Anda di halaman 1dari 19

DAFTAR ISI

ABSTRAK...........................................................................................................................................................
BAB I: PENDAHULUAN..................................................................................................................................
A. Latar Belakang Masalah.............................................................................................................................
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................................
BAB II: PEMBAHASAN....................................................................................................................................
A. Pesantren dan Kitab Kuning.......................................................................................................................
B. Kiai; Otoritas & Kepemimpinannya...........................................................................................................
. Pola Kepemimpinan Individual...............................................................................................................
2. Pola Kepemimpinan Kolektif................................................................................................................
C. Korelasi Otoritas Kiai dan Kitab Kuning di Pesantren..............................................................................
BAB III: PENUTUP............................................................................................................................................
A. Kesimpulan................................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................................

1
ABSTRAK

Tulisan ini berusaha mengelaborasi dua pilar sentral pesantren, yakni kitab kuning dan kiai,
serta timbal balik yang dimiliki keduanya. Kitab Kuning dan Kiai merupakan dua dari lima
pilar pesantren yang dikemukakan oleh Zamakhsyari Dhofier. Dalam perjalanannya,
keduanya ternyata memiliki kait kelindan dan timbal balik satu sama lain. Penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dengan pisau bedah library research. Dari
penelitian ini ditemukan bahwa kiai dan kitab kuning memiliki kait kelindan yang istimewa.
Keduanya merupakan pilar pesantren yang kokoh dan saling menopang satu sama lain. Di
satu sisi, Kiai, dengan otoritasnya akan selalu ada untuk melestarikan khazanah dan tradisi
kitab kuning di pesantren. Sedangkan di sisi lain, kitab kuning juga memastikan untuk ikut
berperan dalam menjaga otoritas tersebut tetap berada di tangan yang tepat.
Kata Kunci: Kitab Kuning, Kiai, Korelasi.

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kitab Kuning dan pesantren bagaikan dua sisi koin yang saling melekat satu sama lain
dan tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan salah dua pilar penyokong eksistensi
pesantren itu sendiri. Kitab kuning yang merupakan ruh dan ciri khas dari sebuah sub-
kultur bernama pesantren, juga menjadi rujukan utama dari semua kegiatan pembelajaran
yang terjadi di dalamnya. Selain itu, kitab kuning juga merupakan faktor penentu yang
membedakan pendidikan pesantren dengan pendidikan di luarnya.

Di sisi lain, Kiai merupakan pilar sentral selanjutnya setelah kitab kuning. Otoritas
yang dimiliki kiai bisa terus memastikan keberlangsungan kegiatan pendidikan yang
berjalan di pesantren itu sendiri. Sementara itu, Kedalaman keilmuan serta tingginya
pemahaman seorang kiai kepada kitab kuning juga menjadi salah satu faktor dalam
menjamin keberlangsungan otoritas yang dimilikinya. Sehingga, Tidak salah jika
mengatakan bahwa keduanya sama-sama saling melengkapi dan membutuhkan.

B. Rumusan Masalah

Apa yang dimaksud Kitab Kuning?

Seperti apa Otoritas Kiai?

Bagaimana korelasi antara Otoritas Kiai dengan Kitab Kuning di Pesantren?

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pesantren dan Kitab Kuning

Secara gramatikal, kata kitab dapat diterjemahkan langsung sebagai “buku”


dalam bahasa Arab. Namun umumnya, kata kitab merujuk pada istilah yang
digunakan untuk menyebutkan karya tulis atau karangan yang ditulis dengan huruf
Arab,1 baik berbahasa Arab atau pun tidak. Isinya adalah pembahasan-pembahasan
dalam bidang keagamaan, khususnya Agama Islam. Penggunaan huruf Arab sendiri
merupakan ciri khas yang menjadi pembeda antara kitab dan karya tulis lain yang
tidak menggunakan tulisan Arab, yang lebih umum diistilahkan dengan sebutan
“buku”2. Lebih lanjut, kitab yang umumnya menjadi bahan ajar utama di pesantren-
pesantren, biasa disebut dengan istilah “kitab kuning”.

Menurut Zaini dahlan,3 Istilah kitab kuning memiliki makna yang lebih luas
lagi, yakni karya-karya keagamaan yang ditulis menggunakan aksara Arab dan
berbahasa Arab, Jawa, Melayu, ataupun bahasa-bahasa daerah lain yang ada di
Indonesia. Artinya, definisi ini merupakan perluasan dari definisi-definisi yang lumrah
dipakai oleh para peneliti, yang hanya melabeli kitab kuning sebagai karya tulis
bernuansa keagamaan yang ditulis menggunakan bahasa Arab.

Ada banyak pendapat mengenai penamaan kitab kuning. Sebagian besar


peneliti mengemukakan bahwa penamaan kitab kuning mengacu pada kitab-kitab
klasik yang kebanyakan dicetak di atas kertas berwarna kuning, meskipun belakangan
ini banyak pula yang sudah dicetak dengan menggunakan kertas putih. 4 Selain “kitab
kuning”, ada beberapa istilah lain yang dipakai untuk menyebut kitab-kitab ini.
Sebagian di antaranya adalah kitab klasik,5 kitab kuno,6 dan juga kitab Turats.7

1 Muhammad Thoriqussu’ud, “Model-Model Pengembangan Kajian Kitab Kuning Di Pondok Pesantren.”


(Jurnal Ilmu Tarbiyah “At-Tajdid,” vol. 1, no. 2, July 2012), 231.
2 Ibid., 237.
3 Zaini Dahlan, “Khazanah Kitab Kuning: Membangun Sebuah Apresiasi Kritis.” (ANSIRU PAI :
Pengembangan Profesi Guru Pendidikan Agama Islam, vol. 2, no. 1, May 2018), 17.
4 Ibid., 4.
5 Martin Van Bruinessen, “Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat.” (Bandung: Mizan, Cet. III, 1999), 17.
6 Muhammad Thoriqussu’ud, “Model-Model…” , 231.
7 Andik Wahyun Muqoyyidin, “Kitab Kuning Dan Tradisi Riset Pesantren Di Nusantara.” (IBDA` : Jurnal
Kajian Islam Dan Budaya, vol. 12, no. 2, Jan. 1970), 122.

4
Kitab kuning juga terkenal di kalangan santri dengan sebutan “kitab gundul”. 8
Karena hampir semua kitab kuning ditulis tanpa mencantumkan harakat ataupun
syakal. Sehingga dalam membaca dan memahaminya, membutuhkan pengetahuan
khusus dan mendalam mengenai ilmu-ilmu gramatikal Arab. Ilmu-ilmu tersebut,
mencakup ilmu nahwu, sharaf, dan balaghah.9 Ilmu Nahwu, adalah salah satu ilmu
gramatikal Arab yang berfokus kepada pembahasan mengenai penentuan jenis kata
dan posisinya di dalam kalimat, semisal: subjek, predikat, dan objek. Sharaf lebih
berfokus kepada metamorfosa dan derivasi-derivasi dari suatu akar kata dalam bahasa
Arab. Sementara balaghah, lebih bertitik berat kepada sastra Arab dan pengertian
maknanya. Ketiga cabang ilmu tersebut biasa diistilahkan dengan sebutan ilmu
alat/adat karena fungsinya yang merupakan alat untuk dapat membaca maupun
memahami teks berbahasa Arab.

Di daerah asalnya, yakni di wilayah Timur Tengah, Kitab kuning juga disebut
al-kutub al-Qadimah (Kitab Klasik), sebagai pasangan dari al-kutub al-’ashriyyah
(Kitab Modern).10

Menurut martin, Kitab kuning yang berkembang luas di Indonesia sejatinya


merupakan hasil olah pemikiran para ulama abad pertengahan. 11 Umumnya, kitab
kuning merupakan hasil karangan para ulama Muslim sekitar abad pertengahan Islam,
yakni pada abad 16-18 M.12 Kebanyakan dari Kitab-kitab ini mulai muncul setelah
Kitab al-Umm karangan Imam Syafi’i dan al-Muwaththa’ Karangan Imam Malik,13
yang ditulis sekitar abad 10 - 15 M.. Kendati demikian, bukan berarti setelah abad ke-
18 tidak ada karya baru yang lahir. Hal ini bisa dilihat dari karya-karya yang muncul
belakangan, semisal karya Kiai Nawawi al-Bantani yang notabene lahir pada abad ke-
19.

Sedangkan Kitab-kitab yang lahir setelah abad ke-20, lebih dikenal dengan
istilah kitab muta’akhirah. Memang, ada beberapa kalangan yang tetap menyebutnya
sebagai kitab kuning, hanya saja bukan kitab kuning klasik, melainkan kitab kuning
modern.14 Kitab-kitab semacam ini lebih banyak digunakan di pesantren-pesantren
8 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta, PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2002). 950.
9 Zaini Dahlan, “Khazanah Kitab Kuning…”, 5.
10 Ibid., 4.
11 Martin Van Bruinessen, “Kitab Kuning…”
12 Muhammad Thoriqussu’ud, “Model-Model…” , 231.
13 Zaini Dahlan, “Khazanah Kitab Kuning…”, 5.
14 Ibid.

5
modern yang lebih berprioritas pada kitab-kitab karya ulama mutaakhirin, semisal
PM. Darussalam Gontor.15

Para pengarang dari kitab-kitab kuning ini digadang-gadang sebagai ulama


yang berkualifikasi ganda, Yaitu keilmuan yang mendalam dan hati yang senantiasa
bersinar dengan Cahaya Tuhan. Hal ini menyebabkan kitab kuning sebagai hal yang
sangat sakral. Kitab kuning dianggap hampir sempurna dan seakan tertutup dari
pemikiran-pemikiran kritis terhadapnya.16

Selain menjadi ciri khas dari sub-kultur bernama “pesantren”, kitab kuning
juga merupakan bahan ajar dan rujukan utama semua materi pembelajaran yang ada di
dalam pesantren itu sendiri. Kitab kuning dianggap sebagai suatu bentuk formulasi
final dari al-Quran dan Hadits yang lahir dari jemari terampil dan bercahaya sebab
keilmuan yang tinggi dan akhlak yang luhur.17 Dengan kata lain, kitab kuning ditulis
oleh ulama dengan modal keilmuan yang tinggi, dibarengi standar moral yang juga
dapat dipertanggungjawabkan.

Menggunakan kitab kuning sebagai referensi utama bukan berarti


mengabaikan al-Quran dan Hadits. Justru, sejatinya dengan mengamalkan apa yang
ada di dalam kitab kuning, sama saja telah mengamalkan ajaran keduanya. Kitab
kuning merupakan rumusan dan racikan para ulama dalam menggali teori dan ajaran-
ajaran yang sandarannya merupakan al-Quran dan Hadits. Kenyataan bahwa keduanya
merupakan wahyu dari Allah, justru menandakan bahwa al-Quran dan Hadits tidak
boleh sampai dipahami secara serampangan. Oleh karena itu, koridor paling aman
dalam implementasi dan pengamalan al-Quran dan Hadits itu sendiri adalah dengan
memahaminya menggunakan kacamata orang-orang yang memiliki pemahaman
mendalam serta hati yang bersih terhadap keduanya, yakni lewat kitab kuning. Karena
kitab kuning tak lain adalah penjelasan dan ejawantah, serta ketentuan hukum yang
berasal dari intisari al-Quran dan Hadits hasil perasan para mujtahid dari berbagai
cabang keilmuan dengan jemari emasnya.18

15 Haidar Putra Daulay, Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga pendidikan Islam di
Indonesia, (Yogyakarta: Cita Pustaka Media, 2007). 18.
16 Afandi Mochtar, kitab kuning dan tradisi akademik pesantren, (Bekasi, Pustaka Isfahan, 2008.) 21.
17 Diyan Yusri, “Pesantren Dan Kitab Kuning.” (Al-Ikhtibar: Jurnal Ilmu Pendidikan, vol. 6, no. 2, Jan. 2019),
651.
18 Zaini Dahlan, “Khazanah Kitab Kuning…”, 14-15.

6
Dengan begitu, maka otentisitas kitab kuning sudah tidak perlu dipertanyakan
lagi. Bahkan di kalangan pesantren, Kitab kuning nyaris menjadi jawaban dari seluruh
persoalan yang muncul dalam kehidupan terutama kehidupan beragama. Di samping,
kitab kuning yang juga merupakan mata rantai keilmuan yang sanadnya bersambung
hingga masa tabi’in, shahabat, bahkan sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Maka
tidak berlebihan jika dalam tradisi pesantren, kitab kuning dikatakan sebagai referensi
universal dari segala jenis permasalahan yang dihadapi. Apapun masalahnya, kitab
kuning lah solusinya. Seluas itulah khazanah kitab kuning dalam tradisi masyarakat
pesantren.

Dilihat dari bidang pembahasannya, kitab kuning terdiri dari kitab-kitab


nahwu, sharaf, fiqh, ushul fiqh, musthalahul hadits, tauhid, tasawuf, tafsir, tarikh dan
balaghah.19 Kitab nahwu membahas seluk-beluk kalimat, dan kitab sharaf membahas
asal usul kata, dan kitab fiqh membahas cara beribadah dan mu’amalah. Kitab ushul
fiqh membahas kaidah dan cara bagaimana hukum syariat ditetapkan. Kitab tauhid
dan tasawuf berbicara tentang ketuhanan. Kitab hadits berisi kumpulan hadits-hadits
rasulullah saw. tentang apa yang beliau katakan, lakukan, atau izinkan. Kitab
musthalahul hadits berisi ilmu untuk mengetahui kebenaran dan otentisitas suatu
hadits. Kitab balaghah mempelajari retorika bahasa arab, Kitab tarikh membahas
sejarah kenabian, sedangkan kitab tafsir memberikan penjelasan tentang ayat-ayat al-
quran.20

Di sisi lain, dari segi kedalaman pembahasannya, kitab kuning dikategorikan


menjadi matan, syarh, hasyiyah dan mukhtashar. Matan adalah karangan independen
seorang ulama berupa pembahasan dasar yang tidak mengacu kepada teks lain. Syarh
adalah karya yang berisikan komentar/tambahan penjelasan terhadap suatu matan.
Hasyiyah sendiri merupakan catatan kaki atau catatan tambahan dari suatu syarah,
dengan kata lain merupakan penjelasan dari penjelas. Sedangkan mukhtashar
merupakan ringkasan dari suatu karya yang lebih tebal, umumnya berisi penjelasan
yang diperpadat.21

Pada era sebelum menjamurnya percetakan di Indonesia, penyebaran kitab


kuning biasanya melalui saduran atau tulisan hasil catatan para santri ketika mengaji

19 Diyan Yusri, “Pesantren Dan Kitab Kuning…” 651.


20 Zaini Dahlan, “Khazanah Kitab Kuning…”, 10.
21 Ibid., 5-6.

7
kepada kiai mereka. Catatan-catatan inilah yang menjadi acuan para santri saat
menyetorkan hasil mengajinya. Kegiatan penyetoran ini biasa disebut dengan kegiatan
tashih.

Dalam pembelajaran kitab kuning, pesantren mempertahankan otentisitas


metode pengajarannya, terutama pada pesantren tradisional (Salaf) yang berpegang
teguh untuk tetap menggunakan sistem pengajaran tradisional pula. Umumnya,
pesantren-pesantren tradisional yang ada, menggunakan metode sorogan,
wetonan/bandungan,22 Musyawarah/Munadzarah, dan setoran hafalan.23

Sorogan, merupakan metode di mana santri menyetorkan bacaan dan


pemahamannya pada suatu kitab kepada kiai/seniornya. Metode pengajaran kitab
menggunakan sistem sorogan seringkali datang dari si santri sendiri. Biasanya santri
berinisiatif untuk mendalami suatu kitab dalam bidang ilmu tertentu. Karena itu,
metode ini bersifat individual, meskipun terkadang juga dilakukan secara bersama-
sama/berkelompok.24 Metode ini seringkali dilakukan oleh santri senior kepada Kiai,
dan oleh santri junior kepada santri senior.

25
Wetonan, juga dikenal dengan istilah bandungan, Merupakan metode
pengajaran yang juga sering ditemui di Pesantren tradisional. Sekelompok santri
berkumpul mendengarkan seorang guru membaca, menerjemahkan, menerangkan,
serta mengulas kitab-kitab berbahasa Arab yang dipelajari. Sekelompok santri tersebut
mendengarkan sambil membaca kitab masing-masing dan membuat catatan, baik arti
maupun keterangan tentang hal yang sukar dipahami. Sistem bandungan ini juga
disebut dengan halaqah (lingkaran murid).26

Menurut zamakhsyari, dalam pembacaan dan penerjemahan tersebut, para kiai


bukan hanya membaca dan menerjemahkan teks belaka, namun juga memberikan
pandangan-pandangan dan interpretasi pribadi, baik mengenai isi maupun bahasa dari
teks, yang artinya, para kiai tersebut juga memberikan komentar pribadi kepada teks
yang dibaca.27

22 Atsmarina Awanis. "Sistem Pendidikan Pesantren". (Cakrawala, Vol. 2 No. 2, 2018), 69.
23 Ahmad Syamsu Rizal. "Transformasi Corak Edukasi dalam Sistem Pendidikan Pesantren, dari Pola Tradisi
ke Pola Modern". (Ta'lim, Vol. 9 No. 2, 2011), 97.
24 Ibid., 104.
25 Atsmarina Awanis. "Sistem…”, 70.
26 Ibid.

8
Musyawarah, atau dikenal pula dengan sebutan Munadzarah adalah metode
pembelajaran kitab kuning dengan cara diskusi, yakni sebagai salah satu jalan
memecahkan permasalahan dengan jawaban yang mendekati kebenaran. Dalam
kegiatan diskusi, biasanya para santri bersama-sama memecahkan satu masalah atau
kasus yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Seringkali, kasus yang dimaksud
merupakan kasus/permasalahan dalam bidang fiqh. Dari diskusi ini, selain belajar
memecahkan suatu permasalahan, para santri juga akan belajar menghargai ragam
pendapat yang muncul dalam kegiatannya.

Selanjutnya adalah metode setoran hafalan. Hafalan seringkali digunakan


sebagai salah satu cara pemahaman menyangkut dasar-dasar pelajaran Agama Islam,
seperti Al-Quran, Tajwid, Nahwu dan Sharaf. Setoran biasanya bersifat individual,
dan tanpa penjelasan arti dan makna.28 Biasanya, metode ini diterapkan kepada kitab-
kitab yang berbentuk nadzom.

B. Kiai; Otoritas & Kepemimpinannya

Sosok kiai merupakan figur sentral di pesantren. Tidak ada pesantren tanpa
Kiai. “Kiai” sendiri adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang yang
mengasuh pesantren.29 Di beberapa daerah lain di Indonesia, bisa ditemukan beberapa
sebutan/gelar lain bagi kiai, misalnya “Teungku” di daerah Aceh, “Ajengan” di daerah
Sunda, “Buya” di daerah Sumatera, “Tofranrita” di daerah Makassar, atau “Tuan
Guru” di daerah Lombok.30

Di pesantren, sosok kiai merupakan tokoh utama yang sangat berperan penting
dalam hal keterlaksanaan sistem pendidikan pesantren sebagai lembaga pendidikan
Islam. Semua jenis keputusan dan kebijakan perihal manajemen pesantren tersebut
berada di tangan seorang kiai. Pengurus pesantren di sini hanyalah pelaksana tugas-
tugas yang berbau teknis yang merupakan implementasi dari kebijakan kiai itu sendiri.
Artinya, Kiai mengambil peran sebagai direktur, atau di kalangan pesantren, dikenal

27 Zamakhsyari Dhofier. “Tradisi pesantren: studi pandangan hidup kyai dan visinya mengenai masa depan
Indonesia”. (Indonesia, LP3ES, 2011). 51.
28 Ahmad Syamsu Rizal. "Transformasi Corak Edukasi…”, 106.
29 Ahmad Faris. "Kepemimpinan Kiai dalam Mengembangkan Pendidikan Pesantren". ('Anil Islam, Vol. 8 No.
1, Juni 2015), 136.
30 Ibnu Qoyim Ismail, “Kyai Penghulu Jawa: Peranannya di masa Kolonial.” (Jakarta Gema Insani Press,
1997), 75.

9
dengan sebutan pengasuh. Sehingga dari segi kepemimpinan, pesantren berpola secara
hirarkis serta sentralistik , yang pusatnya adalah Kiai.

Kiai seakan menjadi raja dari kerajaan kecilnya yang bernama “pesantren”.
Dalam kerajaannya, kiai memiliki kewenangan serta kekuasaan mutlak. Sehingga,
tidak seorang pun di dalam pesantren yang akan membantah keputusan sang kiai. Kiai
merupakan sosok yang harus dihormati, disegani, dan dipatuhi. Di sisi lain, para santri
juga meyakini bahwa kiai adalah sosok yang mumpuni, baik dalam hal keagamaan,
hingga manajemen pesantren itu sendiri.31 Adalah benar bahwa sebagian kiai
menyerahkan perihal manajemen dan kepengurusan pesantren kepada santri-santrinya,
yang dalam hal ini kemudian disebut dengan istilah “pengurus”. Namun keputusan
final tetap berada di tangan sang kiai. Mereka hanya bertugas untuk memberikan
pertimbangan-pertimbangan hasil diskusi dan musyawarah yang mereka lakukan.

Kiai dari pesantren besar, umumnya juga akan memiliki hubungan dengan
pesantren-pesantren kecil. Kiai-kiai besar akan mencetak kiai baru dari para santrinya.
Kiai yang lebih “kecil” ini akan menjadi pengayom di daerah-daerah asalnya dan akan
tetap berhubungan dengan gurunya, baik secara kultural maupun intelektual. 32 Dari
sinilah terbentuk suatu hubungan antar pesantren besar dan kecil, di mana pesantren
besar nantinya akan menampung santri dari pesantren-pesantren kecil dan pesantren
kecil akan bergantung kepada pesantren besar untuk mencetak kiai-kiai ataupun ustaz-
ustaz muda yang nantinya akan menjadi tenaga pengajar di sana.

Max Weber menyebutkan bahwa setidaknya ada 3 tipe otoritas yang mungkin
dimiliki oleh seorang pemimpin pesantren, yakni: Kharismatik, Tradisional, dan
Rasional (legal).33

Seringkali, otoritas yang dimiliki seorang kiai sangat berkaitan erat dengan
kharisma yang dimilikinya. Kharisma ini terkadang muncul baik dari luasnya
pengetahuan yang dimiliki, ataupun dari kepribadiannya. Dengan kharisma ini, Kiai
bisa dengan bebas melakukan perubahan-perubahan yang dianggap perlu, baik
terhadap pesantren maupun terhadap lingkungannya sendiri.

31 Mohammad Muchlis Solichin, “Interrelation Kiai Authorities, Curriculum and Learning Culture in
Pesantren Indonesia.” (TARBIYA: Journal of Education in Muslim Society, vol. 5, no. 1, Oct. 2018), 93.
32 Zamakhsyari Dhofier. “Tradisi pesantren…”, 56
33 Lebih lanjut, baca: Max Weber, “Sosiologi.” (Yogyakarta: 2009. Pustaka Pelajar).

10
Di sisi lain, otoritas ini juga menjadi tanggung jawab kepada sosok kiai itu
sendiri. Dengan sosok dirinya yang penuh kharisma, digugu dan ditiru oleh santri-
santri dan masyarakat sekitar, maka kewajibannya untuk menjadi uswatun hasanah
juga semakin meningkat. Di sisi lain, sebagai mukmin yang baik, seorang kiai juga
dituntut untuk terus menegakkan amr ma’ruf nahi munkar. Oleh sebab itu, dalam
menjalankan kepemimpinannya, terkadang kiai menggunakan pengganti (badal)
dalam mengajari para santri. Umumnya, badal ini merupakan kerabat dari kiai
tersebut, semisal saudara, keponakan, atau menantunya.34

Kepemimpinan berdasarkan kharisma semacam ini memiliki kelemahan besar,


terutama dalam hal suksesi. Suksesi kepemimpinan dalam pesantren biasanya tidak
akan terjadi hingga kiainya wafat. Kekhawatiran akan penerusnya yang ditakutkan
tidak mampu meneruskan perjuangan dan kharisma yang dimiliki ayahnya menjadi
teror tersendiri dalam keberlangsungan suatu pesantren. Sehingga tidak jarang,
kemunduran suatu pesantren terjadi karena ketidakmampuan sang penerus kiai dalam
menakhodainya. Oleh karena itu, biasanya para kiai akan mengayomi dan mendidik
putra-putranya agar siap untuk menggantikan dirinya ketika wafat. Umumnya,
pengganti kiai adalah putranya sendiri. Namun, jika kiai tersebut tidak memiliki
keturunan, maka yang akan menjadi penerus adalah menantunya.

Dalam menjadi pemimpin pesantren, kiai mempunyai model, pola, dan strategi
kepemimpinan yang berbeda-beda. Pola-pola ini beragam dan biasanya tidak persis
sama antara satu pesantren dengan yang lain. Mengacu pada temuan penelitian di
Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo dan Pondok Pesantren Gontor tentang pola
kepemimpinan kiai ternyata sangat variatif dan memiliki karakteristik tersendiri,
35
yakni: 1) Kharismatik, 2) Paternalistik, 3) Kolegial, 4) Demokratis, 5) Manajerial,
6) Pseudo-demokratis, dan 7) Transformatif. Meski demikian, implementasi dari pola-
pola tersebut tidaklah tunggal, tapi bisa jadi dua atau tiga pola sekaligus dalam kurun
waktu kepemimpinan seorang kiai.

Dari berbagai kategorisasi pola yang telah disebutkan di atas, penulis


menganggap kepemimpinan di pesantren dapat digeneralisasi menjadi dua, yakni pola
kepemimpinan individual, dan pola kepemimpinan kolektif.

34 Mohammad Muchlis Solichin, “Interrelation Kiai Authorities…”, 94.


35 Mahfudz Sidiq. "Pergeseran Pola Kepemimpinan Kiai dalam Mengembangkan Lembaga Pesantren".
(Falasifa, Vol. 11 No. 1, Maret 2020), 150.

11
1. Pola Kepemimpinan Individual

Di pesantren-pesantren salaf, para kiai cenderung menggunakan pola


kepemimpinan individual. Pola Kepemimpinan semacam ini sangat kental dengan
pengaruh kharisma yang dimiliki sosok kiai. Model kepemimpinan ini terbukti
berhasil di kalangan pesantren salaf dikarenakan kewibawaan kiai yang muncul
dari keahliannya dalam bidang agama.36 Di mana selaku pengasuh, kiai
menggunakan kekuatan kharismatiknya untuk menjalin hubungan dengan
bawahannya. Sehingga hubungan yang terbentuk dengan pengurus pesantren
terjadi secara kultural alih-alih struktural.

Ketergantungan pola kepemimpinan ini kepada kiai tampaknya teramat


besar. oleh karena itu, tak jarang gerak laju pesantren juga sangat bergantung
pada kehendak sang kiai. Hal ini akan menjadi sangat riskan apabila karakter
kiainya tertutup. Artinya, konstruk pemahaman seorang pengasuh pondok
pesantren merupakan poros utama yang menentukan ke arah mana, dan juga
seperti apa lembaga itu akan dibentuk dan dibawa. Maka tidak heran jika banyak
peneliti cenderung berpandangan negatif terhadap pola kepemimpinan semacam
ini, karena dianggap sebagai ancaman eksistensi pesantren di kemudian hari.

Dalam banyak kasus, kepemimpinan individual ini telah berlangsung


dalam kurun waktu yang sangat lama di kalangan pesantren. bahkan sejak
berdirinya pertama hingga sekarang.37 Kelemahan pola kepemimpinan ini terletak
pada manajemennya yang serba tidak formal. sehingga berakibat pada masalah
penerus tampuk kepemimpinan ketika ditinggal oleh kiai pendirinya. Terkadang
karena kurangnya kemampuan sang anak dalam meneruskan kepemimpinan
ayahnya, baik dari segi ilmu keislaman maupun pengelolaan kelembagaan.38

Namun dalam perjalanannya, pola kepemimpinan ini seringkali


bertransformasi seiring meningkatnya kesadaran serta respons berbagai pesantren
tradisional dalam menyikapi arus modernisasi yang semakin deras. Mahfudz
mengungkapkan, dalam temuannya di sukorejo dan gontor yang notabene adalah

36 Ahmad Faris. "Kepemimpinan Kiai dalam…”, 136.; mengutip Pradjirta Dirdjosanjoto, “Memelihara Umat:
Kiai pesantren-Kiai Langgar di Jawa” ( Yogyakarta: LKiS, 2013), 155.
37 Muhammad Ramli. "Manajemen dan Kepemimpinan Pesantren: Dinamika Kepemimpinan Kiai di
Pesantren". (Al Falah, Vol. 17 No. 32, 2017), 146.
38 Ibid., 147.

12
pesantren semi-modern, kedua pesantren tersebut memiliki pola kepemimpinan
individualis-berbasis yayasan, sambil menjaga dan mempertahankan keturunan. 39
Artinya, pola kepemimpinan di pesantren bisa berubah mengikuti transformasinya
dari tradisional menuju modern.

Lebih lanjut, Ahmad Faris menerjemahkan pola kepemimpinan


individualis-berbasis yayasan ini dengan istilah kharismatik-transformatif. 40 Di
mana menurutnya, pola kepemimpinan seperti ini lebih mudah untuk dilakukan
seorang kiai karena sosoknya yang memang berkharisma. Di samping fakta
bahwa kebanyakan pesantren memang berdiri berkat gotong-royong dan swadaya
dari masyarakat. Yang artinya, memimpin dan mengurusi pesantren harus
berangkat dari semangat pengabdian.

2. Pola Kepemimpinan Kolektif

Di sisi lain, pola kepemimpinan kiai di pesantren-pesantren modern


mengadopsi pola kepemimpinan kolektif (atau kadang disebut kolektif-yayasan).
Ahmad Faris, memaknai pola kepemimpinan semacam ini dengan istilah
kepemimpinan transaksional.41 Kepemimpinan kolektif ini identik dengan
terbentuknya yayasan di pesantren tersebut. Pola kepemimpinan semacam ini
merupakan pergeseran dari pola kepemimpinan individual yang menitikberatkan
semua tugas dan kebijakan pada kiai semata. Pergeseran tersebut, di antaranya
tampak dalam hal yang menyangkut kewenangan kiai serta partisipasi para ustadz
dan santri dalam mengambil keputusan.

Pola kepemimpinan kolektif ini dianggap sebagai jawaban serta solusi


strategis seorang kiai dalam menjalankan kepemimpinannya. Beban
kepemimpinan yang semula dipikul sendiri oleh kiai, menjadi lebih ringan karena
ditangani oleh banyak tangan sesuai posisi dan tanggung jawab di bidang masing-
masing. Perubahan yang paling tampak dalam pola ini dibandingkan dengan pola
kepemimpinan individual terletak pada otoritas kiai yang awalnya memiliki
kendali penuh atas segala kebijakan dan pengambilan keputusan di seluruh lini
keberlangsungan pesantren menjadi perkara yang ditangani bersama sebagai

39 Mahfudz Sidiq. "Pergeseran Pola…”, 153.


40 Ahmad Faris. "Kepemimpinan Kiai dalam…”, 138.
41 Ibid., 137.

13
sebuah yayasan. Meskipun pada akhirnya peran seorang kiai masihlah lebih
dominan.42 Secara Legal formal, kiai tidak lagi berkuasa mutlak. Wewenang
mutlak harus dikonversi menjadi wewenang kolektif sebagai hak yayasan.
Ketentuan yang menyangkut pendidikan merupakan konsensus semua pihak.43

Masalah kepenerusan juga tidak menjadi problem dalam pola ini. Karena
melalui kepemimpinan ini, sistem suksesi tidak didasarkan pada genealogi,
melainkan pada profesionalisme.44 Sehingga jika ada kader lain selain keturunan
kiai yang dianggap memiliki bakat dan potensi, maka bisa tetap dipilih sebagai
kader penerus kepemimpinan. Baik itu di lembaga naungan di bawahnya atau
bahkan di yayasan pesantren itu sendiri.

Salah satu kriteria yang harus dipenuhi seorang kiai dalam menjalankan
pola kepemimpinan ini ialah keahlian yang mumpuni dalam bidang manajemen.
Sehingga, realisasi sasaran, tujuan, visi, serta misi pesantren dapat diwujudkan
dengan baik dan berjalan lancar sesuai rencana awal. Karena berbeda dengan
kepemimpinan individual, dalam kepemimpinan kolektif terdapat distribusi tugas
yang jelas juga merata. Semua pihak memiliki pekerjaan sesuai tanggung jawab
masing-masing yang memiliki keterkaitan secara hirarki dan fungsional sehingga
terbentuklah mekanisme sistemik. Dengan kata lain, antara tugas satu sama lain
tidak dapat dipisah sama sekali. Karena itulah, penerapan manajemen yang rapi
dan tertata adalah hal yang wajib dilakukan oleh berbagai elemen dalam
pesantren.

C. Korelasi Otoritas Kiai dan Kitab Kuning di Pesantren

Sebelum membahas lebih jauh, perlu diketahui sebelumnya tentang interaksi


guru-murid, dan sumber pembelajaran dalam pesantren, yakni: 451) Kiai sebagai guru
harus dipatuhi secara mutlak, dihormati dan dianggap dapat memberikan berkah; 2)
Dalam memperoleh ilmu, tidak semata-mata karena ketajaman akal, metode, dan
kesungguhan berusaha seorang santri. Kesucian jiwa, restu, dan berkah kiai serta
tirakat-tirakat keagamaan seperti puasa, riyadhah dan doa seorang santri juga tak kalah
42 Rahma Nuriyal Anwar. "Pola Keberhasilan Kepemimpinan Kiai di Pondok Pesantren (Literarure Review)".
(Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 11 No. 2, 2021), 184.
43 Mujamil Qomar, “Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi.” (Jakarta:
Erlangga, 2004), 46.
44 Muhammad Ramli. "Manajemen dan Kepemimpinan…”, 151.
45 Mastuhu, “Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren.” (Jakarta: INIS.)

14
penting; 3) Kitab merupakan guru tersabar dan tak pernah marah. Maka dari itu, kitab
harus juga dihormati dan dihargai jasanya.; 4) Transmisi secara lisan dari kiai bernilai
penting. Kendatipun santri sudah mampu mendalami kitab sendiri.

Dengan dasar pemahaman terhadap tradisi pembelajaran di pesantren seperti di


atas, maka dapat disimpulkan bahwa proses transmisi keilmuan serta ekstraksi
pemahaman dari kitab kuning tidak dapat dilepaskan dari peran kiai. Selain karena
pentingnya penyampaian langsung dari kiai, juga karena adanya keyakinan terhadap
keberkahan yang salah satunya berasal dari kiai. Kesuksesan dalam memperoleh ilmu
tidak semata-mata karena tekun dan giat dalam belajar, namun juga karena tirakat dan
kerelaan dari guru yakni sang kiai.

Bahkan, menurut Azra, lahirnya peradaban agung, tak lain merupakan barakah
dari sosok kiai yang tak lelahnya membangun pesantren, mengembangkan
masyarakat, dan merawat tradisi keilmuan yang berkesinambungan dari satu generasi
ke yang lain, yakni dengan transmisi pembelajaran kitab kuning. 46 Melalui kitab
kuning yang merupakan ciri khas pendidikan pesantren, para kiai dapat
menggerakkan, atau bahkan mengendalikan laju perubahan zaman. Belum lagi dengan
otoritas mereka yang nyaris absolut.

Sebagai figur sentral, keberlangsungan kegiatan pendidikan di suatu pesantren


bergantung penuh kepada kewenangan kiainya, hal ini mencakup hingga dalam semua
bidang, termasuk bidang kurikulum pendidikan. Dengan otoritasnya, kiai sebagai
pemimpin pesantren juga memiliki kendali penuh terhadap kurikulum yang hendak
dipakai sebagai acuan di pesantrennya. Para kiai memiliki otoritas untuk menentukan
kitab-kitab atau karya ulama mana saja yang dipandang cocok dengan kondisi
lingkungan santri dan pesantren yang diasuh. Pada umumnya, kiai sebagai sosok
pemimpin di pesantren akan memilih karya-karya yang berideologi ahlussunnah wal
jamaah.

Beberapa kitab yang biasa dipakai di dalam pesantren berisikan anjuran supaya
santri menghormati dan memuliakan kiainya. Hal-hal ini dapat ditemukan di kitab-
kitab akhlak semisal Ayyuhal Walad karya Imam Al-Ghazali dan juga Ta’limul
Muta’allim karya Imam Az-Zarnuji. Di dalamnya diajarkan bahwa seorang murid
harus bersikap tawadhu’ di hadapan guru, mematuhi perintah, dan tidak berdebat
46 Azyumardi Azra, “Jaringan Ulama Timur Tengah”. (Prenada Media, 2013.)

15
dengannya. Ajaran-ajaran seperti inilah yang memunculkan norma-norma yang pada
akhirnya akan mempengaruhi para santri di tengah proses belajar mereka. Norma-
norma inilah yang memberikan legitimasi terhadap otoritas kepemimpinan seorang
kiai. 47

Selain itu, kerap kali kutipan-kutipan dari perkataan para ulama tentang
kepatuhan dan penghormatan kuat yang dimiliki seorang santri kepada gurunya
disampaikan di tengah-tengah proses transmisi keilmuan. Salah satunya misal,
perkataan sahabat, Ali bin Abi Thalib:

‫أنا عبد من علمني ولو حرفا واحدا‬

Artinya: “Aku adalah hamba atau budak bagi siapapun yang mengajarkan
ilmu kepadaku, walau hanya satu huruf.”

Maka jelaslah, bahwa kiai dan kitab kuning memiliki kait kelindan yang
istimewa. Keduanya merupakan pilar pesantren yang kokoh dan saling menopang satu
sama lain. Ada simbiosis mutualisme yang berlangsung di antara keduanya. Tidak
berlebihan rasanya, jika mengatakan bahwa keduanya merupakan dua sisi koin yang
tak mungkin dipisahkan. Di satu sisi, Kiai, dengan otoritasnya akan selalu siap untuk
melestarikan khazanah dan tradisi kitab kuning di pesantren. Sedangkan di sisi lain,
kitab kuning juga memastikan untuk ikut berperan dalam menjaga otoritas tersebut
tetap berada di tangan yang tepat.

47 Mohammad Muchlis Solichin, “Interrelation Kiai Authorities…”, 95.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

● Kitab kuning adalah karya-karya keagamaan yang ditulis menggunakan aksara


Arab dan berbahasa Arab, Jawa, Melayu, ataupun bahasa-bahasa daerah lain yang
ada di Indonesia. Sebagian besar peneliti mengemukakan bahwa penamaan kitab
kuning mengacu pada kitab-kitab klasik yang kebanyakan dicetak di atas kertas
berwarna kuning, meskipun belakangan ini banyak pula yang sudah dicetak
dengan menggunakan kertas putih. Selain “kitab kuning”, ada beberapa istilah
lain yang dipakai untuk menyebut kitab-kitab ini. Sebagian di antaranya adalah
kitab klasik, kitab kuno, dan juga kitab Turats. Kitab kuning juga terkenal di
kalangan santri dengan sebutan “kitab gundul”. Hampir semua kitab kuning
ditulis tanpa mencantumkan harakat ataupun syakal.

● Sosok kiai merupakan figur sentral di pesantren. Tidak ada pesantren tanpa Kiai.
“Kiai” sendiri adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang yang
mengasuh pesantren. Sosok kiai merupakan tokoh utama yang sangat berperan
penting dalam hal keterlaksanaan sistem pendidikan pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam. Semua jenis keputusan dan kebijakan perihal manajemen
pesantren tersebut berada di tangan seorang kiai. Kiai seakan menjadi raja dari
kerajaan kecilnya yang bernama “pesantren”. Dalam kerajaannya, kiai memiliki
kewenangan serta kekuasaan mutlak. Sehingga, tidak seorang pun di dalam
pesantren yang akan membantah keputusan sang kiai. Kiai merupakan sosok yang
harus dihormati, disegani, dan dipatuhi.

● Kiai dan kitab kuning memiliki kait kelindan yang istimewa. Keduanya
merupakan pilar pesantren yang kokoh dan saling menopang satu sama lain. Ada
simbiosis mutualisme yang berlangsung di antara keduanya. Tidak berlebihan
rasanya, jika mengatakan bahwa keduanya merupakan dua sisi koin yang tak
mungkin dipisahkan. Di satu sisi, Kiai, dengan otoritasnya akan selalu siap untuk
melestarikan khazanah dan tradisi kitab kuning di pesantren. Sedangkan di sisi
lain, kitab kuning juga memastikan untuk ikut berperan dalam menjaga otoritas
tersebut tetap berada di tangan yang tepat.

17
DAFTAR PUSTAKA

Adib, Abdul. “Metode Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren.” (JURNAL


MUBTADIIN, vol. 7, no. 01, June 2021)

Ansori, and Abu Khaer. “Modalitas Kepemimpinan Kiai Dalam Membentuk Ummatan
Wasathan (Ummat Moderat).” (Aafiyah: Jurnal Multidisiplin Ilmu, vol. 1, no. 01, Sept.
2023)
Anwar, Rahma Nuriyal. "Pola Keberhasilan Kepemimpinan Kiai di Pondok Pesantren
(Literature Review)". (Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 11 No. 2, 2021)

Awanis, Atsmarina. "Sistem Pendidikan Pesantren". (Cakrawala, Vol. 2 No. 2, 2018)

Azra, Azyumardi. “Jaringan Ulama Timur Tengah”. (Prenada Media, 2013.)

Bruinessen, Martin Van. “Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat.” (Bandung: Mizan, Cet. III,
1999)

Dahlan, Abdul Aziz. “Ensiklopedi Hukum Islam.” (Jakarta, PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve,
2002)

Dahlan, Zaini. “Khazanah Kitab Kuning: Membangun Sebuah Apresiasi Kritis.” (ANSIRU
PAI : Pengembangan Profesi Guru Pendidikan Agama Islam, vol. 2, no. 1, May 2018)

Daulay, Haidar Putra. “Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga


pendidikan Islam di Indonesia.” (Yogyakarta: Cita Pustaka Media, 2007)
Dhofier, Zamakhsyari. “Tradisi pesantren: studi pandangan hidup kyai dan visinya
mengenai masa depan Indonesia”. (Indonesia, LP3ES, 2011).

Faris, Ahmad. "Kepemimpinan Kiai dalam Mengembangkan Pendidikan Pesantren".


('Anil Islam, Vol. 8 No. 1, Juni 2015)

Mastuhu, “Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren.” (Jakarta: INIS.)

Muqoyyidin, Andik Wahyun. “Kitab Kuning Dan Tradisi Riset Pesantren Di Nusantara.”
(IBDA` : Jurnal Kajian Islam Dan Budaya, vol. 12, no. 2, Jan. 1970)

Qomar, Mujamil. “Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi


Institusi.” (Jakarta: Erlangga, 2004)
Ramli, Muhammad. "Manajemen dan Kepemimpinan Pesantren: Dinamika
Kepemimpinan Kiai di Pesantren". (Al Falah, Vol. 17 No. 32, 2017)

Rizal, Ahmad Syamsu. "Transformasi Corak Edukasi dalam Sistem Pendidikan


Pesantren, dari Pola Tradisi ke Pola Modern". (Ta'lim, Vol. 9 No. 2, 2011)

Shofi, Ibnu, dan Talkah. “Analisis Teori Otoritas Max Webber Dalam Kepemimpinan
Multikultural Kiai Sholeh Bahruddin Ngalah (Studi Kepemimpinan Multikultural Di

18
Pondok Pesantren Ngalah Pasuruan).” (Jurnal Kependidikan Islam, vol. 11, no. 1, June
2021)
Sidiq, Mahfudz. "Pergeseran Pola Kepemimpinan Kiai dalam Mengembangkan
Lembaga Pesantren". (Falasifa, Vol. 11 No. 1, Maret 2020)

Solichin, Mohammad Muchlis. “Interrelation Kiai Authorities, Curriculum and Learning


Culture in Pesantren Indonesia.” (TARBIYA: Journal of Education in Muslim Society,
vol. 5, no. 1, Oct. 2018)

Thoriqussu’ud, Muhammad. “Model-Model Pengembangan Kajian Kitab Kuning Di Pondok


Pesantren.” (Jurnal Ilmu Tarbiyah “At-Tajdid,” vol. 1, no. 2, July 2012)
Usman, Muhammad Idris. "Pesantren sebagai lembaga pendidikan islam." (Al Hikmah,
Vol. 14 No. 1, 2013)
Weber, Max. “Sosiologi.” (Yogyakarta: 2009. Pustaka Pelajar)

Yusri, Diyan. “Pesantren Dan Kitab Kuning.” (Al-Ikhtibar: Jurnal Ilmu Pendidikan, vol. 6,
no. 2, Jan. 2019)

19

Anda mungkin juga menyukai