cepat (Syamsudin, 2011).
vii. Manajemen Pengobatan Hipertensi (Farmakologi Hipertensi)
1. Terapi Non Farmakologis
Terapi non farmakologis dalam mengatasi Hipertensi ditekankan pada berbagai
upaya berikut (Widyanto dan Triwibowo, 2013) :
a. Mengatasi obesitas dengan menurunkan berat badan berlebih.
b. latihan fisik (olahraga) secara teratur.
c. Pemberian kalium dalam bentuk makanan dengan konsumsi buah dan sayur.
d. Mengurangi asupan garam dan lemak jenuh.
e. Berhenti merokok dan mengurangi konsumsi alkohol.
f. Menciptakan keadaan rileks.
Diet untuk Hipertensi. Salah satu bentuk diet untuk Hipertensi yang terkenal
adalah DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) yang terutama berisi
komponen gizi berserat tinggi (sayur dan buah). (Bustan, 2015).
DASH merupakan salah satu rencana pola makanan sehat yang terbukti
membantu orang menurunkan tekanan darah yang dimilikinya, dengan
mengonsumsi makanan rendah garam (natrium) dan tinggi kalium dapat
menurunkan tekanan darah yang kita miliki. (CDC, 2014).
Pada dasarnya komponen DASH sama dengan makan sehat lainnya, hanya saja
DASH ditandai dengan proporsi yang tinggi sayur dan buah- buahan, lemak yang
rendah, protein tanpa lemak. Jumlah kalori disesuaikan dengan berat badan, jika
obesitas akan dikurangi kalorinya. Selain itu dianjurkan juga penurunan masukan
kadar natrium. Penurunan rata- rata natrium masyarakat dari 3.300 mg ke 2.300 mg
per hari dapat mengurangi kasus Hipertensi. (Bustan, 2015).

2. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis dilakukan dengan menggunakan obat anti Hipertensi. Dan
secara khusus diharapkan mempunyai bioavailabilitas yang tinggi dan konsisten
sehingga aktivitasnya dapat diperkirakan (predict-able), mempunyai waktu paruh
(plasma elimination half-life) yang panjang sehingga diharapkan mempunyai efek
pengendalian tekanan darah yang panjang pula, dan meningkatkan survival dengan
menurunkan risiko gagal jantung dan mengurangi serangan balik (recurrent) infark
miokard. (Widyanto dan Triwibowo, 2013).
Obat anti Hipertensi : Diuretika, penyekat Beta (Beta-blocker), Antagonis
kalium, Inhibitor ACE (Anti Converting Enzym), obat anti hipertensi sentral
(simpatolitika), obat penyekat Alpha (Alpha-blocker), dan Vasodilator. (Bustan,
2015).
viii.Komplikasi
Hipertensi yang tidak teratasi, dapat menimbulkan komplikasi yang berbahaya
menurut Price dan Wilson (2010), Corwin (2011), Vitahealth (2013), Setiati, Alwi,
Sudoyo, Simadibrata, dan Syam (2014), Irianto (2014) seperti :
1. Payah Jantung
Payah jantung (Congestive heart failure) adalah kondisi jantung tidak mampu
lagi memompa darah yang dibutuhkan tubuh. Kondisi ini terjadi karena kerusakan
otot jantung atau sistem listrik jantung.
2. Stroke
Hipertensi adalah faktor penyebab utama terjadi stroke, karena tekanan darah
yang terlalu tinggi dapat menyebabkan pembuluh darah yang sudah lemah menjadi
pecah. Bila hal ini terjadi pada pembuluh darah otak, maka terjadi pendarahan otak
yang dapat berakibat kematian. Stroke juga dapat terjadi akibat sumbatan dari
gumpalan darah yang macet di pembuluh yang sudah menyempit.
3. Kerusakan ginjal
Hipertensi dapat menyempitkan dan menebalkan aliran darah yang menuju
ginjal, yang berfungsi sebagai penyaring kotoran tubuh. Dengan adanya gangguan
tersebut, ginjal menyaring lebih sedikit cairan dan membuangnya kembali ke darah.
4. Kerusakan penglihatan
Hipertensi dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah di mata, sehingga
mengakibatkan penglihatan menjadi kabur atau buta. Pendarahan pada retina
mengakibatkan pandangan menjadi kabur, kerusakan organ mata dengan
memeriksa fundus mata untuk menemukan perubahan yang berkaitan dengan
hipertensi yaitu retinopati pada hipertensi. Kerusakan yang terjadi pada bagian otak,
jantung, ginjal dan juga mata yang mengakibatkan penderita hipertensi mengalami
kerusakan organ mata yaitu pandangan menjadi kabur.
Komplikasi yang bisa terjadi dari penyakit hipertensi menurut Departemen
Kesehatan (DepKes, 2006) adalah tekanan darah tinggi dalam jangka waktu yang
lama akan merusak endotel arteri dan mempercepat atherosclerosis. Komplikasi
dari hipertensi termasuk rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak,
dan pembuluh darah besar. Hipertensi adalah faktor resiko utama untuk penyakit
serebrovaskular (stroke, transient ischemic attack), penyakit arteri koroner (infark
miokard, angina), gagal ginjal, demensia, dan atrial fibrilasi.
ix. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Hipertensi dalam Kehamilan
1. Paritas
Kira-kira 85% preeklamsia terjadi pada kehamilan pertama.Paritas 2-3
merupakan paritas paling aman ditinjau dari kejadian preeklamsi dan risiko
meningkat lagi pada grandemultigravida. Selain itu primi tua lama perkawinan ≥4
tahun juga dapat beresiko tinggi timbul preeklamsi
2. Usia
Usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 23-35 tahun. Kematian
maternal pada wanita hamil dan bersalin pada usia dibawah 20 tahun dan setelah
usia 35 tahun meningkat, karena wanita yang memiliki usia kurang dari 20 tahun
dan lebih dari 35 tahun dianggap lebih rentan terhadap terjadinya preeklampsia,
selaain itu ibu hamil yang berusia ≥35 tahun telah terjadi perubahan pada jaringan
alat-alat kandungan dan jalan lahir tidak lentur lagi sehingga lebih beresiko untuk
terjadi preeklamsi.
3. Riwayat hipertensi
Riwayat hipertensi adalah ibu yang pernah mengalami hipertensi sebelum
hamil atau sebelum umur kehamilan 20 minggu. Ibu yang mempunyai riwayat
hipertensi berisiko lebih besar mengalami preeklamsi, serta meningkatkan
morbiditas dan mortalitas maternal dan neonatal lebih tinggi. Diagnosa preeklamsia
ditegakkan berdasarkan peningkatan tekanan darah yang disertai dengan proteinuria
dan edema anasarka.
4. Sosial ekonomi
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa wanita yang sosial ekonominya
lebih maju jarang terjangkit penyakit preeklamsia. Secara umum,
preeklamsi/eklamsi dapat dicegah dengan asuhan pranatal yang baik. Namun pada
kalangan ekonomi yang masih rendah dan pengetahuan yang kurang seperti di
negara berkembang seperti Indonesia insiden preeklamsi/eklamsi masih sering
terjadi
5. Hiperplasentosis /kelainan trofoblas
Hiperplasentosis/kelainan trofoblas juga dianggap sebagai faktor predisposisi
terjadinya preeklampsia, karena trofoblas yang berlebihan dapat menurunkan
perfusi uteroplasenta yang selanjutnya mempengaruhi aktivasi endotel yang dapat
mengakibatkan terjadinya vasospasme, dan vasospasme adalah dasar patofisiologi
preeklamsi/eklamsi. Hiperplasentosis tersebut misalnya: kehamilan multiple,
diabetes melitus, bayi besar, 70% terjadi pada kasus mola hidatidosa (Cunningham,
2013).
6. Genetik
Genotip ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara
familial jika dibandingkan dengan genotip janin. Telah terbukti pada ibu yang
mengalami preeklamsia 26% anak perempuannya akan mengalami preeklamsia
pula, sedangkan 8% anak menantunya mengalami preeklamsi. Karena biasanya
kelainan genetik juga dapat mempengaruhi penurunan perfusi uteroplasenta yang
selanjutnya mempengaruhi aktivasi endotel yang dapat menyebabkan terjadinya
vasospasme yang merupakan dasar patofisiologi terjadinya preeklamsi/eklamsi
(Cunningham, 2013).
7. Obesitas
Obesitas adalah adanya penimbunan lemak yang berlebihan di dalam tubuh.
Obesitas merupakan masalah gizi karena kelebihan kalori, biasanya disertai
kelebihan lemak dan protein hewani, kelebihan gula dan garam yang kelak bisa
merupakan faktor risiko terjadinya berbagai jenis penyakit degeneratif, seperti
diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung koroner, rematik dan berbagai jenis
keganasan (kanker) dan gangguan kesehatan lain. Hubungan antara berat badan ibu
dengan resiko preeklamsi bersifat progresif, meningkat 4,3 % untuk wanita dengan
indeks massa tubuh kurang dari 19,8 kg/m2 terjadi peningkatan menjadi 13,3 %
untuk mereka yang indeksnya ≥35 kg/m2.
8. Pola Makan
Pola Makan tidak sehat sangatlah berpengaruh pada peningkatan proporsi
gangguan pada kesehatan di tiap golongan umur. Pentingnya menjaga pola makan
akan sangat berpengaruh pada minimnya penyakit yang muncul termasuk hipertensi
(Ogis, 2018). Kecenderungan menyukai makanan instan yang jelas tinggi andungan
Natriumnya serta minimnya aktivitas fisik pada ibu hamil adalah penyebab
terjadinya hipertensi (Ratnawati, 2017)

Peran Bidan Dalam Penanganan Hipertensi dalam Kehamilan


Penatalaksanaan hipertensi pada kehamilan dan laktasi terdiri dari dua jenis yaitu :
1. Penatalaksanaan Non Farmakologis
Penatalaksanaan Non Farmakologis terdiri dari Dietary Approaches to Stop
Hypertension (DASH), melakukan olahraga atau aktivitas fisik, mengurangi asupan
natrium, hindari konsumsi alkohol, berhenti merokok, faktor psikologi dan stress, dan
kalsium.
2. Penatalaksanaan Farmakologis
Penatalaksanaan Farmakologis terdiri dari pemberian antihipertensi lebih dari
140/80 mmHg, apabila tekanan darah terlalu rendah maka turunkan perfusi uteroplasenta,
target penurunan tekanan darah pada kehamilan adalah 140/90 mmHg dan tidak ada
keuntungan yang didapatkan dengan menurunkan tekanan darah lebih rendah lagi,
tekanan darah lebih dari 170/110 mmHg akan dianggap suatu kedaruratan medis dan
dianjurkan untuk mendapatkan perawatan di rumah sakit dimana tekanan darah harus
diturunkan secepat mungkin, hipertensi ringan pada ibu menyusui dapat dipertimbangkan
untuk penghentian obat sementara dengan pemantauan ketat tekanan darah, setelah
menghentikan menyusui maka akan dilakukan terapi antihipertensi yang dapat diajukan
kembali. Dalam mengatasi hipertensi pada ibu hamil maka akan dilakukan pengobatan
dimana obat yang dianjurkan sebagai antihipertensi pada kehamilan dan laktasi
diantaranya seperti Metildopa, Klonidin, CCB, Beta Blocker, Labetalol, Hydrochloro
Thiazide, dan ACEI dan ARB.
Hipertensi pada kehamilan merupakan hipertensi dalam keadaan khusus, dimana
hal ini berkaitan dengan sirkulasi uteroplasenta pada ibu dan janin saat kehamilan dan
ekskresi obat melalui ASI. Pemantauan tekanan darah selama kehamilan dalam Antenatal
Care (ANC), saat persalinan, post partum, dan selama laktasi sangat penting dilakukan
untuk mencegah perkembangan penyakit hipertensi lebih lanjut dan akhirnya
menurunkan morbiditas (angka kesakitan) dan mortalitas (angka kematian) baik ibu
maupun janinnya. (Kuswadi, 2019)

Kerangka Teori

Faktor-faktor yang
mempengaruhi hipertensi :

1. Paritas

2. Usia

3. Pola makan Hipertensi dalam


kehamilan
4. Riwayat hipertensi

5. Soasial ekonomi

6. Genetic

7. Kelainan trophoblast

Sumber :Cunningham (2013), Ratnawati (2017), Prawirohardjo (2013)


Kerangka teori Analisis Faktor Resiko Hipertensi

Faktor Tingkat Sosial


Pola Makan
Genetik Ekonomi

Aktifitas Tipe Pendidikan Merokok,


Obesitas dan Pekerjaan Alkohol,
Fisik Kepribadian
Individu Kafein

Degenerasi/
Umur
Penebalan Stress
dinding rahim

Aktivitas Syaraf
HIPERTENSI
Etnis/Suku Simpatis
Meningkat

Riwayat Penggunaan
Jenis Kelamin
DM Estrogen/pil
KB

Sumber : Sutanto (2010), Yogiantoro (2009), Bustan (2007), an Depkes RI (2006)


DAFTAR PUSTAKA

Almatsier. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka; 2013


A.Aziz Alimul Hidayat & Musrifatul Uliyah. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia. Surabaya :
Health Books Publishing; 2012
Angsar, M.D., 2016. Hipertensi dalam Kehamilan Ilmu dalam Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo. Edisi IV. Jakarta. PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2016
Bustan, Manajemen pengendalian penyakit tidak menular. Jakarta. Rineka Cipta; 2015
Cunningham, Leveno, Bloom, Dashe, Hoffman, Casey, & Spong. Williams Obstetric (25th ed.).
McGraw-Hill Global Education Holdings; 2018
Cunningham, F.G., Gant, N.F., Leveno, K.J., Gilstrap, L.C., Hauth, J.C., Wenstrom, K.D.
Hipertensi dalam kehamilan.dalam Obstetri williams. 23 ed. Jakarta:EGC; 2013
Corwin. Buku Saku Patofisiologi.edisi 3.Jakarta. EGC; 2011
Dinas Kesehatan Kota Sukabumi. Profil Dinas Kesehatan Sukabumi; 2020
Hall, J.E. Guyton and Hall Textbook Of Medical Physiology. 13th ed. The United State of
America: Elsevier; 2016
Hanifa. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Departemen
Pendidikan Nasional. Jakarta; 2017

Hanifah. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirihardjo; 2017

Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta. Balitbang Kemenkes RI; 2018
Karthikeyan, VJ. Hipertensi dalam kehamilan; di Nadar, S. dan Bibir, GYH, Hipertensi, Ch. 22,
2 nd Ed . Perpustakaan Kardiologi Oxford. Oxford; 2015

Irianto, K . Memahami Berbagai Macam Penyakit. Bandung. Alfabeta; 2014


Manuaba I. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB, Jakarta. EGC; 2012
Moehji, S. Dasar-dasar Ilmu Gizi 2. Jakarta: Kemang Studio Aksara; 2017

Notoatmodjo, S. Promosi kesehatan dan perilaku kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta. 2018
Nugroho. Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika; 2012.
Nursalam. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta. Salemba
Medika; 2017
Rampengan, Starry H. penyakit jantung pada kehamilan. Badan penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2014

Sihotang, Corry. Hubungan Pola Makan Dan Kecukupan Istirahat Dengan Kejadian Hipertensi
Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Biromaru. Jurnal Kesehatan; 2016

Saifuddin, Abdul Bari. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka; 2018
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&B. Bandung: Alfabeta; 2017
Sastroasmoro, Sudigdo. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Sagung Seto; 2018
Supariasa, I., Bachyar , B., & Ibnu, F. Pendidikan & Konsultasi Gizi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC ; 2013

Sulistyoningsih. Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu; 2011

Sulistyawati. Asuhan Kebidanan pada Masa Kehamilan. Jakarta: Salemba Medika; 2012
Supariasa. Penilaian Status Gizi. Jakarta. Buku Kedokteran EGC; 2012
Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2018
Pudiastuti DR. Asuhan Kebidanan Pada Hamil Normal Dan Patologi Yogyakarta: Nuha Mediks;
2012.
Proverawati, A dan Siti, A. 2010. Buku Ajar Gizi Untuk Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika;
2010

Udjianti, Wajan. Keperawatan Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika; 2011

Varney, Kriebs dan Gegor. Buku Ajar Asuhan kebidanan. Jakarta. EGC; 2010
Waryana. Gizi. Yogyakarta: Pustaka Rahima; 2016.
Wiknjosastro, Hanifa. Ilmu Kebidanan. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka; 2017
Widyanto, F. C dan Triwibowo, C. Trend Disease Trend Penyakit Saat Ini, Jakarta. Trans Info
Media; 2013
WHO, Data Angka Kematian Ibu. Jakarta; 2018

Anda mungkin juga menyukai