Anda di halaman 1dari 133

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

Dr. dr. Widiastuti, Sp.Rad(K)TR bekerja sebagai staf


pengajar FK UNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta dan
sekarang menjabat sebagai Ketua Program Studi
Program Pendidikan Dokter Spesialis-I (PPDS-I)
Radiologi.

ISBN 978-602-397-316-3

9 786023 973163
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id

KARSINOMA NASOFARING
Kadar Bcl-2, CD44 dan VEGF
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id

Sanksi Pelanggaran Pasal 113


Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987
Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982
Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran
hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin
Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran
hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin
Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran
hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id

DR. Dr. Widiastuti,Sp.Rad (K) TR

KARSINOMA NASOFARING
Kadar Bcl-2, CD44 dan VEGF

UNS PRESS
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id

KARSINOMA NASOFARING
Kadar Bcl 2, CD44 dan VEGF.
Hak Cipta @ Widiastuti. 2019

Penulis
DR. Dr. Widiastuti, Sp.Rad (K) TR

Editor
DR.Dr. Rita Budianti, SpRad (K).Onk Rad
DR.Dr.Made Setiamika, SpTHT KL
Dr. Djoko Susianto Sp.M

Ilustrasi Sampul
UNS PRESS

Penerbit dan Percetakan


Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press)
Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia 57126
Telp. (0271) 646994 Psw. 341 Fax. 0271 7890628
Website : www.unspress.uns.ac.id
Email : unspress@uns.ac.id

Cetakan 1, Edisi I, November 2019


Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
All Right Reserved

ISBN 978-602-397-316-3
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id

KATA PENGANTAR
DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNS

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Syukur Alhamdulillah dan selamat kami ucapkan kepada
penulis atas terbitnya buku dengan judul ”Karsinoma
Nasofaring: Kadar Bcl 2, CD44 dan VEGF”.
Karsinoma Nasofaring masih merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas keganasan kepala dan leher,
sehingga kita perlu mengetahui prediktor respons terapi paska
Radioterapi, melalui mekanisme perbedaan kadar ekspresi
protein Bcl-2, CD44 dan VEGF pada sel Karsinoma Nasofaring
respons tinggi dan respons rendah paska Radioterapi dan
mendapatkan indikator keberhasilan pengobatannya. Oleh
sebab itu saya menyambut baik terbitnya buku ini.
Disamping sebagai staf pengajar di Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret, penulis juga telah menyelesaikan
pendidikan S3 di Universitas Airlangga. Saat ini penulis
menjabat sebagai Ketua Program studi PPDS Radiologi RSUD
DR.Moewardi/Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.
Akhir kata saya ucapkan selamat dan saya sangat
berharap buku ini dapat menjadi suatu acuan untuk sejawat
dokter maupun siapa saja yang berminat. Semoga buku ini
membawa manfaat serta dapat menjadi amal penulis dan
mendapat Ridhlo dari Allah Subhanahu Wata’ala. Aamiin.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Dekan Fakultas Kedokteran


Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
DR.Reviono, Dr., SpP (K).

v
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id

PRAKATA

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah
yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala rakhmat
dan hidayah Nya, sehingga buku dengan judul ”Karsinoma
Nasofaring: Kadar Bcl 2, CD44 dan VEGF” dapat diterbitkan.
Karsinoma Nasofaring masih merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas keganasan kepala dan leher,
sehingga kita perlu mengetahui prediktor respons terapi paska
Radioterapi.
Buku ini mengungkapkan perihal mekanisme perbedaan
kadar ekspresi protein Bcl-2, CD44 dan VEGF pada sel
Karsinoma Nasofaring respons tinggi dan respons rendah
paska Radioterapi dan mendapatkan indikator keberhasilan
pengobatannya.
Penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis berusaha untuk melakukan
penambahan dan perubahan di masa mendatang agar supaya
penerbitan buku selanjutnya menjadi lebih baik.
Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada berbagai pihak atas bantuan, bimbingan, saran serta
dorongannya sehingga buku ini dapat diterbitkan.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Surakarta, November 2019

Penulis,
Widiastuti

vi
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DEKAN FALUTAS


KEDOKTERAN ................................................................... v
PRAKATA ....................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................... vii
DAFTAR TABEL .................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................. x
DAFTAR ISTILAH ............................................................... xv
DAFTAR SINGKATAN ...................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ........................................... 1
BAB II KARSINOMA NASOFARING ..................... 5
A. Definisi dan Aspek Klinis Karsinoma
Nasofaring ................................................. 5
B. Anatomi Nasofaring ................................. 7
C. Epidemiologi .............................................. 9
D. Etiologi ........................................................ 10
E. Terapi Radiasi pada KNF ......................... 26
F. Sistem Biomolekuler ................................. 60
G. Komponen Biomolekuler .......................... 64
BAB III. ILUSTRASI KASUS ILUSTRASI KASUS
KNF DI RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA ................................................... 71
A. Radioterapi .................................................. 73
B. Respons Sel Tumor (KNF) terhadap
Radioterapi ................................................ 72

vii
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id

BAB IV. EKSPRESI Bcl-2, CD44 dan VEGF PADA


KNF .................................................................. 75
A. Penilaian Volume Tumor Nasofaring
(VTN) ........................................................... 75
B. Penilaian Respons KNF ........................... 75
C. Pemeriksaan Imunohistokimia ................ 76
D. Protein Bcl-2, CD44, dan VEGF pada
penderita KNF pra-RT dan paska RT
kelompok respons tinggi dan respons
rendah ......................................................... 79
E. Data Uji Diskriptif Ekspresi Protein Bcl-
2, CD44 dan VEGF Pra-RT penderita
KNF Respons Tinggi dan Respons
Rendah paska-RT ...................................... 96
F. Analisis Diskriminan Ekspresi Bcl-2,
CD-44, dan VEGF pada penderita KNF
respons tinggi dan respons rendah
paska RT ..................................................... 101
G. Analisis Diskriminan Ekspresi Bcl-2,
CD-44 dan VEGF pada penderita KNF
respons rendah paska RT ........................ 102
H. Kesimpulan ................................................ 105
DAFTAR PUSTAKA ............................................................ 107

viii
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Rerata persentase ekspresi protein dan hasil


uji statistik masing-masing variabel pada
penderita KNF respons tinggi dan respons
rendah pra RT .................................................... 100
Tabel 4.2 Rerata persentase ekspresi protein dan hasil
uji statistik masing-masing variabel pada
penderita KNF respons tinggi dan respons
rendah paska RT .............................................. 100
Tabel 4.3 Standardized Canonical Discriminant
Function Coefficients ...................................... 101
Tabel 4.4 Functions at Group Centroids ......................... 102
Tabel 4.5 Rerata persentase ekspresi protein dan hasil
uji statistik masing-masing variabel pada
penderita KNF respons rendah paska RT ... 103
Tabel 4.6 Rerata persentase ekspresi protein dan hasil
uji statistik masing-masing variabel pada
penderita KNF respons rendah paska RT .... 104

ix
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Anatomi Nasofaring ............................. 8


Gambar 2.2. CT Scan nasofaring normal ................. 20
Gambar 2.3. CT Scan potongan aksial penderita
KNF ......................................................... 21
Gambar 2.4. CT Scan potongan aksial meng-
gambarkan KNF disertai nekrosis
sentral dan metastasis ke lnn serfikal
kiri ........................................................... 21
Gambar 2.5. Pria 25 tahun yang menjalani staging
MRI dan evaluasi dengan FDG PET/
CT dengan diagnosa karsinoma
nasofaring (panah) ............................... 22
Gambar 2.6. Berbagai jalur apotosis ........................ 63
Gambar 2.7. Proses sel KNF dihubungkan dengan
Bcl-2, CD-44, VEGF dan respons
terapi ....................................................... 69
Gambar 4.1a,b. Ekspresi negatif Protein Bcl-2 (a) dan
CD-44 (b) pada penderita KNF
dengan Pewarnaan IHK. Pembesaran
400x-Olympus BX 50 Model BX-50F-
3. Pentax Optio 230 Digital Camera
2.0 Megapixel ........................................ 78
Gambar 4.1c Ekspresi negative Protein VEGF (c)
pada penderita KNF dengan
pewarnaan IHK. Pembesaran 400 x-
Olympus BX 50 Model BX-50F-3.
Pentax Optio 230 Digital Camera 2.0
Megapixel .............................................. 79

x
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id

Gambar 4.2a,b Ekspresi Protein Bcl-2 pada penderita


KNF pra dan paska RT dengan
Pewarnaan IHK, pada kelompok
respons tinggi (respons lengkap).
Pembesaran 400x-Olympus BX 50
Model BX-50F-3. Pentax Optio 230
Digital Camera 2.0 Megapixel ............ 80
Gambar 4.3a,b Ekspresi Protein Bcl-2 pada penderita
KNF pra dan paska RT dengan
pewarnaan IHK, pada kelompok
respons rendah (respons sebagian).
Pembesaran 400x-Olympus BX 50
Model BX-50F-3. Pentax Optio 230
Digital Camera 2.0 Megapixel. ............ 81
Gambar 4.4a,b Ekspresi Protein Bcl-2 pada penderita
KNF pra dan paska RT dengan
pewarnaan IHK, pada kelompok
respons rendah (respons sebagian).
Pembesaran 400x-Olympus BX 50
Model BX-50F-3. Pentax Optio 230
Digital Camera 2.0 Megapixel ............ 82
Gambar 4.5a,b Ekspresi Protein Bcl-2 pada penderita
KNF pra dan paska RT dengan
Pewarnaan IHK, kelompok respons
rendah (progresif). Pembesaran 400x-
Olympus BX 50 Model BX-50F-3.
Pentax Optio 230 Digital Camera 2.0
Megapixel ............................................... 83

xi
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id

Gambar 4.6 Rerata Ekspresi protein Bcl-2 pada


penderita KNF kelompok respons
tinggi dan respons rendah pra-RT ..... 84
Gambar 4.7. Rerata Ekspresi protein Bcl`-2 pada
penderita KNF kelompok respons
tinggi dan respons rendah paska-RT 85
Gambar 4.8,a,b Ekspresi Protein CD-44 pada
penderita KNF pra dan paska RT
dengan Pewarnaan IHK, kelompok
respons tinggi (respons lengkap).
Pembesaran 400x-Olympus BX 50
Model BX-50F-3. Pentax Optio 230
Digital Camera 2.0 Megapixel ............ 86
Gambar 4.9a.b Ekspresi Protein CD-44 pada
penderita KNF pra dan paska RT
dengan Pewarnaan IHK, kelompok
respons rendah (respons sebagian).
Pembesaran 400x-Olympus BX 50
Model BX-50F-3. Pentax Optio 230
Digital Camera 2.0 Megapixel ............ 87
Gambar 4.10a,b. Ekspresi Protein CD-44 pada penderita
KNF pra dan paska RT dengan
Pewarnaan IHK, kelompok respons
rendah (tidak ada respons).
Pembesaran 400x-Olympus BX 50
Model BX-50F-3. Pentax Optio 230
Digital Camera 2.0 Megapixel ............... 88
Gambar 4.11a,b Ekspresi Protein CD-44 pada penderita
KNF pra dan paska RT dengan pe-
warnaan IHK, pada kelompok respons

xii
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id

rendah (progresif). Pembesaran 400x-


Olympus BX 50 Model BX-50F-3.
Pentax Optio 230 Digital Camera 2.0
Megapixel ............................................... 89
Gambar 4.12. Rerata Ekspresi protein CD-44 pada
penderita KNF pra-RT kelompok
respons tinggi dan respons rendah
paska RT ................................................ 90
Gambar 4.13. Rerata Ekspresi protein CD-44 pada
penderita KNF pra-RT kelompok
respons tinggi dan respons rendah
paska RT ................................................ 91
Gambar 4.14a,b. Ekspresi Protein VEGF pada
penderita KNF pra dan paska RT
dengan Pewarnaan IHK, pada
kelompok respons tinggi (respons
lengkap). Pembesaran 400x-Olympus
BX 50 Model BX-50F-3. Pentax Optio
230 Digital Camera 2.0 Megapixel ......... 92
Gambar 4.15a,b Ekspresi Protein VEGF penderita KNF
pra dan paska RT dengan pewarnaan
IHK; pada kelompok respons rendah
(respons sebagian). Pembesaran 400x-
Olympus BX 50 Model BX-50F-3.
Pentax Optio 230 Digital Camera 2.0
Megapixel .................................................. 93
Gambar 4.16a,b. Ekspresi Protein VEGF pada
penderita KNF pra dan paska RT
dengan pewarnaan IHK, pada

xiii
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id

kelompok respons rendah (tidak ada


respons). Pembesaran 400x-Olympus
BX 50 Model BX-50F-3. Pentax Optio
230 Digital Camera 2.0 Megapixel ..... 94
Gambar 4.17.a,b Ekspresi Protein VEGF pada penderita
KNF pra dan paska RT dengan Pe-
warnaan IHK, pada kelompok respons
rendah (Progresif). Pembesaran 400x-
Olympus BX 50 Model BX-50F-3.
Pentax Optio 230 Digital Camera 2.0
Megapixel .................................................. 95
Gambar 4.18. Rerata Ekspresi protein VEGF pada
penderita KNF pra-RT kelompok
respons tinggi dan respons rendah
paska RT .................................................... 99
Gambar 4.19 Rerata Ekspresi protein VEGF pada
penderita KNF kelompok respons
rendah dan respons tinggi paska RT ..... 99

xiv
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISTILAH

1. Radioterapi atau terapi radiasi adalah pengobatan


dengan menggunakan sinar yang menimbulkan ionisasi
pada sel atau jaringan yang dilaluinya (ionizing
radiation).
2. Besaran pola : adalah nilai variabel yang dihasilkan dari
perkalian harga mean dengan besaran koefisien fungsi
Fisher’s.
3. Respons tumor (KNF) terhadap radiasi adalah
tanggapan tumor (KNF) terhadap terapi radiasi yang
diberikan. Variasi respon KNF terhadap radiasi adalah
macam (jenis) atau besarnya tanggapan KNF terhadap
radiasi.
4. Pendekatan morfofungsi : adalah suatu pendekatan yang
berdasarkan konsep patobiologik dan imunopatologik
yang bertujuan untuk dapat mengungkapkan perubahan
pada sejumlah komponen respons imun yang dicermin-
kan dari perubahan imunopatobiologik (Putra,1993).

xv
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id

DAFTAR SINGKATAN

BEV : beam’s eye view


CD : cluster of differentiation
cGy : centi Gray
COX-2 : cyclo oxigenase 2
CTL : cytotoxic T lymphocyte
CMI : cell mediated immunity
CRT : conformal radiation therapy
DNA : Deoxyribo Nucleic Acid
DRRS : digitally reconstructed radiography system
DTPS : dimentional treatment planning system
EA : early antigen
EBV : Epstein Barr virus
Fab : fragment antibody binding
Fc : fragment crystalizable
FDC : follicular dendritic cell
GALT : gut associated lymphoid tissue
GM-CSF: Granulocyte colony stimulating factor
Gy : Gray
Hb : hemoglobin
HE : hematoksilin eosin
HI : humoral immunity
HLA : human leucocyte antigen
HRP : horse radish peroxidase

xvi
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id

IEL : intra epithelial lymphocyte


IFN : interferon
Ig : imunoglobulin
IL : interferon
IMRT : intensity modulation radiation therapy
I.S : immune surveillance
KGB : kelenjar getah bening
KNF : karsinoma nasofaring
LAK : lymphokine activated killer
LPL : lamina propia lymphocyte
M : makrofag
MES : matrix extra celluler
MHC : major histocompatibility complex
MDP : muramyl dipeptida
MTSM : modifikasi teknik skarifikasi multipel
MALT : mucosa associated lymphoid tissue
NALT : nose associated lymphoid tissue
P : progresif
PAGE : polyacrylamide gel electrophoresis
PGE : prostaglandin
PLA-2 : phospo lipase A2
PPD : purified protein derivative
prb : protein retinoblastoma
REV : room’s eye therapy
RR : respons radiasi

xvii
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id

RL : respons lengkap
RS : respons sebagian
slgA : surface immunoglobulin A
Sel NK : sel natural killer
sPp IgA : sel plasma penghasil imunoglobulin A
sPp IgG : sel plasma penghasil imunoglobulin G
sTp IFN- : sel limfosit T penghasil interferon gamma
sPI : sel plasma aktif
TCR : T cell receptor
TNF : tumor necrosis factor
TB : tuberkulosis
Th : T helper
Tc : T cytotoxic
Th1 : Limfosit T helper tipe 1
Th2 : Limfosit T helper tipe 2
TIL : tumor infiltrating lymphocyte
TR : tak ada respons
VCA : viral capsid antigen
VEGF : vascular endotelial growth factor
VTN : volume tumor nasofaring
WHO : World Health Organization

xviii
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

BAB I
PENDAHULUAN

Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah tumor ganas


kepala leher dengan angka kejadian tertinggi dan menjadi
salah satu penyebab kematian utama di bidang Ilmu
Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok, baik di Indonesia
maupun di Asia Tenggara (Chew, 2003; Lin, 2003; Lung,
2003). Hampir 60% tumor ganas kepala leher adalah KNF,
kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus
paranasal (18%), laring (16%), tumor ganas rongga mulut,
tonsil, tiroid dan hypofaring dengan prosentase yang lebih
kecil. Penderita laki laki dan perempuan di Indonesia
berkisar antara 3 berbanding 1, terbanyak pada umur
dekade 3 hingga 6 (Chien dan Chen, 2003; Martoprawiro,
2003; Mulyarjo, 2003; Susworo, 2004; Roezin dan Syafril,
2006; Fuadi et al, 2008).
Sebuah penelitian di Instalasi Radioterapi RSUD Dr.
Moewardi Surakarta pada kurun waktu Juli 2005 hingga
Juni 2008 oleh Fuadi (2008) sebanyak 1363 orang penderita
di poli Onkologi THT-KL didapatkan 274 orang atau sebesar
20,10% menjalani radioterapi. Sejumlah 12,62% (172 orang)
merupakan penderita KNF, 3,37% (46 orang) karsinoma

1
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

hidung dan sinus paranasal, 2,94% (40 orang) karsinoma


rongga mulut, 0,88% (12 orang) karsinoma laring dan 0,29%
(4 orang) penderita karsinoma telinga.
Kegagalan RT dalam memberantas secara tuntas
seluruh sel karsinoma (eradikasi) ditunjukkan oleh jumlah
KNF respons rendah yang masih tinggi, yaitu sekitar 35% -
57% (Chua et al, 2003; Lin, 2003). Angka ketahanan hidup 5
tahun (five years survival rate) setelah radioterapi konven-
sional untuk KNF stadium lanjut adalah kurang dari 40%
(Li, 2008). Menurut penelitian Wolden (2001) penyebab
utama kematian penderita KNF adalah oleh karena
metastasis jauh yaitu sebesar 70%. Insidensi metastasis jauh
mempunyai korelasi bermakna dengan besarnya tumor
primer di nasofaring dan tumor metastasis di leher.
Metastasis jauh merupakan petanda atau indikator
progresifitas sel kanker, dengan angka ketahanan hidup satu
tahun hanya sekitar 0-25% (Chew, 2003; Lung et al, 2003;
Susworo, 2003)
Berbagai penelitian pada dekade terakhir menunjukkan
bahwa terdapat hubungan yang erat antara progresifitas
pertumbuhan sel kanker dengan kelainan yang terjadi di
tingkat molekuler (William, 2007). Kelainan atau lesi tingkat
molekuler yang terjadi tidak bersifat tunggal, akan tetapi
merupakan akumulasi yang sangat kompleks dari lesi
genetik. Pada dasarnya akumulasi lesi genetik tersebut dapat
dikelompokkan pada aktifitas gen pemicu pertumbuhan
tumor (proto onkogen misalnya Bcl 2), tidak adanya aktifitas
gen penghambat tumor dan gen pengendali apoptosis
(programmed cell death), yang menyebabkan proto onkogen
menjadi dominan sehingga akan memicu aktifitas proliferasi

2
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

sel kanker secara berlebihan (Yip dan Kenneth, 2006; Abbas,


Lichtman dan Pillai, 2007; Baert, 2008).
Bcl-2 adalah merupakan suatu protein membran
intraseluler yang dapat menghambat kematian sel
terprogram dengan melalui beberapa stimuli dan dapat
mencegah sel tumor mati sebagai respons terhadap
kerusakan DNA yang berat oleh karena radioterapi. Sel
neoplastik menunjukkan gangguan pada proses kematian
sel terprogram dan cenderung responsif terhadap
kemoterapi dan radioterapi (Yongqiang et al, 2003; Yip dan
Kenneth, 2006; Baert, 2008).
Molekul permukaan sel multistruktural dan
multifungsional yaitu CD44 memainkan peranan penting
dalam cell mediated immunity, resirkulasi limfosit, aktifasi sel
T, adhesi ke matriks interseluler, transduksi sinyal melalui
membran sel, proses proliferasi sel, migrasi sel, angiogenesis
dan sekresi faktor pertumbuhan. Semua komponen biologis
tersebut mempunyai peranan penting untuk aktifitas
fisiologis sel normal maupun aktifitas patologis sel kanker.
Ekspresi berlebihan CD44 terjadi pada proses keganasan dan
metastasis sel kanker.
Proses angiogenesis (pertumbuhan pembuluh darah
dari sistem vaskuler yang sudah ada sebelumnya) dan
vaskulogenesis (formasi sistem sirkulasi dalam embrionik)
berhubungan erat dengan peran Vascular Endothelial Growth
Factor (VEGF). VEGF sangat berhubungan erat dengan
buruknya prognosis suatu karsinoma dan peningkatan
ekspresinya dapat terjadi pada kondisi hipoksia yang
merupakan petanda dari awal proses metastasis (Li, 2008).

3
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

4
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

BAB II
KARSINOMA NASOFARING

A. Definisi dan Aspek Klinis Karsinoma


Nasofaring
Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang
berasal dari epitel pseudokolumner skuamosa, berhubungan
dengan stroma limfoid submukosal dan glandula
seromukosa atau jaringan limfoepitelial pada nasofaring.
Hal tersebut menyebabkan mengapa berbagai jenis tumor
maligna dapat terjadi di nasofaring (Mulyarjo, 2003; Baert,
2008). Lesi maligna tersering di nasofaring adalah karsinoma
sel squamosa (70% kasus), limfoma (20% kasus), sisanya
(10% kasus), neoplasma yang berasal dari kelenjar saliva
minor seromusinosa (karsinoma kistik adenoid, karsinoma
mukoepidermoid, adenokarsinoma, tumor ganas campuran,
karsinoma sel aciner (Baert, 2008). Sinonimnya yaitu
Lymphoepithelioma, lymphoepitheliomalke carcinoma, lymphoepithelial
carcinoma. KNF merupakan keganasan yang sulit ditegakkan
diagnosisnya secara dini oleh karena selain gejala awal tidak
khas, lokasinya tersembunyi sehingga biopsi pada daerah
tersebut seringkali negatif (Chua et al, 2003; Lunardhi, 2003;
Najib, 2003).

5
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Sebagian besar penderita (60% - 95%) datang sudah


dalam stadium lanjut yaitu stadium III – IV. Gejala yang
tersering menyebabkan penderita datang berobat adalah
pembesaran kelenjar getah bening leher. Presentasi klinis
KNF berhubungan erat dengan lokasi, ukuran dan pola
penyebarannya. Lokasi terbanyak adalah di posterolateral
nasofaring, yaitu di fossa Rosenmuller. Metastasis nodal
terbanyak (75-90%) ditemukan pada karsinoma sel
skuamosa (Baert, 2008). Pola penyebarannya yaitu (1) ke
arah anterior ke daerah nasal dan fossa pterigopalatina, (2)
kearah antero-inferior melibatkan palatum mole dan
orofaring, (3) kearah lateral mengenai parafaringeal dan
ruang masticator (4) kearah posterior infiltrasi ke otot
prevertebral sampai basis tengkorak, invasi tulang langsung
ke perivaskuler dan perineural. Invasi ke basis tengkorak
dapat menyebabkan progresi intrakranial dengan keterlibatan
sinus kavernosus (Kentjono, 2003; Martoprawiro, 2003;
Baert, 2008).
Beberapa penelitian di China melaporkan antara bulan
November 1986 sampai dengan Januari 2001 terdapat kasus
residif pada KNF stadium IV sebesar 61% dan stadium III
sebesar 30%. KNF dengan kecenderungan progresif, di
dalam 4 bulan paska radioterapi sebesar 53,5% (Chua et al,
2003; Lung, 2003). Angka ketahanan hidup selama 3 tahun
paska radioterapi tanpa kambuh untuk stadium II (25%),
stadium III (8%) dan stadium IV (0%). Dengan teknik
pembedahan radikal, angka ketahanan hidup selama 3
tahun meningkat menjadi 65%, dibandingkan dengan
radioterapi saja sebesar 24% (Baert, 2008).

6
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Beberapa penderita mengalami pengecilan massa tumor


setelah pemberian radioterapi dosis 6000 – 7500 cGy dengan
teknik fraksinasi, namun ada pula yang cenderung menetap
atau mengalami progresifitas (Suhartati, 2003; Brady,
Heilman dan Molls, 2005). Pada KNF stadium lanjut,
kegagalan radioterapi dalam memberantas sel karsinoma
secara lokal maupun regional sangat tinggi yaitu sekitar 40%
- 80% (Chua et al, 2003). Angka ketahanan hidup 5 tahun
(five years survival rate) paska radioterapi konvensional untuk
KNF stadium lanjut adalah kurang dari 40% (Li, 2008).
Metastasis jauh merupakan petanda atau indikator
prognosis buruk dengan angka ketahanan hidup 1 tahun
hanya sekitar 0-25% dan kematian penderita KNF terutama
disebabkan oleh metastasis jauh (70%). Insidensi metastasis
jauh mempunyai korelasi bermakna dengan besarnya tumor
primer di nasofaring dan tumor metastasis leher. Proses
karsinogenesis berlangsung secara bertahap, untuk
mengidentifikasi faktor yang berperan pada karsinogenesis
masih terus berlangsung hingga saat ini. Berbagai penelitian
akhir-akhir ini telah membuktikan EBV selalu ditemukan
pada spesimen biopsi KNF jenis undifferentiated dalam
bentuk onkogen virus (Najib, 2003). Dengan demikian EBV
merupakan salah satu faktor penting dalam mekanisme
karsinogenesis KNF (Chen, 2003; Lin, 2003; Harijadi, 2005).

B. Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan suatu ruang atau rongga
berbentuk kubus dengan ukuran yang sangat bervariasi,
terletak dibelakang rongga hidung langsung dibawah dasar
tengkorak (Abbas dan Fausto, 2005; Baert, 2008). Ukuran

7
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

melintang dan tinggi nasofaring pada orang dewasa sekitar


4 cm, sedangkan ukuran anteroposterior sekitar 2 – 4 cm. Ke
depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koanae
serta tepi belakang septum nasi, sehingga sumbatan hidung
merupakan gangguan yang sering timbul (Chew, 2003). Ke
arah belakang dinding nasofaring melengkung ke superio
anterior dan terletak di bawah os sfenoid, sedangkan bagian
belakang nasofaring berbatasan dengan ruang retrofaring,
fasia pre vertebra servikalis I, II dan otot dinding faring.
Pada dinding lateral nasofaring terdapat ostium tuba
eustachius dengan tonjolan tulang rawan dibagian superio
posterior yang disebut torus tubarius, sehingga penyebaran
tumor ke arah lateral akan menyebabkan sumbatan ostium
tuba eustachius sehingga mengganggu pendengaran. Ke
arah postero superior dari torus tubarius terdapat fossa
Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering karsinoma
nasofaring (Abbas, dan Fausto, 2005).

Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring

8
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Atap nasofaring merupakan beberapa lipatan mukosa


yang dibentuk oleh jaringan lunak sub mukosa dan pada
usia muda, dinding superio posterior nasofaring umumnya
tidak rata. Hal tersebut disebabkan oleh karena adanya
jaringan limfoid sekunder yaitu adenoid atau tonsila
faringea, yang biasanya rudimenter pada orang dewasa.
Jaringan limfoid di mukosa nasofaring dan adenoid bersama
tonsila palatina, tonsila lingualis dan bilateral pharyngeal
lymphoid bands membentuk suatu lingkaran yang disebut
ring of waldeyer. Foramen lacerum, yang terbuka langsung
kedalam pertengahan fossa cranial, terletak dalam
perbatasan nasofaring dan merupakan rute penting untuk
penyebaran KNF sampai kedalam pertengahan fossa cranial
(Chew, 2003).

C. Epidemiologi
Karsinoma Nasofaring dengan insiden tertinggi (50
kasus per 100 ribu penduduk) ditemukan di China selatan,
terutama provinsi Guan Dong (Chien dan Chen, 2003). Dari
data Bagian THT-KL RSU Dr. Soetomo tahun 2000–2002
didapatkan penderita KNF sebanyak 67,7% dari semua jenis
keganasan THT-KL. Sebagian besar dijumpai pada laki-laki
(± 70%), terutama dekade ke 5 dan 6 (Mulyarjo, 2003).
Meskipun KNF dapat ditemukan pada semua umur, tetapi
insiden tertinggi adalah umur 40-60 tahun. Rasio antara laki-
laki dan wanita adalah 3:1 (Lin, 2003; Mulyarjo, 2003).
Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap
tinggal tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka
waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus tersebut

9
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

dibutuhkan suatu mediator. Kebiasaan untuk mengkonsumsi


ikan asin secara terus menerus mulai dari masa kanak-
kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktif-
kan virus tersebut sehingga menimbulkan KNF (Chew,
2003). Mediator di bawah ini juga dianggap berperan untuk
timbulnya KNF, yaitu: 1. makanan yang diawetkan dan
nitrosamin, 2. keadaan sosio-ekonomi yang rendah,
lingkungan dan kebiasaan hidup, 3. sering kontak dengan
zat yang dianggap karsinogen, seperti benzopyrenen,
benzoanthracene, gas kimia, asap industri, asap kayu,
beberapa ekstrak tumbuhan, 4. ras dan keturunan, 5. radang
kronis daerah nasofaring (Jia, Shao dan Feng, 2003).

D. Etiologi
1. Virus Epstein Barr
Virus Epstein-Barr (EBV) adalah suatu virus herpes
manusia, anggota genus Lymphocryptovirus biasanya dibawa
seumur hidup sebagai suatu infeksi yang asimtomatik
(Harijadi, 2005). EBV merupakan agen penyebab infeksi
mononukleosis dan telah dihubungkan dengan perkemba-
ngan beberapa tumor maligna, termasuk neoplasma sel-B
yaitu limfoma Burkitt, penyakit Hodgkin, bentuk-bentuk
tertentu dari limfoma sel-T, dan beberapa tumor epitelial
seperti KNF tidak berdiferensiasi. Virus-virus tersebut
berhubungan erat dengan anggota famili virus herpes
gamma, satu sama lain memiliki kemiripan dengan struktur
genom dan pengaturan gennya. Genom EBV disusun oleh
DNA untai ganda, linier sepanjang sekitar 172 kb. KNF
merupakan hasil interaksi antara kondisi genetik yang
susceptible dan bahan karsinogenik termasuk infeksi EBV

10
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

(Shao dan Feng, 2003). Dengan ditemukannya


deoxyribonucleid acid (DNA) virus Epstein Barr pada sel KNF
merupakan bukti bahwa virus EBV ikut bertanggung jawab
pada proses perubahan sel nasofaring menjadi ganas (Chien
dan Chen, 2003).
Infeksi EBV yang ditemukan secara konsisten pada KNF
tampaknya tidak cukup untuk menginduksi transformasi sel
nasofaring normal menjadi ganas. Hal tersebut disebabkan
oleh karena tidak semua kasus infeksi EBV akan
berkembang menjadi KNF. Temuan ini menimbulkan
perkiraan bahwa terdapat kofaktor lain disamping infeksi
EBV yang diperlukan untuk proses transformasi (Lin, 2003;
Murphree, 2007). Infeksi EBV dimulai dengan masuknya
virus ke dalam sel epitel faring kemudian diikuti dengan
replikasi virus. Setelah berada di dalam inti sel epitel, DNA
virus masuk (insersi) ke dalam rangkaian DNA sel inang
yang akhirnya menjadi DNA bermutasi. Mutasi DNA ini
mentranskripsikan protein baru ke permukaan sebagai
onkogen (Abbas dan Fausto, 2005).
2. Karsinogen lingkungan
KNF dihubungkan dengan riwayat penggunaan obat
herbal tradisional Cina dan asap obatnyamuk yang diduga
kuat dapat mengaktivasi proliferasi EBV. Hubungan yang
konsisten dan kuat antara kejadian KNF dengan konsumsi
ikan asin dalam jangka waktu panjang dan dimulai sejak
usia dini, dilaporkan di Hongkong pada sekitar 90% kasus
KNF. Penelitian mengenai faktor lingkungan, kultural dan
gaya hidup masyarakat serta hubungan KNF dengan
berbagai makanan yang diawetkan, mengungkapkan bahwa
beberapa volatile nitrosamines merupakan bahan yang diduga

11
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

menjadi penyebab KNF (Chew, 2003). Di Amerika dilakukan


penelitian bahwa paparan formaldehid dapat menjadi faktor
resiko KNF, di Indonesia penelitian tentang hal tersebut
pernah dilakukan di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada
tahun 2006 (Adi, 2007).
3. Genetik
Penelitian yang dilakukan terhadap dua grup etnik
yaitu Cina dan India yang tinggal di daerah yang sama
(Singapura) dan mendapat infeksi EBV pada usia dini (6-9
tahun) menunjukkan bahwa insiden KNF hanya tinggi pada
grup etnik Cina (Jia, Shao dan Feng, 2003).
4. Gejala klinis
Gejala klinis yang paling sering ditimbulkan oleh KNF
berupa kelainan pada leher, telinga, hidung dan saraf
kranial. Keganasan Nasofaring harus dicurigai apabila
dijumpai trias gejala yaitu tumor leher, gejala intrakranial
dan gejala hidung atau telinga. Berdasarkan perkembangan
tumornya, gejala KNF dapat dibagi dalam gejala dini dan
lanjut (Kentjono, 2003; Harijadi, 2005).
Gejala dini KNF meliputi gejala hidung dan telinga.
Menurut Prasad (2000) gejala hidung sebesar 56% dapat
berupa epistaksis berulang dan biasanya disertai rhinitis
kronis dengan ingus yang kental, hidung tersumbat dan
suara bindeng, sehingga nasofaring harus diperiksa dengan
cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskopi (Siswantoro,
2003). Kadang kala sudah tumbuh tumor tetapi belum
tampak gejalanya, oleh karena masih terdapat di bawah
mukosa (creeping tumor). Gejala telinga sering terjadi, yaitu
sekitar 59% - 73% (Mulyarjo, 2003), sehingga sering

12
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

menyebabkan pasien berobat ke dokter adalah oleh karena


rasa penuh, tidaknyaman di telinga, suara mendengung,
sampai rasa nyeri di telinga. Keluhan tersebut kadang
disertai tuli, oleh karena tempat asal tumor dekat dengan
muara tuba Eustachius (fossa Rosenmuller), akibatnya terjadi
oklusi atau otitis media serosa. Kecenderungan terjadi
penurunan pendengaran, kerusakan palatum molle dan
nyeri mandibula disebut sebagai Triad Trotter (Baert,
2008).Seringkali pasien dengan gangguan pendengaran ini
baru menyadari bahwa penyebab utamanya adalah KNF
(Chew, 2003; Kentjono, 2003; Lin, 2003).
Sel tumor biasanya masuk rongga tengkorak melalui
foramen laserum dan menyebabkan kerusakan atau lesi
pada grup anterior saraf otak yaitu N. III, IV, V dan N.VI
(Lin, 2003; Kumar, Abbas dan Fausto, 2005). Gangguan pada
N. III berupa ptosis dan gangguan gerakan bola mata
(oftalmoplegia). Gangguan N.IV mengakibatkan kelumpuhan
muskulus obliquus inferior bola mata. Lesi pada N.IV ini
jarang merupakan kelainan yang berdiri sendiri, akan tetapi
lebih sering diikuti oleh kelumpuhan N.III. Gangguan pada
N.V mengakibatkan keluhan neuralgi trigeminal dan
parestesi wajah, gejala tersebut sering ditemukan oleh ahli
saraf (Lung, 2003), penekanan saraf-saraf tersebut terjadi
pada dinding lateral sinus kavernosus. Gangguan pada N.VI
mengakibatkan kelumpuhan pada m. rektus bulbi lateral
sehingga timbul keluhan penglihatan dobel dan mata
tampak juling (strabismus), sehingga tidak jarang gejala
diplopia ini membawa pasien terlebih dahulu datang ke
dokter akhli mata.

13
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Perluasan sel tumor melalui foramen jugulare, maka


proses akan berlanjut mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan
XII (Chew, 2003). Apabila sudah mengenai seluruh saraf
otak disebut sindrom unilateral (Baert, 2008), dapat disertai
destruksi tulang tengkorak, hal tersebut menunjukkan
prognosis buruk. Tumor dapat meluas ke arah superior
menuju ke intrakranial dan menjalar sepanjang fossa kranii
media, disebut penjalaran petrosfenoid.
Perluasan sel tumor kearah anterior menuju rongga
hidung, sinus paranasal, fossa pterigopalatina dan dapat
mencapai apeks orbita. Tumor yang besar dapat mendesak
palatum molle, menimbulkan gejala obstruksi jalan napas
atas dan jalan makanan. Perluasan sel tumor kearah postero
lateral menuju ke ruang parafaring dan fossa
pterigopalatina, kemudian masuk ke foramen jugulare.
5. Gambaran histopatologi
Menurut Baert (2008), mukosa yang menutupi dinding
nasofaring terdiri atas epitel pseudokolumner skuamosa
yang berhubungan dengan stroma limfoid submukosal dan
glandula seromukosa. Hal itulah yang menyebabkan
mengapa berbagai jenis neoplasma maligna dapat terjadi
pada nasofaring. Lesi maligna yang paling sering terjadi
pada nasofaring adalah karsinoma sel skuamosa, yang
ditemukan pada 70% kasus, Limfoma pada 20% kasus dan
10% sisanya termasuk neoplasma yang berasal dari kelenjar
saliva minor seromusinosa (karsinoma kistik adenoid,
karsinoma mukoepidermoid, adenokarsinoma, tumor ganas
campuran, karsinoma sel asiner).
KNF dapat dibagi dalam 3 jenis gambaran histopatologi
yaitu: 1. Karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi (WHO

14
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

tipe I). Tipe ini mempunyai sifat pertumbuhan yang jelas


pada permukaan mukosa nasofaring. Sel kanker dapat
berdiferensiasi baik sampai sedang dan menghasilkan relatif
cukup banyak bahan keratin baik di dalam sitoplasma
maupun di luar sel. 2. Karsinoma sel skuamosa tanpa
keratinisasi (WHO tipe II). Tipe ini menunjukkan
diferensiasi sedang dan sebagian lainnya dengan sel yang
lebih kearah diferensiasi baik. Sel-sel ganas tersusun stratified
atau berhimpitan menyerupai gambaran pada karsinoma sel
transisional. Karsinoma tanpa diferensiasi yang disebut juga
undifferentiated (WHO tipe III). Tipe ini mempunyai
gambaran histopatologi yang sangat heterogen, sel ganas.
Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai
sifat yang sama, yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis
dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif (Baert, 2008).
Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang
direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1991, hanya
dibagi atas 2 tipe, yaitu : 1. Karsinoma sel skuamosa
berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma). 2.
Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma).
Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak
berdiferensiasi.
6. Diagnosis
Diagnosis KNF terutama ditegakkan berdasarkan: a.
anamnesis/pemeriksaan fisik, b. Pemeriksaan nasofaring, c.
Biopsi nasofaring dan limfonodi serta pemeriksaan Patologi
Anatomi, d. Pemeriksaan radiologi, e. Pemeriksaan serologi
dan f. Stadium (Baert, 2008).

15
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

a. Anamnesis/pemeriksaan fisik
Penderita perlu diberi beberapa pertanyaan apakah
mengalami gejala-gejala yang mengarah pada diagnosis
karsinoma nasofaring, misalnya gejala dini: yaitu keluar
darah dari hidung, pilek, sumbatan di hidung. Gejala
telinga: berdenging, rasa penuh pada telinga, nyeri di
telinga. Gejala saraf, berupa gangguan saraf otak seperti:
penglihatan dobel, gerakan bola mata terbatas, parestesia
daerah pipi, trigeminal neuralgia, paresis/paralisis arkus
faring, kelumpuhan otot bahu, sering tersedak (Roezin
dan Syafril, 2006).
Gejala lanjut: Limfadenopati serfikal (berupa
benjolan di leher). Gejala akibat perluasan tumor ke
tulang, hati dan paru berupa nyeri pada tulang,
gangguan fungsi hati dan batuk-batuk. Perlu ditanyakan
faktor pemicu atau mediator terjadinya karsinoma
nasofaring, misalnya: genetik/ras, konsumsi ikan asin
yang diawetkan, kebiasaan memasak dengan bumbu
/bahan tertentu, kebiasaan memasak dengan kayu bakar
(Chew, 2003; Chien dan Chen, 2003; Harijadi, 2005;
Kumar, Abbas dan Fausto, 2005)
b. Pemeriksaan nasofaring
Pemeriksaan nasofaring atau nasofaringoskopi dapat
dilakukan dengan cara trans oral (melalui rongga mulut)
dan trans nasal (melalui rongga hidung).Teknik pemerik-
saan yang teliti merupakan prosedur yang sangat penting
(Siswantoro, 2003), meliputi pemeriksaan rinoskopi
posterior (dengan atau tanpa nelaton kateter) atau
endoskopi memakai alat endoskop kaku (rigid
nasopharyngoscope) maupun lentur (fiberoptic
nasopharyngoscope).

16
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Untuk kepentingan biopsi nasofaring dengan teknik


aspirasi jarum halus (FNA) dilakukan secara trans nasal
(Lunardhi, 2003; Siswantoro, 2003; Baert, 2008, Bechara
dan Ghorayeb, 2008). Dengan teknik pemeriksaan
tersebut nasofaring dapat dilihat secara langsung (lihat
gambar 2.1).

Gambar 2.1 Endoskopi nasal KNF memperlihatkan


gambaran massa globuler nasofaring dan
mudah berdarah (Bechara dan Ghorayeb,
2008)

c. Biopsi nasofaring dan limfonodi serta pemeriksaan


Patologi Anatomi
Pemeriksaan biopsi buta atau blind biopsy dilakukan
dengan alat forsep melalui rongga hidung dengan posisi
ujung forsep diarahkan ke fossa Rossenmuller. Pada
KNF stadium III dan IV keberhasilan cara ini sangat
tinggi, hampir mendekati 100%. Pemeriksaan biopsi
nasofaring sampai saat ini diakui sebagai gold standard

17
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

untuk menegakkan diagnosis KNF (Lunardhi, 2003;


Mulyarjo, 2003; Najib, 2003).
Kecurigaan adanya KNF ditandai dengan keluhan
atau gejala trias KNF (Kentjono, 2001). Cara ini dapat
mengetahui berbagai kelainan yang dapat dijumpai pada
KNF seperti penonjolan mukosa (creeping tumor), tumor
eksofitik, infiltratif dan ulseratif (Siswantoro, 2003) . Biopsi
jaringan limfonodi terutama di daerah leher dapat
membantu untuk mengetahui penyebaran sel-sel kanker
ke pembuluh limfe (Mulyarjo, 2003; Najib, 2003;
Siswantoro, 2003). Disamping untuk melihat secara
langsung, teknik pemeriksaan tersebut juga diperlukan
untuk melakukan biopsi guna tegaknya diagnosis pasti
secara histopatologi (Lin, 2003; Lunardhi, 2003).
d. Pemeriksaan Radiologi:
1) Foto kranium Antero Posterior, Lateral dan
Waters
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan
dalam membantu menegakkan diagnosis KNF antara
lain: foto polos dapat menunjukkan massa jaringan
lunak di daerah nasofaring. Foto dasar tengkorak
dapat memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di
daerah fossa cerebri media. Pemeriksaan foto polos
tengkorak proyeksi lateral dilakukan untuk menge-
tahui penebalan jaringan lunak di dinding posterior,
proyeksi basis untuk melihat struktur tulang dan
foramen, proyeksi antero-posterior dan Water`s untuk
mengetahui adanya ekspansi tumor ke rongga
hidung, sinus paranasal dan rongga orbita (Chew,
2003; Bechara dan Ghorayeb, 2008). Pemeriksaan ini

18
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

juga diperlukan untuk mendapatkan informasi


perluasan dan kekambuhan tumor paska radioterapi
di daerah tulang kranium maupun sinus paranasal
(Kumar, Abbas dan Fausto, 2005; Baert, 2008).
2) Tomografi Komputer (Computed tomography/
CT)
Sejak tahun 1972, telah diperkenalkan suatu alat
canggih, yang meskipun mahal, namun telah merebut
pasaran serta menempati tempat teratas dalam dunia
kedokteran dalam waktu yang cepat, yaitu alat
tomogram yamg dikendalikan oleh komputer,
dikenal sebagai computerized tomography. Kontruksi
alat CT pertama dibuat dan dipublikasi oleh
Hounsfield, yang kemudian dianugerahi hadiah
Nobel (Baert, 2008). Prosedur pemeriksaan CT Scan
adalah sebagai berikut: pemotretan awal/permulaan
dilakukan dengan tabung yang dibiarkan diam,
sedangkan meja pasien bergerak, teknik ini disebut
topogram atau skanogram. Skanogram dibuat untuk
memprogram irisan/potongan, kemudian satu
persatu dibuat scannya. Pasien tetap diam, sehingga
arch scan dapat ditentukan dengan tepat, sedangkan
tabung detektornya memutari pasien. Hasil gambaran
CT Scan tersebut jauh lebih jelas dibandingkan foto
Roentgen biasa (lihat gambar 2.2). Saat ini pemeriksa-
an CT Scan (computerized tomographic scanning)
merupakan pemeriksaan penunjang diagnostik yang
sangat unggul untuk menganalisa dengan baik tulang
dan bentuk jaringan lunaknya, besar serta arah
perluasan tumor nasofaring dengan lebih akurat.

19
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Kelebihan lain dari CT Scan yaitu dapat menunjukkan


kelainan minimal misalnya asimetri fossa Rosenmuller
atau pertumbuhan endofitik (lihat gambar 2.3 dan 2.4).
Tanda patognomonik keganasan nasofaring
adalah apabila dijumpai asimetri resesus lateralis,
torus tubarius, dinding posterior dan adanya
pembengkakan pada otot-otot tensor dan levator veli
palatini. Pemberian kontras intra vena sangat
membantu tegaknya diagnosis serta memperjelas
obyek, apakah jaringan tersebut menyerap zat
kontras atau tidak ada sama sekali, dibandingkan
dengan jaringan sehat di sekitarnya. Hal ini disebut
penyangatan atau enhancement (Baert, 2008).

Gambar 2.2. CT Scan Nasofaring Normal (Baert, 2008)

20
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Gambar 2.3. CT Scan Potongan Aksial Massa di Nasofaring


(Baert, 2008)

Gambar 2.4. CT Scan Potongan Aksial Menggambarkan


KNF Disertai Nekrosis Sentral dan Metastasis
ke Limfonodi Serfikal Kiri (Baert, 2008)

21
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

3) Resonansi Magnetik (Magnetic Resonance


Imaging/MRI
Resonansi magnetic (MRI) merupakan salah satu
cara pemeriksaan diagnostik radiologi, menghasilkan
gambaran potongan tubuh manusia dengan meng-
gunakan medan magnit tanpa sinar X. Prinsip dasar
MRI adalah inti atom yang bergetar dalam medan
magnit. Keuntungan pemeriksaan MRI pada KNF
antara lain tidak memerlukan kontras, memper-
mudah penegakan diagnosis KNF serta deteksi
metastasis ke otak, medulla spinalis dan basis kranii
(Chew, 2003; Kentjono, 2003; Baert, 2008; Bechara dan
Ghorayeb, 2008).

Gambar 2.5. Pria 25 tahun yang menjalani staging MRI dan


evaluasi dengan FDG PET/CT dengan
diagnosa karsinoma nasofaring (panah).

22
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

A. Gambar PET proyeksi anterior intensitas


maksimum
B. Gambar PET/CT axial fusedGambar PET/CT
coronal fused
C. Gambar MRI CE Axial T1W.
D. Gambaran MRI menunjukkan massa nasofaringeal
yang besar dengan keterlibatan basis cranii dan
spatium prevertebral. Massa meluas hingga ke
intrakranial di sella tursika dan sinus kavernosus.
Tampak pembesaran limfonodi cervical multipel
dan bilateral. Gambar FDG PET/CT menunjukkan
adanya massa nasofaringeal besar yang hiper-
metabolik yang meluas hingga basis kranium dan
pembesaran limfonodi supraclavicular dan
cervical, sesuai gambaran metastasis
4) Positron Emission Tomography
Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET)
merupakan pemeriksaan kedokteran nuklir dengan
menggunakan 18-fluoro-2-deoxy glucose yang
mengandung zat atom radioaktif, memberi informasi
tentang derajat metabolisme glukosa pada jaringan
berbeda. Sel-sel kanker dalam tubuh menyerap
glukosa tersebut dalam jumlah besar dan dengan
menggunakan kamera khusus, sel sel kanker dapat
terdeteksi. Pemeriksaan ini mempunyai akurasi
tinggi dalam mendeteksi jaringan kanker residu atau
rekuren dan sangat bermanfaat terutama untuk
mengetahui penyebaran sel kanker ke kelenjar getah
bening. Pada saat ini umumnya dilakukan
pemeriksaan kombinasi CT dan PET sehingga selain

23
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

tumor primer juga bisa diketahui penyebarannya


(Bechara dan Ghorayeb, 2008).
e. Pemeriksaan Serologi
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran saat ini sangat pesat, untuk menegakkan
diagnosis KNF perlu beberapa pemeriksaan penunjang
tambahan yaitu pemeriksaan serologi misalnya
imunoglobulin A anti viral capsid antigen (Ig anti VCA), Ig
G anti early antigen (EA), imunohistokimia, hibridisasi in
situ, polimerase chain reaction (PCR) dan Southern blotting
(Abbas, Lichtman dan Pillai, 2007).
Ditemukannya Virus Epstein-Barr yang mengandung
antigen virus antara lain EBV-VCA, EA, dan Epstein-Barr
nuclear antigen (EBNA) 1-3 sebagai etiologi KNF telah
membuka jalan ke arah upaya diagnosis dini dan menilai
perkembangan tumor (progresifitas) paska radioterapi
atau kemoterapi. Pemeriksaan antibodi spesifik sebagai
tumor marker yang paling bermanfaat untuk diagnosis
KNF adalah Ig A anti VCA dan Ig A atau IgG anti EA
(Yip et al, 2006; Cho, William dan Chi, 2007).
Pada beberapa pasien, ekspresiEBV dalam darah
dapat menunjang diagnosis karsinoma nasofaring dimana
pada beberapa penelitian disebutkan bahwa terdapat
hubungan antara infeksi EBV dengan kejadian karsinoma
nasofaring. Pengukuran ekspresiEBV dalam darah pra
dan paska radioterapi dapat membantu mengevaluasi
kemajuan kesembuhan pasien (Lin, 2003; Yip dan
Kenneth, 2006).

24
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

f. Stadium
Penentuan stadium dilakukan berdasarkan atas
kesepakatan antara Union Internationale Contre Cancer
(UICC) dan American Joint Committee on Cancer (AJCC)
pada tahun 1986. Pembagian TNM untuk KNF sesuai
dengan edisi V klasifikasi TNM oleh UICC seperti yang
dikutip oleh Mulyarjo (2003) adalah sebagai berikut :
T : Menggambarkan keadaan tumor primer, besar
dan perluasannya.
T1 : Tumor terbatas pada nasofaring.
T2 : Tumor meluas ke orofaring dan/atau fossa nasal.
T2 a: Tanpa perluasan ke parafaring.
T2 b: Dengan perluasan ke parafaring.
T3 : Invasi ke struktur tulang dan/atau sinus
paranasal.
T4 : Tumor meluas ke intra kranial dan/atau mengenai
saraf otak, fossa infratemporal, hipofaring atau
orbita.
N : Menggambarkan keadaan kelenjar getah bening
regional.
N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar.
N1 : Terdapat pembesaran kelenjar ipsilateral < 6 cm.
N2 : Terdapat pembesaran kelenjar bilateral < 6 cm.
N3 : Terdapat pembesaran kelenjar > 6 cm / ekstensi
ke supraklavikular.
M : Menggambarkan metastasis jauh.
M0 : Tidak ada metastasis jauh.
M1 : Terdapat metastasis jauh.
Mx : Adanya metastasis tidak dapat ditentukan.

25
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Berdasarkan klasifikasi TNM tersebut diatas,


stadium KNF dapat ditentukan sebagai berikut :
Stadium I : T1 N0 M0.
Stadium IIA : T2a N0 M0.
Stadium IIB : T1 N1 M0, T2a N1 M0, atau T2b N0-1
M0.
Stadium III : T1-2 N2 M0 atau T3 N0-2 M0.
Stadium IVA : T4 N0-2 MO.
Stadium IVB : Tiap T N3 M0.
Stadium IVC : Tiap T Tiap N M1.

E. Terapi Radiasi pada KNF


Pengobatan KNF dengan radiasi atau radioterapi
adalah metode pengobatan penyakit keganasan dengan
menggunakan sinar peng-ion, bertujuan untuk mematikan
seluruh sel kanker yang ada di nasofaring dan metastasisnya
di kelenjar getah bening serta memelihara jaringan sehat di
sekitarnya agar tidak menderita kerusakan berat (Adam S
dan Kiang An, 2006). Radioterapi sampai saat ini tetap
merupakan terapi pilihan utama untuk penderita KNF
(Kentjono, 2003; Susworo, 2003). Radioterapi sebagai terapi
utama bertujuan untuk kuratif pada penderita KNF
lokoregional, yang belum mengalami metastasis jauh,
sehingga dapat memperpanjang usia dan memperbaiki
kualitas hidup penderita. Pemilihan radioterapi sebagai
terapi utama untuk penderita KNF didasarkan atas beberapa
hal yaitu bahwa secara histopatologis KNF terbanyak (75%-
95%) dari jenis karsinoma undifferensiated (WHO tipe 3) dan

26
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

karsinoma non keratinisasi (WHO tipe 2) yang bersifat


radioresponsif, disamping faktor letak anatomis nasofaring
sangat sulit dilakukan pembedahan radikal untuk tujuan
kuratif Alasan lain pemberian radioterapi pada KNF yaitu
pada pemberian kombinasi terapi radiasi dengan kemoterapi
(kemoradiasi) dibandingkan radiasi saja, dilaporkan dapat
meningkatkan respons tumor, ternyata masih belum
menunjukkan angka ketahanan hidup yang bermakna
(Manocha et al, 2006).
Radiasi eksterna pada penderita KNF stadium loko-
regional ditujukan pada tumor primer di nasofaring dan
perluasan maupun metastasisnya di kelenjar getah bening
leher dan klavikula. Indikator keberhasilan radioterapi
diukur dari radikalitas semua sel kanker yang hidup
(Kleinsmith, 2006). Pesawat radioterapi yang dipergunakan
di RSDM Dr. Moewardi Surakarta adalah Cobalt60 yaitu
merupakan isotop buatan yang memancarkan radiasi sinar γ
dengan kekuatan enersi sebesar 1,25 MEV. Sinar γ yang
dihasilkan oleh pesawat Cobalt 60 merupakan sinar elektro-
magnetik atau foton. Daya tembusnya tergantung dari 1.
besarnya enersi yang dipancarkan oleh sumber enersi,
makin tinggi enersinya maka makin besar daya tembusnya
sehingga makin dalam letak dosis maksimalnya. 2. jarak
antara sumber enersi dengan target (massa tumor). 3.
kepadatan massa tumor (Kleinsmith, 2006). Pesawat
radioterapi dengan daya tembus yang lebih besar adalah
Linac/Linear accelerator yang menghasilkan sinar foton atau
elektron dengan tenaga 4-10 Megavolt. Jenis ini lebih baik
oleh karena daya tembus lebih besar sehingga efek samping
kerusakan kulit yang ditimbulkan lebih sedikit (Heilmann
dan Molls, 2005).

27
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan ionisasi air


dan elektrolit dari cairan tubuh baik intra maupun ekstra
seluler, sehingga timbul ion H+ dan OH- yang sangat
reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam
kromosom, sehingga dapat terjadi : 1. Rantai ganda DNA
pecah. 2. Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA. 3.
Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau
kematian sel. Dosis lethal dan kemampuan reparasi
kerusakan pada sel-sel kanker lebih rendah dari sel-sel
normal, sehingga akibat radiasi sel-sel kanker lebih banyak
yang mati dan yang tetap rusak dibandingkan dengan sel-sel
normal. Sel-sel yang masih tahan hidup akan mengadakan
reparasi kerusakan DNA-nya sendiri-sendiri. Kemampuan
reparasi DNA sel normal lebih baik dan lebih cepat dari sel
kanker. Keadaan ini dipakai sebagai dasar untuk radioterapi
pada kanker (Abbas dan Fausto, 2005).
Pada kongres Radiologi Internasional ke VIII tahun
1953, ditetapkan RAD (Radiation Absorbed Dose) sebagai
banyaknya energi yang di serap per unit jaringan. Saat ini
unit Sistem Internasional (SI) dari dosis yang di absorpsi
telah diubah menjadi Gray (Gy) dan satuan yang sering
dipakai adalah satuan centi gray (cGy) . 1 Gy = 100 rad, 1 rad
= 1 cGy = 10-2 Gy.13,14. Hasil pengobatan yang dinyatakan
dalam angka respons terhadap penyinaran sangat
tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium
tumor, makin berkurang responsnya. Untuk stadium I dan
II, diperoleh respons komplit 80% -100% dengan terapi
radiasi. Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan angka
kegagalan respons lokal dan metastasis jauh yang tinggi,
yaitu 50% - 80% (Chua et al, 2003; Kentjono, 2003). Angka

28
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

ketahanan hidup penderita karsinoma nasofaring tergan-


tung beberapa faktor, diantaranya yang terpenting adalah
stadium penyakit (Chua, 2003; Baert, 2008)
Radiasi diberikan pada seluruh stadium, tanpa
metastasis jauh (M1). Dan sasaran radiasi adalah tumor
primer dan kelenjar getah bening leher dan klavikula. Angka
harapan hidup rata-rata 5 tahun dari 1379 penderita yang
diberikan terapi radiasi adalah 86%, 59%, 49% dan 29% pada
stadium I, II, III dan IV. Untuk KNF stadium dini (T1 dan T2)
diberikan dosis 200 - 220 cGy per fraksi, diberikan 5 kali
dalam seminggu sampai mencapai dosis total 6000 - 7000
cGy
KNF dengan ukuran tumor yang lebih besar (T3 dan T4)
diberikan dosis total radiasi pada nasofaring yang lebih
tinggi yaitu 7000 - 7500 cGy. Bila tidak didapatkan
metastasis di kelenjar getah bening leher (N0), diberikan
radiasi profilaktik 4000-5000 cGy dalam empat minggu.
Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) di leher diberikan
radiasi dengan dosis 6000 - 7500 cGy (Kleinsmith, 2006).
1. Dasar Radiofisika Radiasi
Radiasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses
pelepasan atau pemindahan energi dengan cara pemancaran
baik dalam bentuk partikel maupun gelombang elektro-
magnetik. Radiasi ini dikelompokkan menjadi dua yaitu : 1.
radiasi korpuskuler, dan 2. radiasi elektromagnetik. Radiasi
korpuskuler adalah suatu pancaran atau aliran atom dan
partikel sub atom, yang mempunyai kemampuan
memindahkan energi gerak (energi kinetik)nya ke bahan
bahan yang ditumbuknya. Termasuk dalam radiasi

29
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

korpuskuler adalah radiasi alfa, radiasi elektron, negatron


(partikel beta) radiasi proton dan radiasi netron.
Radiasi elektromagnetik adalah suatu pancaran
gelombang yang bisa menyebabkan perubahan struktur
dalam atom dari bahan bahan yang dilaluinya, antara radiasi
sinar x dan sinar gamma. Radiasi ionisasi yang sering
dipakai dibidang kesehatan adalah radiasi sinar X dan sinar
Gamma. Sifat dari kedua jenis radiasi tersebut adalah sama,
tetapi berbeda dari asal sinar tersebut di hasilkan. Sinar X
berasal dari alat penghasil sinar X, sedangkan sinar gamma
berasal dari peluruhan bahan radio aktif yang dipancarkan
secara spontan dan bersifat alamiah.
2. Radiobiologi terapi radiasi
Radiasi menimbulkan kerusakan pada sel tergantung
dari dosis dan lama paparan (Baert, 2008). Oleh karenanya
radiasi sangat kuat berhubungan dengan radiobiologi, yaitu
ilmu yang mempelajari berbagai aspek radiasi dan efek
biologis yang ditimbulkan oleh radiasi (Susworo, 2003).
Cabang ilmu yang mempelajari pengobatan kanker
dengan radiasi, baik secara tunggal maupun kombinasi
dengan pengobatan lain disebut onkologi radiasi, dengan
memakai dasar perbedaan efek radiasi pada tumor dan
jaringan sehat disekitarnya (Suhartati, 2003).
a. Efek radiasi pada tingkat molekuler dan seluler
Efek radiasi pada tingkat molekuler melalui efek
langsung dan tidak langsung Efek langsung terjadi pada
atom target molekul. Target molekul baik pada sel
somatik maupun genetik adalah molekul deoxyribonucleic
acid (DNA). Efek tak langsung terjadi melalui

30
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

pembentukan radikal bebas yang terbentuk dari


radiolisis air. Siklus sel dapat berhenti sebagai respons
terhadap kerusakan DNA yang dipicu oleh berbagai
faktor penyebab antara lain radiasi, bahan bahan yang
bersifat karsinogenik, atau oleh aktifitas p53, sehingga sel
berkesempatan memperbaiki kerusakannya (Abbas,
Lichtman dan Pillai, 2007; Baert, 2008).
Efek radiasi pada tingkat sel dijelaskan bahwa
molekul DNA terletak pada inti sel, oleh karenanya inti
sel lebih peka terhadap radiasi dibandingkan sitoplasma
(Kleinsmith, 2006). Apabila kerusakan DNA parah dan
tidak dapat diperbaiki maka sel akan mengalami
apoptosis. Sel yang bertahan hidup dapat mengalami
efek lanjutan berupa mutasi, kerusakan khromosom dan
ketidakstabilan gen (Kumar, Abbas dan Fausto, 2005).
Pada sel kanker ekspresi p53 (gen penghambat
tumor) mengalami in aktifasi, menyebabkan fungsi
tersebut gagal. Akibatnya sel akan dirangsang untuk
melakukan proses mutasi dan sel yang rusak akan
membelah tanpa batas, menyebabkan invasi sel
karsinogen dan terjadilah metastasis (Murphree, 2007).
Kanker merupakan akibat kesalahan susunan
genetik yang melibatkan sistem pengontrol pertumbuhan
sel, kemampuan untuk invasi dan metastasis, pengontrol
siklus sel, apoptosis, DNA repair, immortalisasi, dan
angiogenesis. Beberapa dari gen kanker dan produknya
dapat menjadi penanda tumor yang bermanfaat untuk
terapi kanker (Murphree, 2007).
Penelitian karsinogenesis pada binatang coba
menunjukkan bahwa kanker melibatkan proses inisiasi

31
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

yang irreversible dan tidak dapat dikenali sebagai hal


yang patologis. Diikuti dengan promosi yaitu suatu
proses yang memfasilitasi ekspresidari fenotip terinisiasi
dan progresi yang menunjukkan perubahan fenotip lebih
lanjut dari sel terinisiasi. Semuanya melibatkan
perubahan genetik yang bervariasi dan perubahan pada
komplemen kromosom (Jia, Shao dan Feng 2003; Kumar,
Abbas dan Fausto, 2005).
Gen yang bertanggung jawab atas fenotip kanker
telah ditentukan sebagai oncogene (pemacu pertumbuhan)
dan tumor supressor gene (penghambat pertumbuhan).
Telah diketahui bahwa proto onkogen seluler dapat
diaktivasi menjadi onkogen tidak hanya dengan mutasi
poin yang memberikan sinyal kepada molekul untuk
menjadi aktif, tetapi juga dengan implifikasi sebagai-
mana terjadi pada c-myc pada neuroblastoma, dan
dengan translokasi kromosom. Efek dari perubahan ini
dominan pada level seluler (Jia, Shao dan Feng, 2003).
Eksistensi dari Tumor Supressor Gene adalah untuk
mendukung sifat resesif dari gen tersebut dan gen
Retinoblastoma (Rb) adalah merupakan gen Tumor
Supressor Gene pertama yang diisolasi pada tahun 1986
(Murphee, 2007). Virologi tumor DNA mengidentifikasi
protein supresi tumor sebagai target inaktifasi oleh
onkogen dari virus tumor DNA. Satu dari kriteria Tumor
Supressor Gen adalah demonstrasi dari hilang fungsi
atau mutasi inaktifasi pada gen. Mekanisme yang
menghilangkan atau menurunkan Tumor Supressor Gene
akan menyebabkan kehilangan heterozigositas, metilanin,
abnormalitas sitogenik, mutasi genetik, peningkatan
fungsi auto inhibitor, dan polimorfisme.

32
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Karsinoma berkembang dengan proses mutasi


pengaktifasi pada pertumbuhan dominan, meningkatkan
onkogen dan inaktivasi mutasi resesif pada inhibitor
pertumbuhan, Tumor Supressor Gene. Sebagai tambahan
abnormalitas epigenetik dalam ekspresigen-gen ini juga
memainkan peran penting dalam karsinogenesis.
Perubahan yang luas ini mencerminkan efek merugikan
dari mutagen, baik eksogen dan endogen, mutasi gerccine
sebagaimana tipe-tipe variatif dari instabilitas genomik
yang didapat selama perkembangan tumor (Arteaga dan
Baselga, 2003; Baert, 2008).
Analisis terinci tentang fungsi yang berbeda-beda
dari onkogen dan Tumor Supressor Gene yang telah
diketahui menunjukkan bahwa mereka mengkode
komponen komponen dari kaskade transduksi sinyal,
seperti faktor pertumbuhan, reseptor faktor pertumbuhan,
molekul pengadaptasi, kinase protein, G-protein, faktor
transkripsi nuklear, molekul yang memperbaiki DNA,
regulasi siklus sel, dan hal-hal lain yang memediasi
apoptosis, metastasis, dan invasi Katalog tentang gen
yang memanifestasi 6 perubahan esensial fisiologi, yang
secara kolektif memimpin pertumbuhan kearah maligna,
antara lain: sinyal pertumbuhan sendiri, sinyal yang
tidak sensitif terhadap penghambat pertumbuhan, peng-
hilangan program kematian sel (apoptosis), potensial
replikasi tanpa batas, angiogenesis, invasi jaringan, dan
metastasis. Ke 6 kapabilitas ini umumnya bersama-sama
dialami pada sebagian besar atau mungkin pada semua
tipe tumor manusia(Yongqiang et al, 2003; Baert, 2008).
Sel-sel normal membutuhkan sinyal pertumbuhan
mitogenik untuk berpindah dari status Go ke ke status
proliferasi aktif. Sinyal-sinyal ini, adalah faktor

33
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

pertumbuhan yang dapat menyeluruh, komponen


matriks ekstra seluler (ECM), maupun molekul adesi sel
ke sel. Beberapa sel kanker mengekspresiberlebih
onkogen yang mengkode faktor pertumbuhan (seperti
PDGF-beta) pada mereka yang responsif (Abbas,
Lichtman dan Pillai, 2007). Sel ini mengikat reseptor per-
mukaan sel spesifik yang mentransduksi sinyal stimulasi
pertumbuhan kedalam interior sel, mempromosi prolife-
rasi sel otonom. Beberapa kode onkogen untuk reseptor
faktor pertumbuhan, yang ketika oferekspresiakan
menyebabkan karsinoma.
Struktur dari reseptor faktor pertumbuhan, seperti
mutasi pada c-fms, dapat juga menimbulkan sinyal
independen ligan, dan karsinoma. Berlawanan dengan
gen yang mengkontrol siklus sel, banyak yang
terekspresi secara luas, gen faktor pertumbuhan dan
reseptor faktor pembekuan tampak menjadi gen kanker
dalam suatu kanker yang lebih spesifik, yang mungkin
merupakan suatu cerminan sel terbatas dan ekspresi
jaringan spesifik dari gen-gen ini. Sel karsinoma juga
dapat merubah tipe dari reseptor ekstraseluler (integrin),
mengikuti sinyal untuk pertumbuhan (Arteaga dan
Baselga, 2003; Knecht, 2005).
Mekanisme kompleks yang memimpin otonomi
sinyal transduksi didapat dari perubahan komponen
jalur transduksi, sinyal yang terinisiasi oleh reseptor
faktor pertumbuhan teraktifasi ligan dan integrin yang
meregulasi siklus sel. Progresi yang urut dari pemilahan
sel-sel mamalia dari fase siklus sel adalah oleh suatu seri
protein yang disebut siklin yang memperoleh efeknya

34
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

dengan mengikat dan mengaktivasi suatu seri cyclin-


dependent kinases (CDKs) yang spesifik (Baert, 2008).
Proses ini lebih jauh dimodulasi oleh fosforilasi dan
defosforilasi dari protein CDK oleh kinase protein dan
fosfatase dan oleh serangkaian protein inhibitor CDK
(CDIs). Keabnormalitasan fungsi dari komponen yang
terlibat pada regulasi ini akan mengacu pada proliferasi
sel yang berlebihan, yang merupakan dasar dari
pembentukan tumor (Kumar, 2005).
Produk protein dari banyak onkogen dan TSG
meregulasi aktivitas dari CDK yang bertanggung jawab
atas langkah awal dari fase presintetis G1 (komplek dari
siklin D1-D3 dengan Cdk4 atau Cdk6 tergantung tipe sel)
dan transisi dari G1 ke fase S dari sintesis DNA (cyclinE-
Cdk2). Beberapa proto onkogen dan TSG meregulasi
aktivitas kompleks cyclin A-Cdk2 (dibutuhkan untuk
replikasi DNA)dan cyclin B-Cdk1, bertanggung jawab
untuk transisi dari fase G2 ke mitosis (Abbas, Lichtman
dan Pillai, 2007), ini memfosforilasi protein penekan
tumor Prb. Fosforilasi Prb dan ikatannya pada beberapa
onkoprotein virus menginduksi pelepasan dan aktivasi
kompleks transkripsi E2F/DP, yang meningkatkan
ekspresidari gen yang produknya penting untuk pasase
fase S (Baert, 2008).
Jalur lain yang menyatukan siklus sel adalah yang
dimediasi oleh molekul permukaan sel, E-Chaderin, yang
terikat kepada β-catenin penting untuk fungsi adhesi
selulernya. β-catenin yamg tidak terikat bertindak
sebagai tarnskripsi dan mengikat yang lainnya, seperti
Tcf4. kompleks tersebut kemudian ditranslokasi ke

35
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

nukleus dimana mereka mengaktivasi beberapa gen,


diantaranya adalah cyclin D1 dan MYC. Hal ini
menghasilkan aktivasi CDK yang bertanggung jawab
pada proses dalam fase G1 dan masuknya ke dalam fase
S. APC penekan tumor (mutasinya menyebabkan
perkembangan dari poliposis adenomatosa pada
intestinal) mengikat β-catenin sitoplasmik bebas. Hal ini
diikuti oleh degradasi β-catenin. Sedangkan inaktivasi
APC menstimulasi pembentukan kompleks catenin-Tfc,
meningkatkan transkripsi atas cyclin D1 dan gen MYC
dan pada saatnya mengijinkan masuknya sel kedalam
fase S. mutasi dari β-catenin (ditemukan pada pasien
dengan poliposis adenomatosa familial) meningkat
stabilitasnya dan menghasilkan konsekuensi yang sama
dengan yang tanpa mutasi APC Insensitivitas pada
sinyal anti-pertumbuhan dan proliferasi tak terkontrol
juga melibatkan jalur pemberi sinyal Cdk-Rb-E2f. Ini
tidak hanya dikontrol oleh pRb tapi juga oleh banyak
protein penekan yang lain, beberapa merupakan
inhibitor Cdk, promosi penghentian siklus sel saat fase
G0/G1, sehingga fase S tidak memulai respons pada
sinyal yang bervariasi. Sirkuit anti-pertumbuhan seperti
Rb dan siklus divisi sel yang terganggu dalam kebanyak-
an kanker merupakan konsep penentu hilangnya
penekan tumor pada karsinoma (Murphree, 2007).
Jadi hampir semua proto onkogen dan TSG yang
diketahui meregulasi aktivitas dari CDK bertanggung
jawab atas masuknya pada fase S. Kegagalan jaras sinyal
regulasi pRb adalah kondisi awal yang penting untuk
penampakan sel neoplasma yang berproliferasi konstan.

36
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Tampak dari atas bahwa paradigma masa kini dalam


karsinogenesis adalah berhubungan dengan aktivasi
oncogen dan penurunan ekspresidari TSG. Pada
beberapa tipe kanker terdapat peningkatan ekspresi
produk TSG, p27, p21, p16, atau Rb. Hal ini mungkin
merefleksikan, setidaknya sebagian, eksistensi homeostatis
mekanisme umpan balik dalam sirkuit sel yang mem-
pertahankan keseimbangan antara promosi pertumbuhan
dan inhibisi faktornya, mengacu pada efek biologis dari
onkogen dan TSG yang saling bergantung (William dan
Chi, 2007).
Kemampuan sel tumor untuk terus bertambah
ditentukan tidak hanya oleh tingkat proliferasi sel tapi
juga oleh resistensi terhadap program kematian sel.
Setidaknya 2 jalur berbeda terlihat mempromosi
apoptosis dengan aktivasi aspartate proteases-caspases yang
bertindak pada substrat kunci untuk kematian sel. Ikatan
faktor-faktor kematian, ligan Fas dan TNFα pada
reseptor spesifik mereka menyandikan kaspase 3,6, dan 7
yang penting untuk apoptosis. Mekanisme alternatif
melibatkan kaspase 3, 6, dan 7 melalui kaspase 9 yang
teraktivasi melalui suatu jalur yang melibatkan TS p53.
aktivasi p53 oleh beberapa sinyal apoptosis seperti
kerusakan DNA, aktivasi onkogen, insufisiensi faktor
survival atau hipoksia, kehilangan kontak sel dengan sel
yang lain atau ECM yang menyebabkan protein regulasi
Bcl2, yang akan meningkatkan ekspresigen BAX dan
represi gen BCL2. protein bax mempromosi pelepasan
sitokrom c dan/atau AIF (apoptosis-inducing factor) dari
mitokondria. Protein Bcl2 dan Bclx menghambat
pelepasan ini. Bax pada gilirannya dapat mengikat bcl2

37
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

dan bclx dan mempengaruhi efeknya. Sitokrom C dan


protease AIF adalah peralatan untuk aktivasi kaspase 9
yang pada gilirannya menjadikan kaspase 3, 6, dan 7
menuju apoptosis (Yongqiang et al, 2003).
Penuaan dan imortalisasi adalah penting sebagai
informasi yang komplex yang mengatur hidup dan mati.
Sel-sel dalam kultur memiliki potensi replikasi yang
pasti. Setelah juccah duplikasi tertentu mereka berhenti
tumbuh, yang merupakan sebuah proses. Proses ini
dapat dilanjutkan dengan mencegah protein p35 dan
pRb, yang mengijinkan sel untuk terus berduplikasi
sampai mereka mencapai status krisis yaitu kematian sel.
Proses angiogenesis diregulasi oleh terminasi dari
sekresi inhibitor dan peningkatan akan faktor
pertumbuhan seperti VEGF, FGF, EGF, dan TGFα, yang
dibutuhkan untuk proliferasi dan migrasi dari sel-sel
endotel dan oksigen yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan tumor disuplai oleh pembentukan jaringan
kapiler baru dari sel endotel venula-venula kecil.
Peningkatan pada faktor pertumbuhan diikuti oleh
peningkatan sekresi dan/atau aktivitas dari protease,
menyebabkan proteolisis dari matriks ekstra seluler dan
invasi endoteliosit pada jaringan neoplastik. TS p53
mengaktivasi produksi dari trombospondin inhibitor dan
menekan transkripsi gen VEGF. Inaktivasi p53
memerankan peran kunci dalam pembentukan fenotip
angiogenik dari sel neoplastik. Onkogen Ras
menginduksi aktivasi dari kompleks transkripsi AP-1
dan meningkatkan sekresi VEGF dan produksi MMP9
dan 1. Protein onkogen Myc dan Vhl juga dilaporkan
memainkan peran kunci dalam angiogénesis.

38
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Sebagaimana proses kanker, terdapat kehilangan


lanjut akan kontrol yang mengeluarkan sel dari fokus
primer, berpindah ke tempat lain dimana mereka
membentuk fokus baru. Suatu molekul sel permukaan
sel yang diteliti adalah E-cadherin, yang juga merupakan
produk dari TSG, memediasi interaksi sel ke sel yang
menghasilkan transmisi dari anti pertumbuhan dan
sinyal lain melalui β-catenin dan mengakhiri aktivasi
faktor trnskripsi. Fungsi E-cadherin lenyap pada
kebanyakan kanker epitel oleh intaktivasi mutasi dari
gen E-cadherin atau β-catenin dan represi transkripsional
atau proteolisis cadherin ekstraseluler.
Protein p53 adalah yang penting karena perubahan
pada aktivitasnya menyebabkan perubahan simultan
dari beberapa komponen fenotip metastase dan
instabilitas genetik yang mempromosi perubahan lain
yang dibutuhkan untuk metástasis.
b. Faktor yang mempengaruhi respons sel terhadap
radiasi
Setiap jaringan normal mempunyai dosis toleransi
nekrosis saat terkena radiasi. Respons sel normal ter-
hadap kerusakan DNA adalah mencegah kelangsungan
defek genetik. Pada sel kanker, terjadi supresi dari
induksi apoptosis yang meningkatkan kemungkinan
untuk terjadinya perubahan genetik. Tumor mempunyai
dosis lethalis yang dapat mematikan sel tumor tersebut.
Dosis lethalis adalah dosis yang dapat mematikan lebih
kurang 95% sel tumor. Radiosensitivitas tumor sangat
beragam, tergantung beberapa faktor antara lain saat fase
proliferasi, saat terkena radiasi, biologi tumor, derajat

39
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

diferensiasi, jenis histopatologi dan oksigenasi (Kleinsmith,


2006).
Progresi tumor ditentukan oleh terjadinya mutasi
lebih lanjut. Pada instabilitas genetik dan fenotip mutator
dari sel kanker mendapatkan banyak perhatian. Konsep
kegawatan bahwa genom dari sel kanker adalah tidak
stabil menghasilkan kaskade mutasi dan disamping
apoptosis, terdapat sistem khusus yang mengontrol
integritas genom (Arteaga dan Baselga, 2003).
Ekspresioksigen di jaringan berperan penting dalam
mempengaruhi respons sel terhadap radiasi. Ekspresi
haemoglobin yang rendah berhubungan dengan penurunan
oksigenasi jaringan. Pada jaringan normal, ekspresi
oksigen cukup, tetapi pada jaringan tumor ganas
(kanker), terutama yang bervolume besar seringkali
dijumpai sel sel nekrotik terutama di bagian sentralnya.
Sel yang terletak di bagian tepi dan dekat dengan
pembuluh darah biasanya mempunyai ekspresioksigen
yang lebih tinggi sehingga lebih radiosensitif. Sel kanker
dengan kondisi hipoksik ini membutuhkan dosis radiasi
tiga kali lebih besar dibanding sel yang tidak hipoksik.
3. Cara pemberian terapi radiasi pada KNF
a. Penentuan batas-batas lapangan radiasi
Pasien dibaringkan telentang. Dengan menandai
kantus lateral, kanalis auditorius eksternus, dan
limfonodi yang teraba dapat mempermudah desain
portal. Dengan teknik konvensional, tumor primer dan
limfonodi pada leher atas diradiasi dengan medan foton
lateral yang berlawanan (lateral-opposed photon fields).
Tindakan tersebut merupakan salah satu langkah

40
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

penting untuk menjamin keberhasilan suatu radioterapi.


Lapangan penyinaran meliputi daerah tumor primer dan
daerah yang berpotensi untuk penjalaran perkontinui-
tatum serta kelenjar-kelenjar getah bening regional
(kelenjar leher sepanjang jugular dan sternokleidomastoi-
deus) dari lateral dan anterior.
Secara garis besar, batas-batas lapangan radiasi
adalah Batas anterior : terletak dibelakang bola mata dan
koana, 1/3 posterior sampai ½ bagian rongga hidung,
tergantung dari ukuran lesi (atau 2cm dari batas
penyebaran tumor). Pada umumnya, sebagian besar
rongga mulut dapat dilindungi dengan membentuk
medan radiasi menjadi notch (indentasi berbentuk V) di
bawah palatum mole. Batas superior meliputi basis
kranii dan sella tursika: pada dasar fossa pituitary dan
tepat di atas clivus (untuk lesi stage T1 sampai T2). Batas
awal sepanjang 2 cm ditarik dari batas luar penyebaran
tumor sampai ke clivus atau ditarik intrakranial untuk
stage T3 dan T4. Batas posterior: tepat dibelakang meatus
akustikus eksterna, kecuali bila terdapat pembesaran
kelenjar maka batas belakang harus terletak 1 cm di
belakang kelenjar yang teraba tepat di belakang
processus spinosus atau bergeser lebih posterior jika
terdapat limfonodi acessorius spinal yang besar. Batas
inferior terletak pada tepi atas kartilago tiroidea, batas ini
berubah bila didapatkan pembesaran kelenjar leher,
yaitu 1 cm lebih rendah dari kelenjar yang teraba : batas
inferior ditempatkan tepat di atas aritenoidea. Jika
ditemukan tumor primer leher yang telah lanjut,
dilakukan penggabungan terapi melalui limfonodi-
limfonodi di atas laring.

41
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Setelah terapi di lanjutkan dengan batas posterior


ditempatkan di atas 1/3 posterior corpus vertebrae
untuk memastikan cakupan yang adekuat pada dinding
faring posterior dan limfonodi retrofaringeal. Medan
lateral oblik mungkin diperlukan bila terdapat
penyebaran tumor parafaring retrostyloid atau limfonodi
retrofaringeal yang besar. Pasien dengan penyebaran
parafaring retrostiloideal bilateral menyebabkan
kesulitan pada teknis untuk mencakup keseluruhan
penyebaran tumor tanpa memberikan pajanan berlebih
pada medulla spinalis dan pars cervical bagian atas.
Jika terdapat pembesaran kelenjar getah bening
pada hubungan mid cervical posterior, medan posterior
ditambahkan untuk tambahan dosis pada area tersebut.
Untuk volume tambahan, medan lateral dikurangi agar
dapat memasukkan tumor primer dan limfonodi leher
atas.Batas superior, disesuaikan agar tidak mengenai
tractus, chiasma dan nervus optikus setelah dosis 54 Gy.
Batas anterior 1- 1,5 cm di tepi luar keseluruhan lesi.
Batas posterior: melalui 1/3 posterior corpus vertebra.
Batas yang sesuai untuk volume tambahan (boost volumes)
digunakan untuk mencakup seluruh penyebaran
penyakit yang tampak secara klinis maupun radiologis.
Batas posterior dapat sangat ketat, untuk tumor yang
menyebar melalui basis cranii atau otak, untuk mencegah
kerusakan batang otak.Batas inferior tergantung pada
status limfonodi. Jika No, batas inferior adalah pada
fossa mid tonsilaris (dapat bergeser lebih inferior jika
terdapat keterlibatan orofaring). Jika limfonodi leher
bagian atas terlibat, maka batasnya menjadi di atas

42
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

aritenoidea. Sementara dengan off-cord reduction yang


pertama, medan lateral oblik mungkin diperlukan untuk
mencakup retrofaring dan parafaring yang terkena.
Electron field atau glancing electron field digunakan untuk
meningkatkan cakupan pada limfonodi pada leher
bagian tengah atau bawah. Jika area posterior dan leher
bagian tengah perlu peningkatan, maka digunakan single
L-shape electron field.
Untuk tumor stadium I dan II, daerah-daerah
dibawah ini harus disinari yaitu seluruh nasofaring,
seluruh sfenoid dan basis oksiput, sinus kavernosus,basis
kranii, minimal luasnya 7 cm2 meliputi foramen ovale,
kanalis karotikus dan foramen jugularis lateralis,
setengah belakang kavum nasi, sinus etmoid posterior,
1/3 posterior orbita, 1/3 posterior sinus maksila, fossa
pterygoidea, dinding lateral dan posterior faring setinggi
fossa mid tonsilar, kelenjar retrofaringeal. Kelenjar
servikalis bilateral termasuk jugular posterior, spinal
aksesori dan supraklavikular (Susworo, 2003; Baert,
2008).
Apabila ada perluasan ke kavum nasi atau orofaring
(T3) seluruh kavum nasi dan orofaring harus
dimasukkan dalam lapangan radiasi. Apabila perluasan
melalui dasar tengkorak sudah mencapai rongga kranial,
batas atas dari lapangan radiasi terletak di atas fossa
pituitary. Apabila penyebaran tumor sampai pada sinus
etmoid dan maksila atau orbita, seluruh sinus atau orbita
harus disinari. Kelenjar limfe sub mental dan oksipital
secara rutin tidak termasuk, kecuali apabila ditemukan

43
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

limfadenopati servikal yang masif atau apabila ada


metastase ke kelenjar sub maksila (Kentjono, 2003).
Pada penderita dengan kelenjar leher yang sangat
besar, metode radiasi di atas tidak dapat diterapkan,
radiasi diberikan dengan lapangan depan dan belakang,
batas atas mencakup seluruh basis kranii. Batas bawah
adalah tepi bawah klavikula, batas kiri dan kanan adalah
2/3 distal klavikula atau mengikuti besarnya kelenjar.
Kelenjar supra klavikula serta leher bagian bawah
mendapat radiasi dari lapangan depan, batas atas
lapangan radiasi ini berhimpit dengan batas bawah
lapangan radiasi untuk tumor primernya.
b. Jenis Sinar untuk radioterapi
Sinar yang dipakai untuk radioterapi adalah 1. Sinar
Alfa ialah sinar korpuskuler atau partikel dari inti atom.
Inti atom terdiri dari proton dan neutron. Sinar ini tidak
dapat menembus kulit dan tidak banyak dipakai dalam
radioterapi.
Sinar Beta ialah sinar elektron. Sinar ini dipancarkan
oleh zat radioaktif yang mempunyai energi rendah, daya
tembusnya pada kulit terbatas yaitu 3-5 mm, digunakan
untuk terapi lesi superfisial. 3. Sinar Gamma ialah sinar
elektromagnetik atau foton. Sinar ini dapat menembus
tubuh, daya tembusnya tergantung dari besar energi
yang menimbulkan sinar itu. Makin tinggi energinya
atau makin tinggi voltasenya, makin besar daya
tembusnya dan makin dalam letak dosis maksimalnya. 4.
Radioisotop yang dipakai yaitu Caesium137, Cobalt 60
adalah sinar gamma dan Radium226 mengandung sinar α,
 dan γ.

44
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

c. Radioterapi KNF
Beberapa cara utama pemberian radioterapi, yaitu:
Radiasi Eksterna/Teleterapi adalah teknik radiasi dengan
sumber sinar berupa sinar-X atau radioisotop ditempat-
kan di luar tubuh. Sinar diarahkan ke tumor yang akan
diberi radiasi. Besar energi yang diserap oleh suatu
tumor tergantung dari: 1.Besar energi yang dipancarkan
oleh sumber energi. 2. Jarak antara sumber energi dan
tumor. 3. Kepadatan massa tumor.Teleterapi umumnya
diberikan secara fraksional dengan dosis 150-250 cgy per
kali, dalam 2-3 seri. Diantara seri 1-2 atau 2-3 seri, diberi
istirahat 1-2 minggu untuk pemulihan keadaan umum-
nya, sehingga satu siklus radioterapi memerlukan waktu
4-6 minggu.
Sebagian besar radioterapi primer diberikan dengan
radiasi eksternal menggunakan X-ray 6MV atau 18 MV.
Apabila digunakan Co60 γ-ray maka frekuensi yang
diberikan lebih sedikit yaitu 6MeV-20 MeV. Pemilihan
tipe sinar dan energi berdasarkan lokasi dan parameter
geometri dari volume target. Inisial volume target
meliputi tumor besar yang didapat dari pemeriksaan
klinis maupun diagnosis imaging dan di daerah yang
berpotensi menyebar secara subklinis. Dosis tambahan
dapat diberikan setelah atau bersamaan dengan radiasi
inisial volume target pada area yang luas (Susworo,
2003).
Radiasi dengan arah sinar radioterapi terintegrasi
simultan /simultaneous integrated boost memakai computer-
controlled multileaf collimator, dapat memberi keuntungan
radiobiologik tambahan dalam segi pengurangan dosis

45
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

perfraksi pada jaringan normal selama pemberian dosis


yang lebih tinggi perfraksi menuju volume target. Dosis
yang lebih tinggi perfraksi juga akan mengurangi juccah
fraksi dan menekan biaya selama dilakukan penyinaran
(Susworo, 2003).
Sejak CT Scan muncul tahun 1983, mendorong
perkembangan lebih lanjut sistem 3D (3 Dimensi),
melalui peningkatan kemampuan minikomputer. Sistem
tersebut memproduksi tampilan BEV (beam’s eye view),
kualitas tinggi dan dapat menampilkan pencitraan
radiografi dengan komputer melalui digital data CT
Scan. Radiografi komputerisasi tersebut disebut DRRs
(digitally reconstructed radiographs). Pada pertengahan
tahun 1980-an, perencanaan sistem 3D memiliki kekuatan
tampilan baru berupa REV (room’s eye view), pertama kali
dikembangkan di Universitas Washington pada tahun
1986. Tampilan REV menyediakan perencanaan perawatan
sebuah poin simulasi (Susworo, 2003).
3D-CRT (3Dimentional Conformal Radiation Therapy)
merupakan teknologi modern imejing/pencitraan anatomi,
seperti Computed tomography X-ray (CT) dan magnetic
resonance imaging (MRI). Merupakan model 3-dimensi
yang lengkap pada anatomi pasien kanker, dilengkapi
dengan imejing/pencitraan fungsional, seperti Positron
Emission Tomography (PET) atau magnetic resonance
spectroscopy. Sehingga para oncologist radiotherapy dapat
mengidentifikasi volume tumor dengan lebih akurat dan
mengetahui ada tidaknya keterkaitan dengan organ vital
normal lainnya. CT simulasi dan three-dimensional
treatment planning system (3DTPS) telah tersedia sejak

46
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

awal 1990 an dan 3DCRT saat ini merupakan suatu


standar praktek yang baku. Manfaat peralatan tersebut
untuk mengetahui letak tumor secara tepat sehingga
radiasi dapat mengenai daerah tumor dari berbagai
bidang, keuntungannya kerusakan pada jaringan normal
minimal.
IMRT (intensity-modulated radiation therapy) adalah
bentuk terbaru 3D-CRT menggunakan mesin dengan
sistem komputerisasi, dapat bergerak disekitar pasien
selama mesin tersebut mengeluarkan radiasi. Selama
membentuk dan mengeluarkan radiasi dari berbagai
sudut, intensitas radiasinya bisa diatur untuk
meminimalkan dosis yang dikenai pada jaringan normal.
Sejak diperkenalkan untuk penggunaan klinis, alat
tersebut mempunyai kemampuan untuk mewujudkan
radiasi dosis tinggi menuju volume target bentuk
irreguler, dengan meminimalkan efek samping radiasi
secara optimal. IMRT mengatasi ketidak seragaman
intensitas menjadi sinar yang disubdivisikan dalam
ukuran kecil-kecil, mempunyai kemampuan secara
optimal memanipulasi intensitas dari penyinaran
individual setiap sinar, sehingga dapat meningkatkan
kontrol terhadap pengaruh radiasi, memungkinkan
adanya pola tertentu terhadap distribusi dosis optimum.
IMRT memiliki potensi lebih efisien, dibandingkan
standart 3DCRT, sehingga efek samping radioterapi lebih
sedikit, berarti dapat meningkatkan quality of life
penderita (Susworo, 2003). Distribusi dosis IMRT dapat
dibuat lebih homogen, diciptakan untuk memenuhi
bentuk yang lebih konvek, dibentuk untuk menghindari

47
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

jaringan normal yang vital di dalam area penyinaran.


Apabila diinginkan pengurangan dosis yang tajam dapat
dicapai untuk perlindungan menyeluruh pada satu atau
lebih organ vital. Untuk memenuhi volume target dari
distribusi dosis, sinar konvensional yang telah dimodifi-
kasi (wedges, blok transmisi parsial dan atau compensating
filter) terkadang masih digunakan 3DCRT disertai
dengan suatu IMRT dalam mencapai penyesuaian dosis
radiasi secara optimal (Kleinsmith, 2006; Baert, 2008).
High-Presicion Radiotherapy adalah perencanaan dan
teknik radioterapi secara komputerisasi untuk menyesuai-
kan iradiasi terhadap volume tumor target yang ireguler
(conformal radiation therapy/CRT), sehingga dosis radiasi
pada jaringan normal yang mengelilingi tumor berkurang
tanpa mengurangi dosis yang ditujukan pada volume
target yang dikehendaki, sehingga dapat menurunkan
morbiditas. Hasil yang telah diperoleh menunjukkan
bahwa hal tersebut efektif dalam melindungi glandula
parotis dari radiasi dosis tinggi, dengan demikian
menurunkan terjadinya xerostomia permanen. Perbaikan
secara potensial distribusi dosis yang akan mengarah
kepada perbaikan kontrol tumor dan mengurangi
toxisitas jaringan normal pada IMRT dibutuhkan setting
dari 10-10.000 intensitas relative penyinaran yang terdiri
dari suatu rencana perawatan intensity-modulated. Hal
tersebut tidak dapat dicapai secara manual tetapi
membutuhkan penggunaan komputer khusus dengan
penambahan metode optimisasi. Intensitas pelepasan
sinar yang optimum dapat dilakukan dengan meng-
gunakan proses systematic interactive. Komputer secara
bertahap membangkitkan intensitas-nya berdasarkan

48
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

kriteria perubahan pada intensitas sinar, berdasarkan


deviasi dari obyek yang diinginkan (Baert, 2008). Fungsi
matematika dan parameter tersebut digunakan oleh
proses optimisasi untuk mengevaluasi dan membanding-
kan kemampuan rencana perawatan; matematika dan
algoritma dari optimalisasi juccah, orientasi, dan energi
dari radiasi serta batas yang diberikan pada planning
target volume (Kleinsmith, 2006).
Radiasi Interna/Brachiterapi adalah teknik radiasi
dengan sumber energi diletakkan di dalam tumor atau
berdekatan dengan tumor di dalam rongga tubuh. Ada
beberapa jenis radiasi interna : a. Interstitiil : Radioisotop
berupa jarum ditusukkan ke dalam tumor, misalnya
dengan jarum radium atau jarum irridium, contoh
kanker primer pada dasar lidah atau fossa tonsilaris yang
meluas ke dasar lidah. b. Intrakaviter: pemberian radiasi
dilakukan dengan teknik after loading yaitu suatu
aplikator kosong dimasukkan ke dalam rongga tubuh ke
tempat tumor. Setelah aplikator letaknya tepat, baru
dimasukkan radioisotop ke dalam aplikator tersebut.
Larutan radioisotop disuntikkan ke dalam rongga tubuh,
misalnya pleura atau peritoneum, disuntikkan secara
intravena misalnya I131, akan diserap oleh tiroid untuk
mengobati kanker tiroid. Brachiterapi biasanya dikom-
binasikan dengan terapi sinar eksternal. Kombinasi
terapi ini diberikan pada area yang berisiko penyakit
subklinis dengan diberikan irradiasi sinar eksternal
dengan dosis yang cukup untuk sterilisasi deposit
mikroskopis dan lesi yang berukuran besar diberikan
tambahan brachiterapi dengan dosis lebih besar. Hal ini

49
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

mengakibatkan tereksposnya volume yang lebih kecil


dari jaringan normal dan radiasi dengan dosis tinggi. Jika
diaplikasikan secara benar, kontrol tumor dapat dihasil-
kan dengan morbiditas terapi yang rendah (Baert, 2008).
d. Dosis radiasi
Ada 2 jenis radiasi, yaitu: 1. Radiasi Kuratif.
Diberikan kepada semua tingkatan penyakit, kecuali
pada penderita dengan metastasis jauh Di Instalasi
Radioterapi FK UNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta
radiasi diberikan secara bertahap dengan dosis 200 cGy,
5 x per minggu untuk tumor primer dan KGB leher
sampai mencapai dosis total 6600 cGy, dengan
menggunakan pesawat megavoltage dan menggunakan
radioisotop Cobalt 60 dalam waktu 4 sampai 5 minggu.
Sasaran radioterapi adalah tumor primer, KGB leher dan
supra klavikuler. Setelah tercapai dosis 4000 cGy medulla
spinalis di blok, penderita mendapat istirahat selama 2-3
minggu, pada akhir istirahat dilakukan penilaian respons
terhadap tumor untuk kemungkinan mengecilkan
lapangan radiasi dan penilaian ada tidaknya metastasis
jauh. Setelah tercapai dosis radiasi 5000 cGy, lapangan
radiasi supraklavikuler dikeluarkan. Radiasi dilanjutkan
10-13 x 200 cGy lagi untuk tumor primer sehingga dosis
total adalah 6000-6600 cGy. Apabila tidak didapatkan
pembesaran kelenjar regional maka radiasi efektif pada
kelenjar leher dan supraklavikuler cukup sampai 4000
cGy. 2. Radiasi Paliatif, diberikan untuk metastasis tumor
pada tulang dan kekambuhan lokal. Dosis radioterapi
untuk metastasis tulang 3000 cGy dengan fraksi 300 cGy,
5 x per minggu. Untuk kekambuhan lokal, lapangan
radiasi terbatas pada daerah kambuh.

50
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

e. Radioterapi pada metastase


Metastasis tulang, metastasis pada otak memerlukan
tindakan segera. Tindakan pembedahan berupa
pemasangan pen pada tulang panjang yang terkena akan
membantu tulang ini untuk menopang berat badan,
tetapi tidak mencegah meluasnya proses keganasan serta
tidak mengurangi nyeri (Roezin dan Safril, 2006).
Tindakan radioterapi selain bisa dilakukan segera, tanpa
persiapan, juga cukup efisien untuk mengurangi nyeri.
Untuk lesi disertai fraktur patologis, tindakan radioterapi
tidak mungkin memperbaiki fungsi tulang, diharapkan
akan terjadi pengapuran lesi dalam waktu 8 – 10 minggu.
Demikian pula pada kasus metastasis tulang belakang
yang mengancam timbulnya fraktur patologis dapat
mengakibatkan terjadinya paraplegia, bisa dicegah
dengan radiasi, dosis radiasi yang diberikan adalah 10 x
3 cGy pada tumor atau dosis tunggal 1000 cGy. Untuk
tulang belakang, selain radiasi pada lesi juga harus
mengikutsertakan korpus vertebra distal dan proksimal
dari korpus vertebra yang terkena. Pada kasus metastasis
paru, radiasi hanya berperan apabila metastasis tersebut
segera menimbulkan sindroma vena kava superior,
dosisnya adalah 2,5 – 3 cGy perhari pada tumor
sebanyak 10 – 15 kali atau sampai gejala menghilang,
maksimum 50 Gy. Pada kasus metastasis otak, radiasi
paliatif diberikan di seluruh otak (whole brain) dengan
dosis 40 Gy, disusul dengan booster pada lesi metastasis
terbesar (Susworo, 2003).

51
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

f. Radioterapi pada kasus kambuh


Radiasi berulang untuk kekambuhan lokal dengan
tujuan kuratif setelah pemberian radiasi dosis tinggi
dibatasi hanya bagi pasien dengan kekambuhan terbatas
pada nasofaring atau dengan penyebaran terbatas pada
regio parafaring, basis cranii, atau keduanya. Conformal
radiotherapy digunakan untuk meng optimalkan toleransi
radiasi ulang dengan membatasi volume jaringan sehat
yang terekspos radiasi ulangan. Apabila lokal sudah
tidak ditemukan lagi tanda–tanda akut seperti kulit dan
selaput lendir mulut yang hiperemi, maka luas lapangan
radiasi terbatas pada nasofaring atau kelenjar regional
(Chua et al, 2003; Susworo, 2004).
4. Respons KNF terhadap radiasi
Respons tumor terhadap radiasi yang diberikan sangat
bervariasi tergantung jenis patologi, stadium dan besar
tumor. Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi
respons terhadap radiasi. Respons dinilai dari pengecilan
kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di
nasofaring. Penilaian respons radiasi berdasarkan kriteria
WHO (WHO Offset Publication No. 48 tahun 1979), respons
tumor terhadap terapi baik radioterapi maupun kemoterapi
dapat dibagi menjadi 4 tingkat respons, yaitu 1. Respons
Lengkap (RL) bila tumor menghilang 100%, 2. Respons
Sebagian (RS) bila tumor mengecil lebih dari 50%, 3. Tidak
ada Respons (TR) bila tumor mengecil kurang dari 50% atau
tetap dan 4. Progresif (P) tumor makin besar atau timbul lesi
baru yang sebelumnya tidak ada.
Respons radioterapi untuk KNF stadium dini sangat
baik, yaitu complete local clearance untuk T1 sebesar 96% dan

52
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

T2 sebesar 88%. Respons KNF terhadap radioterapi berupa


respons lengkap (RL) dilaporkan sebesar 43%-65%, respons
sebagian (RS) 24%-30%, tidak ada respons (TR) 3,5%-20%
dan tumor makin progresif (P) sebesar 0%-15%. Rata rata
respons secara keseluruhan (overall responsce rate/ORR)
sekitar 25%-65%. Pada KNF stadium lanjut, kegagalan
radioterapi dalam memberantas sel kanker secara lokal
maupun regional (loco-regional failure) sangat tinggi yaitu
sekitar 40%-80%. Kegagalan radioterapi dalam membunuh
sel kanker baik yang berada di nasofaring maupun
metastasisnya di leher pada KNF stadium lanjut sekitar 50%-
80% (Chua et al 2003).
a. Komplikasi radioterapi
Komplikasi radioterapi dapat berupa: 1. Komplikasi
dini, biasanya terjadi selama atau beberapa minggu
setelah radioterapi, misalnya xerostomia, mual muntah,
mukositis, anoreksi, dermatitis, eritema. 2. Komplikasi
lanjut biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radio-
terapi, misalnya kontraktur, gangguan pertumbuhan.
b. Upaya meningkatkan respons KNF terhadap terapi
radiasi
Upaya untuk meningkatkan respons KNF terhadap
terapi radiasi antara lain pemberian kombinasi
kemoterapi, terapi hipertermi, oksigenasi hiperbarik,
hiperfraksinasi dan pengembangan pesawat radioterapi.
Upaya upaya tersebut dilakukan dengan tujuan utama
adalah untuk meningkatkan kepekaan sel kanker agar
lebih mudah dimatikan oleh pemberian terapi radiasi.

53
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

1) Kemoterapi pada KNF


Indikasi pemberian kemoterapi pada karsinoma
nasofaring antara lain pada KNF stadium lanjut
lokoregional, disertai atau dicurigai adanya metastasis
jauh, tumor persisten dan rekuren. Kemoterapi dapat
diberikan sebelum (neoadjuvant), selama (concurent)
atau setelah (adjuvant) terapi radiasi (Susworo, 2004).
Respons tumor terhadap radiasi umumnya
meningkat bila dikombinasi dengan kemoterapi
seperti cisplatin, 5-fluorouracil, hydroxyurea dan
mitomicin. Banyak macam regimen kemoterapi yang
dapat digunakan untuk mengobati tumor ganas di
daerah kepala leher. Obat anti kanker yang paling
sering digunakan dan diteliti adalah kombinasi
cisplatin dan 5-fluorouracil. Beberapa sitostatika telah
direkomendasikan untuk digunakan pada keganasan
di daerah kepala dan leher termasuk karsinoma
nasofaring yaitu cisplatin, carboplatin, methotrexate,
5fluorouracil, bleomycin, hydroxyurea, doxorubicin,
cyclophosphamide, docetaxel, mitomycin-C, vincristine
dan paclitaxel (Kentjono, 2003).
Brennan yang dikutip Kentjono (2003) mengaju-
kan protokol penanganan KNF sebagai berikut :
Stadium I: Radioterapi dosis tinggi pada tumor
primer di nasofaring dan radiasi profilaktik di daerah
leher.
Stadium II : 1. Kemo-radoterapi. 2. Radioterapi
dosis tinggi pada tumor primer di nasofaring dan
radiasi profilaktik di leher.

54
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Stadium III : 1. Kemo-radioterapi 2.Radioterapi


dosis tinggi/teknik hiperfraksinasi yang ditujukan
pada tumor primer dan kelenjar leher bilateral (bila
ada). 3. Diseksi leher mungkin dapat dikerjakan bila
tumor leher persisten atau rekuren asalkan tumor
primer di nasofaring sudah terkontrol.
Stadium IV: 1. Kemo-radioterapi. 2. Radioterapi
dosis tinggi/teknik hiperfraksinasi ditujukan pada
tumor primer di nasofaring dan kelenjar leher
bilateral (bila ada). 3. Diseksi leher mungkin dapat
dikerjakan bila tumor leher persisten atau rekuren
asalkan tumor primer di nasofaring sudah terkontrol.
4. Kemoterapi untuk KNF stadium IV C. Kombinasi
Radiasi dengan Kemoterapi Berdasarkan Meta-
analysis of Chemotherapy on Head and Neck Cancer
(MACH-NC) Colloborative Group diperoleh data
dari 63 penelitian acak dengan 10.741 pasien, diung-
kapkan hasil yang diperoleh pada penggunaan
kemoterapi terhadap pasien karsinoma tanpa
metastase ke kepala dan leher, sulit menghasilkan ke-
simpulan peranan kemoterapi. Meskipun demikian,
analisis menghasilkan sedikit manfaat yang
signifikan secara stastistik dengan penambahan
kemoterapi pada terapi loko-regional, yang terdiri
atas peningkatan 4% ketahanan hidup 2 sampai 5
tahun. Manfaat yang diperoleh terutama disebabkan
oleh efek yang diharapkan dari radiasi dan
kemoterapi yang dilakukan bersamaan dan berganti-
ganti, yang menghasilkan 8% peningkatan ketahanan
hidup. Bagaimanapun juga, besarnya heterogenitas

55
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

juga tampak pada kelompok tersebut. Kemoradiasi


secara bersamaan harus diteliti lebih lanjut, terutama
bila mengingat toksisitas dan rasio manfaat yang
diperoleh, selain dari ketahanan hidup, komplikasi
yang dapat terjadi dengan regimen kombinasi
tersebut juga lebih tinggi bila dibandingkan dengan
pemberian radioterapi saja (Baert, 2008). Kombinasi
pemberian radiasi-kemoterapi telah diuji terutama
adalah kombinasi radiasi dengan fraksinasi konven-
sional (70 Gy dalam 35 fraksi selam 7 minggu)
dengan cisplatin. Dalam permulaan percobaan,
cisplatin diberikan dalam 100 mg/ m2 yang diberikan
pada minggu ke 1,4, dan 7 pelaksanaan radioterapi
(sekitar 1/3 pasien tidak dapat mentoleransi dosis
terakhir). Toksisitas sistemik dan mukosal pada dosis
yang tinggi pemberian cisplatin sangat jarang terjadi.
Laporan terperinci mengenai percobaan yang
dilakukan French Groupe d’Oncologie Radiotherapie
Tete et Cou (GORTEC) menunjukkan bahwa juccah
komplikasi yang dapat timbul pada pemakaian
radiasi secara bersamaan dengan kemoterapi
carboplatin dan fluorouracil lebih tinggi daripada
penggunaan radiasi saja. Banyak ahli onkologi
menyarankan penggunaan 100 mg per m2 cisplatin
yang diberikan pada minggu ke 1, 4, dan 7
radioterapi konvensional sebagai terapi standar
dalam penanganan kanker kepala dan leher pada
pasien yang memenuhi syarat untuk dilakukan
kemoterapi. Tujuan mengkombinasikan terapi radiasi
dan sistemik pada penatalaksanaan penyakit-
penyakit neoplastik antara lain adalah mengurangi

56
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

hematogenitas mikrometastase yang telah terjadi


sebelum dilakukannya terapi, untuk meningkatkan
probabilitas eradikasi tumor primer dan nodus
regional yang terlibat, atau keduanya.manfaat
terapeutik hanya terjadi bila terapi kombinasi
tersebut memberikan respons tumor lebih tinggi dari
toksisitas terhadap jaringan normal (Baert, 2008).
2) Hipertermi
Pemanasan dengan suhu sekitar 42,5 derajat
Celsius dapat meningkatkan efek radiasi atau agen
sitotoksis lainnya. Hipertermi merupakan metode
pengobatan untuk mematikan sel tumor dengan cara
meningkatkan suhu jaringan tumor dan sekeliling-
nya. Pemanasan dengan suhu 41-43 derajat Celsius
dapat mematikan sel yang berada dalam keadaan
hipoksis berat, derajat nutrien atau fase S yang
biasanya radioresistent. Manfaat lainnya adalah akan
meningkatkan kepekaan sel kanker terutama yang
terletak di bagian sentral yang dalam fase istirahat
(fase Go) masuk ke dalam siklus proliferasi sehingga
lebih mudah dimatikan. Teknik hipertermi dapat
dilakukan dengan cara waterbath, microwave, penyun-
tikan bahan pirogen atau melalui aplikator.
3) Oksigenasi
Kepekaan terhadap radiasi akan meningkat
dengan naiknya ekspresioksigen di sel kanker dan
jaringan di sekitarnya. Upaya untuk meningkatkan-
nya yaitu dengan menggunakan oksigen hiperbarik.
Teknik oksigenasi ini cukup efektif terutama untuk
sel yang hipoksik dan volume tumor yang tidak

57
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

terlalu besar. Oleh karena teknik ini tidak praktis


berhubung alat terlalu besar dan waktu terapinya
lama, maka di kembangkan pemberian radiosensitizer
antara lain misonidasolum yang merupakan derivat
2-nitromidazole. Pemakaian bahan bahan tersebut
harus hati hati oleh karena berefek neurotoksik.
4) Hiperfraksinasi
Teknik dipercepat/hiperfraksinasi (multiple daily
fractions) misalnya accelerated fractionated radiotherapy
atau accelerated hyperfractioned radiotherapy akan
meningkatkan kendali lokal respons tumor terhadap
radiasi (tumor kontrol) pada penderita KNF, apabila
digunakan pesawat berenergi tinggi, dibandingkan
dengan teknik konvensional. Hasil percobaan klinis,
terutama oleh the European Organization for Research on
Treatment of Cancer (EORTC) dengan teknik hiperfraksi-
nasi menunjukkan perbaikan sedang sekitar 10-15%
(Adam dan Kian Ang, 2006).
Hyperfraksinasi menggambarkan perbedaan
dalam sensitivitas fraksinasi antara tumor dan jaringan
normal, sedangkan pada accelerated fractionationated
radiotherapy mencoba mengurangi proliferasi tumor
yang merupakan penyebab utama kegagalan radio-
terapi. Radiasi dengan cara accelerated fractionated
radiotherapy ini diberikan dosis 300 cGy atau lebih
perfraksi, 5 kali/minggu, cukup 3-4 minggu. Teknik
lain yaitu accelerated hyperfractioned radiotherapy,
diberikan dosis 160-180 cGy per fraksi, 2 kali sehari,
namun dilaporkan terjadi peningkatan efek samping
radiasi misalnya fibrosis jaringan lunak, neuropati
perifer, mukosistis akut yang sangat berat dan
myelopati.

58
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Regimen pure accelerated fracination dengan enam


fraksinasi per hari dalam suatu percobaan yang
dilakukan oleh Danish Head and Neck Cancer Study
Group (DAHANCA) dan variasi pepaduan
peningkatan serentak Radiation Therapy Oncology
Group (RTOG), menunjukkan peningkatan rata-rata
perbaikan pada kanker kepala dan leher tanpa
meningkatkan morbiditas. Percobaaan Danish
tersebut dilakukan secara acak pada 1.485 pasien
yang dipilih untuk mendapatkan radioterapi primer
saja sebesar 66-68 Gy dengan 33-34 fraksi dan
diberikan sekitar 5-6 fraksi per minggu. Insidensi
terjadinya mukositis akut yang berat dan dysphagia
lebih tinggi pada pasien yang mendapatkan 6 fraksi
per minggu, namun tidak terdapat perbedaan dalam
insidensi terjadinya edema lanjut dan fibrosis.
Penilaan 5 tahunan local-regional control (LRC)
didapatkan 70% pada regimen accelerated dan 60%
pada regimen konvensional.
Hasil accelerated fractionation mengindikasikan
bahwa toksisitas mukosa akut membatasi besarnya
penurunan keseluruhan waktu yang dibutuhkan
sekitar 2 minggu, dan komplikasi lanjut yang terjadi
akibat perbaikan yang tidak sempurna dengan
pemberian 1.6 Gy fraksi per hari tanpa adanya
pengurangan dosis total. Bagaimanapun juga,
percepatan radioterapi dengan pemberian enam
fraksi per minggu dan pemberian concomitant boost
menghasilkan peningkatan yang signifikan pengen-
dalian tumor, tanpa adanya peningkatan morbiditas

59
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

dan pengobatan predominat pada karsinoma


stadium lanjut. Kedua tipe regimen tersebut secara
memiliki kesamaan dimana jangka waktu radioterapi
dikurangi 1 minggu tanpa mengurangi dosis total
radiasi atau melakukan perubahan regimen.
Secara radiobiology menunjukkan adanya
sensitivitas fraksinasi berbeda antara karsinoma
kepala dan leher dengan jaringan normal yang
berespons lambat,dan memberikan buktinyata
bahwa proliferasi tumor klonogenik merupakan
hambatan utama penyembuhan kanker kepala dan
leher dengan fractionated radiotherapy. Secara klinis,
hasil tersebut menuntut perubahan pelaksanaan
radioterapi dalam pengobatan pasien karsinoma
kepala dan leher stadium moderat sampai lanjut.
Karena besarnya hasil yang diperoleh dengan
hyperfractination, dengan enam fraksi per minggu,
dan regimen concomitant boost hampir sama,
pemilihan pengobatan standar didasarkan pada
pertimbangan ekonomi dan logistik.

F. Sistem Biomolekuler
1. Apoptosis
Definisi apoptosis yaitu suatu kematian sel terprogram,
merupakan akhir fenomena biologis sel berupa. Apoptosis
merupakan mekanisme yang efisien untuk mengeliminasi
sel yang tidak diperlukan dan mungkin membahayakan
organisme tersebut. Mekanisme ini memainkan peran
penting dalam sejuccah besar kerusakan, seperti infark

60
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

miocard dan penyakit neurodegeneratif atau pada organ


transplan. Apoptosis juga dapat diamati pada jaringan
kanker setelah pengobatan dengan obat sitostatik atau
radiasi ionisasi (Baert, 2008).
Apoptosis diawali oleh beberapa aksi termasuk aktivasi
yang dimediasi reseptor, dari kompleks sinyal yang
menginduksi kematian komponen utama dari DISC adalah:
FasL (CD95L), TRAIL, atau TNFa. Sekali teraktivasi oleh
mekanisme aktivasi/ autokatalisator, kerusakan sel bermula
pada kaspase 8 yang melepaskan DISC, yang menyebabkan
kaspase tereksekusi. Kaspase 15 telah diketahui merupakan
anggota dari golongan protease sistein spesifik aspartat yang
bukan saja esensial untuk memulai DISC tapi juga untuk
eksekusi apoptosis. Bahan-bahan pengaktivasi kaspase adalah
molekul yang terlibat perbaikan DNA, ribonukleoprotein,
molekul pemberi sinyal, protein struktur, dan onkoprotein.
Perubahan morfologis yang besar adalah termasuk
penggelembungan membran fragmentasi nuklear, dan
pembentukan badan apoptotik selama apoptosis. Apoptosis
dilaksanakan dengan cara mengaktifkan kaspase (suatu
keluarga sistein protease). Dua jalur utama apoptosis adalah
jalur intrinsik dan ekstrinsik. Jalur intrinsik berupa pem-
berian kode yang memicu proses mitokhondria-dependent
melepas sitokrom C dan mengaktifkan kaspase-9. Jalur
ekstrinsik meliputi pengaktifan reseptor kematian misalnya
Fas.
Pengobatan sitostatika tidak begitu berarti tanpa
melalui mekanisme yang terinduksi apoptosis. Mereka
berlaku sebagai agen perusak DNA, antimetabolit, inhibitor
mitosis, analog nukleotida. Beberapa obat penginduksi

61
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

kerusakan DNA berkaitan dengan p53, menunjukkan bahwa


p53 mungkin adalah sebagai yang paling bertanggung jawab
atas apoptosis. Hal yang sama juga terjadi untuk reaksi
sitotoksis dari radiasi ionisasi, yang menjejas DNA dengan
membentuk kerusakan pita ganda. Dalam hal ini,
merupakan hal yang penting bahwa hipotesis tentang
respons tumor terhadap radiasi ditentukan tidak hanya oleh
fenotip sel tumor tetapi juga oleh sensitivitas mikrovaskuler,
karena apoptosis endotelial meregulasi pertumbuhan tumor
bergantung angiogenesis.
Inisiator lain dari apoptosis adalah granzyme B, yang
dipacu oleh protein transmembran pembentuk lubang
(pore). Perforin, mempenetrasi ke dalam sel dimana ia
memberikan spesifisitas utama dari kaspase untuk
memotong pada akhiran carboxyl dari residu aspartat dalam
substratnya. Granzyme B bersamaan dengan perforin
dikeluarkan oleh sel T sitotoksik sebelum interaksi spesifik
dengan sel target. Protein yang berhubungan dengan
mitokondria dari kelompok Bcl-2 memainkan peranan
penting dari apoptosis yang terinduksi oleh obat-obatan anti
kanker, dan terapi radiasi. Ketika Bax dan Bak mempromosi
kematian sel, Bcl-2 dan Bcl-xL melawannya. membran mito-
kondria untuk mengeluarkan yang lainnya. Sitokrom c me-
ngikat faktor aktivasi protease apoptosis dan mengagregasi
menjadi apoptosom heptamer. Jalur intrinsik apoptosis
terkait mitokondria juga aktif dalam tipe II jalur ekstrinsik
yang terinduksi oleh DISC. Pada kasus ini, kaspase 8 berasal
dari potongan DISC. Berawal dari bagian pangkal yang
kemudian berpindah ke dalam mitokondrion dimana ia
terlibat dalam pelepasan faktor-faktor apoptogenik (lihat
gambar 2.6).

62
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Gambar 2.6. Berbagai Jalur Apoptosis (Baert, 2008)

2. Karsinogenesis
Karsinogenesis adalah suatu proses perubahan
sekelompok sel normal menjadi sel kanker akibat
penggunaan karsinogen. Karsinogen adalah bahan yang
dapat menyebabkan pertumbuhan sel kanker. Onkogen
adalah gen yang menyebabkan terjadinya pertumbuhan sel
kanker (Murphee, 2007).
3. Reparasi DNA
Kerusakan oksidatif terhadap basa-basa DNA terjadi
ketika satu atom oksigen terikat dengan satu atom karbon
pada basa DNA. Radiasi energi tinggi, seperti X ray dan
radiasi gamma, menyebabkan kerusakan basa DNA
oksidatif eksogen dengan berinteraksi dengan molekul air
untuk membentuk spesies oksigen reaktif tinggi, yang
kemudian menyerang basa-basa DNA pada atom karbon.

63
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Kerusakan base oksidatif juga secara endogen diproduksi


oleh spesies oksigen reaktif yang dilepaskan selama respirasi
normal di mitokondria, pabrik energi sel (Abbas, 2007).
Sel sehat yang mampu memperbaiki DNA bisa
mengoreksi sebagian besar kerusakan DNA endogen yang
terjadi secara alamiah. Ketika juccah kerusakan DNA
endogen tinggi, yang bisa terjadi akibat mutasi tidak aktif
dalam gen perbaikan DNA (DNA repair gene), atau ketika
terpapar agen eksogen yang berbahaya seperti radiasi atau
kimia berbahaya, sistem perbaikan DNA sel menjadi
berlebihan. Kekurangan perbaikan DNA menyebabkan
angka mutasi yang tinggi, yang akan menyebabkan
kematian sel, karsinoma, dan penyakit-penyakit lain. Jika
juccah aktivitas perbaikan DNA menurun dengan usia,
maka beban mutasi sel akan meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia.
Kerusakan pada DNA juga akan mengaktifkan protein
p53 sehingga memicu peningkatan transkripsi dari gen
target. Proses tersebut akan dipengaruhi oleh bax sebagai
gen apoptosis, sehingga memicu terjadinya apoptosis atau
kematian sel. Keputusan untuk melakukan apoptosis berasal
dari sel itu sendiri, dari jaringan yang mengelilinginya atau
dari sel yang berasal dari sistem imun (Kumar et al, 2005).

G. Komponen Biomolekuler
Radioterapi dianggap sebagai terapi standar untuk KNF
dan pasien dengan respons yang baik terhadap radioterapi
memiliki tingkat ketahanan hidup yang lebih baik daripada
yang tidak mengalami respons. Tingkat ketahanan hidup
dapat lebih baik jika kita dapat memperkirakan respons

64
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

radioterapi pasien dan prognosis. Pencarian penanda yang


reliabel untuk memperkirakan respons terapi dan prognosis
merupakan hal yang penting karena jika hal itu ada,
penanda dapat membantu mengidentifikasi pasien yang
bermanfaat jika diberi terapi ajuvan intensif. Baru-baru ini,
fokus telah bergeser pada ekspresiproto onkogen sebagai
faktor prognostik potensial. Radioterapi memicu efek
terapeutiknya melalui paling tidak 2 cara kematian sel yang
secara karakteristik berbeda, saat ini dikenal dengan istilah
nekrosis dan apoptosis. Telah dilaporkan bahwa tingkat
apoptosis spontan sebelum terapi menentukan respons
tumor terhadap radioterapi pada karsinoma nasofaring.
1. Protein BCl - 2
Beberapa onkogen, seperti Bcl-2, memiliki peran
menghambat jalur apoptosis (kematian sel terprogram),
sehingga ekspresi Bcl-2 dapat merupakan suatu kepentingan
potensial pada modulasi respons terhadap radioterapi
(Yongqiang et al, 2003; Baert, 2008).
Bcl-2 merupakan suatu protein membran intraseluler
yang dapat menghambat apoptosis yang dipicu oleh
beberapa stimuli, mencegah sel tumor mati sebagai respons
terhadap kerusakan DNA yang berat karena radioterapi.
Lebih jauh lagi, sel neoplastik menunjukkan gangguan pada
proses kematian sel terprogram dan cenderung responsif
terhadap terapi dengan agen kemoterapi dan radioterapi.
Famili gen Bcl-2 termasuk faktor-faktor pro maupun anti
apoptosis. Bcl-2 sendiri menghambat apoptosis dan mem-
perpanjang masa hidup sel saat ada sinyal kematian. Me-
kanisme yang pasti dari aksi mereka tetap belum diketahui,
tapi regulasi terjadi pada homo dan heterodimerisasi dari

65
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

anggota famili tersebut. Rasio sinyal pro dengan anti-


apoptosis menentukan bagaimana respons sel terhadap
sinyal apoptosis. Bcl-2 telah terlokalisasi pada membran dari
beberapa organela sel termasuk mitokondria dan
regulasinya berperan dalam apoptosis (Baert, 2008).
Gen Bcl-2 terekspresiberlebihan pada mayoritas SCLS
(71%) dan lebih sedikit pada NSCLC (35%). Angka dari jenis
yang tidak beregulasi adalah 32% pada karsinoma sel
skuamosa, 61% pada adenokarsinoma. Peranan overekspresi
Bcl-2 pada prognosis kanker paru adalah tidak jelas, namun
meta-analisis telah menemukan hubungan dengan
ketahanan hidup yang memburuk pada NSCLC tapi tidk
berhubungan dengan SCLC. OverekspresiBcl-2 terjadi pada
resistensi terhadap kemo dan radioterapi akibat dari
penurunan respons apoptosis atas terapi yang diberikan.
(Brady, 2005; Baert, 2008).
2. Protein Cluster of Differentiation 44
Cluster of Differentiation 44 (CD44) adalah molekul
permukaan sel multistruktural dan multifungsional yang
terlibat dalam proliferasi sel, migrasi sel, adhesi ke sel lain
dan ke matriks interselluler, angiogenesis, juga signaling
untuk ketahanan hidup sel. Semua peranan biologis ini
penting untuk aktivitas fisiologis sel normal, tetapi juga
berhubungan dengan aktivitas patologis sel karsinoma.
Ekspresiberlebihan protein ini terjadi pada proses keganasan
dan sel kanker yang mengalami metastasis.
Karsinoma memiliki karakteristik disregulasi kontrol
pertumbuhan dan formasi metastasis. Formasi metastasis
membedakan tumor ganas dari tumor jinak, dan dimediasi

66
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

oleh sekelompok molekul disebut homing receptors, sitokin,


dan proteinase. Ekspresimolekul-molekul ini pada sel-sel
tumor membedakan kapan dan dimana tipe karsinoma
tertentu tersebar. Peran fisiologis reseptor, sitokin, dan protease
yang relevan pada organisme sehat yang bebas karsinoma
belum sepenuhnya dipahami. Satu homing receptor, dikenal
sebagai CD44, dan ligand-nya, sitokin osteopontin.
Pengikatan CD44 oleh osteopontin juga menginduksi
migrasi makrofag, suatu mekanisme yang bisa digunakan
oleh tumor metastatik dalam proses distribusi. Telah
ditemukan bahwa produk gen lain yang memberikan
kontribusi terhadap penyebaran sel-sel karsinoma
memberikan kontribusi yang serupa terhadap pertahanan
host, dan disimpulkan bahwa gen-gen metastasis dalam
perkembangannya merupakan non-essential genes,dimana
secara fisiologis memediasi respons inflamasi, penyembuhan
luka, dan formasi pembuluh darah.
3. Protein Vascular Endothelial Growth Factor
Vascular endothelial growth factor (VEGF) adalah
merupakan suatu protein penting, berukuran 34 – 42
kDalton, memiliki kemampuan mitogeneesis, vaskulogenesis
dan angiogenesis (pertumbuhan pembuluh darah dari
vaskuler yang sudah ada sebelumnya). Aktivitas VEGF
paling sering pada sel-sel endotel vaskuler, walaupun
mempunyai efek pada sejuccah tipe sel lain misalnya
stimulasi migrasi monosit/makrofag, neuron. In vitro, VEGF
terlihat menstimuli mitogenesis sel endotel dan migrasi sel.
VEGF juga merupakan vasodilator dan meningkatkan
kemampuan permeabilitas mikrovaskuler yang penting
untuk proses angiogenesis (Baert, 2008; Li, 2008).

67
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

VEGF berhubungan dengan prognosis buruk suatu


karsinoma. Overekspresi VEGF terjadi pada kondisi
hipoksia, kemungkinan merupakan awal proses metastasis,
satu langkah yang terlibat dalam perubahan angiogenik.
Walaupun VEGF berkorelasi dengan ketahanan hidup yang
buruk, mekanisme kerja pastinya dalam progresi tumor
masih belum jelas. Sekali dilepaskan, VEGF bisa
menyebabkan beberapa respons. Bisa menyebabkan satu sel
bertahan, bergerak, atau berdiferensiasi. Oleh karena itu,
VEGF adalah target potensial untuk terapi karsinoma.
Rangsangan dari growth promoting oncogenes yaitu VEGF
merupakan tumor angiogenesis dan karsinogenesis yang
memicu proses metastasis (Baert, 2008).
Pada karsinoma Nasofaring, ekspresiprostaglandin
akan meningkat terutama pada kasus yang berpotensi tinggi
terhadap kejadian metastasis. Pada jalur sel fibroblast
prostaglandin E2 (PGE-2) akan terlihat meningkat secara
dramatis apabila ditambahkan asam arachidonat atau
interleukin 1 ß (1L –ß) Prostaglandin E2 juga diketahui
memacu VEGF, jalur ini memacu terjadinya proses
karsinogenesis.
Pada pasien dengan karsinoma Nasofaring stadium
lanjut kesempatan ketahanan hidup atau remisi jangka
panjang terbaik biasanya tergantung dari kemoterapi agresif
yang dilakukan secepatnya, diikuti dengan radiasi, Pada
pasien ini, waktu adalah kuncinya, karena penundaan terapi
bisa menyebabkan angka rekurensi yang lebih tinggi. Jika
pasien bisa menyelesaikan regimen kemoterapi yang
berbahaya yang telah direkomendasikan, pasien akan
membutuhkan perawatan suportif yang baik, terutama
perawatan dalam dukungan faktor pertumbuhan yang
mahal (expensive growth-factor support) dan obat anti-mual.

68
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Setelah terapinya selesai, pasien harus kontrol rutin ke


onkologis, dan dievaluasi gejala yang mungkin menandakan
suatu rekurensi (Baert, 2008).

Gambar 2.7. Proses sel KNF dihubungkan dengan Bcl-2, CD-


44, VEGF dan respons terapi
Radiasi yang dipaparkan pada sel tumor KNF, akan
menimbulkan dua efek yaitu: efek langsung dan tidak
langsung. Efek langsung akan mempengaruhi inti sel, yang
mengakibatkan sel dapat mengalami mutasi atau kematian
(apoptosis). Sedangkan efek tidak langsung akan mem-
pengaruhi air sehingga terbentuk radikal bebas. Radikal

69
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

bebas ini juga dapat memicu mutasi dan atau kematian sel.
Sel yang mengalami kematian akan difagositosis oleh
makrofag, sehingga makrofag menjadi aktif dan
mensekresikan sitokin yaitu TNF- α, IL-6 dan IFN-γ. TNF- α
dan IL-6 akan memicu sumsum tulang untuk memproduksi
leukosit. IFN-γ yang diproduksi oleh makrofag akan
memicu aktifitas CTL dan NK sel untuk merusak sel yang
mengalami mutasi. Bila sistem imun ini tidak mampu
menghancurkan sel mutated, maka sel tersebut akan tetap
hidup. Bila sel tersebut mengalami mutasi pada proto
onkogen (Bcl-2 atau Ras) dan tumor supressor gen (p53 dan
pRb) maka sel tersebut akan mengalami pembelahan yang
tidak terkendali (malignant). Adanya proliferasi sel yang
berlebihan akan mengakibatkan desakan antar sel sehingga
terjadi perubahan permeabilitas membrane dan terjadi
kalsium influx. Ion tersebut akan memicu aktifitas PLA-2
(phospolipase A-2) sehingga terbentuk asam arachidonat
dan prostaglandin. Prostaglandin yang dilepas oleh sel akan
memicu pembentukan angiopoitin-2, selanjutnya akan
menginduksi pembentukan VEGF dan CD-44. Bahan ini
merupakan faktor penting pada angiogenesis, karena
angiogenesis sangat berperan pada proses nutrisi dan
oksigenasi, akibatnya sel tumor KNF tumbuh secara
progresif (respons rendah). Bila terjadi kondisi sebaliknya
maka sel tumor KNF mengalami kematian (respons tinggi).

70
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

BAB III
ILUSTRASI KASUS
ILUSTRASI KASUS KNF DI RSUD
DR.MOEWARDI SURAKARTA

Sebanyak 23 penderita KNF yang datang berobat ke


Unit Rawat Jalan Poliklinik THT-KL RSUD Dr.Moewardi
Surakarta, dari bulan Agustus 2008 sampai dengan
September 2009 semuanya memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi. Kriteria inklusi yaitu : hasil histopatologi biopsi
jaringan nasofaring adalah KNF jenis undiferentiated / WHO
tipe III, Stadium III dan IV menurut UICC –WHO, usia
antara 40 - 60 tahun dan memenuhi persyaratan untuk
mendapatkan RT: Hb > 10 gr/dl, juccah lekosit > 2000 / ul,
juccah trombosit >100.000/ul, ekspresiserum kreatinin < 3,0
mg/dl. Kriteria eksklusi yaitu: sudah pernah mendapat
pengobatan definitif untuk KNF baik dengan radioterapi
maupun dengan kemoterapi sebelumnya dan menderita
penyakit atau kelainan sistemik antara lain DM, Infark
jantung, Sepsis, TBC dan penyakit berat lainnya. Dari 18
penderita terdiri atas 12 laki laki (66,70%) dan 6 perempuan
(33,33%). Umur yang masuk kriteria inklusi yaitu 40 - 60
tahun dengan nilai mean: 49,5 + SD 7,33 Stadium III

71
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

didapatkan 8 (44,40%), stadium IV A ada 8 (44,40%) dan


stadium IVB ada 2 (11,10%). Lima orang penderita KNF
tersebut (21,7%) drop out oleh karena keadaan umumnya
memburuk dan akhirnya meninggal sebelum selesai
menjalani radioterapi, sehingga tinggal 18 penderita KNF
yang teratur datang berobat ke Unit Rawat Jalan Poliklinik
THT-KL RSUD Dr.Moewardi sampai dengan Februari 2010.

A. Radioterapi
Radioterapi adalah metode pengobatan pada penyakit
tumor ganas dengan menggunakan sinar peng-ion, dengan
tujuan untuk mematikan sel tumor sebanyak mungkin dan
memelihara jaringan sehat disekitar tumor agar tidak
menderita kerusakan terlalu berat.
Semua pasien menjalani Radioterapi dengan memakai
sinar gamma berasal dari pesawat Cobalt 60, dengan dosis
radiasi 200 cgy per fraksi, diberikan 5 kali per minggu tanpa
selang waktu (teknik konvensional) sampai mencapai dosis
total kisaran 6600 cgy dalam 6-7 minggu yang ditujukan
pada tumor primer di Nasofaring dan kelenjar getah bening
di leher. Semua pasien tersebut dilakukan pemeriksaan
immunohistokimia untuk menilai ekspresi Bcl-2, CD44 dan
VEGF pra dan paska Radioterapi.

B. Respons Sel Tumor (KNF) terhadap


Radioterapi
Adalah tanggapan jaringan tumor (KNF) terhadap
terapi radiasi yang diberikan. Variasi resposn KNF terhadap
radioterapi adalah macam atau besarnya tanggapan KNF
terhadap radioterapi.

72
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Menurut WHO respons terapi dibagi menjadi 4 tingkat


respons yaitu: Respons Lengkap (RL) apabila tidak didapat-
kan sel kanker lagi atau pengecilan diameter massa tumor
100%. Respons Sebagian (RS) apabila diameter massa tumor
berkurang 50% atau lebih.Tidak ada Respons (TR) apabila
tidak ada perubahan pada ukuran tumor atau pengecilan
diameter massa tumor kurang dari 50%. Progresif (P) apabila
volume massa tumor atau salah satu tumor justru membesar
lebih dari 25% dari ukuran awal atau timbul tumor baru.
Respons lengkap di kategorikan dalam respons tinggi
sedangkan respons sebagian, tidak ada respons dan
progresif di kategorikan sebagai respons rendah. Pada
penelitian ini respons tumor dianalisis berdasarkan
perubahan Volume Tumor Nasofaring (VTN). VTN adalah
volume tumor dalam satuan cc, yang dihitung secara
komputerisasi dari hasil CT Scan kepala potongan koronal
dan axial menggunakan program D.Com. Penghitungan
VTN dilakukan oleh seorang dokter spesialis Radioterapi
didampingi oleh seorang ahli físika medis.

73
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

74
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

BAB IV
EKSPRESI Bcl-2, CD44 dan VEGF
PADA KNF

A. Penilaian Volume Tumor Nasofaring (VTN)


Penilaian Volume Tumor Nasofaring (VTN) kelompok
pra radioterapi didapatkan volume minimum: 14,5 cc dan
maksimum: 86,16 cc, dengan nilai rerata atau mean 39,9156 +
SD 18,3647. Hasil penilaian VTN kelompok paska
radioterapi didapatkan volume rentang 0 - 35,70 cc dengan
nilai rerata atau mean 15,7256 + SD 11,6539.

B. Penilaian Respons KNF


Penilaian tingkat respons KNF terhadap radioterapi
berdasarkan kriteria respons tinggi (RTG) terdiri atas
respons lengkap (RL), respons rendah/RR terdiri atas
respons sebagian (RS), tidak ada respons (TR) dan Progresif
(P). Pada kelompok Paska Radioterapi (paska-RT), didapat-
kan : RTG sebanyak 3 penderita terdiri atas RL: 3 penderita
(16,70%), dan RR ada 15 penderita (83,3%) yang secara rinci
terdiri atas RS ada 9 penderita (50%), TR: 4 penderita
(22,20%) dan P: 2 penderita (11,11%).

75
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Komplikasi paska RT pada 18 penderita secara rinci


sebagai berikut: Untuk kelompok RTG, dari 3 penderita
yang mengalami xerostomia/kekeringan air liur ada 2
penderita (66,67%), penurunan pendengaran: 1 penderita
(33,33%), efek fibrosis jaringan lunak berupa disfagia 0
penderita (0%), gigi karies 0 penderita (0%). Kelompok RR,
dari 15 penderita didapatkan xerostomia 12 penderita
(80,00%), defisit pendengaran 1penderita (6,67%), disfagia 1
penderita (6,67%) dan gigi karies 1 penderita (6,67%).

C. Pemeriksaan Imunohistokimia
Dilakukan pengamatan perubahan imunopatobiologis
langsung dari jaringan (tumor) nasofaring. Hal tersebut
dimaksudkan agar hasil yang didapat lebih menggambarkan
keadaan yang sebenarnya. Untuk memperlihatkan variabel
komponen sel pengekspresi Bcl-2, CD44, dan VEGF di
jaringan KNF dari hasil biopsi pra dan paska RT, dilakukan
teknik pembuatan sediaan mikroskopik dan pewarnaan atau
pengecatan imunohistokimia pada 18 sampel. Pewarnaan
dilakukan dengan menggunakan reagen (antibodi monoklonal)
yang sesuai dengan komponen yang diperiksa.

76
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Skema penilaian respons KNF terhadap radiasi


Paska terapi radiasi (4 – 8 minggu)

Keterangan :
CT Scan (-) / (+) : Foto CT Scan tidak tampak/tampak
adanya massa tumor.
N / RP (-) / (+) : Pemeriksaan nasofaringoskopi atau
rinoskopi posterior tidak tampak/
tampak adanya massa tumor.
B (-) / (+) : Hasil biopsi / PA tidak di dapatkan / di
dapatkan sel ganas.
RL : Respons Lengkap
RS : Respons Sebagian
TR : Tak ada Respons
P : Progresif

77
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Khusus untuk RL, disamping kriteria diatas ditambah


hasil biopsi 3 kali berturut turut tidak didapatkan sel ganas.
Penilaian tingkat respons KNF terhadap radiasi ber-
dasarkan kriteria respons tinggi dan respons rendah adalah
sebagai berikut :
1. Respons Tinggi meliputi : RL
2. Respons Rendah meliputi : RS, TR dan Progresif
Pengecatan imunohistokimia tampak sel dengan
sitoplasma berwarna merah kecokelatan adalah ekspresi
positip yang berarti menyerap antibodi. Sel yang tidak
mengandung ikatan antigen-antobodi akan tampak sitoplasma
berwarna kebiruan (ekspresi negatip) (Lihat Gambar 4.1
a,b,c).

Gambar 4.1a,b. Ekspresi negatif Protein Bcl-2 (a) dan CD-


44 (b) pada penderita KNF dengan
Pewarnaan IHK. Pembesaran 400x-
Olympus BX 50 Model BX-50F-3. Pentax
Optio 230 Digital Camera 2.0 Megapixel.

78
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Gambar 4.1c Ekspresi negative Protein VEGF (c) pada


penderita KNF dengan pewarnaan IHK.
Pembesaran 400 x-Olympus BX 50 Model
BX-50F3. Pentax Optio 230 Digital Camera
2.0 Megapixel.

D. Protein Bcl-2, CD44, dan VEGF pada


penderita KNF pra-RT dan paska RT
kelompok respons tinggi dan respons
rendah
1. Ekspresi Bcl-2 pada penderita KNF pra-RT dan paska
RT pada kelompok respons tinggi dan respons rendah
Ekspresi Bcl-2 pada pada penderita KNF pra RT dan
paska RT dengan pewarnaan IHK, hasil positif terlihat
sitoplasma berwarna merah kecokelatan, sedangkan ekspresi
Bcl-2 negatif terlihat sitoplasma berwarna kebiruan.

79
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Kelompok respons tinggi (respons lengkap), ekspresi


protein Bcl-2 kelompok Pra-RT memperlihatkan banyak
gambaran ekspresi Bcl-2 positif yang berwarna merah
kecokelatan pada sitoplasmanya (Lihat Gambar 4.2.a)

Gambar 4.2.a,b. Ekspresi Protein Bcl-2 pada penderita KNF


pra dan paska RT dengan Pewarnaan IHK,
pada kelompok respons tinggi (respons
lengkap). Pembesaran 400x-Olympus BX
50 Model BX-50F-3. Pentax Optio 230
Digital Camera 2.0 Megapixel.

Kelompok Paska-RT memperlihatkan gambaran ekspresi


protein Bcl-2 negatif yang terlihat dari gambaran sitoplasma-
nya kebiruan. Sesuai dengan kriteria WHO No 48 tahun
1979, disebut respons tinggi atau respons lengkap apabila
tumor menghilang 100% (Lihat Gambar 4.2.b).
Kelompok respons rendah (respons sebagian), ekspresi
protein Bcl-2 kelompok pra-RT memperlihatkan ekspresi
Bcl-2 positif pada sitoplasma terlihat banyak berwarna
merah kecokelatan (Gambar 4.3.a). Kelompok paska-RT

80
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

dibandingkan pra-RT memperlihatkan ekspresi Bcl-2 positif


pada sitoplasma terlihat lebih sedikit yang berwarna merah
kecokelatan. Sesuai kriteria WHO No 48 tahun 1979, disebut
respons rendah (respons sebagian), apabila tumor menghilang
lebih dari 50% (Lihat Gambar 4.3.b).

Gambar 4.3.a.b Ekspresi Protein Bcl-2 pada penderita KNF


pra dan paska RT dengan pewarnaan IHK,
pada kelompok respons rendah (respons
sebagian). Pembesaran 400x-Olympus BX 50
Model BX-50F-3. Pentax Optio 230 Digital
Camera 2.0 Megapixel.

Kelompok respons rendah (tidak ada respons), ekspresi


protein Bcl-2 kelompok pra-RT memperlihatkan ekspresi
Bcl-2 positif pada sitoplasma terlihat banyak yang berwarna
merah kecokelatan (Lihat Gambar 5.4.a). Kelompok paska-
RT memperlihatkan ekspresi protein Bcl-2 positif pada
sitoplasma masih banyak yang berwarna merah kecokelatan
dibandingkan pra-RT. Sesuai dengan kriteria WHO No 48
tahun 1979, disebut respons rendah (tidak ada respons),
apabila tumor menghilang kurang dari 50% atau menetap
(Lihat Gambar 4.4.b).

81
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Gambar 4.4a,b Ekspresi Protein Bcl-2 pada penderita KNF


pra dan paska RT dengan pewarnaan IHK,
pada kelompok respons rendah (respons
sebagian). Pembesaran 400x-Olympus BX 50
Model BX-50F-3. Pentax Optio 230 Digital
Camera 2.0 Megapixel.

Kelompok respons rendah (progresif), ekspresi protein


Bcl-2 pra-RT memperlihatkan ekspresi Bcl-2 positif terlihat
sedikit berwarna merah kecokelatan (Lihat Gambar 5.5.a).
Paska-RT ekspresi protein Bcl-2 positif pada sitoplasma yang
berwarna merah kecokelatan lebih banyak dibandingkan
pra-RT. Sesuai dengan kriteria WHO No 48 tahun 1979,
disebut respons rendah (respons progresif) apabila tumor
makin besar atau timbul lesi baru (Lihat Gambar 4.5.a.b).

82
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Gambar 4.5a,b Ekspresi Protein Bcl-2 pada penderita KNF


pra dan paska RT dengan Pewarnaan IHK,
kelompok respons rendah (progresif).
Pembesaran 400x-Olympus BX 50 Model BX-
50F-3. Pentax Optio 230 Digital Camera 2.0
Megapixel.

Rerata ekspresi Bcl-2 pra-RT respons tinggi dan respons


rendah mengikuti distribusi normal (p>0,05), sehingga
analisis statistiknya menggunakan Uji Independent Samples t-
Test, sedangkan Uji Normalitas Data untuk ekspresi Bcl-2
paska-RT respons tinggi dan respons rendah menggunakan
uji Kolmogorov-Smirnov, ekspresi Bcl-2 tidak mengikuti
distribusi normal (p<0,05), sehingga digunakan uji alternatif-
nya yaitu uji non-parametrik menggunakan uji Mann-
Whitney.
Sebelum dilakukan RT (pra-RT) rerata ekspresi Bcl-2
pada penderita KNF per-lapang pandang untuk kelompok
respons tinggi adalah 54,33±33,32 sedangkan untuk
kelompok respons rendah adalah 44,07±30,17. Berdasarkan
Independent Samples t-Test, memperlihatkan bahwa sebelum
dilakukan RT hasil rerata ekspresi protein Bcl-2 antara
kelompok respons tinggi dan kelompok respons rendah

83
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

didapatkan perbedaan tidak bermakna (p =0,603) (Lihat


Lampiran 11). Pada penelitian ini setelah dilakukan RT
(paska-RT) memperlihatkan rerata ekspresi Bcl-2 pada
penderita KNF per-lapang pandang kelompok respons
tinggi memperlihatkan ekspresi Bcl-2 yang jauh lebih sedikit
yaitu 4,33±0,58, sedangkan kelompok respons rendah adalah
37,80±26,13. Data ekspresi Bcl-2 tidak terdistribusi normal,
maka digunakan Uji alternatifnya yaitu Uji Mann-Whitney.
Berdasarkan hasil Uji Mann-Whitney didapatkan bahwa
paska-RT ekspresi protein Bcl-2 antara kelompok respons
tinggi dan kelompok respons rendah didapatkan perbedaan
bermakna dengan (p =0,007). Paska-RT ekspresi Bcl-2 pada
penderita KNF kelompok respons tinggi memperlihatkan
ekspresi Bcl-2 yang lebih sedikit dibandingkan kelompok
respons rendah. Hasil ekspresi Bcl-2 penderita KNF pra-RT
dan paska RT pada kelompok respons tinggi dan respons
rendah selengkapnya disajikan pada Gambar 4.6 dan 4.7.

Gambar 4.6 Rerata Ekspresi Bcl-2 pada penderita KNF


kelompok respons tinggi dan respons rendah
pra-RT.

84
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Gambar 4.7 Rerata Ekspresi Bcl`-2 pada penderita KNF


kelompok respons tinggi dan respons rendah
paska-RT.

2. Ekspresi CD-44 pada penderita KNF pra-RT dan paska-


RT kelompok respons tinggi dan respons rendah
Kelompok respons tinggi, ekspresi protein CD-44 Pra-
RT memperlihatkan ekspresi CD-44 positif yang berwarna
merah kecokelatan banyak pada sitoplasmanya (Lihat
Gambar 5.8a). Paska-RT ekspresi protein CD-44 negatif yang
terlihat dari gambaran sitoplasmanya kebiruan (Lihat
Gambar 5.8b). Sesuai dengan kriteria WHO No 48 tahun
1979, disebut respons tinggi (RL) apabila tumor menghilang
100% (Lihat Gambar 4.8 a.b).

85
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Gambar 4.8a,b. Ekspresi Protein CD-44 pada penderita KNF


pra dan paska RT dengan Pewarnaan IHK,
kelompok respons tinggi (respons lengkap).
Pembesaran 400x-Olympus BX 50 Model BX-
50F-3. Pentax Optio 230 Digital Camera 2.0
Megapixel.

Kelompok respons rendah (respons sebagian), ekspresi


protein CD-44 kelompok pra-RT, ekspresi CD-44 positif
pada sitoplasma terlihat banyak berwarna merah
kecokelatan (Lihat Gambar 5.9a). Paska-RT ekspresi protein
CD-44 positif pada sitoplasma lebih sedikit yang berwarna
merah kecokelatan dibandingkan pra-RT. Sesuai dengan
kriteria WHO No 48 tahun 1979, disebut respons rendah
(respons sebagian), apabila sel tumor menghilang lebih dari
50% (Lihat Gambar 4.9.a.b)

86
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Gambar 4.9a,b. Ekspresi Protein CD-44 pada penderita KNF


pra dan paska RT dengan Pewarnaan IHK,
kelompok respons rendah (respons sebagian).
Pembesaran 400x-Olympus BX 50 Model BX-
50F-3. Pentax Optio 230 Digital Camera 2.0
Megapixel.

Kelompok respons rendah (TR), ekspresi protein CD-44


kelompok pra-RT memperlihatkan ekspresipositif pada
sitoplasma terlihat banyak berwarna merah kecokelatan.
Paska-RT ekspresi protein CD-44 positif pada sitoplasma
masih banyak yang berwarna merah kecokelatan. Sesuai
dengan kriteria WHO No 48 tahun 1979, disebut respons
rendah (TR), apabila tumor menghilang kurang dari 50%
atau menetap (Lihat Gambar 4.10 a dan b).

87
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Gambar 4.10a,b. Ekspresi Protein CD-44 pada penderita


KNF pra dan paska RT dengan Pewarnaan
IHK, kelompok respons rendah (tidak ada
respons). Pembesaran 400x-Olympus BX 50
Model BX-50F-3. Pentax Optio 230 Digital
Camera 2.0 Megapixel.

Kelompok respons rendah (progresif), ekspresi protein


CD-44 kelompok pra-RT (a) memperlihatkan ekspresi CD-44
positif pada sitoplasma terlihat banyak berwarna merah
kecokelatan. Kelompok paska-RT (b) memperlihatkan ekspresi
protein CD-44 positif pada sitoplasma terlihat warna merah
kecokelatan bertambah banyak dibandingkan pra-RT. Sesuai
kriteria WHO No 48 tahun 1979, disebut respons rendah
(progresif), apabila volume tumor makin besar atau timbul
lesi baru yang sebelumnya tidak ada.

88
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Gambar 4.11a,b Ekspresi Protein CD-44 pada penderita


KNF pra dan paska RT dengan pewarnaan
IHK, pada kelompok respons rendah
(progresif). Pembesaran 400x-Olympus BX
50 Model BX-50F-3. Pentax Optio 230
Digital Camera 2.0 Megapixel.

Uji Normalitas Data dengan menggunakan uji


Kolmogorov-Smirnov. Pada penelitian ini memperlihatkan
ekspresi CD-44 pra-RT kelompok respons tinggi dan
kelompok respons rendah mengikuti distribusi normal
(p>0,05), sehingga analisis statistiknya menggunakan Uji
Independent Samples t-Test. Uji Normalitas Data untuk
ekspresi CD-44 paska-RT respons tinggi dan respons rendah
menggunakan Uji Kolmogorov-Smirnov, terlihat bahwa
ekspresi CD-44 tidak mengikuti distribusi normal (p<0,05),
sehingga digunakan uji alternatif yaitu uji non-parametrik
menggunakan uji Mann-Whitney.
Sebelum dilakukan RT (pra-RT) rerata ekspresi CD-44
pada penderita KNF per-lapang pandang untuk kelompok
respons tinggi adalah 49,00±43,30 sedangkan untuk
kelompok respons rendah adalah 37,13±26,15. Berdasarkan

89
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Independent Samples t-Test, memperlihatkan bahwa hasil


rerata ekspresi CD-44 antara kelompok respons tinggi dan
kelompok respons rendah sebelum dilakukan RT
menunjukkan perbedaan tidak bermakna (p =0,525). Hasil
penelitian setelah dilakukan RT (paska-RT) menunjukkan
rerata ekspresi CD-44 pada penderita KNF per-lapang
pandang kelompok respons tinggi adalah 27,00±41,58
sedangkan kelompok respons rendah adalah 66,53±27,37.
Meskipun ekspresi CD-44 paska RT lebih sedikit, namun
berdasarkan Independent Samples t-Test, menunjukkan
ekspresi CD-44 setelah dilakukan RT, pada kelompok
respons tinggi dibandingkan dengan kelompok respons
rendah didapatkan perbedaan tidak bermakna (p =0,050).
Persentase rerata hasil pengamatan ekspresi CD44 pra-RT
dan paska-RT antara respons tinggi dengan respons rendah
selengkapnya disajikan pada Gambar 4.12 dan 4.13.

Respons Rendah Respons Tinggi

Gambar 4.12. Rerata Ekspresi CD-44 pada penderita KNF


pra-RT kelompok respons tinggi dan
respons rendah paska RT

90
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Respons Rendah Respons Tinggi

Gambar 4.13. Rerata Ekspresi CD-44 pada penderita KNF


pra-RT kelompok respons tinggi dan
respons rendah paska RT

3. Ekspresi VEGF pada penderita KNF pra-RT dan paska-


RT kelompok respons tinggi dan respons rendah
Ekspresi VEGF pada penderita KNF pra-RT dan paska-
RT dengan pewarnaan IHK, hasil positif terlihat sitoplasma-
nya berwarna merah kecokelatan, sedangkan ekspresi VEGF
negatif terlihat berwarna kebiruan sitoplasmanya, seperti
yang disajikan pada Gambar 4.14.

91
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Gambar 4.14a,b Ekspresi Protein VEGF pada penderita


KNF pra dan paska RT dengan Pewarnaan
IHK, pada kelompok respons tinggi
(respons lengkap). Pembesaran 400x-
Olympus BX 50 Model BX-50F-3. Pentax
Optio 230 Digital Camera 2.0 Megapixel.

Pada kelompok respons tinggi, ekspresi protein VEGF


kelompok pra-RT (a) memperlihatkan gambaran ekspresi
VEGF positif yang berwarna merah kecokelatan pada
sitoplasmanya banyak, sedangkan kelompok Paska-RT (b)
memperlihatkan gambaran ekspresi protein VEGF negatif
yang terlihat dari gambaran sitoplasmanya kebiruan. Sesuai
dengan kriteria WHO No 48 tahun 1979, disebut respons
tinggi atau respons lengkap apabila pada penderita
menghilang 100%

92
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Gambar 4.15a,b Ekspresi Protein VEGF penderita KNF pra


dan paska RT dengan pewarnaan IHK;
pada kelompok respons rendah (respons
sebagian). Pembesaran 400x-Olympus BX
50 Model BX-50F-3. Pentax Optio 230
Digital Camera 2.0 Megapixel.

Pada kelompok respons rendah (respons sebagian),


ekspresi protein VEGF kelompok pra-RT (a) memperlihat-
kan gambaran ekspresi VEGF positif pada sitoplasma ter-
lihat banyak yang berwarna merah kecokelatan, sedangkan
kelompok paska-RT (b) memperlihatkan gambaran ekspresi
protein VEGF positif pada sitoplasma tinggal sedikit yang
berwarna merah kecokelatan, dibandingkan (Respons
Sebagian), apabila sel tumor menghilang lebih dari 50% pra-
RT. Sesuai dengan kriteria WHO No. 48 tahun 1979 disebut
Respons rendah

93
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Gambar 4.16a,b. Ekspresi Protein VEGF pada penderita


KNF pra dan paska RT dengan pewarnaan
IHK, pada kelompok respons rendah
(tidak ada respons). Pembesaran 400x-
Olympus BX 50 Model BX-50F-3. Pentax
Optio 230 Digital Camera 2.0 Megapixel.

Pada kelompok respons rendah (Tidak Ada Respons),


ekspresi protein VEGF kelompok pra-RT (a) memperlihat-
kan gambaran ekspresi VEGF positif pada sitoplasma
terlihat banyak yang berwarna merah kecokelatan. Pada
kelompok paska-RT (b) memperlihatkan gambaran ekspresi
protein VEGF positif pada sitoplasma terlihat masih banyak
yang merah kecokelatan dibandingkan pra-RT. Sesuai
dengan kriteria WHO No 48 tahun 1979, disebut respons
rendah (tidak ada respons), apabila pada penderita
menghilang kurang dari 50% atau menetap.
Pada kelompok respons rendah (Progresif), ekspresi
protein VEGF kelompok pra-RT (a) memperlihatkan
gambaran ekspresi VEGF positif pada sitoplasma terlihat
banyak yang berwarna merah kecokelatan. Pada kelompok
paska-RT (b) memperlihatkan gambaran ekspresi protein
VEGF positif pada sitoplasma bertambah banyak yang

94
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

berwarna merah kecokelatan dibandingkan pra-RT. Sesuai


dengan kriteria WHO No 48 tahun 1979, disebut respons
rendah (Respons Progresif), apabila pada penderita makin
besar atau timbul lesi baru yang sebelumnya tidak ada
(Lihat Gambar 4.17 a, b).

Gambar 4.17a,b Ekspresi Protein VEGF pada penderita KNF


pra dan paska RT dengan Pewarnaan IHK,
pada kelompok respons rendah (Progresif).
Pembesaran 400x-Olympus BX 50 Model BX-
50F-3. Pentax Optio 230 Digital Camera 2.0
Megapixel.

Uji normalitas data dengan menggunakan uji


Kolmogorov-Smirnov. Pada penelitian ini memperlihatkan
ekspresi VEGF pra-RT respons tinggi dan respons rendah
mengikuti distribusi normal (p>0,05), sehingga analisis
statistiknya menggunakan independent samples t-test. Uji
normalitas data untuk ekspresi VEGF paska-RT Respons
tinggi dan Respons rendah menggunakan uji Kolmogorov-
Smirnov, ekspresi VEGF tidak mengikuti distribusi normal
(p<0,05), sehingga digunakan uji alternatifnya yaitu uji non-
parametrik menggunakan uji Mann-Whitney.

95
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Didapatkan persentase rerata ekspresi VEGF pada


penderita KNF perlapang pandang sebelum dilakukan RT
(pra-RT) menunjukkan kelompok respons tinggi adalah
32,00±14,73%, sedangkan kelompok respons rendah adalah
17,73±21,14%. Berdasarkan Independent Samples t-Test, hasil
ini memperlihatkan ekspresi VEGF antara respons tinggi
dan respons rendah sebelum dilakukan RT terdapat
perbedaan tidak bermakna (p =0,286).

E. Data Uji Diskriptif Ekspresi Protein Bcl-2,


CD44 dan VEGF Pra-RT penderita KNF
Respons Tinggi dan Respons Rendah
paska-RT
1. Diskriptif Data Penelitian pada penderita KNF
Respons Tinggi Pra-RT
Pra-RT
Std.
Respons N Minimum Maximum Mean
Deviation
Tinggi
Bcl-2 3 24.00 90.00 54.33 33.32
CD44 3 24.00 99.00 49.00 43.30
VEGF 3 23.00 49.00 32.00 14.73
2. Diskriptif Data pada penderita KNF Respons Rendah
Pra-RT
Pra-RT
Std.
Respons N Minimum Maximum Mean
Deviation
Tinggi
Bcl-2 15 1.00 76.00 44.07 30.17
CD44 15 1.00 76.00 37.13 26.15
VEGF 15 1.00 75.00 17.73 21.14

96
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

3. Normalitas data dengan uji Kolmogorov-Smirnov


Bcl-2 CD44 VEGF
Pra-RT Pra-RT Pra-RT
Most Extreme Differences Absolute .333 .333 .600 .333.3
Positive .333 .333 .600
Negative -.200 -.333 -.133
Kolmogorov-Smirnov Z .527 .527 .949
Asymp.Sig. (2-tailed) .944 .944 .329
a Grouping Variable: Jenis Respons KNF Pra-RT
4. Hasil Uji Independent Samples t-Test untuk data-data
yang terdistribusi normal
Levene’s t-test for Equality of Means
Test for
Equality
of
Variances
F Sig. T df Sig. (2- Mean Std. 95% Confidence
tailed) Diffe- Error Interval of the
rence Diffe- Difference
rence Lower Upper
BCL Equal .156 .698 .531 16 .603 10.26667 19.3401 - 51.26588
-2 varian 1 30.73254
Pra- ces
RT assum
ed
Equal .495 2.69 .658 10.26667 20.7552 - 80.68709
varian 9 9 60.15375
ces not
assum
ed
CD4 Equal .193 1.83 .650 16 .525 11.86667 18.2508 - 50.55673
4 varian 9 4 26.82340
Pra- ces
RT assum
ed
Equal .458 2.30 .686 11.86667 25.8957 - 110.4332

97
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Levene’s t-test for Equality of Means


Test for
Equality
of
Variances
F Sig. T df Sig. (2- Mean Std. 95% Confidence
tailed) Diffe- Error Interval of the
rence Diffe- Difference
rence Lower Upper
varian 1 4 86.69996 9
ces not
assum
ed
VEG Equal .403 .535 .1.10 16 .286 .14.2666 .12.935 - 41.68839
F varian 3 7 35 13.15505
Pra- ces
RT assum
ed
Equal 1.41 3.89 .233 14.2666 10.1063 - 42.63221
varian 2 3 7 2 14.09888
ces not
assum
ed

Rerata persentase ekspresi protein VEGF pada


penderita KNF perlapang pandang pada penelitian ini,
paska-RT menunjukkan kelompok respons tinggi adalah
2,00±1,00%, sedangkan kelompok respons rendah adalah
46,93±29,05%. Oleh karena data ekspresi VEGF tidak
terdistribusi normal, maka digunakan uji alternatifnya yaitu
uji Mann-Whitney. Hasil uji Mann-Whitney memperlihatkan
ekspresi VEGF paska-RT pada kelompok respons tinggi dan
kelompok respons rendah berbeda bermakna (p=0,007).
Persentase rerata hasil pengamatan ekspresi VEGF pra-
RT maupun paska-RT antara respons tinggi dengan respons
rendah selengkapnya disajikan pada Gambar 4.18 dan 4.19

98
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Respons Rendah Respons Tinggi

Gambar 4.18. Rerata Ekspresi VEGF pada penderita KNF


pra-RT kelompok respons tinggi dan
respons rendah paska RT

Gambar 4.19. Rerata Ekspresi VEGF pada penderita KNF


kelompok respons rendah dan respons
tinggi paska RT.

99
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Hasil penelitian ini tampak ekspresi Bcl-2, CD44, dan


VEGF pada penderita KNF pra-RT secara keseluruhan tidak
memperlihatkan adanya perbedaan bermakna antara respons
tinggi dan rendah. Secara ringkas disajikan pada tabel 4.1
Tabel 4.1 Rerata persentase ekspresi dan hasil uji statistik
masing masing variabel pada penderita KNF
respons tinggi dan respons rendah pra RT
Respons rendah Respons tinggi
Variabel Std. Std. p
Mean Mean
Deviation Deviation
Bcl-2 44,07 30,17 54,33 33,32 0,603
CD-44 37,13 26,15 49,00 43,30 0,525
VEGF 17,73 21,14 32,00 14,73 0,286

Hasil penelitian ini tampak ekspresi pada penderita


KNF paska-RT secara keseluruhan memperlihatkan adanya
perbedaan bermakna diantara kelompok respons tinggi dan
respons rendah kecuali ekspresi CD-44.
Secara ringkas disajikan pada Tabel 4.2
Tabel 4.2 Rerata persentase ekspresi dan hasil uji statistik
masing-masing variabel pada penderita KNF
respons tinggi dan respons rendah paska RT
Respons rendah Respons tinggi
Variabel Std. Std. p
Mean Mean
Deviation Deviation
Bcl-2 37,80 26,13 4,33 0,58 0,007
CD-44 66,53 27,37 27,00 41,58 0,050
VEGF 46,93 29,05 2,00 1,00 0,007

100
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

F. Analisis Diskriminan Ekspresi Bcl-2, CD-


44, dan VEGF pada penderita KNF respons
tinggi dan respons rendah paska RT
Menurut program SPSS for MS Windows release 17.0 dan
hasil Uji Wilks’ Lambda, maka diperoleh hasil bahwa
ekspresi VEGF dan Bcl-2 paska RT merupakan variabel yang
mampu memisahkan sekumpulan individu menjadi
kelompok respons tinggi dan respons rendah. Berdasarkan
Uji Standardized Canonical Discriminant Function Coefficients
didapatkan nilai Bcl-2 paska-RT 0,588 dan VEGF paska-RT
0,909 (Lihat Tabel 4.3).
Tabel 4.3. Standardized Canonical Discriminant Function
Coefficients
Function

Bcl-2 PASKA –RT


.588

VEGF PASKA- RT
.909

Berdasarkan Uji Functions at Group Centroids didapatkan


respons tinggi -3,186 dan respons rendah 0,637 (Lihat Tabel
4.4).
Nilai tengah atau cut off untuk memisahkan kelompok
respons tinggi dan respons rendah = (-3,186 + 0,637)/2 = -
2.549/2 = -1.274 = -1.3

101
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Tabel 4.4 Functions at Group Centroids


tingkat respons sel tumor
KNF Function
1
RESPONS TINGGI -3.186
RESPONS RENDAH .637

Rumus skor diskriminan:


D = 0.588 (Bcl-2)+ 0.909 (VEGF)

Ketentuan penempatan individu:


Apabila:D < -1,3 maka termasuk kelompok respons tinggi
D > -1,3 maka termasuk kelompok respons Rendah
Jika dilihat dari hasil validasi (Cross-Validated) maka
tampak angka kekuatan pembeda antara kelompok respons
tinggi dan kelompok respons rendah dengan cut off -1,3
adalah sebesar 88,9%.

G. Analisis Diskriminan Ekspresi Bcl-2, CD-


44 dan VEGF pada penderita KNF respons
rendah paska RT
Menurut program SPSS for MS Windows release 17.0 dan
berdasarkan hasil Uji Standardized Canonical Discriminant
Function Coefficients, maka analisis tersebut dapat digunakan
untuk menempatkan sekelompok individu dengan nilai
tertentu dari ke empat variabel tersebut (Bcl-2,CD-44 dan
VEGF) untuk masuk ke kelompok respons sebagian atau ke
kelompok tidak ada respons dan kelompok tidak ada

102
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

respons atau ke kelompok progresif. Secara ringkas disajikan


pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Rerata persentase ekspresi dan hasil uji statistik
masing-masing variabel pada penderita KNF
respons rendah paska RT
Standardized Canonical Discriminant Function Coefficients
Function
1 2
Bcl-2 -.318 .760
CD-
1.018 .629
44
VEGF -1.189 -.494

1. Kelompok respons sebagian atau kelompok tidak ada


respons dengan persamaan sebagai berikut:
D = - 0,318 (Bcl-2)+ 1,018 (CD-44) – 1,189 (VEGF)

2. Kelompok tidak ada respons atau kelompok progresif


dengan persamaan sebagai berikut:
D = 0,760 (Bcl-2)+ 0,629 (CD-44) – 0,494 (VEGF)

Berdasarkan hasil Uji Functions at Group Centroids


didapatkan respons sebagian 0,049 dan tidak ada respons -
0,585 (Lihat Tabel 4.6).

103
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Tabel 4.6 Rerata persentase ekspresi dan hasil uji statistik


masing-masing variabel pada penderita KNF
respons rendah paska RT
Functions at Group Centroids
Function
tipe respons 1 2
respons
.590 .049
sebagian
tidak ada
-.780 -.585
respons
Progresif -1.094 .952
Unstandardized canonical discriminant functions evaluated at
group means

Nilai tengah atau cut off untuk memisahkan kelompok


respons sebagian dan kelompok tidak ada respons = (0,049
- 0,585) / 2 = - 0,268
Ketentuan penempatan individu:
Apabila: D < - 0,268 maka termasuk kelompok respons
sebagian
D > - 0,268 maka termasuk kelompok tidak ada
respons
Berdasarkan hasil Uji Functions at Group Centroids
didapatkan tidak ada respons - 0,585 dan progresif 0,952
(Lihat Tabel 5.6).
Nilai tengah atau cut off untuk memisahkan kelompok
tidak ada respons dan kelompok progresif = (-0,585 + 0,952)
/ 2 = 0,184

104
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Ketentuan penempatan individu:


Apabila: D < 0,184 maka termasuk kelompok tidak ada
respons
D > 0,184 maka termasuk kelompok progresif
Jika dilihat dari hasil validasi (Cross-Validated) fungsi
diskriminan dengan 4 variabel tersebut (BCL-2, CD-44 dan
VEGF) mampu memisahkan sekelompok individu menjadi:
(1) Kelompok respons sebagian atau kelompok tidak ada
respons, dengan kekuatan pembeda sebesar 60%.
(2) Kelompok tidak ada respons atau kelompok progresif
dengan kekuatan pembeda sebesar 60%.

H. Kesimpulan
1. Tidak terdapat perbedaan ekspresi protein Bcl-2, CD-44
dan VEGF pada penderita KNF respons tinggi dan
respons rendah pra RT
2. Terdapat perbedaan ekspresi protein Bcl-2 pada penderita
KNF respons tinggi dan respons rendah paska-RT
3. Tidak terdapat perbedaan ekspresi CD-44 pada penderita
KNF respons tinggi dan respons rendah paska-RT
4. Terdapat perbedaan ekspresi VEGF pada penderita KNF
respons tinggi dan respons rendah paska-RT
5. Ekspresi VEGF dan Bcl-2 paska RT merupakan variabel
yang mampu memisahkan sekelompok individu menjadi
kelompok respons tinggi dan respons rendah, didapat-
kan nilai cut off – 1,3 dengan angka kekuatan pembeda
sebesar 88,9%.

105
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

6. Ekspresi Bcl-2, CD-44 dan VEGF respons rendah paska


RT merupakan variabel yang mampu memisahkan se-
kelompok individu menjadi kelompok respons sebagian
dan tidak ada respons, didapatkan nilai cut off - 0,268
dengan angka kekuatan pembeda sebesar 60%
7. Ekspresi Bcl-2, CD44 dan VEGF respons rendah paska
RT merupakan variabel yang mampu memisahkan
sekelompok individu menjadi kelompok tidak ada
respons dan kelompok progresif, didapatkan nilai cut off
0,184 dengan angka kekuatan pembeda sebesar 60%.
8. Ekspresi Bcl-2 dapat dipakai sebagai indikator
keberhasilan radioterapi

106
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

DAFTAR PUSTAKA

Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. 2007. Immunity to Tumors.


In : Cellular and Molecular Immunology, 6 nd edition.
Philadelpia : W.B. Saunders Co, pp 397-417.
Addam S, Kian A. 2006. Indications and Techniques. In :
Radiotherapy for Head and Neck Cancers, third
edition. Philadelphia : Lipppincott Co, pp 5-38
Adi. 2007. Paparan Formaldehid sebagai Faktor Resiko
Kanker Nasofaring. Majalah Cermin Dunia Kedokteran
155: 96-99.
Arteaga CL, Baselga J. 2003. Clinical trial design and end
points for epidermal growth factor receptor-targeted
therapies : Implications for drug development and
practice clinical. Cancer research 9 : 1579–1589.
American Joint Committee On Cancer. In: Greene FL,
Compton CC, Fritz AG, Shah JP, Winchester DP.
AJCC cancer staging atlas. Springer Science &
Business Media Inc; 2006. Part I – Head & Neck Sites
(Pharynx); p.27-40.
Aravind Mohandas, Charles Marcus, Hyunseok Kang, Minh-
Tam Truong and Rathan M. Subramaniam. 2014. PDG
PET/CT in The Management of Nasopharyngeal
Carcinoma. American Journal of Roentgenology,
Volume 203, Issue 2.
Baratawidjaya KG. 2002. Imunologi kanker. Dalam Imunologi
dasar Edisi ke V, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Jakarta, hlm219-232.

107
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Baert AL. 2008. Apoptosis. In : Encyclopedia of Diagnostic


Imaging Volume 2. Springer-Verlag Berlin Heidelberg
New York. pp 94 – 98.
Beyzadeoglu M, Ozygit G, Ebruli C. In: Beyzadeoglu M,
Ozygit G, Ebruli C, editors. Basic radiation oncology.
Springer-Verlag Berlin Heidelberg: 2010. Section 5.1.1:
Nasopharyngeal Cancer; p.213-24.
Blaheta RA, Powerski M, Hudak L, Juengel E, Jonas D, von
Knethen A, Doerr HW, Cinatl J. 2009. Tumor-
Endothelium Cross Talk Blocks Recruitment of
Neutrophils to Endothelial Cells: A Novel Mechanism
of Endothelial Cell Anergy. Neoplasia 11 (10): 1054–
1063
Brady LW, Heilmann HP, Molls M. 2005. Medical Radiology :
Diagnostic Imaging and Radiation Oncology. Springer
Berlin Heidelberg New York, pp 450-460.
Chan AT, Teo PM, Johnson PJ. 2002. Nasopharyngeal
carcinoma. Annals of oncology 13 : 1007-1015.
Chew CT. 2003. Risk factors, symptoms and diagnosis of
Nasopharryngeal Carcinoma, Cancer Reviews Asia
Pacific, Singapura, World Scientific Publishing Co,
109–120.
Chien YC, Chen CJ. 2003. Epidemiology and etiologi of
nasopharyngeal Carcinoma : Gene-environment
interaction, Cancer Reviews Asia Pacific, World
Scientific Publishing Co. Singapura, 1-20.
Chua DT, Wei WI, Sham JS, Cheng AC, Au G. 2003.
Treatment outcome for synchronous locoregional failures of
nasopharyngeal carcinoma. Department of Clinical
Oncology, PB-115, Professorial Block, Queen Mary
Hospital, Pokfulam, Hong Kong, vol 7 : 585-594.

108
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Chien YC, Chen CJ. 2003. Epidemiology and etiologi of


nasopharyngeal Carcinoma: Gene-environment
interaction, Cancer Reviews Asia Pacific, World
Scientific Publishing Co. Singapura, 1-20.
Cho WC. 2007. Nasopharyngeal Carcinoma : Molecular
Biomarker Discovery and Progres. Molecular Cancer
6:1
Choi J, Choi K, Benveniste EN, Hong YS, Lee JH, Kim J, Park
K. 2005. Bcl-2 Promotes Invasion and Lung Metastasis
by Inducing Matrix Metalloproteinase-2. Cancer Res
65(13): 5554-60.
Dvorak HF. 2005. Angiogenesis: update 2005. J Thromb
Haemost 3:1835–42.
Fuadi, Ermayanti, Ratih, Ismail, Arsyad, 2008. Epidemiologi
Karsinoma Nasofaring di RSU Dr. Moewardi Surakarta
periode Juli 2005 sampai Juni 2008. Kepaniteraan Klinik
di SMF/ Instalasi Radiologi RSU. Dr. Moewardi / FK.
UNS. Surakarta.
Ghorayeb BY. 2010. Picture and Imaging of Nasopharyngeal
Squamous Cell Carcinoma. Otolaryngology Houston.
download dari: http://www.ghorayeb.com/-
NasopharyngealSquamousCellCarcinoma.htcc (15 Maret
2010)
Hanafiah KA. 2004. Rancangan Percobaan. Teori dan Aplikasi,
Jakarta. PT.Raja Grafindo Persada, hal: 5-12.
Harijadi. 2005. Diagnostic and new predictve factors of NPC. In
Integrated management of EBV – NPC Seminar.
Yogjakarta.
Jia WH, Shao JY, Feng BJ. 2003. Genetic component involved in
nasopharyngeal carcinoma development. Cancer Reviews

109
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Asia Pacific, World Scientific Publishing Co.


Singapura, 51-58.
Kentjono WA. 2003. Penatalaksanaan Kanker Nasofaring masa
kini. Dalam : Naskah lengkap Simposium Kanker
Nasofaring dan demo biopsi Nasofaring dengan
teknik jarum halus Surabaya, 24 – 44.
Kentjono WA. Perkembangan terkini penatalaksanaan
karsinoma nasofaring. Majalah Kedokteran Tropis
Indonesia Vol. 14(2); 2003
Kian AK, Berkey BA, Xiaoyu T. 2002, Impact of epidermal
growth factor receptor expression on survival and
pattern of relapse in patients with advanced head and
neck carcinoma. Cancer Research 62 : 7350–7356.
Kleinsmith LJ. 2006. Radiation and Cancer in Principles of
Cancer. Biology Pearson International edition United
State of Canada, pp 103 – 118.
Kuhn S, Koch M, Nübel T, Ladwein M, Antolovic D,
Klingbeil P, Hildebrand D, Moldenhauer G, Langbein
L, Franke WW, Weitz J, Zöller M. 2007. A complex of
EpCAM, claudin-7, CD44 variant isoforms, and
tetraspanins promotes colorectal cancer progression.
Mol Cancer Res. 5(6):553-67.
Kumar V, Abbas AK, Fausto N. 2005. Robin and Cotran
Pathologic Basis of Disease, 7th.Ed.Philadelphia,WB
Sounders, pp 287-290.
Li HY. 2008. Elevated expressions of survivin and VEGF
protein are strong independent predictors of survival
in advanced nasopharyngeal carcinoma. Journal of
Translational Medicine 6:1.
Lunardhi JH. 2003. FNAB Tumor Koli pada penderita Kanker

110
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Nasofaring. Dalam: Simposium Kanker Nasofaring


dan demo biopsy Nasofaring dengan teknik jarum
halus Surabaya, 17 – 23.
Lung CC. 2003. Functional approaches to localize and identify
tumor suppresive region required for development of
nasopharyngeal carcinoma. In : Cancer Reviews Asia
Pacific, Singapura, World Scientific Publishing Co, 21-
30.
Martoprawiro SS. 2003. Patologi Kanker Nasofaring. dalam
Naskah lengkap Simposium Kanker Nasofaring dan
demo biopsi Nasofaring dengan teknik jarum halus
Surabaya, hlm 8-16.
Maksan SM, Araib PM, Ryschich E, Gebhard MM, and
Schmidt J. 2004. Immune escape mechanism:
defective resting and stimulated leukocyte-
endothelium interaction in hepatocellular carcinoma
of the rat. Dig Dis Sci 49: 859–865.
Manocha S, Suhag V, Sunita B. S, Hooda H. S, Singh S, 2006.
Comparison of sequential chemoradiation with
radiation alone in the treatment of advanced head
and neck cancers. Indian Journal of Otolaryngology and
Head and Neck Surgery 58(1): January-March.
Murphree AL. 2007. Retinoblastoma:clues to human
oncogenesis in Science, 223 (4640):1028-1033. Entrez
PubMed 6320372. Retrieved on January 24.
Mulyarjo. 2003. Epidemiologi dan Gambaran Klinik Kanker
Nasofaring. dalam Naskah lengkap Simposium
Kanker Nasofaring dan demo biopsi Nasofaring
dengan teknik jarum halus Surabaya, 1-7.
Mulyarjo. 2002. Diagnosis dan penatalaksanaan karsinoma
nasofaring. dalam Naskah lengkap PKB ilmu penyakit

111
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

THT-KL. Perkembangan terkini diagnosis dan


penatalaksanaan tumor ganas THT-KL, Surabaya, 38-
48
Najib DL. 2003. The Technical Procedure and The Value of Fine
Needle Aspiration Biopsy of The Nasopharynx . Dalam :
Simposium Kanker Nasofaring dan demo biopsi
Nasofaring dengan teknik jarum halus Surabaya, hlm
53 – 66.
Ogino S, Kirkner GJ, Nosho K, Irahara N, Kure S, Shima K,
Hazra A, Chan AT, Dehari R, Giovannucci EL, Fuchs
CS. 2008. Cyclooxygenase-2 Expression is an
Independent Predictor of Poor Prognosis in Colon
Cancer. Clin Cancer Resr 14(24): 8221–8227.
Prasad G, Rembert J, Hansen EK, Yan SS. In: Hansen EK,
Roach M, editors. Handbook of Evidence-based
radiation oncology 2ed edition. Springer New York
Heidelberg Dordrecht London ; 2010. Chapter 5:
Nasopharyngeal Cancer; p.99-108.
Roezin A, Syafril A. 2006. Karsinoma Nasofaring. Dalam :
Soepardi E A. (ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorok. Edisi kelima. Jakarta : FK UI, h.
149-53.
Roskoski R. 2007. Vascular endothelial growth factor (VEGF)
signaling in tumor progression. Critical Reviews in
Oncology/Hematology 62: 179–213
Siswantoro. 2003. Nasofaringoskopi. Dalam Simposium
Kanker Nasofaring dan demo biopsi Nasofaring
dengan teknik jarum halus Surabaya, 45 – 52.
Suhartati G. 2003. Radiasi pada keganasan anal dan rectal.
DalamTemu Ilmiah II PORI Penanganan kanker
terpadu dan terkini Bandung.

112
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Susworo. 2003. Perkembangan Radioterapi mutakhir pada


pengobatan Kanker Nasofaring. Dalam Temu Ilmiah II
PORI Penanganan kanker terpadu dan terkini,
Bandung.
Susworo. 2004. Kanker Nasofaring: Epidemiologi dan
Pengobatan Mutakhir. Majalah Cermin Dunia
Kedokteran 144: 16-19.
Susworo R. Radioterapi pada berbagai kasus: kanker
nasofaring. Dalam: Susworo R, editor. Radioterapi:
dasar dasar radioterapi, tatalaksana radioterapi
penyakit kanker. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press); 2006. Hal. 64-72.
Tim Penelitian dan Pengembangan Wahana Komputer. 2005.
Pengembangan Analisis Multivariate dengan SPSS 12.
Salemba Infotek. Jakarta. 152-179.
Tsang NM. 2003. Detection of Epstein-Barr virus derived
latent membrane protein-1 gene in various head and
neck cancers : Is It Specific for nasopharyngeal
carcinomas ? The Laryngoscope 113(6):1050-1055.
Wang SJ, Wong G, de Heer A, Xia W, Bourguignon LYW.
2009. CD44 variant isoforms in head and neck
squamous cell carcinoma progression. Laryngoscope
119(8): 1518–1530.
Yamanaka K, Rocchi P, Miyake H, Fazli L, Vessella B,
Zangemeister-Wittke U, Gleave ME. 2005. A novel
antisense oligonucleotide inhibiting several
antiapoptotic Bcl-2 family members induces apoptosis
and enhances chemosensitivity in androgen-
independent human prostate cancer PC3 cells. Mol
Cancer Ther 4(11):1689–98.
Yip, Kenneth W. 2006. Prognostic significance of the Epstein-

113
library.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karsinoma Nasofaring Kadar Bcl-2, CD44, dan VEGF

Barr Virus, p53, Bcl-2, and survivin in


Nasopharyngeal Cancer. Clin cancer Res 12 -19.
Yongqiang M, Weidong MD, Xiln BE, Enju BSN, Xiaorong
BSN, Shuhua MD. 2003. Significance of c-Myc and
Bcl-2 Protein Expression in Nasopharyngeal
Carcinoma. Arch Otolaryngeal Head Neck Surg 129:
1322- 1326.

114

Anda mungkin juga menyukai