Anda di halaman 1dari 4

Nama : Nadja Adaira Polem

NPM : 2106729934
Fakultas : Teknik
Jurusan : Teknik Kimia
Mata Kuliah : MPK Agama Islam
Nama Dosen : Ahmad S.Sos.I, M.Ag

Agama dan Sains


Oleh : Ir. Agus Mustofa

Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, hubungan antara agama dan
sains selalu menjadi bahan berdebatan. Pada era modern ini, kita semakin mudah untuk
mengakses informasi. Berbagai informasi dapat kita terima lewat media dan sumber yang
berbeda-beda. Oleh karena itu, keterbukaan informasi dan pemikiran menjadi sesuatu yang
wajar. Namun, dari ribuan informasi yang dapat kita akses, kita harus bisa menyaringnya agar
sesuai dengan kebutuhan kita, bermanfaat, dan dapat dipastikan kebenarannya. Untuk itu, kita
memerlukan paradigma agama dan sains.

Menurut KBBI, paradigma berarti model dalam kerangka ilmu pengetahuan atau
kerangka dalam berpikir. Dengan mengacu pada paradigma, maka seseorang dapat memahami
suatu masalah dengan baik dan bisa menyikapi masalah tersebut dengan baik pula.

Paradigma agama islam harus mengacu pada al-Qur’an dan sunnah rasul. Terdapat
lima paradigma yang mengacu pada paradigma beragama. Paradgima pertama ialah agama
harus mengacu pada kitab suci al-Qur’an. Referensi-referensi dalam islam dapat ditemukan
pada al-Qur’an. Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 174 yang berbunyi,
‫يٰٓاَيُّ َها النَّاس قَد َج ۤا َءكم برهَان ِّمن َّربِّكم َواَنزَ لنَا ٰٓ الَيكم نو ًرا ُّمبينًا‬

Artinya : “Wahai manusia! Sesungguhnya telah sampai kepadamu bukti kebenaran dari
Tuhanmu, (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang
terang benderang (Al-Qur'an).”

Lalu, paradigma kedua harus merujuk pada otoritas. Dijelaskan dalam surat an-
Nisa ayat 59 tentang ketaatan pada Allah, ketaatan pada rasulullah dan ketaatan pada ulil amri,
yaitu para ahli di bidangnya masing-masing. Dijelaskan pula apabila ada perbedaan pendapat
mengenai ulim amri, maka permasalahannya harus dikembalikan kepada Allah dan rasul-Nya.
Ketika Rasulullah wafat, tentu banyak pemahaman yang berbeda karena sudah tidak ada
Rasulullah yang menjadi acuan umat-umat muslim. Ketika perbedaan pemahaman itu terjadi,
kita harus Kembali kepada Allah dan hari akhir.

Masuk ke paradigma ketiga, yaitu dalam beragama harus dipahami secara komprehensif dan
holistic dari ayat al-Qur’an. Kompresif memiliki arti kita harus memahami agama dari
perspektif yang berbeda. Jadi, kita tidak boleh mengambil sedikit dari ayat al-Qur’an dan
langsung menyimpulkannya. Kita harus memahaminya secara menyeluruh. Holistik artinya
menyeluruh. Kemudian, Allah menurunkan surat ali-Imran ayat 7 yang menjelaskan bahwa
ayat al-Qur’an dibagi menjadi dua. Yang pertama adalah ayat-ayat muhkamaat yang
merupakan pokok-pokok isi al-Qur’an. Yang kedua adalah ayat-ayat mutasyabihat. Ayat
muhkamaat disebut juga Ummul Kitab karena makna dari ayat-ayat ini sangat jelas. Contohnya
adalah ayat-ayat tentang perintah untuk beribadah. Sedangkan, ayat mutasyabihat adalah ayat-
ayat pendalaman. Kedalaman dalam ayat mutasyabihat tidak cukup jelas. Oleh karena itu, kita
harus mengambil patokan dari beberapa ayat dan menafsirkannya secara kompresif dan
holistic.

Paradigma keempat adalah harus menggunakan akal atau akil. Dalam beragama,
kita harus sudah akil baligh atau sudah memiliki akal. Contohnya, anak kecil yang akalnya
belum cukup boleh tidak beragama. Dijelaskan juga dalam surat Yunus ayat 100 yang
berbunyi:
َ‫علَى الَّذينَ َّل يَعقلون‬
َ ‫س‬
َ ‫الرج‬ ٰ ‫َو َما َكانَ لنَفس اَن تؤمنَ ا َّّل باذن‬
ِّ ‫ّللا ۗ َويَجعَل‬
Artinya : “Dan tidak seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah
menimpakan azab kepada orang yang tidak mengerti.”

Surat Yunus ayat 100 menjelaskan bahwa persyaratan untuk memahami agama adalah harus
menggunakan akal sehat.

Paradigma kelima adalah dalam beragama, harus memberlakukan mekanisme


keilmuan. Allah SWT menurunkan surat an-Nahl ayat 125 yang artinya “Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan
cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.” Ayat ini menjelaskan bahwa kita untuk berdakwah dengan mengikuti tiga hal, yaitu
dengan bijaksana, engajaran yang baik, pesan-pesan yang baik sebagai nasehat, dan debat jika
diperlukan.

Lalu, untuk paradigma sains, ia hanya merujuk pada ulil-amri saja, yaitu para ahli
di bidangnya masing-masing. Pola pikir pada paradigma sains atau kerangka berpikir sains
hanya berdasarkan kesepakatan para ahli dalam bidangnya masing-masing. Kerangka sains itu
sendiri memiliki arti yaitu pola berpikir yang berbasis kepada pengamatan atas fakta. Lalu,
hasil dari pengamatan tersebut dirangkum dan disajikan dengan Bahasa yang mudah
dimengerti masyarakat. Prosesnya berawal dari pengamatan yang berdasarkan asumsi.
Kemudian, para ahli tersebut menyusunnya menjadi sebuah hipotesis. Jika hasil hipotesis
tersebut benar dan mutlak, maka teori tersebut disepakati dapat menjadi paradigma sains.

Untuk memahami hubungan antara perkembangan teknologi dan sains agar sesuai
dengan nilai-nilai pada ajaran islam, kita harus bertafakur dan bertasykir. Tafakur adalah
berefleksi dan berpikir dalam menemukan hukum-hukum alam. Sementara itu, tasykir adalah
adalah memperoleh penguassan atas alam (dengan teknologi). Keduanya sepanjang zaman
merupakan dorongan-dorongan terpadu untuk seluruh umat manusia. Al-Qur’an juga
mendorong umat manusia untuk mengkaji sains. Oleh karena itu, sesungguhnya al-Qur’an
mengakui keberadaan realitas alam semesta yang mana menjadi objek kajian dari sains.

Terdapat hubungan mengenai agama dan sains. Ayat-ayat dalam al-Qur’an sendiri
mendorong kita untuk melakukan penelitian ilmiah. Dalam al-Qur’an terdapat ayat kauniyah,
yaitu ayat yang identik dengan kajian ilmiah dan saintifik. Salah satu contoh ayat kauniyah
adalah surat al-Ghasiyah ayat 20 yang menjelaskan bahwa umat manusia didorong untuk untuk
mengamati, mengobservasi, dan meneliti ciptaan-ciptaan Allah. Tak hanya itu, terdapat pula
puisi al-Qur’an yang mendorong kita untuk mempelajari realitas alam semesta ini.

Kita perlu mengingat bahwa sains dan agama bersifat komplementer. Tak hanya
itu, kita juga harus mengingat bahwa kebenaran yang sesungguhnya hanya milik Allah. Hanya
Allah yang tahu arti dari semua firman-firmannya dalam al-Qur’an. Kita juga harus selalu
mengingat bahwa agama dan sains itu saling melengkapi satu sama lain dan kita harus
memahaminya dengan baik agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Anda mungkin juga menyukai