Anda di halaman 1dari 17

Pengertian Perdarahan Postpartum

Perdarahan postpartum adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau lebih setelah kala III selesai (setelah
plasenta lahir) (Wiknjosastro, 2000).

Fase dalam persalinan dimulai dari kala I yaitu serviks membuka kurang dari 4 cm sampai penurunan
kepala dimulai, kemudian kala II dimana serviks sudah membuka lengkap sampai 10 cm atau kepala
janin sudah tampak, kemudian dilanjutkan dengan kala III persalinan yang dimulai dengan lahirnya bayi
dan berakhir dengan pengeluaran plasenta. Perdarahan postpartum terjadi setelah kala III persalinan
selesai (Saifuddin, 2002).

Perdarahan postpartum ada kalanya merupakan perdarahan yang hebat dan menakutkan sehingga
dalam waktu singkat wanita jatuh ke dalam syok, ataupun merupakan perdarahan yang menetes
perlahan-lahan tetapi terus menerus dan ini juga berbahaya karena akhirnya jumlah perdarahan
menjadi banyak yang mengakibatkan wanita menjadi lemas dan juga jatuh dalam syok (Mochtar, 1995).

Penyebab Perdarahan Postpartum

Penyebab perdarahan Postpartum antara lain :

1. Atonia uteri 50% - 60%

2. Retensio plasenta 16% - 17% Universitas Sumatera Utara

3. Sisa plasenta 23% - 24%

4. Laserasi jalan lahir 4% - 5%

5. Kelainan darah 0,5% - 0,8% (Mochtar, 1995).

Klasifikasi Perdarahan Postpartum

Klasifikasi klinis perdarahan postpartum yaitu (Manuaba, 1998) :

1. Perdarahan Postpartum Primer yaitu perdarahan pasca persalinan yang terjadi dalam 24 jam pertama
kelahiran. Penyebab utama perdarahan postpartum primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa
plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri. Terbanyak dalam 2 jam pertama.

2. Perdarahan Postpartum Sekunder yaitu perdarahan pascapersalinan yang terjadi setelah 24 jam
pertama kelahiran. Perdarahan postpartum sekunder disebabkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang
tidak baik, atau sisa plasenta yang tertinggal.

2.1.4 Gejala Klinik Perdarahan Postpartum

Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari volume total tanpa
mengalami gejala-gejala klinik, gejala-gejala baru tampak pada kehilangan darah sebanyak 20%. Gejala
klinik berupa perdarahan pervaginam yang terus-menerus setelah bayi lahir. Kehilangan banyak darah
tersebut menimbulkan tanda-tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi
cepat dan kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain (Wiknjosastro, 2005). Universitas Sumatera Utara

Diagnosis Perdarahan Postpartum

Diagnosis perdarahan postpartum dapat digolongkan berdasarkan tabel berikut ini :

Tabel 2.1 Diagnosis Perdarahan Postpartum

No.

Gejala dan tanda yang selalu ada

Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada

Diagnosis kemungkinan

1.

- Uterus tidak berkontraksi dan lembek

- Perdarahan segera setelah anak lahir (Perdarahan Pascapersalinan Primer atau P3)

- Syok

- Atonia Uteri

2.

- Perdarahan segera (P3)

- Darah segar yang mengalir segera setelah bayi lahir (P3)

- Uterus kontraksi baik

- Plasenta lengkap

- Pucat

- Lemah

- Menggigil

- Robekan jalan lahir

3.

- Plasenta belum lahir setelah 30 menit

- Perdarahan segera (P3)


- Uterus kontraksi baik

- Tali pusat putus akibat traksi berlebihan

- Inversio uteri akibat tarikan

- Perdarahan lanjutan

- Retensio

Plasenta

4.

- Plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak lengkap

- Perdarahan segera (P3)

- Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang

- Tertinggalnya sebagian plasenta

5.

- Uterus tidak teraba

- Lumen vagina terisi massa

- Tampak tali pusat (jika plasenta belum lahir)

- Perdarahan segera (P3)

- Nyeri sedikit atau berat

- Syok neurogenik

- Pucat dan limbung

- Inversio uteri

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1 (Lanjutan)

No.

Gejala dan tanda yang selalu ada

Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada


Diagnosis kemungkinan

6.

- Sub-involusi uterus

- Nyeri tekan perut bawah

- Perdarahan lebih dari 24 jam setelah persalinan. Perdarahan sekunder atau P2S.

- Perdarahan bervariasi (ringan atau berat, terus menerus atau tidak teratur) dan berbau (jika disertai
infeksi)

- Anemia

- Demam

- Perdarahan terlambat

- Endometritis atau sisa plasenta (terinfeksi atau tidak)

7.

- Perdarahan segera (P3) (Perdarahan intraabdominal dan atau vaginum)

- Nyeri perut berat

- Syok

- Nyeri tekan perut

- Denyut nadi ibu cepat

- Robekan dinding uterus (ruptura uteri)

Sumber : Saifuddin, 2002

2.2 Perdarahan Postpartum Primer

2.2.1 Pengertian Perdarahan Postpartum Primer

Perdarahan Postpartum Primer yaitu perdarahan pasca persalinan yang terjadi dalam 24 jam pertama
kelahiran. Penyebab utama perdarahan postpartum primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa
plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri (Manuaba, 1998).
Penyebab Perdarahan Postpartum Primer

a. Atonia Uteri

Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi setelah persalinan sehingga uterus
dalam keadaan relaksasi penuh, melebar, lembek dan tidak mampu menjalankan fungsi oklusi pembuluh
darah. Akibat dari atonia uteri ini adalah terjadinya perdarahan. Perdarahan pada atonia uteri ini berasal
dari pembuluh darah yang terbuka pada bekas menempelnya plasenta yang lepas sebagian atau lepas
keseluruhan (Faisal, 2008).

Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan bagian yang terpenting dalam hal
kontraksi untuk menghentikan perdarahan pasca persalinan. Miometrum lapisan tengah tersusun
sebagai anyaman dan ditembus oeh pembuluh darah. Masing-masing serabut mempunyai dua buah
lengkungan sehingga tiap-tiap dua buah serabut kira-kira berbentuk angka delapan. Setelah partus,
dengan adanya susunan otot seperti tersebut diatas, jika otot berkontraksi akan menjepit pembuluh
darah. Ketidakmampuan miometrium untuk berkontraksi ini akan menyebabkan terjadinya pendarahan
pasca persalinan (Faisal, 2008).

Atonia uteri dapat terjadi sebagai akibat :

1. Partus lama

2. Pembesaran uterus yang berlebihan pada waktu hamil, seperti pada hamil kembar, hidramnion atau
janin besar

3. Multiparitas

4. Anestesi yang dalam

5. Anestesi lumbal

Universitas Sumatera Utara

Selain karena sebab di atas atonia uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III persalinan,
yaitu memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam usaha melahirkan plasenta, dimana
sebenarnya plasenta belum terlepas dari dinding uterus (Wiknjosastro, 2005).

b. Retensio Plasenta

Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir. Hal
tersebut disebabkan (Wiknjosastro, 2005) :

1. Plasenta belum lepas dari dinding uterus

2. Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan.


Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan, tapi bila sebagian plasenta sudah
lepas akan terjadi perdarahan dan ini merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya. Plasenta
belum lepas dari dinding uterus disebabkan :

1. Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva)

2. Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis menembus desidua sampai
miometrium (plasenta akreta)

3. Plasenta merekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis menembus sampai di bawah
peritoneum (plasenta perkreta).

Plasenta sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar, disebabkan oleh tidak adanya usaha
untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran kontriksi pada bagian
bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta).

c. Sisa Plasenta

Sewaktu suatu bagian dari plasenta tertinggal, maka uterus tidak dapat berkontraksi secara efektif dan
keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan. Perdarahan postpartum yang terjadi segera jarang
disebabkan oleh retensi potongan-potongan kecil plasenta. Inspeksi plasenta segera setelah persalinan
bayi harus menjadi tindakan rutin. Jika ada bagian plasenta yang hilang, uterus harus dieksplorasi dan
potongan plasenta dikeluarkan (Faisal, 2008).

d. Robekan Jalan Lahir

Robekan jalan lahir dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan pasca persalinan dengan
uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh robekan serviks atau vagina (Saifuddin, 2002).
Setelah persalinan harus selalu dilakukan pemeriksaan vulva dan perineum. Pemeriksaan vagina dan
serviks dengan spekulum juga perlu dilakukan setelah persalinan.

Robekan jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah yang bervariasi banyaknya.
Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu harus dievaluasi yaitu sumber dan jumlah perdarahan
sehingga dapat diatasi. Sumber perdarahan dapat berasal dari perineum, vagina, serviks, dan robekan
uterus (ruptura uteri). Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma dan robekan jalan lahir dengan
perdarahan bersifat arterill atau pecahnya pembuluh darah vena. Untuk dapat menetapkan sumber
perdarahan dapat dilakukan dengan pemeriksaan dalam dan pemeriksaan spekulum setelah sumber
perdarahan diketahui dengan pasti, perdarahan dihentikan dengan melakukan ligasi (Manuaba, 1998).

e. Inversio Uteri

Inversio uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk ke dalam kavum uteri, dapat secara
mendadak atau terjadi perlahan (Manuaba, 1998).

Pada inversio uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga fundus uteri sebelah dalam
menonjol ke dalam kavum uteri. Peristiwa ini jarang sekali ditemukan, terjadi tiba-tiba dalam kala III
atau segera setelah plasenta keluar. Sebab inversio uteri yang tersering adalah kesalahan dalam
memimpin kala III, yaitu menekan fundus uteri terlalu kuat dan menarik tali pusat pada plasenta yang
belum terlepas dari insersinya. Menurut perkembangannya inversio uteri dibagi dalam beberapa tingkat
(Wiknjosastro, 2005) :

1. Fundus uteri menonjol ke dalam kavum uteri, tetapi belum keluar dari ruang tersebut

2. Korpus uteri yang terbalik sudah masuk ke dalam vagina

3. Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak di luar vagina.

Gejala-gejala inversio uteri pada permulaan tidak selalu jelas. Akan tetapi, apabila kelainan itu sejak awal
tumbuh dengan cepat, seringkali timbul rasa nyeri yang keras dan bisa menyebabkan syok.

2.3 Penanganan Perdarahan Postpartum Primer

2.3.1 Pencegahan Perdarahan Postpartum Primer

Penanganan terbaik perdarahan postpartum adalah pencegahan. Mencegah atau sekurang-kurangnya


bersiap siaga pada kasus-kasus yang disangka akan terjadi Universitas Sumatera Utara

perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu bersalin, namun sudah
dimulai sejak wanita hamil dengan antenatal care yang baik. Pengawasan antenatal memberikan
manfaat dengan ditemukannya berbagai kelainan secara dini, sehingga dapat diperhitungkan dan
dipersiapkan langkah-langkah dalam pertolongan persalinannya. Kunjungan pelayanan antenatal bagi
ibu hamil paling sedikit 4 kali kunjungan dengan distribusi sekali pada trimester I, sekali trimester II, dan
dua kali pada trimester III.

Anemia dalam kehamilan harus diobati karena perdarahan dalam batas-batas normal dapat
membahayakan penderita yang sudah anemia. Kadar fibrinogen perlu diperiksa pada perdarahan yang
banyak, kematian janin dalam uterus dan solusio plasenta. Apabila sebelumnya penderita sudah
mengalami perdarahan postpartum, persalinan harus berlangsung di rumah sakit. Di rumah sakit
diperiksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb, golongan darah dan bila mungkin tersedia donor
darah. Sambil mengawasi persalinan, dipersiapkan keperluan untuk infus dan obat-obatan penguat
rahim (uterus tonikum). Setelah ketuban pecah kepala janin mulai membuka vulva, infus dipasang dan
sewaktu bayi lahir diberikan ampul methergin atau kombinasi 5 satuan sintosinon (sintometrin
intravena) (Mochtar, 1995).

Dalam kala III uterus jangan dipijat dan didorong ke bawah sebelum plasenta lepas dari dindingnya.
Penggunaan oksitosin sangat penting untuk mencegah perdarahan postpartum. Sepuluh satuan
oksitosin diberikan intramuskulus segera setelah anak lahir untuk mempercepat pelepasan plasenta.
Sesudah plasenta lahir hendaknya diberikan 0,2 mg ergometrin intramuskulus. Kadang-kadang
pemberian ergometrin, setelah bahu depan bayi lahir dengan tekanan pada fundus uteri plasenta
dapat dikeluarkan dengan segera tanpa banyak perdarahan. Namun salah satu kerugian dari pemberian
ergometrin setelah bahu depan bayi lahir adalah kemungkinan terjadinya jepitan (trapping) terhadap
bayi kedua pada persalinan gemelli yang tidak diketahui sebelumnya (Wiknjosastro, 2005).

Pada perdarahan yang timbul setelah anak lahir dua hal harus dilakukan, yakni menghentikan
perdarahan secepat mungkin dan mengatasi akibat perdarahan. Setelah plasenta lahir perlu ditentukan
apakah disini dihadapi perdarahan karena atonia uteri atau karena perlukaan jalan lahir. Jika plasenta
belum lahir (retensio plasenta), segera dilakukan tindakan untuk mengeluarkannya (Wiknjosastro,
2005).

2.3.2 Manajemen Aktif Kala III

Manajemen aktif persalinan kala III terdiri atas intervensi yang direncanakan untuk mempercepat
pelepasan plasenta dengan meningkatkan kontraksi rahim dan untuk mencegah perdarahan pasca
persalinan dengan menghindari atonia uteri, komponennya adalah (Shane, 2002) :

a. Memberikan obat uterotonika (untuk kontraksi rahim) dalam waktu dua menit setelah kelahiran bayi

Penyuntikan obat uterotonika segera setelah melahirkan bayi adalah salah satu intervensi paling penting
yang digunakan untuk mencegah perdarahan pasca persalinan. Obat uterotonika yang paling umum
digunakan adalah oxytocin yang terbukti sangat efektif dalam mengurangi kasus perdarahan pasca
persalinan dan persalinan lama. Syntometrine (campuran ergometrine dan oxytocin) ternyata lebih
efektif dari oxytocin saja. Namun, syntometrine dikaitkan dengan lebih banyak efek Universitas
Sumatera Utara

samping seperti sakit kepala, mual, muntah, dan tekanan darah tinggi. Prostaglandin juga efektif untuk
mengendalikan perdarahan, tetapi secara umum lebih mahal dan memiliki bebagai efek samping
termasuk diarrhea, muntah dan sakit perut.

b. Menjepit dan memotong tali pusat segera setelah melahirkan

Pada manajemen aktif persalinan kala III, tali pusat segera dijepit dan dipotong setelah persalinan, untuk
memungkinkan intervensi manajemen aktif lain. Penjepitan segera dapat mengurangi jumlah darah
plasenta yang dialirkan pada bayi yang baru lahir. Diperkirakan penjepitan tali pusat secara dini dapat
mencegah 20% sampai 50% darah janin mengalir dari plasenta ke bayi. Berkurangnya aliran darah
mengakibatkan tingkat hematokrit dan hemoglobin yang lebih rendah pada bayi baru lahir, dan dapat
mempunyai pengaruh anemia zat besi pada pertumbuhan bayi. Satu kemungkinan manfaat bagi bayi
pada penjepitan dini adalah potensi berkurangnya penularan penyakit dari darah pada kelahiran seperti
HIV.

c. Melakukan penegangan tali pusat terkendali sambil secara bersamaan melakukan tekanan terhadap
rahim melalui perut

Penegangan tali pusat terkendali mencakup menarik tali pusat ke bawah dengan sangat hati-hati begitu
rahim telah berkontraksi, sambil secara bersamaan memberikan tekanan ke atas pada rahim dengan
mendorong perut sedikit di atas tulang pinggang. Dengan melakukannya hanya selama kontraksi rahim,
maka mendorong tali pusat secara hati-hati ini membantu plasenta untuk keluar. Tegangan pada tali
pusat harus dihentikan setelah 30 atau 40 detik bila plasenta tidak turun, tetapi tegangan dapat
diusahakan lagi pada kontraksi rahim yang berikut.

2.4 Beberapa Faktor yang Memengaruhi Perdarahan Postpartum Primer

2.4.1 Umur

Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih dari 35 tahun merupakan faktor
risiko terjadinya perdarahan pasca persalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Hal ini
dikarenakan pada usia dibawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang wanita belum berkembang dengan
sempurna, sedangkan pada usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami
penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal sehingga kemungkinan untuk terjadinya komplikasi
pasca persalinan terutama perdarahan akan lebih besar (Faisal, 2008).

Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-30
tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5
kali lebih tinggi daripada kematian maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal
meningkat kembali sesudah usia 30-35 tahun (Wiknjosastro, 2005)

Menurut BKKBN (2007) bahwa jika ingin memiliki kesehatan reproduksi yang prima seyogyanya harus
menghindari “4 terlalu” dimana dua diantaranya adalah menyangkut dengan usia ibu. T yang pertama
yaitu terlalu muda artinya hamil pada usia kurang dari 20 tahun. Adapun risiko yang mungkin terjadi jika
hamil di bawah 20 tahun antara lain keguguran, preeklampsia (tekanan darah tiggi, oedema,
proteinuria), eklampsia (keracunan kehamilan), timbulnya kesulitan persalinan karena sistem reproduksi
belum sempurna, bayi lahir sebelum waktunya, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), fistula vesikovaginal
(merembesnya air seni ke vagina), fistula Universitas Sumatera Utara

retrovaginal (keluarnya gas dan tinja dari vagina) dan kanker leher rahim. T yang kedua adalah terlalu
tua artinya hamil di atas usia 35 tahun. Risiko yang mungkin terjadi jika hamil pada usia terlalu tua ini
antara lain adalah terjadinya keguguran, preeklampsia, eklampsia, timbulnya kesulitan pada persalinan,
perdarahan, BBLR dan cacat bawaan (Suryani, 2008).

Menurut penelitian Pardosi (2005), bahwa pada tingkat kepercayaan 95% ibu yang berumur di bawah 20
tahun atau di atas 30 tahun memiliki risiko mengalami perdarahan postpartum 3,3 kali lebih besar
dibandingkan ibu yang berumur 20 sampai 29 tahun. Selain itu penelitian Najah (2004) menyatakan
bahwa pada tingkat kepercayaan 95% umur ibu di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun bermakna
sebagai faktor risiko yang memengaruhi perdarahan postpartum.

2.4.2 Pendidikan

Menurut Depkes RI (2002), pendidikan yang dijalani seseorang memiliki pengaruh pada peningkatan
kemampuan berfikir, dimana seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan dapat mengambil
keputusan yang lebih rasional, umumnya terbuka untuk menerima perubahan atau hal baru
dibandingkan dengan individu yang berpendidikan lebih rendah.

Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar masyarakat mau
melakukan tindakan-tindakan (praktik) untuk memelihara (mengatasi masalah-masalah), dan
meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang
dihasilkan oleh pendidikan

kesehatan ini didasarkan kepada pengetahuan dan kesadarannya melalui proses pembelajaran
(Notoatmodjo, 2003).

Wanita dengan pendidikan lebih tinggi cenderung untuk menikah pada usia yang lebih tua, menunda
kehamilan, mau mengikuti Keluarga Berencana (KB), dan mencari pelayanan antenatal dan persalinan.
Selain itu, mereka juga tidak akan mencari pertolongan dukun bila hamil atau bersalin dan juga dapat
memilih makanan yang bergizi.

Menurut Thadeus dan Maine (1990) yang dikutip dari Suryani (2008), dari beberapa penelitian yang
dilakukan di berbagai negara menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara penggunaan
pelayanan obstetri dan tingkat pendidikan ibu.

2.4.3 Paritas

Paritas merupakan faktor risiko yang memengaruhi perdarahan postpartum primer. Pada paritas yang
rendah (paritas 1) dapat menyebabkan ketidaksiapan ibu dalam menghadapi persalinan sehingga ibu
hamil tidak mampu dalam menangani komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas.
Sedangkan semakin sering wanita mengalami kehamilan dan melahirkan (paritas lebih dari 3) maka
uterus semakin lemah sehingga besar risiko komplikasi kehamilan (Manuaba, 1998).

Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut perdarahan pascapersalinan yang dapat
mengakibatkan kematian maternal. Paritas satu dan paritas tinggi (lebih dari tiga) mempunyai angka
kejadian perdarahan pascapersalinan lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal.
Risiko pada paritas Universitas Sumatera Utara

1 dapat ditangani dengan asuhan obstetrik yang lebih baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat
dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak
direncanakan (Wiknjosastro, 2005).

Menurut penelitian Herianto (2003) bahwa paritas lebih dari 3 bermakna sebagai faktor risiko yang
memengaruhi perdarahan postpartum primer (OR=2,87; 95% CI 1,23;6,73). Penelitian Miswarti (2007)
menyatakan proporsi ibu yang mengalami perdarahan postpartum primer dengan paritas 1 sebesar
12%, paritas 2-3 sebesar 40% dan paritas lebih dari 3 sebesar 48%, serta terdapat hubungan yang
signifikan antara paritas dengan perdarahan postpartum primer. Demikian juga dengan penelitian
Milaraswati (2008) menyatakan bahwa proporsi ibu yang mengalami perdarahan postpartum primer
dengan paritas >4 yaitu 69% dan didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara paritas dengan
perdarahan postpartum primer.
2.4.4 Jarak Antar Kelahiran

Jarak antar kelahiran adalah waktu sejak kelahiran sebelumnya sampai terjadinya kelahiran berikutnya.
Jarak antar kelahiran yang terlalu dekat dapat menyebabkan terjadinya komplikasi kehamilan. Menurut
Moir dan Meyerscough (1972) yang dikutip Suryani (2008) menyebutkan jarak antar kelahiran sebagai
faktor predisposisi perdarahan postpartum karena persalinan yang berturut-turut dalam jangka waktu
yang singkat akan mengakibatkan kontraksi uterus menjadi kurang baik. Selama kehamilan berikutnya
dibutuhkan 2-4 tahun agar kondisi tubuh ibu kembali seperti kondisi sebelumnya.

Bila jarak antar kelahiran dengan anak sebelumnya kurang dari 2 tahun, rahim dan kesehatan ibu belum
pulih dengan baik. Kehamilan dalam keadaan ini perlu diwaspadai karena ada kemungkinan terjadinya
perdarahan pasca persalinan.

Menurut penelitian Yuniarti (2004) proporsi kasus dengan jarak antar kelahiran kurang dari 2 tahun
sebesar 41% dengan OR jarak antar kelahiran 2,82. Hal ini berarti ibu yang memiliki jarak antar kelahiran
kurang dari 2 tahun berisiko 2,82 kali mengalami perdarahan pasca persalinan.

2.4.5 Riwayat Persalinan Buruk Sebelumnya

Riwayat persalinan di masa lampau sangat berhubungan dengan hasil kehamilan dan persalinan
berikutnya. Bila riwayat persalinan yang lalu buruk petugas harus waspada terhadap terjadinya
komplikasi dalam persalinan yang akan berlangsung. Riwayat persalinan buruk ini dapat berupa abortus,
kematian janin, eklampsi dan preeklampsi, sectio caesarea, persalinan sulit atau lama, janin besar,
infeksi dan pernah mengalami perdarahan antepartum dan postpartum.

Menurut Sulistiowati (2001) yang dikutip Suryani (2008), bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara riwayat persalinan buruk sebelumnya dengan perdarahan pasca persalinan dan menemukan OR
2,4 kali pada ibu yang memiliki riwayat persalinan buruk dibanding dengan ibu yang tidak memiliki
riwayat persalinan buruk. Universitas Sumatera Utara

2.4.6 Anemia

Menurut World Health Organization (WHO) anemia pada ibu hamil adalah kondisi dengan kadar
hemoglobin (Hb) dalam darahnya kurang dari 11,0 gr%.

Volume darah ibu hamil bertambah lebih kurang sampai 50% yang menyebabkan konsentrasi sel darah
merah mengalami penurunan. Bertambahnya sel darah merah masih kurang dibandingkan dengan
bertambahnya plasma darah sehingga terjadi pengenceran darah. Perbandingan tersebut adalah plasma
30%, sel darah 18% dan haemoglobin 19%. Keadaan ini tidak normal bila konsentrasi turun terlalu
rendah yang menyebabkan hemoglobin sampai <11 gr%. Meningkatnya volume darah berarti
meningkatkan pula jumlah zat besi yang dibutuhkan untuk memproduksi sel-sel darah merah sehingga
tubuh dapat menormalkan konsentrasi hemoglobin sebagai protein pengankut oksigen (Winkjosastro,
2000).
Anemia dapat mengurangi daya tahan tubuh ibu dan meninggikan frekuensi komplikasi kehamilan serta
persalinan. Anemia juga menyebabkan peningkatan risiko perdarahan pasca persalinan. Rasa cepat lelah
pada penderita anemia disebabkan metabolisme energi oleh otot tidak berjalan secara sempurna karena
kekurangan oksigen. Selama hamil diperlukan lebih banyak zat besi untuk menghasilkan sel darah merah
karena ibu harus memenuhi kebutuhan janin dan dirinya sendiri dan saat bersalin ibu membutuhkan
hemoglobin untuk memberikan energi agar otot-otot uterus dapat berkontraksi dengan baik.

Pemeriksaan dan pengawasan hemoglobin dapat dilakukan dengan menggunakan alat sahli. Hasil
pemeriksaan dengan alat sahli dapat digolongkan sebagai berikut (Manuaba, 1998) :

1. Hb > 11,0 gr% disebut tidak anemia

2. Hb 9,0 gr% - 10,9 gr% disebut anemia ringan

3. Hb 7,0 gr% - 8,9 gr% disebut anemia sedang

4. Hb < 6,9 gr% disebut anemia berat


TEKHNIK PENJAHITAN LUKA
PERINEUM
1. DEFINISI
Penjahitan luka adalah suatu tindakan untuk mendekatkan tepi luka dengan benang sampai
sembuh dan cukup untuk menahan beban fisiologis (Santoso, 2005).
Ruptur perineum adalah robekan yang terjadi pada perineum sewaktu persalinan (Mohtar, 1998).

2. TUJUAN
a. Untuk mendekatkan jaringan-jaringan perlukaan sehingga proses penyembuhan bisa terjadi,
proses penyembuhan itu bukanlah hasil dari penjahitan tersebut tetapi hasil dari pertumbuhan
jaringan.
b. Untuk menghentikan perdarahan

3. DERAJAT LASERASI
a. Derajat I: laserasi mengenai mukosa vagina dan kulit perineum, tidak perlu dijahit.
b. Derajat II: laserasi mengenai mukosa vagina, kulit perineum dan jaringan otot perineum
c. Derajat III: laserasi mengenai mukosa vagina, kulit perineum, jaringan otot perineum dan otot
spinkter ani.
d. Derajat IV: laserasi mengenai mukosa vagina, kulit perineum, jaringan perineum dan otot
spinkter ani yang meluas hingga dinding depan rektum.
Bila laserasi jalan lahir berada pada derajat III dan IV: Rujuk segera

4. ALAT DAN BAHAN PENJAHITAN

a. Bak instrumen berisi :


- Nald folder (Needle holder) 1 buah
- Suture Needle dari bentuk 2/3 circle `1 buah
- Pincet 1 buah
- Benang
- Kasa steril
- Tampon
- Spuit 5 ml 1 buah
- Duk steril

b. Bahan lain :
- Anestesi lokal lidokain 1% : 2 buah
- Sarung tangan steril 1 buah
- Cairan desinfektan povidon iodin 10% dalam kom kecil
- Kapas DDT
- Lampu sorot
- Neirbeken
5. Langkah-langkah hecting perineum

5.1 Persiapan ibu


a. Atur posisi bokong ibu pada posisi litotomi di tepi tempat tidur
b. Pasang duk steril di bawah bokong ibu
c. Atur lampu sorot atau senter ke arah vulva ibu
d. Letakkan neirbeken di dekat ibu
e. Pastikan tangan tidak memakai perhiasan, cuci tangan dengan sabun dan air mengalir
f. Pakaian satu sarung tangan DTT pada tangan kanan
g. Ambil spuit dengan tangan yang berasarung tangan, isi tabung suntik dengan lidokain dan
letakkan kembali ke dalam wadah DTT
h. Lengkapi pemakaian sarung tangan pada tangan kiri
i. Bersihkan vulva dan perineum dengan kapas DTT dengan gerakan satu arah dari vulva ke
perineum
j. Periksa vagina, servik dan perineum secara lengkap, pastikan bahwa laserasi hanya merupakan
derajat satu atau dua.

5.2 Persiapan Anestesi


a. Beritahu ibu tentang apa yang akan dilakukan
b. Tusukkan jarum suntik pada daerah kamisura posterior yaitu bagian sudut bawah vulva
c. Lakukan aspirasi untuk memastikan tidak ada darah yang terhisap
d. Suntikan anestesi sambil menarik jarum suntik pada tepi luka daerah perineum
e. Tanpa menarik jarum suntik keluar dari luka arahkan jarum suntik sepanjang luka pada mukosa
vagina
f. Lakukan langkah 2-5 diatas pada kedua tepi robekan
g. Tunggu 1-2 menit sebelum melakukan penjahitan

5.2 Penjahitan Perineum


a. Buat jahitan pertama kurang lebih 1 cm diatas ujung laserasi di mukosa vagina. Setelah itu buat
ikatan dan potong pendek benang dari yang lebih pendek. Sisakan benang kira-kira 1 cm.
b. Tutup mukosa vagina dengan jahitan jelujur, jahit ke bawah ke arah cincin himen
c. Tepat sebelum cincin himen, masukkan jarum ke dalam mukosa vagina lalu ke belakang cincin
himen sampai jarum ada di bawah laserasi kemudian ditarik keluar pada luka perineum
d. Gunakan teknik jelujur saat menjahit lapisan otot. Lihat kedalam luka untuk mengetahui letak
ototnya.
e. Setelah dijahit sampai ujung luka, putarlah jarum dan mulailah menjahit kearah vagina dengan
menggunakan jahitan subkutikuler
f. Pindahkan jahitan dari bagian luka perineum kembali ke vagina di belakang cincin hymen untuk
diikat dengan simpul mati dan dipotong benangnya
g. Masukkan jari ke dalam rektum
h. Periksa kembali
i. Cuci area genital dan kompres dengan kasa betadin

6. JENIS-JENIS BENANG
6.1 Benang yang dapat diserap (Absorbable Suture )
a. Alami ( Natural):
1. Plain Cat Gut : dibuat dari bahan kolagen sapi atau domba.
Benang ini hanya memiliki daya serap pengikat selama 7 - 1 9 hari dan akan diabsorbsi secara
sempurna dalam waktu 70 hari.
2. Chromic Cat Gut dibuat dari bahan yang sama dengan plain cat gut, namum dilapisi dengan
garam Chromium untuk memperpanjang waktu absorbsinya sampai 90 hari.

b. Buatan (Synthetic)
Benang- benang yang dibuat dari bahan sintetis, seperti Polyglactin (merk dagang Vicryl atau
Safil), Polyglycapron merk dagang Monocryl atau Monosyn), dan Polydioxanone (merk dagang
PDS II). Benang jenis ini memiliki daya pengikat lebih lama, yaitu 2-3 minggu, diserap secara
lengkap dalam waktu 90-120 hari.

6.2 Benang yang tak dapat diserap (nonabsorbable suture)


a. Alamiah (Natural)
Dalam kelompok ini adalah benang silk ( sutera ) yang dibuat dari protein organik bernama
fibroin, yang terkandung di dalam serabut sutera hasil produksi ulat sutera.

b. Buatan (Synthetic)
Dalam kelompok ini terdapat benang dari bahan dasar nylon (merk dagang Ethilon atau
Dermalon). Polyester ( merk dagang Mersilene) dan Poly propylene ( merk dagang Prolene ).

7. JENIS DAN TEKHNIK PENJAHITAN KULIT


7.1 Simple Interupted Suture
Indikasi : Semua luka
Cara:
a. Jarum ditusukkan pada kulit sisi pertama dengan sudut sekitar 90°, masuk subkutan terus ke sisi
kulit lainnya
b. Lebar dan kedalaman jaringan kulit dan subkutan diusahakan agar tepi luka yang dijahit dapat
membuka ke arah luar (everted)
c. Dibuat simpul benang dengan memegang jarum dan benang diikat
d. Penjahitan dilakukan dari ujung luka ke ujung luka lainnya
1.1 Continue
Indikasi: Luka pada persendian
Luka pada daerah yang tegangan besar
Teknik penjahitan ini dilakukan untuk mendapatkan eversi tepi luka dimana tepinya cenderung
mengalami invers, misalnya kulit yang tipis. Teknik ini dilakukan sebagai berikut:
a. Jarum ditusukkan jauh dari kulit sisi luka, melintasi luka dan kulit sisi lainnya, kemudian keluar
pada kulit tepi yang jauh, sisi yang kedua.
b. Jarum kemudian ditusukkan kembali pada tepi kulit sisi kedua secara tipis, menyeberangi luka
dan dikeluarkan kembali pada tepi dekat kulit sisi yang pertama.
c. Dibuat simpul dan benang diikat.

7.3 Subcuticuler Continuous Suture

Indikasi : Luka pada daerah yang memerlukan kosmetik


Kontra indikasi : jaringan luka dengan tegangan besar.
Pada teknik ini benang ditempatkan bersembunyi di bawah jaringan dermis
sehingga yang terlihat hanya bagian kedua ujung benang yang terletak di dekat kedua ujung luka
yang dilakukan sebagai berikut:
a. Tusukkan jarum pada kulit sekitar 1-2 cm dari ujung luka keluar di daerah dermis kulit salah satu
dari tepi luka.
b. Benang kemudian dilewatkan pada jaringan dermis kulit sisi yang lain, secara bergantian terus
menerus sampai pada ujung luka yang lain, untuk kemudian dikeluarkan pada kulit 1-2 cm dari
ujung luka yang lain.
c. Dengan demikian maka benang berjalan menyusuri kulit pada kedua sisi secara
paralel disepanjang luka tersebut.

Anda mungkin juga menyukai