Pencemaran Air Akibat Penambangan Batuba
Pencemaran Air Akibat Penambangan Batuba
Oleh
Erni Yusnita
Email : erniyusnita47@gmail.com
Abstrak
Aktifitas pertambangan dianggap seperti uang logam yang memiliki dua sisi yang
saling berlawanan, yaitu sebagai sumber kemakmuran sekaligus perusak
lingkungan yang sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran, sektor ini
menyokong pendapatan negara selama bertahun-tahun. Sebagai perusak
lingkungan, pertambangan terbuka (open pit mining) dapat mengubah secara total
baik iklim dan tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit bahan tambang
disingkirkan. Hilangnya vegetasi secara tidak langsung ikut menghilangkan fungsi
hutan sebagai pengatur tata air, pengendalian erosi, banjir, penyerap karbon,
pemasok oksigen dan pengatur suhu. Selain itu penambangan batu bara juga bisa
mengakibatkan perubahan social ekonomi masyarakat disekitar kawasan
penambangan. Upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap dampak yang
ditimbulkan oleh pertambangan batu bara perlu dilakukan tindakan-tindakan
tertentu sehingga akan dapat mengurangi pencemaran akibat aktivitas
pertambangan batubara dan memperbaiki kerusakan lingkungan yang telah terjadi
di sekitar pertambangan.
Kata kunci : Penambangan batubara, dampak, upaya pencegahan
Pendahuluan
Batubara merupakan salah satu bahan galian strategis yang sekaligus menjadi
sumber daya energy yang sangat besar. Indonesia pada tahun 2006 mampu
memproduksi batu bara sebesar 162 juta ton dan 120 juta ton diantaranya
diekspor. Sementara itu sekitar 29 juta ton diekspor ke Jepang. indonesia memiliki
cadangan batubara yang tersebar di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera,
sedangkan dalam jumlah kecil, batu bara berada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua
dan Sulawesi. Sedangkan rumus empirik batubara untuk jenis bituminous adalah
C137H97O9NS, sedangkan untuk antrasit adalah C240H90O4NS.
Indonesia memiliki cadangan batu bara yang sangat besar dan menduduki posisi
ke-4 di dunia sebagai negara pengekspor batubara. Di masa yang akan datang
batubara menjadi salah satu sumber energi alternatif potensial untuk
menggantikan potensi minyak dan gas bumi yang semakin menipis.
Pengembangan pengusahaan pertambangan batubara secara ekonomis telah
mendatangkan hasil yang cukup besar, baik sebagai pemenuhan kebutuhan dalam
negeri maupun sebagai sumber devisa.
Bersamaan dengan itu, eksploitasi besar-besaran terhadap batubara secara
ekologis sangat memprihatinkan karena menimbulkan dampak yang mengancam
kelestarian fungsi lingkungan hidup dan menghambat terselenggaranya
sustainable eco-development. Untuk memberikan perlindungan terhadap
kelestarian fungsi lingkungan hidup, maka kebijakan hukum pidana sebagai
penunjang ditaatinya norma-norma hukum administrasi ladministrative penal law)
merupakan salah satu kebijakan yang perlu mendapat perhatian, karena pada
tataran implementasinya sangat tergantung pada hukum administrasi. Diskresi luas
yang dimiliki pejabat administratif serta pemahaman sempit terhadap fungsi
hukum pidana sebagai ultimum remedium dalam penanggulangan pencemaran
dardatau perusakan lingkungan hidup, seringkali menjadi kendala dalam
penegakan norma-norma hukum lingkungan. Akibatnya, ketidaksinkronan
berbagai peraturan perundang-undangan yang disebabkan tumpang tindih
kepentingan antar sektor mewarnai berbagai kebijakan di bidang pengelolaan
lingkungan hidup. Bertitik tolak dari kondisi di atas, maka selain urgennya
sinkronisasi kebijakan hukum pidana, diperlukan pula pemberdayaan upaya-upaya
lain untuk mengatasi kelemahan penggunaan sarana hukum pidana, dalam rangka
memberikan perlindungan terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup dan
korban yang timbul akibat degradasi fungsi lingkungan hidup.
Tulisan ini berusaha menggambarkan bagaimana metode penambangan, kerusakan
yang diakibatkan dan solusi mengatasi kerusakan lingkungan pasca penambangan.
Jenis Batu Bara
Jenis dan kualitas batubara tergantung pada tekanan, panas dan waktu
terbentuknya batubara. Berdasarkan hal tersebut, maka batubara dapat
dikelompokkan menjadi 5 jenis batubara, diantaranya adalah antrasit, bituminus,
sub bituminus, lignit dan gambut (Puslibang Kementrian ESDM, 2006)
1. Antrasit merupakan jenis batubara dengan kualitas terbaik, batubara jenis ini
mempunyai ciri-ciri warna hitam metalik, mengandung unsur karbon antara
86%-98% dan mempunyai kandungan air kurang dari 8%.
2. Bituminus merupakan batubara dengan kualitas kedua, batubara jenis ini
mempunyai kandungan karbon 68%-86% serta kadar air antara 8%-10%. Batubara
jenis ini banyak dijumpai di Australia.
3. Sub Bituminus merupakan jenis batubara dengan kualitas ketiga, batubara ini
mempunyai ciri kandungan karbonnya sedikit dan mengandung banyak air.
4. Lignit merupupakan batubara dengan kwalitas keempat, batubara jenis ini
mempunyai cirri memiliki warna muda coklat, sangat lunak dan memiliki kadar
air 35%-75%.
5. Gambut merupakan jenis batubara dengan kwalitas terendah, batubara ini
memiliki ciri berpori dan kadar air diatas 75%.
Setiap kegiatan penambangan baik itu penambangan Batu bara, Nikel dan Marmer
serta lainnya pasti menimbulkan dampak positif dan negatif bagi lingkungan
sekitarnya. Dampak positifnya adalah meningkatnya devisa negaradan
pendapatan asli daerah serta menampung tenaga kerja sedangkan dampak negatif
dari kegiatan penambangan dapat dikelompokan dalam bentuk kerusakan
permukaan bumi, ampas buangan (tailing), kebisingan, polusi udara, menurunnya
permukaan bumi (land subsidence), dan kerusakan karena transportasi alat dan
pengangut berat.
Karena begitu banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan
penambangan maka perlu kesadaran kita terhadap lingkungan sehingga dapat
memenuhi standar lingkungan agar dapat diterima pasar. Apalagi kebanyakan
komoditi hasil tambang biasanya dijual dalam bentuk bahan mentah sehingga
harus hati-hati dalam pengelolaannya karena bila para pemakai mengetahui bahan
mentah yang dibeli mencemari lingkungan, maka dapat dirasakan tamparannya
terhadap industri penambangan kita.
Sementara itu, harus diketahui pula bahwa pengelolaan sumber daya alam hasil
penambangan adalah untuk kemakmuran rakyat. Salah satu caranya adalah dengan
pengembangan wilayah atau community development. Perusahaan pertambangan
wajib ikut mengembangkan wilayah sekitar lokasi tambang termasuk yang
berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia. Karena hasil tambang
suatu saat akan habis maka penglolaan kegiatan penambangan sangat penting dan
tidak boleh terjadi kesalahan.
Seperti halnya aktifitas pertambangan lain di Indonesia, Pertambangan batubara
juga telah menimbulkan dampak kerusakan lingkungan hidup yang cukup besar,
baik itu air, tanah, Udara, dan hutan, Air . Penambangan Batubara secara langsung
menyebabkan pencemaran antara lain ;
1. Pencemaran air,
Permukaan batubara yang mengandung pirit (besi sulfide) berinteraksi dengan air
menghasilkan Asam sulfat yang tinggi sehingga terbunuhnya ikan-ikan di sungai,
tumbuhan, dan biota air yang sensitive terhadap perubahan pH yang drastis.
Batubara yang mengandung uranium dalam konsentrasi rendah, torium, dan isotop
radioaktif yang terbentuk secara alami yang jika dibuang akan mengakibatkan
kontaminasi radioaktif. Meskipun senyawa-senyawa ini terkandung dalam
konsentrasi rendah, namun akan memberi dampak signifikan jika dibung ke
lingkungan dalam jumlah yang besar. Emisi merkuri ke lingkungan terkonsentrasi
karena terus menerus berpindah melalui rantai makan dan dikonversi menjadi
metilmerkuri, yang merupakan senyawa berbahaya dan membahayakan manusia.
Terutama ketika mengkonsumsi ikan dari air yang terkontaminasi merkuri.
2. Pencemaran udara
3. Pencemaran Tanah
Konflik lahan kerap terjadi antara perusahaan dengan masyarakat lokal yang
lahannya menjadi obyek penggusuran. Kerap perusahaan menunjukkan
kearogansiannya dengan menggusur lahan tanpa melewati persetujuan pemilik
atau pengguna lahan. Atau tak jarang mereka memberikan ganti rugi yang tidak
seimbang denga hasil yang akan mereka dapatkan nantinya. Tidak hanya konflik
lahan, permasalahan yang juga sering terjadi adalah diskriminasi. Akibat dari
pergeseran ini membuat pola kehidupan mereka berubah menjadi lebih konsumtif.
Bahkan kerusakan moral pun dapat terjadi akibat adanya pola hidup yang berubah.
Nilai atau dampak positif dari batubara itu sendiri,
Sumber wikipedia.com mengatakan Tidak dapat di pungkiri bahwa batubara adalah
salah satu bahan tambang yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.
Indonesia adalah salah satu negara penghasil batubara terbesar no.2 setelah
Australia hingga tahun 2008. Total sumber daya batubara yang dimiliki Indonesia
mencapai 104.940 Milyar Ton dengan total cadangan sebesar 21.13 Milyar Ton.
Nanun hal ini tetap memberikan efek positif dan negatif, dan hal positifnya
Sumber wikipedia.com mengatakan. Hal positifnya adalah bertambahnya devisa
negara dari kegiatan penambanganya.
Secara teoritis usaha pertambangan ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat.
Para pekerja tambang selayaknya bekerja sama dengan masyarakat sekitar. Salah
satu bentuknya dengan cara memperkerjakan masyarakat sekitar dalam usaha
tambang sekitar, sehingga membantu kehidupan ekonomi masyarakat sekitar.
Agus, F. 2004. Pengelolaan DTA Danau dan Dampak Hidrologisnya. Balai Penelitian
Tanah. Bogor. http://www.litbang.deptan.go.id/artikel/one/56/pdf [16 Juni 2006].
Agus F, Farida, Noordwijk Van Meine, editor. 2004. Hydrological Impacts of Forest,
Agroforestry and Upland Cropping as a Basis for Rewarding Environmental Service
Providers in Indonesia. Proceedings of a workshop in Padang/Singkarak, Weat
Sumatra, Indonesia, 25-28 February 2004. ICRAF-SEA. Bogor
Latifa, S. 2000. Keragaan Accacia mangium wild pada Lahan Bekas Tambang
Timah (Studi kasus di areal PT. Timah). Tesis Sekolah Pascasarjana.IPB.
Boger.
Ketersedian batubara di Indonesia terbilang cukup besar. Berdasarkan Pusat data dan
informasi Kementerian ESDM tahun 2015 dari hasil riset tahun 2014 oleh Handbook of
Energy and Economic Statistic of Indonesia memperkirakan bahwa kandungan sumber
daya batubara dimiliki Indonesia berkisar 120 miliar ton. Sehingga dalam Rencana Usaha
Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2016-2025 diasumsikan bahwa secara kuantitas
batubara selalu tersedia untuk pembangkit listrik.
Data ESDM disimpulkan tingkat produksi pertambangan batubara di Indonesia dalam 5 tahun
terakhir berkisar 400 juta ton per tahun, dimana hampir 90% diekspor ke luar negeri dan
sisanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon I di Desa Kanci,
Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Beberapa waktu lalu.
Masyarakat menggugat perihal izin PLTU II yang akan dibangun tahun ini
ke PTUN Bandung. Gugatan tersebut dilatarbelakangi akibat dampak yang
ditimbulkan PLTU I terhadap lingkungan dan ekonomi masyarakat
setempat. Foto : Donny Iqbal
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional,
batubara ditargetkan menjadi penyedia energi terbesar sampai dengan tahun 2050. Pada 2025,
target peran batubara dalam energi primer khusus untuk kelistrikan sebesar 115 Giga Watt
dan 430 Giga Watt pada tahun 2050.
Target tersebut belum termasuk pemakaian batubara yang dicairkan dan batubara yang
digaskan, dalam peraturan tersebut diproyesikan minimal 30% tahun 2025 juga peran Energi
Baru Dan Terbarukan yang ditargetkan mencapai 22% pada tahunyang sama. Dalam PP
tersebut, juga disebutkan target pemakaian energi primer total sebesar 400 juta TOE (ton oil
equivalent) tahun 2025 dan 1.000 juta TOE tahun 2050.
Andaikan target 35000 MW adalah hal yang ingin dicapai, menurut data Ditjen Listrik dan
Pemanfaatan Energi ESDM pemerintah berencana membangun kelistrikan dari 68% PLTU,
19% pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLPT) dan 3% pembangkit listrik tenaga air
(PLTA).
Akan tetapi proses pembakaran batubara -menghasilkan emisi karbon dioksida yang
berpengaruh terhadap perubahan iklim. Disamping itu batubara juga menghasilkan polusi
partikel dan limbah kimia yang dapat menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan
sekitarnya.
Greenpeace memperkirakan bahwa jika semua pembangkit tenaga listrik berbahan bakar
batubara yang direncanakan jadi dibangun, maka emisi karbon dioksida dari batubara akan
meningkat 60 persen pada tahun 2030. Hal ini tentu akan mempengaruhi usaha pengendalian
perubahan iklim global, padahal sejumlah ilmuwan berargumentasi bahwa 95% dari
kebutuhan energi dunia dapat disediakan oleh sumber terbarukan.
Tumpukan batubara di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Cirebon I di
Desa Kanci, Astanajapura, Cirebon, Jabar, pada awal Maret 2017.
Keberadaan PLTU membuat masyarakat setempat menjadi sulit mencari
ikan karena jumahnya yang terus menurun. Foto : Donny Iqbal
Pembangunan PLTU
Di tanah air, keberadaan PLTU masih menjadi pro dan kontra. Rakyat Penyelamat
Lingkungan mewakili masyarakat Cirebon yang didampingi 17 pengacara melayangkan
gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, bernomor
124/G/LH2016/PTUN/BDG.
Gugatan tersebut tertuju pada proyek pembangunan PLTU II yang akan dibangun di Desa
Kanci, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon. Rencananya lokasi pembangunan
PLTU Cirebon II tepat bersisian dengan PLTU Cirebon I.
Saat ini, proses sidang telah memasuki agenda ke-8 dengan tahapan sidang pemeriksaan
setempat oleh PTUN Bandung. Dengan gugatan terkait surat Keputusan Badan Penanaman
Modal dan Perijinan Terpadu Provinsi Jawa Barat Nomor 660/10/191020/BPMPT/2016
tentang Izin Lingkungan Kegiatan Pembangunan dan Operasional PLTU Kapasitas 1×1000
MW oleh PT Cirebon Energi Prasarana, tertanggal 11 Mei 2016.
Ketua Majelis Hakim, Sutiyono menjelaskan tujuan dari sidang pemeriksaan setempat ini
untuk memeriksa fakta – fakta sebagai rujukan yang diajukan tergugat menganai izin
lingkungan.
“Rencananya masih ada beberapa agenda persidangan yang akan dilakukan dengan
menghadirkan saksi ahli dari penggugat maupun pemerintah terkait soal izin PLTU. Terkait
putusan, kami kejar untuk akhir Maret ini dengan rentan waktu 150 hari harus selesai kecuali
rumit . Perkara tentang lingkungan termasuk pembuktiannya tidak sederhana dan soal
perizinnya bersifat derivative,” kata dia saat ditemui Mongabay di lokasi PLTU Cirebon I,
Jumat, (03/03/2017) lalu.
Karena PLTU termasuk proyek nasional, Mongabay menanyakan ihwal intimidasi, menurut
pengakuan Sutiyono sejauh ini tidak ada intimidasi. Dia menuturkan intimidasi sudah menjadi
konsekuensi dari hakim. “Yang terpenting hakimnya kuat atau tidak? Saya harapkan proses
ini bisa selesai sampai putusan nanti,” pungkasnya.
Dua orang anak berjalan di kawasan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU)
Cirebon I di Desa Kanci, Astanajapura, Cirebon, Jabar, pada awal Maret
2017. Menurut Greenpeace, PLTU berbahan batubara berpengaruh pada
kesehatan karena mencemari udara karena asapnya mengandung polutan
berbahaya. Foto : Donny Iqbal
Sementara itu, Willy Hanafi salah satu kuasa hukum yang mendampingi gugatan masyarakat
menerangkan bahwa pembangunan PLTU sendiri berdampak pada hak warga atas lingkungan
baik, sehat dan memeperoleh mata pencaharian untuk sumber kehidupannya.
Dia menuturkan secara administratif adanya perbedaan RTRW yang terjadi antara Pemerintah
Kabupaten Cirebon dengan Provinsi Jawa Barat. Tapi secara prinsip keberadaan PLTU
seharusnya tidak merenggut hak hidup warga sekitar yang menggantungkan diri dilingkungan
terutama pantai.
“Yang kami gugat sebetulnya izin pembangunan PLTU II. Karena dengan adanya PLTU I
saja dampaknya sudah terasa terutama dari segi lingkungan menjadi rusak. Contohnya
keberadaan ikan yang dulunya ada sekarang sudah jarang sehingga berimplikasi pada
perekonomian warga,” tutur dia.
Dia berujar pembangunan proyek PLTU di Cirebon diwacanakan akan di bangun sebanyak 5
buah. Untuk itu, perizinan soal AMDAL dan perizinan lainya dinilai perlu dilakukan secara
komperhensif agar tidak merugikan rakyat yang sudah dari dulu mengandalkan laut sebagai
tumpangan hidup.
Di tempat yang sama, Surip (42) warga sekitar mengaku resah dengan adanya rencana
pembanguan PLTU II. Pasalnya sejak pembanguan tahun 2005 dan mulai beroprasi PLTU I
tahun 2012, menurut Surip telah berpengaruh pada lingkungan.
“Dulu sebelum ada PLTU tidak jauh dari pesisir pantai dan hanya menggunakan pelampung
bisa dapat ikan paling minimal 20 – 30 kilo dalam sehari. Lumyan kalau dirupiahkan bisa
bawa pulang uang 300.000,” ujarnya.
Dia menyebutkan ikan kakap, ikan sembilang dan ikan lainnya kadang mudah didapat dengan
jaring. Namun, semenjak PLTU membuang air panas bekas pembakaran batubara langsung ke
pantai berpengaruh terhadap ketersediaan biota laut. Sehingga ikan yang dulunya mudah
didapat sekarang menjadi sulit.
“Dulu pas proses pembangunan pernah ada santunan dari PLTU sebesar Rp4 juta. Katanya
sebagai biaya tambak kerang warga yang mati keracunan. Tapi itu hanya sekali dan tidak ada
lagi santunan warga ataupun berbaikan pantai,” kata dia.
Sarnah (43) warga sekitar yang berprosesi sebagai nelayan juga mengeluhkan hal yang sama
yakni susahnya mencari ikan. “Perahu saya kecil jadi tidak bisa melaut terlalu jauh. Dulu
berangkat jam 7 malam pulang pagi dapatnya lumayan. Duh kalo sekarang susah kadang
dapet sedikit,” keluhnya.
Dia berujar ada 2 desa yang lokasinya berdekatan dengan PLTU. Diantarannya Desa Kanci
Kulon yang dihuni sekitar 4000 Kepala Keluarga dan sebagian besar masyarakat bermata
pencaharian nelayan dan petani. Dia berharap pemerintah memikirkan nasib kehidupan
masyarakat kecil yang sejak dulu hidup dari hasil alam pantai Cirebon.
Dari hutan Kalimantan Timur, berawal sumber bahan bakar pertumbuhan perekonomian di
negara-negara Asia yang sedang berkembang: Batubara.
Penambang menggali lubang terbuka, membersihkan hutan dan lahan pertanian untuk
mengambil batubara, lapisan hitam tebal dari dalam tanah, yang kemudian dihancurkan dan
dimuat ke truk dan tongkang untuk dikirimkan ke Tiongkok, India, Jepang dan tujuan lainnya
di Asia.
Indonesia sendiri merupakan produser batubara terkemuka dunia, menghasilkan 421 juta
metrik ton tahun lalu, -menurut angka resmi pemerintah, dengan sekitar 350 juta metrik ton
diantaranya diekspor untuk memenuhi permintaan energi dunia. India dan Cina adalah dua
pembeli terbesar.
Dalam satu dekade terakhir, produksi batubara Indonesia telah meningkat tiga kali lipat yang
membuat Indonesia menjadi negara eksportir teratas batubara yang digunakan untuk
pembangkit listrik, yang menghasilkan miliaran dolar dalam royalti pemerintah. Pajak
batubara merupakan sumber penting pendapatan, membantu menutupi defisit anggaran
berjalan sekitar 3 persen dari PDB.
Tetapi dibalik keberhasilan ini telah datang banyak permasalahan, termasuk deforestasi besar-
besaran, polusi air, konflik konsesi dengan masyarakat lokal dan adat dan biaya kesehatan
dari debu batubara yang muncul.
Dalam daftar di atas perlu ditambahkan masalah korupsi, penggelapan pajak, penambangan
liar dan ekspor ilegal, yang besarnya hingga mencapai jutaan dolar. Industri ekstraktif
batubara yang tak tekendali telah menjadi ancaman bagi dirinya sendiri, ekonomi dan
lingkungan nasional dan global.
***
Sekitar setengah batubara berasal dari provinsi yang kaya dengan sumber daya alam yaitu
Kalimantan Timur. Untuk membayangkan skala industri ini, anda cukup hanya berdiri di
jembatan utama di pinggir sungai Mahakam, Samarinda dan melihat banyaknya tongkang
yang lewat di sungai setiap beberapa menit.
Tongkang seukuran kolam renang olimpiade akan melewati aliran sungai yang berwarna
kecoklatan. Tongkang ditarik oleh kapal tunda untuk dikirim ke kapal curah yang menunggu
di sepanjang pantai selat Makassar. Setiap tongkang membawa sekitar 8.000 metrik ton
batubara, yang diisikan dari terminal batubara yang menjulur ke pinggir sungai. Kota
Samarinda sendiri dikellilingi oleh konsesi tambang batubara dan lokasi penimbunan batubara
yang terus-menerus memberi makan tongkang melalui sabuk conveyer.
Tambang terbuka PT Kitadin coal mine, yang sebagian besar dimiliki oleh
perusahaan Thailand, Banpu, dekat dengan Samarinda, Kalimantan Timur
(Agustus 2014). Foto: David Fogarty,
Ketahanan Energi
Ekstraksi sumber daya telah menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi dan ekspor
Indonesia. Saat cadangan minyak Indonesia terus menurun, ekstraksi batubara tumbuh dan
bermunculan.
“Idenya yaitu kita harus mempertimbangkan keamanan energi. Kami menganggap batubara
adalah [alternatif] calon energi kami dalam waktu dekat,” kata Bambang Tjahjono Setiabudi,
Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara di Kementerian ESDM.
Sekitar 60-an juta penduduk Indonesia tidak terhubung terhadap sumber kelistrikan dan
pemerintah mendorong investasi yang cepat dalam membangun pembangkit listrik tenaga
batubara untuk memperbaiki kekurangan listrik guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang
kuat.
Seperti booming sumber daya minyak dan gas yang lalu, penebangan hutan dan pembangunan
kelapa sawit, batubara dianggap sebagai sebuah solusi, dengan berbagai masalah lingkungan
yang dihasilkannya sering masih dianggap sebagai masalah sekunder.
“Indonesia berada di level yang berbeda jika bicara masalah dampak lingkungan
dibandingkan dengan negara lain,” jelas Sacha Winzenried, penasihat senior bidang energi,
utilitas dan pertambangan PwC, sebuah perusahaan jasa bisnis global.
Sebaliknya bagi kalangan LSM, sektor ekstraktif ini perlu dikekang. Mereka menunjuk
ancaman dari pembakaran batubara dalam mendorong perubahan iklim. Mereka mengatakan
Indonesia perlu lebih fokus pada investasi energi terbarukan dan membatasi konflik antara
tambang dan masyarakat lokal, yang tanahnya semakin terancam.
Untuk membuat kejelasan terhadap sektor ini, pemerintah meminta KPK (Komisi
Pemberantasan Komisi), untuk memimpin evaluasi terhadap berbagai izin pertambangan.
“Fokus kerja KPK adalah untuk meningkatkan pendapatan pemerintah dan menghindari
kebocoran pendapatan,” tutur Tjahjono. Diapun berharap hal ini akhirnya akan mendorong
penegakan yang lebih baik dari peraturan lingkungan.
Dalam inisiatif lainnya, menurutnya aturan perdagangan baru yang mulai berlaku 1 Oktober
ini akan menargetkan sanksi yang tegas terhadap ekspor batubara ilegal. Tjahjono berharap
kedua inisiatif ini akan menyebabkan semakin ketatnya pengelolaan sektor pertambangan.
Namun, bagi kalangan LSM, kebijakan pemerintah yang diambil bisa jadi penting, tetapi yang
lebih penting lagi adalah bagaimana menghadang berbagai masalah lingkungan dan sosial
yang terjadi akibatnya maraknya pemberian ijin dan pertambangan yang ada.
“Saya pikir akan ada lebih banyak masalah karena setengah izin pertambangan selesai dalam
10 atau 15 tahun ke depan. Prediksi saya pada tahun 2020, kita akan memiliki kerusakan
lingkungan yang sangat serius. Itu baru satu masalah. Juga akan ditambah dengan berbagai isu
lain, seperti masalah kesehatan dan konflik lahan,” papar Merah Johansyah, Koordinator
Jatam Kaltim, LSM yang fokus terhadap masalah pertambangan.
Menurut data Kementerian ESDM, terdapat 3.922 ijin eksplorasi,operasi dan produksi
batubara di seluruh Indonesia. Sebagian besar berada di Kalimantan dan Sumatera, yang
memiliki sebagian besar cadangan batubara Indonesia. Namun, baik Pemerintah pusat dan
daerah tidak memiliki sumber daya untuk secara aktif memantau dan menganalisis ijin ini.
Dari total ijin yan ada, 1.461 terdaftar sebagai lokasi tambang yang tidak clean and
clear karena berbagai penyimpangan, seperti area tumpang tindih dengan konsesi
pertambangan lain atau dengan konsesi pertanian.
Sebuah analisis independen terhadap ijin batubara menunjukkan jumlah perijinan batubara
yang telah dikeluarkan di seluruh Indonesia telah mencapai lebih dari 21 juta hektar pada
tahun 2013, kira-kira seukuran hampir 1,9 kali luas pulau Jawa. Dari seluruh total area ini
dapat disoroti bagaimana risiko konflik sosial dan kerusakan lingkungan di negara
berpenduduk 250 juta orang, yang sebagian besar masyarakatnya masih bergantung pada
lahan pertanian, hutan dan sungai untuk mata pencaharian mereka.
“Salah satu tantangan utama bagi industri adalah koordinasi antar departemen pemerintah dan
antara pemerintah pusat dan daerah, karena ini adalah salah satu kunci untuk pembangunan
berkelanjutan yang memenuhi kebutuhan investor,” kata Winzenried di kantornya di Jakarta.
“Bupati memiliki kepentingan yang berbeda dengan pemerintah pusat, atau apakah itu
lingkungan, kesehatan dan keselamatan, tingkat koordinasi tidak bekerja sebagaimana
mestinya.” Winzenried menambahkan bahwa kantor pertambangan pemerintah daerah sering
kekurangan sumber daya, anggaran atau kemauan untuk mereformasi diri.
Kurangnya pengawasan telah menyebabkan pemerintah pusat dan daerah tidak tahu persis
jumlah tambang yang memproduksi batubara di Indonesia, yang dalam hitungan kasar
berkisar angka 400.
Dan tidak ada yang tahu berapa banyak batubara ilegal yang diproduksi dan diekspor.
Sementara 421 juta metrik ton adalah angka produksi resmi untuk 2013, sumber lain
menyebutkan bahwa produksi batubara hampir 500 juta metrik ton, dengan kelebihan 50-60
juta adalah yang disebut dengan “ekspor hilang”. Pihak lain bahkan berani menyebutkan
produksi ilegal yang lebih tinggi lagi.
Jumlah peruntukan lahan (dalam hektar) yang dialokasikan untuk aktivitas
usaha pertambangan batubara di Indonesia. (sumber: diolah dari
Kementerian ESDM)
Bekerjasama dengan BPK dan KPK, Kementerian ESDM saat ini bekerja untuk fokus pada
12 provinsi dengan angka tertinggi ijin pertambangan.
Tujuannya adalah untuk meninjau legalitas ijin, memeriksa apakah perusahaan tambang
memiliki nomor identitas pajak yang valid, membayar pajak mereka secara penuh dan apakah
terdapat ijin tambang tumpang tindih dengan perkebunan kelapa sawit dan konsesi
pertambangan lainnya dan kawasan hutan lindung, sebuah masalah yang umum dijumpai di
Indonesia.
Sampai saat ini, program ini telah menyebabkan penangguhan lebih dari 300 izin
pertambangan yang dikeluarkan oleh pejabat setempat.
Aturan perdagangan baru menyatakan bahwa hanya perusahaan tambang batubara yang
memiliki ijin usaha dinilai sebagai bersih dan jelas dapat mengekspor batubara. Kementerian
mengeluarkan masing-masing disetujui perusahaan sertifikat, yang Kementerian Perdagangan
menggunakan untuk menyetujui lisensi ekspor. Ekspor juga akan harus melalui pelabuhan
yang ditunjuk.
“Upaya ini untuk mengurangi praktik pertambangan yang buruk, yang tidak aman dan non-
compliant dengan aturan lingkungan. Itu berarti kita bisa menutup perusahaan-perusahaan,”
jelas Tjahjono.
Dia berharap aturan perdagangan baru akan berpengaruh terhadap ekspor. Selain kebijakan
pemerintah, maka harga batubara dunia yang melemah juga berdampak, dan ini akan
memaksa beberapa pemain yang lebih kecil untuk menyingkir. Saat ini harga batubara ekspor
telah jatuh separuhnya sejak puncaknya terjadi pada tahun 2009.
Persoalan Batubara di Kaltim: Peraturan Ada, Penegakan Hukum
Lemah (Bagian-2)
October 23, 2014 David Fogarty Hutan, xLingkungan Hidup
Masalah dalam pertambangan batubara adalah tidak seluruh industri bekerja pada skala
pertambangan yang sama, ada yang besar dan ada yang sangat kecil. Sebagian usaha
pertambangan beroperasi secara singkat, kurang memperhatikan masyarakat setempat dan
meninggalkan lubang bekas galian saat mereka berhenti beroperasi.
Di sisi yang lain, sebagian besar batubara Indonesia diproduksi oleh segelintir perusahaan
besar yang memiliki kontrak langsung dengan pemerintah pusat. Raksasa pertambangan
Indonesia PT Adaro dan PT Kaltim Prima Coal (KPC) misalnya, memiliki kontrak jangka
panjang dan bertanggung jawab untuk sekitar seperempat dari total produksi batubara resmi
tahun lalu di Indonesia. Produksi dan operasi mereka secara hati-hati dipantau dan ditinjau
setiap tahun oleh kementerian.
Menurut data pemerintah total terdapat sekitar 80 kontrak batubara langsung. Mereka
membayar royalti lebih tinggi dan diberikan ijin pertambangan yang disebut IUP (Ijin Usaha
Pertambangan).
“Di Indonesia, anda dapat melihat perbedaan yang nyata antara yang disebut formal dan yang
kurang formal. Di sana jelas ada masalah lingkungan untuk sektor yang kurang diatur, seperti
penambang ilegal atau pemain skala kecil,” jelas Sacha Winzenried, penasihat senior bidang
energi, utilitas dan pertambangan PwC.
Sebaliknya, menurut laporan Jatam beberapa pemain besar juga bekerja tidak sempurna.
Dalam laporan bersama dengan Greenpeace yang dikeluarkan pada bulan Agustus tahun ini,
Jatam menuduh Kaltim Prima Coal (KPC) melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan
pencemaran air. Namun, KPC tidak memberikan tanggapan terhadap permintaan untuk
mengunjungi tambang mereka dan tidak memberikan jawaban rinci atas pertanyaan yang
diajukan.
***
Sebenarnya Indonesia telah memiliki sejumlah aturan lingkungan yang ketat yang mengatur
praktik pertambangan, tetapi kelemahan terjadi di dalam penegakan hukumnya. Demikian
kesimpulan yang terungkap dari wawancara dengan para pejabat pemerintah, analis dan pihak
LSM.
Perusahaan harus menyerahkan penilaian dampak lingkungan dan menyiapkan rincian dan
rencana reklamasi pasca tambang. Perusahaan harus menempatkan deposito besar ke rekening
bank untuk memastikan mereka melakukan rehabilitasi wajib dan reklamasi daerah yang
terkena.
“Masalahnya tidak banyak insinyur tertarik ikut dalam pelatihan inspeksi pertambangan ini,”
jelas Bambang Tjahjono Setiabudi, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara di
Kementerian ESDM.
Kurangnya pengawasan ijin pertambangan tetap menjadi isu utama. Secara total, data ESDM
mengatakan terdapat 10.992 ijin dari semua jenis pertambangan di seluruh negeri.
Menurut sumber yang terlibat dalam penyelidikan yang dipimpin oleh KPK, 10.922 izin ini
dimiliki oleh 7.834 perusahaan. Dari jumlah tersebut, 17 persen diantaranya tidak memiliki
nomor pajak. Konsesi pertambangan juga bekerja di dalam kawasan hutan negara. Tumpang
tindih terjadi untuk sekitar 26 juta hektar kawasan hutan yang ironisnya tidak lagi berhutan.
Menurut sumber ini, ijin yang dikeluarkan ini juga mencakup 1,3 juta hektar hutan
konservasi, yang sama sekali tidak diijinkan untuk pertambangan. Selain itu, izin juga
mencakup lima juta hektar hutan lindung, yang secara aturan hukum terlambang untuk
pertambangan terbuka.
Sebuah studi yang diterbitkan pada awal tahun ini menemukan bahwa pertambangan batubara
adalah salah satu penyebab utama deforestasi, selain penyebab lain karena pembukaan
perkebunan sawit, dan pembukaan hutan untuk kepentingan pulp.
Studi ini meneliti hilangnya hutan untuk konsesi industri diantara tahun 2000 dan 2010 dan
menemukan bahwa pertambangan batubara telah menyebabkan 300.000 hektar hutan hilang
dibandingkan 1,6 juta hektar konsesi kelapa sawit.
Jatam mengambil posisi garis keras melihat fenomena pertambangan batubara daripada
kebanyakan LSM. Mereka ingin pertambangan batubara berhenti sama sekali, suatu skenario
yang tidak mungkin karena pemerintah Indonesia mengharapkan permintaan domestik
batubara untuk pembangkit listrik meningkat dua kali lipat pada 2022, dari saat ini yang
membutuhkan batubara 73 juta metrik ton per tahun.
“Kami setuju bahwa setiap orang membutuhkan energi. Tapi kami tidak ingin energi datang
dari mengancam orang-orang, yang berasal dari perampasan tanah. Kita perlu mengubah pola
pikir orang,” jelas Hendrik Siregar dari Jatam, dalam sebuah wawancara baru-baru ini di
Samarinda. Pola pandang Jatam dapat dipahami jika melihat dampak lingkungan yang timbul
dari pertambangan batubara yang terjadi di Kaltim.
***
Di luar Samarinda di pinggir sungai Mahakam, Rumansi (35 tahun) adalah seorang nelayan
sungai dengan keramba yang membentang ke sungai di belakang rumahnya. Di dekat tempat
tinggalnya terdapat terminal pemuatan batubara.
Aksi tolang tambang CV Arjuna oleh warga Makroman, Samarinda. Foto:
Yustinus S. Hardjanto
Rumansi menyebutkan jumlah tangkapannya telah turun sekitar 30 persen dalam beberapa
tahun terakhir, dengan semakin banyaknya dia temui ikan yang sekarat dan berkurangnya ikan
yang memiliki anak. Atas kerugiannya, perusahaan tambang memberikan 250 ribu rupiah per
bulan sebagai kompensasi yang diderita. Bagi Rumansi kompensasi ini tidak menutup
kerugian yang sebenarnya.
Cerita lain datang dari Samarinda, ibukota Kalimantan Timur. Sekitar 70 persen dari kota dan
daerah sekitarnya berada di bawah ijin konsesi pertambangan dengan lanskap dipenuhi
dengan ‘bekas luka’ dari tambang dan lubang batubara ditinggalkan, yang sekarang banyak
terisi air. Hanya sedikit orang di Samarinda yang mendapat manfaat besar dari keberadaan
tambang batubara, termasuk yang tinggal di wilayah desa.
Sekitar 40 menit berkendara dari pusat kota adalah desa Makroman. Para petani mencari
nafkah dengan menanam padi dan buah-buahan seperti rambutan dan durian. Desa ini berada
di bawah ancaman tambang yaitu CV Arjuna, yang melakukan pembersihan area lahan untuk
operasi tambang terbuka mereka.
Sekitar enam tahun yang lalu, seorang pejabat perusahaan datang ke desa untuk mengambil
sampel tanah dan pengukuran. Ini adalah pertama penduduk desa mendengar tentang
perusahaan atau tambang yang direncanakan.
“Dia datang seperti pencuri saja,” kata Niti Utomo (66 tahun), seorang petani di Makroman
yang seperti banyak warga desanya menolak upaya CV Arjuna untuk membeli tanah mereka.
Niti Utomo, adalah seorang petani padi dan buah di desa Makroman. Dia mengatakan
tambang batubara yang berdekatan dengan lahannya telah menghancurkan persediaan air
setempat, yang menyebabkan turunnya hasil panen. Utomo mengeluh hasil panen padinya
turun akibat kurangnya air dan maraknya hama. Penduduk desa lainnya mengatakan hal yang
sama.
Niti Utomo, petani dari Desa Makroman yang desanya terancam oleh
tambang CV Arjuna. Foto: David Fogarty
Perusahaan mulai mengembangkan tambang beberapa tahun yang lalu dan sekarang
mengelilingi desa dan lahan pertanian pada dua sisi. Lubang besar telah digali untuk
mengekstrak batubara, meratakan bukit-bukit dan hutan dan mengganggu pasokan air untuk
sawah. Warga desa mengeluh secara teratur kepada pemerintah kota tentang praktik
pertambangan perusahaan tapi pemerintah tidak pernah mendengarkan.
Sementara itu perusahaan tambang telah membangun bendungan untuk irigasi, meskipun
pada saat musim kemarau bendungan ini mengering dan meninggalkan tanaman padi layu di
musim kemarau. Pada akhirnya, CV Arjuna ingin mengambil alih seluruh 365 hektar di desa
dengan menawarkan sejumlah besar uang kepada pemilik, beberapa di antaranya telah
diterima.
Utomo menolak untuk menjual tanahnya kepada perusahaan pertambangan untuk tanah yang
telah lebih dari 40 tahun ini dia budidayakan. “Saya akan berjuang sampai mati untuk
menjaga tanah,” tegas Utomo ketika berbicara di samping sawahnya.
Dalam respon lewat email, seorang pejabat di CV Arjuna menyebutkan bahwa ijin yang
dimiliki perusahaannya legal diberikan oleh Pemkot pada tahun 2011. Menurut pejabat
tersebut, perusahaan telah memenuhi status clean and clear dari Kementerian ESDM, diapun
menyebutkan bahwa perusahaan berkomitmen untuk merehabilitasi tambang bekas galian
batubara di area desa sebelahnya.
Namun demikian, dia tidak menjawab mengapa masyarakat tidak pernah bertemu dengan
pihak perusahaan untuk mengkonsultasikan rencana pembangunan tambang.
Bersama-sama, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara telah kehilangan 1,7 juta hektar
tutupan hutan diantara tahun 2001 sampai 2013, yang mewakili sekitar 10 persen dari hutan.
Selain lebih dari tujuh juta hektar lahan telah dialokasikan untuk perijinan pertambangan
batubara, maka area Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara penuh dengan ijin usaha
penebangan, kelapa sawit, dan konsesi serat kayu.
Dari sekitar 200 ijin usaha tambang batubara yang beroperasi di Kalimantan Timur,
berdasarkan data dari kantor LH provinsi, sekitar 20 persennya tidak sesuai dengan peraturan
lingkungan pemerintah.
“Tidak baik,” jawab Wiwit Mei Guritno, birokrat pada Badan Lingkungan Hidup (BLH)
Kaltim ketika ditanya tentang pemantauan pertambangan batubara. Hal ini diamini oleh Priyo
Harsono, Kabid Pengkajian Dampak Lingkungan, BLH Kaltim, kolega Wiwit yang
menyebutkan masalah utama pemantauan kinerja tambang adalah terkait dengan kualitas
pemantauan yang ada di tingkat kabupaten yang hingga saat ini dirasa lemah.
Menurut Harsono, Kantor BLH memiliki kewenangan untuk memeriksa tambang dan saat ini
memiliki enam inspektur lingkungan. Mereka bekerjasama dengan delapan orang inspektur
pertambangan di kantor pertambangan provinsi untuk melakukan pemeriksaan.
Harsono mengatakan dia berharap peraturan baru yang disahkan pada bulan Februari tahun ini
akan mengatasi masalah lubang yang ditinggalkan. Perusahaan tambang batubara yang ingin
meningkatkan produksi harus menutup dan merehabilitasi 70 persen dari lubang tambang
sebelum mereka dapat memperluas usahanya.
Masalahnya, tampaknya sekali lagi akan kembali ke persoalan pengawasan dan penegakan
hukum.
“Yang sedang dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah berupaya untuk menempatkan
kontrol yang lebih kuat, seluruh elemen proses akan menjadi lebih lambat, tetapi itu sebuah
proses yang harus terjadi,” ujar seorang eksekutif pertambangan senior.
Di sisi lain, LSM lingkungan Greenpeace, merasa perlu ada alternatif daripada melulu hanya
berkutat mengandalkan batubara sebagai sumber energi. Operasi pembukaan tambang
batubara yang membersihkan hutan dinilai menghasilkan emisi yang berakibat terhadap
perubahan iklim. Demikian pula ketika pembangkit listrik tenaga batubara dioperasikan.
Lubang tambang batubara juga dapat menghasilkan sejumlah besar metana, -gas rumah kaca
yang potensial sebagai emiter.
“Saya pikir pertambangan batubara adalah pembunuh diam-diam untuk Indonesia, tidak
hanya bagi lingkungan, tetapi juga untuk orang-orang dalam jangka panjang,” kata Arif
Fiyanto, juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia.
Dengan pemikiran ini, maka diperlukan suatu cara pandang baru untuk mencari energi
terbarukan yang dapat diandalkan dan ramah lingkungan.
Indonesia Targetkan Penurunan Emisi Karbon 29% pada 2030
September 2, 2015 Sapariah Saturi dan Indra
Nugraha Hutan, Laut, xkonservasi, xLingkungan Hidup, xPertanian
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan dan Kehutanan di Jakarta, Rabu (2/9/15) mengatakan,
angka 29% itu diperoleh dari hasil analisis baik dengan pendekatan teoritik metodik maupun
empirik dalam waktu cukup panjang. “Angka 29% ini, angka relatif yang dihitung
berdasarkan perkiraan dari kegiatan-kegiatan yang sedang dilakukan, dan kebijakan Indonesia
dalam membangun bangsa,” katanya dalam diskusi yang dipandu Wimar Witoelar, pendiri
Yayasan Perspektif Baru, ini.
Meskipun dari 2030-2030, perkiraan penurunan emisi sebesar tiga persen menjadi 29%,
tetapi dalam metrik ton itu angka besar. Siti belum berani menyebutkan besaran metrik ton
total Indonesia karena masih dalam perhitungan. Namun, dia memperkirakan di bawah China,
yang menetapkan 1,2-1,4 giga pada 2030. “Amerika Serikat saja, hanya turunkan 0,87 giga.
Indonesia sudah ada range, belum bisa disebut tapi perkiraan saya lebih kecil dari China.”
Kini, katanya, antar sektor, masih negoisasi berapa angka yang realistis untuk Indonesia.
“Karena kan kita punya industri manufaktur, maritim kita kalau hidup, berarti transportasi laut
juga makan emisi banyak. (Di sektor) kehutanan ada angka tapi masih berantem, masih
dikompromikan, sekitar range 0,4-0,7 giga.”
Dokumen INDC, kata Siti, akan diserahkan ke Sekretariat United Nations Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC), pada minggu kedua atau ketiga September ini.
“Ini sebagai langkah Indonesia ikut serta dalam upaya global dalam mengatasi perubahan
iklim di COP 21 Paris,” katanya. Conference of the Parties (COP) 21 akan digelar di Paris,
pada 30 November sampai 11 Desember 2015.
Dokumen ini, katanya, disusun dengan kerja keras bersama Kementerian LHK, dengan
Dewan Pengarah Perubahan Iklim, utusan khusus Presiden, Bappenas dan berbagai
kementerian dan lembaga. Dari hasil pemikiran itu, keluar ketahanan nasional terhadap
perubahan iklim dalam hal utama yakni, pangan, energi dan penyelamatan sumber daya air.
Siti mengatakan, pada 2030, penekanan emisi terbesar dari sektor energi tak lagi kehutanan.
“Mengapa dari land base ke energi karena energi ada transportasi, industri juga gaya hidup.
Ke depan kita punya kehidupan berbeda, hingga diperkirakan penyediaan dan langkah-
langkah pembangunan akan ke sana. Sekaligus gaya hidup dan cara pahami konservasi dan
aktualisasi diharapkan sudah lebih baik,” katanya.
INDC ini, katanya, merupakan dokumen kontribusi niatan formal dari negara yang
didokumentasikan secara nasional. Niatan ini, katanya, dalam bentuk program dan kegiatan
yang sudah ada dan yang akan dilakukan Indonesia. “Jadi didasarkan pada kebijakan
pemerintah, Nawacita, rencana pembangunan jangka menengah dan lain-lain,” ujar dia.
Negara lain, katanya, dalam INDC ada yang hanya menekankan mitigasi, hampir tidak ada
adaptasi. “Indonesia mau berimbang. Adaptasi dan mitigasi berimbang.” Mengapa adaptasi
penting, katanya, karena Indonesia, memiliki pantai terpanjang kedua setelah Kanada dan
layak huni.
“Sebagian besar penduduk, kegiatan-kegiatan ekonomi kita itu di pantai. Pantai sangat rentan
dengan perubahan iklim. Kita perkirakan kenaikan permukaan laut bisa sampai akhir enam
meter di akhir abad ini. Adaptasi penting, kalau pantai terganggu orang banyak akan
kesulitan, baik pemukiman, kesehatan, air dan macam-macam,” ucap Sarwono.
Dengan begitu, problem khas Indonesia harus dikemukakan dalam dokumen ini. Kalau tidak,
Indonesia hanya akan didorong mitigasi saja. Selain itu, katanya, Indonesia negara kepulauan
dan banyak pulau-pulau kecil. Dari prediksi Kementerian Kelautan dan Perikanan, sampai
akhir abad ini bisa 1.500 pulau kecil tenggelam oleh peningkatan permukaan air laut. “Kita
punya apa sebagai bangsa itu harus dioperasionalkan dalam perjuangan ini. Presiden juga ada
Nawacita. Kita bisa formulasikan itu. Ujung-ujungnya, harus lindungi kesejahteraan rakyat
dengan konsep ketahanan iklim.”
Dalam pertemuan dengan Presiden Joko Widodo, Senin (31/8/15), Presiden menyambut baik
dokumen ini dan menekankan peran masyarakat adat dalam menghadapi itu. “Kita punya latar
belakang budaya yang bikin jadi petarung dalam perubahan iklim.”
Senada diungkapkan Utusan Khusus Presiden, Rahmat Witoelar. Menurut dia, masing-masing
negara punya kekhususan tersendiri dan tak bisa dikelompok-kelompokkan. Kesalahan lalu
PBB, dengan mengelompokkan negara-negara dalam kelompok yang sebenarnya tak tepat.
Hal inilah, yang coba diubah dan disadari hingga masing-masing negara diminta
memasukkan INDC sesuai dengan karakteristik. INDC ini, katanya, dibuat dengan tak
mengada-ngada, mendukung perjuangan dunia tetapi tak mengabaikan kondisi pembangunan
di dalam negeri.
Sarwono K (Ketua DPPI, paling kiri), bersama Siti Nurbaya, Menteri LHK,
Rahmat Witoelar, Urusan Khusus Presiden dan Wimar Witoelar (Pendiri
YPB) dalam diskusi soal CPO 21 dan INDC di Manggala Wanabhakti, Rabu
(2/9/15). Foto: Sapariah Saturi
Belum sejalan dan tak jelas
“Dokumen itu memperlihatkan kondisi business as usual. Sebenarnya ada potensi kita keluar
dari kondisi itu. Hampir semua argumentasi INDC, aspek-aspek ekonomi jadi referensi
utama. Padahal, keluar dari referensi mainstream ekonomi sebenarnya menjadi tantangan,”
kata Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional dalam diskusi di Jakarta, Rabu
(2/9/15).
Menurut dia, Indonesia akan terperangkap dalam konsep energi yang sudah ada. “Penggunaan
batubara di banyak PLTU tak seperti yang kita harapkan.”
Dia menilai, dokumen INDC hal yang berbau politis karena baru efektif 2020. Pemerintah
yang berkuasa saat ini tak akan terlibat kecuali mencalonkan kembali dan terpilih.
“Jadi ini praktik jangka pendek. Komitmen pemerintah sebelumnya menurunkan emisi 26%
dan 41% dengan bantuan luar seharusnya jadi landasan. Dalam INDC tidak jelas bagaimana
peran Indonesia melawan perubahan iklim.”
Pius Ginting, Kepala Unit kajian WalhiNasional mengatakan, seharusnya dokumen INDC
bisa memperjuangkan pengurangan emisi dalam batubara. Sebab, emisi terbesar selain
deforestasi juga energi.
“Bappenas bilang, pada 2030, emisi energi akan mengalahkan alihfungsi lahan dan hutan.
Kita lihat di PLTU Paiton, misal. Disana ada sembilan unit pembangkit batubara.
Dampaknya membuat nelayan mengalami penurunan tangkapan ikan akibat kerusakan
terumbu karang. Warga dekat PLTU mengalami pencemaran udara. Sayuran juga terpapar
debu batubara. Akibatnya produksi turun.”
Begitu juga di PLTU Cirebon. Hasil tangkapan ikan nelayan menurun, dan tanah tercemar.
Garam petani berubah menjadi kehitaman.
Indonesia, katanya, emitor CO2 terbesar keenam dunia. Sekitar 25% dari energi. Ada 50
PLTU terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera dengan kapasitas 19.404 MW.
“Penggunaan batubara paling besar untuk pembangkit listrik. Ini menimbulkan emisi lebih
besar dibandingkan transportasi dan pemukiman,” katanya.
Sisi lain, kini terjadi fenomena penurunan permintaan batubara secara global. Termasuk
permintaan dari China dan India, yang menjadi tujuan utama ekspor. Tren berubah,
perusahaan batubara ramai-ramai memasok untuk dalam negeri.
Pius meminta pemerintah merevisi kebijakan energi nasional. Dalam dokumen KEN,
penggunaan batubara akan dikurangi mulai 2030. “Batubara harus segera dikurangi.” Melihat
dokumen INDC, Pius pesimis Indonesia bisa menurunkan emisi sektor energi.
Arif Fiyanto, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia mengatakan,
mengacu pada draf INDC, menyebut teknologi batubara ramah lingkungan.
“Di dokumen INDC jelas disebutkan green coal technology yang dimaksud Bappenas dan
penyusun dokumen adalah teknologi ultra super critical untuk pembangkit baru. Efesiensi
meningkat 32% ke 42%,” katanya.
Saat ini, ada tiga teknologi PLTU global: sub-critical, super-critical, dan ultra-super-critical.
Teknologi ultra-super-critical ini, katanya, diklaim digunakan di Batang dan sekarang di
Jepara. Targetnya, 60% PLTU menerapkan teknologi ini 2030. “Teknologi batubara bersih itu
mitos.”
Klaim teknologi batubara bersih, katanya, mengacu pembakaran lebih efisien. Sederhananya,
kalau PLTU dengan teknolohi sub critical, menghasilkan 100 watt, katakanlah perlu
membakar satu ton batubara, dengan teknologi ini perlu 600 kg.
“Jadi pembakaran batubara lebih efisien tetapi sama sekali tidak berbicara pengurangan emisi
signifikan atau tidak. Jadi antara sub-critical dan ultra super-critical, pengurangan emisi hanya
10-12%. Akhirnya ini hanya berbicara bagaimana PLTU batubara mendapatkan keuntungan
maksimal dengan memanfaatkan teknologi ini.”
Dalam konteks pembangunan 35.000 MW, akan menghasilkan 90,37 juta ton emisi karbon
pada 2019. Jika semua PLTU menggunakan teknologi mutakhir sekalipun, emisi dihasilkan
sangat besar. Dari setiap 1.000 MW, emisi karbon 5,4 juta ton per tahun. Dengan kapasitas
22.000 MW, berarti emisi karbon 119 juta ton. Pada 2030, terakumulasi menjadi 1.309 juta
ton. “Tambahan luar biasa.”
Togu Pardede, Direktorat Energi, Tambang dan Geothermal Bappenas mengatakan, dalam
kaitan pengurangan emisi, penting melihat hal itu secara terintegrasi dan komprehensif. Tak
hanya sektor energi, juga kehutanan dan lain-lain sebagai penyumbang emisi.
“Jadi kita bisa menghitung kapan mengembangkan energi sekaligus menurunkan emisi
realistis. Sekarang, sedang digarap Bappenas merevisi RAN GRK di berbagai sektor. Agar
bisa melihat kapan bisa menurunkan emisi.”
Dia menyadari, belum ada teknologi penggunaan batubara PLTU benar-benar bersih. Hal ini,
seharusnya, jadi pertanyaan negara maju.
Sungai dan Lahan Warga Barito Timur Tercemar Limbah Tambang
Batubara, Respon Pemda Mengecewakan
September 26, 2016 Indra Nugraha, Palangkaraya Energi
Lahan pertanian Alfrid sekitar dua hektar rusak parah. Warga Desa Danau, Kecamatan
Awang, Barito Timur, Kalimantan Tengah ini menduga kerusakan lahan karena tercemar
limbah perusahaan batubara, PT Bangun Nusantara Jaya Makmur (BNJM) dan PT Wings
Sejati. Dia berusaha mencari keadilan. Alfrid melapor ke Badan Lingkungan Hidup Daerah
(BLHD), Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben), DPRD hingga Bupati Barito Timur.
Sayangnya, hingga kini tak ada penyelesaian berarti.
Diapun ingin memastikan izin usaha, Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), sampai
izin pembuangan limbah cair, perusahaan-perusahaan ini. Bukan urusan mudah mendapatkan
berbagai dokumen itu, akhirnya dia memilih mengajukan sengketa informasi ke Komisi
Informasi Publik (KIP) Kalteng.
“Ladang saya jarak hanya 100 meter dari Sungai Benuang. Di sungai itu limbah datang dari
perusahaan menuju DAS Paku. Limbah langsung ke ladang saya. Akibatnya, 2015-2016, saya
gagal panen karena limbah Wings Sejati dan BNJM,“ katanya di Palangkaraya, Minggu
(25/9/16).
Dia mengatakan, ladang rusak parah karena tertimbun lumpur kental menyerupai semen.
Sebelumnya, lahan itu buat menanam padi, sayur-mayur, buah-buahan dan karet. Pada Juni
lalu, dia sudah menghubungi perusahaan tetapi pengamanan ketat kepolisian dan TNI di
lokasi pertambangan.
“Saya tak bisa masuk ke camp induk karena dicegah sama TNI, tak boleh masuk. Saya
terpaksa pulang,” katanya.
Setelah sampai di rumah, dia berdiskusi dengan keponakan, Boy, kebetulan aktivis
dari Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL). “Boy menyarankan kalau bisa buat
pengaduan. Saya buat pengaduan mulai 30 Mei 2016 dengan keluhan ke DPRD Bartim,”
katanya.
Pada 9 Juni 2016, diadakan mediasi di DPRD Bartim. Hasil mediasi, keeseokan hari keluar
rekomendasi. Isi rekomendasi, antara lain meminta Bupati Bartim melalui dinas teknis terkait
seperti Dinas Pertanian, Perikanan dan Peternakan, Distamben dan BLHD turun lapangan,
meninjau Sungai Paku dan Sungai Benuang. Selain itu menyarankan ada pertemuan antara
masyarakat, manajemen BNJM, Wings Sejati difasilitasi oleh kecamatan.
Rekomendasi itu juga meminta BLHD menganalisa dampak lingkungan terkait dugaan
pencemaran oleh dua perusahaan itu. Juga meminta peninjauan kembali pertambangan dan
reklamasi di seluruh perusahaan pertambangan di Bartim. Dewan meminta dana CSR untuk
masyarakat sekitar tambang. Kingga kini, rekomendasi tak jalan.
“Pada 14 Juni 2016, saya mengadu ke Bupati Bartim. Tak dapat tanggapan serius. DPRD
Bartim sudah keluarkan rekomendasi, namun pemda tak menanggapi,” katanya.
Perusahaan tambang di Bartim, diduga penyebab pencemaran air sungai
dan lahan. Warga kesulitan sumber air, dan lahan tani pun rusak. Foto:
Hendar
Merasa tak kunjung mendapatkan respon berarti, dia mengajukan permohonan informasi
dokumen kepada BLHD untuk menganalisa Amdal, izin lingkungan, serta izin pembuangan
limbah cair. Upaya inipuntak direspon baik. Kepada Distamben, dia mau memperoleh IUP
dan bukti penempatan dana jaminan reklamasi pasca tambang.
“Saya memasukkan keberatan informasi 29 juni 2016 karena mereka tak memberikan
tanggapan. BLHD malah mengatakan, tak bisa memberikan dokumen karena khawatir
disalahgunakan. Juga mempengaruhi saya dengan mengatakan saya ini guru, sebagai PNS tak
boleh ikut campur urusan ini. Saya memang PNS tapi saya tak pernah meninggalkan tugas
dan kewajiban saya sebagai guru ketika mengurus soal ini,” katanya.
Akhirnya, dia mengajukan gugatan sengketa informasi kepada Komisi Informasi Publik (KIP)
Kalteng. Sidang perdana sengketa informasi ini pada Senin, (25/9/16).
“Banyak gagal panen, di pinggir lahan saya juga rusak. Dulu, sebelum ada pertambangan, air
sungai aman konsumsi. Untuk keperluan lain seperti mandi dan mencuci. Sekarang setelah,
kami tak ada pilihan lain. Meski tercemar, tetap pakai air sungai. Untuk mandi meski
menimbulkan gatal-gatal,” ujar dia.
“Kalau ada warga keberatan dengan limbah ke halaman rumah sampai ke teras, masuk sumur,
kolam karet, diintimidasi. Beberapa waktu lalu, ada satu orang dipukul empat anggota polisi.
Disana jika masyarakat berani menyuarakan keberatan selalu berhadapan dengan petugas
polisi dan tentara,” katanya.
Menanggapi ini, Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Kalteng Aryo Nugroho berharap,
jika gugatan sengketa informasi dikabulkan bisa mengetahui daya tampung dan dukung
lingkungan sampai ingga layak atau tidak. Kalau tak sesuai, perusahaan seharusnya tak bisa
beroperasi.
“Berkaitan dengan IPAL, untuk memulihkan limbah sebelum dibuang ke sungai, berdasarkan
cerita masyarakat, juga tak ada,” katanya.
Pemerintah dan aparat hukum terutama dinas terkait harus segera mendalami persoalan ini,
jangan sampai terlambat, ketika sudah ada korban baru ribut.
“Dengan ada persoalan ini seharusnya BLH tanggap dan cepat. Ini masalah serius. Kalau
berbicara soal limbah tambang memang tak sedikit menimbulkan korban. Terakhir di Gunung
Mas, ada bekas tambang tak direklamasi, jadi wisata Danau Biru, ada yang meninggal disana.
Jangan sampai warga jadi korban,” ucap Aryo.
Aryo mengingatkan, polisi maupun TNI tak berlebihan dalam mengamankan wilayah privat
perusahaan.
“Kalau dia masih merasa dir penegak hukum, wajib melindungi warga. Bukan sebaliknya.”
Menurut dia, masyarakat harus mendapatkan jaminan lingkungan sehat. “Sekarang lahan dan
ladang masyarakat menjadi korban. Air sudah tak layak, merusak kesehatan dan mata
pencaharian. Ini bencana ekologis serius, tak bisa disepelekan,” ujar dia.
Bercermin 2016, Benahi Kelola Lingkungan Tahun Ini
January 1, 2017 Della Syahni dan Sapariah Saturi, Jakarta Hutan
Plang segel KLHK yang dipaksa dicabut oleh sekelompok orang. Hingga
kini, penanganan kasus kebun sawit lahan warga kelolaan ‘bapak angkat’
perusahaan ini tak jelas. Foto: KLHK
Kalangan organisasi masyarakat sipil masih melihat, pemerintah lebih berpihak proyek
pembangunan, minim perhatian perlindungan fungsi lingkungan dan hak masyarakat atas
lingkungan baik dan sehat. Penegakan hukum lingkungan dan sumber daya alam belum
berjalan transparan, akuntabel dan sinergis antarinstitusi.
Indonesia Center For Environmental Law (ICEL) punya catatan soal kebijakan pemerintah
selama 2016. Raynaldo Sembiring, peneliti ICEL mengatakan, catatan ICEL, ada beberapa
hal positif hukum perlindungan lingkungan seperti gugatan nelayan dan organisasi lingkungan
menang atas SK Gubernur Jakarta tentang izin pelaksanaan Pulau G. Juga putusan PTUN
Bandung mencabut izin pembuangan limbah cair (IPLC) oleh Bupati Sumedang kepada tiga
perusahaan.
Lalu, gugatan nelayan terhadap reklamasi Pulau G dikuatkan gugatan Komite Gabungan
Pantai Utara Jakarta menyatakan reklamasi Pulau G harus dihentikan.
Catatan positif lain saat Agustus Pengadilan Tinggi Palembang membatalkan putusan
pengadilan tingkat pertama dan memenangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan atas PT. Bumi Mekar Hijau dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla)
2014.
Kanal dibuat menoreh gambut dalam di Ogan Komering Ilir, Sumsel. Lahan
gambut bekas terbakar yang izin pelepasan hutan buat tebu ini malah
ditanami sawit. Foto: Humas KLHK
Pada November Mahkamah Agung mencatat sejarah putusan ganti rugi lingkungan terbesar
kepada PT. Merbau Pelalawan Lestari (MPL) Rp16,2 triliun karena merusak hutan.
Meskipun begitu, sederet catatan negatif menjadi perhatian ICEl. Mulai penerbitan Perpres
No.18 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah,
penghentian penyidikan perkara karhutla terhadap 15 korporasi oleh Polda Riau. Juga,
kebijakan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan melanjutkan kembali reklamasi Pulau
G dan pembatalan putusan PTUN Jakarta— memberlakukan kembali SK Gubernur Jakarta
tentang izin reklamasi Pulau G.
“Terbitnya SP3 dan dua putusan ini menimbulkan reaksi keras dari nelayan dan pemerhati
lingkungan, ” kata Dodo, panggilan akrabnya.
Kebakaran hutan dan lahan sebagai bentuk tata kelola lingkungan yang
buruk.
Tata kelola hutan dan lahan
Dia juga bertanya-tanya soal capaian Inpres No 11/2015 tentang peningkatan pengendalian
karhutla. Dodo menyoroti kejelasan target dan capaian terukur. Banyak tindakan responsif,
katanya, namun pencegahan seperti pengawasan kepatuhan perusahaan terhadap upaya
pencegahan dan kesiapan hadapi karhutla, masih belum terlihat.
Belum lagi, kebijakan satu peta dan evaluasi izin berbasis lahan tak lagi terdengar. Janji
pemerintah, mendesak pelaku usaha memulihkan ekosistem terbakar tetapi hingga kini juga
tak jelas.
“Sementara keringat dan pengorbanan petugas lapangan dan anggaran banyak terkuras.”
Kritikan keras lain ICEl soal UU Perkelapasawitan, dinilai tak penting dibahas terlebih begitu
bamyak pekerjaan rumah DPR terkait tata kelola hutan dan lahan, seperti RUU Pertanahan,
RUU Konservasi Sumber Daya Alam, RUU Masyarakat Hukum Adat, dan lain-lain.
“Masih banyak agenda lama belum tuntas, malah muncul RUU Perkelapasawitan. Menurut
kami, sama sekali tak perlu diatur,” kata Direktur Eksekutif ICEL, Henri Subagiyo.
Menurut ICEL, UU ini tak urgen karena pemanfaatan sawit di Indonesia, sebagai sumber
pangan masih terbentur masalah lingkungan dan lahan. Masih banyak perusahaan tak patuh
penanaman berkelanjutan. “Ini kurang diawasi pemerintah.”
Dari segi lingkungan, pembukaan lahan dengan cara bakar masih jadi pilihan karena
dianggap murah dan efisien. Padahal, pembakaran jelas penyumbang emisi utama dari
Indonesia.Belum lagi, katanya, penerimaan perpajakan dari sawit makin menurun,
pembahasan RUU ini pun makin tak relevan.
Menurut Henri, RUU ini bermasalah dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum
karena berbenturan dengan UU lain. “Dari 17 bab yang diatur dalam RUU, 13 bab sudah
diatur dan hanya merupakan pengulangan UU Perkebunan.”
Dengan kata lain, RUU justru hanya menfasilitasi kemudahan untuk pelaku usaha sawit dalam
menanam modal maupun perluasan lahan.
Sorotan ICEL lain soal realisasi capaian target perhutanan sosial, hingga November 2016 baru
1,6 juta hektar hutan sosial ditetapkan dari 12, juta hektar target.
Untuk pencemaran , ICEL menilai keberhasilan rencana strategis KLHK dalam pengendalian
pencemaran air, kurang ambisius. “Hanya fokus pada 15 dari 81 sumber air DAS yang
berstatus tercemar.”
Pada 2016, merupakan tahun kedua realisasi rencana strategis pengendalian pencemaran air,
hingga akhir tahun belum satupun daya tampung beban pencemaran dan alokasi beban pada
15 sungai ditetapkan.
“Ujung-ujungnya tak jelas. Perizinan pembuangan limbah harus berbasis daya tampung dan
daya dukung lingkungan.”
Upaya penegakan hukum kasus karhutla, juga belum menyentuh kerugian akibat pencemaran
udara, masih dominan aspek kerusakan lahan. Kerugian masyarakat, seperti ISPA atau
kegiatan sekolah dibiarkan tanpa pertanggungjawaban. “Banyak kasus pencemaran masih
sedikit yang mempertimbangkan dampak kesehatan publik,” katanya.
Perihal proyek PLTU batubara, juga menjadi sorotan penting karena terus menimbulkan
keresahan masyarakat seperti di Desa Celukan Bawang, Buleleng, Bali, menderita batuk,
mual dan pusing akibat debu PLTU Celukan. Warga Dukuh Sekuping, Jepara, terganggu debu
dan kebisingan PLTU Tanjung Pati. Petani, nelayan Desa Mekarsari dan Patrol, Indramayu,
merasa hasil kerja menurun karena PLTU.
“Masih ada 100 lebih PLTU lain kemungkinan besar menimbulkan dampak buruk serupa
yang terjadi karena tak ada pengkajian ulang baku mutu emisi dari PLTU.”
Serupa bisa terjadi dengan PLTSa (sampah). Dalam Perpres No 18 tahun 2016, pembangunan
PLTSa bisa mulai sebelum Surat Kelayakan Lingkungan Hidup dan izin lingkungan terbit.
“Artinya ketika kelayakan lingkungan masih dalam penilaian, konstruksi fisik dapat dimulai.”
Lubang tambang batubara di Kalimantan Timur yang sejak 2011 hingga
kini telah menelan korban 24 anak. Foto: Jatam Kaltim
Persawahan dengan latar belakang hutan adat Serampas nan lebat dan
terjaga. Foto: Elviza Diana
Harapan 2017
Lantas bagaimana harapan 2017? ICEL berharap, kata Henri, ada strategi arah kebijakan
lingkungan oleh pemerintah mulai dari legislasi hingga pelaksanan.
“Hentikan pembahasan RUU Perkelapasawitan, lanjutkan PR lama legislatif. Kalau kita terus
genjot sawit, ia akan terus haus lahan dan terjadi konflik dimana-mana,” katanya.
Dari segi implementasi, katanya, pemerintah harus mengkaji ulang semua target, misal,
percepatan infrastruktur 2019. “Jika kebijakan fundamental belum siap tak ada salahnya
mundur.”
Soal penegakan hukum, pemerintah perlu menuntaskan kasus karhutla dengan menggeser
paradigma dari hilir ke hulu. Yakni, dengan memeberikan tindakan tegas terhadap semua
pemberi izin yang melanggar.
Selain itu, perlu pembenahan kelembagaan, sinergi antara KLHK, Kejaksaan, dan Kepolisian.
Kalau hanya satu institusi dalam penegakan hukum cenderung lemah karena tak
ada backup institusi la
Dampak Lingkungan Akibat Lahan Penambangan Batubara Di
Daerah Kalimantan Selatan
TUGAS MAKALAH
TENTANG
ELLYN NORMELANI,M.Pd.
DI SUSUN OLEH :
RINI RAHMIATI
A1A510231
A / 2010
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI
BANJARMASIN
2011 / 2012
Batubara merupakan salah satu bahan galian strategis yang sekaligus menjadi sumber
daya energy yang sangat besar. Indonesia pada tahun 2006 mampu memproduksi batu bara
sebesar 162 juta ton dan 120 juta ton diantaranya diekspor. Sementara itu sekitar 29 juta ton
diekspor ke Jepang. indonesia memiliki cadangan batubara yang tersebar di Pulau Kalimantan
dan Pulau Sumatera, sedangkan dalam jumlah kecil, batu bara berada di Jawa Barat, Jawa
Tengah, Papua dan Sulawesi. Sedangkan rumus empirik batubara untuk jenis bituminous
Indonesia memiliki cadangan batu bara yang sangat besar dan menduduki posisi ke-4
di dunia sebagai negara pengekspor batubara. Di masa yang akan datang batubara menjadi
salah satu sumber energi alternatif potensial untuk menggantikan potensi minyak dan gas
ekonomis telah mendatangkan hasil yang cukup besar, baik sebagai pemenuhan kebutuhan
penal law) merupakan salah satu kebijakan yang perlu mendapat perhatian, karena pada
tataran implementasinya sangat tergantung pada hukum administrasi. Diskresi luas yang
dimiliki pejabat administratif serta pemahaman sempit terhadap fungsi hukum pidana sebagai
kelestarian fungsi lingkungan hidup dan korban yang timbul akibat degradasi fungsi
lingkungan hidup.
Jenis Batubara
Jenis dan kualitas batubara tergantung pada tekanan, panas dan waktu terbentuknya
batubara. Berdasarkan hal tersebut, maka batubara dapat dikelompokkan menjadi 5 jenis
batubara, diantaranya adalah antrasit, bituminus, sub bituminus, lignit dan gambut.
1. Antrasit merupakan jenis batubara dengan kualitas terbaik, batubara jenis ini mempunyai
ciri-ciri warna hitam metalik, mengandung unsur karbon antara 86%-98% dan mempunyai
2. Bituminus merupakan batubara dengan kualitas kedua, batubara jenis ini mempunyai
kandungan karbon 68%-86% serta kadar air antara 8%-10%. Batubara jenis ini banyak
dijumpai di Australia.
3. Sub Bituminus merupakan jenis batubara dengan kualitas ketiga, batubara ini mempunyai
4. Lignit merupupakan batubara dengan kwalitas keempat, batubara jenis ini mempunyai
cirri memiliki warna muda coklat, sangat lunak dan memiliki kadar air 35%-75%.
5. Gambut merupakan jenis batubara dengan kwalitas terendah, batubara ini memiliki ciri
Karakteristik yang penting dalam pertambangan batubara ini adalah bahwa pasar dan
dari segi aspek fisik, perdagangan, sosial ekonomi maupun aspek politik.
b. Penurunan muka tanah atau terbentuknya cekungan pada sisa bahan galian yang
c. Bahan galian tambang apabila di tumpuk atau disimpan pada stock fliling dapat
mengakibatkan bahaya longsor dan senyawa beracun dapat tercuci ke daerah hilir.
d. Mengganggu proses penanaman kembali reklamasi pada galian tambang
bahan beracun, kurang bahan organiklhumus atau unsur hara telah tercuci .
dan menimbun kembali lapisan penutup dengan cara back filling per blok
Sedangkan pertambangan skala besar, tailing yang dihasilkan lebih banyak lagi.
Pelaku tambang selalu mengincar bahan tambang yang tersimpan jauh di dalam tanah, karena
jumlahnya lebih banyak dan memiliki kualitas lebih baik. Untuk mencapai wilayah
dengan mengupas tanah bagian atas (top soil). Top Soil kemudian disimpan di suatu tempat
agar bisa digunakan lagi untuk penghijauan setelah penambangan. Tahapan selanjutnya
adalah menggali batuan yang mengandung mineral tertentu, untuk selanjutnya dibawa ke
processing plant dan diolah. Pada saat pemrosesan inilah tailing dihasilkan. Sebagai limbah
sisa batuan dalam tanah, tailing pasti memiliki kandungan logam lain ketika dibuang.
Kegiatan penambangan apabila dilakukan di kawasan hutan dapat merusak ekosistem
hutan. Apabila tidak dikelola dengan baik, penambangan dapat menyebabkan kerusakan
lingkungan secara keseluruhan dalam bentuk pencemaran air, tanah dan udara.
Pengangkutan Batu Bara
Cara pengangkutan batu bara ke tempat batu bara
tersebut akan digunakan tergantung pada jaraknya.
Untuk jarak dekat, batu bara umumnya diangkut
dengan menggunakan ban berjalan atau truk. Untuk
jarak yang lebih jauh di dalam pasar dalam negeri,
batu bara diangkut dengan menggunakan kereta api
atau tongkang atau dengan alternatif lain dimana batu
bara dicampur dengan air untuk membentuk bubur
batu dan diangkut melalui jaringan pipa.
Kapal laut umumnya digunakan untuk
pengakutan internasional dalam ukuran berkisar dari
Handymax (40-60,000 DWT), Panamax (about 60-
80,000 DWT) sampai kapal berukuran Capesize
(sekitar 80,000+ DWT). Sekitar 700 juta ton (Jt) batu
bara diperdagangkan secara internasional pada tahun
2003 dan sekitar 90% dari jumlah tersebut diangkut
melalui laut.
Pengangkutan batu bara dapat sangat mahal –
dalam beberapa kasus, pengangkutan batu bara
mencapai lebih dari 70% dari biaya pengiriman batu
bara. Tindakan-tindakan pengamanan diambil di setiap
tahapan pengangkutan dan penyimpan batu bara untuk
mengurangi dampak terhadap lingkungan hidup.
Keselamatan pada Tambang Batu Bara
Industri batu bara sangat memperhatikan
masalah keselamatan. Tambang batu bara bawah tanah
yang dalam memiliki risiko keselamatan yang lebih
tinggi daripada batu bara yang ditambang pada
tambang terbuka. Meskipun demikian, tambang batu
bara moderen memliki prosedur keselamatan standar
kesehatan dan keselamatan serta pendidikan dan
pelatihan pekerja yang sangat ketat, yang mengarah
pada peningkatan yang penting dalam tingkat
keselamatan baik di tambang bawah tanah maupun
tambang terbuka (lihat grafik pada halaman 11 untuk
perbandingan tingkat keselamatan di tambang batu
bara AS dengan sektor-sektor industri lainnya).
Masih ada masalah dalam industri batu bara.
Kecelakaan dan korban jiwa dalam tambang batu bara
paling banyak terjadi di Cina. Sebagian besar
kecelakaan terjadi di tambang-tambang yang terdapat
di kota kecil dan desa, yang seringkali beroperasi
secara tidak sah dimana teknik penambangannya
merupakan tambang padat karya dan menggunakan
peralatan yang sangat sederhana. Pemerintah Cina
telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan
tingkat keselamatan, termasuk penutupan paksa
tambang-tambang kecil dan tambang-tambang yang
tidak memenuhi standar keselamatan.
Kerusakan Lingkungan dan kaitannya dengan
pertambangan
Pertambangan adalah suatu kegiatan mencari,
menggali, mengolah, memanfaatkan dan menjual hasil
dari bahan galian berupa mineral, batu bara, panas
bumi dan minyak dan gas.Seharusnya kegiatan
pertambangan memanfaatkan sumberdaya alam
dengan berwawasan lingkungan, agar kelestarian
lingkungan hidup tetap terjaga.
Kegiatan penambangan khususnya Batubara dan
lain-lain dikenal sebagai kegiatan yang dapat merubah
permukaan bumi. Karena itu, penambangan sering
dikaitkan dengan kerusakan lingkungan. Walaupun
pernyataan ini tidak selamanya benar, patut diakui
bahwa banyak sekali kegiatan penambangan yang
dapat menimbulkan kerusakan di tempat
penambangannya.
Akan tetapi, perlu diingat pula bahwa dilain
pihak kualitas lingkungan di tempat penambangan
meningkat dengan tajam. Bukan saja menyangkut
kualitas hidup manusia yang berada di lingkungan
tempat penambangan itu, namun juga alam sekitar
menjadi tertata lebih baik, dengan kelengkapan
infrastrukturnya. Karena itu kegiatan penambangan
dapat menjadi daya tarik, sehingga penduduk banyak
yang berpindah mendekati lokasi penambangan
tersebut. Sering pula dikatakan bahwa bahwa kegiatan
penambangan telah menjadi lokomotif pembangunan
di daerah tersebut.
Akan tetapi, tidaklah mudah menepis kesan
bahwa penambangan dapat menimbulkan dampat
negatif terhadap lingkungan. Terlebih-lebih
penambangan yang hanya mementingkan laba, yang
tidak menyisihkan dana yang cukup untuk memuliakan
lingkungannya.
Hal ini dapat dipahami jika disadari bahwa
infestasi telah menelan banyak biaya, yang bila
semuanya dihitung dengan harga dana, yaitu bunga
pinjaman, maka faktor yang paling mudah dihapuskan
adalah faktor lingkungan. Kesadaran manusia untuk
meningkatakan kualitas lingkungan dan
memperhitungkannya sebagai baya dalam kegiatan
tersebut, atau dikenal sebagai Internasionalisasi biaya
eksternal, menyebabkan perhitungan cost-benefit suatu
penambangan berubah. Dalam hal ini, faktor harga
komoditas mineral sangat penting, tetapi lebih penting
lagi pergeseran cut off grade, yaitu pada tingkat mana
suatu jebakan mineral dapat disebut ekonomis. Upaya
lanjutan adalah penelitian untuk meningkatkan
teknologi proses.
Dampak negatif yang ditimbulkan kegiatan
penambangan berskala besar, baik dalam ukuran
teknologi maupun investasi, dapat berukuran besar
pula. Namun pengendaliannya lebih memungkinkan
ketimbang pertambangan yang menggunakan
teknologi yang tidak memadai apalagi danannya
terbatas.
Memang pada kenyataannya, perubahan
permukaan bumi yang disebabkan oleh kegiatan
penambangan terbuka dapat mempengaruhi
keseimbangan lingkungan. Hal ini disebabkan kerena
dengan mengambil mineral seperti Mangan tubuh
tanah atau soil harus dikupas sehingga hilanglah media
untuk tumbuh tumbuhan dan pada akhirnya merusak
keanekaragaman hayati yang ada di permukaan tanah
yang memerlukan waktu ribuan tahun untuk proses
pembentukannya.
Di samping pengupasan tubuh tanah atau soil
dan bopeng-bopengnya permukaan bumi,
penambangan juga menghasikan gerusan batu, mulai
dari yang kasar sampai yang halus yang merupakan
sisa atau ampas buangan disebut Tailing. Dan biasanya
selalu menggunung di lokasi penambangan atau
dibuang ke sungai sehingga menyebabkan banjir dan
sungai mengalami kedangkalan. Selain itu juga bisa
berakibat pada pencemaran sungai yang menyebabkan
ekosistem sungai bisa terganggu. Manusia yang
ditinggal disekitar sungai juga akan terkena dampak
dari pencemaran ini.
Dampak Negatif yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan adalah masalah
Pertama, usaha pertambangan dalam waktu yang relatif singkat dapat mengubah
bentuk topografi dan keadaan muka tanah (land impact), sehingga dapat mengubah
lain; pencemaran akibat debu dan asap yang mengotori udara dan air, limbah air, tailing serta
buangan tambang yang mengandung zat-zat beracun. Gangguan juga berupa suara bising dari
berbagai alat berat, suara ledakan eksplosive (bahan peledak) dan gangguan lainnya;
kondisi geologi lapangan, dapat menimbulkan tanah longsor, ledakan tambang, keruntuhan
Pencemaran lingkungan adalah suatu keadaan yang terjadi karena perubahan kondisi
tata lingkungan (tanah, udara dan air) yang tidak menguntungkan (merusak dan merugikan
kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan) yang disebabkan oleh kehadiran benda-benda
asing (seperti sampah, limbah industri, minyak, logam berbahaya, dsb.) sebagai akibat
juga telah menimbulkan dampak kerusakan lingkungan hidup yang cukup besar, baik itu air,
tanah, Udara, dan hutan, Air . Penambangan Batubara secara langsung menyebabkan
1. Pencemaran air,
Permukaan batubara yang mengandung pirit (besi sulfide) berinteraksi dengan air
menghasilkan Asam sulfat yang tinggi sehingga terbunuhnya ikan-ikan di sungai, tumbuhan,
Batubara yang mengandung uranium dalam konsentrasi rendah, torium, dan isotop
radioaktif yang terbentuk secara alami yang jika dibuang akan mengakibatkan kontaminasi
radioaktif. Meskipun senyawa-senyawa ini terkandung dalam konsentrasi rendah, namun akan
memberi dampak signifikan jika dibung ke lingkungan dalam jumlah yang besar. Emisi
merkuri ke lingkungan terkonsentrasi karena terus menerus berpindah melalui rantai makan
membahayakan manusia. Terutama ketika mengkonsumsi ikan dari air yang terkontaminasi
merkuri.
2. Pencemaran udara
logika udara kotor pasti mempengaruhi kerja paru-paru. Peranan polutan ikut andil dalam
3. Pencemaran Tanah
tanah genetic, menggantikan profil tanah genetic, menghancurkan satwa liar dan habitatnya,
degradasi kualitas udara, mengubah pemanfaatan lahan dan hingga pada batas tertentu dapat
ini mempunyai potensi sebagi gas rumah kaca. Kontribusi gas metana yang diakibatkan oleh
aktivitas manusia, memberikan kontribusi sebesar 10,5% pada emisi gas rumah kaca.
laju erosi tanah dan sedimentasi pada sempadan dan muara-muara sungai.
batubara melainkan dampak dari pembersihan lahan untuk bukaan tambang dan
batubara terjadi pada kegiatan pengupasan tanah pucuk (top soil) dan tanah
penutup (sub soil/overburden). Pengupasan tanah pucuk dan tanah penutup akan
merubah sifat-sifat tanah terutama sifat fisik tanah dimana susunan tanah
yang terbentuk secara alamiah dengan lapisan-lapisan yang tertata rapi dari
1. Limbah pencucian batubara zat-zat yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia jika
airnya dikonsumsi dapat menyebabkan penyakit kulit pada manusia seperti kanker kulit.
Kaarena Limbah tersebut mengandung belerang ( b), Merkuri (Hg), Asam Slarida (Hcn),
Mangan (Mn), Asam sulfat (H2sO4), di samping itu debu batubara menyebabkan polusi
udara di sepanjang jalan yang dijadikan aktivitas pengangkutan batubara. Hal ini
menimbulkan merebaknya penyakit infeksi saluran pernafasan, yang dapat memberi efek
jangka panjang berupa kanker paru-paru, darah atau lambung. Bahkan disinyalir dapat
2. Antaranya dampak negatifnya adalah kerusakan lingkungan dan masalah kesehatan yang
buangannya, berupa abu ringan, abu berat, dan kerak sisa pembakaran, mengandung berbagai
logam berat : seperti arsenik, timbal, merkuri, nikel, vanadium, berilium, kadmium, barium,
cromium, tembaga, molibdenum, seng, selenium, dan radium, yang sangat berbahaya jika
dibuang di lingkungan.
3. Seperti halnya aktifitas pertambangan lain di Indonesia, Pertambangan batubara juga telah
menimbulkan dampak kerusakan lingkungan hidup yang cukup parah, baik itu air, tanah,
Udara, dan hutan, Air Penambangan Batubara secaralangsung menyebabkan pencemaran air,
yaitu dari limbah penducian batubara tersebut dalam hal memisahkan batubara dengan sulfur.
Limbah pencucian tersebut mencemari air sungai sehingga warna air sungai menjadi keruh,
Asam, dan menyebabkan pendangkalan sungai akibat endapan pencucian batubara tersebut.
Limbah pencucian batubara setelah diteliti mengandung zat-zat yang sangat berbahaya bagi
kesehatan manusia jika airnya dikonsumsi. Limbah tersebut mengandung belerang ( b),
Merkuri (Hg), Asam Slarida (Hcn), Mangan (Mn), Asam sulfat (H2sO4), dan Pb. Hg dan Pb
merupakan logam berat yang dapat menyebabkan penyakit kulit pada manusia seperti kanker
kulit.
a. Banyaknya lalu lalang kendaraan yang digunakan untuk angkutan batubara berdampak
pada aktivitas pengguna jalan lain. Semakin banyaknya kecelakaan, meningkatnya biaya
pemeliharaan jembatan dan jalan, adalah sebagian dari dampak yang ditimbulkan.
Konflik lahan kerap terjadi antara perusahaan dengan masyarakat lokal yang lahannya
menggusur lahan tanpa melewati persetujuan pemilik atau pengguna lahan. Atau tak jarang
mereka memberikan ganti rugi yang tidak seimbang denga hasil yang akan mereka dapatkan
nantinya. Tidak hanya konflik lahan, permasalahan yang juga sering terjadi adalah
diskriminasi. Akibat dari pergeseran ini membuat pola kehidupan mereka berubah menjadi
lebih konsumtif. Bahkan kerusakan moralpun dapat terjadi akibat adanya pola hidup yang
berubah.
Nilai atau dampak positif dari batubara itu sendiri, Sumber wikipedia.com
mengatakan Tidak dapat di pungkiri bahwa batubara adalah salah satu bahan tambang yang
memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Indonesia adalah salah satu negara penghasil
batubara terbesar no.2 setelah Australia hingga tahun 2008. Total sumber daya batubara yang
dimiliki Indonesia mencapai 104.940 Milyar Ton dengan total cadangan sebesar 21.13 Milyar
Ton. Nanun hal ini tetap memberikan efek positif dan negatif, dan hal positifnya Sumber
wikipedia.com mengatakan. Hal positifnya adalah bertambahnya devisa negara dari kegiatan
penambanganya.
pekerja tambang selayaknya bekerja sama dengan masyarakat sekitar. Salah satu bentuknya
dengan cara memperkerjakan masyarakat sekitar dalam usaha tambang sekitar, sehingga
jumlah yang besar dalam pengoperasian PLTU mengakibatkan kelangkaan air di banyak
tempat. Polutan beracun yang keluar dari cerobong asap PLTU mengancam kesehatan
masyarakat dan lingkungan sekitar. Partikel halus debu batubara adalah penyebab utama
penyakit pernapasan akut, merkuri perusak perkembangan saraf anak-anak balita dan janin
dalam kandungan ibu hamil yang tinggal di sekitar PLTU. Dan yang tak kalah penting,
pembakaran batubara di PLTU adalah sumber utama gas rumah kaca penyebab perubahan
iklim seperti karbon dioksida, sulfur dioksida, nitrogen dioksida, dan metana yang
ditinggalkan setelah dieksploitasi habis, limbah pembakaran batubara, dan hamparan alam
tambang asam, dan erosi tanah hanya sebagian dari masalah. Hamparan alam yang rusak
adalah adalah kondisi permanen yang tak akan pernah pulih , sekeras apapun usaha yang
masyarakat, tembaga, cadmium dan arsenic adalah sebagian dari zat toksik yang dihasilkan
dari limbah tersebut, yang masing-masing memicu keracunan, gagal ginjal, dan kanker.
diakibatkan oleh energi kotor ini—masing-masing dengan caranya sendiri. Kerusakan ini
output yaitu pemanfaatan yang optimal dan bijak terhadap sumberdaya alam yang tak
dampak ekologis dari kegiatan pasca tambang memacu untuk dipikirkan terlebih dahulu, serta
dilakukan penelitian dan penaatan ruang karena bila tidak dilakukan kompehensip, maka
penutupan tambang hanya akan meninggalakan kerusakan bentang alam dan lingkungan.
Untuk itu diperlukan upaya penanggulanan pencemaran dan kerusakan lingkungan pada saat
operasi maupun pasca ditutupnya usa tambang sebagai berkesinambungan yang pada intinya
adalah upaya yang bisa untuk menghilangkan dampak dari kegiatan tambang dengan
melakukan suaru gran desain dan krontruksi kegiatan tambang yang berdampak lingkungan
Tidak dapat di pungkiri bahwa pemerintah mempunyai peran yang penting dalam
mencari solusi terhadap dampak dan pengaruh pertambangan batu bara yang ada di
indonesia. Pemerintah harus menyadari bahwa tugas mereka adalah memastikan masa depan
yang dimotori oleh energi bersih dan terbarukan. Dengan cara ini, kerusakan pada manusia
dan kehidupan sosialnya serta kerusakan ekologi dan dampak buruk perubahan iklim dapat
dihindari.
dari permintaan energi yang menjulang, serta tidak bersedia mengakui potensi luar biasa dari
penambang batu bara dapat ditempuh dengan beberapa pendekatan, untuk dilakukan tindakan-
pengembangan sarana jalan/jalur khusus untuk pengangkutan batu bara sehingga akan
mengurangi keruwetan masalah transportasi. Pejalan kaki (pedestrian) akan terhindar dari
ruang udara yang kotor. Menggunakan masker debu (dust masker) agar meminimalkan risiko
2. Pendekatan lingkungan yang ditujukan bagi penataan lingkungan sehingga akan terhindar
dari kerugian yang ditimbulkan akibat kerusakan lingkungan. Upaya reklamasi dan
nyamuk malaria. Dikhawatirkan bekas lubang/kawah batu bara dapat menjadi tempat
penambangan batu bara tersebut untuk mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku (law
enforcement)
4. Pendekatan edukatif, kepada masyarakat yang dilakukan serta dikembangkan untuk membina
Setiap kegiatan pastilah menghasilkan suatu akibat, begitu juga dengan kegiatan
eksploitasi bahan tambang, pastilah membawa dampak yang jelas terhadap lingkungan dan
juga kehidupan di sekitarnya, dampak tersebut dapat bersifat negatif ataupun positif, namun
pada setiap kegiatan eksploitasi pastilah terdapat dampak negatifnya, hal tersebut dapat
Sebagai contoh adalah kegiatan pertambangan batubara di pulau Kalimantan yang bisa
dibilang telah mencapai tahap yang kronis, dengan menyisakan lubang-lubang besar bekas
kegiatan pertambangan dan juga dampak-dampak yang lainnya. Hal tersebut setidaknya dapat
diminimalisir dan dikurangi dampaknya apabila kita melakukan tindakan perbaikan dan juga