Anda di halaman 1dari 9

BAB 5

PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dibahas hasil penelitian data yang telah dikumpulkan,

kemudian diinterpretasikan berdasarkan analisis data bivariat yang telah

didapatkan, adapun pembahasan dari analisis data univariat dan data bivariat

adalah sebagai berikut:

5.1 Analisis Univariat

5.1.1 Karakteristik responden berdasarkan

1. Usia

Berdasarkan tabel karakteristik responden menunjukkan bahwa

karakteristik responden diatas menunjukkan bahwa mayoritas lansia berusia 61-80

tahun yaitu 31 responden (28.4%).

Karakteristik usia pasien dengan kualitas hidup lansia ini relevan dengan

penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (Nadya & Susanti and 1 2019) yang

menyebutkan usia pasien dengan disimpulkan bahwa umur lansia berada pada

kategori lanjut usia (elderly) sebanyak 56 (54,6%). Penelitian relevan lainnya juga

menyebutkan bahwa rentang usia paling banyak adalah lansia yang berusia antara

60-70 yaitu sebanyak 36 lansia (69,2%) dan paling sedikit yaitu berusia >80 tahun

hanya 2 lansia (3,8%).(Anggraditya 2017)

Faktor usia mempunyai hubungan yang signifikan dengan kualitas hidup,

Lansia yang berusia 60-70 tahun memiliki kemungkinan untuk berkualitas hidup

baik lebih besar daripada lansia dengan usia 70 tahun lebih , dimana nilai p <

0.05. Semakin tua umur berarti kualitas hidupnya semakin buruk. Hal ini

disebabkan karena dengan bertambahnya umur terdapat penurunan fisik,


perubahan mental (penampilan, persepsi dan ketrampilan psikomotor berkurang),

perubahan psikososial antara lain : Pensiun, akan kehilangan finansial, status,

teman / kenalan, pekerjaan / kegiatan, merasakan atau sadar akan kematian,

perubahan dalam cara hidup seperti kesepian, hidup sendiri, perubahan ekonomi

(economic deprivation), penyakit kronis dan ketidakmampuan, hilangnya

kekuatan dan ketegapan fisik (Anggraditya 2017)

2. Jenis Kelamin

Dalam penelitian ini mayoritas responden berjenis kelamin perempuan

sebanyak 69 responden (63.3%).(Hoesny, Munafrin, and Sahril 2019)

Menurut (Hoesny et al. 2019) Terdapat hubungan yang tidak signifikan secara

statistik antara jenis kelamin dengan kualitas hidup pada lansia. Peneliti seperti

Ng.Nawi pada penelitiannya di Purworejo Jawa Tengah menyebutkan bahwa

lansia berjenis kelamin perempuan cenderung mempunyai kualitas hidup yang

lebih buruk dibandingkan laki-laki. Hal ini bisa dikarenakan perbedaan status

sosial dan ekonomi antara populasi di Purworejo yang pekerjaannya mayoritas

petani dan ekonominya menengah kebawah, sedangkan pada kelompok jantung

sehat Surya Group ini mayoritas masih bekerja mandiri dan dari segi ekonomi

tergolong cukup mampu, sehingga mungkin menyebabkan tidak adanya hubungan

jenis kelamin dengan kualitas hidup. Berdasarkan data dari Meneg Pemberdayaan

perempuan tampak bahwa usia harapan hidup perempuan lebih panjang

dibandingkan laki-laki sehingga permasalahan lanjut usia secara umum di

Indonesia sebenarnya adalah permasalahan yang lebih didominasi oleh

perempuan. Perempuan lansia di Indonesia berpotensi mengalami diskriminasi

ganda, karena statusnya sebagai perempuan dan sebagai penduduk lansia Sebagai
perempuan diskriminasi disebabkan oleh struktur sosial dan budaya masyarakat

sebenarnya sudah terjadi sejak usia muda. Hal ini sebagai akibat dari perbedaan

yang sifatnya kodrati maupun sebagai akibat dari perbedaan gender. Karena

perbedaan gender ini menyebabkan perempuan terbiasa mengurus dirinya sendiri.

3. Fungsi Keluarga

Berdasarkan tabel karakteristik responden menunjukkan fungsi

keluarga didapatkan bahwa sebagian besar fungsi Keluarga tidak sehat sebanyak

59 responden (54.1%) dan fungsi Keluarga sehat sebanyak 50 responden

(45.9%).

Menurut (Oktowaty, Setiawati, and Arisanti 2018) diketahui dari 52

responden yang diteliti, persentase yang paling banyak untuk fungsi keluarga

yaitu kategori sehat sebanyak 24 responden (46,2%), sedangkan persentase fungsi

keluarga yang paling sedikit yaitu kategori tidak sehat sebanyak 9 responden

(17,3%). Hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya bahwa sebagian besar status

pernikahan lansia yang memiliki fungsi keluarga yang sehat sebanyak 25 orang

dari 39 orang lansia yang menikah (Desiana, 2008). Lansia yang memiliki status

menikah termasuk memiliki dukungan keluarga yang aktif dikarenakan dengan

tinggal bersama akan mempermudah untuk mendapatkan dukungan satu sama

lain, selain itu lansia juga memiliki resiko aktif dalam kegiatan posyandu

dibandingkan dengan lansia yang berstatus berpisah atau bercerai. Mengunjungi

posyandu lansia serta mengantarkan lansia ke posyandu lansia juga sebagai

bentuk kepedulian terhadap kesehatan lansia. Namun tak menutup kemungkinan

tidak harus istri/suami yang mengantarkan, keluarga juga dapat mengantarkan


lansia ke posyandu, sebagai bentuk nilai kasih sayang kepada lansia atau orang tua

yang telah lanjut usia.

4. Kualitas Hidup Lansia

Berdasarkan penelitian yang telah distribusi frekuensi berdasarkan

Kualitas Hidup Lansia didapatkan bahwa kualitas hidup baik yaitu sebanyak 48

responden (44.0%), kemudian responden dengan kualitas hidup buruk sebanyak

61 responden (56.%).

Dari hasil penelitian (Sarjana and Maret 2011) bahwa kualitas hidup pada

usia awal lansia lebih baik kualitas hidupnya. Seiring berjalannya waktu dengan

pertambahan usia maka akan ada perubahan dalam cara hidup seperti merasa

kesepian dan sadar akan kematian, hidup sendiri, perubahan dalam hal ekonomi,

penyakit kronis, kekuatan fisik semakin lemah, terjadi perubahan mental,

ketrampilan psikomotor berkurang, perubaan psikososial yaitu pensiun, akan

kehilangan sumber pendapatan, kehilangan pasangan dan teman, serta kehilangan

pekerjaan dan berkurangnya kegiatan sehingga dapat mempengaruhi kualitas

hidupnya (Nugroho, 2009). Hasil penelitian ini sejalan dengan teori faktor kualitas

hidup menurut Rapley (2006, dalam Rohmah, 2012) bahwa faktor yang

mempengaruhi kualitas hidup salah satunya adalah usia. Sejalan dengan

bertambahnya usia, setiap manusia akan menjadi tua. Menua berarti mengalami

berbagai macam perubahan baik perubahan fisik maupun psikososial.

Meningkatnya usia dapat mempengaruhi kualitas fisik seseorang sehingga kualitas

hidup menurun. Faktor usia mempunyai hubungan yang signifikan dengan

kualitas hidup, Lansia yang berusia 60-70 tahun memiliki kemungkinan untuk

berkualitas hidup baik lebih besar daripada lansia dengan usia 70 tahun lebih.
Semakin tua umur berarti kualitas hidupnya semakin buruk. Hasil penelitian ini

sejalan dengan penelitian Pradono (2007) bahwa umur lansia berhubungan dengan

kualitas hidup. Penelitian di Kediri Jawa Timur juga menyatakan bahwa factor

umur berhubungan dengan kualitas hidup lansia (Sutikno, 2007). Penelitian ini

sejalan dengan penelitian Suardana (2014) yang menyatakan bahwa jenis kelamin

laki-laki mempunyai tingkat kualitas hidup yang kurang dibandingkan dengan

jenis kelamin perempuan. Jenis kelamin wanita mempunyai kepuasan hidup

umum, fungsi fisik, kesehatan sosial dan nilai kesehatan umum yang lebih baik.

Menurut Kemenkes RI (2012), rata-rata angka harapan hidup telah meningkat

yaitu lebih dari 70 tahun untuk laki-laki dan lebih dari 80 tahun untuk wanita.

Dari hasil penelitian ini juga didapatkan bahwa jenis kelamin wanita lebih banyak

dalam hal kualitas hidup daripada laki-laki.

Keadaan mood, perasaan dan kualitas hidupnya. Teknologi yang

berkembang pesat saat ini memudahkan seseorang untuk mengakses informasi

tentang berbagai hal khususnya yang berkaitan dengan kualitas hidup lansia. Oleh

karena itu, pengetahuan tentang segala hal yang berkaitan dengan kualitas hidup

lansia dapat diketahui tanpa melalui pendidikan formal. Pendidikan formal tidak

lagi menjadi factor yang utama terkair kualitas hidup lansia. Sebuah penelitian di

Jeneponto menunjukkan hasil yang sama bahwa tingkat pendidikan tidak

berhubungan secara signifikan dengan kualitas hidup lansia (Fitri, 2014).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Suardana (2011) yang mengatakan

Seorang lansia yang hidup sendiri dalam hal ini status perkawinan mempunyai

kualitas hiudp yang berbeda dari seorang lansia yang keluarga nya masih utuh.

Kehilangan pasangan hidup yang terjadi pada lanjut usia umumnya lebih banyak
disebabkan oleh kematian. Kehilangan pasangan hidup karena kematian

merupakan peristiwa yang dapat menimbulkan stress bagi lanjut usia. Penyebab

stress ini dikarenakan banyaknya kegiatan yang sebelumnya dapat dibagi atau

dilakukan bersama pasangan kini harus dilakukan sendiri, misalnya membahas

tentang masa depan anak, masalah ekonomi rumah tangga maupun tentang

hubungan social.

5.2 Analisis Bivariat

5.2.1 Hubungan Fungsi Keluarga terhadap kualitas hidup lansia di

kelurahan pintu padang II

Berdasarkan analisa bivariat diketahui bahwa dari 50 responden (45.9%) yang

Fungsi Keluarganya sehat didapatkan 30 orang responden yang kualitas hidup

baik (27.5%) dan 20 orang responden dengan kualitas hidup buruk (18.3%)

kemudian dari 59 responden (54.1%) yang fungsi keluarganya tidak sehat

didapatkan 18 orang responden yang kualitas hidup nya baik (16.5%) dan 41

orang responden dengan kualitas hidup buruk (37.6%).

Analisis menggunakan uji chi-square didapatkan nilai p value (0.002) < α

(0,05) Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-square dapat kan nilai

signifikansi p value = 0,002< 0,05 maka Ha diterima, artinya ada Hubungan

Fungsi Keluarga dengan Kualitas HIdup Lansia di Kelurahan Pintu Padang II.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang

menunjukkan bahwa fungsi keluarga memiliki hubungan bermakna dengan

kualitas hidup lansia dengan hasil p-value 0,000 < (0,05) (Anita, 2013). Keluarga

memiliki peran penting dalam menentukan kesehatan seseorang, yang nantinya


akan berhubungan dengan kualitas hidup seseorang. Apabila keluraga bahagia akan

berpengahruh pada perkembangan emosi para anggotanya. Kebahagiaan diperoleh

apabila keluarga dapat memerankan fungsinya secara baik. Meningkatkan kualitas

hidup lansia dipengaruhi oleh beberapa factor yang menyebabkan seorang lansia

untuk tetap bisa berguna di masa tuanya, yakni kemampuan menyesuaikan diri dan

menerima segala perubahan dan kemunduran yang dialami serta adanya

penghargaan dan perlakuan yang wajar dari lingkungan para lansia (Kuntjoro,

2011).

Secara sosiologis keluarga dituntut berperan dan berfungsi dengan baik

untuk mencapai masyarakat sejahtera yang dihuni oleh individu (anggota keluarga)

yang bahagia dan sejahtera. Fungsi keluarga perlu diamati sebagai tugas atau

kewajiban yang harus diperankan oleh keluarga sebagai tugas atau kewajiban yang

harus diperankan oleh keluarga sebagai lembaga social terkecil di masyarakat.

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian lain yang menunjukkan bahwa lansia

yang tinggal bersama keluarga memiliki kualitas hidup yang lebih baik daripada

lanjut usia yang tinggal di panti werdha. Lanjut usia yang tinggal bersama keluarga

di rumah tidak hanya mendapatkan perawatan fisik, namun juga mendapatkan

kasih sayang, kebersamaan, interaksi atau komunikasi yang baik, serta menerima

bantuan dari anggota keluarga yang merupakan fungsi dari keluarga (Mahareza,

2008).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Oktowaty, Setiawati & Arisanti (2018) tentang hubungan fungsi keluarga dengan

kualitas hidup pasien penyakit kronis degeneratif di fasilitas kesehatan tingkat

pertama menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara fungsi


keluarga dengan kualitas hidup yaitu p-value = 0,014. Penelitian lain yang

dilakukan oleh Putri & Permana (2011) menyebutkan bahwa dari 84 responden

didapatkan 61 responden memiliki fungsi keluarga sehat dengan kualitas hidup

yang baik. Diperoleh nilai p-value sebesar 0,000 yang berarti terdapat hubungan

yang signifikan antara fungsi keluarga dengan kualitas hidup lansia di kelurahan

Wirobrajan, Yogyakarta.

Dimana dijelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi kualitas hidup seseorang antara lain fungsi fisik, psikologis, dan

interaksi sosial. Interaksi sosial dalam keluarga dapat berjalan dengan baik apabila

keluarga menjalankan fungsi keluarganya dengan baik pula. Terutama dalam

fungsi pokok kemitraan dan kebersamaan. Lansia yang memiliki keterlibatan sosial

yang besar akan merasa lebih semangat, memiliki kepuasan dan penyesuaian yang

lebih tinggi serta memiliki kesehatan mental yang lebih positif dari pada lansia

yang kurang terlibat secara sosial. Selain itu lansia yang memiliki interaksi sosial

terbatas juga akan merasa kesepian yang akan berpengaruh pada kualitas hidupnya

(Sanjaya, 2012). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Samper,

Pinontoan & Katuuk (2017) tentang hubungan interaksi sosial dengan kualitas

hidup lansia di BPLU senja cerah Provinsi Sulawesi Utara menunjukkan bahwa

dari 32 responden didapatkan 20 responden dengan interaksi sosial baik dengan 4

responden kualitas hidup cukup dan 16 responden kualitas hidup tinggi, sedangkan

dari 12 responden dengan interaksi sosial cukup memiliki kualitas hidup yang

cukup sebanyak 9 responden dan kualitas hidup tinggi sebanyak 3 responden.

Hasilnya diperoleh nilai p-value = 0,004 < α 0,05 dengan demikian H0 diterima

yang artinya ada hubungan antara interaksi sosial dengan kualitas hidup lansia
Keluarga mempunyai peranan penting untuk meningkatkan dan memelihara

kesehatan dari setiap anggotanya. Apabila fungsi keluarga sehat maka akan

menurunkan angka kesakitan dan kematian yang akhirnya akan meningkatkan

kualitas hidup bagi lansia.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Anita, Induniasih &

Hutasoit (2013) tentang fungsi keluarga baik meningkatkan kualitas hidup lansia

menjelaskan bahwa dari 89 responden yang memiliki fungsi keluarga baik

sebanyak 32 (36%) responden dengan kualitas hidup yang tinggi.

Anda mungkin juga menyukai