Anda di halaman 1dari 12

Available online at https://stikesmu-sidrap.e-journal.

id/JIKP 92
Jurnal Ilmiah Kesehatan Pencerah, 09 (2), 2020, 92-103
DOI:https:// doi.org/10.12345/jikp.v9i02.172

Fungsi Seksual Pada Akseptor Kb Di Kampung Sumulagung Cikunir


Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2019

Annisa Rahmidini
STIKes Respati, Tasikmalaya
annisarahmidini@gmail.com
*corresponding author
Tanggal Pengiriman: 04 Juli 2020, Tanggal Penerimaan: 18 Desember 2020

Abstrak
Penurunan fungsi seksual menjadi masalah bagi akseptor, karena mengganggu keutuhan rumah tangga
yang akhirnya berpengaruh terhadap kondisi yang tidak harmonis, perceraian, terpisahnya anak dari
keluarga yang utuh. Tujuan penelitian mengetahui gambaran fungsi seksual pada askeptor KB di
Kampung Sumulagung Cikunir Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2019. Jenis penelitian kuantitatif metode
deskriptif, sampel sebanyak 25 Akseptor KB Hormonal dengan teknik pengambilan sampel random
sampling. Instrumen menggunakan kuesioner FSFI. Metode kontrasepsi hormonal merupakan faktor
risiko yang mempengaruhi kejadian disfungsi seksual akseptor KB hal tersebut karena kandungan
hormon yang dapat mempengaruhi fungsi fisiologis hormonal dari responden sehingga dapat
menimbulkan gangguan seksual (gangguan hasrat, bangkit/gairah, gangguan kepuasan ataupun gangguan
lubrikasi serta nyeri).

Kata Kunci: akseptor KB; fungsi seksual; KB hormonal

Abstract

The decline in sexual function becomes a problem for acceptors, because it disrupts the integrity of the
household, which ultimately affects conditions that are not harmonious, divorce, the separation of
children from the intact family. The research objective was to determine the description of sexual
function in family planning acceptors in Sumulagung Cikunir, Tasikmalaya Regency in 2019. The type of
quantitative research was descriptive method, a sample of 25 hormonal family planning acceptors with
random sampling technique. The instrument uses the FSFI questionnaire. Hormonal contraceptive
method is a risk factor that affects the incidence of sexual dysfunction of family planning acceptors
because the hormone content can affect the hormonal physiological function of the respondent so that it
can cause sexual disturbances (disturbance of desire, arousal / arousal, impaired satisfaction or
disturbance of lubrication and pain).

Keywords: family planning acceptors; sexual function; hormonal birth control

PENDAHULUAN
Salah satu keluahan yang terjadi pada akseptor KB adalah terkait menurunnya Fungsi
Sesual, sehingga hal tersebut perlu menjadi perhatian khusus petugas kesehatan dalam hal ini
bidan. Fungsi sesksual menjadi salah satu faktor penentu kualitas hidup seseorang. Fungsi
seksual itu sendiri terdiri dari beberapa dimensi diantaranya hasrat, gairah, lubrikasi, orgasme,

This is an open access article under the CC–BY-SA license.


Jurnal Ilmiah Kesehatan Pencerah, 09 (2), 2020, 92-103 93
Annisa Rahmidini

kepuasan dan dispareunia atau nyeri saat berhubungan seks (Angga JS dkk., 2010; Riyanti dkk.,
2015).
Penurunan fungsi seksual atau terganggu menjadi masalah bagi akseptor, karena akan
mengganggu keutuhan rumah tangga yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kondisi
rumah tangga yang tidak harmonis, perceraian, terpisahnya anak dari keluarga yang utuh. Hal ini
tentunya akan menciptakan masalah kesehatan reproduksi lainnya, dan juga masalah sosial yang
kompleks bukan saja bagi keluarga yang bermasalah tersebut, tetapi juga bagi masyarakat
bahkan bagi Negara (Glasier & Gebbie, 2016; World Health Organization., 2011).
Masalah seksual umumnya sering ditemukan pada berbagai populasi, angka ini bervariasi
dari 12%-63% tergantung pada bagaimana tipe pengukuran yang dilakukan. Masalah ini
berhubungan dengan faktor sosial demografi, psikologi, patologi, dan dan faktor lainnya. 5 Studi
tentang fungsi seksual yang dilakukan di Amerika oleh Angga JS dkk (2010), melaporkan
bahwa disfungsi seksual lebih banyak terjadi pada perempuan sebesar 43% dibandingkan pada
laki-laki.
Prevalensi wanita usia subur (WUS) menurut World Health Organization, Indonesia
adalah yang tertinggi di antara Negara ASEAN yakni 65%, sementara di Vietnam sebesar
25,3%, dan di Kamboja sebesar 4%. Sebaliknya pengguna kontrasepsi di Indonesia lebih rendah
dari Vietnam dimana Indonesia hanya sebesar 61% dan di Vietnam sebesar 78% (World Health
Organization., 2011).
Dalam International Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo pada
tahun 1994, paradigma pengelolaan kependudukan telah berubah yang semula berorientasi
kepada penurunan fertilitas (manusia sebagai obyek) menjadi pengutamaan kesehatan reproduksi
perorangan dengan menghormati hak reproduksi setiap individu (manusia sebagai subyek)
(World Health Organization., 2011). Hal ini tidak terlepas dari fungsi seksual akseptor itu
sendiri.
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2013, Prevalensi
pengguna kontrasepsi di Indonesia sebesar 75,96 %, alat atau cara kontrasepsi yang dominan
dipakai adalah suntik (46,47%), pil (25,81%), dan kondom (2,96%) (Rismawati, 2012; SDKI,
2013).
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan di RW 01 Sumulagung Dusun Gunung Kawung
Desa Cikunir di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Singaparna Kabupaten Tasikmalaya Tahun
2018, didapatkan hasil frekeunsi kontrasepsi yang pernah digunakan dengan metode suntik
sebanyak 28 (87,5%) dan yang tidak menggunakan KB sebanyak 4 (12,5%) dari 32 Wanita Usia
Subur (WUS). Faktor yang mempengaruhi rendahnya partisipasi KB diantaranya yaitu ingin
mempunyai anak (40,6%) WUS, mengalami dampak yang menjadikan responden tidak
menggunakan alat kontrasepsi kembali seperti perdarahan (6,3%), kenaikan berat badan (3,1%),
masalah sikulus menstruasi tidak teratura (15,6%), usia yang sudah tua (18,8%), dan disertai
resiko penyakit hipetensi (3,1%).
Berdasarkan latar belakang tersebut maka tujuan penelitian ini untuk mengetahui fungsi
seksual pada akseptor KB di masyarakat kampung Sumulagung Desa Cikunir Kabupaten
Tasikmalaya Tahun 2019.

Copyright © 2020, Jurnal Ilmiah Kesehatan


Pencerah ISSN 2089-9394 (print) | ISSN 2656-
Jurnal Ilmiah Kesehatan Pencerah, 09 (2), 2020, 92- 94
103 Annisa Rahmidini

METODE
Penelitian ini dilakukan di Kampung Sumulagung Desa Cikunir Kabupaten Tasikmalaya
tahun 2019. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan menggunakan metode deskriptif yang
akan digunakan untuk mengidentifikasi fungsi seksual (hasrat, gairah atau dorongan seksual,
lubrikasi, orgasme, kepuasan, nyeri).
Populasi pada penelitian yaitu seluruh Akseptor KB Hormonal di kampung Sumulagung
Desa Cikunir Kabupaten Tasikmalaya yang bersedia menjadi responden penelitian. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Karakteristik responden
Wanita Usia Subur usia 15-49 tahun, mengunakan alat kontrasepsi hormonal, bersedia menjadi
responden, bisa baca tulis. Instrumen pengambilan data pada penelitian ini yaitu kuesioner FSFI.
Analisa dan penyajian data disfungsi seksual pada akseptor KB dinilai melalui kuesioner
FSFI dalam empat minggu terakhir. Kuesioner FSFI memiliki beberapa domain dan terdiri dari
19 pertanyaan. Satu domain berisikan 2 pertanyaan atau lebih. Untuk menilai skor domain
individu, pada pertanyaan masing-masing domain jumlahkan skor yang didapat lalu kalikan
jumlah tersebut dengan faktor domain. Tambahkan nilai keenam domain untuk mendapatkan
skala penuh. Perlu dicatat bahwa pada rentang skor yang menunjukkan angka nol berarti bahwa
subjek yang dilaporkan tidak memiliki aktivitas seksual dalam sebulan terakhir.
Prosedur pengambilan data pada penelitian ini terdiri dari data primer yaitu data yang
diperoleh secara langsung dari responden dengan menggunakan instrumen kuesioner FSFI.
Analisis data univariat menggunakan tabel distribusi frekuensi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Gairah Seksual (n=25)


f %
seberapa Sering Anda merasakan Gairah Seksual atau
Minat Seksual
Hampir tidak pernah atau tidak ada sama sekali 4 16,0
Jarang (kurang dari setengah waktu) 8 32,0
Kadang-kadang (sekitar setengah dari waktu) 10 40,0
Sering (Lebih dari setengah waktu) 1 4,0
hampir selalu atau selalu 2 8,0
Bagaimana anda menilai tingkat gairah Seksual anda?
Sangat rendah atau tidak ada sama sekali 1 4,0
Rendah 2 8,0
Sedang 19 76,0
Tinggi 2 8,0
Sangat tinggi 1 4,0

Tabel 1 menunjukkan gairah seksual pada akseptor KB di Kampung Sumulagung Desa


Cikunir Kabupaten Tasikmalaya didapatkan sebagian besar responden kadang-kadang
merasakan gairah seksual atau minat seksual yaitu sebanyak 10 orang (40%). Kemudian

Copyright © 2020, Jurnal Ilmiah Kesehatan


Pencerah ISSN 2089-9394 (print) | ISSN 2656-
Jurnal Ilmiah Kesehatan Pencerah, 09 (2), 2020, 92-103 95
Annisa Rahmidini

responden menilai tingkat gairah seksualnya termasuk kategori sedang yaitu sebanyak 19 orang
(76.0%).
Melihat dari data tersebut mengindikasikan bahwa akseptor kontrasepsi hormonal seperti
kontrasepsi suntik mengalami gangguan pada gairah seksual. Gairan seksual pada akseptor
kontrasepsi hormonal dapat diakibatkan karena adanya perubahan hormon yang terkandung
dalam kontrasepsi tersebut.
Homorn progesteron dalam alat kontrasepsi berfungsi untuk mengentalkan lendir serviks
dan mengurangi kemampuan rahim untuk menerima sel yang telah dibuahi. Namun hormon ini
juga mempermudah perubahan karbohidrat menjadi lemak sehingga salah satu efek sampingnya
adalah penumpukan lemak yang menyebabkan berat badan bertambah dan menurunnya gairah
seksual yang menyebabkan adanya pengaruh pada hasrat seksual (David D. Depo Provera, 2012;
Shahnazi M, Bayatipayan S, Khailil AF, Kochaksaraei, Jafarabadi MA & KG, 2015).
Demikian adanya, kontrasepsi suntik yang berisi hormon progesteron memiliki efek
terhadap gangguan seksual. Hormon progesteron berfungsi untuk mencegah ovulasi, namun
dengan kadar progestin yang tinggi akan menghambat lonjakan Lutenizing Hormone (LH) secara
aktif dalam merangsang proses ovulasi yang tidak dapat terjadi tanpa produksi LH yang
memadai (Casey PM, Maclaughlin KL, 2016; Pastor Z, Holla K, 2013). Hal ini lambat laun akan
menyebabkan gangguan fungsi seksual berupa penurunan libido dan potensi seksual lainnya.
Berdasarkan tabel 2 tentang bangkitan atau hasrat Seksual pada akseptor KB di Kampung
Sumulagung Desa Cikunir Kabupaten Tasikmalaya didapatkan responden kadang-kadang
merasa terangsang selama aktivitas senggama yaitu sebanyak 10 orang (40.0%). Responden
menilai rangsangan seksual selama aktivitas senggama termasuk kategori sedang yaitu sebanyak
15 orang (60.0%).
Responden memiliki keyakinan yang sedang merasa terangsang selama aktivitas senggama
yaitu sebanyak 13 orang (52.0%). Responden kadang-kadang merasa puas dengan rangsangan
seksual selama aktivitas hubungan seksual sebanyak 13 orang (52.0%).
Melihat dari hasil penelitian tersebut, dapat dikemukakan bahwa gangguan disfungsi
seksual pada akseptor kontrasepsi hormonal dapat berupa adanya gangguan saat terangsang
selama aktivitas senggama, responden juga mengatakan kadang-kadang merasa puas dengan
rangsangan seksual selama aktivitas hubungan seksual. Hal ini tidak terpelas dari mekanisme
kerja hormon progesteron, dimana mekanisme kerja progesteron tersebut menekan produksi
Follicle Stimulating Hormone (FSH) sehingga menghambat peningkatan kadar hormone
estrogen (Handayani E., 2013; Jaafarpour M, Khani A, Khajavikan J, 2013).
Menurunnya kadar estradiol serum erat hubungannya dengan perubahan mood dan
berkurangnya keinginan seksual bagi akseprtor, maka akseptor kontrasepsi suntik akan
mengalami gangguan dalam bangkitan atau hasrat seksual atau bahkan sulit untuk merasa
terangsang dari pasangannya (Shahnazi M, Bayatipayan S, Khailil AF, Kochaksaraei, Jafarabadi
MA & KG, 2015)
Menurunnya gairah seks, dapat disebabkan oleh kondisi yang sifatnya sementara seperti
kelelahan, bahkan ada penyebab lain. Gairah seks yang terus menurun dapat membuat stress
wanita ataupun pasangannya. Hormon yang berperan terhadap tinggi rendahnya libido wanita
adalah hormon androgen dan estrogen, produksi hormon androgen dipengaruhi oleh adanya

Copyright © 2020, Jurnal Ilmiah Kesehatan


Pencerah ISSN 2089-9394 (print) | ISSN 2656-
Jurnal Ilmiah Kesehatan Pencerah, 09 (2), 2020, 92- 96
103 Annisa Rahmidini

hormon estrogen. Pada keadaan stres berat, dimana jumlah estrogen menjadi berkurang, maka
androgen pun menurun. Akibatnya libido pun akan menurun (Masita, 2015; Mulyani Ns, 2013;
Riyanti et al., 2015; Saputra M, 2014).

Tabel 2. Bangkitan atau Hasrat Seksual (n=25)


f %
Seberapa sering anda terangsang selama aktifitas
senggama?
Tidak ada aktivitas seksual 4 16,0
Jarang (kurang dari setengah waktu) 8 32,0
Kadang-kadang (sekitar setengah dari waktu) 10 40,0
Sering (lebih dari setengah waktu) 1 4,0
Hampir selalu atau selalu 2 8,0
Bagaimana anda menilai rangsangan seksual Anda
selama aktivitas senggama
Tidak ada aktivitas seksual 4 16,0
Rendah 1 4,0
Sedang 15 60,0
Tinggi 4 16,0
Sangat tinggi 1 4,0
Seberapa yakin anda menjadi terangsang selama
aktivitas senggama?
Tidak ada aktivitas seksual 5 20,0
keyanina yang rendah 2 8,0
keyakinan yang sedang 13 52,0
keyakinan yang tinggi 4 16,0
keyakinan yang sangat tinggi 1 4,0
Seberapa sering anda merasa puas dengan
rangsangan seksual anda selama aktivitas atau
hubungan seksual?
Tidak ada aktivitas seksual 4 16,0
Hampir tidak pernah atau tidak pernah 1 4,0
Jarang (kurang dari setengah waktu) 1 4,0
Kadang-kadang (sekitar setengah dari waktu) 13 52,0
Sering (lebih dari setengah waktu) 2 8,0
Hampir selalu atau selalu 4 16,0

Responden yang menilai rangsangan seksualnya merasa rendah bukan disebabkan karena
perubahan hormon, karen rangsangan tidak dihasilakan dari sistem hormonal melainkan
diberikan dari pasangan. Rendahnya rangsang seksual pada wanita dikarenakan rangsangan
terjadi akibat pemijatan dan tipe rangsangan lain pada daerah vulva, vagina, dan area perineal
yang membangkitkan sensasi seksual. Glans klitoris merupakan organ yang paling peka dalam
menerima dan membangkitkan sensasi seksual. Sinyal sensoris seksual tersebut akan diteruskan

Copyright © 2020, Jurnal Ilmiah Kesehatan


Pencerah ISSN 2089-9394 (print) | ISSN 2656-
Jurnal Ilmiah Kesehatan Pencerah, 09 (2), 2020, 92-103 97
Annisa Rahmidini

ke segmen sakralis medulla spinalis melalui saraf pudendus dan pleksus sakralis dan dilanjutkan
menuju serebrum. Refleks setempat yang terintegrasi dengan segmen sakralis dan lumbalis juga
ikut andil dalam pembentukan reaksi pada organ seksual wanita (Angga JS dkk., 2010;
Goldstein I, 2007; Scott & Glasier, 2006).

Tabel 3. Lubrikasi Seksual (n=25)


f %
Seberapa sulit vagina anda untuk menjadi basah selama
aktivitas atau hubungan seksual?
Tidak ada aktivitas seksual 6 24,0
Jarang (kurang dari setengah waktu) 2 8,0
Kadang-kadang (sekitar setengah dari waktu) 9 36,0
Sering (lebih dari setengah waktu) 4 16,0
Hampir selalu atau selalu 4 16,0
Seberapa sulit vagina anda untuk menjadi basah selama
aktivitas atau hubungan seksual?
Tidak ada aktivitas seksual 5 20,0
Sulit 5 20,0
agak sulit 8 32,0
tidak sulit 7 28,0
Seberapa sering vagina anda dapat tetap basah sampai
selesainya aktivitas senggama?
Tidak ada aktivitas seksual 6 24,0
Jarang (kurang dari setengah waktu) 4 16,0
Kadang-kadang (sekitar setengah dari waktu) 11 44,0
Sering (lebih dari setengah waktu) 3 12,0
Hampir selalu atau selalu 1 4,0
Seberapa sering vagina anda dapat tetap basah sampai
selesainya aktivitas senggama?
Tidak ada aktivitas seksual 6 24,0
amat sangat sulit dan tidak mungkin 1 4,0
Sulit 2 8,0
agak sulit 10 40,0
tidak sulit 6 24,0
Lubrikasi seksual pada akseptor KB pada tabel 3 di Kampung Sumulagung Desa Cikunir
Kabupaten Tasikmalaya didapatkan responden kadang-kadang merasa sulit pada vagina untuk
menjadi basah selama aktivitas atau hubungan seksual yaitu sebanyak 9 orang (36.0%).
Responden merasa agak sulit vagina untuk menjadi basah selama aktivitas atau hubungan
seksual yaitu sebanyak 8 orang (32.0%). Responden kadang-kadang merasa vagina dapat tetap
basah sampai selesainya aktivitas senggama yaitu sebanyak 11 orang (44.0%). Responden

Copyright © 2020, Jurnal Ilmiah Kesehatan


Pencerah ISSN 2089-9394 (print) | ISSN 2656-
Jurnal Ilmiah Kesehatan Pencerah, 09 (2), 2020, 92- 98
103 Annisa Rahmidini

merasa agak sulit vagina dapat tetap basah sampai selesainya aktivitas senggama yaitu sebanyak
10 orang (40.0%).
Lubrikasi atau sekret yang keluar saat terjadi rangsangan pada akseptor ini dapat
disebabkan karena hormon progesteron. Lubrikasi dapat dihasilkan apabila akseptor mengalami
kenaikan libido, gairah seksual yang meningkat. Namun dengan adanya hormon progesteron
dapat menyebabkan keadaan vagina kering yang menyebabkan adanya gangguan pada lubrikasi.
Walaupun demikian faktor psikis dapat juga berpengaruh dalam produksi sekret atau lubrikasi
pada akseptor (Goldstein I, 2007).

Tabel 4. Orgasme (n=25)


f %
Ketika anda mendapat rangsangan seksual atau
bersenggama, seberapa sering anda mencapai
5 20,0
orgasme?
tidak ada aktivitas seksual
agak tidak puas 1 4,0
setara antara puas dan tidak puas 6 24,0
agak puas 7 28,0
sangat paus 6 24,0
Ketika anda mendapat rangsangan seksual atau
senggama, seberapa sulit anda mencapai orgasme?
Tidak ada aktivitas seksual 6 24,0
amat sangat sulit dan tidak mungkin 1 4,0
sangat sulit 1 4,0
Sulit 3 12,0
agak sulit 4 16,0
tidak sulit 10 40,0
seberapa puas ada dengan kemampuan anda untuk
mencapai orgasme selama senggama?
tidak ada aktivitas seksual 5 20,0
agak tidak puas 1 4,0
setara antara puas dan tidak puas 6 24,0
agak puas 7 28,0
sangat paus 6 24,0

Tabel 4 menunjukkan orgasme pada akseptor KB hormonal di Kampung Sumulagung


Desa Cikunir Kabupaten Tasikmalaya didapatkan bahwa responden merasa agak puas ketika
mendapatkan rangsangan seksual atau bersenggama dapat mencapai orgasme yaitu sebanyak
sebanyak 7 orang (28.0%). Responden merasa tidak sulit mencapai orgasme ketika mendapat
rangsangan seksual atau senggama yaitu sebanyak 10 orang (40%). Responden merasa agak
puas dengan kemampuannya untuk mencapai orgasme selama senggama yaitu sebanyak 7 orang
(28.0%).

Copyright © 2020, Jurnal Ilmiah Kesehatan


Pencerah ISSN 2089-9394 (print) | ISSN 2656-
Jurnal Ilmiah Kesehatan Pencerah, 09 (2), 2020, 92-103 99
Annisa Rahmidini

Melihat dari hasil penelitian, dapat dikemukakan bahwa orgasme pada aksptor secara
bertahap berkaitan dnegan gairah seksual, bangkitan, rangsangan dari pasangan, lubrikasi dan
orgasme. Apabila rangsangan seksual yang diberikan oleh pasangan mencapai intensitas
maksimal, serta didukung oleh sinyal fisik yang tepat oleh serebrum, akan terbentuk refleks yang
menyebabkan terjadinya orgasme atau disebut juga klimaks pada wanita (Saputra M, 2014).
Demikian adanya, orgasme pada responden dapat terjadi dipengaruhi oleh rangsangan
yang adekuat, hanya sebagian kecil responden dapat mengalami orgasme tanpa adanya
rangsangan yang adekuat dari pasangannya.

Tabel 5. Kepuasan Responden (n=25)


f %
Seberapa puas anda terhadap tingkat kedekatan
emosional antara anda dan pasangan selama
aktivitas seksual?
tidak ada aktivitas seksual 5 20,0
agak tidak puas 1 4,0
kira-kira setara antara puas dan tidak puas 8 32,0
Agak tidak puas 5 20,0
sangat puas 6 24,0
Seberapa puas anda dengan keintiman seksual
bersama pasangan anda?
sangat tidak puas 2 8,0
agak tidak puas 1 4,0
kira-kira setara anata puas dan tidak puas 5 20,0
Agak tidak puas 8 32,0
sangat puas 9 36,0
seberapa puas anda dengan seluruh kehidupan
seksual anda?
kira-kira setara anata puas dan tidak puas 6 24,0
Agak tidak puas 8 32,0
sangat puas 11 44,0

Kepuasan seksual pada akseptor KB pada tabel 5 di Kampung Sumulagung Desa Cikunir
Kabupaten Tasikmalaya didapatkan sebagian besar responden merasa antara puas dan tidak
puas terhadap tingkat kedekatan emosional dengan pasangan selama aktivitas seksual yaitu
sebanyak 8 orang (32.0%). Responden merasa agak tidak puas dengan keintiman seksual
bersama pasangan yaitu sebanyak 8 orang (32.0%). Responden merasa sangat puas dengan
seluruh kehidupan seksualnya yaitu sebanyak 11 orang (44.0%).
Kepuasan seksual merupakan hal yang diimpikan oleh setiap pasangan suami istri,
kepuasan secara seksual dapat diperoleh kedua belah pihak apabila sama-sama saling memberi

Copyright © 2020, Jurnal Ilmiah Kesehatan


Pencerah ISSN 2089-9394 (print) | ISSN 2656-
Jurnal Ilmiah Kesehatan Pencerah, 09 (2), 2020, 92- 10
103 Annisa Rahmidini

dan menerima rangsangat yang adekuat. Kepuasan seksual terjadi akibat proses dari gairah
seksual sampai orgasme. Dari hasil penelitain ini sebagian besar responden mengatakan agak
puas dengan tingkat kedekatan secara emosional dengan pasangan. Artinya hubungan seksual
bukan saja secara fisik, tapi juga berfungsi untuk mendekatkan kedua pasangan secara emosional
(Kariman N, Sheikhan Z, Simbar M, Zahiroddin A, 2017).
Secara biologis responden kadang-kadang merasa puas dan dapat mencapai orgasme,
kondisi demikian dapat mempengaruhi pada kondisi psikologis atau kedekatan emosional. Hal
ini tidak terlepas dari tujuan seksual bukan saja memuaskan hawa nafasu namun juga
meningkatkan kedekatan secara psikis. Suatu hal yang sering mempengaruhi dalam membuat
pilihan seksualitas adalah hal –hal yang berpengaruh dalam hubungan seks dan kepuasan seks.
Masing-masing pasangan dapat menikmatinya, dan hidup dengan seks yang aman, didukung
oleh pendekatan yang saling menguntungkan untuk mendapatkan kepuasan dalam hubungan
seks (Kariman N, Sheikhan Z, Simbar M, Zahiroddin A, 2017).

Tabel 6. Nyeri (n=25)


f %
Seberapa sering anda merasakan pengalaman tidak
nyaman atau nyeri setelah penetrasi penis kedalam
vagina?
5 20,0
tidak melakukan penetrasi kedalam vagina
Sering (lebih dari setengah waktu) 1 4,0
Kadang-kadang (sekitar setengah dari waktu) 8 32,0
jarang (kurang dari setengah waktu) 3 12,0
Hampir tidak pernah atau idak pernah 8 32,0
Seberapa sering anda merasakan pengalaman tidak
nyaman atau nyeri setelah penetrasi penis kedalam
vagina?
tidak melakukan penetrasi kedalam vagina 5 20,0
Sering (lebih dari setengah waktu) 1 4,0
Kadang-kadang (sekitar setengah dari waktu) 8 32,0
jarang (kurang dari setengah waktu) 1 4,0
Hampir tidak pernah atau idak pernah 10 40,0
Bagaimana anda menilai tingkat ketidaknyamanan atau
nyeri yang anda rasakan baik selama atau setelah
masuknya penis ke dalam vagina?
Tidak melakukan penetrasi penis kedalam vagina 5 20,0
Sedang 7 28,0
Rendah 6 24,0
sangat rendah atau tidak ada sama sekali 7 28,0

Berdasarkan tabel 6 menunjukkan nyeri pada akspetor KB didapatkan responden kadang-


kadang merasakan pengalaman tidak nyaman atau nyeri setelah penetrasi penis kedalam vagina
yaitu sebanyak 8 orang (32.0%). Responden hampir tidak pernah merasakan pengalaman tidak

Copyright © 2020, Jurnal Ilmiah Kesehatan


Pencerah ISSN 2089-9394 (print) | ISSN 2656-
Jurnal Ilmiah Kesehatan Pencerah, 09 (2), 2020, 92-103 101
Annisa Rahmidini

nyaman atau nyeri setelah penetrasi penis kedalam vagina yaitu sebanyak 10 orang (40.0%).
Responden yang menilai tingkat ketidaknyamanan atau nyeri yang dirasakan baik selama atau
setelah masuknya penis ke dalam vagina termasuk kategori sedang sebanyak 7 orang (28.0%).
Rasa nyeri saat melakukan hubungan seksual selain dikarenakan vagina kering yang
merupakan efek samping kontrasepsi hormonal, dapat diakibatkan oleh adanya akibat spasme
otot-otot perivagina atau peradangan. Kista atau abses Bartholin dapat menyebabkan nyeri hanya
oleh rangsangan seksual, karena kecendrungan kelenjar ini mengeluarkan sekresi sebagai
respons terhadap stimulasi seksual. Nyeri saat melakukan hubungan intim sering terjadi dan
umumnya dapat disembuhkan. Apabila menjadi masalah yang berulang, maka antisipasi nyeri
dapat dengan mudah menyebabkan hambatan timbulnya respons seksual normal sehingga
masalah menjadi semakin parah karena pelumasan normal vagina terganggu (Handayani E.,
2013; Shahnazi M, Bayatipayan S, Khailil AF, Kochaksaraei, Jafarabadi MA & KG, 2015).
Berdasarkan pembahasan tersebut, secara umum dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya
akseptor kontrasepsi hormonal mengalami gangguan seksual atau disfungsi seksual. Berdasarkan
Diagnostic and statistical manual of metal disorders IV dan ICD-10 dari WHO, disfungsi
seksual terdapat 4 kategori yaitu gangguan keinginan seksual merupakan gangguan yang
menyebabkan hilangnya keinginan, minat, maupun khayalan untuk melakukan hubungan seks.
Gangguan rangsangan yaitu ketidakmampuan seseorang mencapai ataupun mempertahankan
rangsangan seksual yang ditandai berkurangnya lubrikasi. Gangguan orgasme yaitu
ketidakmampuan seseorang untuk mencapai orgasme walaupun telah melewati fase rangsangan,
gangguan nyeri seksual rasa nyeri yang dirasakan saat melakukan senggama dapat terjadi saat
penetrasi ataupun selama berlangsungnya hubungan seks (Christiani et al., 2013; Sudarti et al.,
2011; World Health Organization., 2011).
Disfungsi seksual dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, salah satunya merupakan
efek samping dari penggunaan alat kontrasepsi hormonal diantaranya suntik. Kontrasepsi
hormonal memiliki efek samping positif dan efek samping negatif, dimana salah satu efek
samping negatif yang ditimbulkan adalah disfungsi seksual (Glasier & Gebbie, 2016; Handayani
E., 2013; Masita, 2015).
Kontrasepsi hormonal akan berpengaruh pada efek umpan balik positif estrogen (estrogen
positive feedback) dan umpan balik negatif progesteron (progesteron negative feedback).
Pemberian hormon yang berasal dari luar tubuh seperti pada kontrasepsi hormonal baik berupa
estrogen maupun progesteron menyebabkan peningkatan kadar kedua hormon tersebut di darah,
hal ini akan di deteksi oleh hipofisis anterior dan akan menimbulkan umpan balik negatif dengan
menurunkan sekresi hormon FSH dan LH dan dengan keberadaan progesteron efek
penghambatan estrogen akan berlipat ganda. Dalam jangka waktu tertentu tubuh dapat
mengkompensasi dengan meningkatkan sekresi estrogen agar tetap dalam keadaan normal
namun dalam jangka waktu yang lama menyebabkan hilangnya kompensasi tubuh dan
menurunnya sekresi hormon terutama estrogen (Glasier & Gebbie, 2016; Handayani E., 2013;
Kariman N, Sheikhan Z, Simbar M, Zahiroddin A, 2017; Shahnazi M, Bayatipayan S, Khailil
AF, Kochaksaraei, Jafarabadi MA & KG, 2015).

Copyright © 2020, Jurnal Ilmiah Kesehatan


Pencerah ISSN 2089-9394 (print) | ISSN 2656-
Jurnal Ilmiah Kesehatan Pencerah, 09 (2), 2020, 92- 10
103 Annisa Rahmidini

SIMPULAN
Penggunaan metode kontrasepsi hormonal merupakan salah satu dari faktor risiko yang
dapat mempengaruhi kejadian dari disfungsi seksual pada akseptor KB di Kp. Sumulagung Desa
Cikunir Kabupaten Tasikmalaya hal tersebut terjadi karena kandungan hormon yang terkandung
didalamnya dapat mempengaruhi fungsi fisiologis hormonal dari responden sehingga hal ini
dapat menimbulkan berbagai gangguan seksual, seperti gangguan hasrat, bangkit/gairah,
gangguan kepuasan ataupun gangguan lubrikasi serta nyeri.

DAFTAR PUSTAKA
Angga JS dkk. (2010). Prevalensi Disfungsi Seksual Berdasarkan Female Sexual Function Index
dan Persepsi Perempuan Pengantin Baru di Kelurahan Jati dan FaktorFaktor yang
Berhubungan. Universitas Indonesia.
Casey PM, Maclaughlin KL, F. S. (2016). Impact of Contraception on Female Sexual Function.
Journal of Women’s Health.
Christiani, C., Diah, C., & Bambang, W. (2013). Faktor- faktor yang Mempengaruhi Pemakaian
Metode Jenis- Jenis Kontrasepsi. Serat Acitya-Jurnal Ilmiah.
David D. Depo Provera. (2012). Medroxyprogesterone Acetate.
Glasier, A., & Gebbie, A. (2016). Family Planning/Contraception. In International Encyclopedia
of Public Health. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-803678-5.00155-7
Goldstein I. (2007). Female Sexual Dysfunction and The Central Nervous System. The Journal
of Sexual Medicine, Wiley Online Library,. The Journal of Sexual Medicine, Wiley Online
Library.
Handayani E. (2013). Perbedaan Fungsi Seksual Wanita Premenopause dan Pascamenopause
Dengan Menggunakan Score Index Fungsi Seksual Wanita (FSFI Score) di RSUP H.Adam
Malik Medan dan RS Jejaring. Universitas Sumatera Utara Repository.
Jaafarpour M, Khani A, Khajavikan J, S. Z. (2013). Female Sexual Dysfunction: Prevalence
And Risk factors. Journal of Clinical And Diagnostic Research., 7(12).
Kariman N, Sheikhan Z, Simbar M, Zahiroddin A, A. B. A. (2017). Sexual Dysfunction in Two
Types of Hormonal Contraception: Combined Oral Contraceptives Versus Depot
Medroxyprogesterone Acetate. Journal of Midwifery and Reproductive Health, 5(1), 806–
813.
Masita. (2015). Hak Reproduksi Pengaturan Jumlah Anak Dan Pemilihan Alat Kontrasepsi.
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Mulyani Ns. (2013). Keluarga Berencana dan Alat Kontrasepsi. In Keluarga Berencana dan Alat
Kontrasepsi. https://doi.org/10.1300/J153v04n01_13
Pastor Z, Holla K, C. R. (2013). The Influence of Combined Oral Contraceptives On Female
Sexual Desire: a Systemic Review. The European Journal of Contraception And
Reproductive Health Care, 18, 27–43.
Rismawati, S. (2012). Unmet Need: Tantangan Program KB dalam menghadapi ledakan
penduduk 2030. Bandung: Magister Kebidanan Fakultas Kedokteran UNPAD Bandung.
Riyanti, E., Nurlaila, N., & Ningsih, T. R. (2015). Gambaran Pemakaian dan Kepatuhan Jadwal
Penyuntikan Ulang Kontrasepsi Suntik. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan.
https://doi.org/10.26753/jikk.v11i1.102
Saputra M, S. (2014). Perbandingan Angka kejadian Disfungsi Seksual Menurut Skoring FSFI
Pada Akseptor IUD dan Hormonal di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung. Med J
Lampung Univ., 3(1), 69–78.
Scott, A., & Glasier, A. (2006). Evidence based contraceptive choices. In Best Practice and
Research: Clinical Obstetrics and Gynaecology.
https://doi.org/10.1016/j.bpobgyn.2006.03.002

Copyright © 2020, Jurnal Ilmiah Kesehatan


Pencerah ISSN 2089-9394 (print) | ISSN 2656-
Jurnal Ilmiah Kesehatan Pencerah, 09 (2), 2020, 92-103 103
Annisa Rahmidini

SDKI. (2013). Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia. In Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia. https://doi.org/0910383107 [pii]\r10.1073/pnas.0910383107
Shahnazi M, Bayatipayan S, Khailil AF, Kochaksaraei, Jafarabadi MA, B., & KG, et al. (2015).
Comparing The Effects Of The second And Third Generation Oral And, Contraceptives On
Sexual Functioning. Iranian Journal of Nursing, Midwifery Research, 20(1).
Sudarti, K., Prasetyaningtyas, P., & Artikel, I. (2011). Jurnal Dinamika Manajemen Peningkatan
Minat dan Keputusan Berpartisipasi Akseptor KB. JDM.
World Health Organization. (2011). Family planning: A Global Handbook of Providers. 2011th
ed. Baltimore And Geneva: United States Agency For International Development.

Copyright © 2020, Jurnal Ilmiah Kesehatan


Pencerah ISSN 2089-9394 (print) | ISSN 2656-

Anda mungkin juga menyukai