Anda di halaman 1dari 67

PELATIHAN BAGI PELATIH PROGRAM PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS

TINGKAT FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA DAN FASILITAS


KESEHATAN RUJUKAN TINGKAT LANJUTAN (FKTP FKRTL)

MATERI INTI 1

PENEMUAN PASIEN TUBERKULOSIS

DIREKTORAT JENDERAL

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

JAKARTA

2020

1
TIM PENYUSUN

Pelindung:

dr. Anung Sugihantoro, M.Kes (Direktur Jendral P2P)

Pengarah:

1. dr. Wiendra Waworuntu, M.Kes (Direktur P2PML)


2. dr. Imran Pambudi, MPHM (Kepala Subdit TBC)
Sekretaris:
1. Nurjannah, SKM, M.Kes
2. Dr. Sulistya Widada
Editor

Dr. dr. Rina Handayani, M.Kes

Anggota:

1. dr. Irfan Ediyanto


2. Sarah, SKM
3. dr. Endang Lukitosari, MPH
4. dr. Hanifah Rizki Purwandani, SKM
5. H.D Djamal, M.Si
6. dr. Retno Kusuma Dewi, MPH
7. Saida N. Debataradja, SKM
8. dr. Setiawan Jati Laksono
9. drg. Siti Nur Anisah, MPH
10. Sulistyo, SKM, M.Epid
11. Suwandi SKM, M. Epid
12. dr. Wihardi Triman, MQIH
13. dr. Zulrasdi Djairas, SKM
14. Rudi Hutagalung
15. Suhardini, SKM, MKM
16. Evi Natsir, SKM
17. Antasari Roro, SKM
18. Dela Pramesti, SKM

2
19. Triana, SKM
20. Windy Oktavina SKM M kes
21. Dr Galuh
22. Suhardini SKM MKM
23. Dr Zulrasdi M Kes
24. Dr Budi Setiawan
25. Ns Murni Ners
26. Novia Rahmawati Bio Med
27. Roni Chandra S Biomed
28. Surjana SKM M Kes
29. Dangan Prasetya SIP

3
DAFTAR SINGKATAN
ANC = Ante Natal Care
APBD = Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
BBKPM = Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat
BKPM = Balai Kesehatan Paru Masyarakat
BP4 = Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru
BTA = Basil Tahan Asam
CNR = Case Notification Rate
DM = Diabetes Mellitus
DOTS = Directly Observed Treatment, Shorcourse chemotherapy
DPM = Dokter Praktek Mandiri
DST = Drugs Sensivity Test
DTPK = Daerah Tertinggal Perbatasan Kepulauan
FDC = Fixed Dose Combination
FKRTL = Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut
FKTP = Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
FKTP-RM = Fasilitas kesehatan Tingkat Pertama Rujukan Mikroskopis.
FKTP-S = Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Satelit
FNAB = Fine Neddle Aspirate Biopsy
HIV = Human Immunodeficiency Virus
ISTC = International Standards For Tuberculosis Care
KDT = Kombinasi Dosis Tetap
KIA = Kesehatan Ibu Anak
KM = Komunikasi Motivasi
KTIP = Konseling dan Tes HIV atas Inisiasi Petugas
LPA = Line Probe Assay
MDR = Multi Drug Resistance
MTBCS = Manajemen Terpadu Balita Sakit
MTDS = Manajemen Terpadu Dewasa Sakit
OAT = Obat Anti Tuberkulosis
ODHA = Orang dengan HIV AIDS
PAL = Practical Approach to Lung Health
PAS = Para Amino Salisilic Acid
PNPK = Pedoman Nasional Praktek Kedokteran Tatalaksana
PPI = Pencegahan Pengendalian Infeksi
PPM = Public Private Mix
PWS = Pemantauan Wilayah Setempat
QA = Quality Assurance
RPJMN = Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RR = Resistan Rimfapisin
RS = Rumah Sakit
RT = Rumah Tangga
SPTN = Survei Prevalensi Tuberkulosis Nasional
TBC = Tuberkulosis
TCM = Tes Cepat Molekuler
Total DR = Totally Drug Resistance
UKBM = Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat
WHO = World Health Organization
XDR = eXtensive Drug Resistance
ZN = Ziehln Neelson

4
I. DESKRIPSI SINGKAT
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
tuberkulosis (TBC) yang dikenal dengan nama M. tuberculosis. Sebagian besar
kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
Penularan terutama sekali secara aerogen. Pasien TBC paru menyebarkan
kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Sumber penularan
adalah pasien TBC paru BTA postif yang saat batuk, bersin atau berbicara
mengeluarkan droplet (percikan dahak) yang mengandung kuman M.
tuberculosis.
Pencegahan utama agar seseorang tidak terpapar dengan M. tuberculosis
adalah dengan menemukan Pasien TBC secara dini serta mengobati dengan
tuntas, sehingga bahaya penularan tidak ada lagi.
Penemuan Pasien TBC paru adalah dengan cara menemukan pasien yang
mempunyai gejala mengarah ke TBC yaitu batuk lama, 2 minggu atau lebih,
berdahak, dapat disertai darah, panas badan, nyeri dada dan gejala penyakit
paru lainnya. Diagnosis Pasien TBC terkonfirmasi bakteriologis adalah dengan
pemeriksaan mikroskopis, biakan dan Test Cepat Molekuler (TCM). Pemeriksaan
mikroskopik dengan pengecatan Ziehl Neelsen (ZN).
Jika konfirmasi bakteriologis tidak diperoleh, maka diagnosis TBC ditegakkan
secara klinis mengacu pada hasil pemeriksaan penunjang yang sesuai.
Modul penemuan Pasien TBC akan membahas tentang strategi penemuan,
diagnosis TBC Paru pada orang dewasa, diagnosis TBC anak, diagnosis TBC
Resistan OAT, diagnosis TBC Ekstraparu, diagnosis TBC dengan Komorbid, dan
definisi kasus TBC serta klasifikasi pasien TBC.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


A. Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)
Setelah mempelajari materi ini, peserta latih mampu melakukan penemuan
Pasien TBC.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK)
Setelah mempelajari materi ini, peserta latih mampu:
1. Menjelaskan strategi penemuan terduga TBC
2. Menjelaskan definisi kasus TBC
3. Melakukan penegakan diagnosis TBC
4. Melakukan pengelolaan contoh uji untuk pemeriksaan laboratorium
5. Melakukan klasifikasi Pasien TBC
5
6. Melakukan Komunikasi Motivasi
7. Melakukan upaya pengendalian faktor risiko
8. Melakukan pencatatan pelaporan terkait penemuan pasien TBC

III. POKOK BAHASAN DAN ATAU SUB POKOK BAHASAN


Dalam materi ini akan dibahas pokok bahasan dan atau sub pokok bahasan
sebagai berikut:
A. Strategi penemuan terduga TBC
1. Penemuan secara pasif intensif
2. Penemuan secara aktif masif
B. Definisi kasus
C. Penegakan Diagnosis TBC
1. Identifikasi Terduga TBC
2. Jenis Pemeriksaan Laboratorium
3. Diagnosis TBC Paru pada Orang Dewasa.
4. Diagnosis TBC pada Anak
5. Diagnosis TBC Ekstra paru
6. Diagnosis TBC HIV
7. Diagnosis TBC pada Pasien dengan ko-morbid
8. Diagnosis TBC Resistan OAT
D. Pengelolaan contoh uji untuk pemeriksaan laboratorium:
1. Contoh uji dahak
2. Contoh uji non dahak
E. Klasifikasi pasien TBC
F. Komunikasi Motivasi
G. Upaya pengendalian faktor risiko
H. Pencatatan pelaporan penemuan pasien TBC

IV. METODE
A. Ceramah dan Tanya Jawab.
B. Curah Pendapat.
C. Studi kasus

6
V. MEDIA DAN ALAT BANTU
A. Bahan Tayang
B. Panduan Studi Kasus
C. Modul
D. Laptop,
E. LCD,
F. Pointer
G. Papan flipchart
H. Kertas flipchart
I. Spidol
J. Alat-alat Lab (pot dahak, slide, lampu spritus)

VI. LANGKAH–LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN


Agar proses pembelajaran dapat berhasil secara efektif, maka perlu disusun
langkah-langkah sebagai berikut:
Langkah 1 : Pengkondisian peserta
1. Pelatih/Fasilitator memulai kegiatan dengan melakukan bina suasana
dikelompok.
2. Pelatih/Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat dan
memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, instansi tempat
bekerja, dan materi yang akan disampaikan.
3. Bila belum ada, menugaskan kelompok untuk memilih ketua, sekretaris dan
pencatat waktu.
4. Pelatih/Fasilitator menyampaikan tujuan pembelajaran, pokok bahasan dan
sub pokok bahasan Penemuan Pasien TBC
Langkah 2: Review Pokok bahasan
Pelatih/Fasilitator menggali pendapat peserta tentang apa yang dimaksud
dengan Penemuan Pasien TBC dengan metode curah pendapat/ brainstorming.
Langkah 3: Pembahasan per materi
1. Pelatih/Fasilitator menyampaikan paparan materi sesuai urutan pokok
bahasan dengan menggunakan bahan tayang.
2. Selanjutnya Pelatih/Fasilitator melakukan tanya jawab dengan meminta
peserta untuk mengemukakan pendapatnya, klarifikasi dan mengajukan
pertanyaan tentang materi yang telah diberikan.
Langkah 4: Pembahasan studi kasus dikaitkan dengan pokok bahasan
serta situasi dan kondisi di tempat tugas.

7
1. Pelatih/Fasilitator membagi menjadi 5 kelompok diskusi
2. Pelatih/Fasilitator membagi lembar studi kasus sesuai dengan materi
pembelajaran yang telah disampaikan dan menyampaikan petunjuk studi
kasus.
3. Pelatih/Fasilitator menugaskan peserta untuk mengerjakan studi kasus.
4. Pelatih/Fasilitator meminta peserta untuk presentasi hasil diskusi kelompok.
5. Pelatih/Fasilitator meminta peserta untuk mengemukakan pendapat dan
mengajukan pertanyaan terhadap presentasi kelompok lain.
6. Pelatih/Fasilitator menyampaikan klarifikasinya.
Langkah 5: Rangkuman
1. Pelatih/Fasilitator melakukan evaluasi dengan mengajukan pertanyaan
sesuai pokok bahasan
2. Kemudian Pelatih/Fasilitator membuat rangkuman bersama-sama peserta
tentang materi Penemuan Pasien TBC, merangkum hasil pembahasan, dan
memberikan penekanan pada hal-hal yang penting.
3. Pelatih/Fasilitator membuat kesimpulan materi pembelajaran.

8
VII. URAIAN MATERI

– WHO tahun 2020, ditingkat global diperkirakan 1,3 juta orang meninggal
akibat TBC
– Dampak yang paling jelas dari COVID-19 adalah penurunan global yang
besar dalam jumlah orang yang baru didiagnosis dengan TBC dan
dilaporkan. Ini turun dari 7,1 juta pada tahun 2019 menjadi 5,8 juta pada
tahun 2020, dari sekitar 10 juta orang yang terkena TBC pada tahun
2020
– Delapan negara dengan kasus TBC terbanyak di dunia dan
menyumbang dua pertiga dari seluruh kasus global adalah India, China,
Indonesia, Filipina, Pakistan, Nigeria, Bangladesh, dan Afrika Selatan
– Situasi TBC di Indonesia menurut data dari Kementrian Kesehatan RI
pada 2020 terdapat 845.000 orang estimasi kasus TBC dengan jumlah
orang yang terkonfirmasi kasus TBC sebanyak 362.418 orang
I. Strategi penemuan terduga TBC.
Strategi penemuan pasien TBC dapat dilakukan secara pasif, intensif, aktif,
dan masif. Upaya penemuan pasien TBC harus didukung dengan kegiatan
promosi yang aktif, sehingga semua terduga TBC dapat ditemukan,
terdiagnosis dan mendapatkan pengobatan sedini mungkin
1. Penemuan pasien TBC secara pasif-intensif
Kegiatan penemuan yang dilaksanakan di fasilitas kesehatan dengan
memperkuat jejaring layanan TBC melalui Public-Private Mix (PPM) dan
memperkuat kolaborasi layanan.
Jejaring layanan
Kegiatan ini merupakan bagian dari kegiatan PPM. Penemuan pasien
TBC di fasyankes dilakukan melalui penguatan jejaring layanan antar
fasyankes yang memberikan layanan diagnosis TBC, untuk
menghindari terjadinya miss-opportunity yang disebabkan
keterbatasan sarana diagnosis yang dimiliki oleh fasyankes yang
kontak pertama dengan pasien TBC. Dalam kegiatan ini fasyankes
yang tidak memiliki alat TCM akan merujuk pemeriksaan ke
fasyankes yang memiliki alat TCM.
Kolaborasi layanan
Berupa integrasi dan kolaborasi kegiatan penemuan pasien TBC di
dalam fasyankes, misalnya dimulai dari registrasi, poliklinik umum,
unit layanan HIV, DM (Diabetes Mellitus), Gizi, Lansia, klinik berhenti
merokok, klinik KIA, MTBCS dan ANC. Secara manajemen layanan,
penemuan pasien TBC juga harus diintegrasikan kedalam strategi
atau sistem manajemen kesehatan yang diterapkan di fasyankes

9
misalnya: Pendekatan Praktis Kesehatan Paru/ PPKP (PAL =
Practical Approach to Lung health), Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBCS), Manajemen Terpadu Dewasa Sakit (MTDS).
Penjaringan terduga TBC di faskes dapat juga dilakukan dengan
pendekatan Temukan Pisahkan dan Obati (TemPO) yaitu melalui
penapisan batuk oleh petugas yang meregistrasi pasien atau perawat
yang memberi layanan pada pasien. Upaya penemuan pasien TBC
harus didukung dengan kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua
terduga TBC dapat ditemukan secara dini.

2. Penemuan pasien TBC secara aktif masif di keluarga dan


masyarakat, Berupa kegiatan-kegiatan penemuan terduga/ pasien TBC
yang dilakukan di luar fasyankes. Kegiatan ini bisa melibatkan secara
aktif semua potensi masyarakat yang ada antara lain: Kader kesehatan,
kader posyandu, pos TBC desa, tokoh masyarakat, dan tokoh agama.
Kegiatan ini dapat berupa:
1) Investigasi kontak
Investigasi Kontak (IK) adalah kegiatan yang dilakukan untuk
meningkatkan penemuan kasus TBC dengan cara mendeteksi secara
dini dan sistematis terhadap orang yang kontak dengan sumber infeksi
TBC (kasus indeks) dan juga untuk mencari sumber penularan jika
sumber infeksi TBC (kasus indeks) adalah anak (< 5 th). Pedoman WHO
menyatakan bahwa kegiatan IK bermanfaat untuk mendeteksi kasus
TBC secara dini, mencegah penyakit yang lebih berat serta mengurangi
penularan TBC pada orang lain. Selain itu, IK dapat juga menemukan
orang dengan infeksi TBC laten yang membutuhkan pengobatan
pencegahan atau Terapi Pencehagahan Tuberkulosis (TPT). Kegiatan IK
diselenggarakan melalui kolaborasi antara pemberi layanan kesehatan
dengan komunitas yang ada di masyarakat seperti kader kesehatan,
PMO, pendidik sebaya dan sebagainya.

Investigasi kontak dilaksanakan untuk semua pasien TBC


baru/kambuh yang terkonfirmasi bakteriologis (TBC Sensitif Obat
maupun TBC Resisten Obat) dan TBC anak untuk mendeteksi secara
dini kemungkinan adanya kasus lain yang menulari kasus indeks atau
kasus lain yang tertular oleh kasus indeks, pada kontak serumah atau

10
kontak erat. IK juga dilaksanakan pada semua pasien TBC anak, dengan
tujuan mencari kasus lain yang merupakan sumber penularan.
Pelaksanaan kegiatan IK dilakukan terhadap minimal 20 orang yang
kontak dengan pasien TBC (kasus indeks/sumber infeksi penularan) dan
harus dicatat serta dilaporkan baik dalam kartu pengobatan pasien TBC
yang merupakan kasus indeks (TBC.01) maupun formulir pemeriksaan
kontak (TBC.16K).

*Daftar Istilah Keterangan;


 Kasus Indeks adalah semua pasien TBC baru/kambuh yang
terkonfirmasi bakteriologis (TBC Sensitif Obat maupun TBC Resisten
Obat) dan TBC anak di lingkungan rumah tangga atau tempat-tempat
lain (tempat kerja, asrama, sekolah, tempat penitipan anak,
lapas/rutan, panti, dsb).
Sumber data kasus indeks berasal dari data Puskesmas, Rumah
Sakit, dan Fasyankes swasta.
 Kontak adalah orang yang terpajan/berkontak dengan kasus indeks,
misalnya orang serumah, sekamar, satu asrama, satu tempat kerja,
satu kelas, atau satu penitipan/pengasuhan.
 Kontak serumah adalah orang yang tinggal serumah minimal satu
malam, atau sering tinggal serumah pada siang hari dengan kasus
indeks dalam 3 bulan terakhir sebelum kasus indeks mulai mendapat
obat anti tuberkulosis (OAT).
 Kontak erat adalah orang yang tidak tinggal serumah, tetapi sering
bertemu dengan kasus indeks dalam waktu yang cukup lama, yang
intensitas pajanan/berkontaknya hampir sama dengan kontak
serumah. Misalnya orang yang berada pada ruangan/lingkungan yang
sama (tempat kerja, ruang pertemuan, fasilitas umum, rumah sakit,
sekolah, tempat penitipan anak) dalam waktu yang cukup lama
dengan kasus indeks, dalam 3 bulan terakhir sebelum kasus indeks
minum OAT.

11
 Bagan Alur Investigasi Kontak (IK)
*Merujuk pada alur Investigasi Kontak di Juknis

Mendapatkan data Kasus Indeks dari Petugas di Puskesmas ( baik kasus dewasa
maupun kasus anak <5 th)

Pembuatan Jadwal

Mengunjungi Rumah Kasus Indeks


Minimal 20 Kontak

Skrining pada Kontak

Usia ≥ 5 Usia <5 tahun

Rujuk ke Fasyankes
Tidak Batuk Tidak Batuk tetapi Batuk
ada faktor risiko
dan gejala lain Skrining gejala TBC
Edukasi TBC
oleh Petugas Kesehatan

Dilakukan
skrining ulang Rujuk ke
Ada Gejala Tidak ada Gejala
setelah 6 Fasyankes
bulan
Diagnosis TPT
sesuai standar

Keterangan:
: Dilakukan oleh Kader
: Dilakukan oleh Petugas Kesehatan

12
Prinsip, tujuan dan langkah IK pada kasus indeks TBC RO adalah sama dengan IK
pada kasus indeks TBC SO. Beberapa catatan perbedaannya adalah:
1. Kasus indeks adalah pasien TBC RO
2. Anak yang berkontak dengan pasien TBC RO dirujuk ke spesialis anak rujukan
RO untuk pemeriksaan lebih lanjut, sebagai berikut:
a. Jika kontak bergejala, langkah awal adalah pemeriksaan sputum atau
spesimen lain menggunakan TCM.
b. Pengobatan TBC sesuai hasil pemeriksaan uji kepekaan obat anak atau hasil
uji kepekaan obat kasus indeks.
c. Jika anak terbukti tidak sakit TBC tindakan selanjutnya ditentukan oleh dokter
spesialis anak/TAK, bisa berupa observasi atau pemberian pengobatan
pencegahan.
d. Pengobatan encegahan untuk anak idealnya berdasarkan resistensi OAT
kasus indeks. Paduan yang dapat diberikan adalah Levoflocaxin dan
Ethambutol selama 6-9 bulan.
e. Anak yang bergejala baik yang mendapatkan maupun yang tidak
mendapatka pengobatan pencegahan harus diobservasi setiap bulan selama
2 tahun.

2) Penemuan dan Pelayanan TBC terintegrasi PISPK


Kegiatan penemuan TBC bisa dilakukan melalui kegiatan PIS PK
dimana petugas Puskesmas melakukan kunjungan rumah untuk:

 Pendataan

Bila dalam pendataan ditemukan terduga TBC dianjurkan


untuk datang ke layanan untuk dilakukan pemeriksaan.

 Memastikan jika ada anggota keluarga memiliki gejala TBC


untuk memeriksakan diri segera datang layanan/Puskesmas
terdekat

 Memastikan anggota keluarga yang menderita TBC sedang


berobat di Puskesmas dipastikan kepatuhan dalam
pengobatan

13
 Menjadi Pengawas Menelan Obat (PMO) jika ada anggota
keluarga menderita penyakit TBC untuk meminum obat secara
teratur dan sampai tuntas

3) Penemuan populasi berisiko di tempat khusus:


Merupakan kegiatan penemuan aktif yang dilakukan di lingkungan
yang mudah terjadi penularan TBC yaitu Lapas/Rutan, RS Jiwa,
tempat kerja, asrama, pondok pesantren, sekolah, panti jompo.
Kegiatan penemuan aktif di tempat khusus dapat dilakukan dengan
skrining masal tahunan, skrining kesehatan warga baru, skrining
kontak dan pemantauan batuk secara rutin. Kegiatan penemuan aktif
yang dilakukan pada tempat yang memiliki akses terbatas ke layanan
kesehatan, misalnya: tempat penampungan pengungsi, daerah
kumuh padat dan DTPK (Daerah Terpencil, Perbatasan dan
Kepulauan).
4) Penemuan kasus TBC aktif berbasis keluarga dan masyarakat
Dilaksanakan secara rutin oleh anggota keluarga maupun kader
kesehatan di Posyandu dengan melakukan screening batuk terhadap
orang yang datang ke POSYANDU atau orang yang tinggal di
lingkungannya dan menyarankan orang dengan batuk untuk
memeriksakan diri ke fasyankes terdekat. Kegiatan pemantuan batuk
ini dapat diintegrasikan pada kegiatan kader kesehatan yang sudah
rutin berjalan misalnya kegiatan ketuk pintu kader kesehatan,
kegiatan jumantik, kader posyandu dan kegiatan upaya kesehatan
berbasis masyarakat (UKBM) lain.
5) Skrining masal
Kegiatan penemuan aktif yang dilaksanakan untuk meningkatkan
penemuan pasien TBC di wilayah yang penemuan kasusnya masih
sangat rendah dan atau belum terjangkau oleh Puskesmas. Dalam
pelaksanaannya Puskesmas bekerja sama dengan aparat
desa/kelurahan, kader kesehatan dan potensi masyarakat melakukan
skrining gejala TBC secara masif di masyarakat dan membawanya ke
layanan kesehatan luar gedung.

B. Definisi kasus
Pasien dibedakan berdasarkan klasifikasi penyakitnya yang bertujuan untuk:
a) Pencatatan dan pelaporan pasien yang tepat

14
b) Penetapan paduan pengobatan yang tepat
c) Standarisasi proses pengumpulan data untuk penanggulangan TBC

d) Evaluasi proporsi kasus sesuai lokasi penyakit, hasil pemeriksaan


bakteriologis dan riwayat pengobatan
e) Analisis kohort hasil pengobatan
f) Pemantauan kemajuan dan evaluasi efektifitas program TBC secara
tepat baik dalam maupun antar kabupaten/kota, provinsi, nasional dan
global
1) Definisi kasus TBC terdiri dari:

a) Pasien TBC yang terkonfirmasi Bakteriologis: pasien TBC yang


terbukti positif pada hasil pemeriksaan contoh uji biologinya
(sputum dan jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis langsung,
TCM TBC, atau biakan. Termasuk dalam kelompok pasien ini
adalah
 Pasien TBC paru BTA positif
 Pasien TBC paru hasil biakan M.TBC positif
 Pasien TBC paru hasil tes cepat M.TBC positif
 Pasien TBC ekstra-paru terkonfirmasi secara bakteriologis,
baik dengan BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji
jaringanyang terkena
 TBC anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.

b) Pasien TBC terdiagnosis secara Klinis: pasien yang tidak


memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi
didiagnosis sebagai pasien TBC aktif oleh dokter, dan diputuskan
untuk diberikan pengobatan TBC. Termasuk dalam kelompok
pasienini adalah:

 Pasien TBC paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan


foto toraks mendukung TBC.
 Pasien TBC paru BTA negatif dengan tidak ada perbaikan
klinis setelah diberikan antibiotika Non OAT, dan mempunyai
faktor risiko TBC.
 Pasien TBC ekstra-paru yang terdiagnosis secara klinis
maupun laboratoris dan histopatologis tanpa konfirmasi
bakteriologis.
 TBC anak yang terdiagnosis dengan sistem skoring.
 Pasien TBC yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian
terkonfirmasi bakteriologis positif (baik sebelum maupun
setelah memulai pengobatan) harus diklasifikasi ulang sebagai
pasien TBC terkonfirmasi bakteriologis.

15
2) Klasifikasi Pasien TBC

Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut diatas,


pasien juga diklasifikasikan menurut:

 Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:


 Tuberkulosis paru: Adalah TBC yang berlokasi pada parenkim
(jaringan) paru. Milier TBC dianggap sebagai TBC paru karena
adanya lesi pada jaringan paru. Pasien yang menderita TBC
paru dan sekaligus juga menderita TBC ekstra-paru,
diklasifikasikan sebagai pasien TBC paru.

 Tuberkulosis ekstra-paru: Adalah TBC yang terjadi pada


organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen,
saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang.
Limfadenitis TBC dirongga dada (hilus dan atau mediastinum)
atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang
mendukung TBC pada paru, dinyatakan sebagai TBC ekstra-
paru.

Catatan: Bila TBC ekstra-paru dijumpai pada beberapa


organ,maka untuk pencatatannya dipilih TBC ekstra-paru
terberat.
 Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:

 Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:


Pasien baru TBC adalah pasien yang belum pernah
mendapatkan pengobatan TBC sebelumnya atau sudah
pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (˂ dari 28
dosis).
 Pasien yang pernah diobati TBC adalah pasien yang
sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih
(≥ dari 28 dosis).
 Pasien kambuh: adalah pasien TBC yang pernah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis
TBC berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis
(baik karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).
 Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TBC
yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan
terakhir.
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to
follow up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan
lost to follow up. (Klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai
pengobatan pasien setelah putus berobat /default).
 Lain-lain: pasien TBC yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui. Pasien yang riwayat
pengobatan sebelumnya tidak diketahui adalah pasien TBC
yang tidak masuk dalam kelompok 1 atau 2.
16
 Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat:
Pengelompokan pasien di sini berdasarkan hasil uji kepekaan
contoh uji Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat
berupa:

 Monoresistansi: resistansi terhadap salah satu OAT lini


pertama, misalnya resistansi terhadap isoniazid (H)
 Poliresistansi: resistansi terhadap lebih dari satu OAT lini
pertama selain dari kombinasi obat isoniazid dan rifampisin
(HR), misalnya resistan isoniazid dan etambutol (HE),
rifampisin etambutol (RE), isoniazid etambutol dan streptomisin
(HES), atau rifampisin, etambutol dan streptomisin (RES)
 Multidrug resistance (MDR): resistansi terhadap isoniazid dan
rifampisin (HR), dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain,
misalnya resistan HR, HRE, HRES
 Pre-XDR: TBC MDR yang disertai resistansi terhadap salah
salah satu obat golongan fluorokuinolon atau salah satu dari
OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin dan amikasin)
 Extensively Drug Resistance (XDR): TBC MDR disertai
resistansi terhadap salah salah satu obat golongan
fluorokuinolon dan salah satu dari OAT injeksi lini kedua
(kapreomisin, kanamisin dan amikasin)
 TBC resistan rifampisin (TBC RR): Resistan terhadap
rifampisin (dalam bentuk monoresistan, poliresistan, TBC
MDR, TBC XDR) yang terdeteksi menggunakan metode
fenotipik ataupun genotipik, dengan atau tanpa resistansi
terhadap obat antituberkulosis lain
 Klasifikasi pasien TBC berdasarkan status HIV:

 Pasien TBC dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TBC-


HIV)adalah pasien TBC dengan:
 Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang
mendapatkan ART, atau
 Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TBC
 Pasien TBC dengan HIV negatif: adalah pasien TBC dengan:
 Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau
 Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TBC
Catatan: Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil
tes HIV menjadi positif, pasien harus disesuaikan kembali
klasifikasinya sebagai pasien TBC dengan HIV positif.

 Pasien TBC dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TBC
tanpaada bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TBC
ditetapkan.

17
Catatan: setelah diperoleh hasil tes HIV positif, maka pasien
harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan hasil tes
HIV terakhir

C. Penegakan diagnosis TBC


Diagnosis TBC ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis,
pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang
lainnya.
1. Identifikasi Terduga TBC
Petugas kesehatan menjaring terduga TBC dengan melakukan
skrining gejala maupun dengan melihat hasil foto toraks pasien yang
bersangkutan.

Skrining Gejala:
Identifikasi terduga TBC dilakukan berdasarkan keluhan gejala dan tanda
TBC yang disampaikan pasien. Pemeriksaan klinis berdasarkan gejala
dan tanda TBC yang meliputi:
 Gejala utama: batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih.
Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan
gejala TBC yang khas, sehingga gejala batuk tidak harus selalu
selama 2 minggu atau lebih.
 Gejala tambahan: dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas
dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat
badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat pada
malam hari walaupun tanpa kegiatan, demam meriang yang berulang
lebih dari sebulan.
Gejala-gejala tersebut dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain
TBC, seperti bronkiektasis, bronkitis kronik, asma, kanker paru, dan lain-
lain.

Mengingat estimasi insidens TBC di Indonesia saat ini masih tinggi maka
setiap orang yang datang ke Faskes dengan gejala tersebut diatas
dianggap sebagai terduga pasien TBC dan perlu dilakukan pemeriksaan
bakteriologis. Selain identifikasi pada orang dengan gejala tersebut, perlu
dipertimbangkan pula pemeriksaan pada orang dengan faktor risiko TBC,
seperti: kontak erat dengan pasien TBC, tinggal di daerah padat
penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang yang
18
bekerja dengan
bahan kimia yang berisiko menimbulkan paparan infeksi paru.
Pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium TBC untuk
pasien yang memiliki faktor risiko dan memiliki gejala tambahan meskipun
tanpa batuk berdahak >2 minggu.

Skrining Radiologis:
Identifikasi terduga TBC juga bisa diperoleh dari hasil evaluasi
pemeriksaan foto toraks. Semua kelainan yang tidak diketahui
penyebabnya yang mendukung ke arah TBC harus di evaluasi TBC.
Skrining radiologis dapat dilakukan terhadap foto toraks yang diperoleh
dari proses penegakan diagnosis TBC maupun pada proses penegakan
diagnosis penyakit yang lain, juga bisa dilakukan pada hasil foto toraks
pada pemeriksaan kesehatan rutin umum (general check-up) dan
pemeriksaan kesehatan khusus. Pasien yang teridentifikasi sebagai
terduga TBC baik dari skrining gejala maupun skrining radiologis harus di
evaluasi untuk menegakkan diagnosis TBC.

a. Identifikasi Terduga TBC Anak


Gejala klinis TBC pada anak dapat berupa gejala sistemik/umum
atau sesuai organ terkait sebagai berikut:

Gejala sistemik/umum:
1) Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau
terjadi gagal tumbuh (failure to thrive) meskipun telah diberikan
upaya perbaikan gizi yang baik dalam waktu 1-2 bulan.
2) Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang
jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-
lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan
merupakan gejala spesifik TBC pada anak apabila tidak disertai
dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
3) Batul lama (≥2 minggu), batuk bersifat non-remitting (tidak pernah
reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain
batuk telah dapat disingkirkan. Batuk tidak membaik dengan
pemberian antibiotika/obat asma (sesuai indikasi)
4) Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain

19
Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi
yang adekuat. (misalnya antibiotika atau anti malaria untuk
demam, antibiotika atau obat asma untuk batuk lama, dan
pemberian nutrisi yang adekuat untuk masalah berat badan).

Gejala spesifik terkait organ:


Pada TBC extra paru dapat dijumpai gejala dan tanda klinis yang
khaspada organ yang terkena
a. Tuberculosis kelenjar
1) Biasanya di daerah leher (regio colli)
2) Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) tidak nyeri,
konsistensi kenyal, multiple dan kadang saling melekat
(konfluens).
3) Ukuran besar (lebih dari 2x2cm), biasanya pembesaran KGB
terlihat jelas bukan hanya teraba
4) Tidak berespon terhadap pemberian antibiotika
5) Bisa terbentuk rongga dan dischange

b. Tuberkulosis Sistem Syaraf Pusat


1) Meningitis TBC: gejala gejala meningitis dengan sering kali
disertai gejala akibat keterlibatan syaraf-syaraf otak yang
terkena
2) Tuberkuloma Otak: gejala-gejala adanya lesi desak ruang

c. Tuberculosis system skeletal


1) Tulang belakang (spondilitis): penonjolan tulang belakang
(gibbus)
2) Tulang panggul (koksitis): pincang, gangguan berjalan, atau
tanda peradangan daerah panggul
3) Tulang lutut (gonitis): pincang dan atau bengkak pada lutut
tanpa sebab yang jelas
4) Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis)

d. Tuberkulosis mata
1) Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis)
2) Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi)

e. Tuberkulosis kulit (skrofuloderma)


Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus
(skin bridge)

f. Tuberculosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TBC, TBC


ginjal; dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ
tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya
infeksi TBC

20
b. Identifikasi Terduga TBC Resistan OAT (TBC-RO)
Terduga TBC-RO adalah pasien yang memiliki risiko tinggi resistan
terhadap OAT, yaitu pasien yang mempunyai gejala TBC yang
memiliki riwayat satu atau lebih di bawah ini:
1) Pasien TBC gagal pengobatan Kategori 2.
2) Pasien TBC pengobatan kategori 2 yang tidak konversi
3) Pasien TBC yang mempunyai riwayat pengobatan TBC yang tidak
standar serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua
paling sedikit selama 1 bulan.
4) Pasien TBC gagal pengobatan kategori 1.
5) Pasien TBC pengobatan kategori 1 yang tidak konversi
6) Pasien TBC kasus kambuh (relaps), dengan pengobatan OAT
kategori 1 dan kategori 2.
7) Pasien TBC yang kembali setelah loss to follow-up (lalai
berobat/default).
8) Terduga TBC yang mempunyai riwayat kontak erat dengan
pasien TBC- RO
9) Pasien ko-infeksi TBC-HIV yang tidak respons secara
bakteriologis maupun klinis terhadap pemberian OAT, (bila pada
penegakan diagnosis awal tidak menggunakan TCM TBC).

Pasien dengan risiko rendah TBC-RO


Selain 9 kriteria di atas, kasus TBC-RO dapat juga dijumpai pada kasus
TBC baru, utamanya pada kelompok-kelompok tertentu seperti pasien
TBC pada ODHA (termasuk pada populasi kunci HIV) dan pasien TBC
pada populasi rentan lainnya (TBC pada ibu hamil, TBC anak, TBC DM,
TBC pada kasus malnutrisi, gangguan system kekebalan tubuh) pasien
TBC BTA positif baru, pasien TBC BTA negatif dengan riwayat
pengobatan TBC sebelumnya, TBC extra paru. Pada kasus ini perlu juga
dilakukan penegakan diagnosis dengan TCM TBC jika fasilitas
memungkinkan. Pada kelompok ini, jika hasil pemeriksaan tes cepat
memberikan hasil TBC RR, maka pemeriksaan TCM TBC perlu dilakukan
sekali lagi untuk memastikan diagnosisnya.

21
c. Identifikasi Terduga TBC Ekstraparu
Seseorang yang menderita TBC ekstra paru mungkin mempunyai
keluhan/gejala terkait dengan organ yang terkena, misalnya:
1) Pembesaran pada getah bening yang kadang juga mengeluarkan
nanah
2) Nyeri dan pembengkakan sendi yang terkena TBC
3) Sakit kepala, demam, kaku kuduk dan gangguan kesadaran
apabila selaput otak atau otak terkena TBC.

Catatan: Pasien TBC ekstra paru dapat juga menderita TBC paru,
sehingga tetap perlu dilakukan evaluasi TBC paru.

d. Identifikasi TBC HIV


Konseling dan Tes HIV atas Inisiasi Petugas (KTIP) untuk pasien TBC
dilakukan pada daerah dengan tingkat epidemi HIV rendah atau
terkonsentrasi.

Dasar pertimbangan tes HIV adalah mutlak mengingat adanya infeksi


ganda TBC HIV, utamanya pada orang yang mempunyai perilaku berisiko
dan pasien yang mempunyai tanda dan gejala terkait HIV/AIDS, untuk
mengetahui status HIV mereka.

Dalam menerapkan KTIP sebagai tes diagnostik atau penawaran tes


secara rutin, informasi pra-tes diberikan tanpa sesi edukasi dan konseling
yang lengkap, namun cukup untuk menyakinkan pasien untuk
memberikan persetujuan. Pada pasien tertentu atau pasangan dari
pasien mungkin memerlukan konseling tambahan yang lebih lengkap dan
untuk itu pasien dapat dirujuk ke konselor. Persyaratan penting dalam
menerapkan KTIP adalah konseling pasca-tes dan rujukan ke layanan
perawatan, dukungan dan pengobatan bagi pasien TBC yang hasil
testnya HIV positif.

Sesuai dengan kondisi setempat, informasi pra-tes dapat diberikan


secara individual atau kelompok. Persetujuan untuk menjalani tes HIV
(informed consent) harus selalu diberikan secara individual, disaksikan
oleh petugas.

Dengan pendekatan KTIP, setiap pertemuan pasien TBC dengan petugas


dianggap sebagai:
22
 Kesempatan bagi seseorang yang belum mengetahui status HIV-nya.
 Kesempatan diagnosa dan pengobatan sedini mungkin dan
mengurangi penularan ke orang lain.
 Kesempatan tes ulang bagi seseorang dengan hasil tes negatif tetapi
masih mempunyai risiko tertular HIV.
 Kesempatan bagi seseorang yang sedang merencanakan hidup
berkeluarga atau mempunyai anak.
 Alur layanan TBC-HIV di Unit DOTS

Catatan:

 Semua pasien TBC yang datang ke layanan DOTS (Direct Observed


Treatments) harus ditanyakan mengenai riwayat tes HIV nya.
 Jika pasien TBC belum pernah melakukan tes atau hasil tes tidak
diketahui, lakukan tes HIV.
 Apabila pasien HIV positif, ARV (Anti Retroviral) diberikan dalam 2-8
minggu setelah pemberian OAT.
 Jika pasien menolak tes HIV, minta pasien untuk tes HIV pada
kunjungan berikutnya. Dan bila pasien masih menolak rujuk ke
konselor HIV

23
 Alur layanan TBC-HIV di Layanan HIV

Catatan:
 Semua Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) wajib diberikan ARV.
 Semua ODHA dikaji status TBC pada setiap kunjungan.
 Jika ditemukan ODHA terduga TBC, lakukan pemeriksaan TBC
dengan alat Tes Cepat Molekular (TCM).
 Jika ODHA tidak sakit TBC, segera berikan terapi pencegahan
TBC(TPT)
 ODHA yang terdiagnosis TBC harus segera diobati dengan Obat
Anti Tuberkulosis (OAT) dan Pengobatan Pencegahan
Kontrimoksasol (PPK).

Kaji Status TBC Pada ODHA - Minimal ada 1 gejala dari 5


gejala di bawah:
 Batuk
 Demam
 Berkeringat malam tanpa aktivitas
 Penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas
 Memiliki gejala TBC ekstra paru (misalnya pembesaran
Kelenjar Getah Bening pada leher)

24
e. Identifikasi TBC pada pasien Ko-morbid
Infeksi TBC mudah berkembang menjadi penyakit pada pasien dengan
daya tahan tubuh yang terganggu. HIV dan Diabetes Mellitus (DM) adalah
penyakit yang sudah diketahui berhubungan erat dengan TBC. Oleh
karena itu, setiap pasien dengan HIV positif (ODHA) dan penyandang
Diabetes Mellitus (DM) harus dievaluasi untuk TBC meskipun belum ada
gejala.

1) Penapisan TBC pada penyandang DM

Pada penyandang DM, risiko berkembangnya penyakit TBC


meningkat hingga 3 kali lipat. Risiko kegagalan pengobatan,
kematian dan kekambuhan TBC juga meningkat pada
penyandang DM. Kondisi DM juga dihubungkan dengan
peningkatan terjadinya resistansi OAT. Oleh karena itu,
penapisan TBC pada penyandang DM dilakukan dengan
anamnesis gejala dan pemeriksaan foto toraks. Jika ditemukan
gejala ATAU kelainan pada foto toraks yang mengarah ke
diagnosis TBC, maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
untuk menegakkan diagnosis. Penegakan diagnosis bakteriologis
TBC dapat menggunakan TCM. Jika pada penapisan awal tidak
ditemukan penyakit TBC, maka penapisan perlu diulang secara
berkala. Berikut adalah alur identifikasi TBC pada penyandang
DM

Alur Penemuan Pasien TBC pada penyandang DM

27
2) Penapisan TBC pada Orang dengan HIV AIDS (ODHA)

Pada ODHA, gejala klinis seringkali tidak spesifik. Gejala klinis


yang sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat
badan yang signifikan (sekitar 10% atau lebih) dan gejala ekstra
paru sesuai organ yang terkena misalnya TBC Pleura, TBC
Perikarditis, TBC Milier, TBC meningitis. Pada prinsipnya, untuk
mempercepat penegakan diagnosis TBC pada pasien dengan
HIV positif maka penegakan diagnosis dilakukan dengan
pemeriksaan TCM TBC seperti pada Alur Diagnosis TBC dan TBC
Resistan Obat di Indonesia.

3) Penapisan HIV pada pasien TBC

Tes HIV adalah mutlak mengingat adanya infeksi ganda TBC HIV,
utamanya pada orang yang mempunyai perilaku berisiko dan
pasien yang mempunyai tanda dan gejala terkait HIV/AIDS, untuk
mengetahui status HIV mereka. Untuk membantu pasien
menghadapi berbagai hambatan dalam menjalani tes HIV, maka
perlu empati dan dukungan petugas

Konseling dan Tes HIV atas Inisiasi Petugas: untuk pasien TBC
dilakukan pada semua daerah (Basic, medium and
comprehensive)

2. Jenis Pemeriksaan Laboratorium


1) Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan Mikroskopis BTA
Pemeriksaan mikroskopis BTA untuk menentukan potensi penularan
dan menilai keberhasilan pengobatan. Pemeriksaan mikroskopis BTA
untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 2
contoh uji dahak yang dikumpulkan berupa dahak Sewaktu-Pagi (SP)
dan Sewaktu-Sewaktu (SS).

Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TBC


Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler menggunakan pemeriksaan Xpert
MTBC/RIF. TCM merupakan sarana untuk penegakan diagnosis,
namun tidak dapat dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.

28
Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan dapat digunakan untuk penegakan diagnosis dan
juga pemantauan pengobatan TBC-RO. Pemeriksaan biakan dapat
dilakukan pada media padat (Lowenstein-Jensen/LJ) dan media cair
(Mycobacteria Growth Indicator Tube/MGIT). Pemeriksaan biakan
pada media padat membutuhkan waktu yang lebih lama (4-8 minggu),
sedangkan biakan pada media cair membutuhkan waktu yang relatif
lebih cepat (2-4 minggu) namun dengan biaya yang lebih mahal.
Pemeriksaan biakan hanya dapat dilakukan pada laboratorium yang
terstandarisasi.

Pemeriksaan Uji Kepekaan Obat


Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya
resistensi M.TBC terhadap OAT. Oleh karena itu, uji kepekaan obat
digunakan untuk diagnosis TBC-RO. Berikut ini adalah metode uji
kepekaan obat yang telah digunakan oleh Program TBC:
- Uji Kepekaan Fenotipik
Sama halnya dengan pemeriksaan biakan, pemeriksaan uji
kepekaan obat secara fenotipik menggunakan dua metode, yaitu
dengan media padat dan media cair. Waktu untuk diagnosis TBC-
RO dengan media padat adalah 10-16 minggu, sedangkan
dengan media cair membutuhkan waktu 3-7 minggu. Pemanfaatan
media cair berpotensi mempercepat waktu diagnosis TBC RO 7-9
minggu dibandingkan dengan media padat. Uji kepekaan obat
tersebut harus dilakukan di laboratorium yang telah tersertifikasi.

– Genotipik
Uji kepekaan obat secara genotipik dapat dilakukan dengan Tes
Cepat Molekuler (TCM) dan Line Probe Assay (LPA). Selain
mendeteksi M.TBC, pemeriksaan menggunakan TCM dapat
mendeteksi resistensi terhadap Rifampisin. Pemeriksaan LPA lini
satu dapat mendeteksi resistensi terhadap Rifampisin dan
Isoniazid, sedangkan LPA lini dua mendeteksi resistensi terhadap
kelompok Floroquinolon dan obat injeksi lini dua. Uji kepekaan
obat secara genotipik memberikan hasil yang lebih cepat
dibandingkan pemeriksaan secara fenotipik, yaitu 2 jam untuk
pemeriksaan TCM dan 2 hari untuk pemeriksaan LPA.
29
Untuk menjamin hasil pemeriksaan laboratorium, diperlukan contoh uji
dahak yang berkualitas. Pada faskes yang tidak memiliki akses
langsung terhadap pemeriksaan TCM, biakan, dan uji kepekaan,
diperlukan sistem transportasi contoh uji. Hal ini bertujuan untuk
menjangkau pasien yang membutuhkan akses terhadap pemeriksaan
tersebut serta mengurangi risiko penularan jika pasien bepergian
langsung ke laboratorium.

2) Pemeriksaan Penunjang Lainnya


 Pemeriksaan foto toraks
 Pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai TBC
Ekstraparu.

3) Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologis tidak direkomendasi untuk menegakan
diagnosis TBC, kecuali untuk TBC laten
3. Penegakan Diagnosis TBC pada Orang Dewasa
Untuk melakukan diagnosis TBC dewasa, terduga TBC dilakukan
pemeriksaan secara klinis, bakteriologis, dan histopatologis. Gejala
utama: batuk terus menerus dan berdahak selama 2 minggu atau lebih.
Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan
gejala TBC yang utama, sehingga gejala batuk tidak harus 2 minggu atau
lebih. Gejala tambahan: dahak bercampur darah, batuk darah, sesak
napas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat
badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat pada malam
hari walaupun tanpa kegiatan, demam meriang yang berulang lebih dari
sebulan. Dari tanda-tanda fisik yang terlihat dapat diperkirakan yang
bersangkutan terduga menderita TBC ekstra-paru. Contoh tanda-tanda
yang bisa terlihat, seperti: pembesaran kelenjar di leher, pembengkakan
sendi dan tulang, serta tukak pada kulit.

30
a. Diagnosis TBC Paru
Diagnosis TBC ditetapkan berdasarkan pemeriksaan klinis,
pemeriksaan bakteriologis dan pemeriksaan penunjang lainnya.

 Keluhan dan hasil anamnesis yaitu keluhan yang disampaikan pasien, serta
anamnesis rinci berdasar gejala dan tanda TBC (gejala utama pasien TBC
paru, gejala tambahan di paru)
 Pemeriksaan Laboratorium: Pemeriksaan Bakteriologis Pemeriksaan dahak
mikroskopis langsung yaitu pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis
dilakukan dengan mengumpulkan 2 contoh uji dahak; Pemeriksaan Tes Cepat
Molekuler (TCM); TBC Pemeriksaan Biakan.
 Pemeriksaan Penunjang Lainnya yaitu Pemeriksaan foto toraks dan
Pemeriksaan Histopatologi pada kasus yang dicurigai TBC ekstra-paru.
 Pemeriksaan uji kepekaan obat yaitu dilakukan di laboratorium yang telah
lulus uji pemantapan mutu/Quality Assurance (QA).
 Pemeriksaan serologis untuk sampai saat ini belum direkomendasikan
WHO.

Catatan: Pemeriksaan tersebut di atas dilakukan di


sarana laboratorium yang terpantau mutunya.
Bagan 2. Alur Diagnosis TBC Dan TBC Resistan Obat di Indonesia
Alur Diagnosis TBC pada Orang Dewasa
1. Tes Cepat Molekuler (TCM) adalah alat diagnosis utama yang
digunakan untuk penegakan diagnosis Tuberkulosis
2. Pemeriksaan TCM digunakan untuk mendiagnosis TBC, baik TBC
paru maupun TBC ekstra paru, baik riwayat pengobatan TBC baru
maupun yang memiliki riwayat pengobatan TBC sebelumnya, dan
pada semua golongan umur termasuk pada ODHA.
3. Pemeriksaan TCM dilakukan dari spesimen dahak (untuk terduga
TBC paru) dan non dahak (untuk terduga TBC ekstra paru, yaitu
dari cairan serebro spinal, kelenjar limfe dan jaringan).
4. Seluruh terduga TBC harus dilakukan pemeriksaan TCM pada
fasilitas pelayanan kesehatan yang saat ini sudah mempunyai alat
TCM
5. Jumlah dahak yang dikumpulkan adalah 2 (dua) dahak yaitu
Sewaktu-Sewaktu, Sewaktu – Pagi maupun Pagi – Sewaktu,
dengan jarak 1 jam dari pengambilan dahak pertama ke
pengambilan dahak kedua.
Standar kualitas dahak yang digunakan adalah dahak dengan
volume 3-5 ml dan mukopurulen.
Hasil pemeriksaan TCM terdiri dari MTBC pos Rif resistan, MTBC
pos Rif sensitif, MTBC pos Rif indeterminate, MTBC negatif dan
hasil gagal (error, invalid, no result). Beberapa ketentuan terkait
hasil pemeriksaan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pasien dengan hasil MTBC pos, Rif Resistan berdasarkan


riwayatpengobatannya terdiri dari:
1) Pasien berasal dari kriteria terduga TBC baru atau tidak ada
kontak erat dengan TBC RO harus dilakukan pengulangan
TCM sebanyak 1 kali, dan hasil pengulangan yang
memberikan hasil MTBC pos yang menjadi acuan.
2) Pasien berasal dari kriteria terduga TBC baru dengan
riwayat kontak erat dengan pasien TBC RO atau terduga
TBC dengan riwayat pengobatan sebelumnya dinyatakan

32
sebagai pasien TBC Rifampisin resistan dan selanjutnya
dilakukan inisiasi pengobatan TBC RO.
3) Pasien berasal dari kriteria terduga TBC ekstra paru tanpa
riwayat pengobatan TBC sebelumnya sebaiknya diulang
TCM sebanyak 1 kali dengan spesimen yang berbeda.
Apabila tidak dimungkinkan untuk dilakukan pengulangan
terkait kesulitan mendapatkan spesimen baru,
pertimbangkan kondisi klinis pasien.
b. Pasien yang terkonfirmasi sebagai pasien TBC Rifampisin
resistan akan dilanjutkan dengan pemeriksaan molekuler (LPA
lini dua atau TCM XDR) dan pemeriksaan paket standar uji
kepekaan fenotipik. Fasilitas Pelayanan Kesehatan akan
mengirimkan spesimen dahak dari pasien tersebut ke
laboratorium rujukan sesuai jejaring rujukan yang berlaku. Hasil
pemeriksaan ini akan menentukan paduan pengobatan TBC RO
yang akan diberikan terhadap pasien.
c. Pasien dengan hasil MTBC pos Rif sensitif berdasarkan riwayat
pengobatannya terdiri dari:
1) Pasien berasal dari kriteria terduga TBC baru akan
dilakukan inisiasi pengobatan dengan OAT kategori 1.
2) Pasien berasal dari kriteria terduga TBC dengan riwayat
pengobatan sebelumnya (kambuh, gagal, loss to follow up,
tidak konversi) akan dilanjutkan dengan pemeriksaan uji
kepekaan terhadap INH. Inisiasi atau melanjutkan
pengobatan dengan OAT Kategori 1 dilakukan sambil
menunggu hasil uji kepekaan terhadap INH. Apabila hasil uji
kepekaan menunjukkan INH resistan akan diberikan
paduan pengobatan TBC monoresistan INH.
d. Pasien dengan hasil MTBC indeterminate akan dilakukan
pengulangan oleh laboratorium TCM sebanyak 1 kali untuk
memastikan status resistansi terhadap rifampisin. Gunakan
dahak dengan kualitas baik yaitu volume 3-5 ml dan
mukopurulen.
e. Pasien dengan hasil TCM gagal (invalid, error, no result) akan
dilakukan pengulangan oleh laboratorium TCM untuk
memastikan pasien positif atau negatif TBC dan mengetahui

33
status resistansi terhadap rifampisin. Gunakan sisa sampel jika
masih tersedia. Pada kondisi volume sampel kurang dari 2 ml,
gunakan dahak kedua. Apabila dahak kedua tidak tersedia,
kumpulkan dahak baru dengan kualitas baik yaitu volume 3-5 ml
dan mukopurulen.
f. Pasien dengan hasil MTBC negatif dapat dilakukan pemeriksaan
foto toraks dan/atau pemberian antibiotik spektrum luas. Pasien
tersebut dapat didiagnosis sebagai TBC klinis sesuai
pertimbangan klinisi.
g. Penegakan diagnosis TBC secara klinis harus didahului dengan
pemeriksaan bakteriologis sesuai dengan butir 1 di atas.
h. Fasilitas Pelayanan Kesehatan bersama dinas kesehatan
setempat harus mengevaluasi proporsi pasien TBC
terkonfirmasi bakteriologis dibandingkan dengan pasien TBC
terkonfirmasi klinis. Proporsi antara terkonfirmasi bakteriologis
dan terdiagnosis klinis idealnya adalah 60:40.
6. Fasilitas pelayanan kesehatan yang belum/tidak mempunyai TCM,
harus merujuk terduga TBC atau dahak dari terduga TBC tersebut
ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan TCM. Merujuk dahak lebih
direkomendasikan dibanding merujuk terduga TBC terkait alasan
pengendalian infeksi.
7. Dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota mengatur jejaring
rujukan dan menetapkan Fasilitas Pelayanan Kesehatan TCM
menjadi pusat rujukan pemeriksaan TCM bagi Fasilitas Pelayanan
Kesehatan di sekitarnya.
8. Dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota menyiapkan sumber
daya di fasilitas pelayanan kesehatan yang akan mengoperasikan
TCM.
9. Jika fasilitas pelayanan kesehatan mengalami kendala mengakses
layanan TCM berupa kesulitan transportasi, jarak dan kendala
geografis maka penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan
pemeriksaan mikroskopis.
10. Pasien TBC yang terdiagnosis dengan pemeriksaan mikroskopis
harus dilakukan pemeriksaan lanjutan menggunakan TCM. Dinas
kesehatan berperan mengatur jejaring rujukan spesimen ke
Fasilitas Pelayanan Kesehatan TCM terdekat. Jumlah dahak yang
dikirimkan adalah sebanyak 2 dahak. Pemeriksaan TCM ini
34
bertujuan untuk mengetahui status resistansi terhadap Rifampisin.
Tindak lanjut hasil pemeriksaan TCM pada pasien yang
terdiagnosis TBC melalui pemeriksaan mikroskopis adalah
sebagai berikut:
a. Pasien terdiagnosis sebagai TBC terkonfirmasi bakteriologis dari
pemeriksaan mikroskopis.
1) Apabila hasil TCM lanjutan menunjukkan MTBC pos
Rifampisin resistan, pertimbangkan kriteria terduga (baru atau
memiliki riwayat pengobatan sebelumnya) dan mengikuti alur
sesuai poin 5.a di atas.
2) Apabila hasil TCM lanjutan menunjukkan MTBC pos
Rifampisin sensitif, MTBC pos Rifampisin indeterminate,
MTBC negatif dan hasil gagal (error, invalid, no result) maka
hasil TCM tidak mengubah diagnosis pasien sebagai TBC
terkonfirmasi bakteriologis.
b. Pasien terdiagnosis sebagai TBC klinis dengan hasil BTA
negatif.
1) Apabila hasil TCM lanjutan menunjukkan MTBC pos
Rifampisin resistan, pertimbangkan kriteria terduga (baru atau
memiliki riwayat pengobatan sebelumnya) dan mengikuti alur
sesuai poin 5.c di atas.
2) Apabila hasil TCM lanjutan menunjukkan MTBC pos
Rifampsisin sensitif, MTBC pos Rifampisin indeterminate,
lanjutkan pengobatan, pasien dinyatakan sebagai TBC
terkonfirmasi bakteriologis.
3) Apabila hasil TCM lanjutan menunjukkan MTBC negatif atau
hasil gagal lanjutkan pengobatan, pasien tetap sebagai TBC
terdiagnosis klinis

b. Diagnosis TBC Ekstra-paru


1) Diagnosis pasti pada pasien TBC ekstra-paru ditegakkan dengan
pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologis dari contoh uji
yang diambil dari organ tubuh yang terkena.
2) Pemeriksaan mikroskopis dahak wajib dilakukan untuk memastikan
kemungkinan TBC Paru.
3) Pemeriksaan TCM berasal dari contoh uji cairan serebrospinal (Cerebro
Spinal Fluid/CSF), pemeriksaan Biopsi Aspirasi Jarum Halus/BAJaH

35
(Fine Neddle Aspirate Biopsy/FNAB) dan contoh uji jaringan.
c. Diagnosis TBC Resisten Obat (TBC-RO)
Diagnosis TBC resistan obat dipastikan berdasarkan pemeriksaan
TCM. Jumlah spesimen dahak yang diperlukan untuk pemeriksaan
TCM sebanyak 2 (dua) dahak dengan kualitas yang bagus. Kualitas
dahak yang baik adalah dahak mukopurulen dengan volume 3-5 ml.
Dahak dapat berasal dari pengambilan Sewaktu-Pagi, Pagi-Sewaktu
maupun Sewaktu-Sewaktu dengan syarat jarak pengambilan
minimal 2 jam. Satu dahak diperiksa TCM, satu dahak lain akan
disimpan jika diperlukan pengulangan TCM yaitu pada hasil
indeterminate, invalid, error, no result, serta pada hasil Rif Resistan
pada kelompok risiko rendah TBC RO.
Berdasarkan faktor risiko kejadian TBC RO, terdapat kelompok risiko
tinggi TBC RO (berasal dari kriteria terduga TBC RO) dan risiko
rendah TBC RO (berasal dari selain kriteria terduga TBC RO).
Pasien dengan hasil MTBC Resistan Rifampisin dari kelompok risiko
rendah TBC RO harus dilakukan pemeriksaan TCM ulang
menggunakan dahak kedua yang berkualitas baik di fasyankes TCM
asal. Pengulangan hanya dilakukan sebanyak 1 kali. Terdapat
beberapa kemungkinan hasil pengulangan sebagai berikut:
a) Hasil TCM kedua adalah Rif Res, maka pasien terkonfirmasi
sebagai Rif Res.
b) Hasil TCM kedua adalah Rif Sen, maka pasien dinyatakan
sebagai pasien TBC Rif Sen.
c) Hasil TCM kedua adalah Neg, Indeterminate, Error, Invalid
maupun No Result, maka tidak diperbolehkan dilakukan
pengulangan lagi. MTBC telah terkonfirmasi, namun resistansi
terhadap Rifampisin tidak diketahui. Karena pasien berasal dari
kelompok risiko rendah TBC RO, pasien dinyatakan sebagai
pasien TBC Rif Sen.

36
d. Diagnosis TBC pada pasien dengan Ko-morbid

Pasien TBC dalam proses pengobatannya adakalanya mengalami


Ko-morbid yaitu dengan ODHA dan penyandang Diabetes Melitus
(DM). Penegakkan diagnosis TBC pada ODHA maupun DM sama
dengan diagnosis TBC tanpa ko-morbid.

Catatan:

Merujuk pada Permenkes No. 21 tahun 2013 tentang


Penanggulangan HIV dan AIDS, semua pasien TBC dianjurkan
untuk tes HIV melalui pendekatan TIPK sebagai bagian dari
standar pelayanan TBC.
4. Diagnosis TBC Anak
Secara umum penegakan diagnosis TBC pada anak didasarkan pada 4
hal, yaitu:
a. Konfirmasi bakteriologis TBC
b. Gejala klinis khas TBC
c. Adanya bukti infeksi TBC (hasil uji tuberculin positif atau kontak
eratdengan pasien TBC)
d. Gambaran foto toraks sugestif TBC
Indonesia telah Menyusun system skoring untuk membantu menegakkan
diagnosis TBC pada anak. System skroing ini membantu tenaga
Kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun
pemeriksaan penunjang sederhana sehingga mengurangi terjadinya
underdiagnosis maupun overdiagnosis TBC.
Pada anak yang teridentifikasi sebagai terduga TBC, maka alur
penegakan diagnosis dapat dilihat pada bagan berikut:

37
Bagan 1. Alur diagnosis TBC Anak

Anak dengan satu atau lebih gejala khas TBC:


 Batuk ≥ 2 minggu
 Demam ≥ 2 minggu
 BB turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya
 Malaise ≥ 2 minggu
Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi yang adekuat

Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler


(TCM) TBC

Positif Negatif Contoh uji tidak diperoleh

Ada akses foto rontgen toraks Tidak ada akses foto rontgen
dan/atau uji tuberkulin*) toraks dan uji tuberkulin

Skoring sistem

Skor ≥6 Skor < 6

Uji tuberkulin Uji tuberkulin (-


(+) dan/atau ) dan Tidak
ada kontak ada kontak
TBCparu**) TBC paru**)

TBC anak
terkonfirm Ada kontak Tidak ada/tidak
asi TBC anak TBC paru**) jelas kontak
pasien TBC
paru**)

Terapi Observasi gejala selama 2 minggu


OAT***)

Menetap Menghilang

Bukan TBC

38
Keterangan:
Dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan sputum
**) Kontak TBC Paru Dewasa dan Kontak TBC Paru Anak terkonfirmasi bakteriologis
***) Evaluasi respon pengobatan. Jika tidak merespon baik dengan pengobatan adekuat,
evaluasi ulang diagnosis TBC dan adanya komorbiditas atau rujuk.
Penjelasan:
a. Pemeriksaan TCM tetap merupakan pemeriksaan utama untuk
konfirmasi diagnosis TBC pada anak. Berbagai upaya dapat dilakukan
untuk memperoleh spesimen dahak, di antaranya induksi sputum.
b. Observasi persistensi gejala selama 2 minggu dilakukan jika anak
bergejala namun tidak ditemukan cukup bukti adanya penyakit TBC.
Jika gejala menetap, maka anak dirujuk untuk pemeriksaan lebih
lengkap. Pada kondisi tertentu di mana rujukan tidak memungkinkan,
dapat dilakukan penilaian klinis untuk menentukan diagnosis TBC anak.
c. Berkontak dengan pasien TBC paru dewasa adalah kontak serumah
ataupun kontak erat, misalnya di sekolah, pengasuh, tempat bermain,
dan sebagainya.
d. Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan
klinis sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor
penyebab lain misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit
penyerta, gizi buruk, TBC resistan obat maupun masalah dengan
kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan,
pasien dirujuk ke RS. Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah
perbaikan gejala awal yang ditemukan pada anak tersebut pada saat
diagnosis.
e. Selain pada anak yang datang ke faskes dengan gejala atau tanda
TBC, evaluasi TBC juga harus dilakukan pada setiap anak yang
berkontak dengan pasien TBC.

39
Tabel 1. Skoring sistem TBC Anak
Parameter 0 1 2 3 Skor
KontakTBC Tidak - Laporan keluarga, BTA(+)
jelas BTA (-)/BTA tidak
jelas/tidaktahu

Uji tuberculin Negatif - - Positif (≥10 mm atau


(Mantoux) ≥5 mm pada
imunokompromais)
Berat Badan/ - BB/TBC<90% Klinis gizi buruk -
Keadaan Gizi atau atau BB/TBC<70%
BB/U<80% atau BB/U<60%
Demam yang tidak - ≥2 minggu - -
diketahui
Penyebabnya
Batuk kronik - ≥3 minggu - -
Pembesaran - ≥1 cm, lebih - -
kelenjar limfe kolli, dari 1
aksila, inguinal KGB,tidak nyeri

Pembengkakan - Ada - -
tulang/sendi pembengkakan
panggul, lutut,
falang
Foto toraks Normal/ Gambaran - -
kelainan sugestif
tidak (mendukung)
jelas TBC
Skor Total

Parameter Sistem Skoring:


a. Kontak dengan pasien TBC BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti
tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa
diperoleh dari TBC 01 atau dari hasil laboratorium
b. Penentuan status gizi
1) Berat badan dan panjang/tinggi badan dinilai saat pasien datang
(moment opname)
2) Dilakukan dengan parameter BB/TBC atau BB/U. penentuan status
gizi untuk anak usia ≤ 6 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes
2016, sedangkan untuk anak usia > 6 tahun merujuk pada standar
WHO 2005 yaitu grafik IMT/U
3) Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama
1-2 bulan
40
Gambar 4. Alur Diagnosis TBC-RO Pada Anak

Catatan:
a b
) suhu > 40 C, hipoksia, distress respirasi, hemoptysis, gizi buruk, kejang, penurunan kesadaran, ) TBC meningitis,
TBCmilier
c)
pemberian terapi secara empiris harus didiskusikan dan diputuskan oleh Tim Ahli Klinis TBC-RO anak.
Regimenterapi empiris disesuaikan dengan pola resistensi dari kasus indeks penularannya
d)
OAT lini satu tidak diberikan jika kasus indeks adalah pasien TBC-RO terkonfirmasi atau jika anak gagal terapi TBC

D. Pengelolaan Contoh Uji untuk Pemeriksaan Laboratorium


1. Contoh Uji Dahak
Pengumpulan dahak dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
 Beri label pada dinding pot yang memuat nomor identitas sediaan
dahak (sesuai TBC.06);
 Berikan pot dahak pada terduga;
 Dampingi terduga/pasien sewaktu mengeluarkan dahak (dengan
memperhatikan arah angin);

41
 Terduga membuka tutup pot dan mendekatkan pot ke bibirnya dan
membatukkan dahak kedalam pot, kemudian menutup pot dengan
erat;
 Petugas menilai kualitas dan kuantitas dahak yang didapat;
 Petugas dan terduga/pasien harus cuci tangan dengan sabun dan air.
Contoh uji dahak dikumpulkan/ditampung dalam pot dahak yang transparan,
bermulut lebar, berpenampang 5-6 cm, tutup berulir, tidak mudah pecah dan
bocor. Pot ini harus selalu tersedia di Fasyankes.

Diagnosis TBC ditegakkan dengan pemeriksaan 2 contoh uji dahak Sewaktu


Pagi (SP) atau Sewaktu Sewaktu (SS) dengan catatan antara S pertama dan
S kedua berjarak 1 jam dengan tetap menjamin kualitas. Spesimen dahak
idealnya dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan:

a. S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat terduga TBC datang


berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, terduga dibekali sebuah pot
dahak untuk mengumpulkan dahak hari kedua.
b. P (Pagi): dahak dikumpulkan dirumah pada pagi hari kedua, setelah
bangun tidur dan gosok gigi, Pot kemudian dibawa dan diserahkan
sendiri kepada petugas di Fasyankes.

Untuk menghindari risiko penularan, pengambilan dahak harus dilakukan di


tempat terbuka, terkena sinar matahari langsung dan jauh dari orang lain.
Jika keadaan tidak memungkinkan, gunakanlah ruang terpisah yang
mempunyai ventilasi yang baik dan sinar matahari langsung. Dianjurkan
setelah pengumpulan/pengambilan dahak, terduga dan petugas segera
mencuci tangan dengan sabun dan air.

Catatan:
a. Hasil pemeriksaan dahak segera dilaporkan kepada pemohon agar penegakan
diagnosis TBC tidak tertunda.
b. Kasus TBC Ekstra-paru atau seorang kontak erat pasien TBC Paru BTA positif yang
mempunyai gejala batuk harus diperiksa dahaknya tanpa menghiraukan lamanya
waktu mempunyai gejala batuk tersebut.

42
2. Kualitas dahak yang baik didapat dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Petugas kesehatan harus memberi penjelasan mengenai pentingnya
pemeriksaan dahak, baik pemeriksaan dahak untuk diagnosis
maupun pemeriksaan dahak ulang;
b. Petugas kesehatan memberi penjelasan tentang cara batuk yang
benar untuk mendapatkan dahak yang kental dan purulen;
c. Petugas memeriksa kualitas dan kuantitas dahak. Dahak yang baik
untuk pemeriksaan adalah kental berwarna kuning kehijau-hijauan
(mukopurulen) dengan volume 3-5 ml. Apabila mutu dahak tidak
memenuhi syarat (air liur), petugas harus meminta terduga untuk
mengulang mengeluarkan dahak;
d. Jika tidak ada dahak yang keluar, pot dahak dianggap sudah terpakai
dan harus dimusnahkan sesuai prosedur tetap keamanan dan
keselamatan kerja di laboratorium TBC.

3. Apabila terduga/pasien sulit mengeluarkan dahak, dapat dilakukan hal-


hal sebagai berikut:
a. Di rumah: malam hari sebelum tidur menelan tablet gliseril
guayakolat 200 mg;
b. Di fasyankes: minum satu gelas teh manis sebelum melakukan olah
raga ringan (lari-lari kecil), kemudian menarik nafas yang dalam
beberapa kali, kemudian menahan nafas beberapa saat, lalu batukkan
dengan kuat untuk mengeluarkan riak/dahak. Waspada terhadap
kemungkinan terjadinya Pneumothoraks. Bagi fasyankes yang
mempunyai sarana dan prasarana dapat melakukan tata cara c. dan
d. sebagai berikut:
c. Induksi sputum: merupakan prosedur untuk merangsang produksi
dahak agar mudah dibatukkan atau diaspirasi dengan alat. Prosedur
ini berisiko rendah dan dapat dilakukan untuk pasien dewasa atau
anak. Hanya sedikit efek samping yang dilaporkan, seperti coughing
spells, mild wheezing dan epistaksis. Prosedur ini dapat dilakukan
dengan aman pada bayi oleh petugas terlatih dengan peralatan
khusus. Induksi sputum merupakan prosedur yang menghasilkan
aerosol, sehingga sebaiknya dilakukan di ruang yang memiliki kendali
infeksi memadai

43
d. Bilas lambung: digunakan terutama pada pasien anak yang tidak
dapat mengeluarkan dahak secara spontan atau dengan induksi
sputum.Bilas lambung dilakukan pagi hari untuk mengumpulkan
dahak yang tertelan dan tertinggal di lambung. Anak puasa setidaknya
4 jam (3 jam pada bayi) sebelum prosedur dan anak dengan hitung
trombosit yang rendah atau kemungkinan pendarahan sebaiknya tidak
menjalani prosedur ini.
4. Pemberian Nomor Identitas Sediaan
a. Kaca sediaan (end-frosted) dipegang pada kedua sisinya untuk
menghindari sidik jari pada badan kaca sediaan.
b. Setiap kaca sediaan diberi nomor identitas sediaan sesuai dengan
identitas pada pot dahak dengan menggunakan pensil 2B.
c. Pemberian nomor identitas sediaan bertujuan untuk mencegah
kemungkinan tertukarnya sediaan, baik yang berasal dari Fasilitas
Kesehatan itu sendiri maupun dari Fasilitas Kesehatan lain
d. Nomor identitas untuk identitas SITB terdiri dari 4 kelompok angka
dan 1 huruf, sebagai berikut:
 Kelompok angka pertama terdiri dari 2 digit, misalnya 17, yang
merupakan 2 angka terakhir tahun.
 Kelompok angka kedua juga terdiri dari 7-11 digit: untuk fasilitas
pelayanan kesehatan 11 digit, untuk rumah sakit 7 digit.
 Kelompok angka ketiga terdiri dari 1 digit, untuk tipe pasien
(misalnya angka 1 TBC sensitif dan angka 2 untuk TBC-RO).
 Kelompok angka keempat terdiri dari 4 digit merupakan nomor
urut sesuai dengan TBC.06 (daftar terduga TBC) ditambah huruf
A dan B, A menunjukkan dahak sewaktu, B untuk dahak pagi.
 Contoh nomor identitas SITB: 17/00000000016/1/0016 A
Keterangan:
17  tahun 2017
00000000016  nomor kode Puskesmas (dari Pusdatin)
1  TBC sensitif
0016  terduga TBC ke-16 (sesuai nomor urut
daftar terduga TBC/TBC.06)
A  kode dahak sewaktu

44
 Contoh Pemberian nomor identitas sediaan pada:
- Dinding pot dahak
- Kaca sediaan (end frosted)
- Contoh nomor identitas sediaan: 1/0016 A
- Formulir TBC.06
Keterangan:
1  TBC sensitif
0016  terduga TBC ke-16 (sesuai nomor
daftar urut
terduga TBC/TBC.06)
A  kode dahak sewaktu

e. Pemberian kode pada nomor identitas/huruf pada diagnosis dan


follow up sebagai berikut:
 Diagnosis : A, B
 Follow up
a. Tahap awal : D, E
b. Bulan kelima : F, G
c. AP : H, I
d. Bulan ke 3 : J, K

1) Contoh pemberian nomor identitas/huruf pada diagnosis:


a). untuk dahak sewaktu  1/0016 A

b). untuk dahak pagi  1/0016 B

2) Contoh pemberian nomor identitas/huruf pada follow up


tahap awal:
a). untuk dahak sewaktu  1/0016 D

b). untuk dahak pagi  1/0016 E


2. Contoh uji non-dahak
Pemeriksaan bakteriologis TBC dapat dilakukan dengan contoh uji non-
dahak, terutama untuk konfirmasi bakteriologis pada kasus TBC ekstra
paru. Pemeriksaan bakteriologis TBC yang direkomendasikan untuk
kasus TBC ekstra paru adalah pemeriksaan TCM.

45
Contoh uji non-dahak yang dapat diperiksa dengan TCM terdiri atas
cairan serebrospinal, contoh uji dari kelenjar getah bening melalui
pemeriksaan Biopsi Aspirasi Jarum Halus/BAJAH (Fine Needle Aspiration
Biopsy/FNAB), atau jaringan lain.
Pemeriksaan laboratorium untuk TBC ekstra paru dilakukan di FKRTL
yang memiliki kemampuan, namun demikian petugas kesehatan di FKTP
tetap berkewajiban untuk melaksanakan rujukan pemeriksaan pasien
TBC ekstra paru sehingga tidak terjadi miss-opportunity bagi kasus TBC
ekstra paru di FKTP. Petugas FKTP juga berkewajiban untuk melakukan
komunikasi motivasi kepada terduga TBC yang memerlukan rujukan.

E. Klasifikasi pasien TBC


Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi kasus TBC tersebut di
atas, pasien TBC juga diklasifikasikan menurut lokasi anatomis penyakit,
riwayat pengobatan sebelumnya, status resistensi OAT dan status HIV.
Klasifikasi pasien TBC tersebut bertujuan untuk:
1. Pencatatan dan pelaporan pasien yang akurat
2. Penetapan paduan pengobatan yang tepat
3. Standarisasi proses pengumpulan data untuk program penanggulangan
TBC
4. Analisis kohort hasil pengobatan
5. Pemantauan kemajuan dan evaluasi efektifitas program TBC secara tepat
baik dalam maupun antar kabupaten/kota, provinsi, nasional dan global.

1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit :


a. Tuberkulosis paru :
Adalah TBC yang berlokasi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TBC
dianggap sebagai TBC paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
Pasien yang menderita TBC paru dan sekaligus juga menderita TBC
ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TBC paru.
b. Tuberkulosis Ekstra paru:
Adalah TBC yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura,
kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak
dan tulang.

46
Limfadenitis TBC dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau
efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung
TBC pada paru, dinyatakan sebagai TBC ekstra paru.
Diagnosis TBC ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TBC ekstra paru
harus diupayakan secara bakteriologis dengan ditemukannya
Mycobacterium tuberculosis.
Bila proses TBC terdapat dibeberapa organ, penyebutan disesuaikan
dengan organ yang terkena proses TBC terberat.

2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:


a. Pasien baru TBC:
adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TBC
sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1
bulan (˂ dari 28 dosis).
b. Pasien yang pernah diobati TBC:
adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT selama 1
bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini selanjutnya
diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TBC terakhir, yaitu:
1) Pasien kambuh: adalah pasien TBC yang pernah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis
TBC berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik
karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).
2) Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TBC
yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan
terakhir.
3) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-
up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to
follow up. (Klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan
pasien setelah putus berobat /default).
4) Lain-lain: adalah pasien TBC yang pernah diobati namun hasil
akhirpengobatan sebelumnya tidak diketahui.
Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui. adalah
pasien TBC yang tidak masuk dalam kelompok a) atau b).

47
3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa:
a. Monoresistansi: resistansi terhadap salah satu OAT lini pertama,
misalnya resistansi terhadap isoniazid (H)
b. Poliresistansi: resistansi terhadap lebih dari satu OAT lini pertama
selain dari kombinasi obat isoniazid dan rifampisin (HR), misalnya
resistan isoniazid dan etambutol (HE), rifampisin etambutol (RE),
isoniazid etambutol dan streptomisin (HES), atau rifampisin, etambutol
dan streptomisin (RES)
c. Multidrug resistance (MDR): resistansi terhadap isoniazid dan
rifampisin (HR), dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain,
misalnya resistan HR, HRE, HRES
d. Pre-XDR: TBC MDR yang disertai resistansi terhadap salah salah
satu obat golongan fluorokuinolon atau salah satu dari OAT injeksi lini
kedua (kapreomisin, kanamisin dan amikasin)
e. Extensively Drug Resistance (XDR): TBC MDR disertai resistansi
terhadap salah salah satu obat golongan fluorokuinolon dan salah
satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin dan
amikasin)
f. TBC resistan rifampisin (TBC RR): Resistan terhadap rifampisin
(dalam bentuk monoresistan, poliresistan, TBC MDR, TBC XDR) yang
terdeteksi menggunakan metode fenotipik ataupun genotipik, dengan
atau tanparesistansi terhadap obat antituberkulosis lain

4. Klasifikasi pasien TBC berdasarkan status HIV


a. Pasien TBC dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TBC/HIV): adalah
pasien TBC dengan:
 Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART,
atau
 Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TBC.
b. Pasien TBC dengan HIV negatif: adalah pasien TBC dengan:
 Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau
 Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TBC.

48
Catatan: Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV
menjadi positif, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya
sebagai pasien TBC dengan HIV positif.
c. Pasien TBC dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TBC
tanpaada bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TBC
ditetapkan. Catatan: Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat
diperoleh hasiltes HIV pasien, pasien harus disesuaikan kembali
klasifikasinyaberdasarkan hasil tes HIV terakhir.

F. Komunikasi Motivasi
Pengobatan pasien TBC memakan waktu yang lama, oleh sebab itu
diperlukan suatu upaya serta tekad yang kuat dari pasien dengan dukungan
lingkungan sekitarnya agar dapat menjalani pengobatan sampai sembuh.
Oleh sebab itu diperlukan dorongan bagi pasien agar dapat memotivasi
dirinya untuk membuat keputusan terkait tata laksana pengobatan yang
dijalaninya.
1. Definisi Komunikasi Motivasi (KM)
Metode komunikasi untuk motivasi (KM) adalah salah satu pendekatan
komunikasi untuk perubahan perilaku. Meskipun tidak semua perubahan
perilaku dalam masalah kesehatan dapat diselesaikan dengan
pendekatan KM.
Sebagai model komunikasi, KM bersifat membimbing dan berpusat pada
pasien untuk perubahan perilaku dengan cara membantu pasien
mengatasi sikap mendua dalam membuat keputusan. Perilaku pasien
cenderung berubah apabila memiliki motivasi kuat untuk berubah yang
berasal dari pemikiran mereka sendiri.
KM memuat 4 ketrampilan dasar yaitu (Refleksi, Afirmasi, Pertanyaan
Terbuka – Tertutup – Mengarahkan, dan Bertanya – Cerita – Bertanya).
Konsep dasar KM terdiri dari kolaborasi antara petugas kesehatan dan
pasien dalam upaya untuk memunculkan motivasi dalam diri pasien dan
menghargai otonomi pasien.

2. Prinsip umum KM :
a. Menunjukkan empati
Empati adalah kemampuan seseorang untuk mengenali,
mempersepsi dan merasakan perasaan orang lain. Didalam

49
menerapkan KM petugas kesehatan menaruh perhatian penuh untuk
memahami pasien dan melihat masalah dari sudut pandang pasien.
Contoh :
Pasien mengatakan : “Saya tidak tahu berbuat apa untuk pengobatan
TBC karena saya harus minum obat banyak sekali”.
Empati petugas ditunjukkan dengan mengucapkan: “Kedengarannya
anda kuatir tentang pengobatan anda”

b. Hindari perdebatan
Di dalam praktik sehari-hari yang berhubungan dengan kesehatan,
pasien seringkali membuat keputusan yang menurut petugas kurang
tepat sehingga petugas cenderung mengarahkan ke arah yang
benar.
Dalam penerapan KM sebaiknya petugas menghindari perdebatan
untuk mengubah keputusan pasien karena membuat pasien tidak
nyaman. Petugas sebaiknya memahami dan mengetahui alasan
mengapa pasien mengambil keputusan tersebut, serta bekerja sama
untuk menggali pilihan-pilihan lain yang lebih baik bagi pasien.
Contoh :
Pasien memutuskan untuk berhenti minum obat karena efek samping
obat berupa mual dan pusing. Petugas menjelaskan bahwa efek
samping ini dapat diatasi dengan cara berkonsultasi ke puskesmas
dan mendapatkan obat untuk menanggulangi efek samping tersebut
tanpa harus berhenti meminum obat demi kesembuhan pasien.

c. Memberikan gambaran dua situasi berbeda


Dalam situasi tertentu terkadang pasien tidak dapat mengambil
keputusan terkait dengan masalah kesehatannya. Petugas
membimbing pasien untuk memberikan gambaran tentang kondisi
berbeda yang akan terjadi bila pasien mengambil keputusan untuk
berobat atau tidak. Hal ini akan membantu pasien melihat dampak
negatif dan positif dari masalah kesehatannya dan termotivasi untuk
membuat suatu keputusan yang tepat.
Contoh :

50
Bila pasien menolak memulai pengobatan TBC, Petugas dapat
membimbing pasien untuk membayangkan dalam 6 bulan ke depan
apabila pasien meminum obat dan tidak menjalankan pengobatan
TBC.Pasien diminta untuk membandingkan kedua hal tersebut.

d. Memampukan pasien dalam membuat keputusan


Melalui tahapan ini petugas kesehatan bukan hanya membantu
pasien dalam meneguhkan motivasi tetapi juga meningkatkan rasa
percaya diri dan kemampuan pasien untuk berubah menjadi lebih
baik.
Contoh :
Pasien memutuskan untuk memulai pengobatan penyakitnya.
Petugas kesehatan mendukung keputusan pasien dan
menyampaikan kepada pasien apa yang bisa dibantu untuk
memudahkan pasien menjalani pengobatan

3. Keterampilan dasar Komunikasi Motivasi


Terdapat 4 ketrampilan kunci komunikasi untuk Motivasi (KM), antara lain:
a. Refleksi – Mengulang pernyataan pasien
Refleksi adalah pernyataan (bukan pertanyaan) yang mengharuskan
petugas kesehatan mendengarkan, mengamati dan menginterpretasi
isyarat verbal dan visual pasien agar sesuai dengan yang dimaksud.
Untuk dapat mengulang pernyataan pasien, petugas harus
mendengarkan dengan baik apa yang disampaikan pasien.
Keterampilan ini membutuhkan banyak praktik.
Mendengarkan yang baik bukan berarti diam dan hanya
mendengarkan apa yang pasien katakan. Kunci dari mendengarkan
secara aktif adalah bagaimana petugas menanggapi kata-kata pasien.
Oleh karena itu teknik ini kadang disebut juga “empati” atau
“mendengarkan secara aktif”.
Berikut ini hal-hal yang tidak disarankan dan harus dihindari:

51
– Memberi advis, saran atau solusi.
– Persuasi atau mengkuliahi.
– Menceramahi.
– Tidak menyetujui, menghakimi atau mempersalahkan.
– Menyepakati, menyetujui, ataumemberi ungkapan.
– Mempermalukan, mengolok-olok atau memberi julukan.
– Menganalisa.
– Meyakinkan atau memberi simpati.
– Mempertanyakan atau menggali informasi (probing).
Perilaku-perilaku di atas tidak disarankan karena bukan termasuk
cara mendengarkan yang aktif, namun mengalihkan perhatian
petugas dari mendengarkan pasien dan menghambat penggalian diri
pasien. Petugas mengarahkan pasien untuk mendengarkan petugas,
seolah-olah petugas mengerti yang terbaik bagi pasien.
Perilaku-perilaku di atas tidak membantu dalam menggali sikap
ambivalensi (mendua) pasien, namun hanya mencoba memaksa
pasien untuk menyetujui sebuah solusi secara dini. Petugas
kesehatan tidak sungguh-sungguh mendengarkan, dan tidak memberi
kesempatan kepada pasien untuk berbicara.
Inti refleksi adalah menduga maksud perkataan pasien. Petugas harus
mendengarkan kata-kata pasien, dan memahaminya karena bisa
terjadi salah pengertian. Refleksi memungkinkan petugas menduga
maksud perkataan pasien dan menyuarakan dugaan tersebut dalam
bentuk pernyataan.
Dalam refleksi digunakan pernyataan, dan bukan pertanyaan karena
pertanyaan menuntut jawaban dari pasien, yang dapat menimbulkan
sikap membela diri dari sisi pasien. Sedangkan pernyataan tetap
berfokus pada pasien sehingga pasien dapat memberi/tidak memberi
reaksi terhadap refleksi petugas, sesuai keinginan pasien.
Tingkat refleksi berbeda-beda, beberapa diantaranya cukup
sederhana. Terkadang hanya mengulangi satu atau dua kata dari
pernyataan pasien sudah cukup, dengan hanya mengulangi atau
mengulangi pernyataan awal pasien dengan kata-kata yang sedikit
berbeda.
Contoh:
Pasien: “Saya tidak merasa baik hari ini.”

52
Petugas Kesehatan: “Bapak kurang sehat hari ini”
Refleksi sederhana berguna untuk menggerakkan pembicaraan, tapi
cenderung lebih lambat. Anda juga bisa merasa seperti burung beo,
hanya mengulangi segala yang pasien katakan – ini melelahkan
petugas, dan menjengkelkan bagi pasien.
Refleksi kompleks sebaliknya menambah arti atau penekanan
terhadap apa yang dikatakan pasien, dengan membuat dugaan
tentang makna lebih dalam dari pernyataan pasien, atau menduga
apa yang akan mereka katakan selanjutnya.
Contoh:
Pasien : “Saya tahu perlu diperiksa dahak untuk mengetahui saya
sakit TBC-RO, tapi saya takut.”
Petugas Kesehatan : “(menduga) Kalau Bapak ternyata hasilnya TBC-
RO, Bapak tidak tahu harus berbuat apa.”
Pada percakapan di atas, pasien tidak mengatakan kuatir bila hasil
pemeriksaan dahak positif TBC-RO, namun petugas mempunyai
cukup alasan untuk menduga kekuatiran pasien.
Percakapan juga dapat mengarah ke pembicaraan tentang apa yang
menjadi hambatan untuk tes laboratorium. Refleksi ini walaupun
awalnya terasa canggung, namun mempermudah proses komunikasi
dan kesamaan persepsi antara petugas dan pasien. Prinsipnya
adalah untuk tidak menduga yang berlebiihan.
Ada beberapa jenis refleksi kompleks yang dapat digunakan agar
percakapan dengan pasien terus mengalir.
 Parafrase: menyatakan ulang dan menyimpulkan arti dari
pernyataan pasien
 Refleksi perasaan: menekankan aspek emosi dari komunikasi
 Refleksi dua arah: menyampaikan dua sisi dari suatu isu: “Di satu
pihak …, di lain pihak …”
 Merangkum: merefleksikan berbagai pesan yang dibuat
pembicara, merangkumnya menjadi satu
Refleksi tidak lebih panjang dari pernyataan yang direfleksikan –
semakin ringkas semakin baik. Buat satu dugaan apa yang dimaksud
dalam pernyataan pasien, dan tidak berbelit-belit.

53
b. Peneguhan (afirmasi) – Melihat sisi positif
Afirmasi adalah menekankan hal yang positif. Seringkali petugas lebih
fokus mengkoreksi kesalahan pasien sehingga lupa perilaku positif
pasien.
Melakukan afirmasi berarti memberikan dukungan dan semangat
yang berguna sehingga pasien merasa dihargai dan dipercayai oleh
petugas.
Contoh afirmasi sederhana:
“Anda berusaha cukup keras minggu ini!”
“Meskipun anda tidak terlalu berhasil, anda menunjukkan niat untuk
sembuh”
“Terima kasih karena telah kembali sesuai janji – ini menunjukkan
anda memperhatikan kesehatan anda dengan serius!”
Afirmasi sebaiknya tidak dibuat-buat, tulus dan apa adanya.
Afirmasi juga bisa digunakan untuk “mengemas” sikap atau situasi
pasien dengan positif.
Contoh:
“Anda kesal dengan diri anda sendiri karena telah berjanji untuk
minum obat TBC/ARV setiap hari. Anda terganggu dengan efek
samping obat yang menyebabkan mual dan muntah-muntah. Anda
tetap berusaha untuk datang minum obat setiap hari ke Puskesmas.
Anda mempunyai kemauan kuat untuk sehat.”
Penting untuk diingat bahwa afirmasi bukan memuji. Memuji bisa
menjadi hambatan berkomunikasi dengan pasien karena
menempatkan petugas dalam posisi menilai pasien dimana petugas
memutuskan perilaku mana yang dipuji dan mana yang dikritisi. Ada
beberapa cara untuk menghindari masalah ini:
• Hindari penggunaan kata “Saya”
• Fokus pada perilaku yang spesifik
• Fokus pada deskripsi, bukan evaluasi
Sebagai catatan, afirmasi biasanya diletakkan di akhir kalimat.
c. Pertanyaan – Terbuka, Tertutup dan Mengarahkan
Pertanyaan diajukan untuk membantu petugas memahami pasien
dengan lebih baik, termasuk pengetahuan, kebutuhan dan kekuatiran
mereka. Namun, petugas terkadang tidak melakukannya dengan baik.
Sering terjadi petugas langsung mengajukan banyak pertanyaan:
“Apakah anda selalu memakai masker??”
54
“Apakah anda teratur minum obat?”
“Apakah anda masih merokok?”
“Apakah anda sudah dites HIV?”
“Apakah keluarga mengetahui anda sakit TBC-RO?
Apabila pasien tiba-tiba dihadapkan pada banyak pertanyaan, maka
pasien akan merasa diinterogasi. Pertanyaan yang diajukan dapat
memberikan informasi spesifik, namun menunjukkan posisi petugas
yang lebih superior dan dapat merusak hubungan yang dibangun.
Pertanyaan yang lebih baik: “Efek samping apa yang anda rasakan
setelah minum obat TBC?”.
Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang memberikan kebebasan
pasien untuk menjawab.
Contoh:
“Apa yang membuat anda sulit memakai masker setiap hari?”
“Apa yang membuat anda sulit datang ke Puskesmas setiap hari?”
“Bagaimana supaya keluarga anda tidak tertular?”
Pertanyaan terbuka merupakan keterampilan penting yang
memungkinkan menggali banyak informasi dari pasien. Pertanyaan
terbuka memungkinkan pasien untuk berbagi informasi atau
pengalaman sesuai keinginan mereka. Hal ini menegaskan kembali
hubungan antara petugas dan pasien. Pasien bisa juga berbagi
informasi atau pengalaman yang tidak pernah kita duga sebelumnya.
Pertanyaan terbuka bukan satu-satunya pertanyaan yang tepat.
Kebalikan dari pertanyaan terbuka ialah pertanyaan tertutup – yang
membatasi pilihan pasien dalam merespon, dan/atau menggali
informasi spesifik.
Contoh:
“Apakah anda merokok?”
“Berapa usia anda?”
“Dimana alamat anda?”
Pertanyaan tertutup bisa digunakan untuk melakukan cek kesimpulan
(Contoh: “Apakah saya melupakan sesuatu?”) atau untuk mengajukan
permohonan ijin (Contoh: “Apakah anda ingin tahu lebih jauh tentang
ini?”) atau untuk meminta klarifikasi tentang poin spesifik dimana
pertanyaan terbuka telah gagal memberikan jawaban.

55
Pesan yang ingin disampaikan disini ialah bahwa pertanyaan tertutup
bukan berarti tidak boleh digunakan sama sekali, namun digunakan
sesuai dengan keperluannya.
Tipe pertanyaan yang sebaiknya dihindari ialah “pertanyaan yang
mengarahkan” atau pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban
(retorika):
“Anda menggunakan masker, bukan?”
“Anda tahu bahwa tuberkolosis itu menular, kan?
“Bukankan istri anda berarti bagi anda?”
Pertanyaan-pertanyaan ini selain membatasi kemungkinan jawaban,
namun juga mengarahkan pada jawaban tertentu. Hal ini bukan hanya
menempatkan petugas dalam posisi yang lebih tinggi (menilai hal
yang baik dan hal yang jelek), namun jawaban juga tidak bisa
dipercaya sepenuhnya. Apakah pasien benar mengunakan masker
atau ia menjawab karena petugas menginginkan jawaban demikian?
d. Bertanya-Beritahu-Bertanya (Ask-Tell-Ask) – Memberi Informasi
dan Saran
Ada dua hal penting dalam KM yang perlu diingat:
1) Petugas memberi informasi dan/atau saran berdasarkan ijin
2) Petugas tidak perlu memberikan semua informasi namun sesuai
dengan kebutuhan dan perspektif pasien sehingga pasien dapat
mengambil kesimpulan sendiri.

4. Bertanya (Ask)
Bertanya – Beritahu – Bertanya atau B3 merupakan strategi sederhana
untuk mengukur sejauh mana pemahaman pasien dan memberikan
informasi sesuai kebutuhan. Strategi ini dimulai dengan sebuah
pertanyaan untuk menelusuri pengetahuan dan pengalaman pasien,
minat pasien, dll. Beberapa contoh pertanyaan:
“Ceritakan pada saya apa yang Anda ketahui tentang efek samping dari
pengobatan TBC.”
“Menurut Anda apa manfaat terbesar dari memakai masker?”
“Apa yang Anda pikirkan tentang HIV?”
Di sini tujuannya adalah untuk mendapat informasi tentang pengalaman
dan/atau pengetahuan pasien sebelumnya. Hal ini untuk menghindari
petugas memberikan informasi yang sudah diketahui pasien. Selain itu

56
juga bisa mengetahui sejauh mana pemahaman pasien, dan dengan
demikian petugas bisa memberi informasi relevan untuk pasien.
Strategi ini ditujukan untuk membantu petugas agar waktu yang terbatas
dapat difokuskan pada pemberian informasi yang bermanfaat bagi
pasien.
Mendapat persetujuan
Petugas menindaklanjuti pertanyaan di atas dengan pertanyaan berikut,
untuk mendapat persetujuan pasien atas informasi atau saran tambahan
yang akan diberikan, misalnya:
“Apakah Anda berminat untuk mendengar lebih lanjut mengenai TBC
Resistan Obat”
“Apakah Anda keberatan kalau saya ceritakan bagaimana orang lain
berhasil melakukannya?”
Langkah ini penting untuk menunjukkan bahwa kita menghormati pasien
dan dapat membuat pasien lebih mendengarkan apa yang petugas
katakan. Apabila hubungan antara petugas dan pasien baik, maka
pasien hampir selalu menyetujui permintaan petugas.
Kadang-kadang pasien memiliki pemahaman yang salah dan petugas
perlu mengkoreksi pemahaman tersebut. Teknik yang dapat digunakan
tanpa menggurui dan tidak mengurangi rasa hormat ialah:
 Pertama, tunjukkan empati kepada pasien bahwa petugas memahami
perasaan mereka.
 Kedua, ceritakan tentang orang lain mengalami hal yang sama.
 Ketiga, ceritakan bahwa orang lain tersebut akhirnya menyadari
bahwa pemikiran tersebut tidak benar.
Contoh :
Petugas: “Ceritakan kepada saya apa yang Ibu tahu tentang melindungi
diri Ibu dari penularan TBC ?.”
Pasien: “Saya tahu saya harus menggunakan masker. Tapi mustahil
bagi saya untuk menggunakan masker terus menerus. Mereka merasa
saya sebagai orang aneh dengan memakai masker terus!”
Petugas : “Jadi walaupun Ibu tahu cara untuk tetap aman, Ibu merasa
tidak berdaya untuk melakukan apa-apa. Saya kenal banyak wanita
yang merasakan hal yang sama waktu mereka pertama memakai
masker. Tetapi mereka berusaha dan mereka menemukan cara
meyakinkan bahwa masker akan mencegah penularan TBC. Apa Ibu

57
mau mendengar beberapa cara yang sudah berhasil bagi wanita-wanita
lain?”
Pasien: “Boleh, Dok!”

5. Memberi tahu (Tell)


Bila pasien anda setuju untuk melanjutkan pembicaraan, langkah
selanjutnya adalah memberi informasi dan/atau saran. Kuncinya adalah
fokus pada apa yang pasien butuhkan atau ingin ia ketahui. Itulah
sebabnya bertanya ialah hal pertama yang sangat penting bagi petugas
untuk dapat memberi informasi dengan jelas. Berikan sedikit informasi,
lalu konfirmasi apakah pasien mengerti atau memiliki pertanyaan.
Perlu diperhatikan bahwa memberi saran dengan 3B (Bertanya -
Beritahu – Bertanya) berfokus pada perubahan dimana ada potensi
pasien akan melawan. Oleh karena itu, memberi saran bukan hal utama
dari strategi KM. KM berfokus menumbuhkan solusi yang datang dari
pasien dan bukan dari petugas. Pada saat petugas perlu memberi
saran, ingatlah beberapa hal ini:
a. Minta persetujuan (seperti bila anda akan memberi informasi)
b. Tekankan pilihan pribadi. Contoh: “Pada akhirnya keputusan ada di
tangan anda. Namun demikian saya bisa menjelaskan beberapa
pilihan …”
c. Tawarkan beragam pilihan sekaligus, jangan satu persatu.
Ingat, petugas dapat memberi informasi (atau saran) tapi petugas
tidak dapat mengharapkan reaksi pasien sesuai keinginan petugas.
Lebih baik bila petugas bertanya untuk mendapatkan persetujuan.

6. Bertanya (Ask)
Langkah ketiga dalam 3B adalah menanyakan lagi kepada pasien untuk
menilai pengertian, interpretasi atau tanggapan mereka terhadap
informasi dan/atau saran yang baru disampaikan. Ini harus dilakukan
secara teratur, tiap kali setelah memberi informasi.
Caranya beragam:
“Jadi, apa artinya ini bagi Anda?”
“Bagaimana perasaan Anda mengenai hal itu?”
“Apa yang ingin anda tanyakan?”
“Ceritakan yang saya baru sampaikan dengan kata-kata Anda sendiri.”

58
Proses ini dapat berupa mendengarkan secara reflektif di mana anda
merefleksikan kembali reaksi pasien yang anda lihat dan dengar.
Tujuannya adalah memberi ruang pada pasien untuk memproses dan
menanggapi informasi yang baru anda sampaikan.

7. Menggabungkan semuanya
Masing-masing keterampilan tidak berfungsi secara terpisah, namun
merupakan bagian perangkat bagi petugas, untuk menggerakkan pasien
ke arah perubahan. Seperti dalam contoh di atas, anda dapat memulai
sebuah sesi dengan peneguhan (“Senang bertemu Anda kembali!”), lalu
bergerak ke pertanyaan terbuka (“Bagaimana dengan perubahan-
perubahan yang kita diskusikan waktu itu?”) setelah itu anda bisa
mendengarkan secara reflektif untuk memandu percakapan dengan
pasien (“Kedengarannya Anda sedikit kewalahan …”) dan 3B untuk
memberi informasi baru (“Maukah Anda mendengar pengalaman orang
lain yang berhasil mengatasi situasi seperti anda?”) lalu merefleksikan
dan merangkum perasaan, ide dan pengalaman pasien sementara terus
meneguhkan contoh-contoh perubahan yang positif. Keterampilan KM
bisa diulangi terus-menerus dalam berbagai kombinasi.

Tabel 2. Keterampilan berkomunikasi dalam KM


Keterampilan Tujuan yang ingin dicapai
1. Merefleksikan apa  Pasien merasa lebih dihormati dan
yang dikatakan diterima serta lebih dimengerti.
pasien (reflection)  Pasien didorong untuk memberikan
informasi tambahan
 Pasien lebih bisa mengutarakan pikiran
dan perasaannya.
 Pasien menjadi lebih sadar akan pikiran
dan perasaannya.
 Petugas bisa meluruskan apabila terjadi
kesalahpahaman pasien tentang perihal
medis.
 Petugas bersikap tidak menghakimi
kepada pasien.
2. Peneguhan  Membantu petugas melibatkan pasien.
59
(affirmation)  Mengurangi sikap pembelaan diri dari
pasien.
 Mendorong keterbukaan pasien
3. Pertanyaan terbuka  Memberikan kesempatan yang lebih
(open question) kepada pasien untuk bercerita tentang
dirinya.
4. Bertanya – Beritahu  Mendapatkan informasi dari pasien
– Bertanya (Ask – tell mengenai sejauh mana pasien
– ask) memahami tentang penyakitnya.
 Petugas dapat memberikan informasi
tambahan kepada pasien tanpa memiliki
kesan untuk “menggurui” pasien.
G. Upaya Pengendalian Faktor Risiko
Kuman penyebab TBC adalah Mycobacterium tuberculosis (M.TBC).
Seorang pasien TBC, khususnya TBC paru pada saat dia bicara, batuk dan
bersin dapat mengeluarkan percikan dahak yang mengandung M.TBC.
Orang-orang di sekeliling pasien TBC tsb dapat terpapar dengan cara
menghirup percikan dahak. Infeksi terjadi apabila seseorang yang rentan
menghirup percik renik yang mengandung kuman TBC melalui mulut atau
hidung, saluran pernafasan atas, bronkhus hingga mencapai alveoli.
1. Faktor risiko terjadinya TBC
a. Faktor kuman TBC.
Pasien TBC dengan BTA positif lebih besar risiko menimbulkan
penularan dibandingkan dengan BTA negatif.
Makin tinggi jumlah kuman dalam percikan dahak, makin besar risiko
terjadi penularan.
Makin lama dan makin sering terpapar dengan kuman, makin besar
risiko terjadi penularan.
b. Faktor individu.
Beberapa faktor individu yang dapat meningkatkan risiko menjadi
sakit TBC adalah:
 Faktor usia dan jenis kelamin:
Kelompok paling rentan tertular TBC adalah kelompok usia
dewasa muda yang juga merupakan kelompok usia produktif.
Menurut hasil survei prevalensi TBC, laki-laki lebih banyak
terkenaTBC dari pada wanita.
60
 Daya tahan tubuh:
Apabila daya tahan tubuh seseorang menurun oleh karena sebab
apapun, misalnya usia lanjut, ibu hamil, ko-infeksi dengan HIV,
penyandang diabetes mellitus, gizi buruk, keadaan
immunosupresif, bilamana terinfeksi dengan M.TBC, lebih mudah
jatuh sakit.
 Perilaku:
– Batuk dan cara membuang dahak pasien TBC yang tidak
sesuaietika akan meningkatkan paparan kuman dan risiko
penularan.
– Merokok meningkatkan risiko terkena TBC paru sebanyak
2,2kali.
– Sikap dan perilaku pasien TBC tentang penularan, bahaya,
dan cara pengobatan.
 Status sosial ekonomi:
TBC banyak menyerang kelompok sosial ekonomi lemah.
c. Faktor lingkungan:
Lingkungan perumahan padat dan kumuh akan memudahkan
penularan TBC.
Ruangan dengan sirkulasi udara yang kurang baik dan tanpa cahaya
matahari akan meningkatkan risiko penularan.

2. Upaya Pengendalian Faktor Risiko TBC


Pencegahan dan pengendalian risiko bertujuan mengurangi sampai
dengan mengeliminasi penularan dan kejadian sakit TBC di masyarakat.
Upaya yang dilakukan adalah:
a. Pengendalian Kuman Penyebab TBC
 Mempertahankan cakupan pengobatan dan keberhasilan
pengobatan tetap tinggi
 Melakukan penatalaksanaan penyakit penyerta (komorbid TBC)
yang mempermudah terjangkitnya TBC, misalnya HIV, diabetes,
dll.
b. Pengendalian Faktor Risiko Individu
 Membudayakan PHBS atau Perilaku Hidup Bersih dan Sehat,
makan makanan bergizi, dan tidak merokok.
 Membudayakan perilaku etika berbatuk dan cara membuang

61
dahak bagi pasien TBC.

 Meningkatkan daya tahan tubuh melalui perbaikan kualitas


nutrisi bagi populasi terdampak TBC.
 Pencegahan bagi populasi rentan melalui vaksinasi dan
pengobatan pencegahan (Materi pencegahan bagi populasi
rentan dibahas lebih lanjut pada modul pengobatan).
c. Pengendalian Faktor Lingkungan
 Mengupayakan lingkungan sehat.
 Melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan
dan lingkungannya sesuai rumah yang memenuhi syarat rumah
sehat.
d. Pengendalian Intervensi daerah berisiko penularan
 Kelompok khusus maupun masyarakat umum yang berisiko
tinggi penularan TBC (lapas/rutan, masyarakat pelabuhan,
tempat kerja, institusi pendidikan berasrama, dan tempat lain
yang teridentifikasi berisiko.
 Penemuan aktif masif di masyarakat (daerah terpencil, belum
ada program, padat penduduk).
e. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI).
Mencegah penularan TBC pada semua orang yang terlibat dalam
pemberian pelayanan pada pasien TBC harus menjadi perhatian
utama. Semua fasyankes yang memberi layanan TBC harus
menerapkan PPI TBC untuk memastikan berlangsungnya deteksi
segera, tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang yang
dicurigai atau dipastikan menderita TBC.
*Materi PPI TBC akan dibahas lebih lanjut pada modul Manajemen.

H. Pencatatan dan Pelaporan Penemuan Pasien TBC


Pencatatan dan pelaporan yang terkait dengan penemuan pasien TBC
adalah:
1. Daftar Terduga TBC (TBC.06)
2. Formulir Permohonan Pemeriksaan Bakteriologis TBC (TBC.05)
3. Register Laboratorium TBC untuk Laboratorium Faskes Mikroskopis
dan Tes Cepat Molekuler (TBC.04)
4. Pelacakan Kontak Anak (TBC.15)
5. Formulir Investigasi Kontak Tuberkulosis (TBC.16)

62
Contoh dan cara pengisian formulir dibahas dalam lembar kerja
tersendiri.

VIII. REFERENSI
1. Permenkes TBC No.67, tahun 2017 tentang Penanggulangan TBC
2. Strategi Nasional Pengendalian TBC, 2015-
20193. RAN 2015-2019
4. Juknis TBC Anak
5. Juknis Kontak Investigasi
6. Panduan DPPM TBC
7. Standar Pelayanan Laboratorium TBC 2015

IX. LAMPIRAN

1. LAMPIRAN 1:
SKENARIO BERMAIN PERAN

A. Judul: Investigasi Kontak


Tujuan:
Setelah bermain peran, peserta mampu melakukan Investigasi Kontak
Petunjuk:
1. Pelatih menyiapkan alat bantu bermain peran:
a. Meja
b. Kursi
c. Formulir TBC.16K
2. Pelatih membagi peserta menjadi 5-6 kelompok
3. Pelatih meminta setiap kelompok menunjuk ketua kelompok masing-
masing
4. Pelatih membagi setiap kelompok tersebut untuk memainkan skenario
Investigasi Kontak, dengan pembagian peran sebagai berikut:
a. Kader
b. Petugas Kesehatan
c. Kasus Indeks
d. PMO dari kasus indeks
e. Kontak Serumah dari Kasus Indeks
f. Kontak Erat dari Kasus Indeks (tetangga, teman, dll)
5. Pelatih membagi skenario kepada masing – masing kelompok

63
a. Ketua masing-masing kelompok menentukan pemain sesuai dengan
skenario yang dibagikan
b. Pelatih menentukan kelompok untuk bermain peran secara bergiliran
c. Kelompok lainya yang tidak berperan diminta untuk mengamati,
mencatat memberikan masukan untuk setiap pemain.
d. Kelompok yang sedang memainkan skenario diminta untuk
memberikan tanggapan terhadap masukan yang diberikan kelompok
pengamat
e. Pelatih menyimpulkan hasil roleplay di setiap kelompok

Waktu : 90 menit terdiri dari :


1. Anggota kelompok yang berperan sebagai Petugas Kesehatan melakukan
wawancara kepada Kasus Indeks untuk mengisi formulir TBC.16K,
bermain peran 10 menit
2. Petugas kesehatan menghubungi kader dan berdiskusi untuk membuat
pemetaan dan jadwal investigasi kontak dari seluruh kasus indeks pada
area kerja, bermain peran 10 menit
3. Kader menghubungi PMO untuk menyusun jadwal kunjungan rumah dan
informasi terkait kontak serumah dan kontak erat, bermain peran 10 menit
4. Kader melakukan investigasi kontak pada kontak serumah, bermain peran
15 menit
5. Kader melakukan investigasi kontak pada kontak erat, bermain peran 15
menit
6. Kader menyerahkan formulir TBC.16K kepada petugas kesehatan,
bermain peran 5 menit
7. Tanya jawab dan kesimpulan 25 menit untuk seluruh kelompok.
Waktu : 90 Menit

B. Judul: Investigasi Kontak (IK) pada TBC Anak


Tujuan:
Setelah bermain peran, peserta mampu melakukan Investigasi Kontak pada
TBC Anak
Petunjuk:
1. Peserta dibagi menjadi 5 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 6
orang
2. Peran:
a. 1 orang sebagai Dokter Puskesmas A
b. 1 orang sebagai Petugas Kesehatan
c. 1 orang Ibu Pasien Anak
d. 1 orang Ayah Pasien Anak
e. 1 orang kader Posyandu dan
f. 1 orang Pamong Desa

Skenario:
1. Di Poli Umum Puskesmas A pada waktu jam pelayanan menemukan
seorang laki-laki berumur 38 tahun yang telah didiagnosis TBC oleh
64
dokter, laki-laki tersebut tinggal bersama ibunya, istri dan dua anaknya
laki-laki berusia 8 tahun dan 4 tahun.

Berdasarkan temuan pasien TBC di Puskesmas A, maka akan dilakukan


investigasi kontak di rumah pasien yang berada di Desa B, Jalan AB No.1,
RT 12/RW13

Lakukan pertemuan di desa tersebut sebagai langkah/sosialisasi awal


pelaksanaan investigasi kontak untuk mencari terduga (kontak) TBC baik
pada anak maupun pada orang dewasa.

2. Lakikan pertemuan di Puskesmas untuk persiapan pelaksanaan IK dan


tindak lanjut setelah kegiatan IK. Peserta pertamuan adalah Dokter
Puskesmas, Petugas TBC, Petugas Laboratorium, Petugas Promkes,
Bidandan Petugas Kesling

3. Dari hasil IK di rumah tersebut, ditemukan anak laki-laki berumur 4,5


tahun dan langsung dirujuk ke Puskesmas untuk dilakukan skoring
pemeriksaan TBC. Disimpulkan anak tersebut tidak terdiagnosa
TBC sehingga perlu diberikan TPT. Lakukan komunikasi, edukasi
dan sosialisasi kepada orang tua anak tersebut, sehingga mau
untuk menerima pengobatan TPT pada anak tersebut.

65
2. LAMPIRAN 2:
TATACARA KERJA PENGUMPULAN DAN PENGIRIMAN DAHAK KE
LABORATORIUM RUJUKAN (TCM)
Pelaksana: Petugas Laboratorium Fasyankes

Alat yang diperlukan:

1) Pot dahak steril sesuai standar lab TBC


2) Stiker/spidol
3) Sabun cuci tangan
4) Parafilm
5) Prosedur tetap pengumpulan dahak
6) Formulir TBC 05

Cara Kerja:
1) Persiapan pasien:
a. Beritahu pasien tentang pentingnya mendapatkan dahak yang
berkualitas untuk menentukan penyakitnya
b. Anjurkan pasien untuk berdahak dalam keadaan perut kosong,
dan membersihkan rongga mulut dengan berkumur dengan air
bersih.
c. Dahak adalah bahan infeksius, anjurkan pasien untuk berhati-
hati saat berdahak dan mencuci tangan dengan sabun
d. Anjurkan pasien untuk membaca prosedur tetap pengumpulan
dahak yang tersedia di lokasi berdahak.
2) Persiapan Alat.
a. Siapkan pot dahak steril.
b. Beri identitas sesuai NKI pada badan pot dahak, tempelkan
identitas pasien sesuai dengan NKI dan tambahkan tanda A untuk
pot dahak sewaktu, B untuk pot dahak pagi dan C untuk pot dahak
sewaktu ke 2 pada dinding badan pot jangan pada tutupnya.
3) Tulis identitas pasien dan tanggal pengambilan dahak pada formulir
TBC 05
4) Cara pengeluaran dahak yang baik
66
a. Kumur-kumur dengan air bersih sebelum mengeluarkan dahak
b. Bila memakai gigi palsu, lepaskan sebelum berkumur
c. Tarik napas dalam (2-3 kali)
d. Buka tutup pot, dekatkan ke mulut, berdahak dengan kuat dan
ludahkan ke dalam pot dahak
e. Tutup pot yang berisi dahak dengan rapat, segel dengan
parafilm di sekeliling tutup pot dahak
f. Cuci tangan dengan air dan sabun antiseptik
Pada saat mendampingi pasien berdahak, petugas harus mendampingi
pasien dengan memperhatikan arah angin sedemikian rupa agar arah
angin tidak mengarah kepada petugas.

Apabila ternyata dahak tidak memenuhi syarat pemeriksaan (air liur atau
volumenya kurang), pasien harus diminta berdahak lagi.

Apabila kesulitan mengeluarkan dahak:

1) Berikan obat batuk yang mengandung gliserol guayacolas


sehari sebelum pengumpulan dahak, atau
2) Pasien dianjurkan berolahraga ringan: berlari-lari kecil,atau
3) Petugas melakukan tepukan-tepukan ringan dengan kedua
telapak tangan pada punggung pasien,selama kurang lebih 3-5
menit
5) Cara menilai kualitas dahak secara makroskopis
a. Lakukan penilaian terhadap dahak pasien tanpa
membuka tutup pot melalui dinding pot yang transparan.
b. Hal-hal yang harus diamati adalah volume 3-5 ml, dahak
kental berwarna hijau kekuningan (mukopurulen).
c. Setelah memeriksa kualitas dahak petugas harus
mencuci tangan dengan air dan sabun.

6) Mengemas dahak untuk dirujuk


Masukkan pot ke dalam kantong plastik bersegel (satu kantong
berisi satu pot dahak), tutup segel kantong.

67
7) Simpan pada suhu kamar sampai waktu jadwal pengiriman
(maksimal 48 jam sudah diterima di laboratorium DST dan harus
diterima pada hari Senin-Kamis)
a) Bila waktu pengiriman dahak ke laboratorium rujukan biakan/uji
kepekaan l 48 jam – 72 jam, kotak styrofoam harus berisi ice pack
agar suhu terjaga pada 4-80 oC
b) Bila di daerah terkait telah tersedia laboratorium yang memiliki
kemampuan biakan TBC maka rujukan ke laboratorium uji
kepekaandikirim dalam bentuk isolat.
8) Setelah selesai petugas harus cuci tangan dengan sabun dan air
mengalir.

Catatan:

 Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV menjadi positif, pasien
harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai pasien TBC dengan HIV positif.
 Pasien TBC dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TBC tanpa ada
bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TBC ditetapkan.

Catatan:

Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV pasien, pasien
harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan hasil tes HIV terakhir.

68

Anda mungkin juga menyukai