Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH STUDI ISLAM

ASPEK POLITIK DAN KELEMBAGAAN ISLAM

Disusun Oleh :

1. Nazwa Putri Aulia ( 11230162000019 )


2. Nurul Hani Novitasari ( 11230162000020 )

Dosen Pengampu :

DR. Zulkifli M.A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
2023
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemikiran politik dapat didefinisikan dengan melihat masalah-masalah dan


topik masalah tersebut, yaitu maam pemikiran yang bertujuan untuk memberika
solusi atas masalah-masalah yang ditimbulkan oleh “masyarakat politik”. Suatu
masyarakat bisa dikatakan sebagai masyarakat politik jika ia mempunyai lembaga
kekuasaan yang khusus, yang dapat menetapkan hukum dan undang-undang, yang
ia buat atau ia adopsi, yang mengatur perilaku masyarakat. Kemudian hukum
undang-undang itu, ia aplikasikan kepada masyarakat dan memaksa mereka untuk
mematuhinya. Lalu undang-undang itu dipatuhi secara umum oleh masyarakat
dan diakui mempunyai kekuatan dan diakui mempunyai kekuatan dengan sukarela
atau terpaksa, juga ia diakui sebagai kekuasaan tertinggi dalam masyarakat itu dan
yang dapat memberikan hukum material. Sedangkan, menurut kamus Littre (1870)
“politik adalah seni memerintah dan mengatur negara”.1

Dan kamus Robert (1962) mendefinisikannya sebagai, “politik adalah seni


memmerintah dan mengatur masyarakat manusia”. Namun, definisi modern
mencakup pengaturan negara dan mengatur pola kemasyarakatan manusia,
sehingga kata “memerintah dan mengatur” itu, saat itu berarti dalam seluruh
masyarakat adalah kekuasaan yang terorganisasi serta lembaga-lembaga
kepemimpinan dan pemilik kekuasaan penekanan.2

1
Dr. Tijani Abd. Qadir Hamid, Pemikiran Politik dalam Alquran, (Jakarta: Gema Insani, 2001),
hlm 3.

2
Ibid.
Dalam bahasa politik islam, siyasah cenderung diartikan sebagai tipu daya,
meskipun bisa digunakan secara berbeda. Hal ini sebagaimanadakui oleh Ibn al-
Furrat, “Dasar dari pemerintahan adalah tipu daya” Kata siyasah (politik) dalam
bahasa Arab seringkali diposisikan sebagai lawan dari syari’ah yaitu jenis
yurisdiksi seperti hukum bunuh yang diberlakukan atas dasar selera penguasa
yang jauh dari nilai-nilai keadilan. Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan siyasah
sebagai pengelolaan masalah umum bagi negara bernuasa islam yang menjamin
terealisasinya kemaslahatan dan terhindar dari kemudharatan dengan tidak
melanggar ketetntuan syariat. Dalam buku As-siyasah Al-Hakimah, sebagaimana
dinukil oleh Abdul Hamid Al-Ghazali dalam bukunya yang berjudul “ Pilar – pilar
Kebangkitan Umat” dijelaskan bahwa Ibnu Qayyim mendefinisikan Politik adalah
semua aktivitas yang mendekatkan manusia kepada kemaslahatan dan
menjauhkan dari kerusakan, meskipun tidak pernah ditegaskan oleh Rasul dan
tidak pernah disinggung oleh wahyu yang diturunkan, karena semua jalan yang
bisa mengantarkan kepada keadilan, maka jalan itu adalah bagian dari agama
islam.3

Istilah kelembagaan memiliki penekanan pada kelima aspek berikut.


Pertama, kelembagaan berkenaan dengan neustu yang permanen. In menjadi
permanen, karena dipandang rasional dan disadari kebutuhannya dalam kehidupan.
Suatu porma dan tata cara yang bersifat tetap tersebut berada dalam suatu
kelembagaan. Kedua berkaitan dengan hal-hal yang abstrak yang menentukan
perilaku.4 Seperti yang teleh disampaikan oleh Gillin, la mendefinisikan
kelembagaan dalam cultural concept sebagai : “A Social institution is a functional
configuration of cultural patterns (including actions, ideas, attitudes, and cultural
aquipment) wich possesses a certain permanence and which is intended to satisfy
felt social need”5 ( dalam Soemardjan dan Soemardi, 1964: 67).

3
Dr. Zulkifli, M.A., Pengantar Studi Islam, (Tangerang: UWAN, 2016), hlm. 129-130.

4
Ibid., hlm. 145.

5
Soemardjan, Selo dan Solaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi (Kumpulan Tulisan),
(Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005)
Ketiga, berkaitan dengan perilaku, atau seperangkat mores (tata kelakuan),
atau cara bertindak yang mantap yang berjalan di masyarakat (establish way of
behaving). Perilaku yang terpola merupakan kunci keteraturan hidup. Keempat,
kelembagaan juga menekankan kepada perilaku yang disetujui dan memiliki
sanksi. Kelima, kelembagaan merupakan cara-cara yang standar untuk
memecahkan masalah. Dari kelima tekanan pengertian di atas terlihat bahwa
'kelembagaan' memiliki perhatian utama kepada perilaku yang berpola dimana
sebagian besar datang norma-norma yang dianut. Kelembagaan berpusat pada
sekitar tujuan-tujuan, nilai atau kebutuhan sosial yang utama. Lebih jauh,
kelembagaan menekankan kepada suatu prosedur, suatu kepastian, dan panduan
untuk melakukan sesuatu.6

Lembaga Islam adalah sistem norma yang didasarkan pada ajaran Islam,
yang sengaja diadakan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam yang sangat
beragam mengikuti perkembangan zaman.7 Lembaga islam memiliki beberapa
fungsi, yakni memberikan pedoman pada anggota masyarakat muslim tentang
bagaimana mereka harus bersikap dlaam menghadapi berbagai masalah yang
timbul dan berkembang di masyarakat, terutama kebutuhan yang menyangkut
kebutuhan pokok; memberikan pegangan kepada masyarakat bersangkutan dalam
melakukan pengendalian sosial menurut sistem tertentu yaitu sistem pengawasan
tingkah laku para anggotanya; dan menjaga keutuhan masyarakat. Dari beberapa
fungsi yang melekat pada lembaga sosial diatas, jelas bahwa apabila seorang
hendak mempelajari dan memahami masyarakat tertentu, maka ia harus
memperhatikan dengan seksama lembaga yang terdapat dalam masyarakat yang
bersangkutan.8

6
Dr. Zulkifli, M.A., Pengantar Studi Islam, (Tangerang: UWAN, 2016), hlm. 146-147.

7
Ibid., hlm. 147-148.

8
Ibid., hlm. 148-149.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan yang
menjadi fokus pembahasan pada makalah ini, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan politik dan politik islam?
2. Bagaimanakah sejarah yang terjadi dalam politik islam?
3. Bagaimana prinsip-prinsip politik islam?
4. Mengapa terdapat hak-hak politik perempuan dan kaum non muslim?
5. Bagaimanakah definisi kelembagaan dengan menggunakan penekanan lima
aspek?
6. Apa saja fungsi-fungsi lembaga islam?
7. Berapakah jenis-jenis kelembagaan islam?

1.3. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui,
mengkaji, dan menjelaskan tentang:
1. Definisi atau pengertian dari politik dan politik islam.
2. Sejarah yang terjadi dalam politik islam.
3. Prinsip-prinsip politik islam.
4. Hak-hak politik perempuan dan kaum non muslim.
5. Definisi kelembagaan menurut pandangan umum dan kelembagaan islam
menurut penekanan lima aspek.
6. Fungsi-fungsi lembaga islam.
7. Jenia-jenia kelembagaan islam.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Politik dan Politik Islam

Pemikiran politik dapat didefinisikan dengan melihat masalah-masalah dan


topik masalah tersebut, yaitu maam pemikiran yang bertujuan untuk memberika
solusi atas masalah-masalah yang ditimbulkan oleh “masyarakat politik”. Suatu
masyarakat bisa dikatakan sebagai masyarakat politik jika ia mempunyai lembaga
kekuasaan yang khusus, yang dapat menetapkan hukum dan undang-undang, yang
ia buat atau ia adopsi, yang mengatur perilaku masyarakat. 9

Kemudian hukum undang-undang itu, ia aplikasikan kepada masyarakat


dan memaksa mereka untuk mematuhinya. Lalu undang-undang itu dipatuhi
secara umum oleh masyarakat dan diakui mempunyai kekuatan dan diakui
mempunyai kekuatan dengan sukarela atau terpaksa, juga ia diakui sebagai
kekuasaan tertinggi dalam masyarakat itu dan yang dapat memberikan hukum
material. Sedangkan, menurut kamus Littre (1870) “politik adalah seni
memerintah dan mengatur negara”.10

Dan kamus Robert (1962) mendefinisikannya sebagai, “politik adalah seni


memmerintah dan mengatur masyarakat manusia”. Namun, definisi modern
mencakup pengaturan negara dan mengatur pola kemasyarakatan manusia,
sehingga kata “memerintah dan mengatur” itu, saat itu berarti dalam seluruh
masyarakat adalah kekuasaan yang terorganisasi serta lembaga-lembaga
kepemimpinan dan pemilik kekuasaan penekanan.11

9
Dr. Tijani Abd. Qadir Hamid, Loc. Cit.

10
Ibid.

11
Ibid.
Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan siyasah sebagai pengelolaan
masalah umum bagi Negara bernuansa Islam menjamin terealisasinya
kemaslahatan dan terhindar dari kemudharatan dengan tidak melanggar ketentuan
syariat. Selanjutnya dalam buku As-Siyasah Al-Hakimah, sebagaimana dinukil
oleh Abdul Hamid Al-Ghazali dalam bukunya yang berjudul "Pilar-pilar
Kebangkitan Umat" dijelaskan bahwa Ibnu Qayyim mendefinisikan politik adalah
semua aktivitas yang mendekatkan manusia kepada kemaslahatan dan
menjauhkan dari kerusakan, meskipun tidak pernah ditegaskan oleh Rasul dan
tidak pernah disinggung oleh wahyu yang diturunkan karena semua jalan yang
bisa mengantarkan kepada keadilan, maka jalan itu adalah bagian dari agama
Islam.12

Fiqh Siyasah dalam konteks terjemahan diartikan sebagai yang membahas


mengenai ketatanegaraan Islam (Politik materi Islam). Secara bahasa Fiqh adalah
mengetahui hukum-hukum Islam yang bersifat amali melalui dalil-dalil yang
terperinci. Sedangkan Siyasah adalah pemerintahan, pengambilan keputusan,
pembuatan kebijaksanaan, pengurusan, dan pengawasan. Sedangkan Ibn Al-
Qayyim mengartikan Fiqh Siyasah adalah segala perbuatan yang membawa
manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemudharatan, serta
sekalipun Rasullah tidak menetapkannya dan bahkan Allah menetapkannya pula.
Dan Fiqh Siyasah ini menurut Pulungan (2002, hal:39) terbagi menjadi empat
bagian, yaitu:
1. Siyasah Dusturiyah
Siyasah Dusturiyah menurut tata bahasanya terdiri dari dua suku kata yaitu
Siyasah itu sendiri serta Dusturiyah. Arti Siyasah dapat kita lihat di pembahasan
diatas, sedangkan Dusturiyah adalah undang-undang atau peraturan. Secara
pengertian umum Siyasah Dusturiyah adalah keputusan kepala negara dalam
mengambil keputusan atau undang-undang bagi kemaslahatan umat.13

12
Dr. Zulkifli, M.A., Loc. Cit.

13
Dr. Zulkifli, M.A., Pengantar Studi Islam, (Tangerang: UWAN, 2016), hlm. 130-131.
2. Siyasah Maliyah
Arti kata Maliyah bermakna harta benda, kekayaan, dan harta. Oleh karena
itu Siyasah Maliyah secara umum yaitu pemerintahan yang mengatur mengenai
keuangan negara. Djazuli (2003) mengatakan bahwa Siyasah Maliyah adalah hak
dan kewajiban kepala negara untuk mengatur dan mengurus keungan negara guna
kepentingan warga negaranya serta kemaslahatan umat. Lain halnya dengan
Pulungan (2002, hal:40) yang mengatak bahwa Siyasah Maliyah meliputi hal-hal
yang menyangkut harta benda negara (kas negara), pajak, serta Baitul Mal.14

3. Siyasah Dauliyah
Dauliyah bermakna tentang daulat, kerajaan, kekuasaan, wewenang, serta
kekuasaan. Sedangkan Siyasah Dauliyah bermakna sebagai kekuasaan kepala
negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan internasional, masalh
territorial, nasionalitas, ekstradisi tahanan, pengasingan tawanan politik,
pengusiran warga negara asing. Selain itu juga mengurusi masalah kaum Dzimi,
perbedaan agama, akad timbal balik dan sepihak dengan kaum Dzimi, hudud, dan
qishash (Pulungan, 2002. hal:41).15

4. Siyasah Harbiyah
Harbiyah bermakna perang, secara kamus Harbiyah adalah perang,
keadaan darurat atau genting. Sedangkan makna Siyasah Harbiyah adalah
wewenang atau kekuasaan serta peraturan pemerintah dalam keadaan perang atau
darurat. Dalam kajian Fiqh Siyasahnya yaitu Siyasah Harbiyah adalah pemerintah
atau kepala negara mengatur dan mengurusi hala-hal dan masalah yang berkaitan
dengan perang, kaidah perang, mobilisasi umum, hak dan jaminan keamanan
perang, perlakuan tawanan perang, harta rampasan perang, dan masalah
perdamaian.16

14
Ibid.

15
Ibid.

16
Ibid., hlm. 131-132.
Dalam Islam, hubungan Agama dan negara, merupakan sesuatu yang
saling melengkapi, sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan. Agama
membutuhkan negara, demikian juga sebaliknya. Islam menjunjung aspek
solidaritas sosial dan memiliki hubungan dengan politik kemasyarakatan.
Solidaritas umat Islam terbukti dengan munculnya Ukhuwwah Islamiyah
(persaudaraan Islam) dan Din (Agama). Ukhuwwah Islamiyah yaitu suatu ikatan
yang oleh Nabi diperkenalkan setelah kepindahannya ke Madina dijadikan ikatan
baru berdasarkan agama sebagai pengganti ikatan darah yang berlaku sebelumnya.
Demikian juga dengan din (Agama) menunjuk pada solidaritas sesama Muslim
dan kesetiaan kepada wahyu. Bahkan, empat dari rukun Islam (shalat, puasa, zakat,
dan haji) sangat cocok untuk menggalakkan solidaritas di kalangan umat Islam.17

2.2. Sejarah Politik Islam

Islam dalam peradaban sejarah, lahir dan berkembang di wilayah Jazirah


Arab, dimana tatanan kultur sosial masyarakatnya masih menganut kepercayaan
Paganisme. Sifat yang keras dan persaingan antar suku / golongan, merupakan ciri
khas bagi bangsa-bangsa di Jazirah Arabiah tersebut. Lahirnya Islam yang dibawa
oleh Muhammad, membawa pengaruh signifikan terhadap perubahan tatanan
kehidupan dan budaya sosial masyarakat arab. Pada masa pra kenabian
Muhammad SAW telah memiliki sifat-sifat mulia yang ada pada dirinya. Sifat-
sifat tersebut menjadi dasar bagi sebagian masyarakat, untuk dapat menerima
kebenaran ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad pasca ia di angkat menjadi
Nabi dan Rasul.18

17
Prof. Dr. Sukro Kamil, M.A., Pemikiran Politik Islam Tematik, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm 5.

18
Dr. Zulkifli, M.A., Pengantar Studi Islam, (Tangerang: UWAN, 2016), hlm. 132.
Selama lebih kurang 11 tahun Rasulullah berjuang di Mekkah bersama
para sahabat muslim yang telah memeluk Islam, tidak memperoleh pengikut yang
banyak, bahkan Rasulullah dan ummat muslim lainnya yang tergolong kelompok
minoritas, mendapatkan kecaman, tantangan dan juga tekanan dari kelompok kafir
yang ada di Mekkah. Karena itu, Rasulullah bersama para sahabat dan ummat
muslim yang ada di Mekkah, melakukan hijrah ke Yastrib. Hijrah inilah yang
menjadi titik awal perkembangan Islam yang semula hanya merupakan komunitas
sosial lemah, menjadi suatu komunitas ummat yang kuat dan kokoh serta berdiri
sendiri. Rasulullah sendiri menjadi pemimpin bagi komunitas yang baru dibentuk
tersebut yang dengan segera akhirnya menjadi suatu Negara.19

Ali Abdur Raziq berpendapat bahwa Nabi Muhammad hanya seorang


Rasul seperti rasul-rasul lain dan bukan sebagai seorang raja atau pembentuk
negara. Pembentukan pemerintahan tidak termasuk dalam tugas yang
diwahyukan kepadanya.20 Tetapi tidak diragukan bahwa Nabi dalam ltaiiemya
mengemban risalah, berada dalam percaturan politik. Misalnya, mengadakan
kontak dengan negara kerajaan lain, mempersiapkan pasukan perang,
memberlakukan peraturan untuk kerukunan orang banyak, dan lain-lain. Tidak
terdapat satu ayat Alquran pun yang menyebut apalagi memerintah Nabi menjadi
seorang kepala negara. Dengan demikian keberadaan Nabi sebagai pemimpin
masyarakat Madinah yang oleh banyak sejarawan disebut sebagai kepala negara
melalui proses penunjukan dan kesepakatan orang banyak. Seolah ketika itu ada
penyerahan kekuasaan diri dari peserta bai'at kepada Nabi yang diakui sebagai
pemimpin mereka. Dalam ilmu politik proses ini disebut "kontrak sosial."21

19
Dr. Zulkifli, M.A., Pengantar Studi Islam, (Tangerang: UWAN, 2016), hlm. 132.

20
Ali Abdur Raziq. Pendapat ini sejalan dengan pandangan sebagian kaum Khawarij bahwa kepala
negara itu diperlukan hanya jika maslahat umat menghendaki. Pada hakekatnya umat tidak berhajat kepada
Khalifah atau Imam untuk memimpin mereka. Menunurut Harun Nasution, paham ini dekat dengan
komunisme. Dalam paham ini negara akan hilang dengan sendirinya dalam masyarakat komunis. Lihat
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Preas, 1984), hlm. 97.

21
Sabine. G.H., A History Of Political Thought, (New York: Collier Books, 1959), hlm. 398.
Proses pengangkatan Rasulullah sebagai pemimpin / kepala negara bukan
berdasarkan wahyu dari Allah SWT, akan tetapi berdasarkan atas kesepakatan
yang disebut dengan perjanjian, yang dalam kajian ilmu politik, hal ini disebut
dengan "kontrak sosial". Perjanjian yang dimaksud di sini adalah perjanjian antara
penduduk Yastrib (Madinah) dengan Rasulullah yang dikenal dengan perjanjian
Aqobah, yang terjadi pada tahun 621 M dan 622 M. Sebagai seorang pemimpin
ummat, Rasulullah dengan segera menjadikan komunitas ummat muslim menjadi
suatu pemerintahan Islam yang mandiri dan berkedaulatan. Rasulullah meletakkan
dasar-dasar politik bagi perundang- undangan Islam. Rasulullah sendiri tampil
dalam dua fungsi kepemimpinan utama yang melekat pada dirinya, disatu sisi ia
merupakan pemimpin religius karena posisinya sebagai Nabi dan Rasul Allah
SWT, dan di sisi lain ia juga bertindak sebagai pemimpin ummat Islam Madinah
yang notabenenya merupakan masyarakat majemuk dan pluralis. Karena
penduduk Madinah saat itu, terdiri dari berbagai golongan yang berbeda, di
dalamnya terdapat golongan Muhajirin, Anshar dan golongan lainnya yang berada
di dalam kekuasaan Islam, yaitu golongan Yahudi dan Nashrani.22

Maka dari itu, Rasulullah melakukan langkah-langkah untuk dapat


mempersatukan ummat muslim dengan cara mempersaudarakan antara kaum
Muhajirin dan kaum Anshar, langkah ini dianggap sebagai langkah efektif untuk
membina ukhuwah Islamiyah di dalam Islam. Langkah kedua adalah merancang
dan menetapkan perjanjian tertulis yang juga merupakan prinsip-prinsip
kemasyarakatan yang harus dipatuhi oleh setiap pribadi orang yang berada di
Madinah. Hal ini bertujuan untuk mempersatukan semua golongan yang
heterogen di dalam Madinah, sehingga akan tercipta keamanan dan kenyamanan
antar golongan. Dalam tata Negara modern, langkah-langkah tersebut merupakan
fondasi awal terbentuknya kenegaraan dan pemerintahan di dalam Islam.23

22
Dr. Zulkifli, M.A., Pengantar Studi Islam, (Tangerang: UWAN, 2016), hlm. 133-134.

23
Ibid.
2.3. Prinsip-prinsip Politik Islam

Secara etimologi, kata ‘prinsip’ berasal dari bahasa Inggris ‘principle’


yang berarti prinsip, asar, asas, serta pendirian. Adapun pengertian ‘principle’ di
dalam kamus Oxford adalah “A fundamental truth or proposition that serves as the
foundation for a system of belief or behaviour or for a chain of reasoning
(Kebenaran atau proposisi mendasar yang berfungsi sebagai landasan bagi suatu
sistem keyakinan atau perilaku atau untuk rantai penalaran).”24 Sedangkan
pengertian dari kata ‘prinsip‟ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah asas
(kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya);
dasar.25 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa defensi dari kata prinsip
adalah suatu pernyataan fundamental atau kebenaran umum maupun individual
yang dijadikan oleh seseorang atau kelompok sebagai sebuah pedoman untuk
berpikir atau bertindak.

Prinsip-prinsip utama politik Islam menurut sebagian ulama kontemporer


dari para ahli fikih syariat adalah tidak zalim, adil, musyawah, dan persamaan.
Namun, menurut sebagian ulama lagi adalah keadilan (Al-Adalah), musyawarah,
dan taat kepada ulil amri terhadap perintah yang disenangi orang mukmin atau
yang dibenci, kecuali bila dia memerintahkan untuk berbuat kemaksiatan, maka
tidak boleh mendegarkannya dan taat kepadanya.26 Ada satu pendapat lain yang
menyatakan bahwa prinsip-prinsip utama itu adalah:
1. Musyawarah dalam hal apa saja yang wajib dimusyawarahkan dari
urusan-urusan umat Islam.

A. S. Hornby, Oxford Advanced Learner‟s Dictionary of Current English, (United Kingdom:


24

Oxford University Press, 2010).

25
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 2001).

26
Dr. Zulkifli, M.A., Pengantar Studi Islam, (Tangerang: UWAN, 2016), hlm. 135.
2. Sikap tidak lazim dari penguasa tertinggi, dari para pemimpin, dan dari
bawahannya.
3. Meminta bantuan orang-orang kuat dan terpercaya dalam segala hal
yang penguasa tertinggi wajib meminta bantuan dalam hal itu.27

Prinsip-prinsip dalam piagam konstitusional pada pidato Abu Bakar


setelah pengangkatannya menjadi pemimpin, diantaranya:
1. Penetapan prinsip persamaan hak antar individu rakyat. Manusia
dihadapan syariat Allah swt. adalah sama, tidak ada pengistimewaan untuk
seseorang, siapapun dia.
2. Apa yang diwajibkan Allah swt. atas para penguasa dan rakyat untuk
saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, berlandaskan rasa
tanggung jawab individual dan rasa solidaritas untuk mewujudkan tujuan-tujuan
negara.
3. Menetapkan hak rakyat dalam meluruskan pemerintah atau pemimpin,
yang diangkat oleh rakyat, yaitu hak membantunya jika dia berbuat baik dan
meluruskan atau meminta pertanggungjawaban dan mengkritiknya, juga
memberikan jalan yang benar kepadanya jika dia berbuat jahat atau salah.
4. Penetapan asas konstitusional Islam yaitu pemimpin wajib jujur dan
bersikap amanah terhadap rakyat. Tanpa sifat jujur tidak akan tercapai makna
musyawarah, partisipasi politik tidak benar, dan tidak ada saling tolong-menolong.
5. Taat kepada hakim (pemerintah) dalam hal kebaikan dan kewajiban
menolak taat dalam hal yang bukan kebaikan atau dalam maksiat. Seperti firman
Allah SWT:
6. Menyampaikan amanah kepada yang berhak dan berlaku adil. Keadilan
dalam hukum diantara manusia tidak boleh dikotori oleh hawa nafsu dan tidak
boleh tertipu dengan pangkat.28

27
Ibid.

28
Ibid., hlm. 136-137.
7. Jihad di jalan Allah swt. merupakan salah satu sifat yang hanya khusus
dimiliki oleh orang-orang yang beriman dan jujur dalam keimanannya. Asal jihad
adalah bersabar dalam segala kesusahan dan kesulitan. Sedangkan jalan Allah
adalah jalan kebenaran dan kebaikan yang dapat menyampaikan seseorang kepada
rida Allah.
8. Mengisyaratkan kepada satu sunah dari sunah-sunah Allah di muka
bumi dan kaidah Illahi yang mengatur gerak sejarah dalam kehidupan manusia,
baik kuat dan lemah, naik atau turun, memberi kekuasaan atau mencabutnya. 96
Prinsip-prinsip ini dianggap sebagai hak umat Islam untuk menuntut para
penguasa agar menghormati etika-etika politik, agar bersedia turun dari jabatan
politik mereka dalam pemerintahan, dan untuk memegang erat prinsip-prinsip dan
mengajak orang lain untuk memegangnya serta mencari penyelesaian padanya.

Prinsip-prinsip ini dianggap sebagai hak umat Islam untuk menuntut para
penguasa agar menghormati etika-etika politik, agar bersedia turun dari jabatan
politik mereka dalam pemerintahan, dan untuk memegang erat prinsip-prinsip dan
mengajak orang lain untuk memegangnya serta mencari penyelesaian padanya.29

.
2.4. Hak-hak Politik Perempuan dan Kaum Non-Muslim

Pembicaraan tentang hak-hak politik perempuan dalam Islam maksudnya adalah


ada beberapa hak yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. untuk perempuan dalam
masyarakat. Islam adalah Agama yang komprehensif dan syariatnya tidak bisa dhagi-bagi
Artinya, ketika Islam telah menetapkan untuk perempuan apa yang telah ia tetapkan dari
hak-hak politiknya, yang diataranya adalah ikut berpartisipasi dalam urusan-urusan
umum, Islam menetapkan itu untuk menegakkan hukum di negara muslim berdasarkan
kaidah musyawarah, prinsip persamaan hak dan kewajiban, prinsip meminta
pertanggungjawaban penguasa, prinsip keadilan, dan lain-lain dari prinsip mendasar yang
dijadikan Islam sebagai dasar sistem hukum Islam. Oleh karena itu, syariat Islam

29
Ibid.
diciptakan untuk kemaslahatan hamba secara mutlak dan umum. Nash-nash yang pasti
dalam Alquran dan nash-nash yang ada dalam hadits tentang hak-hak perempuan dan
kewajibannya, keduanya saling menjelaskan dan menyempurnakan. 30

Nash-nash itu tujuannya tidak boleh dipahami kecuali dalam koridor syariat
Islam, fikih Alquran, dan sunah. Contohnya, makna Ad-Darajah (tingkatan lebih tinggi)
yang dijadikan untuk kaum laki-laki atas kaum perempuan dengan firman-Nya: "Kaum
laki-laki (suami) mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada kaum perempuan (istri)."
(QS. Al-Baqarah (2): 228). Ayat ini mewajibkan satu hal atas perempuan dan
mewajibkan beberapa hal atas laki-laki. Sebab, tingkatan kelebihan ini adalah tingkatan
kelebihan politik dan melaksanakan kemaslahatan yang ditafsirkan dengan firman-Nya:
"Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan) dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." (QS. An-Nisa
(4): 34). 31

Menurut Tafsir Al-Manar, laki-laki berhak atas kepemimpinan sebab dia


lebih mengetahui akan kemaslahatan dan lebih mampu melaksanakan dengan
kekuatan dan hartanya Oleh sebab itulah dia yang diperintahkan menurut syara'
untuk menjaga perempuan dan memberi nafkah kepadanya. Sedang perempuan
diperintahkan untuk taat kepadanya dalam hal-hal yang makruf. Bagian laki-laki
sama dengan bagian dua anak perempuan. (QS. An-Nisa (4): 11). Tafsir ayat ini
dalam Islam sebagaimana yang ada dalam Alquran sendiri adalah sebab laki- laki
memerlukannya untuk memberi nafkah kepada dirinya, istrinya, dan anaknya.
Sedang perempuan, dia hanya menafkahi dirinya sendiri, dan jika dia bersuami
maka nafkahnya ditanggung oleh suami.32

Firman Allah untuk kaum laki-laki dan perempuan dalam beban syar'i ini
adalah sama, maka dengan demikian perempuan berhak mendapatkan apa yang
didapatkan oleh laki-laki. Jadi, Islam tidak mengharamkan perempuan untuk

30
Ibid., hlm. 142.

31
Ibid.

32
Ibid., hlm. 142-143.
mengambil dan melakukan hak-hak politiknya, juga tidak menutupi persamaannya
dengan laki-laki dalam hak dan kewajiban. Islam tidak melarang perempuan
menduduki jabatan yang tinggi. Belum ada nash yang jelas dan pasti dalam
Alquran dan sunah yang melarang hak-hak politik perempuan.33

Ketika piagam Madinah menetapkan bahwa orang-orang non-muslim


adalah umat yang sama dengan kaum muslimin, maka dengan demikian piagam
itu telah menjadikan mereka sebagai warga negara dan mempunyai hak seperti
yang dimiliki oleh kaum muslimin. Mereka juga memempunyai hak seperti yang
dimiliki oleh kaum muslimin. Mereka bebas menjalankan Agama mereka dan
kaum muslimin juga bebas menjalankan Agamanya. Mereka masing-masing
berhak memberi nasihat dan dinasihati, serta berbuat baik dan tidak berbuat jahat.
Orang-orang non-muslim yang ada di negara Islam, bukanlah individu yang
terpisah dari masyarakat muslimin. Mereka bukanlah warga negara tingkatan
kedua dalam masyarakat, sebagaimana ada beberapa fukaha dahulu dan beberapa
ulama-ulama sekarang yang berpendapat demikian.34

Hadis-hadis Mutawatir ada yang menyebutkan tentang larangan menyakiti


kaum non-muslim dan mengukuhkan hak- hak mereka atas kaum muslimin,
dinyatakan bahwa mereka berhak mendapatkan apa yang kita dapatkan dan
mereka juga berkewajiban melakukan apa yang diwajibkan atas kita. Dalam teks
piagam Nabawi ada dalil syar'i yang pasti mengukuhkan "hak warga negara secara
sempurna untuk ahli kitab dalam masyarakat muslim dan dalam daulah Islamiyah.
Menetapkan hak memilih dan dipilih untuk kaum non-muslim atas dasar mereka
juga warga negara seperti warga negara lainnya dari kaum muslimin, termasuk
dalam konsepsi apa yang telah Islam tetapkan dalam syariatnya dari dua prinsip:
keadilan dan persamaan hak, sebab tidak termasuk sikap adil dan juga tidak
termasuk persamaan hak bila tidak membolehkan mereka untuk ikut serta bersama
penduduk lainnya yang terdiri dari kaum muslimin dalam mengkaji perkara-

33
Ibid.

34
Ibid.
perkara umum duniawi, dalam menjalankan apa yang baik untuk rakyat dari
undang- undang dalam memilih penguasa dan wakil rakyat, dan dalam melakukan
pengawasan atas apara penguasa untuk mencegah yang tindakan sewenang-
wenang yang mungkin terjadi, atau tindakan pelanggaran terhadap kemaslahatan
masyarakat adalah salah satu dari hak-hak Allah swt. 35

Mereka mempunyai hak untuk masuk ke dalam semua tugas-tugas


pemerintahan kecuali beberapa jabatan-jabatan kepemimpinan, yang jabatan itu
sangat berbahaya dan strategis dalam sistem fundamental Islam. Pelayanan-
pelayanan seperti inilah yang tidak boleh diserahkan dalam setiap sistem
fundamental kecuali kepada orang yang percaya dengan asas-asas Islam. 36

2.5. Pengertian Kelembagaan dan Lembaga Islam

Istilah kelembagaan memiliki penekanan pada kelima aspek berikut.


Pertama, kelembagaan berkenaan dengan neustu yang permanen. In menjadi
permanen, karena dipandang rasional dan disadari kebutuhannya dalam kehidupan.
Suatu porma dan tata cara yang bersifat tetap tersebut berada dalam suatu
kelembagaan. Kedua berkaitan dengan hal-hal yang abstrak yang menentukan
perilaku.37 Seperti yang teleh disampaikan oleh Gillin, la mendefinisikan
kelembagaan dalam cultural concept sebagai : “A Social institution is a functional
configuration of cultural patterns (including actions, ideas, attitudes, and cultural
aquipment) wich possesses a certain permanence and which is intended to satisfy
felt social need”38 ( dalam Soemardjan dan Soemardi, 1964: 67).

Ketiga, berkaitan dengan perilaku, atau seperangkat mores (tata kelakuan),


atau cara bertindak yang mantap yang berjalan di masyarakat (establish way of

35
Ibid.

36
Abul A’la Al-Maududi, Nazhariyatul Islam wa Hadhiyi, hlm. 297..

37
Ibid., hlm. 145.

38
Soemardjan, Selo dan Solaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi (Kumpulan Tulisan),
(Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005)
behaving). Perilaku yang terpola merupakan kunci keteraturan hidup. Keempat,
kelembagaan juga menekankan kepada perilaku yang disetujui dan memiliki
sanksi. Kelima, kelembagaan merupakan cara-cara yang standar untuk
memecahkan masalah. Dari kelima tekanan pengertian di atas terlihat bahwa
'kelembagaan' memiliki perhatian utama kepada perilaku yang berpola dimana
sebagian besar datang norma-norma yang dianut. Kelembagaan berpusat pada
sekitar tujuan-tujuan, nilai atau kebutuhan sosial yang utama. Lebih jauh,
kelembagaan menekankan kepada suatu prosedur, suatu kepastian, dan panduan
untuk melakukan sesuatu.39

Dari kelima tekanan pengertian di atas terlihat bahwa kelembagaan


memiliki perhatian utama kepada perilaku yang berpola dimana sebagian besar
datang norma-norma yang danut. Kelembagaan berpusat pada sekitar tujuan-
tujuan, nilai au kebutuhan sosial yang utama. Lebih jauh, kelembagaan
menekankan kepada suatu prosedur, suatu kepastian, dan panduan untuk
melakukan sesuatu.40

Sementara dalam hal perlembagaan hukum, unsur Islam a banyak


mewarnai lembaga-lembaga yang ada di Indonesia, sejak zaman kolonial hingga
sampai sekarang. Dan karena pengaruh Islam sebagai agama mayoritas, di
Indonesia juga banyak muncul organisasi-organisasi Islam yang disertai dengan
lembaga-lembaga fatwa yang mengkaji tentang hukum Islam. Organisasi-
organisasi itu seperti NU, Muhammadiyah, MUI. Dengan begitu, maka dapat
disimpulkan bahwa kelembagaan islam adalah lembaga atau institusi yang
berorientasi pada nilai- tai kesislaman.41

39
DR. Zulkifli, M.A., Pengantar Studi Islam, (Tangerang: UWAN, 2016), hlm. 146-147.

40
Ibid.

41
Ibid.
Mulai dari visi dan misinya, tujuannya, fungsinya, latar belakangnya
terkandung nilai-nilai keislaman. Lembaga Islam adalah sistem norma yang
didasarkan pada an Islam, yang sengaja diadakan untuk memenuhi kebutuhan
umat Islam yang sangat beragam mengikuti perkembangan zaman. Maka dapat
dijelaskan bahwa kita haruslah berpegang pada tali agama dan janganlah umat
islam bercerai berai dan lembaga islamlah salah satu yang menjadi pemenyatu
umat- umat islam.42

2.6. Fungsi-fungsi Lembaga Islam

Lembaga Islam adalah sistem norma yang didasarkan pada an Islam, yang
sengaja diadakan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam yang sangat beragam
mengikuti perkembangan zaman. Maka dapat dijelaskan bahwa kita haruslah
berpegang pada tali agama dan janganlah umat islam bercerai berai dan lembaga
islamlah salah satu yang menjadi pemenyatu umat- umat islam. Lembaga Islam
memiliki beberapa fungsi, diantaranya:

1. Memberikan pedoman pada anggota masyarakat muslim tentang bagaimana


mereka harus bersikap dalam menghadapi berbagai masalah yang timbul dan
berkembang di masyarakat, terutama kebutuhan yang menyangkut kebutuhan
pokok.

2. Memberikan pegangan kepada masyarakat bersangkutan dalam melakukan


pengendalian sosial menurut sistem tertentu yaitu sistem pengawasan tingkah laku
para anggotanya.

3. Menjaga keutuhan masyarakat43.

42
Ibid.

43
Ibid.
2.7. Jenis-jenis Kelembagaan Islam

1. Nadhlatul Ulama Akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi,


menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk telah memperjuangkan martabat
bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908
tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan terus
menyebar-setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan
ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, mancullah berbagai
organisasi pendidikan dan pembebasan.44

Merespon kebangkitan nasional tersebut, Nahdlatul Wathan (Kebangkitan


Tanah Air) dibentuk pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul
Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran),
sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri.Dari
situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu
dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya
Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi
juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki
cabang di beberapa kota.45

Berangkat dari munculnya berbagai macam komite dan organisasi yang


bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk
organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi
perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, karena
tidak terakomodir kyai dari kalangan tradisional untuk mengikuti konperensi
Islam Dunia yang ada di Indonesia dan Timur Tengah akhirnya muncul
kesepakatan dari para ulama pesantren untuk membentuk organisasi yang
bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab1344 H (31

44
Ibid., hlm. 149.

45
Ibid.
Januari1926) di Kota Surabaya. Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasjim Asy'ari
sebagai Rais Akbar. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi berdirinya NU.46

Di antara faktor itu adalah perkembangan dan pembaharuan pemikiran


Islam yang menghendaki pelarangan segala bentuk amaliah kaum Sunni. Sebuah
pemikiran agar umat Islam kembali pada ajaran Islam "murni", yaitu dengan cara
umat islam melepaskan diri dari sistem bermadzhab. Bagi para kiai pesantren,
pembaruan pemikiran keagamaan sejatinya tetap merupakan suatu keniscayaan,
namun tetap tidak dengan meninggalkan tradisi keilmuan para ulama terdahulu
yang masih relevan.47

Jam'iyah Nahdlatul Ulama cukup mendesak untuk segera didirikan. Untuk


menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasjim Asy'ari merumuskan
kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad
Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam
khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir
dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik. NU menganut paham
Ahlussunah waljama'ah, merupakan sebuah pola pikir yang mengambil jalan
tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis).
Karena itu sumber hukum Islam bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi
juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara
berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu al-Hasan al-
Asy'ari dan Abu Mansur Al Maturidi dalam bidang teologi/ Tauhid/ketuhanan48

Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: Imam


Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: Imam Hanafi, Imam Maliki,dan
Imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di
bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al- Ghazali

46
Ibid., hlm. 150.

47
Ibid.

48
Ibid
dan Syeikh Juneid al-Bagdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan
syariat.49

2. Majelis Ulama Indonesia (MUI)

MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama,
cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain
meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia
pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas- ormas Islam
tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah,
Math'laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari
Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan
POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.
Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk
membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama - ulama dan
cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah "Piagam Berdirinya MUI,"
yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut
Musyawarah Nasional Ulama I.50

A. Tujuan Adanya MUI

Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah


berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi
bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang
peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya, selama
dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para
ulama dan cendekiawan muslim berusaha untuk:

a. Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam


mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah
Subhanahu wa Ta'ala;

49
Ibid., hlm. 151.

50
Ibid.
b. Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan
kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi
terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam
memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta,

c. Menjadi penghubung antara ulama dan (pemerintah) dan penterjemah timbal


balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional;
umaro

d. Meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan


cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada
masyarakat.51

B. Peran MUI

Dalam khittah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima


fungsi dan peran utama MUI yaitu:

a. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)

b. Sebagai pemberi fatwa (mufti)

c. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri'ayat wa khadim al ummah)

d. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid

e. Sebagai penegak amar ma'ruf nahi munkar.52

3. Muhammadiyah

Awal mula sebelum terbentuk oganisasi Muhammadiyah, Ahmad Dahlan


membentuk sebuah sekolah di Yogyakarta, yaitu Madrasah Ibtidaiyah Diniyah

51
Ibid., hlm. 152.

52
Ibid.
Islamiyah yang diresmikan pada tanggal 1 Desember 1911. Ketika diresmikan,
sekolah itu mempunyai 29 orang siswa dan enam bulan kemudian terdapat 62
orang siswa yang belajar di sekolah itu. Sebagai lembaga pendidikan yang baru
saja teebentuk, sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan memerlukan perhatian
lebih lanjut agar dapat terus dikembangkan. Dalam kondisi seperti itu,
pengalaman Ahmad Dahlan berorganisasi dalam Budi Utomo dan Jamiat Khair
menjadi suatu hal yang sangat penting bagi munculnyaide dan pembentukan satu
organisasi untuk mengelola sekolah tersebut, disamping kondisi makro pada saat
itu yang telah menimbulkan kesadaran akan arti penting suatu organisasi modern
maupun masukan yang didapat dari parapendukung, termasuk dari para murid
Kweek School Jetis. Ide pembentukan organisasi itu kemudian didiskusikan lebih
lanjut dengan orang-orang yang selama ini telah mendukung pembentukan dan
pelaksanaan sekolah di Kauman, terutama para anggota dan pengurus Budi Utomo
serta guru dan murid Kweek School Jetis. Dalam satu kesempatan untuk
mendapatkan dukungan dalam rangka merealisasi ide pembentukan sebuah
organisasi, Ahmad Dahlan melakukan pembicaraan dengan Budiharjo yang
menjadi kepala sekolah di Kweek School Jetis dan R. Dwijosewoyo, seorang
aktivis Budi Na utomo yang sangat berpengaruh pada masa itu. Pembicaraan
tersebut tidak hanya terbatas pada upaya mencari dukungan, melainkan juga sudah
difokuskan pada persoalan nama, tujuan, mat tempat kedudukan, dan pengurus
organisasi yang akan dibentuk. Pada bulan-bulan akhir tahun 1912 persiapan
pembentukan sebuah perkumpulan baru itu dilakukan dengan lebih intensif,
melalui pertemuan-pertemuan yang secara ckplisit membicarakan dan
merumuskan masalah seperti nama dan tujuan perkumpulan, serta peran Budi
Utomo dalam proses formalitas yang berhubungan dengan pemerintah Hindia
Belanda. Bahkan dalam perumusan Anggaran dasar organisasi ini pun dibantu
oleh R. Sosrosugondo selaku guru bahasa Belanda dan bahasa Melayu, karena
perumusannya dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu53

53
Ibid.
Muhammadiyah apabila di tinjau dari segi bahasa berarti umat dan
pengikut Nabi Muhammad. Menurut pengertian istilah, penamaan
muhammadiyah adalah agar para anggota dan pengikutnya dapat menauladani
jejak Nabi Muhammad SAW, sehingga masing-masing umat Muhammadiyah
merasa bangga dan terhormat dengan ajaran Agamanya, dan tidak perlu merasa
malu kepada siapapun yang mengatakan bahwa dirinya sebagai orang Islam yang
taat pada tuntunan Nabinya. Pada hakekatnya, amalan-amalan Muhammadiyah
telah dirintis oleh K.H. Ahmad Dahlan sejak tahun 1905, jauh sebelum
Muhammadiyah secara resmi didirikan. Baru pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330
bertepatan pada tanggal 18 November 1912 Muhammadiyah resmi berdiri.54

54
Ibid.
BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dalam bahasa politik islam, siyasah cenderung diartikan sebagai tipu daya,
meskipun bisa digunakan secara berbeda. Hal ini sebagaimanadakui oleh Ibn al-
Furrat, “Dasar dari pemerintahan adalah tipu daya” Kata siyasah (politik) dalam
bahasa Arab seringkali diposisikan sebagai lawan dari syari’ah yaitu jenis
yurisdiksi seperti hukum bunuh yang diberlakukan atas dasar selera penguasa
yang jauh dari nilai-nilai keadilan. Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan siyasah
sebagai pengelolaan masalah umum bagi negara bernuasa islam yang menjamin
terealisasinya kemaslahatan dan terhindar dari kemudharatan dengan tidak
melanggar ketetntuan syariat.

Lembaga Islam adalah sistem norma yang didasarkan pada ajaran Islam,
yang sengaja diadakan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam yang sangat
beragam mengikuti perkembangan zaman. Lembaga islam memiliki beberapa
fungsi, yakni memberikan pedoman pada anggota masyarakat muslim tentang
bagaimana mereka harus bersikap dlaam menghadapi berbagai masalah yang
timbul dan berkembang di masyarakat, terutama kebutuhan yang menyangkut
kebutuhan pokok; memberikan pegangan kepada masyarakat bersangkutan dalam
melakukan pengendalian sosial menurut sistem tertentu yaitu sistem pengawasan
tingkah laku para anggotanya; dan menjaga keutuhan masyarakat.

Prinsip-prinsip utama politik Islam menurut sebagian ulama kontemporer


dari para ahli fikih syariat adalah tidak zalim, adil, musyawah, dan persamaan.
Namun, menurut sebagian ulama lagi adalah keadilan (Al-Adalah), musyawarah,
dan taat kepada ulil amri terhadap perintah yang disenangi orang mukmin atau
yang dibenci, kecuali bila dia memerintahkan untuk berbuat kemaksiatan, maka
tidak boleh mendegarkannya dan taat kepadanya. Lembaga Islam memiliki
beberapa fungsi, diantaranya memberikan pedoman pada anggota masyarakat
muslim tentang bagaimana mereka harus bersikap dalam menghadapi berbagai
masalah yang timbul dan berkembang di masyarakat, terutama kebutuhan yang
menyangkut kebutuhan pokok; memberikan pegangan kepada masyarakat
bersangkutan dalam melakukan pengendalian sosial menurut sistem tertentu yaitu
sistem pengawasan tingkah laku para anggotanya; menjaga keutuhan masyarakat.

Lembaga islam memiliki beberapa jenis kelembagaan, diantaranya adalah :


1. Nadhlatul Ulama Akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi,
menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk telah memperjuangkan martabat
bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908
tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan terus
menyebar-setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan
ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, mancullah berbagai
organisasi pendidikan dan pembebasan.

2. Majelis Ulama Indonesia (MUI), MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan
atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai
penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili
26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur
dari ormas- ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam,
Perti. Al Washliyah, Math'laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4
orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara,
Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan
tokoh perorangan.

3. Muhammadiyah

Awal mula sebelum terbentuk oganisasi Muhammadiyah, Ahmad Dahlan


membentuk sebuah sekolah di Yogyakarta, yaitu Madrasah Ibtidaiyah Diniyah
Islamiyah yang diresmikan pada tanggal 1 Desember 1911. Ketika diresmikan,
sekolah itu mempunyai 29 orang siswa dan enam bulan kemudian terdapat 62
orang siswa yang belajar di sekolah itu. Sebagai lembaga pendidikan yang baru
saja teebentuk, sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan memerlukan perhatian
lebih lanjut agar dapat terus dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Zulkifli. 2016. Pengantar Studi Islam. Tangerang: UWAN.


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka
Dr. Tijani Abd. Qadir Hamid. 2001. Pemikiran Politik dalam Alquran. Jakarta:
Gema Insan
Prof. Dr. Sukro Kamil, M.A. 2013. Pemikiran Politik Islam Tematik. Jakarta:
Kencana.

Anda mungkin juga menyukai