Makalah Politik Dan Kelembagaan Islam
Makalah Politik Dan Kelembagaan Islam
Disusun Oleh :
Dosen Pengampu :
PENDAHULUAN
1
Dr. Tijani Abd. Qadir Hamid, Pemikiran Politik dalam Alquran, (Jakarta: Gema Insani, 2001),
hlm 3.
2
Ibid.
Dalam bahasa politik islam, siyasah cenderung diartikan sebagai tipu daya,
meskipun bisa digunakan secara berbeda. Hal ini sebagaimanadakui oleh Ibn al-
Furrat, “Dasar dari pemerintahan adalah tipu daya” Kata siyasah (politik) dalam
bahasa Arab seringkali diposisikan sebagai lawan dari syari’ah yaitu jenis
yurisdiksi seperti hukum bunuh yang diberlakukan atas dasar selera penguasa
yang jauh dari nilai-nilai keadilan. Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan siyasah
sebagai pengelolaan masalah umum bagi negara bernuasa islam yang menjamin
terealisasinya kemaslahatan dan terhindar dari kemudharatan dengan tidak
melanggar ketetntuan syariat. Dalam buku As-siyasah Al-Hakimah, sebagaimana
dinukil oleh Abdul Hamid Al-Ghazali dalam bukunya yang berjudul “ Pilar – pilar
Kebangkitan Umat” dijelaskan bahwa Ibnu Qayyim mendefinisikan Politik adalah
semua aktivitas yang mendekatkan manusia kepada kemaslahatan dan
menjauhkan dari kerusakan, meskipun tidak pernah ditegaskan oleh Rasul dan
tidak pernah disinggung oleh wahyu yang diturunkan, karena semua jalan yang
bisa mengantarkan kepada keadilan, maka jalan itu adalah bagian dari agama
islam.3
3
Dr. Zulkifli, M.A., Pengantar Studi Islam, (Tangerang: UWAN, 2016), hlm. 129-130.
4
Ibid., hlm. 145.
5
Soemardjan, Selo dan Solaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi (Kumpulan Tulisan),
(Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005)
Ketiga, berkaitan dengan perilaku, atau seperangkat mores (tata kelakuan),
atau cara bertindak yang mantap yang berjalan di masyarakat (establish way of
behaving). Perilaku yang terpola merupakan kunci keteraturan hidup. Keempat,
kelembagaan juga menekankan kepada perilaku yang disetujui dan memiliki
sanksi. Kelima, kelembagaan merupakan cara-cara yang standar untuk
memecahkan masalah. Dari kelima tekanan pengertian di atas terlihat bahwa
'kelembagaan' memiliki perhatian utama kepada perilaku yang berpola dimana
sebagian besar datang norma-norma yang dianut. Kelembagaan berpusat pada
sekitar tujuan-tujuan, nilai atau kebutuhan sosial yang utama. Lebih jauh,
kelembagaan menekankan kepada suatu prosedur, suatu kepastian, dan panduan
untuk melakukan sesuatu.6
Lembaga Islam adalah sistem norma yang didasarkan pada ajaran Islam,
yang sengaja diadakan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam yang sangat
beragam mengikuti perkembangan zaman.7 Lembaga islam memiliki beberapa
fungsi, yakni memberikan pedoman pada anggota masyarakat muslim tentang
bagaimana mereka harus bersikap dlaam menghadapi berbagai masalah yang
timbul dan berkembang di masyarakat, terutama kebutuhan yang menyangkut
kebutuhan pokok; memberikan pegangan kepada masyarakat bersangkutan dalam
melakukan pengendalian sosial menurut sistem tertentu yaitu sistem pengawasan
tingkah laku para anggotanya; dan menjaga keutuhan masyarakat. Dari beberapa
fungsi yang melekat pada lembaga sosial diatas, jelas bahwa apabila seorang
hendak mempelajari dan memahami masyarakat tertentu, maka ia harus
memperhatikan dengan seksama lembaga yang terdapat dalam masyarakat yang
bersangkutan.8
6
Dr. Zulkifli, M.A., Pengantar Studi Islam, (Tangerang: UWAN, 2016), hlm. 146-147.
7
Ibid., hlm. 147-148.
8
Ibid., hlm. 148-149.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan yang
menjadi fokus pembahasan pada makalah ini, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan politik dan politik islam?
2. Bagaimanakah sejarah yang terjadi dalam politik islam?
3. Bagaimana prinsip-prinsip politik islam?
4. Mengapa terdapat hak-hak politik perempuan dan kaum non muslim?
5. Bagaimanakah definisi kelembagaan dengan menggunakan penekanan lima
aspek?
6. Apa saja fungsi-fungsi lembaga islam?
7. Berapakah jenis-jenis kelembagaan islam?
1.3. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui,
mengkaji, dan menjelaskan tentang:
1. Definisi atau pengertian dari politik dan politik islam.
2. Sejarah yang terjadi dalam politik islam.
3. Prinsip-prinsip politik islam.
4. Hak-hak politik perempuan dan kaum non muslim.
5. Definisi kelembagaan menurut pandangan umum dan kelembagaan islam
menurut penekanan lima aspek.
6. Fungsi-fungsi lembaga islam.
7. Jenia-jenia kelembagaan islam.
BAB 2
PEMBAHASAN
9
Dr. Tijani Abd. Qadir Hamid, Loc. Cit.
10
Ibid.
11
Ibid.
Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan siyasah sebagai pengelolaan
masalah umum bagi Negara bernuansa Islam menjamin terealisasinya
kemaslahatan dan terhindar dari kemudharatan dengan tidak melanggar ketentuan
syariat. Selanjutnya dalam buku As-Siyasah Al-Hakimah, sebagaimana dinukil
oleh Abdul Hamid Al-Ghazali dalam bukunya yang berjudul "Pilar-pilar
Kebangkitan Umat" dijelaskan bahwa Ibnu Qayyim mendefinisikan politik adalah
semua aktivitas yang mendekatkan manusia kepada kemaslahatan dan
menjauhkan dari kerusakan, meskipun tidak pernah ditegaskan oleh Rasul dan
tidak pernah disinggung oleh wahyu yang diturunkan karena semua jalan yang
bisa mengantarkan kepada keadilan, maka jalan itu adalah bagian dari agama
Islam.12
12
Dr. Zulkifli, M.A., Loc. Cit.
13
Dr. Zulkifli, M.A., Pengantar Studi Islam, (Tangerang: UWAN, 2016), hlm. 130-131.
2. Siyasah Maliyah
Arti kata Maliyah bermakna harta benda, kekayaan, dan harta. Oleh karena
itu Siyasah Maliyah secara umum yaitu pemerintahan yang mengatur mengenai
keuangan negara. Djazuli (2003) mengatakan bahwa Siyasah Maliyah adalah hak
dan kewajiban kepala negara untuk mengatur dan mengurus keungan negara guna
kepentingan warga negaranya serta kemaslahatan umat. Lain halnya dengan
Pulungan (2002, hal:40) yang mengatak bahwa Siyasah Maliyah meliputi hal-hal
yang menyangkut harta benda negara (kas negara), pajak, serta Baitul Mal.14
3. Siyasah Dauliyah
Dauliyah bermakna tentang daulat, kerajaan, kekuasaan, wewenang, serta
kekuasaan. Sedangkan Siyasah Dauliyah bermakna sebagai kekuasaan kepala
negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan internasional, masalh
territorial, nasionalitas, ekstradisi tahanan, pengasingan tawanan politik,
pengusiran warga negara asing. Selain itu juga mengurusi masalah kaum Dzimi,
perbedaan agama, akad timbal balik dan sepihak dengan kaum Dzimi, hudud, dan
qishash (Pulungan, 2002. hal:41).15
4. Siyasah Harbiyah
Harbiyah bermakna perang, secara kamus Harbiyah adalah perang,
keadaan darurat atau genting. Sedangkan makna Siyasah Harbiyah adalah
wewenang atau kekuasaan serta peraturan pemerintah dalam keadaan perang atau
darurat. Dalam kajian Fiqh Siyasahnya yaitu Siyasah Harbiyah adalah pemerintah
atau kepala negara mengatur dan mengurusi hala-hal dan masalah yang berkaitan
dengan perang, kaidah perang, mobilisasi umum, hak dan jaminan keamanan
perang, perlakuan tawanan perang, harta rampasan perang, dan masalah
perdamaian.16
14
Ibid.
15
Ibid.
16
Ibid., hlm. 131-132.
Dalam Islam, hubungan Agama dan negara, merupakan sesuatu yang
saling melengkapi, sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan. Agama
membutuhkan negara, demikian juga sebaliknya. Islam menjunjung aspek
solidaritas sosial dan memiliki hubungan dengan politik kemasyarakatan.
Solidaritas umat Islam terbukti dengan munculnya Ukhuwwah Islamiyah
(persaudaraan Islam) dan Din (Agama). Ukhuwwah Islamiyah yaitu suatu ikatan
yang oleh Nabi diperkenalkan setelah kepindahannya ke Madina dijadikan ikatan
baru berdasarkan agama sebagai pengganti ikatan darah yang berlaku sebelumnya.
Demikian juga dengan din (Agama) menunjuk pada solidaritas sesama Muslim
dan kesetiaan kepada wahyu. Bahkan, empat dari rukun Islam (shalat, puasa, zakat,
dan haji) sangat cocok untuk menggalakkan solidaritas di kalangan umat Islam.17
17
Prof. Dr. Sukro Kamil, M.A., Pemikiran Politik Islam Tematik, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm 5.
18
Dr. Zulkifli, M.A., Pengantar Studi Islam, (Tangerang: UWAN, 2016), hlm. 132.
Selama lebih kurang 11 tahun Rasulullah berjuang di Mekkah bersama
para sahabat muslim yang telah memeluk Islam, tidak memperoleh pengikut yang
banyak, bahkan Rasulullah dan ummat muslim lainnya yang tergolong kelompok
minoritas, mendapatkan kecaman, tantangan dan juga tekanan dari kelompok kafir
yang ada di Mekkah. Karena itu, Rasulullah bersama para sahabat dan ummat
muslim yang ada di Mekkah, melakukan hijrah ke Yastrib. Hijrah inilah yang
menjadi titik awal perkembangan Islam yang semula hanya merupakan komunitas
sosial lemah, menjadi suatu komunitas ummat yang kuat dan kokoh serta berdiri
sendiri. Rasulullah sendiri menjadi pemimpin bagi komunitas yang baru dibentuk
tersebut yang dengan segera akhirnya menjadi suatu Negara.19
19
Dr. Zulkifli, M.A., Pengantar Studi Islam, (Tangerang: UWAN, 2016), hlm. 132.
20
Ali Abdur Raziq. Pendapat ini sejalan dengan pandangan sebagian kaum Khawarij bahwa kepala
negara itu diperlukan hanya jika maslahat umat menghendaki. Pada hakekatnya umat tidak berhajat kepada
Khalifah atau Imam untuk memimpin mereka. Menunurut Harun Nasution, paham ini dekat dengan
komunisme. Dalam paham ini negara akan hilang dengan sendirinya dalam masyarakat komunis. Lihat
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Preas, 1984), hlm. 97.
21
Sabine. G.H., A History Of Political Thought, (New York: Collier Books, 1959), hlm. 398.
Proses pengangkatan Rasulullah sebagai pemimpin / kepala negara bukan
berdasarkan wahyu dari Allah SWT, akan tetapi berdasarkan atas kesepakatan
yang disebut dengan perjanjian, yang dalam kajian ilmu politik, hal ini disebut
dengan "kontrak sosial". Perjanjian yang dimaksud di sini adalah perjanjian antara
penduduk Yastrib (Madinah) dengan Rasulullah yang dikenal dengan perjanjian
Aqobah, yang terjadi pada tahun 621 M dan 622 M. Sebagai seorang pemimpin
ummat, Rasulullah dengan segera menjadikan komunitas ummat muslim menjadi
suatu pemerintahan Islam yang mandiri dan berkedaulatan. Rasulullah meletakkan
dasar-dasar politik bagi perundang- undangan Islam. Rasulullah sendiri tampil
dalam dua fungsi kepemimpinan utama yang melekat pada dirinya, disatu sisi ia
merupakan pemimpin religius karena posisinya sebagai Nabi dan Rasul Allah
SWT, dan di sisi lain ia juga bertindak sebagai pemimpin ummat Islam Madinah
yang notabenenya merupakan masyarakat majemuk dan pluralis. Karena
penduduk Madinah saat itu, terdiri dari berbagai golongan yang berbeda, di
dalamnya terdapat golongan Muhajirin, Anshar dan golongan lainnya yang berada
di dalam kekuasaan Islam, yaitu golongan Yahudi dan Nashrani.22
22
Dr. Zulkifli, M.A., Pengantar Studi Islam, (Tangerang: UWAN, 2016), hlm. 133-134.
23
Ibid.
2.3. Prinsip-prinsip Politik Islam
25
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2001).
26
Dr. Zulkifli, M.A., Pengantar Studi Islam, (Tangerang: UWAN, 2016), hlm. 135.
2. Sikap tidak lazim dari penguasa tertinggi, dari para pemimpin, dan dari
bawahannya.
3. Meminta bantuan orang-orang kuat dan terpercaya dalam segala hal
yang penguasa tertinggi wajib meminta bantuan dalam hal itu.27
27
Ibid.
28
Ibid., hlm. 136-137.
7. Jihad di jalan Allah swt. merupakan salah satu sifat yang hanya khusus
dimiliki oleh orang-orang yang beriman dan jujur dalam keimanannya. Asal jihad
adalah bersabar dalam segala kesusahan dan kesulitan. Sedangkan jalan Allah
adalah jalan kebenaran dan kebaikan yang dapat menyampaikan seseorang kepada
rida Allah.
8. Mengisyaratkan kepada satu sunah dari sunah-sunah Allah di muka
bumi dan kaidah Illahi yang mengatur gerak sejarah dalam kehidupan manusia,
baik kuat dan lemah, naik atau turun, memberi kekuasaan atau mencabutnya. 96
Prinsip-prinsip ini dianggap sebagai hak umat Islam untuk menuntut para
penguasa agar menghormati etika-etika politik, agar bersedia turun dari jabatan
politik mereka dalam pemerintahan, dan untuk memegang erat prinsip-prinsip dan
mengajak orang lain untuk memegangnya serta mencari penyelesaian padanya.
Prinsip-prinsip ini dianggap sebagai hak umat Islam untuk menuntut para
penguasa agar menghormati etika-etika politik, agar bersedia turun dari jabatan
politik mereka dalam pemerintahan, dan untuk memegang erat prinsip-prinsip dan
mengajak orang lain untuk memegangnya serta mencari penyelesaian padanya.29
.
2.4. Hak-hak Politik Perempuan dan Kaum Non-Muslim
29
Ibid.
diciptakan untuk kemaslahatan hamba secara mutlak dan umum. Nash-nash yang pasti
dalam Alquran dan nash-nash yang ada dalam hadits tentang hak-hak perempuan dan
kewajibannya, keduanya saling menjelaskan dan menyempurnakan. 30
Nash-nash itu tujuannya tidak boleh dipahami kecuali dalam koridor syariat
Islam, fikih Alquran, dan sunah. Contohnya, makna Ad-Darajah (tingkatan lebih tinggi)
yang dijadikan untuk kaum laki-laki atas kaum perempuan dengan firman-Nya: "Kaum
laki-laki (suami) mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada kaum perempuan (istri)."
(QS. Al-Baqarah (2): 228). Ayat ini mewajibkan satu hal atas perempuan dan
mewajibkan beberapa hal atas laki-laki. Sebab, tingkatan kelebihan ini adalah tingkatan
kelebihan politik dan melaksanakan kemaslahatan yang ditafsirkan dengan firman-Nya:
"Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan) dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." (QS. An-Nisa
(4): 34). 31
Firman Allah untuk kaum laki-laki dan perempuan dalam beban syar'i ini
adalah sama, maka dengan demikian perempuan berhak mendapatkan apa yang
didapatkan oleh laki-laki. Jadi, Islam tidak mengharamkan perempuan untuk
30
Ibid., hlm. 142.
31
Ibid.
32
Ibid., hlm. 142-143.
mengambil dan melakukan hak-hak politiknya, juga tidak menutupi persamaannya
dengan laki-laki dalam hak dan kewajiban. Islam tidak melarang perempuan
menduduki jabatan yang tinggi. Belum ada nash yang jelas dan pasti dalam
Alquran dan sunah yang melarang hak-hak politik perempuan.33
33
Ibid.
34
Ibid.
perkara umum duniawi, dalam menjalankan apa yang baik untuk rakyat dari
undang- undang dalam memilih penguasa dan wakil rakyat, dan dalam melakukan
pengawasan atas apara penguasa untuk mencegah yang tindakan sewenang-
wenang yang mungkin terjadi, atau tindakan pelanggaran terhadap kemaslahatan
masyarakat adalah salah satu dari hak-hak Allah swt. 35
35
Ibid.
36
Abul A’la Al-Maududi, Nazhariyatul Islam wa Hadhiyi, hlm. 297..
37
Ibid., hlm. 145.
38
Soemardjan, Selo dan Solaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi (Kumpulan Tulisan),
(Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005)
behaving). Perilaku yang terpola merupakan kunci keteraturan hidup. Keempat,
kelembagaan juga menekankan kepada perilaku yang disetujui dan memiliki
sanksi. Kelima, kelembagaan merupakan cara-cara yang standar untuk
memecahkan masalah. Dari kelima tekanan pengertian di atas terlihat bahwa
'kelembagaan' memiliki perhatian utama kepada perilaku yang berpola dimana
sebagian besar datang norma-norma yang dianut. Kelembagaan berpusat pada
sekitar tujuan-tujuan, nilai atau kebutuhan sosial yang utama. Lebih jauh,
kelembagaan menekankan kepada suatu prosedur, suatu kepastian, dan panduan
untuk melakukan sesuatu.39
39
DR. Zulkifli, M.A., Pengantar Studi Islam, (Tangerang: UWAN, 2016), hlm. 146-147.
40
Ibid.
41
Ibid.
Mulai dari visi dan misinya, tujuannya, fungsinya, latar belakangnya
terkandung nilai-nilai keislaman. Lembaga Islam adalah sistem norma yang
didasarkan pada an Islam, yang sengaja diadakan untuk memenuhi kebutuhan
umat Islam yang sangat beragam mengikuti perkembangan zaman. Maka dapat
dijelaskan bahwa kita haruslah berpegang pada tali agama dan janganlah umat
islam bercerai berai dan lembaga islamlah salah satu yang menjadi pemenyatu
umat- umat islam.42
Lembaga Islam adalah sistem norma yang didasarkan pada an Islam, yang
sengaja diadakan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam yang sangat beragam
mengikuti perkembangan zaman. Maka dapat dijelaskan bahwa kita haruslah
berpegang pada tali agama dan janganlah umat islam bercerai berai dan lembaga
islamlah salah satu yang menjadi pemenyatu umat- umat islam. Lembaga Islam
memiliki beberapa fungsi, diantaranya:
42
Ibid.
43
Ibid.
2.7. Jenis-jenis Kelembagaan Islam
44
Ibid., hlm. 149.
45
Ibid.
Januari1926) di Kota Surabaya. Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasjim Asy'ari
sebagai Rais Akbar. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi berdirinya NU.46
46
Ibid., hlm. 150.
47
Ibid.
48
Ibid
dan Syeikh Juneid al-Bagdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan
syariat.49
MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama,
cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain
meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia
pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas- ormas Islam
tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah,
Math'laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari
Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan
POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.
Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk
membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama - ulama dan
cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah "Piagam Berdirinya MUI,"
yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut
Musyawarah Nasional Ulama I.50
49
Ibid., hlm. 151.
50
Ibid.
b. Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan
kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi
terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam
memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta,
B. Peran MUI
3. Muhammadiyah
51
Ibid., hlm. 152.
52
Ibid.
Islamiyah yang diresmikan pada tanggal 1 Desember 1911. Ketika diresmikan,
sekolah itu mempunyai 29 orang siswa dan enam bulan kemudian terdapat 62
orang siswa yang belajar di sekolah itu. Sebagai lembaga pendidikan yang baru
saja teebentuk, sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan memerlukan perhatian
lebih lanjut agar dapat terus dikembangkan. Dalam kondisi seperti itu,
pengalaman Ahmad Dahlan berorganisasi dalam Budi Utomo dan Jamiat Khair
menjadi suatu hal yang sangat penting bagi munculnyaide dan pembentukan satu
organisasi untuk mengelola sekolah tersebut, disamping kondisi makro pada saat
itu yang telah menimbulkan kesadaran akan arti penting suatu organisasi modern
maupun masukan yang didapat dari parapendukung, termasuk dari para murid
Kweek School Jetis. Ide pembentukan organisasi itu kemudian didiskusikan lebih
lanjut dengan orang-orang yang selama ini telah mendukung pembentukan dan
pelaksanaan sekolah di Kauman, terutama para anggota dan pengurus Budi Utomo
serta guru dan murid Kweek School Jetis. Dalam satu kesempatan untuk
mendapatkan dukungan dalam rangka merealisasi ide pembentukan sebuah
organisasi, Ahmad Dahlan melakukan pembicaraan dengan Budiharjo yang
menjadi kepala sekolah di Kweek School Jetis dan R. Dwijosewoyo, seorang
aktivis Budi Na utomo yang sangat berpengaruh pada masa itu. Pembicaraan
tersebut tidak hanya terbatas pada upaya mencari dukungan, melainkan juga sudah
difokuskan pada persoalan nama, tujuan, mat tempat kedudukan, dan pengurus
organisasi yang akan dibentuk. Pada bulan-bulan akhir tahun 1912 persiapan
pembentukan sebuah perkumpulan baru itu dilakukan dengan lebih intensif,
melalui pertemuan-pertemuan yang secara ckplisit membicarakan dan
merumuskan masalah seperti nama dan tujuan perkumpulan, serta peran Budi
Utomo dalam proses formalitas yang berhubungan dengan pemerintah Hindia
Belanda. Bahkan dalam perumusan Anggaran dasar organisasi ini pun dibantu
oleh R. Sosrosugondo selaku guru bahasa Belanda dan bahasa Melayu, karena
perumusannya dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu53
53
Ibid.
Muhammadiyah apabila di tinjau dari segi bahasa berarti umat dan
pengikut Nabi Muhammad. Menurut pengertian istilah, penamaan
muhammadiyah adalah agar para anggota dan pengikutnya dapat menauladani
jejak Nabi Muhammad SAW, sehingga masing-masing umat Muhammadiyah
merasa bangga dan terhormat dengan ajaran Agamanya, dan tidak perlu merasa
malu kepada siapapun yang mengatakan bahwa dirinya sebagai orang Islam yang
taat pada tuntunan Nabinya. Pada hakekatnya, amalan-amalan Muhammadiyah
telah dirintis oleh K.H. Ahmad Dahlan sejak tahun 1905, jauh sebelum
Muhammadiyah secara resmi didirikan. Baru pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330
bertepatan pada tanggal 18 November 1912 Muhammadiyah resmi berdiri.54
54
Ibid.
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dalam bahasa politik islam, siyasah cenderung diartikan sebagai tipu daya,
meskipun bisa digunakan secara berbeda. Hal ini sebagaimanadakui oleh Ibn al-
Furrat, “Dasar dari pemerintahan adalah tipu daya” Kata siyasah (politik) dalam
bahasa Arab seringkali diposisikan sebagai lawan dari syari’ah yaitu jenis
yurisdiksi seperti hukum bunuh yang diberlakukan atas dasar selera penguasa
yang jauh dari nilai-nilai keadilan. Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan siyasah
sebagai pengelolaan masalah umum bagi negara bernuasa islam yang menjamin
terealisasinya kemaslahatan dan terhindar dari kemudharatan dengan tidak
melanggar ketetntuan syariat.
Lembaga Islam adalah sistem norma yang didasarkan pada ajaran Islam,
yang sengaja diadakan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam yang sangat
beragam mengikuti perkembangan zaman. Lembaga islam memiliki beberapa
fungsi, yakni memberikan pedoman pada anggota masyarakat muslim tentang
bagaimana mereka harus bersikap dlaam menghadapi berbagai masalah yang
timbul dan berkembang di masyarakat, terutama kebutuhan yang menyangkut
kebutuhan pokok; memberikan pegangan kepada masyarakat bersangkutan dalam
melakukan pengendalian sosial menurut sistem tertentu yaitu sistem pengawasan
tingkah laku para anggotanya; dan menjaga keutuhan masyarakat.
2. Majelis Ulama Indonesia (MUI), MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan
atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai
penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili
26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur
dari ormas- ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam,
Perti. Al Washliyah, Math'laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4
orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara,
Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan
tokoh perorangan.
3. Muhammadiyah