Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 ASI Eksklusif

2.1.2 Pengertian ASI Eksklusif

ASI adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa, dan garam-

garam anorganik yang disekresi oleh kelenjar mammae ibu, sebagai makanan utama

bagi bayi. ASI menurut stadium laktasi adalah kolostrum, air susu transisi, dan air

susu matur (Taufan Nugroho, 2012)

Asi eksklusif merupakan suatu emulsi lemak dalam larutan, protein, laktosa,

dan garam-garam anorganik yang disekresi oleh kelenjar mamae ibu, yang berguna

bagi makanan bayi. Asi merupakan cairan putih yang dihasilkan oleh kelenjar

payudara ibu melalui proses menyusui. Secara alamiah, ia mampu menghasilkan ASI.

Dengan demikian, ASI merupakan makanan yang telah disiapkan untuk calon bayi

saat ibu mengalami kehamilan. Semasa kehamilan payudara ibu menyiapkan

produksi ASI tersebut (Siti Nur Khamzah 2012).


2.1.2 Mekanisme Produksi ASI dan Proses Laktasi

ASI diproduksi dalam alveoli, jaringan disekeliling saluran-saluran ASI dan

alveoli terdiri dari jairngan lemak dan jaringan pengikat yang turut menentukan

ukuran payudara. Selama masa kehamilan, payudara membesar 2-3 kali ukuran

normal. Saat itu,saluran-saluran air susu beserta alveoli dipersiapkan untuk masa

laktasi..

ASI dalam istilah kesehatan adalah dimulai dari proses laktasi. Laktasi

adalah keseluruhan proses menyusui mulai dari ASI di produksi sampai proses bayi

menghisap dan menelan ASI. Saat melahirkan, laktasi dikontrol oleh dua macam

reflex. Refleks produksi ASI (Milk production reflex). Bila bayi mengisap putting

payudara, maka akan diproduksi suatu hormone yang disebut prolaktin yang

berfungsi untuk mengaatur sel-sel dalam alveoli agar memproduksi air susu. Reflex

mengeluarkan (let down reflex), isapan bayi juga merangsang produksi hormone

oxytocin yang membuat sel-sel otot disekitar alveoli berkontraksi, sehingga air susu

masuk menuju putting payudara.

Selama kehamilan, hormon prolaktin dari plasenta meningkat tetapi ASI

biasanya belum keluar karena masih dihambat oleh kadar estrogen yang tinggi. Pada

hari kedua atau ketiga pascapersalinan, kadar estrogen dan progestrogen turun

drastis, sehingga pengaruh prolaktin lebih dominan dan pada saat inilah mulai
terjadi sekresi ASI. Dengan menyusukan lebih dini terjadi perangsangan puting susu,

terbentuklah prolaktin oleh hipofisis, sehingga sekresi ASI semakin lancar.

Dua refleks pada ibu yang sangat penting dalam proses laktasi yaitu refleks

aliran timbul akibat perangsangan puting susu oleh hisapan bayi.

1. Refleks Prolaktin

Sewaktu bayi menyusui, ujung saraf peraba yang terdapat pada puting susu

terangsang. Rangsangan tersebut oleh serabut afferent dibawa ke hipotalamus di dasar

otak, lalu memacu hipofise anterior untuk mengeluarkan hormon prolaktin

kedalam darah. Melalui sirkulasi prolaktin memacu sel kelenjar (alveoli) untuk

memproduksi air susu. Jumlah prolaktin yang disekresi dan jumlah susu yang

diproduksi berkaitan dengan stimulus isapan, yaitu frekuensi intensitas dan lamanya

bayi mengisap.

2. Refleks Aliran (Let Down Refleks)

Rangsangan yang ditimbulkan oleh bayi saat menyusu selain mempengaruhi

hipofise anterior mengeluarkan hormon prolaktin juga mempengaruhi hipofise

posterior mengeluarkan hormon oksitosin. Dimana setelah oksitosin dilepas ke dalam

darah akan memacu otot-otot polos yang mengelilingi alveoli dan duktulus, dan sinus

menuju puting susu. Beberapa refleks yang memungkinkan bayi baru lahir untuk

memproleh ASI adalah sebagai berikut.


a) Refleks menangkap (rooting refleks), Refleks ini memungkinkan bayi baru lahir

untuk menemukan puting susu apabila ia diletakkan di payudara ibu.

b) Refleks mengisap (sucking reflex), Yaitu saat bayi mengisi mulutnya dengan

puting susu atau pengganti puting susu sampai ke langit keras dan punggung

lidah. Refleks ini melibatkan lidah, dan pipi.

c) Refleks menelan (swallowing reflex), Yaitu gerakan pipi dan gusi dalam menekan

areola, sehingga refleks ini merangsang pembentukan rahang bayi (Taufan

Nugroho, 2011).

2.1.3 Kandungan ASI

Secara umum, ASI mengandung komponen mikro dan makro nutrient. Komponen

makronutrien dalam ASI antara lain karbohidrat, protein, dan lemak. Sedangkan

kandungan mikronutrien dalam ASI adalah vitamin dan mineral (Siti Nur Khamzah,

2012).

1. Karbohidrat

Karbohidrat dalam ASI berbentuk laktosa (gula susu) yang jumlahnya lebih

banyak dibandingkan PASI. Rasio jumlah laktosa dalam ASI dan PASI adalah

7:4, sehingga ASI terasa lebih manis dibandingkan PASI. Laktosa diperlukan

untuk pertumbuhan otak dan pengembangan jaringan otak (galaktosa dan

glukosa).
2. Mineral

ASI mengandung 88,1% air, sehingga ASI yang diminum bayi sudah

mencukupi kebutuhan dan sesuai dengan kesehatan bayi. Zat besi dan kalsium

dalam ASI merupakan mirenal yang sangat stabil dan mudah diserap tubuh.

Sekitar 75% dari zat besi yang terdapat dalam ASI dapat diserap oleh usus dan

zat besi yang bisa terserap dalam PASI hanya berjumlah sekitar 5-10%.

3. Protein

Protein utama ASI adalah whey lebih mudah dicerna, sedangkan protein susu

sapi adalah casein yang cenderung lebih susah dicerna oleh usus bayi.

Perbandingan casein dan whey dalam ASI adalah 35:65 sedangkan dalam susu

sapi 80:20.

4. Taurin, DHA, dan AA

Taurin adalah sejenis asam amino kedua yang terbanyak didalam ASI yang

berperan penting dalam pematangan sel otak. Kekurangan taurin dapat

menyebabkan gangguan pada retina mata.

DHA (decosahexoid acid) dan AA (arachidonic acid) adalah asam lemat tak

jenuh yang diperlukan untuk pembentukan sel-sel otak secara optimal. Asam

lemak ini juga berguna dalam proses myelinisasi, yaitu pembentukan selaput

khusu dalam saraf otak yang dapat mempercepat alur kerja saraf.

5. Zat Kekebalan Tubuh

ASI mengandung immunoglobulin dan sel-sel darah putih hidup yang

diperlukan untuk membantu kekebalan tubuh bayi. ASI juga mengandung


factor bifidus yang berperan penting merangsang bakteri Lactobacillus bifidus

yang membantu melindungi usus bayi dari peradangan atau infeksi akibat

bakteri seperti E.colli.

6. Laktoferin dan Lisosom

Laktoferin adalah pengangkut zat besi dalam darah yang berfungsi untuk

menghasilkan vitamin dalam usus, sedangkan Lisosom adalah antibiotic alami

yang berfungsi untuk menghancurkan bakteri berbahaya (Rika Riksani, 2012).

2.1.4 Manfaat ASI

Secara Biologis, ASI mengandung bahan-bahan tertentu yang sesuai dengan

kebutuhan bayi. ASI bervariasi setiap harinya, tergantung kepada makanan dan

minuman yang di makan oleh ibu, adapun demikian, ASI sangat besar manfaatnya

untuk bayi maupun ibu.

1. Bagi Bayi

a) Dapat membantu memulai kehidupannya dengan baik. Ketika bayi berusia 6-

12 bulan, ASI bertindak sebagai makanan utama bayi, karna mengandung

lebih dari 60% kebutuhan bayi. Bayi yang mendapatkan ASI mempunyai

kenaikan berat badan yang baik setelah lahir, frekuinsi menyusuin yang sering

(tidak dibatasi ) juga dibuktikan bermanfaat karena volume ASI yang

dihasilkan lebih banyak sehinggga penurunan berat badan bayi hanya sedikit.
b) Mengandung anti bodi. Bayi yang diberi ASI lebih kebal terhadap penyakit

dibandingkan bayi yang tidak memperoleh ASI. Apabila ibu mendapat infeksi

maka tubuh ibu akan membentuk anti bodi dan akan disalurkan dengan

bantuan jaringan linposit. Anti bodi di payudara disebut mammae associated

immunocompten lymphoid tissue (MALT). Kekebalann trhadap saluran

pernapasan yang di transfer disebut Bronchus associated immunocompten

lymphoid tissue (BALT) dan untuk penyakit saluran pencernaan di transfer

melalui gut associated immunocompten lymphoid tissue (GALT) selain itu

didalam ASI juga terdapat anti bodi terhadap bakteri E.coli, anti bodi terhadap

salmonella typhi, shigl dan anti bodi terhadap virus, seperti rota virus, polio

dan campak.

c) Mengurangi kejadian karies dentis, karena kebiasaan menyusui dengan botol

dan dot terutama pada waktu akan tidur menyebabkan gigi lebih lama kontak

dengan susu formula dan menyebabkan asam yang terbentuk akan merusak

gigi.

d) Memberi rasa nyaman dan aman pada bayi dan adanya ikatan antara ibu dan

bayi, hubungan fisik ibu dan bayi baik untuk perkembangan bayi, kontak kulit

ibu ke kulit bayi yang mengakibatkan perkembangan psikomotor maupun

social yang lebih baik. Selain itu, hormon yang terdapat dalam ASI dapat

menciptakan rasa kantuk dan nyaman. Hal ini dapat membantu menenangkan

bayi dan membuat bayi tertidur.


e) Mencegah gangguan mental dan prilaku. Anak-anak yang mendapat ASI

cenderung tidak menderita masalah kesehatan prilaku atau mental daripada

anak-anak yang tidak mendapat ASI. Menurut survey nasional data kesehatan

dinyatakan anak-anak yang kurang mendapatkan ASI akan didiagnosis

sebagai anak yang tidak peduli denngan prilaku dirinya. Karena menurut

peneliti jerman, menyusui mengidentifikasi kualitas hubungan ibu-bayi dan

aspek lain yang melindungi anak.

f) Terhindar dari alergi, pada bayi baru lahir system IgE belum sempurna.

Pemberian susu formula akan merangsang aktivasi system ini dan dapat

menimbulkan alergi. ASI tidak menimbulkan efek ini. Pemberian protein

asing yang ditunda sampai umur 6 bulan akan mengurangi kemungkinan

alergi.

g) ASI meningkatkan kecerdasan bayi. IQ pada bayi yang memperoleh ASI lebih

tinggi 7-9 poin ketimbang bayi yang tidak diberi ASI. Berdasarkan hasil

penelitian pada tahun 1997, kepandaian anak yang diberi Asi pada usia 9

tahun mencapai 12,9 poin lebih tinggi daripada anak yang minum susu

formula. Ini disebabkan karena lemak pada ASI mengandung OMEGA 3

untuk pematangan sel-sel otak sehingga jaringan otak bayi yang mendapat

ASI eksklusif akan tumbuh optimal dan terbebas dari rangsangan kejang.

h) Membantu perkembangan rahang dan merangsang pertumbuhan gigi kerana

gerakan menghisap bayi pada payudara.


2. Bagi Ibu

a) Aspek kontrasepsi, hisapan mulut bayi pada putting susu merangsang ujung

saraf sensorik sehingga post anterior hipofise mengeluarkan prolaktin.

Prolaktin masuk ke indung telur, menekan produksi estrogen akibatnya tidak

ada evulasi. Menjarangkan kehamilan, pemberian ASI memberikan 98%

metode kontrasepsi yang efesien selama 6 bulan pertama sesudah kelahiran

bila di berikan ASI eksklusif dan belum terjadi menstruasi kembali.

b) Aspek kesehatan ibu, isapan bayi pada payudara akan merangsang oksitosin

oleh kelenjar hipofisi. Oksitosin membantu involusi uterus dan mencegah

terjadinya perdahan pasca persalinan. Resiko terkena kangker rahim dan

kangker payudara pada ibu yang menyusui juga lebih rendah. Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa menyusui akan mengurangi kemungkinan

terjadinya kanker payudara Pada umumnya bila semua wanita dapat

melanjutkan menyusui sampai bayi berumur 2 tahun atau lebih, diduga angka

kejadian kanker payudara akan berkurang sampai sekitar 25%. Beberapa

penelitian menemukan juga bahwa menyusui akan melindungi ibu dari

penyakit kanker indung telur. Salah satu dari penelitian ini menunjukkan

bahwa risiko terkena kanker indung telur pada ibu yang menyusui berkurang

sampai 20-25%.

c) Aspek penurunan berat badan, isapan bayi akan menyebabkan Proses

pengecilan rahim lebih cepat dibandingakan dengan ibu yang tidak menyusui,

ini dikarenakan isapan bayi yang dapat merangsang oksitosin. Sehingga


kondisi ibu untuk kembali kemasa prakehamilan lebih cepat, lemak disekitar

panggul dan paha yang ditimbun pada masa kehamilan berpindah kedalam

ASI, sehingga ibu lebih cepat langsing kembali. Pada saat hamil, berat badan

bertambah berat, selain karena ada janin, juga karena penimbunan lemak pada

tubuh. Cadangan lemak ini sebetulnya memang disiapkan sebagai sumber

tenaga dalam proses produksi ASI. Sehingga ketika menyusui, tubuh akan

menghasilkan ASI lebih banyak lagi sehingga timbunan lemak yang berfungsi

sebagai cadangan tenaga akan terpakai dan berat badan ibu cepat kembali ke

keadaan seperti sebelum hamil.

d) Aspek psikologis, keuntungan menyusui bukan hanya bermanfaat untuk bayi,

tetapi juga untuk ibu. Ibu akan merasa bangga dan diperlakukan, rasa yang

dibutuhkan oleh semua manusia.

3. Bagi keluarga

a) Aspek ekonomi, ASI tidak perlu dibeli, sehingga dana yang seharusnya

digunakan untuk membeli susu formula dapat digunakan untuk keperluan lain.

Selain itu bayi yang diberi ASI juga jarang sakit sehingga mengurangi biaya

berobat.

b) Aspek psikologis, kebahagian keluarga bertambah, karena kelahiran lebih

jarang sehingga suasana kejiwaan ibu baik dan dapat mendekatkan hubungan

bayi dengan keluarga.

c) Aspek kemudahan, menyusui sangat praktis, karena dapat diberikan kapan

saja dan dimana saja.


4. Bagi Negara

a) Menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi, adanya factor protektif dan

nutrisi yang sesuai dalam ASI menjamin status gizi bayi serta kesakitan dan

kematian anak menurun. Beberapa penelitian epidemioloogis menyatakan

bahwa ASI melindungi bayi dan anak dari penyakit infeksi.

b) Menghemat devisa Negara, jika semua ibu menyusui diperkirakan dapat

mengeham devisa Negara yang seharusnya dipakai untuk membeli susu

formula.

c) Mengurangi subsidi untuk rumah sakit, karena rawat gabung akan

memperpendek lama rawat ibu dan bayi, mengurangi komplikasi persalinan

dan infeksi nosokomial serta mengurangi biaya yang diperlukan untuk

perawatan anak sakit.

d) Peningkatan kualitas generasi penerus, anak yang mendapat ASI dapat

tumbuh kembang secara optimal sehingga kualitas generasi penerus bangsa

akan terjamin.

2.1.5 Faktor-Faktor Terkait Pemberian ASI Eksklusif

a. Umur

Derajat kesehatan seorang individu yang berkaitan dengan alat-alat

reproduksinya dipengaruhi oleh usia. Menurut Warsini (2009), usia reproduksi yang

aman adalah pada rentang usia 20-35 tahun. Martadisoebrata (dalam Hidajati 2012)

mengatakan, perempuan yang berumur < 20 tahun dianggap masih belum matang
secara fisik, mental, dan psikologi dalam menghadapi pemberian ASI secara eksklusif

pada bayinya. Sedangkan perempuan yang melahirkan diatas umur 35 tahun termasuk

beresiko, karena erat kaitannya dengan anemia gizi yang dapat mempengaruhi

produksi ASI sehingga akan lebih banyak menemukan kendala seperti produksi ASI

kurang dan mudah lelah (Arini, 2012). Hasil penelitian Scott, et al (2009) di Perth

Australia menyatakan ibu yang termasuk dalam kelompok umur > 35 tahun memiliki

resiko sebesar 1,78 kali lebih besar untuk tidak memberikan ASI eksklusif

dibandingkan dengan ibu yang berumur < 35 tahun.

Hasil penelitian Hilala (2014) di Kabupaten Gorontalo menyatakan bahwa

terdapat hubungan antara usia ibu dengan pemberian ASI eksklusif. Hasil penelitian

Soeparmanto (2001) dalam Yamin (2007) menunjukkan bahwa semakin bertambah

usia ibu semakin kecil kemungkinan untuk memberikan ASI Eksklusif. Menurut

penelitian yang dilakukan oleh Yamin (2007), tidak semua ibu mempunyai

kemampuan yang sama dalam menyusui karena rata-rata ibu yang lebih muda mampu

menyusui lebih baik daripada ibu yang lebih tua.

b. Pendidikan

Pendidikan adalah proses perubahan sikap dan perilaku seseorang atau

kelompok dan merupakan usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran

dan pelatihan (Budiman & Riyanto, 2013). Semakin tinggi pendidikan seseorang
maka semakin capat menerima dan memahami suatu informasi sehingga pengetahuan

yang dimiliki juga semakin tinggi (Sriningsih, 2011).

Hasil penelitian Ransum, et al (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan yang

bermakna antara pendidikan ibu dengan praktek pemberian ASI eksklusif. Ibu yang

berpendidikan tinggi lebih banyak memberikan ASI eksklusif pada bayinya dimana

sekitar 40,9% sedangkan ibu yang berpendidikan rendah hanya 3,6%. Hasil penelitian

Ulfah (2014) juga menyatakan ada hubungan pendidikan ibu dengan pemberian ASI

eksklusif, responden dengan tingkat pendidikan SLTP/sederajat berjumlah 18 orang

(24,6%) yang terdiri dari 8 orang (10,9%) tidak memberikan ASI eksklusif dan 10

orang (13,6%) lainnya memberikan ASI eksklusif serta responden dengan tingkat

pendidikan ibu lulus SMA/sederajat atau lebih tinggi berjumlah 42 orang (57,5%)

yang terdiri dari 30 orang (41,0%) memberikan ASI eksklusif dan 12 orang (16,4%)

tidak memberikan ASI eksklusif.

a. Psikologis

Ibu yang merasakan cemas, stress dan tidak percaya diri akan mengurangi atau

menghilangkan sekresi susu karena akan mempengaruhi produksi hormon yang

berperan dalam proses menyusui (Margawati & Josefa, 2011).

Aktivasi menyusui bayi dapat membentuk ikatan batin yang kuat antara ibu dan

bayi, selain itu perasaan aman dan tenang juga dapat dirasakan. ASI tidak hanya

memenuhi kebutuhan nutrisi bayi. Saat menyusui, terjalinlah ikatan psikologis antara
ibu dan bayi, proses ini desebut bonding. jika kondisi ini terus dipertahankan hingga

bayi berusia 2 tahun, pertumbuhan dan perkembangannya lebih cepat dan sehat.

2.2 Ibu Menyusui

2.2.1 Pengertian Menyusui

Menyusui adalah cara optimal dalam memberikan nutrisi bagi bayi dengan

penambahan makanan pelengkap pada tahun pertama, kebutuhan nutrisi, imonologi

dan psikososial dapat terpenuhi hingga tahun kedua dan tahun- tahun berikutnya

(Varney,2007).

Ibu menyusui adalah ibu yang memberikan air susu kepada bayi dari buah

dada (Kamus Besar Bahasa Indonesia). ASI adalah cairan putih yang dihasilkan oleh

kelenjar payudara ibu melalui proses menyusui. ASI diproduksi dalam kelenjar-

kelenjar susu tersebut, kemudian ASI masuk ke dalam saluran penampungan ASI

dekat puting melalui saluran-saluran air susu (ductus), dan akan disimpan sementara

dalam penampungan sampai tiba saatnya bayi mengisapnya melalui puting payudara

(Nur Khasanah, 2011).

2.2.2 Berat Badan Ibu Menyusui

Berat Badan adalah parameter antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan

normal, di mana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan anatara konsumsi dan

kebutuhan zat gizi terjamin, berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur.
Sebaliknya dalam keadaan yang abnormal, terdapat dua kemungkinan perkembangan

berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal.

Berat badan harus selalu dimonitor agar memberikan informasi yang memungkinkan

intervensi gizi yang preventif sedini mungkin guna mengatasi kecenderungan

penurunan atau penambahan berat badan yang tidak dikehendaki. Berat badan harus

selalu dievaluasi dalam konteks riwayat berat badan yang meliputi gaya hidup

maupun status berat badan yang terakhir. Penentuan berat badan dilakukan dengan

cara menimbang (Anggraeni, 2012)..

Sebagian besar ibu setelah melahirkan mengalami kenaikan berat badan

sampai terjadi obesitas. Obesitas yang terjadi pada wanita disebabkan oleh faktor

sosial, ekonomi, lingkungan, dan faktor reproduksi. Perubahan fisiologi yang terjadi

pasca melahirkan, masa kehamilan dan menyusui menyebabkan terjadinya obesitas

pada ibu. Penelitian di Amerika Serikat menyatakan berat badan yang tidak segera

turun pasca melahirkan menyebabkan terjadinya obesitas pada ibu. Peningkatan kasus

obesitas wanita di negara berkembang seperti yang terjadi di Negara India meningkat

dari 21,8% tahun 1998-1999 menjadi 28,9% tahun 2005-2006. Penelitian yang

dilakukan oleh Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) tahun 2004

mendapatkan prevalensi obesitas wanita sebesar 11,02%.


Menurut Christina (2007) setelah melahirkan ibu akan mengalami penurunan

berat badan secara alami antara 5,4 kg sampai 11,33 kg disebabkan proses kelahiran

dan menyusui. melahirkan akan menyebabkan ibu kehilangan berat badan selama

hamil sekitar 5-6kg akibat pengeluaran bayi, plasenta, air ketuban dan darah. Dimana

tubuh melakukan adaptasi fisiologis karena semua organ akan kembali seperti

sebelum hamil sejak satu jam plasenta lahir sampai 6 minggu post partum. Pada saat

ini terjadi lagi penurunan berat badan sebanyak 2-3 kg melalui pengeluaran lokhea,

dan involusi uteri. Sebagian besar ibu hamper mencapai kembali berate badan

sebelum hamil dalam 6 bulan setelah melahirkan (Hadiyono 2008).

Periode post partum atau masa nifas/menyusui pada ibu adalah masa dimana

seorang ibu yang baru melahirkan mengalami waktu penyembuhan dan perubahan

kembali ke waktu ke keadaan tidak hamil. Dalam masa menyusui, alat-alat

genitalia interna maupun eksterna akan berangsur-angsur pulih seperti keadaan

sebelum hamil. Untuk membantu mempercepat proses penyembuhan pada masa

nifas, maka ibu nifas membutuhkan diet yang cukup kalori dan protein,

membutuhkan istirahat yang cukup dan sebagainya.

2.2.3 Pengukuran Berat Badan

Pengukuran berat badan digunakan untuk menilai hasil peningkatan atau

penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh, misalnya tulang, otot, organ tubuh,

dan cairan tubuh sehingga dapat diketahui status gizi dan tumbuh kembang anak,
berat badan juga dapat digunakan sebagai dasar perhitungan dosis dan makanan yang

diperlukan dalam tindakan pengobatan. (Hidayat, 2008)

2.2.4 Indeks Massa Tubuh (IMT)

Indeks Massa tubuh merupakan pengukuran yang membandingkan berat dan

tinggi badan seseorang. Formula IMT digunakan diseluruh dunia sebagai alat

diagnosa untuk mengetahui berat badan yang underweight, normal, overweight dan

obesitas. Mengukur lemak tubuh secara langsung sangat sulit dan sebagai pengganti

dipakai Body Mass Index (BMI) atau Indeks Massa Tubuh (IMT) yaitu perbandingan

berat badan (dalam kilogram) dengan kuadrat tinggi badan (dalam

meter). Untuk usia lebih dari 20 tahun, menurut kriteria World Health Organization

(WHO) / International Association for the Study of Obesity (IASO) / International

Obesity Task Force (IOTF) dalam The Asia-Pasific Perspective : Redefining Obesity

and Its Treatment (2000) seperti dikutip oleh Sugondo (2007) untuk kawasan Asia

Pasifik. Berikut dapat dilihat pada table :

Tabel 2.2.4 Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan IMT menurut

kriteria Asia Pasifik

No IMT Klasifikasi
1. < 18,5 Kurus (Kurang)
2. 18,5 – 22,9 Normal (Ideal)
3. 23 – 29,9 Kelebihan (Overweight)
4. 30 – 34,9 Kegemukan (Obesitas) Tingkat I
5. 35 – 39,9 Kegemukan (Obesitas) Tingkat II
6. > 40 Kegemukan (Obesitas) Tingkat III
2.3 Overwight

Metabolisme energi di dalam tubuh manusia diatur oleh berbagai faktor, baik

yang menyebabkan meningkatnya penyimpanan energi, atau yang mendorong

pemakaian energi (Meutia, 2005). Pemakaian energi tubuh diatur dalam keadaan

seimbang. Bila energi yang masuk lebih besar dari energi yang keluar, kelebihan

energi tersebut akan disimpan dalam jaringan lemak.

Overweight didefinisikan sebagai peningkatan berlebihan jaringan lemak pada

otot dan jaringan skeletal (Dorlan, 2002). Overweight dikatakan jika IMT ≥ 23.

Secara ilmiah kelebihan berat badan (overweight) terjadi akibat mengonsumsi kalori

lebih banyak dari yang diperlukan oleh tubuh. Penyebab terjadinya ketidak

keseimbangan antara asupan dan pembakaran kalori ini belum dapat dijelaskan secara

pasti.

2.3.1 Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Overweight

Banyak faktor yang berperan dalam terjadinya obesitas yang sebagian besar

merupakan interkasi antara faktor genetic dengan faktor lingkungan, antara lain

aktivitas fisik, sosial ekonomi, dan nutrisi. Perubahan gaya hidup menyebabkan

terjadinya perubahan pengetahuan, sikap, perilaku, pol makan, serta pemilihan jenis

dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Selain itu perubahan gaya hidup juga

menurunkan frekuensi dan intensitas olahraga dan permainan yang mempergunakan


fisik pada anak digantikan dengan jenis permainan elektronik seperti video game

(Octari, 2014).

a. Faktor Genetik

Kegemukan cenderung diturunkan sehingga diduga memiliki penyebab genetic.

Anggota keluarga tidak hanya berbagi gen tetapi juga makanan dan kebiasaan gaya

hidup, yang bias mendorong terjadinya kegemukan. Penelitian terbaru menunjukkan

bahwa rata-rata faktor genetik memberikan pengaruh sebesar 33% terhadap berat

badan seseorang (Mumpuni, 2010). Menurut penelitian Haines et al (2007) dalam

Sartika (2011) Jika ayah dan/atau ibu menderita overweight maka kemungkinan

anaknya memiliki kelebihan berat badan sebesar 40-50 %.

b. Faktor Lingkungan

Lingkungan termasuk perilaku atau pola gaya hidup. Seseorang tidak dapat

mengubah pola genetiknya tetapi dia dapat mengubah pola makan dan aktivitasnya.

Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa anak-anak yang disekitar sekolahnya

terdapat restoran cepat saji atau fast food akan memiliki kecenderungan untuk jarang

mengomsumsi buah dan sayuran. Mereka lebih sering makan jenis fast food dan

minum-minuman bersoda bila terdapat satu restoran cepat saji didekat sekolah

mereka. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa restoran saji di sekitar sekolah

akan memengaruhi pola dan kebiasaan makan dari siswa di sekolah tersebut. Pada
akhirnya perubahan pola dan kebiasaan tersebut akan memengaruhi jumlah siswa

yang kelebihan berat badan atau overweight dan kegemukan atau obesitas.

c. Faktor Pola Makan

Mengomsumsi makanan yang mengandung karbohidrat, seperti gula, fruktosa,

soft drink, bir dan wine akan menyebabkan berat badan karena karbohidrat. Jenis ini

lebih muda diserap oleh tubuh. Para ahli menyebutkan bahwa orang yang makan

dalam jumlah sedikit dengan frekuensi 4-5 kali sehari memiliki kadar kolesterol dan

gula darah yang lebih rendah jika dibandingkan dengan frekuensi makannya kurang

dari itu.

d. Faktor Psikis

Apa yang ada di dalam pikiran seseorang dapat memengaruhi kebiasaan

makannya. Banyak orang memberikan reaksi terhadap emosinya dengan makan.

Orang gemuk sering kali mengatakan bahwa mereka cenderung makan lebih banyak

bila mereka tegang atau cemas. Dari hasil penelitian juga membuktikan

kebenarannya. Orang gemuk makan lebih banyak dalam situasi yang sangat

mencekam (McKenna, 1999) dalam (Mumpuni, 2010).

e. Faktor Aktivitas Fisik

Kurangnya aktivitas fisik kemungkinan merupakan salah satu penyebab utama

dari meningkatnya angka kegemukan di tengah masyarakat. Kurang gerak atau


olahraga menyebabkan seseorang kurang mengeluarkan energi. Pengeluaran energi

tergantung dari dua faktor, yaitu tingkat aktivitas dan olahraga secara umum dan

angka metabolisme basal atau tingkat energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan

fungsi minimal tubuh. Kurangnya olahraga secara tidak langsung akan

mempengaruhi turunnya metabolisme basal tubuh orang tersebut. Jadi, olahraga

sangat penting dalam penurunan berat badan tidak saja karena dapat membakar

kalori, melainkan juga karena dapat membantu mengatur fungsi metabolisme tubuh

secara normal.

2.4 Hipotesis

2.4.1 H1 diterima artinya ada Hubungan Pemberian ASI Esklusif Dengan Berat

Badan Ibu menyusui.

2.4.2 Ho ditolak aritnya tidak ada Hubungan Pemberian ASI Esklusif Dengan Berat

Badan Ibu menyusui.

2.5 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah alur penelitian yang memperhatikan variable-variabel

yang mempengaruhi dan yang dapat dipengaruhi. Berdasarkan kerangka konsep,

maka dapat diketahui variable independen dalam penelitian ini, pendidikan,


pekerjaan, paritas, dan budaya, sedangkan variable dependen yaitu ibu menyusui

secara eksklusif, diuraikan pada gambar sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Hubungan Pemberian
Perubahan Berat
ASI Eksklusif
Badan Pada Ibu

..

Anda mungkin juga menyukai