Isbat Nikah
Isbat Nikah
SKRIPSI
Oleh:
ii
iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
iv
MOTTO
vi
PERSEMBAHAN
vii
6. Almamater IAIN Kudus, gedung hijau yang menjadi saksi
perjuangan saya dalam menimba ilmu.
7. Thanks for all, yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu,
yang telah berjasa dan membantu dalam proses penyusunan
skripsi ini. Thanks for everything, hanya doa dan ucapan
terimakasih, semoga Allah SWT memberikan balasan
kebaikan bagi kita semua. Aamiin.
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
خ KH/k
h ع ‘A/’a ء A’/a’ با Ba>
قػرء qara’
a اليق al-
qad{a>’
َّم
الش ي
al-
syams شييئ syai’u
n
ix
ضاء س
Kata Majemuk Ta>’
Kata Majemuk dipisah
dirangkai Marbu>thah
َجل الدِّيين
Jamal> ud
di>n
َجل الدِّيين Jama>l al-
di>n
ساعة sa>’ah
x
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil’alamin...
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas izin dan ridho-Nya,
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Isbat Nikah
Sebagai Upaya Legalitas Perkawinan Siri Perspektif Hukum
Islam dan Hukum Positif (Studi Penetapan Pengadilan Agama
Kudus Nomor 0085/Pdt.P/2020/PA.Kds)”. Shalawat serta salam
senantiasa penulis haturkan kepada Nabi Agung Muhammad SAW,
juga kepada keluarga, sahabat, dan pengikutnya, serta umatnya
yang senantiasa mengarapkan syafaat serta hidayah-Nya di akhir
zaman nanti, Aamiin Allahumma Aamiin.
Skripsi ini disusun guna syarat untuk memperoleh gelar
Strata 1 (S1) dalam bidang Hukum Keluarga Islam (HKI) Fakultas
Syariah IAIN Kudus. Dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari
dukungan, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. H. Mundzakir, M.Ag selaku Rektor Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Kudus.
2. Ibu Any Ismayawati, SH., M.Hum selaku Dekan Fakultas
Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus.
3. Bapak H. Fuad Riyadi, Lc., M.Ag selaku Ketua Program Studi
Hukum Keluarga Islam.
4. Bapak Moh. Abdul Latif, M.Kn selaku Dosen Pembimbing
Skripsi penulis yang telah membimbing, memberikan arahan
selama proses penyusunan skripsi. Terimakasih telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam membimbing
penulis.
5. Kepada Bapak/Ibu Dosen IAIN Kudus, khususnya di fakultas
Syariah yang telah membekali berbagai ilmu pengetahuan
kepada penulis.
6. Kepada seluruh staff Fakultas Syariah yang memberikan
kontribusi dengan baik dalam pelayanan kepentingan penulis
sampai akhir studi.
7. Kepada Bapak Ah. Sholih, S.H Ketua Hakim di Pengadilan
Agama Kudus selaku narasumber yang telah memberikan
informasi dan data yang sangat berguna bagi penulis dalam
penyusunan skripsi ini.
xi
8. Bapak dan Ibu tercinta dan seluruh keluarga penulis yang telah
memberikan dukungan, perhatian dan doa, serta memotivasi
penulis untuk selalu semangat dalam berjuang mencapai
impian dan cita-cita.
8. Teman-teman terbaik penulis (Fiki Hikmatul Wahya, Danish
Wafiq dan Dzakira Thalita Zahra) yang selalu menyemangati
dan membersamai disetiap perjuangan. Semoga jalan kita
selalu di ridhoi dan dimudahkan oleh Allah.
9. Sahabat-sahabati PMII Komisariat Sunan Kudus. Terimakasih
telah memberikan berbagai pengalaman yang tak terlupakan,
sehingga penulis mendapatkan pembelajaran yang tidak
mungkin bisa didapat di ruang kelas.
10. Teman-teman seperjuangan angkatan 2017, khususnya kelas
HKI-A. Terimakasih atas kebersamaan kalian yang telah
memberikan warna tersendiri dan sudah seperti keluarga
selama penulis menuntut ilmu di IAIN Kudus. Semoga
kekeluargaan kita selalu terjalin, kapanpun dan dimanapun.
11. Kepada seluruh pihak yang membantu dalam proses
penyusunan skripsi ini yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu. Terimakasih atas doa dan dukungannya. Semoga
Allah membalas kebaikan kalian dan hajat–hajatnya dipenuhi
oleh Allah. Aamiin.
Penulis sepenuhnya menyadari bahwa masih terdapat
kekurangan dalam penulisan skripsi. Oleh sebab itu, penulis
membuka diri untuk kritik dan saran yang bersifat membangun
demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membacanya.
xii
ABSTRAK
BAB I PANDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................... 1
B. Fokus Penelitian .................................................... 7
C. Rumusan Masalah ................................................. 7
D. Tujuan Penelitian................................................... 8
E. Manfaat Penelitian................................................. 8
F. Sistematika Penulisan ............................................ 9
xiii
1. Pengertian Isbat Nikah................................... 27
2. Landasan Hukum Isbat Nikah ....................... 27
E. Penelitian Terdahulu.............................................. 29
F. Kerangka Berpikir ................................................. 34
xiv
nikah sebagai legalitas perkawinan
siri di Pengadilan Agama Kudus ................ 71
3. Analisis Perspektif Hukum Islam dan
Hukum Positif tentang Isbat nikah
sebagai legalitas perkawinan siri di
Pengadilan Agama Kudus ........................... 74
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ............................................................... 83
B. Saran ...................................................................... 84
C. Penutup .................................................................. 84
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN
xv
DAFTAR TABEL
xvi
DAFTAR GAMBAR
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang saling
membutuhkan, dimana manusia tidak dapat hidup sendiri
tanpa berhubungan serta bergaul dengan manusia lainnya.
Allah SWT menciptakan makhluknya secara berpasang-
pasangan antara laki-laki dan perempuan. Salah satu sunah
Nabi Muhammad SAW yang paling diminati oleh semua
golongan manusia di muka bumi ini adalah perkawinan,
karena perkawinan merupakan kebutuhan batiniah selain
untuk melanjutkan keturunan. Dengan demikian
melaksanakan sebuah perkawinan termasuk juga
melaksanakan sunnahnya. Arti sunnah secara singkat yaitu
mencontoh tingkah laku Nabi Muhammad SAW. Oleh
karena itu, bagi pengikut Nabi Muhammad SAW yang
baik, maka mereka harus melaksanakan sunah tersebut
(perkawinan).1
Perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan Al-
Nikah, yang bernama al-Waṭhi’, dan al-Ḍhammu wal jam’u
atau ibarat ‘an alwaṭh’ wa al-‘Aqd yang artinya bersetubuh,
berkumpul dan akad2. Menurut segi bahasa, perkawinan
diartikan sebagai bersatunya dua insan manusia yang
awalnya hidup sendiri menjadi satu pasangan suami istri
yang saling melengkapi.3 Perkawinan dilakukan dengan
tujuan yang positif. Tujuan tersebut adalah dapat
menghalalkan hubungan kelamin antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan untuk memenuhi tuntutan hajat
kemanusiaan, serta membentuk satu keluarga yang damai
tentram dan kekal dengan dasar cinta kasih sayang, dan
1
Ahyuni Yunus, Hukum Perkawinan Dan Isbat Nikah Antara
Perlindungan Dan Kepastian Hukum (Makassar: Humanities Genius, 2020), 1.
2
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di
Indonesia Studi Krisis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, No 1/1974 Sampai
KHI (Jakarta: kencana Prenada Media Group, 2004), 38.
3
Tinuk Dwi Cahyani, Hukum Perkawinan (Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang, 2020), 1.
1
memperoleh keturunan serta memperkembangkan suku-
suku bangsa manusia.4
Membahas mengenai perkawinan, sejalan
perkembangan zaman dengan dinamika yang terus berubah,
maka banyak sekali perubahan yang terjadi. Pergeseran
kultur lisan dengan kultur tulis sebagai ciri masyarakat
modern, menuntut dijadikannya akta atau surat sebagai
bukti autentik. Saksi hidup tidak dapat lagi diandalkan jika
manusia tersebut disebabkan karena telah meninggal dunia,
dapat juga mengalami kelupaan. Atas dasar ini maka
diperlukannya sebuah bukti yang abadi maka itulah yang
disebut dengan akta. Dengan demikian salah satu bentuk
pembaharuan Hukum Keluarga Islam adalah dimuatnya
pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan
perkawinan yang harus dipenuhi.5
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang
perkawinan pada pasal 2 ayat (1) yang berbunyi
“Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan”.
Selanjutnya pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2019 tentang perkawinan berbunyi: “Tiap-tiap
perkawinan wajib dicatat sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku”. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang
perkawinan tersebut, dapat dikatakan bahwa pencatatan
perkawinan bukanlah merupakan syarat sahnya
perkawinan, karena perkawinan sudah dianggap sah apabila
telah dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-
masing.6 Akan tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam
memuat masalah pencatatan perkawinan pada pasal 5 yaitu
sebagai berikut:
4
Abdul Ghofur Ansori, Hukum Perkawinan Islam Perspektif Fikih dan
Hukum Positif (Yogyakarta: UII Press, 2011), 175.
5
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di
Indonesia Studi Krisis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, No 1/1974 Sampai
KHI, 121-122.
6
Faizah Bafadhal, “Isbat Nikah Dan Implikasinya Terhadap Status
Perkawinan Menurut Peraturan Perundang-Undangan Indonesia,” Jurnal Ilmu
Hukum (2014): 1-2.
2
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat Islam, maka setiap perkawinan harus
dicatat.
(2)
Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1),
dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah,
talak dan rujuk.
Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam selanjutnya
menyatakan:
(1) Untuk dapat memenuhi ketentuan pasal 5, setiap
perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan
dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah
(PPN).
(2) Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan
Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan
hukum.7
Fungsi dan kedudukan pencatatan perkawinan yaitu
untuk menjamin ketertiban hukum, di samping itu sebagai
salah satu alat bukti perkawinan. Namun dengan demikian,
pencatatan perkawinan bukanlah peristiwa hukum, akan
tetapi merupakan peristiwa penting yang sama halnya
dengan kelahiran, kematian, dan peristiwa penting lainnya.
Dengan demikian, pencatatan perkawinan menjadi sangat
penting karena merupakan alat bukti yang sah bahwa telah
terjadi perkawinan diantara kedua belah pihak (suami istri).
Adapun masalah pencatatan perkawinan yang tidak
dilaksanakan tidaklah mengganggu keabsahan perkawinan
karena hanya menyangkut aspek administratif. Hanya saja
ketika suatu perkawinan tidak dicatatkan, maka suami istri
tersebut tidak memiliki bukti autentik bahwa mereka telah
melaksanakan perkawinan yang sah dan belum memenuhi
aturan dalam bernegara yaitu dicatatkan. Akibatnya,
perkawinan tersebut tidak dapat diakui oleh pemerintah,
sehingga tidak memiliki kekuatan hukum, bahkan
7
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Nuansa
Aulia, 2011), 2-3.
3
perkawinannya dianggap tidak pernah ada.8 Hal ini yang
menunjukkan bahwa betapa pentingnya sebuah perkawinan
itu dicatatkan.
Tata cara dalam melangsungkan perkawinan harus
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Apabila tidak dilakukan dengan demikian,
maka banyak orang yang menyebutnya perkawinan
dibawah tangan atau sering disebut dengan nikah siri.
Nikah siri merupakan nikah yang dilakukan secara
sembunyi sembunyi, adapun akibat hukum dari nikah siri
yaitu tidak tercatatkannya perkawinan pada Pejabat
Pencatat Nikah, sehingga perkawinan tersebut tidak
mempunyai kekuatan legal formal. Nikah siri juga dapat
merugikan istri dan anak yang diperoleh dari hasil
perkawinannya, seperti ketika mengurus akta kelahiran
anak, nantinya akan mengalami kesulitan dan ketika terjadi
perceraian seorang istri akan mengalami kesulitan ketika
terjadi perceraian saat memproses perkaranya seperti harta
gono-gini ke Pengadilan Agama sebab perkawinan tersebut
belum terdaftar pada pihak yang berwenang.9
Pencatatan perkawinan merupakan satu-satunya
alat bukti bahwa sepasang suami istri telah melangsungkan
perkawinan, akan tetapi pada sisi lain peraturan perundang-
undangan memberi jalan keluar bagi orang-orang yang
tidak dapat membuktikan adanya akta perkawinan, maka
dapat dilakukan dengan jalan Penetapan Nikah atau yang
disebut Isbat nikah dari Pengadilan Agama.
Isbat nikah menurut Keputusan Ketua Mahkamah
Agung Nomor KMA/032/SK/2006 tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan yaitu
pengesahan nikah atas perkawinan yang telah dilaksanakan
sesuai dengan syariat agama Islam, akan tetapi
perkawinannya tidak dicatat oleh Kantor Urusan Agama
atau Pejabat Pencatat Nikah yang berwenang. 10
8
Nanda Amalia dan Jamaluddin, Buku Ajar Hukum Perkawinan (Kampus
Bukit Indah Lhokseumawe: Unimal Press, 2016), 39-40.
9
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern
(Yogyakarta: Ruko Jambusari, 2011), 17.
10
Meita Djohan Oe, “Isbat Nikah Dalam Hukum Islam Dan Perundang -
Undangan Di Indonesia,” Journal Pranata Hukum 8, no. 2 (2013): 139.
4
Sebagaimana yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam
pada Pasal 7 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Suatu
perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah,
dapat mengajukan Isbat nikahnya ke Pengadilan Agama”.
Adapun dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 7
ayat (3) Isbat nikah dapat diajukan ke Pengadilan Agama
mengenai hal- hal yang berkaitan dengan :
(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian
perceraian
(b) Hilangnya Akta Nikah
(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah
satu syarat perkawinan
(d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
tentang perkawinan
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak
mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-
Undang perkawinan.11
Ketentuan diatas dapat disimpulkan bahwa tidak
semua peristiwa perkawinan dapat diisbatkan di Pengadilan
Agama, artinya permohonan Isbat nikah yang diajukan
melalui Pengadilan Agama, setelah melalui proses
persidangan apabila telah memenuhi persyaratan pada
ketentuan pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam diatas,
maka Majelis Hakim akan mengabulkan permohonan
penetapan nikah tersebut. Akan tetapi jika sebaliknya
persyaratan sebagaimana tersebut diatas tidak terpenuhi,
maka Hakim akan menolak permohonan Isbat nikah
tersebut karena tidak sesuai dengan aturan hukum yang ada.
Namun jika terjadi sebaliknya, Majelis Hakim akan
mengabulkan permohonan Isbat nikah apabila Majelis
Hakim mempunyai argumentasi tersendiri dalam
pertimbangan sosiologis yang apabila permohonannya tidak
dikabulkan maka akan menimbulkan mudharat, contohnya
jika tidak dikabulkan permohonan pengesahan nikah akan
menjadikan nasib anak dari hasil perkawinannya akan
11
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, 3.
5
mendapat kesulitan dalam mendapatkan akta kelahiran.12
Sehingga akan sulit mengikuti pendidikan formal, misalnya
Sekolah Dasar (SD). Sebab persyaratan untuk menjadi
siswa, akta kelahiran mutlak harus dimiliki dan akta
kelahiran hanya bisa keluar apabila terdapat buku nikah.
Selanjutnya jika permohonan Isbat nikah yang diputuskan
oleh Majelis Hakim telah diterima, maka langkah
selanjutnya pasangan suami istri dapat meminta Pegawai
Pencatat Nikah untuk mencatatkan perkawinannya serta
mengeluarkan buku kutipan akta nikah sebagai bukti
autentik tercatatnya sebuah perkawinan.
Pengadilan Agama Kudus merupakan tempat
dimana penulis melakukan sebuah penelitian. Dalam pra-
penelitian yang dilakukan penulis, telah ditemukan bahwa
kenyataannya masih terdapat beberapa masyarakat Kudus
yang melakukan nikah siri kemudian ingin melegalkan
perkawinannya dengan cara mengajukan Isbat nikah. Hal
ini dapat dilihat dari data informasi di Pengadilan Agama
Kudus yang hampir setiap tahunnya ada perkara yang
masuk mengenai permohonan Isbat nikah, meskipun tidak
begitu banyak dan ada juga yang hanya ada satu perkara
per tahunnya mengenai permohonan pengajuan Isbat nikah
di Pengadilan Agama Kudus. Solusi pemecahan masalah
bagi perkawinan yang tidak tercatatkan yaitu dengan
menghubungi pihak Kantor Urusan Agama untuk meminta
duplikat akta nikah, kecuali jika berkas yang ada di Kantor
Urusan Agama tidak ada, maka upaya selanjutnya yaitu
melakukan permohonan Isbat nikah ke Pengadilan Agama.
Pengajuan Isbat nikah di Pengadilan Agama Kudus
dilakukan oleh para pelaku dengan motif atau alasan yang
berbeda-beda. Ada yang mengajukan Isbat nikah karena
akta nikahnya hilang, dan ada juga yang mengajukan Isbat
nikah karena membutuhkan akta nikah untuk pengurusan
akta kelairan anak atau motif lainnya. Dari sini peneliti
mengambil salah satu perkara permohonan Isbat nikah di
Pengadilan Agama Kudus pada Nomor perkara
0085/Pdt.P/2020/PA.Kds, yang mana pada perkara tersebut
12
Meita Djohan Oe, “Isbat Nikah Dalam Hukum Islam Dan Perundang -
Undangan Di Indonesia,” Journal Pranata Hukum 8, no. 2 (2013): 140.
6
pemohon menyatakan bahwa pada tanggal 15 September
2018 pemohon I atas nama Harun Rosyid dan pemohon II
bernama Malikhatin telah melangsungkan perkawinan
menurut Agama Islam. Bahwa setelah perkawinan tersebut
pemohon I dan Pemohon II dikaruniai seorang anak, akan
tetapi pemohon tidak mempunyai kutipan akta nikah yang
disebabkan bahwa perkawinan mereka belum di daftarkan
di Kantor Urusan Agama, sementara pemohon
membutuhkan Akta Nikah untuk alasan hukum dalam
pengurusan pembuatan akta anak sehingga diperlukannya
penetapan pengesahan nikah. Dengan demikian adanya
Isbat nikah diharapkan mampu memberikan jaminan
perlindungan kepastian hukum terhadap masing-masing
pasangan suami istri untuk mendapatkan hak-haknya.
Berdasarkan permasalahan pada latar belakang
diatas, maka penulis tertarik untuk membahas
permasalahan ini dalam bentuk skripsi yang berjudul
ISBAT NIKAH SEBAGAI UPAYA LEGALITAS
PERKAWINAN SIRI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
DAN HUKUM POSITIF (Studi Penetapan Pengadilan
Agama Kudus Nomor 0085/Pdt.P/2020/PA.Kds)
B. Fokus Penelitian
Bagian ini berisi mengenai apa yang menjadi
perhatian utama penelitian, agar permasalahan didalam
penelitian tidak meluas, maka pembatasan terhadap
masalah ini sangat diperlukan. Untuk itu penulis terfokus
pada bahasan mengenai Isbat nikah sebagai upaya legalitas
perkawinan siri perspektif hukum Islam dan hukum Positif
(Studi Penetapan Pengadilan Agama Kudus Nomor
0085/Pdt.P/2020/PA.Kds).
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Proses Isbat nikah sebagai legalitas
perkawinan siri di Pengadilan Agama Kudus?
2. Bagaimana Dasar Hukum dan Pertimbangan Hakim
Nomor perkara 0085/Pdt.P/2020/PA.Kds dalam Isbat
nikah sebagai legalitas perkawinan siri di Pengadilan
Agama Kudus?
7
3. Bagaimana Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif tentang Isbat nikah sebagai legalitas
perkawinan siri di Pengadilan Agama Kudus?
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan memahami proses Isbat nikah
sebagai legalitas perkawinan siri di Pengadilan Agama
Kudus
2. Untuk mengetahui dan memahami dasar hukum
pertimbangan Hakim Nomor perkara
085/Pdt.P/2020/PA.Kds dalam Isbat nikah sebagai
legalitas perkawinan siri di Pengadilan Agama Kudus
3. Untuk mengetahui dan memahami perspektif hukum
Islam dan hukum Positif tentang Isbat nikah sebagai
legalitas perkawinan siri di Pengadilan Agama Kudus
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini dilakukan adalah :
1. Secara Akademis :
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat
menambah referensi bagi peneliti selanjutnya,
khususnya penelitian dalam bidang Hukum Keluarga
Islam tentang Isbat nikah sebagai upaya legalitas
perkawinan siri.
2. Secara Praktis :
a. Bagi peneliti, penelitian ini berguna untuk melatih
kemampuan penulis dalam melakukan penelitian
ilmiah sekaligus dapat menuangkannya dalam
bentuk skripsi.
b. Bagi masyarakat khususnya di wilayah Kabupaten
Kudus, penelitian ini diharapkan mampu memberi
informasi tentang betapa pentingnya pencatatan
perkawinan itu dilakukan.
c. Bagi lembaga Pengadilan Agama, penelitian ini
diharapkan mampu menjadi bahan pertimbangan
agar Majelis Hakim lebih berhati-hati dalam
pemutusan perkara Isbat nikah, sebab tidak
mustahil dibalik alasan yang didalilkan pemohon,
terdapat unsur penyelundupan hukum dengan
8
menggunakan Isbat nikah untuk menghindari
prosedur poligami.
F. Sistematika Penulisan
Untuk dapat memudahkan pemahaman dalam
pembahasan dan memberikan gambaran yang jelas terkait
keseluruhan penulisan karya ilmiah, maka penulis membuat
suatu sistematika dalam penyusunan penulisan skripsi.
Adapun sistematika skripsi adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini membahas mengenai latar belakang
masalah, fokus penelitian, rumusan masalah yang berisikan
tentang apa yang akan dibahas dalam penelitian tersebut.
Selanjutnya tujuan penelitian, manfaat penelitian, yang
nantinya penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan nilai
guna bagi peneliti, masyarakat maupun lembaga yang
bersangkutan. Serta sistematika penulisan yang berisikan
tentang deskripsi karya tulis per-bab, agar pembahasan
dalam penelitian ini mudah dipahami.
BAB II KERANGKA TEORI
Pada bab ini penulis memaparkan teori yang berkaitan
dalam judul skripsi “Isbat Nikah Sebagai Upaya Legalitas
Perkawinan siri Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif (Studi Penetapan Pengadilan Agama Kudus Nomor
0085/Pdt.P/2020/PA.Kds)” sehingga dapat menjawab
rumusan masalah terkait, serta peneliti juga membuat tabel
penelitian terdahulu sehingga memudahkan dalam
memahami apakah penelitian ini dengan sebelumnya
mengandung persamaan atau tidak, dan juga peneliti
membuat kerangka berfikir untuk memudahkan dalam
memahami alur skripsi.
BAB III METODE PENELITIAN
Pada bab ini penulis menjelaskan mengenai langkah
atau prosedur dalam melaksanakan penelitian yang meliputi
jenis dan pendekatan, setting penelitian, subyek penelitian,
sumber data, teknik pengumpulan data, pengujian
keabsahan data dan teknik analisis data, dengan melalui
beberapa teknik pengumpulan data diantaranya dengan
wawancara, observasi dan dokumentasi.
9
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini merupakan pembahasan secara
menyeluruh dari laporan penelitian. Dengan demikian
penulis memberikan laporan hasil penelitian secara lengkap
mengenai gambaran obyek penelitian, deskripsi data dan
analisis data.
BAB V PENUTUP
Bab terakhir peneliti memaparkan mengenai
kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang peneliti tuliskan
adalah penjabaran secara singkat mengenai hasil penelitian.
Peneliti juga menyantumkan daftar pustaka dari reverensi
beberapa buku, jurnal dan lainnya serta peneliti juga
melampirkan beberapa lampiran-lampiran yang berkaitan
dengan hasil penelitian.
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang
berlaku pada semua makhluk Allah, baik pada manusia,
maupun hewan. Allah menciptakan semua makhluknya
dengan cara berpasang-pasangan, sebagaimana berlaku
pada makhluk Allah yang paling sempurna, yaitu
manusia. Sebagaimana dalam surat Al-Dzariyat ayat 49
yang berbunyi:
ِ ْ وِم ْن ُك ِّل َشي ٍء َخلَ ْقنَا َزْو َج
ْي لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّك ُرْو َن
.
ْ َ
Artinya: “Dan segala sesuatu telah kami ciptakan secara
berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat
akan kebesaran-Nya“. (Q.S. Az-Zariyat : 49).1
1
Alquran, az-Zariyat ayat 49, Alquran Tajwid Terjemah Tafsir Untuk
Wanita (Bandung: Marwah, 2009), 522.
2
Mahmudin Bunyamin dan Agus Hermanto, Hukum Perkawinan Islam
(Bandfung: Pustaka Setia, 2017), 1.
11
Menurut Wahbah al-Zuhaily, perkawinan adalah
akad yang membolehkan terjadinya al-Istimta’ atau
bersenang-senang dalam kenikmatan berhubungan
intim, atau berkumpulnya dengan seorang wanita selama
wanita yang dinikahinya bukan termasuk wanita yang
diharamkan, baik sebab keturunan maupun
sepersusuan.3
Perkawinan menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan
yaitu sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada
pengertian tersebut menjelaskan bahwa perkawinan
tidak hanya perbuatan hukum saja, melainkan
merupakan suatu perbuatan keagamaan. Sehingga sah
atau tidaknya suatu perkawinan berdasarkan pada
hukum masing-masing agama serta kepercayaan yang
dianutnya. Hal tersebut yang terlihat jelas pada
pencantuman kata “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”.
Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam pada
pasal 2 disebutkan bahwa, perkawinan adalah suatu
perjanjian suci yang kuat dan kokoh (miitṡaqan
ghaliiẓhan) untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya termasuk ibadah.4 Berkenaan dengan
tujuan perkawinan dimuat pada pasal berikutnya,
adapun tujuan perkawinan dalam pasal 3 Kompilasi
Hukum Islam yaitu untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan
bahwa perkawinan adalah suatu akad antara calon
mempelai laki-laki dengan calon mempelai wanita yang
mengikatkan tali perjanjian suci atas nama Allah SWT
atas dasar kerelaan dan kesukaan antara kedua belah
3
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di
Indonesia Studi Krisis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, No 1/1974 Sampai
KHI (Jakarta: kencana Prenada Media Group, 2004), 38.
4
Irfan Islami, “Perkawinan Di Bawah Tangan (Kawin Sirri) Dan Akibat
Hukumnya.,” Adil: Jurnal Hukum No. 1 8 (2010): 72–73.
12
pihak dengan tujuan utama yaitu menghalalkan
pencampuran antara keduanya.
5
Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Dalam Hukum Islam Dan Undang –
Undang Perspektif Fiqh Munakahat Dan UU No.1/1974 Tentang Poligami Dan
Problematikanya (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 15.
6
Moh Ali Wafa, Hukum Perkawinan Di Indonesia Sebuah Kajian
Dalam Hukum Islam Dan Hukum Materil (Tangerang Selatan: Yasmi, 2018), 45.
7
Iffah Muzammil, Fiqh Munakahat Hukum Pernikahan Dalam Islam
(Tangerang: Tira Smart, 2019), 9.
13
Adapun rukun dan syarat perkawinan pada umumnya
yang ditulis oleh Abd. Shomad dalam buku Hukum
Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia8 yaitu :
a. Adanya calon suami yang akan melangsungkan
perkawinan. Syarat-syarat dari calon suami yaitu :
1) Bukan marham dari pihak calon istri
2) Tidak terpaksa atau atas kemauan sendiri
3) Jelas orangnya
4) Tidak sedang menjalankan ihram.
b. Adanya calon mempelai wanita
Syarat calon mempelai wanita :
1) Tidak ada halangan hukum, yakni tidak
bersuami
2) Bukan marham dari pihak calon suami
3) Tidak dalam masa iddah bagi calon istri
4) Atas kemauan sendiri
5) Jelas orangnya
6) Tidak dalam keadaan ihram
c. Adanya wali dari pihak calon mempelai wanita.
Syarat wali :
1) Laki-laki
2) Baligh
3) Tidak gila atau sehat akal
4) Tidak terpaksa
5) Adil
6) Tidak sedang menjalankan ihram.
d. Adanya dua orang saksi
Syarat saksi yaitu :
1) Laki-laki
2) Baligh
3) Sehat akal
4) Dapat mendengar dan melihat
5) Tidak terpaksa/bebas
6) Tidak dalam melaksanakan ihram
8
Abd shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum
Indonesia (Jakarta: Kencana, 2012), 263.
14
7) Memahami bahasa yang digunakan untuk ijab
kabul. 9
e. Sighat akad nikah atau ijab kabul.
Syarat ijab kabul :
1) Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan
dengan qabul
2) Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda
3) Ijab dan qabul harus diucapkan secara
bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat.
4) Ijab dan qabul harus menggunakan lafadz yang
jelas dan terus terang.10
3. Tujuan Perkawinan
Perkawinan juga memiliki tujuan dan manfaatnya.
Sebab, perkawinan tidak semata-mata untuk melakukan
hasrat biologis saja. Adapun tujuan dari suatu
perkawinan yaitu :
a. Membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Dengan demikian sepasang suami istri harus dapat
mengayomi dan melengkapi satu sama lain, agar
masing-masing kedua belah pihak dapat
mengembangkan kepribadiannya, sehingga
tercapainya tujuan dari perkawinan yang diinginkan.
b. Tujuan utama perkawinan itu sendiri yakni
membentuk suatu keluarga atau rumah tangga yang
bahagia, sakinah, mawadah dan rahmah. Sehingga
terciptanya keluarga yang tentram, aman dan penuh
kasih sayang.
c. Untuk memenuhi tuntutan hajat dalam melakukan
hubungan suami istri agar memperoleh keturunan
yang sah dalam rangka mewujudkan keluarga yang
bahagia atas dasar cinta kasih, dengan mengikuti
ketentuan yang telah diatur dalam syariah.11
9
Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum
Indonesia, 263-264.
10
Sudarto, Fikih Munakahat (Semarang: Qiara Media, 2015), 7.
11
Moh Ali Wafa, Hukum Perkawinan Di Indonesia Sebuah Kajian
Dalam Hukum Islam Dan Hukum Materil, 50.
15
B. Pencatatan Perkawinan
1. Pengertian Pencatatan Perkawinan
Pencatatan perkawinan yaitu kegiatan
pengadministrasian dari sebuah perkawinan yang
dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah yang dapat
dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi
yang beragama Islam dan di Kantor Catatan Sipil
(KCS) bagi yang beragama non Islam.12
Menurut Amran Suadi dan Mardi Candra,
pengertian pencatatan perkawinan yaitu pendataan
administrasi perkawinan yang ditangani oleh
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dengan tujuan untuk
menciptakan ketertiban umum.13 Pencatatan
perkawinan bertujuan untuk memberikan kepastian
dan perlindungan hukum bagi sepasang suami istri
terhadap akibat yang ditimbulkan dari perkawinan itu
sendiri, yaitu tentang hak dan kewajiban masing-
masing secara timbal balik, tentang anak-anak yang
dilahirkan, serta hak anak yang berupa warisan dari
orang tuanya kelak. 14
Negara Indonesia terdapat dua instansi atau
lembaga yang diberikan tugas untuk mencatat
perkawinan dan perceraian. Adapun instansi atau
lembaga tersebut adalah :
a. Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan untuk
perkawinan bagi orang yang beragama Islam
b. Kantor Catatan Sipil (Bugerlijk Stand) untuk
perkawinan bagi orang yang non muslim.
Pengertian diatas, dapat disimpukan bahwa
pencatatan perkawinan menurut penulis yaitu
ketentuan yang harus diterima dan dilaksanakan bagi
pihak yang ingin melangsungkan perkawinan
mengenai keharusan mendaftarkan perkawinannya di
12
Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana,
2016).
13
Mardi Candra dan Suadi Amran, Politik Hukum Perdata Dan Pidana
Islam Serta Ekonomi Syariah (Jakarta: Kencana, 2016), 61.
14
Muhammadong Rifdan, Tata Kelola Pencatatan Perkawinan
Berdasarkan Undang-Undang (Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri
Makassar, 2017), 1.
16
hadapan dan di bawah pengawasan pada Pegawai
Pencatat Nikah, sehingga perkawinan tersebut
mempunyai kekuatan hukum.
2. Legalitas Perkawinan
Legalitas kata dasarnya adalah legal yang
bermakna sesuai dengan Undang-Undang atau
hukum. Untuk mengatakan sah tidaknya suatu
perkawinan, maka perlu memperhatikan aturan
mengenai keabsahan perkawinan atau legalitas
perkawinan. Penentu sebuah keabsahan perkawinan
tidak merujuk pada rukun dan syarat perkawinan
saja, melainkan juga merujuk pada Undang-Undang
yang ada.15 Peraturan perkawinan di Indonesia pada
Undang-Undang memiliki dua syarat, yakni syarat
materiil dan syarat formil atau administratif. Syarat
materiil yaitu syarat yang melekat pada setiap rukun
perkawinan baik itu yang telah diatur dalam fikih
maupun dalam perundang-undangan. Adapun syarat
formil atau administratif yaitu syarat yang
berhubungan dalam sebuah pencatatan perkawinan.16
Berdasarkan pada pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan
menyebutkan bahwa: “Perkawinan dapat dikatakan
sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaan”. Sedangkan
pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan
berbunyi: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa,
ketika suatu perkawinan telah memenuhi syarat
maupun rukun nikah atau ijab qabul telah
dilaksanakan (bagi umat Islam) dan bagi non Islam,
pendeta atau pastur telah melaksanakan pemberkatan
atau ritual lainnya, maka perkawinan tersebut telah
15
Umar Haris Sanjaya Aunur Rahim Faqih, HukumPerkawinan Islam
(Yogyakarta: Gama Media Yogyakarta, 2017), 77.
16
Muhammad Amin Sayyad, “Urgensi Pencatatan Nikah Sebagai Rukun
Nikah (Studi Kritis Siti Mahmudah Dan Khoiruddin Nasution),” El-Maslahah
Journal 8, no. 1 (2018): 3.
17
dianggap sah menurut agama maupun
kepercayaannya masing-masing. Sedangkan pada
satu sisi, sahnya suatu perkawinan menurut agama
dan kepercayaan masing-masing, perlu disahkan lagi
oleh negara.
Kompilasi Hukum Islam pada pasal 5 juga
mengatur tentang pencatatan perkawinan yang
berbunyi :
(1) Agar terjamin ketertiban bagi masyarakat Islam,
maka setiap perkawinan harus dicatatkan.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut terdapat pada
pasal (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Nikah sebagaimana telah diatur dalam Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang
pencatatan nikah, talak dan rujuk.
Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam selanjutnya
dijelaskan :
(1) Untuk memenuhi ketentuan pada pasal 5, maka
setiap perkawinan harus dilangsungkan di
hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan
Pegawai Pencatat Nikah maka tidak memiliki
kekuatan hukum.17
Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 7 ayat
(1) menyatakan bahwa perkawinan yang sah menurut
hukum yaitu perkawinan yang dapat dibuktikan
dengan adanya kutipan akta nikah yang dibuat dan
dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah yang
berwenang. Sedangkan perkawinan yang
dilaksanakan di muka pejabat yang tidak berwenang,
maka dapat dikatakan perkawinan tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum disebabkan karena
persyaratan pada peraturan yang berlaku tidak
terpenuhi. Sementara pada pasal 5 dan 6 Kompilasi
Hukum Islam mempertegas tentang betapa
17
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di
Indonesia Studi Krisis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, No 1/1974 Sampai
KHI, 123-124.
18
pentingnya pencatatan perkawinan bagi seluruh
warga negara Indonesia. Pentingnya pencatatan
perkawinan tersebut yaitu sebagai bukti bahwa antara
pasangan suami istri telah melaksanakan perkawinan
yang sah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Adanya pencatatan perkawinan dengan status hukum
yang jelas, maka berbagai bentuk kemudharatan
seperti ketidakpastian status bagi wanita dan anak-
anak akan dapat dihindari.18
18
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia 56-
57.
19
4. Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan
Pencatatan perkawinan secara konkrit tidak
dijelaskan dalam ayat Al-qur’an maupun hadist Nabi
Muhammad SAW. Akan tetapi dapat kita ketahui
mengenai pencatatan lebih kepada perbuatan
bermuamalah. Hal ini sesuai dengan firman Allah
SWT. dalam surat Al-Baqarah ayat 282 yang
berbunyi:
20
21
di sisi Allah, lebih dapat menguatkan
kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu
dengan ketidakraguan, kecuali jika
diperdagangan tunai yang kamu jalankan
diantara kamu, maka tidak ada dosa bagi
kamu jika tidak menuliskannya. Dan
ambillah saksi ketika hendak berjual beli,
dan janganlah penulis itu dipersulit dan
begitu juga saksi jangan saling sulit-
menyulitkan. Jika kamu lakukan yang
demikian itu, maka sungguh hal itu adalah
suatu kefasikan. Dan bertakwalah kepada
Allah, Allah memberikan pengajaran
kepadamu, dan Allah maha mengetahui
segala sesuatu”. (Q.S. Al-Baqarah: 282).
19
Iffah Muzammil, Fiqh Munakahat Hukum Pernikahan Dalam Islam,
86.
20
Muhammadong Rifdan, Tata Kelola Pencatatan Perkawinan
Berdasarkan Undang-Undang, 30.
22
sebuah perkawinan. Hal ini sesuai dengan kaidah
fiqh yang digunakan adalah :
.صالِ ِح ِ َّم َعلَى َج ْل
َ ب الْ َم
ِِ
ٌ َد ْرءُ الْ َمفاسد ُم َقد
Artinya: “Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan
(diutamakan) daripada menarik
kemaslahatan”.
C. Nikah Siri
1. Pengertian Nikah Siri
Nikah siri adalah suatu perkawinan yang
dilaksanakan berdasarkan aturan agama atau adat
istiadat akan tetapi tidak dicatatkan pada Kantor
Pegawai Pencatatan Nikah di Kantor Urusan Agama
bagi yang beragama Islam (KUA) serta tidak
dicatatkan di Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi yang
beragama non Islam. 22
Secara etimologi, kata siri berasal dari
bahasa Arab, yaitu sirrun yang berarti rahasia, sunyi,
diam, dan tersembunyi. Atau lawan dari kata
21
Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Dalam Hukum Islam Dan Undang
– Undang Perspektif Fiqh Munakahat Dan UU No.1/1974 Tentang Poligami Dan
Problematikanya, 185-186.
22
Siti Ummu Adillah, “Implikasi Hukum Dari Perkawinan Siri Terhadap
Perempuan Dan Anak,” Palastren : Journal Hukum 7, no. 1 (2014): 195.
23
‘alaniyyah yaitu terang-terangan. Melalui akar kata
dari nikah siri dapat diartikan sebagai nikah yang
dirahasiakan, berbeda dengan nikah yang pada
umumnya dilakukan secara terang-terangan. Adapun
nikah siri dapat diartikan bahwa pernikahan yang
dilakukan secara diam-diam atau tersembunyi
lantaran sifatnya yang tertutup dan rahasia.23
Zaman dahulu, masyarakat mengenal nikah
siri adalah suatu perkawinan yang telah memenuhi
rukun dan syarat perkawinan yaitu dengan adanya
mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, wali,
ijab qabul serta adanya dua orang saksi. Akan tetapi
biasanya saksi dimintai untuk merahasiakan atau
tidak memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa
telah terjadi suatu perkawinan. 24
Pendapat Ulama terkait nikah siri Menurut
Madzhab Hanbali, menyatakan bahwa nikah yang
telah dilangsungkan menurut syariat Islam adalah
sah, meskipun dirahasiakan oleh kedua mempelai,
wali, maupun para saksinya. Hanya saja hukumnya
makruh (sesuatu yang ditinggalkan mendapatkan
pahala dan tidak berdosa apabila dikerjakan).25
Menurut Mazhab Maliki yaitu nikah atas
pesan suami, sedangkan saksi dimintai untuk
merahasiakan atas perkawinannya tersebut, sekalipun
kepada keluarga setempat. Adapun hukum nikah siri
menurut pendapat Mazhab Maliki yaitu tidak
diperbolehkan. Sebab nikahnya dapat dibatalkan
serta pelaku dapat dikenai ancaman dengan hukuman
berupa cambuk atau rajam. Selain itu, menurut
23
Vivi Kurniawati, Nikah Siri (Setiabudi Jakarta Selatan: Rumah Fiqih
Publishing, 2019), 10.
24
A Hasyim Nawawi, “Perlindungan Hukum Dan Akibat Hukum Anak
Dari Perkawinan Tidak Tercatat ( Studi Di Pengadilan Agama Tulungagung ),”
Journal Ahkam 3, no. 1 (2015): 117.
25
Musfira, “Status Anak Nikah Siri Perspektif Hukum Islam Dan
Hukum Positif,” Journal Hukum Islam, Perundang-Undangan Dan Pranata Sosial
Vol. VII, No.1 (2017): 11.
24
Mazhab Maliki mewajibkan adanya pengumuman
perkawinan.26
Menurut Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanafi,
hukum nikah siri juga tidak diperbolehkan. Sebab
Khalifah Umar bin Khattab pernah mengancam pada
pelaku nikah siri dengan hukuman had (berupa
cambuk dan rajam) sebagai bentuk suatu
perlindungan terhadap kehormatan perempuan.
Adapun hadis tentang larangan nikah siri yang
diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi, dari Aisyah:
ْ اج ِد َو
ض ِربُوا َعلَْي ِو ِ أَعلِن وا ىذا النِّ َكاح واجعلُوه ِِف املس
َ ُ َْ َ َ َ ُْ ْ
لدفُوف ُّ ِب
Artinya:“Umumkanlah perkawinan dan laksana-
kanlah di masjid, serta ramaikanlah dengan
menabuh gendang”. 27
26
Siti Faizah, “Dualisme Hukum Islam Di Indonesia Tentang Nikah
Siri,” Isti’dal, Jurnal Studi Hukum Islam Vol.1, no. 1 (2014): 23.
27
Muhammadong Rifdan, Tata Kelola Pencatatan Perkawinan
Berdasarkan Undang-Undang (Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri
Makassar, 2017), 61-62.
25
tersebut. Adapun faktor penyebab yang
melatarbelakangi terjadinya nikah siri yaitu :
a) Tidak adanya persetujuan wali nikah bagi pihak
perempuan.
Alasan ini biasa terjadi sebab sang anak
keduanya saling mencintai namun tidak
mendapatkan restu dari orang tua, sehingga
mereka melakukan nikah diam-diam tanpa tanpa
sepengetahuan dan persetujuan wali.
b) Karena ikatan dinas/kerja atau sekolah
Alasan ini biasa terjadi ketika tuntutan
kerja atau aturan sekolah yang tidak
membolehkan menikah sebab mengikuti aturan
yang telah disepakati, apabila menikah maka
akan dikeluarkan dari tempat kerja atau sekolah
karena telah melanggar aturan tersebut.28
c) Karena sulitnya aturan berpoligami. Sebab
untuk melakukan perkawinan yang kedua,
ketiga dan seterusnya banyak sekali syarat yang
harus dipenuhi dalam berpoligami. Serta
sulitnya mendapatkan izin dari istri pertama,
maka akhirnya suami menikah diam-diam
dengan wanita lain tanpa takut diketahui oleh
sang istri.
d) Disebabkan tempat tinggal yang tidak menetap
Alasan ini biasanya dilakukan pada
sebagian orang yang tempat tinggalnya tidak
menetap sebab terikat dengan pekerjaan dan
harus tinggal dalam waktu yang lama,
sedangkan istri tidak dapat menemaninya.
Sehingga suami memilih menikah siri.29
e) Disebabkan karena ada faktor lainnya, seperti
tidak ingin perkawinannya diketahui oleh
khalayak ramai. Dimana pasangan suami istri
28
Rihlatul Khoiriyah, “ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN
PEREMPUAN DAN ANAK DALAM NIKAH SIRI,” Jurnal Sawwa, Vol. 12 12,
no. 3 (2017): 405.
29
Mahmudin Bunyamin dan Agus Hermanto, Hukum Perkawinan Islam,
151.
26
memang berniat nikah siri karena alasan
tertentu.
D. Isbat Nikah
1. Pengertian Isbat Nikah
Pengertian Isbat nikah terdiri dari dua kata
yaitu Isbat dan nikah, yang berasal dari bahasa arab
( )اثبات – يثبت – إثبتyang berarti penetapan, pengukuhan,
dan pengiyaan. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) arti Isbat yaitu penyuguhan,
penetapan, penentuan. Sedangkan nikah artinya
perjanjian antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan untuk bersuami istri dengan resmi. Dari
kedua kata tersebut dapat digabungkan menjadi Isbat
nikah yang artinya penetapan atas perkawinan yang
telah dilakukan oleh pasangan suami istri.30
Menurut Peter Salim, kata Isbat nikah
memiliki pengertian penetapan tentang kebenaran
nikah. Kata Isbat nikah dalam Bahasa Indonesia
telah terjadi sedikit revisi yang awalnya Itsbat nikah
menjadi Isbat nikah.31 Isbat nikah atau lebih dikenal
dengan pengesahan perkawinan yang merupakan
perkara voluntair dalam kewenangan Pengadilan
Agama. Adapun perkara voluntair adalah jenis
perkara yang hanya ada pihak pemohon saja tanpa
ada pihak lawan dan tidak ada juga sengketa.32
27
perubahan dengan munculnya Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama
dan perubahan kedua Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dirumuskan
bahwa kompetensi absolute Pengadilan Agama
dalam perkara Isbat nikah, meliputi:
1) Perkara Isbat nikah bersifat Voluntair
murni (perkara yang tidak ada lawan).
2) Perkawinan yang dapat diisbatkan adalah
perkawinan yang terjadi sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2019 tentang perkawinan, bukan
perkawinan yang terjadi sesudahnya.33
Munculnya Kompilasi Hukum Islam pada
saat ini telah mengatur lebih luas mengenai Isbat
nikah yang mana ketentuannya berbeda dengan
Undang-undang sebelumnya, yakni :
b. Pasal 7 ayat (2) dan (3) Kompilasi Hukum Islam
yang berbunyi: “Dalam hal perkawinan yang
tidak dapat dibuktikan dengan adanya akta nikah,
maka dapat mengajukan Isbat nikah di
Pengadilan Agama.” Selanjutnya Pasal 7 ayat (3)
Kompilasi Hukum Islam, Isbat nikah dapat
diajukan mengenai hal-hal yang berkenaan
dengan :
1) Adanya suatu perkawinan dalam rangka
penyelesaian perceraian
2) Hilangnya sebuah akta nikah
3) Adanya keraguan tentang sah dan tidaknya
salah satu persyaratan perkawinan
4) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum
adanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 tentang perkawinan berlaku
5) Perkawinan yang biasa dilakukan oleh
mereka yang tidak mempunyai halangan
33
Zainuddin dan Afwan Zainuddin, Kepastian Hukum Perkawinan Siri
Dan Permasalahannya Ditinjau Dari Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974
(Yogyakarta: Budi Utama, 2017), 67-68.
28
perkawinan menurut Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan.
34
E. Penelitian Terdahulu
Tujuan dari penelitian terdahulu yaitu untuk
mengetahui permasalahan yang terkait judul skripsi
penulis “Isbat nikah sebagai upaya legalitas perkawinan
siri perspektif hukum Islam dan hukum Positif (studi
penetapan Pengadilan Agama Kudus Nomor
0085/Pdt.P/2020/PA.Kds)”, yang nantinya dapat
dijadikan sebagai pembanding untuk mengetahui suatu
permasalahan yang sudah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya sehingga terhindar dari plagiarism atau
penjiplakan, adapun penelitian yang relevan dengan
judul penulis diantaranya sebagai berikut :
1. Penelitian yang ditulis oleh Muhammad Dhiya Ulhaq
dengan judul skripsinya yaitu “Peran Kantor Urusan
Agama dalam Menyukseskan Program Isbat Nikah
(Studi Pada KUA Kecamatan Cisarua Kabupaten
Bogor)” tahun penelitian 2019. Penelitian ini
membahas mengenai faktor penyebab terjadinya
nikah siri pada masyarakat Cisarua Kecamatan Bogor
serta membahas mengenai peran KUA dalam
34
Nunung Rodliyah, “Pencatatan Pernikahan Dan Akta Nikah Sebagai
Legalitas Pernikahan Menurut Kompilasi Hukum Islam,” Journal PRANATA
HUKUM, Vol 8, No. 1 (2013): 32.
29
menangani masalah nikah siri sampai pada penetapan
Isbat Nikah.
Persamaan penelitian terdahulu dengan
penelitian ini yaitu sama-sama membahas mengenai
Isbat nikah. Sedangkan perbedaan antara penelitian
terdahulu dengan penelitian ini adalah penelitian
terdahulu fokus penelitiannya membahas mengenai
bagaimana peran KUA dalam menyukseskan
Program Isbat nikah dan faktor yang
melatarbelakangi terjadinya perkawinan siri pada
masyarakat Cisarua, penelitian terdahulu
menggunakan pendekatan normatif sosiologis, serta
pada penelitian terdahulu subjek penelitiannya
mencakup pelaku permohonan Isbat nikah,
masyarakat sekitar yang bersangkutan, dan pegawai
Kantor Urusan Agama Cisarua. Sementara pada
penelitian ini, penulis memfokuskan tentang Isbat
nikah sebagai upaya legalitas perkawinan siri
perspektif hukum Islam dan hukum positif, (Studi
Penetapan Pengadilan Agama Kudus Nomor
0085/Pdt.P/2020/PA.Kds), dan penelitian ini
menggunakan pendekatan konseptual dan perundang-
undangan, serta subjek penelitian penulis yaitu
pelaku pengajuan Isbat nikah di Pengadilan Agama
Kudus alasan nikah siri tujuannya untuk pengurusan
anak serta Ketua Majelis di Pengadilan Agama
Kudus.
2. Penelitian yang ditulis oleh Rustanti Aulia Fadjartini
dengan judul skripsi “Penyelesaian Perkara Isbat
Nikah Dan Problematikanya (Studi Analisis
Terhadap Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama
Cilegon Tahun 2016)”. Dalam penelitian ini
membahas tentang bagaimana hakim menilai alat
bukti yang diajukan oleh para pihak dalam
permohonan Isbat nikah, serta pertimbangan hakim
dalam menerima dan menolak perkara permohonan
Isbat nikah. Penelitian terdahulu menggunakan
pendekatan analisis dengan melakukan pengkajian
terhadap penetapan Isbat nikah pada tahun 2016 di
Pengadilan Agama Cilegon.
30
Persamaan penelitian ini dengan penelitian
penulis yaitu terletak pada fokus penelitiannya yang
sama membahas Isbat nikah. Perbedaan penelitian
yang ditulis oleh Rustanti dengan penelitian penulis
adalah dalam penelitian terdahulu menganalisis
terhadap suatu putusan Isbat nikah di Pengadilan
Agama Cilegon pada tahun 2016, sedangkan
penelitian ini fokus penelitiannya pada Studi
Penetapan Pengadilan Agama Kudus Nomor perkara
0085/Pdt.P/2020/PA.Kds.
3. Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Fadlissyakur
Sudarmanto tentang “Analisa Kompilasi Hukum
Islam Terhadap Isbat Nikah Siri Wali Yang Tidak
Memenuhi Syarat Perkawinan”, tahun penelitian
2019. Dalam skripsi terdahulu membahas kasus
perkawinan siri yang mengajukan permohonan Isbat
nikah ke Pengadilan Agama, yang mana wali dalam
perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat
perkawinan. Dalam skripsi yang ditulis oleh
Fadlissyakur mengungkapkan bahwa dalam
pengajuan Isbat nikah tersebut Majelis Hakim tidak
secara mendetail menanyakan perihal wali yang
menikahkan para pemohon yang mengajuan Isbat.
Majelis Hakim hanya melihat telah terpenuhinya
syarat perkawinan, kemudian Hakim melakukan
sumpah pada para saksi dan menanyakan benar
adanya perkawinan tersebut, maka berdasarkan hal
tersebut perkawinan siri yang dilakukan oleh para
pelaku dinyatakan sah.
Persamaan penelitian penulis yang ditulis oleh
Fadlissyakur dengan penelitian penulis adalah sama-
sama membahas tentang pengajuan Isbat nikah yang
disebabkan perkawinan siri. Perbedaan penelitian ini
terletak pada fokus penelitiannya, Penelitian
terdahulu hanya membahas tentang analisa
Kompilasi Hukum Islam tentang Isbat nikah,
sedangkan pada penelitian penulis membahas kedua-
duanya yakni mengenai Isbat nikah sebagai upaya
legalitas perkawinan siri perspektif hukum Islam dan
31
hukum Positif studi penetapan Pengadilan Agama
Kudus Nomor perkara 0085/Pdt.P/2020/PA.Kds.
Untuk lebih mempermudah dalam memahami,
maka penulis membuat tabel perbandingan terhadap
penelitian terdahulu, adapun sebagai berikut:
Nama
No Judul Skripsi Perbedaan Persamaan Novelty
Penyusun
32
2 Rustanti Aulia Penyelesaian Penelitian Persamaan a. Salah satu
Fadjartini Perkara Isbat terdahulu penelitian sumber
Nikah Dan menganalisis terdahulu hukum yang
Problematika putusan Isbat dengan digunakan
nya (Studi nikah di penelitian adalah
Analisis Pengadilan penulis adalah Undang–
Terhadap Agama sama-sama Undang
Penetapan Cilegon pada membahas Nomor 1
Isbat Nikah tahun 2016 tentang Isbat Tahun 1974
Pengadilan nikah tentang
Agama perkawinan,
Cilegon sedangkan
Tahun 2016) penulis
menggunakan
salah satu
sumber
hukum pada
Undang-
Undang
Nomor 16
Tahun 2019
tentang
perkawinan.
b. Jenis
penelitian
normatif
dengan
pendekatan
analytical
approach.
c. Periode
penelitian
tahun 2017.
3 Muhammad Analisa Penelitian Persamaan a. Salah satu
Fadlisyakur Kompilasi terdahulu penelitian sumber
Sudarmanto Hukum Islam hanya terdahulu hukum yang
Terhadap membahas dengan digunakan
Isbat Nikah tentang penelitian penelitian
Siri Wali analisa penulis adalah terdahulu
Yang Tidak Kompilasi sama-sama Undang-
Memenuhi Hukum Islam membahas Undang
Syarat tentang Isbat tentang Nomor 1
Perkawinan nikah, pengajuan Tahun 1974
sedangkan Isbat nikah tentang
pada yang perkawinan,
penelitian disebabkan sedangkan
penulis perkawinan penelitian
membahas siri penulis
33
kedua-duanya menggunakan
yakni Undang-
mengenai Undang
Isbat nikah Nomor 16
sebagai upaya Tahun 2019
legalitas tentang
perkawinan perkawinan
siri perspektif b. Lokasi
hukum Islam penelitian di
dan hukum Pengadilan
Positif (Studi Agama
Penetapan Dumai
Pengadilan c. Periode
Agama Kudus penelitian
Nomor tahun 2019.
0085/Pdt.P/20
20/PA.Kds)
F. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir disebut juga sebagai alur berfikir
yang menggambarkan secara keseluruhan mengenai
masalah penelitian pada sebuah karya ilmiah.
Nikah siri atau nikah dibawah tangan lebih
cenderung merugikan pihak istri dan anak yang lahir dari
perkawinan tersebut. Hal ini dikarenakan seorang suami
mempunyai kewajiban memberikan nafkah pada istri dan
anak-anaknya, namun karena tidak adanya perjanjian hitam
diatas putih atau bukti secara tertulis, terutama akta nikah.
Sementara istri dan anak tidak dapat berbuat banyak, sebab
tidak adanya bukti autentik yang berupa akta nikah.
Solusi pemecahan masalah bagi perkawinan yang
tidak tercatatkan yaitu dengan melakukan permohonan
Isbat nikah ke Pengadilan Agama. Disisi lain Isbat nikah
dapat menjadi jalan pintas bagi mereka yang sebelumnya
telah melaksanakan perkawinan yang ilegal secara hukum
agar dapat mendapatkan kepastian hukum sehingga
perkawinannya menjadi legal atau sah dimata hukum.
Adapun gambar dari kerangka berpikir sebagai berikut:
34
Gambar 2.1
Kerangka Berpikir
35
BAB III
METODE PENELITIAN
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan penulis pada
penelitian ini ada dua jenis yaitu:
a. Pendekatan Konseptual
Pendekatan konseptual (Conceptual
approach) yaitu jenis pendekatan yang biasa
digunakan untuk memahami konsep-konsep
yang berkaitan dengan penormaan dalam suatu
perundang-undangan, apakah telah sesuai
dengan fakta yang terkandung dalam konsep-
konsep hukum yang mendasarinya.2
Alasan pendekatan konseptual dipilih
oleh penulis, sebab pendekatan konseptual ini
berawal dari pandangan/doktrin yang
berkembang dalam ilmu hukum sehingga dapat
menjadi pijakan untuk membangun argumentasi
hukum ketika menyelesaikan isu hukum yang
dihadapi.
b. Pendekatan Peraturan Perundang-Undangan
Pendekatan peraturan perundang-
undangan (Statute approach) yaitu dimana
1
R Raco, Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karakteristik, Dan
Keunggulannya (Jakarta: Gramedia Widasarana Indonesia, 2010), 9.
2
Ani Purwati, Metode Penelitian Hukum Teori dan Praktek, 89.
36
penelitian menggutamakan bahan hukum yang
berupa peraturan perundang-undangan sebagai
acuan dasar dalam melakukan kegiatan
penelitian.3
Alasan pendekatan ini dipilih oleh
penulis, sebab pendekatan peraturan perundang-
undangan sangatlah diperlukan dalam penelitian
ini. Adapun acuan dasar yang digunakan dalam
penelitian ini diantaranya:
(1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
tentang perkawinan
(2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946
tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.
(3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama yang sekarang
mengalami perubahan kedua dengan
munculnya Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
(4) Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat (2)
dan (3)
B. Setting Penelitian
1. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat dimana penelitian
dilakukan. Adapun tempat penelitian skripsi ini yaitu di
Pengadilan Agama Kudus. Lokasi ini dijadikan sebagai
tempat penelitian, karena di Pengadilan Agama Kudus
memutuskan perkara perdata, khususnya Isbat nikah.
Sehingga penulis ingin mengetahui secara mendalam
tentang topik permasalahan, yakni mengenai Isbat nikah
sebagai upaya legalitas perkawinan siri perspektif
hukum Islam dan hukum positif Studi Penetapan
Pengadilan Agama Kudus Nomor
0085/Pdt.P/2020/PA.Kds.
3
Ani Purwati, Metode Penelitian Hukum Teori Dan Praktek (Surabaya:
Jakad Media Publishing, 2020), 87.
37
2. Waktu penelitian
Waktu penelitian ini dimulai pada 23 Maret 2021
sampai pada tanggal 23 April 2021.
C. Subyek Penelitian
Subjek penelitian menurut Spardley yaitu sumber
informasi dalam penelitian atau orang yang mampu
memberikan informasi terkait dengan situasi dan kondisi
latar penelitian.4 Adapun subjek penelitian ini adalah:
1. Pelaku pengajuan Isbat nikah alasan nikah siri
2. Ketua Majelis Pengadilan Agama Kudus, Bapak Ah.
Sholih, S.H.
D. Sumber Data
Sumber data dalam sebuah penelitian yaitu subjek
darimana data tersebut diperoleh, atau disebut juga dengan
tempat didapatkannya data yang diinginkan.5 Adapun
sumber data penelitian penulis ada dua, yakni:
1. Data Primer
Data primer yaitu bahan hukum yang mengikat,
berupa ketentuan perundang-undangan yang berkaitan
dengan penelitian ini, seperti :
a) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang
perkawinan
b) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang
pencatatan nikah, talak dan rujuk
c) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama yang sekarang mengalami
perubahan kedua dengan munculnya Undang-
Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan
Agama
d) Kompilasi Hukum Islam
e) Al-Qur’an (surat Al-Baqarah:282), kaidah fiqh, dan
beberapa hadist tentang larangan nikah siri.
4
Farida Nugrahani, Metode Penelitian Kualitatif Dalam Penelitian
Pendidikan Bahasa, 61.
5
Ismail Nurudin dan Sri Hartati, Metodologi Penelitian Sosial, 171.
38
2. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh seorang
peneliti dari sumber yang sebelumnya telah ada, atau
data pendukung yang dapat memperkaya data primer
yang diperoleh dari berbagai kepustakaan. Adapun
data sekunder dalam penelitian penulis yakni:
6
Iryana dan Risky Kawasati, “Teknik Pengumpulan Data Metode
Kualitatif," Jurnal Ekonomi Syariah (2019): 4.
39
serta pihak Ketua Majelis Pengadilan Agama Kudus,
Bapak Ah. Sholih.
2. Observasi
Observasi adalah bagian dari pengumpulan data
secara langsung dari lapangan yakni di Pengadilan
Agama Kudus untuk mendapatkan data-data dan
informasi yang benar terkait objek penelitian. Adapun
pelaksanaan observasi dimulai dari mengindentifikasi
tempat yang akan diteliti, kemudian dilanjutkan
dengan membuat pemetaan, sehingga diperoleh suatu
gambaran umum tentang sasaran penelitian.7
Alasan melakukan observasi ini, untuk
mendapatkan data secara akurat, tanpa dibuat-buat,
dan tanpa dimanipulasi. Sebab kunci dari keberhasilan
observasi sebagai teknik pengumpulan data sangat
ditentukan oleh pengamat sendiri, dari sini pengamat
melihat, mendengar suatu objek yang diteliti di
Pengadilan Agama Kudus, kemudian disimpulkan dari
apa yang telah diamatinya.
3. Dokumentasi
Teknik pengumpulan data dengan cara
dokumentasi yaitu pelengkap dari penggunaan teknik
observasi dan wawancara. Dokumentasi berasal dari
kata dokumen, yang artinya barang tertulis.8
Dokumentasi yang dimaksud dalam penelitian ini
digunakan untuk mengumpulkan data lewat fakta yang
telah tersimpan dalam bentuk tulisan, gambar, dan
sesuatu yang dapat memberikan informasi dalam
proses penelitian. Dalam penelitian ini menggunakan
media foto wawancara sebagai bukti telah
dilakukannya sebuah penelitian.
7
R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karakteristik, Dan
Keunggulannya (Jakarta: Gramedia Widasarana Indonesia, 2010), 112.
8
Iryana dan Risky Kawasati, “Teknik Pengumpulan Data Metode
Kualitatif," Jurnal Ekonomi Syariah (2019): 2.
40
memiliki kepercayaan. Pada penelitian ini teknik keabsahan
data peneliti adalah menggunakan triangulasi yaitu teknik
pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari
berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang
telah ada. Maka dapat dilakukan dengan triangulasi,
diantaranya:
1. Triangulasi Sumber
Triangulasi sumber yaitu triangulasi yang
mengarahkan peneliti untuk mengumpulkan data dari
bermacam-macam sumber yang ada. 9 Sebagai contoh,
untuk menguji kredibilitas data tentang Isbat nikah,
maka pengumpulan data dan pengujian data dapat
dilakukan dengan cara membandingkan salinan
penetapan pengadilan dengan hasil wawancara kepada
Ketua Majelis Pengadilan Agama Kudus serta
wawancara kepada pelaku pengajuan Isbat nikah
alasan nikah siri.
Alasan penulis menggunakan tringulasi sumber,
sebab untuk mendapatkan hasil penelitian yang
maksimal dari sebuah penelitian, maka tidak cukup
hanya satu sumber melainkan membutuhkan dari
beberapa sumber.
2. Triangulasi Teknik
Triangulasi teknik dapat dilakukan dengan cara
melakukan pengecekan data kepada sumber yang
sama, namun dengan teknik yang berbeda. Contoh:
data yang diperoleh melalui wawancara lalu
melakukan pengecekan kembali dengan observasi,
maupun dokumentasi.
Alasan penulis menggunakan tringulasi teknik,
sebab untuk mendapatkan hasil data yang akurat, maka
sebuah penelitian tidak bisa jika melakukan
pengecekan data hanya menggunakan satu teknik,
melainkan perlu menggunakan beberapa teknik yang
berbeda, seperti wawancara, observasi dan didukung
dengan teknik dokumentasi.
9
Hengki Wijaya, Analisis Data Kualitatif Ilmu Pendidikan Teologi, 119.
41
3. Triangulasi Waktu
Tiangulasi waktu yaitu pengecekan kembali
terhadap data dengan menggunakan teknik yang sama,
namun dalam waktu atau situasi yang berbeda.
Contohnya peneliti sebelumnya telah melakukan
wawancara dengan narasumber dihari senin, kemudian
melakukan wawancara ulang diwaktu yang berbeda.10
Alasan penulis menggunakan tringulasi waktu,
sebab untuk memperoleh data yang sesuai dan dapat
dipertanggungjawabkan, maka peneliti tidak cukup
hanya satu hari untuk mendapatkan data yang
maksimal, melainkan butuh beberapa hari sampai
terpenuhinya data yang dibutuhkan.
10
Hengki Wijaya, Analisis Data Kualitaitif Ilmu Pendidikan Teologi,
120-121.
42
penelitian dan pembahasan. Setelah dianalisis,
kemudian diakhiri dengan menarik kesimpulan dari
data yang telah diperoleh tersebut.11
11
Umrati dan Hengki Wijaya, Analisis Data Kualitatif Teori Konsep
Dalam Penelitian Pendidikan (Makassar: Sekolah Tinggi Theologia Jaffray,
2020), 88-89.
43
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1
Data dokumentasi yang dikutip dari Pengadilan Agama Kudus tanggal
05 April 2021.
2
Data dokumentasi yang dikutip dari Pengadilan Agama Kudus tanggal
05 April 2021
44
b. Fungsi Pengadilan Agama, antara lain :
a. Fungsi mengadili yaitu menerima, memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan perkara yang
menjadi kewenangan Pengadilan Agama
dalam tingkat pertama.
b. Fungsi pembinaan, yakni memberikan
pengarahan, bimbingan dan petunjuk kepada
pejabat struktural dan fungsional di bawah
jajarannya, mengenai teknik yudisial,
administrasi pengadilan, keuangan, dan lain
sebagainya.
c. Fungsi pengawasan, yaitu mengadakan
pengawasan melekat atas pelaksanaan tugas
dan tingkah laku hakim, panitera serta pejabat
dibawah jajaran lainnya agar peradilan dapat
diselenggarakan dengan seksama dan
sewajarnya.
d. Fungsi nasehat, yakni memberikan
pertimbangan dan nasehat tentang hukum
Islam kepada instansi pemerintah di daerah
hukumnya, apabila diminta.
e. Fungsi lainnya, seperti melakukan koordinasi
dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat
dengan instansi lain dan melakukan pelayanan
riset/penelitian, sehingga dapat memberikan
akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat
dalam era keterbukaan dan trasparansi
informasi peradilan.3
3
Data dokumentasi yang dikutip dari Pengadilan Agama Kudus tanggal
05 April 2021.
45
struktur organisasi di Pengadilan Agama Kudus beserta
nama-nama yang menduduki dalam jabatan tersebut :
Ketua Pengadilan
Agama Kudus : Zainal Arifin, S.Ag.
Wakil Ketua
Pengadilan Kudus : Dr. Rifai, S.Ag., S.H., M.H.
Hakim : H. Ah. Sholih, S.H.
H. Supriyadi, S.Ag.,
M.H.E.S.
Dra. Ulfah
Hj. Rodiyah, S.H., M.H.
Azizah Dwi Hartani, S.H.I.,
M.H.
Panitera : H. Muchammad Muchlis,
S.H.
Panitera Pengganti : Drs. Akrom
Widarjan, S.H.
Sekretaris : Moh Asfaroni, S.H.I.
Panmud Gugatan : Karmo, S.H.
Panmud Permohonan : Endang Nurhidayati, S.H.
Jurusita : Eko Dwi Riyanto
Tri utami Cahaya Dewi,
A.md4
4
Data dokumentasi yang dikutip dari Pengadilan Agama Kudus tanggal
05 April 2021.
46
Tabel 4.1 Data seluruh perkara Isbat nikah
di Pengadilan Agama Kudus
5
Observasi di Pengadilan Agama Kudus, 12 April 2021.
47
tahunnya ada perkara yang masuk mengenai Isbat nikah
di Pengadilan Agama Kudus meskipun tidak begitu
banyak. Pengajuan Isbat nikah di Pengadilan Agama
Kudus dilakukan oleh para pelaku dengan motif atau
alasan yang berbeda-beda. Dari sini peneliti mengambil
salah satu perkara permohonan Isbat nikah di
Pengadilan Agama Kudus Nomor
0085/Pdt.P/2020/PA.Kds. Pada perkara tersebut
pemohon menyatakan bahwa pada tanggal 15 September
2018 pemohon I yang bernama Harun Rosyid dan
pemohon II bernama Malikhatin telah melangsungkan
perkawinan menurut Agama Islam. Bahwa setelah
perkawinan tersebut pemohon I dan Pemohon II
dikaruniai seorang anak, akan tetapi pemohon tidak
mempunyai kutipan akta nikah yang disebabkan bahwa
perkawinan mereka belum di daftarkan di Kantor
Urusan Agama, sementara pemohon membutuhkan Akta
Nikah untuk alasan hukum dalam pengurusan
pembuatan akta anak sehingga diperlukannya penetapan
pengesahan nikah. Dengan demikian adanya Isbat nikah
diharapkan mampu memberikan jaminan perlindungan
kepastian hukum terhadap masing-masing pasangan
suami istri untuk mendapatkan hak-haknya.
Peneliti selanjutnya untuk mendapatkan data yang
relevan mengenai Isbat nikah sebagai upaya legalitas
perkawinan siri, maka peneliti mengumpulkan data
dengan mencari dan mewawancarai pihak yang
berkaitan. Adapun informan yang saya wawancarai
adalah pelaku yang pengajuan Isbat nikah di Pengadilan
Agama Kudus dengan alasan nikah siri tujuannya untuk
pengurusan Akta Kelahiran anak, yakni sesuai dengan
Nomor perkara 0085/Pdt.P/2020/PA.Kds, adalah Bapak
Harun Rosyid. Berdasarkan hasil wawancara dengan
pelaku menyatakan bahwa:
“Alasan saya dengan istri saya (Malikhatin)
menikah secara Agama Islam saja atau nikah siri
yaitu, saya dahulunya adalah petinggi di Desa
Karangbener Kabupaten Kudus mbak. Saya
menikah siri dengan Malikhatin pada tanggal 15
September 2018 yang dilangsungkan di rumah
48
istri saya Desa Karangbener Kabupaten Kudus,
waktu itu saya berumur 38 Tahun dan istri saya
45 Tahun, kami sama-sama saling mencintai, dan
pada waktu saya berstatus duda sedangkan istri
saya sudah resmi berstatus janda dan sudah tidak
dalam masa iddah. Alasan saya tidak mencatatkan
perkawinan ke pihak yang berwenang, sebab saya
diancam oleh mantan suaminya Malikhatin yang
pada waktu itu sama-sama petinggi di Desa
Karangbener. Ancaman dari mantan suami
Malikhatin tersebut adalah nantinya saya akan
dibunuh dan dipastikan antara saya dengan
Malikhatin tidak akan hidup bahagia. Maka dari
itu saya tidak berani menikah secara resmi demi
keselamatan jiwa, yang penting perkawinan saya
dan istri saya telah sah sesuai syariat agama
Islam”.6 Setelah satu tahun perkawinan saya dan
istri saya dikaruniai seorang anak laki-laki
bernama Ubaidillah Malawi, kemudian saya
dengan istri saya baru berani mengajukan
permohonan Isbat nikah ke pengadilan Agama
Kudus setelah beberapa tahun mantan suami dari
istri saya meninggal dunia. Saya mengajukan
permohonan Isbat nikah itu dikarenakan saya dan
istri saya ingin meresmikan perkawinan supaya
sah dimata hukum, selain itu kami sangat
membutuhkan penetapan nikah untuk pengurusan
akta kelahiran anak kami”.7
6
Wawancara oleh penulis dengan pelaku yang mengajukan Isbat nikah
siri ke Pengadilan Agama Kudus, Harun Rosyid. Tanggal 15 April 2021.
7
Wawancara oleh penulis dengan pelaku yang mengajukan Isbat nikah
siri ke Pengadilan Agama Kudus, Harun Rosyid. Tanggal 15 April 2021.
49
orang maka permohonan Isbat nikah jelas pengajuannya
tidak dapat diterima, sebab legal standing nya
perkawinan yaitu monogami (satu istri untuk satu
suami). Jika ingin menikah lagi maka jalannya adalah
poligami bukan menikah siri dengan istri orang yang
kemudian mengajukan Isbat nikah. Di Pengadilan
Agama Kudus pengajuan Isbat nikah poligami tersebut
jelas ditolak, karena jelas melanggar Undang-undang.8
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Agama Kudus,
juga menuturkan bahwa dalam proses Isbat nikah pada
dasarnya sama dengan proses pengajuan perkara cerai
gugat, cerai talak, waris, perwalian dan lain-lain. Proses
pengajuan Isbat nikah dapat dilakukan dengan dua
cara9:
a) Dengan cara mengajukan permohonan
pengesahan nikah (Volunteer) jenis perkara yang
hanya ada pihak pemohon saja atau bersifat
kepentingan sepihak, tidak ada orang lain atau
pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan dan
produk hukumnya berbentuk penetapan.
Contohnya pada permohonan Isbat nikah di
Pengadilan Agama dapat diajukan oleh kedua
pasangan suami istri yang bertindak sebagai
Pemohon I dan Pemohon II.
b) Dengan cara mengajukan gugatan pengesahan
nikah (Kontensius) yaitu permohonan Isbat nikah
yang melibatkan orang lain sebagai termohon
misalnya istri terdahulu dan atau para ahli waris
suami pemohon. Maka pengesahan nikah tidak
dapat diajukan secara volunteer, tetapi harus
diajukan dalam bentuk gugatan pengesahan nikah
(Kontensius), serta produk hukumnya berupa
putusan. Contohnya ketika pemeriksaan
permohonan Isbat nikah diketahui bahwa suami
masih terikat perkawinan dengan perempuan lain,
8
Wawancara oleh penulis dengan Hakim Ketua Pengadilan Agama
Kudus Bapak Ah. Sholih S.H. Tanggal 12 April 2021.
9
Wawancara oleh penulis dengan Hakim Ketua Pengadilan Agama
Kudus Bapak Ah. Sholih S.H. Tanggal 12 April 2021.
50
maka istri terdahulu harus dijadikan pihak dalam
perkara sebagai termohon, jika pemohon tidak
memasukkan istri terdahulu sebagai pihak, maka
permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat
diterima. Selanjutnya jika suami atau istri yang
telah meninggal dunia, maka suami atau istri
dapat mengajukan Isbat nikah dengan
mendudukkan ahli waris lainnya sebagai pihak
Termohon, produknya juga berupa putusan.10
Langkah atau cara yang harus diperhatikan dalam
mengajukan permohonan atau pengesahan Isbat Nikah
di Pengadilan Agama Kudus antara lain :
1) Mendatangi ke Pengadilan Agama Kudus,
kemudian membuat surat permohonan Isbat
nikah. Surat permohonan dapat dibuat sendiri atau
dapat meminta bantuan kepada Pos Bakum (Pos
Bantuan Hukum) yang ada ditempat Pengadilan
secara cuma-cuma/gratis. Serta melampirkan surat
keterangan dari pihak KUA bahwa
perkawinannya tidak tercatatkan.
2) Langkah kedua yakni dengan membayar panjar
biaya perkara, apabila dirasa tidak sanggup
membayar panjar biaya perkara, maka dapat
mengajukan permohonan untuk berperkara secara
cuma-cuma (prodeo).
3) Langkah ketiga menunggu panggilan sidang
Pengadilan
4) Selanjutnya pemohon dapat menghadiri
persidangan. Biasanya hakim akan meminta untuk
menghadirkan para saksi, untuk membuktikan
apakah telah terjadi perkawinan tersebut.
5) Langkah terakhir yakni apabila permohonan
tentang Isbat nikah telah dikabulkan, maka
Pengadilan Agama akan mengeluarkan
putusan/penetapan Isbat nikah. Setelah
mendapatkan salinan putusan maka dapat
meminta pihak Kantor Urusan Agama untuk
mencatatkan perkawinan dengan menunjukkan
10
Wawancara oleh penulis dengan Hakim Ketua Pengadilan Agama
Kudus Bapak Ah. Sholih S.H. Tanggal 12 April 2021.
51
bukti salian putusan Isbat nikah tersebut.
Sedangkan apabila penetapan tersebut ditolak,
maka pasangan suami istri dapat mengajukan
upaya hukum kasasi.11
11
Wawancara oleh penulis dengan Hakim Ketua Pengadilan Agama
Kudus Bapak Ah. Sholih S.H. Tanggal 12 April 2021.
12
Wawancara oleh penulis dengan Hakim Ketua Pengadilan Agama
Kudus Bapak Ah. Sholih S.H. Tanggal 12 April 2021.
13
Wawancara oleh penulis dengan Hakim Ketua Pengadilan Agama
Kudus Bapak Ah. Sholih S.H. Tanggal 12 April 2021.
52
umroh dan pendaftaran haji, selain itu, faktor
lainnya adalah pasangan suami istri yang
mengajukan Isbat nikah disebabkan perkawinan
antara kedua pasangan tersebut tidak tercatat di
Kantor Urusan Agama, sebab mereka merasa
telah dinikahkan oleh pejabat Kantor Urusan
Agama (KUA) namun pada kenyataanya
perkawinan mereka tidak dicatatkan, dan saat itu
orang yang telah melangsungkan perkawinan
tidak langsung meminta Akta nikah. Hal ini
dikarenakan pada zaman dahulu ada beberapa
pejabat (oknum) yang curang dan tidak
bertanggung jawab, mereka hanya menghadiri
perkawinan dan bertugas menikahkan mempelai
saja tanpa mencatatkan perkawinannya di Kantor
Urusan Agama, dan mengenai biaya perkawinan
masuk ke kantong pejabat itu sendiri. Kejadian
tersebut terjadi pasca Undang-Undang
Perkawinan. Mereka melaksanakan perkawinan di
muka pejabat, tetapi pejabat tersebut bukan
pejabat resmi/sah serta tidak berwenang untuk
melaksanakan perkawinan. Aktivitas pejabat
seolah-olah sama dengan pejabat resmi dalam
operasional mereka, tertutup dan rapi, yang
penting bagi mereka bagaimana cara
mendapatkan uang dari usahanya itu”.14
14
Wawancara oleh penulis dengan Hakim Ketua Pengadilan Agama
Kudus Bapak Ah. Sholih S.H. Tanggal 12 April 2021.
53
memang tidak ada akta nikah dari pasangan
tersebut. Kemudian bukti kedua yaitu bukti saksi,
saksi minimal 2 (dua) orang yang mengetahui
tentang perkawinannya pada saat itu dan juga
harus disertai dengan dalil-dalil permohonan yang
kuat, seperti menikah ditahun berapa, tanggal
berapa, hari apa, siapa yang menjadi walinya,
saksinya siapa, siapa yang mengijab qabulkannya,
konsisi saat menikah kedua mempelai sama-sama
ikhlas apa tidak, dan juga apakah ada seseorang
yang keberatan atau tidak tentang perkawinannya
saat itu.15 Kemudian Hakim memeriksa antara
kedua pemohon, apakah mempunyai hubungan
darah atau tidak, mempunyai hubungan
sepersususan apa tidak. Jikalau kemudian terbukti
bahwa perkawinannya telah sah menurut rukun
syarat perkawinan dan tidak ada halangan nikah,
maka permohonannya diterima oleh Hakim dan
menetapkan sah perkawinannya tersebut”.16
15
Wawancara oleh penulis dengan Hakim Ketua Pengadilan Agama
Kudus Bapak Ah. Sholih S.H. Tanggal 12 April 2021.
16
Wawancara oleh penulis dengan Hakim Ketua Pengadilan Agama
Kudus Bapak Ah. Sholih S.H. Tanggal 12 April 2021.
54
yakni ayah dari pihak pemohon II Suhari yang
mewakilkan kepada Jayadi sebagai wali untuk
menikahkan putrinya dan disaksikan oleh dua orang
saksi yang bernama Nurhadi dan Misbah dengan
maskawin berupa uang sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus
ribu rupiah) dibayar tunai. Bahwa pada saat akad
pemohon I berstatus duda dan pemohon II berstatus
janda dan dilakukan atas dasar suka sama suka dan
antara keduanya tidak ada pertalian nasab, tidak ada
hubungan sesusuan dan tidak ada halangan perkawinan,
baik menurut ketentuan hukum Islam maupun peraturan
perundang-undangan yang berlaku.17 Selama
perkawinan, keduanya bertempat tinggal di rumah
pemohon I di RT.08 RW.01 Desa Kutuk Kecamatan
Undaan Kabupaten Kudus dan hidup rukun sebagaimana
layaknya pasangan suami istri serta dikaruniai seorang
anak laki-laki yang bernama Ubaidillah Malawi, lahir di
Kudus tanggal 02 Oktober 2019. Dalam pengajuan
permohonan ke Pengadilan Agama Kudus, para
pemohon juga mengajukan bukti surat untuk
menguatkan dalil permohonannya, diantaranya sebagai
berikut:
a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
pemohon I, dan pemohon II yang dikeluarkan oleh
Kantor Catatan Sipil Kabupaten Kudus, dan telah
sesuai dicocokkan dengan yang aslinya;
b. Fotokopi Kartu Keluarga atas nama pemohon I dan
pemohon II yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan
Sipil Kabupaten Kudus, dan telah sesuai
dicocokkan dengan yang aslinya;
c. Fotokopi akta cerai oleh pemohon I dan pemohon II
serta telah sesuai dicocokkan dengan yang aslinya;
Pihak pemohon selain melampirkan bukti surat-
surat tersebut, juga mengajukan 4 (empat) orang saksi
ke persidangan, antara lain Bapak Jayadi, saksi kedua
bernama Moh Rosyid, yang telah menikahkan para
pemohon tersebut atau sebagai wali nikah para
17
Wawancara oleh penulis dengan Hakim Ketua Pengadilan Agama
Kudus Bapak Ah. Sholih S.H. Tanggal 12 April 2021.
55
pemohon. Menurut saksi kedua Moh Rosyid, alasan para
pemohon menikah secara agama Islam dikarenakan
pemohon I tidak enak hati dengan mantan suami
pemohon II yang bekerja sebagai Kepala Desa
Karangbener. Selain itu, saksi II sudah mengklarifikasi
secara langsung kepada bapak Suhari selaku ayah
kandung dari pemohon II untuk menikahkan para
pemohon dan ayah pemohon juga turut hadir dalam
majelis pada saat akad perkawinan antara keduanya.
Agus Kasturi sebagai saksi tiga dan Misbahuddin
sebagai saksi keempat. Dari keterangan saksi yang ada
kemudian di sumpah serta saksi menunjukkan bahwa
perkawinan antara pemohon Harun Rosyid dengan
Malikhatin memang benar adanya, dan tidak ada yang
keberatan dalam perkawinan antar keduanya.18
1) Dasar Hukum
Dasar hukum dalam memberikan
putusan/penetapan Isbat nikah di Pengadilan Agama
Kudus harus memenuhi ketentuan syarat sebagai
berikut, diantaranya :
a) Legal Standing (kedudukan hukum) pemohon
untuk mengajukan perkara Isbat nikah di
Pengadilan Agama, apakah pemohon
merupakan pihak yang mempunyai kepentingan
kedudukan hukum berdasarkan ketentuan pasal
7 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam.
b) Posita atau fakta kejadian dan fakta hukum.
c) Keterangan saksi dan bukti dipersidangan
d) Alasan mengajukan Isbat nikah.19
Majelis Hakim Pengadilan Agama Kudus
dalam mengabulkan permohonan Isbat nikah Nomor
perkara 0085/Pdt.P/2020/PA.Kds menggunakan
dasar hukum dalam kitab I’anatut Tholibin IV : 254
yang berbunyi:
18
Wawancara oleh penulis dengan Hakim Ketua Pengadilan Agama
Kudus Bapak Ah. Sholih S.H. Tanggal 12 April 2021.
19
Wawancara oleh penulis dengan Hakim Ketua Pengadilan Agama
Kudus Bapak Ah. Sholih S.H. Tanggal 12 April 2021.
56
ِ ٍاح علَى اِمراة ِِ َ َوِِف
َُد َكَر ص َحتَهُ َو ُش ُروطَه َ ْ َ ِ الد ْع َوى بن َك
ِ ِمن ََن ِو وٍِِل وش
اه َدي ِن َع ُد ْوٍل َ َ ْ ْ
Artinya: “Pengakuan perkawinan dengan seseorang
perempuan harus dapat menyebutkan
sahnya perkawinan dahulu dari adanya wali
dari dua orang saksi yang adil”.
20
Permenristek Dikti RI, “16 Tahun 2019, Perubahan Atas Undang
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” (14 Oktober 2019).
57
perkawinan yang berbunyi “Seseorang yang
masih terikat tali perkawinan dengan orang lain
tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang
tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang
perkawinan”. Dilihat dari perkara Isbat nikah
Nomor 0085/Pdt.P/2020.PA.Kds terbukti bahwa
para pemohon tidak terikat dalam perkawinan
lain (berstatus duda dan janda) dan telah
dibuktikan dengan adanya akta cerai dari
keduanya. 21
2) Pertimbangan Hukum
Pertimbangan hukum yang digunakan Majelis
Hakim Pengadilan Agama Kudus dalam memutuskan
perkara Isbat nikah Nomor.
0085/Pdt.P/2020/PA.Kds adalah sebagai berikut :
a) Menimbang bahwa perkara yang diajukan
menyangkut bidang perkawinan dan pemohon I serta
pemohon II bertempat tinggal di wilayah Kabupaten
Kudus, maka sesuai dengan ketentuan pasal 49 ayat
(1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 tentang Peradilan Agama dan pasal 7
ayat 2 Kompilasi Hukum Islam, secara absolute
maupun relatif perkara ini menjadi wewenang
Pengadilan Agama;
b) Menimbang bahwa sesuai dengan pasal 7 ayat (4)
Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa yang
berhak mengajukan permohonan Isbat nikah adalah
suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah, serta
pihak yang berkepentingan. Sehingga oleh karena
yang mengajukan Isbat nikah dalam perkara ini
adalah pemohon I dan pemohon II (pasangan suami
istri), maka pemohon I dan pemohon II memiliki
21
Wawancara oleh penulis dengan Hakim Ketua Pengadilan Agama
Kudus Bapak Ah. Sholih S.H. Tanggal 12 April 2021.
58
kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan perkara ini adalah Harun Rosyid sebagai
pemohon I dan Malikhatin sebagai pemohon II.;22
c) Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil para
pemohon serta pembuktian diatas, maka memperoleh
fakta sebagai berikut :
(1) Pemohon I dan pemohon II tidak ada
hubungan nasab, hubungan kerabat semenda,
hubungan sesusuan dan hal lainnya yang
menjadi penghalang pernikahan;
(2) Pemohon I dan pemohon II sejak perkawinan
tersebut sampai dengan saat ini belum pernah
bercerai;
(3) Pemohon I dan pemohon II telah dikaruniai 1
(satu) orang anak; 23
Majelis Hakim menyimpulkan fakta persidangan
pemohon I dan pemohon II, maka dengan segala
ketentuan hukum Islam dan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan perkara ini
menetapkan:
(a) Mengabulkan permohonan pemohon I dan
pemohon II;
(b) Menyatakan sah perkawinan antar keduanya
yang telah dilaksanakan pada tanggal 15
September 2018 menurut agama Islam di
rumah pemohon II Desa Karangbener RT.06
RW.05 Kecamatan Bae Kabupaten Kudus;
(c) Memerintahkan pemohon I dan pemohon II
untuk mencatatkan perkawinannya kepada
pihak yang berwenang KUA Kecamatan Bae
Kabupaten Kudus;
(d) Membebankan kepada pemohon I dan
pemohon II untuk membayar biaya perkara
sejumlah Rp. 341.000,- (tiga ratus empat
puluh satu ribu rupiah).
22
Wawancara oleh penulis dengan Hakim Ketua Pengadilan Agama
Kudus Bapak Ah. Sholih S.H. Tanggal 12 April 2021.
23
Wawancara oleh penulis dengan Hakim Ketua Pengadilan Agama
Kudus Bapak Ah. Sholih S.H. Tanggal 12 April 2021.
59
Penetapan ditetapkan pada hari Kamis 11 Juni
2020 bertepatan dengan tanggal 19 Syawal 1441
Hijriyyah oleh ketua Majelis Hakim Bapak Ah. Sholih,
S.H., H. Supriyadi, S.Ag., M.Hes dan H. Sulomo, S.Ag.,
masing-masing sebagai hakim anggota, dengan dibantu
Nisfatul Laili, S.Sy. sebagai panitera pengganti.
Penetapan tersebut dibacakan oleh ketua Majelis di hari
itu juga dalam sidang terbuka untuk umum dengan
dihadiri oleh para pemohon.
Perkara Isbat nikah Nomor
0085/Pdt.P/2020/PA.Kds yang mana mengenai
terkabulnya permohonan Isbat nikah dengan alasan
nikah siri dengan tujuan untuk pengurusan akta
kelahiran anak adalah sah-sah saja. Menurut Ketua
Hakim Pengadilan Agama Kudus Sholih, S.H.,
menuturkan bahwa24:
“Memang salah satu untuk mendapatkan akta
kelahiran anak adalah harus mempunyai akta
nikah. Untuk dapat dikabulkan permohonan Isbat
nikah harus terpenuhinya unsur-unsur syarat dan
rukun nikah itu sendiri, yakni terdiri adanya dua
orang mempelai laki-laki dan perempuan, wali,
dua orang saksi, dan ijab qabul. Jika terbukti tidak
memenuhi salah satu unsur-unsur tersebut maka
permohonannya tidak dapat diterima. Namun
bukan berarti permohonan Isbat nikah dengan
alasan untuk pengurusan akta kelahiran anak
bukanlah alasan satu-satunya yang dapat
dikabulkan melainkan ada beberapa yang harus
dipertimbangkan oleh Hakim, seperti syarat sah
nikah dan rukunnya, serta memenuhi legal
standing (kedudukan hukum pemohon dalam
mengajukan Isbat nikah), fakta hukum/posita,
keterangan saksi saat pembuktian, dan alasan
pengajuan Isbat nikah. Jika semuanya telah
terpenuhi baru alasan tersebut diterima. Apapun
24
Wawancara oleh penulis dengan Hakim Ketua Pengadilan Agama
Kudus Bapak Ah. Sholih S.H. Tanggal 12 April 2021.
60
alasan pengajuan Isbat nikah kembali lagi ke
rukun dan syarat perkawinan”.
25
Wawancara oleh penulis dengan Hakim Ketua Pengadilan Agama
Kudus Bapak Ah. Sholih S.H. Tanggal 12 April 2021.
61
Islam sendiri tidak membedakan antara anak
sah dan tidak sah. Adapun anak hasil perkawinan
siri kedudukannya sama seperti pada anak sah
umumnya, sehingga sebagai orang tua wajib
memenuhi hak-hak anak, salah satunya seperti
mendapatkan hak waris atas kedua orangtuanya.
Meskipun nikah siri diperbolehkan, namun lebih
baik jika setiap perkawinan tersebut dicatatkan.
Adapun setiap perkawinan yang tidak dapat
dibuktikan dengan adanya akta nikah maka dapat
mengajukan Isbat nikah ke Pengadilan Agama
Kudus dengan syarat memenuhi ketentuan
Peraturan Perundang-undangan yang ada. Adapun
hasil wawancara dengan Ketua Majelis Pengadilan
Agama Kudus, Bapak Ah. Sholih juga menuturkan
bahwa:
“Pertimbangan hakim dalam mengabulkan
dan menolak permohonan Isbat nikah yaitu
atas dasar siapa yang mendalilkan harus
dapat membuktikannya. Ketika suatu
permohonan Isbat nikah diajukan, maka
harus disertai dalil-dalil dan bukti yang kuat.
Contohnya ketika para pemohon
menghadirkan para saksi dalam persidangan
dan menyatakan bahwa memang benar
adanya perkawinan antara sepasang suami
istri (para pemohon) dan telah memenuhi
rukun syarat perkawinan, dan selama hal
tersebut dapat dipertanggung jawabkan serta
tidak bertentangan pada larangan perkawinan
maka permohonannya dapat diterima. Jika
sebaliknya para pemohon tidak dapat
membuktikan, maka permohonannya tidak
dapat diterima”.26
26
Wawancara oleh penulis dengan Hakim Ketua Pengadilan Agama
Kudus Bapak Ah. Sholih S.H. Tanggal 12 April 2021.
62
b. Perspektif Hukum Positif tentang Isbat nikah
sebagai legalitas perkawinan siri di Pengadilan
Agama Kudus
Pengadilan Agama tugasnya adalah
menerima, memutus dan melaksanakan putusan,
tidak diperkenankan untuk membatasi, menolak,
maupun promosi. Maka Pengadilan Agama sifatnya
adalah netral. Menurut ketua Hakim Pengadilan
Agama Kudus, menyatakan bahwa dalam pasal 2
ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 tentang perkawinan. Kedua pasal tersebut
sangat berkaitan, sebab selain perkawinan sudah
bisa dikatakan sah jika dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaanya, akan
tetapi adanya pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan
mengharuskan perkawinan tersebut dicatatkan.27
Dampak perkawinan yang tidak dicatatkan
yaitu sangat berakibat pada perempuan (istri)
maupun anak dari hasil perkawinan mereka. Sebab
menurut hukum positif, anak hasil perkawinan siri
dianggap sebagai anak luar kawin dan hanya
bernasab pada ibunya saja. Dalam hukum positif
juga membedakan antara anak sah dan anak tidak
sah, dalam arti bahwa anak sah merupakan anak
yang lahir dari perkawinan yang sah, sedangkan
anak tidak sah adalah anak yang lahir dari
keturunan yang tidak berdasarkan suatu perkawinan
yang sah. Sehingga menurut hukum Positif, anak
hasil nikah siri dianggap sebagai anak luar kawin
dan tidak memiliki hubungan perdata dengan
ayahnya. Namun disisi lain Kompilasi Hukum
Islam membuka peluang bagi pasangan suami istri
yang perkawinannya belum dicacatkan kepada
pihak yang berwenang, yakni dengan adanya Isbat
nikah. Bapak Ah. Sholih juga menambahkan bahwa
:
27
Wawancara oleh penulis dengan Hakim Ketua Pengadilan Agama
Kudus Bapak Ah. Sholih S.H. Tanggal 12 April 2021.
63
“Selama keduanya (para pemohon)
mengajukan permohonan Isbat nikah,
misalnya menikah di tahun 2010 dan
mengajukan Isbat nikah di tahun 2015 maka
dapat dikatakan bahwa perkawinan mereka
sudah sah menurut Agama tetapi belum sah
dalam negara. Sehingga setelah mengajukan
permohonan Isbat nikah, maka perkawinan
dan anak dari hasil perkawinan mereka baru
dianggap oleh negara, dan anak mempunyai
hubungan perdata dengan ayahnya. Akan
tetapi dengan syarat pengajuan Isbat nikah
tersebut dibuktikan dengan pengakuan dari
pihak orang tua bahwa anak tersebut
merupakan hasil dari perkawinan siri selama
ini, adanya saksi yang menyatakan bahwa
perkawinan tersebut memang benar-benar
ada dan dibuktikan bahwa perkawinan
mereka telah memenuhi rukun syarat
perkawinan. Dengan demikian menurut
hukum Positif membolehkan juga adanya
Isbat nikah, karena merupakan salah satu
bukti sahnya perkawinan, jika dalam suatu
perkawinan akta nikah tidak ada, maka
perkawinan tersebut dianggap tidak sah
dalam hukum negara, sebab belum tedaftar
pada pejabat yang berwenang”.28
28
Wawancara oleh penulis dengan Hakim Ketua Pengadilan Agama
Kudus Bapak Ah. Sholih S.H. Tanggal 12 April 2021.
64
adanya kabar dan nafkah dari sang suami,
kemudian ingin mengajukan perceraian. Maka
satu-satunya cara untuk bercerai dengan alasan
ditinggal selama 2 tahun lebih, dapat diajukan
di Pengadilan Agama dengan cara mengajukan
Isbat nikah dan perceraian, maka itu
diperbolehkan. Sebab perceraian yang resmi
hanya dapat dilakukan dari perkawinan yang
resmi pula.29
2) Hilangnya akta nikah. Contohnya ketika
seseorang terkena musibah banjir, sehingga
barang-barang berharganya telah hanyut yang
salah satunya akta nikah mereka. Kehilangan
akta nikah tersebut pasangan suami istri dapat
menghubungi pihak Kantor Urusan Agama
untuk meminta duplikat akta nikah, kecuali
jika berkas yang ada di Kantor Urusan Agama
sudah tidak ada, maka upaya selanjutnya yaitu
mengajukan permohonan Isbat nikah di
Pengadilan Agama dan itu diperbolehkan.
3) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya
salah satu syarat perkawinan.
4) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum
berlakunya Undang- Undang Nomor 16 Tahun
2019 tentang perkawinan
5) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang
tidak mempunyai halangan perkawinan
menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 tentang perkawinan, yaitu pasangan
suami istri tidak ada hubungan nasab maupun
hubungan sepersusuan.
Syarat pengajuan Isbat nikah yang telah
dijelaskan diatas, jika huruf a sampai e sudah
terpenuhi atau terpenuhinya salah satu dari syarat-
syarat diatas maka dapat dilaksanakan Isbat
nikahnya, seperti yang dikatakan oleh ketua Majelis
Hakim Bapak Sholih, sesuai pasal 7 ayat (3)
29
Wawancara oleh penulis dengan Hakim Ketua Pengadilan Agama
Kudus Bapak Ah. Sholih S.H. Tanggal 12 April 2021.
65
Kompilasi Hukum Islam bahwa syarat pengajuan
Isbat nikah di Pengadilan Agama adalah alternatif
(satu-satu), dimana tidak semua syarat pengajuan
Isbat nikah dalam pasal tersebut harus semuanya
terpenuhi (tidak bersifat komulatif). Jika sebaliknya
tidak terpenuhi salah satu dari huruf a sampai e
maka ditolak atau tidak ada alasan”.30
Ketua Majelis Pengadilan Agama Kudus
juga menyatakan bahwa, alasan mengapa pasca
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan direvisi menjadi Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan,
permohonan Isbat nikah masih diterima, padahal
dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 ayat (3)
huruf d menyatakan bahwa perkawinan yang dapat
diajukan Isbat nikah salah satunya yaitu adanya
perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan bukan
pasca Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
tentang perkawinan. Dan pada kenyataannya
banyak permohonan Isbat nikah yang masuk di
Pengadilan Agama Kudus. Dalam hal ini Majelis
Hakim tidak langsung menerima begitu saja, akan
tetapi memeriksa terlebih dahulu di dalam
permohonan Isbat nikahnya, apakah perkawinan
tersebut memenuhi rukun dan syarat perkawinan
dan tidak ada halangan perkawinan sebagaimana
yang diatur dalam Undang-undang perkawinan,
maka Pengadilan Agama akan tetap mengabulkan
permohonan tersebut meskipun perkawinan itu
dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan, serta
dalam hal ini Majelis Hakim juga melihat dari sisi
kemaslahatannya dan perlunya kepastian dan
perlindungan hukum terhadap anak-anak para
pemohon, jika tidak dikabulkan akan menimbulkan
mudharat. Contohnya jika tidak dikabulkan akan
30
Wawancara oleh penulis dengan Hakim Ketua Pengadilan Agama
Kudus Bapak Ah. Sholih S.H. Tanggal 12 April 2021.
66
menjadikan nasib anak dari hasil perkawinan siri
tersebut kesulitan dalam memperoleh akta
kelahiran. Sehingga akan sulit mengikuti
pendidikan formal, sebab persyaratan untuk
mengikuti pendidikan, maka Akta Kelahiran mutlak
dimiliki.31
31
Wawancara oleh penulis dengan Hakim Ketua Pengadilan Agama
Kudus Bapak Ah. Sholih S.H. Tanggal 12 April 2021.
32
Alquran, az-Zariyat ayat 49, Alquran Tajwid Terjemah Tafsir Untuk
Wanita (Bandung: Marwah, 2009), 522.
67
bahkan sampai pada hewan dan tumbuhan. Oleh karena
itu, Allah berfirman “supaya kamu mengingatkan akan
kebesaran Allah”. Maksudnya supaya kita sebagai
ciptaan Allah mengetahui bahwa Sang Pencipta itu
hanya satu, tiada sekutu bagi-Nya. Serta sudah menjadi
kodrat alam bahwa dua insan yang berlainan jenis
memiliki daya saling tari menarik antara yang satu
dengan yang lainnya untuk hidup bersama, sehingga
mereka dapat berhubungan, saling mencintai,
menghasilkan keturunan serta hidup dalam kedamaian.
Perkawinan memiliki syarat dan rukun yang wajib
terpenuhi. Salah satu yang diperdebatkan dalam hal
syarat dan rukunnya adalah pencatatan pernikahan.
Adapun perkawinan yang tidak dicatatkan disebut
dengan nikah siri. Suatu perkawinan yang tidak dapat
dibuktikan dengan adanya akta nikah, maka dapat
mengajukan pengesahan atau yang biasa disebut dengan
Isbat nikah ke Pengadilan Agama. Membahas mengenai
Isbat nikah, berdasarkan data saat penulis melakukan
observasi dan wawancara dengan Ketua Majelis
Pengadilan Agama Kudus, yang menyatakan
bahawasannya proses pelaksanaan atau prosedur-
prosedur dalam permohonan Isbat nikah di Pengadilan
Agama Kudus yaitu:
1) Mendatangi Kepala Desa meminta surat keterangan
dari Desa.
2) Mendatangi Kantor Urusan Agama, guna membuat
permohonan agar tercatat di Kantor Urusan Agama,
lalu dibuatkan surat penolakan (keterangan surat
tidak tercatat di Kantor Urusan Agama).
3) Mendatangi Pengadilan Agama dengan
melampirkan surat-surat berupa: Surat keterangan
dari Kantor Urusan Agama setempat dimana isinya
menerangkan bahwa yang bersangkutan benar-
benar pernikahanya tidak tercatatkan di Kantor
Urusan Agama, fotocopy Kartu Tanda Penduduk
suami maupun istri, fotocopy Kartu Keluarga,
fotocopy akta cerai bagi yang berstatus duda atau
janda, fotocopy surat kematian dari Desa, apabila
salah satu pihak meninggal dunia. Selanjutnya
68
mengajukan permohonan Isbat nikah di Pengadilan
Agama Kudus dengan tujuan dan alasan yang jelas.
misalnya dengan alasan demi kepastian hukum dan
untuk mendapatkan hak-hak dasar yang
bersangkutan agar terpenuhi.
Mengenai faktor pengajuan Isbat nikah dengan
alasan nikah siri tujuannya untuk pengurusan akta
kelahiran anak, sesuai pada penetapan perkara Isbat
nikah Nomor 085/Pdt.P/2020/PA.Kds adalah sah-sah
saja. Dalam hal ini menurut penulis sangatlah setuju
dengan adanya Isbat nikah sebagai legalitas perkawinan
siri, hal ini dikarenakan mereka yang selama ini tidak
memiliki Kartu Keluarga sebab tidak mempunyai buku
nikah, setelah adanya penetapan Isbat nikah oleh
Pengadilan Agama mereka akan mudah mengurus Kartu
Keluarga dan Akta Kelahiran anak dan adanya Isbat
nikah juga dapat memberikan jaminan perlindungan
kepastian hukum terhadap masing-masing pasangan
suami istri, termasuk perlindungan terhadap anak yang
lahir dari perkawinannya dan memperjelas status anak
hasil nikah siri dari perkawinan mereka. Dimana
nantinya setelah kedua orang tua mengajukan Isbat
nikah, maka akan dikeluarkan Akta Nikah, selanjutnya
Akta Nikah tersebut akan digunakan oleh anak-anak
para pelaku nikah siri untuk pengurusan Akta Kelahiran
anak, sehingga adanya Akta Kelahiran tersebut nantinya
anak dapat mengikuti pendidikan formal dan selain itu
Akta Kelahiran merupakan sebuah pengakuan hukum
bahwa anak tersebut adalah anak sah yang lahir dari
perkawinannya tersebut sehingga otomatis anak dari
perkawinan siri akan dapat menjadi ahli waris yang sah.
Dengan demikian permohonan Isbat nikah dengan
tujuan agar dapat mendapatkan Akta Kelahiran adalah
demi kemaslahatan atau maslahah bersama.
Maslahah berasal dari bahasa arab ( يصلح- )صلح
yang artinya mendatangkan kebaikan atau memberi
manfaat. Sedangkan mursalah berarti terlepas. Dari
kedua kata tersebut dapat digabungkan menjadi
maslahah mursalah yang berarti prinsip kemaslahatan
yang digunakan untuk menetapkan suatu hukum Islam
69
atau suatu perbuatan yang mengundang nilai maslahah
atau manfaat dan mencegah mafsadat. 33 Adapun
maslahah mursalah dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
a) Maslahah dharuriyah yaitu kemaslahatan yang
berupa kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar
manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan
dalam hal ini terdapat lima bentuk pemeliharaan,
diantaranya: dalam kemaslahatan agama, jiwa, akal,
kemaslahatan keturunan dan kemaslahatan harta
atau disebut juga al-mashalih alkhamsah.
b) Maslahah hajiyah, yaitu segala sesuatu yang sangat
dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan
kesulitan dan menolak segala halangan. Pengabaian
terhadap maslahah hajiyah tidak menimbulkan
ancaman bagi keberlaangsungan hidup manusia,
tetapi akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan.
Adapun contoh dari maslahah hajiyah yaitu Allah
mensyariatkan berbagai tranksaksi, seperti jual beli,
sewa-menyewa, dan memberikan keringanan
hukum (rukhshah) seperti kebolehan menjamak dan
mengqashar shalat bagi musafir, dan lain
sebagainya.
c) Maslahah Tahsiniyah yaitu kemaslahatan yang
sifatnya sebagai pelengkap antara maslahah
dharuriyah dan hajiyah atau tindakan yang pada
prinsipnya berhubungan dengan ahlakul karimah
serta memelihara keutamaan dalam bidang ibadah,
adat dan muamalah.
Berdasarkan ketiga maslahah tersebut, dimana
Isbat nikah jika dilihat dari maslahatnya termasuk dalam
maslahat hajiyah. Sebab suatu perkawinan yag tidak
tercatatkan akan menimbulkan madharat khususnya bagi
istri dan anak.
33
Suwarjin , Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2012), 142-144
70
2. Analisis Dasar Hukum Pertimbangan Hakim Nomor
perkara 085/Pdt.P/2020/PA.Kds dalam Isbat nikah
sebagai legalitas perkawinan siri di Pengadilan
Agama Kudus
Berdasarkan data yang diperoleh penulis,
permohonan Isbat nikah yang diajukan di Pengadilan
yaitu kebanyakan adanya perkawinan yang dilaksanakan
pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 tentang perkawinan. Namun oleh karena Isbat
nikah sangat dibutuhkan oleh masyarakat, maka Hakim
Pengadilan Agama tetap mengabulkan perkara
permohonan Isbat nikah pasca Undang-Undang
perkawinan dengan melihat sisi kemashlahatannya, yang
jika tidak dikabulkan akan menimbulkan madharat.
Dalam hal ini Majelis Hakim menggunakan landasan
hukum pada pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam.
Kompilasi Hukum Islam sebagai Instruksi
Presiden tidak termasuk dalam Hierarki Peraturan
Perundang-undangan serta tingkatannya jauh di bawah
Undang-undang. Oleh karena itu ketentuan Intruksi
Presiden (Inpres) tidak boleh bertentangan dengan
Undang-Undang. 34 Apabila ketentuan Kompilasi
Hukum Islam bertentangan dengan Ketentuan Undang-
Undangan atau ketentuan hukum yang lebih tinggi,
maka ketentuan Intruksi Presiden (Inpres) tidak dapat
dijalankan. Hal ini sesuai dengan asas Lex Superior
Derogate Legi Inferior (hukum yang lebih tinggi
mengesampingkan hukum yang dibawahnya).
Menurut Barmawi Murki, dalam bukunya yang
berjudul kedudukan dan peranan Kompilasi Hukum
Islam dalam sistem hukum nasional, menyebutkan
bahwa Hierarki Peraturan perundang-undangan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang urutan perundang-
undangan terdiri dari35:
34
Zainuddin dan Afwan Zainuddin, Kepastian Hukum Perkawinan Siri
Dan Permasalahannya Ditinjau Dari Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974,68.
35
Barmawi Murki, “Kedudukan Dan Peranan Kompilasi Hukum Islam
Dalam Sistem Hukum Nasional,” Jurnal Hukum 8, no. 17 (2001): 27.
71
a. Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap
MPR)
c. Undang-undang (UU)/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu)
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah Provinsi
g. Peraturan Kabupaten
Fakta di lapangan menunjukan bahwa Kompilasi
Hukum Islam tetap digunakan sebagai rujukan oleh
Hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam
menyelesaikan perkara (khususnya Isbat nikah). Hal ini
dikarenakan Kompilasi Hukum Islam dianggap sebagai
fiqh khas Indonesia yang sesuai dengan kondisi
masyarakat sekarang. Adapun pasal-pasal Kompilasi
Hukum Islam banyak diambil dari pendapat Imam
Syafii yang diikuti oleh mayoritas orang di Indonesia,
sehingga Kompilasi Hukum Islam dapat diterima oleh
masyarakat. Maka dengan ini kedudukan Kompilasi
Hukum Islam dalam sistem hukum nasional adalah
sebagi pedoman bagi Hakim dalam memutus dan
menyelesaikan perkara diantaranya perkawinan,
kewarisan, dan perwakafan. Namun bukan berarti
Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil final yang
tidak membutuhkan penyempurnaan.
Berdasarkan hasil wawancara penulis, dasar
hukum pertimbangan Hakim dalam memutuskan
perkara haruslah mempunyai landasan, agar putusan
yang dihasilkan dapat dipertanggung jawabkan. Setelah
melihat fakta-fakta Isbat nikah Nomor
0085/Pdt.P/2020/PA. terbukti pemohon I dan pemohon
II telah melangsungkan perkawinan pada tanggal 15
September 2018, dan perkawinan tersebut telah
memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang
perkawinan, bahwa perkawinan yang sah adalah
perkawinan yang sesuai dengan hukum masing-masing
agama dan kepercayaan. Selain itu tidak melanggar
ketentuan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam
72
(terpenuhinya rukun syarat perkawinan), serta tidak
terdapat larangan perkawinan sebagaimana yang telah
diatur dalam Undang-undang perkawinan yaitu antara
kedua pemohon tidak memiliki hubungan nasab atau
hubungan sepersusuan. Selain itu para pemohon tidak
sedang dalam ikatan perkawinan lain yang sudah
dibuktikan dengan adanya akta cerai dari keduanya
(Harun Rosyid yang telah berstatus duda dan Malikhatin
berstatus janda). Selain itu juga Majelis Hakim
menggunakan dasar hukum dalam kitab I’anatut
Tholibin juz IV ayat 254.
Permohonan Isbat nikah harus dilengkapi dengan
alasan dan kepentingan yang jelas serta konkrit misalnya
tujuan pengesahan nikah untuk mendapatkan tunjangan,
guna pengurusan akta kelahiran anak dan lain
sebagainya. Dimana para pemohon dalam
mengemukakan harus terdapat alasan dan kepentingan
yang mendasari pengajuan permohonan Isbat nikah,
sehingga hal tersebut dapat memudahkan Majelis Hakim
untuk melihat apakah permohonan tersebut dengan
iktikad baik atau tidak, apakah permohonan tersebut
terdapat penyelundupan hukum atau tidak.
Berdasarkan dasar hukum dan pertimbangan
hakim tentang Isbat nikah pada Nomor perkara
0085/Pdt.P/2020/PA.Kds diatas, menurut penulis sudah
sangat tepat. Sebab selain Majelis Hakim menggunakan
dasar hukum dari hukum syara’, Majelis Hakim juga
menggunakan dasar hukum dari peraturan perundang-
undangan yang ada, serta dalam hal ini Majelis Hakim
juga mempertimbangkan beberapa fakta kuat dari pihak
pemohon, sehingga permohonannya patut dikabulkan.
Oleh karena itu, menurut penulis adanya praktik
perkawinan siri tetaplah harus diminimalisir dan harus
dicegah, karena bagaimanapun perkawinan siri dapat
menimbulkan banyak menimbulkan madharat, sehingga
disarankan kepada para pelaku nikah siri untuk segera
mencatatkan perkawinannya di Pegawai Pencatat Nikah,
akan tetapi sebelumnya mengajukan permohonan Isbat
nikah di Pengadilan Agama terlebih dahulu.
73
3. Analisis Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif
tentang Isbat Nikah sebagai legalitas perkawinan siri
di Pengadilan Agama Kudus
a. Analisis Perspektif Hukum Islam tentang Isbat
nikah sebagai legalitas perkawinan siri di
Pengadilan Agama Kudus
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara
yang dilakukan peneliti di pengadilan Agama
Kudus, bahwa seseorang yang telah menikah secara
Agama saja tanpa dicatatkan oleh pihak yang
berwenang disebut dengan nikah siri atau nikah
dibawah tangan. Bagi seseorang yang telah
menikah siri dan belum mempunyai akta nikah
dapat mengajukan Isbat nikah di Pengadilan
Agama.
Menurut Faqih dan Umar Haris Sanjaya
Aunur Rahim, dalam bukunya yang berjudul
Hukum Perkawinan Islam, 36 berdasarkan perspektif
hukum Islam, tidak ada istilah nikah siri, karena
semua perbuatan perkawinan yang telah memenuhi
rukun dan syarat perkawinan hukumnya adalah sah.
Selama rukun dan syarat perkawinan telah
dipenuhi, maka pernikahan tersebut dianggap sah
menurut agama Islam. Dengan demikian, ketika
terjadi nikah siri yang tidak memenuhi rukun dan
syarat perkawinan, maka dapat dikatakan bahwa
perkawinan tersebut tidak sah. Selain rukun dan
syarat perkawinan, terdapat sunnah yang perlu
dilakukan dalam perkawinan, yaitu khotbah nikah,
pengumuman perkawinan dengan penyelenggaraan
walimatu al-„ursy (Perayaan atas perkawinan dari
adanya perpindahan kepemilikan). Maksud dari
perpindahan kepemilikan adalah perpindahan
tanggung jawab seorang wanita dari walinya ke
suaminya.
Pelaksanaan perkawinan dalam perspektif
hukum Islam sangat dianjurkan untuk disebarkan
36
Faqih, Umar Haris Sanjaya Aunur Rahim, Hukum Perkawinan Islam
(Yogyakarta: Gama Media Yogyakarta, 2017), 165.
74
atau diumumkan melalui walimah (walimatul
„ursy) dengan mengundang kerabat terdekat,
tetangga atau teman lainnya untuk menyaksikan
bahwa telah terjadi perkawinan antara pasangan
suami istri. Adapun hadis tersebut berbunyi :
ٍ أَوِِل ولَو بِ َش
ات َْ ْ
Artinya: “Berwalimahlah kamu walaupun hanya
menyediakan makanan yang terdiri dari
kaki kambing”. (HR. Muslim).37
37
Bambang Ali Kusumo, “Perkawinan Sirri Ditinjau Dari Hukum Islam
Dan Hukum Positif,” Jurnal Wacana Hukum Vol.10, No.1 (2011): 82.
38
Faizah, “Dualisme Hukum Islam Di Indonesia Tentang Nikah Siri",
23.
75
perkawinan siri di zaman sekarang, wali nikah yang
ditunjuk kadangkala adalah tokoh masyarakat atau
ulama yang tidak memiliki hubungan kekeluargaan.
Padahal disisi lain, orang tua pihak mempelai
perempuan masih hidup. Ketika ayah kandung dari
pihak mempelai perempuan masih hidup, maka
yang berhak menjadi wali adalah dirinya sendiri,
kecuali ketika ayah kandungnya sudah tidak ada
maka yang berhak menjadi wali adalah jalur
keluarga terdekat sesuai dalam aturan syariat Islam.
Sebab selama masih ada wali nasab maka yang
boleh menjadi wali adalah wali nasab tersebut.
Kecuali jika wali tersebut memberikan kuasa
perwaliannya kepada orang lain. Jadi, penunjukan
wali yang tidak memenuhi syarat ketentuan dan
tertib wali, maka dapat dikatakan bahwa akad
perkawinan tersebut tidak sah dan dianggap batal.39
Berdasarkan uraian di atas dapat di
simpulkan bahwa
dalam Islam sendiri, meskipun nikah siri hukumnya
sah akan tetapi menganjurkan bahwa setelah
melangsungkan perkawinan maka dilaksanakan
walimah. Dimana lebih baik lagi jika setelah
melangsungkan perkawinan harus memastikan
bahwa perkawinan tersebut telah tercatat pada
pihak berwenang, hal ini untuk menghindari adanya
kemudharatan yang timbul akibat dari perkawinan
yang jika tidak dicatatkan. Oleh karena itu
berdasarkan perspektif hukum Islam, nikah siri
meskipun diperbolehkan akan tetapi lebih baik
harus dicegah untuk menghindari hal yang tidak
diinginkan. Hal ini sesuai kaidah fiqh yang
berbunyi “Mencegah kemafsadatan lebih
diutamakan daripada menarik kemaslahatan”.
39
Happy Susanto, Nikah Siri Apa Untungnya, 48-49.
76
b. Analisis Perspektif Hukum Positif tentang Isbat
Nikah sebagai legalitas perkawinan siri di
Pengadilan Agama Kudus
Menurut Baghir Manan, hukum positif
merupakan kumpulan asas dan kaidah hukum
tertulis maupun tidak tertulis yang saat ini sedang
berlaku (ius constitutum), dan mengikat secara
umum atau khusus, yang ditegakkan oleh
pemerintah.40 Meskipun hukum yang dijelaskan
merupakan hukum yang berlaku saat ini, akan
tetapi tidak meninggalkan hukum yang berlaku
pada masa lalu.
Berdasarkan perspektif hukum Islam
sebagaimana yang telah penulis uraikan
sebelumnya, bahwa perkawinan siri cenderung
diperbolehkan dengan catatan telah memenuhi
rukun dan syarat perkawinan. Sebaliknya dalam
hukum positif, nikah siri telah ditegaskan sebagai
perkawinan yang ilegal. Meskipun nikah siri secara
agama dan adat istiadat dianggap sah, akan tetapi
secara administrasi perkawinan tersebut tetap
dianggap tidak mendapatkan pengakuan dari
pemerintah. Dengan demikian, semua akibat yang
timbul dari adanya perkawinan siri tidak dapat
diproses secara hukum.41
Peraturan perundang-undangan, baik pada
Undang-Undang perkawinan maupun Kompilasi
Hukum Islam, juga tidak ada satupun yang
membahas mengenai aturan praktik nikah siri,
melainkan yang dibahas hanyalah perkawinan yang
secara umum. Dengan demikian, menunjukkan
bahwa nikah siri tidak dianggap dalam hukum
perkawinan Nasional, melainkan suatu perkawinan
40
Slamet Suhartono, “HUKUM POSITIF PROBLEMATIK
PENERAPAN DAN SOLUSI TEORITIKNYA,” Journal Ilmu Hukum Vol.15,
No.2 (2020): 202.
41
Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana,
2016), 17.
77
wajib dicatatkan pada pihak berwenang.42
Sebagaimana berikut:
1) Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2019 tentang perkawinan berbunyi
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum agama dan kepercayaannya
masing-masing”.
2) Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2019 tentang perkawinan berbunyi
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang telah
berlaku”.43
Sahnya suatu perkawinan menurut Kompilasi
Hukum Islam terdapat beberapa pasal, antara lain :
1) Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam “Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
Islam yang sesuai pada pasal 2 ayat (1) Undang
Undang perkawinan”.
2) Pasal 5 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam “Agar
terjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat Islam, maka setiap perkawinan
harus dicatatkan”.
3) Pasal 6 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
“Untuk memenuhi ketentuan pada pasal 5,
maka setiap perkawinan harus dilangsungkan
dibawah pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah”.
4) Pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam
“Setiap perkawinan yang tidak dicatatkan maka
tidak mempunyai kekuatan hukum”.
5) Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
“Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan
adanya akta nikah yang dibuat oleh Pegawai
Pencatat Nikah”.44
42
Vivi Kurniawati, Nikah Siri (Setiabudi Jakarta Selatan: Rumah Fiqh
Publishing,2019), 18.
43
Permenristek Dikti RI, “16 Tahun 2019, Perubahan Atas Undang
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” (14 Oktober 2019)
44
Masturiyah, “Nikah Siri Perspektif Hukum Islam Dan Hukum
Perkawinan Nasional,” Musawa, Vol. 12, no. 1 (2013): 58–59.
78
Berdasarkan pada Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2019 tentang perkawinan, dan Kompilasi
Hukum Islam. Sebenarnya hukum perkawinan siri
itu sah berdasarkan pasal 2 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan
dan pasal 4 pada Kompilasi Hukum Islam, akan
tetapi perspektif hukum Positif memandang sahnya
sebuah perkawinan tidak dilihat dari rukun dan
syarat perkawinan saja, melainkan diwajibkan pada
setiap perkawinan harus dicatatkan.
Islam sendiri tidak membedakan kedudukan
anak dalam perkawinan siri. Selama perkawinannya
telah memenuhi rukun dan syarat sah perkawinan
maka perkawinan siri tersebut hukumnya adalah
sah dan begitupun dengan anak hasil perkawinan
siri, kedudukannya sama dan harus mendapatkan
hak-haknya sebagai anak yang sah.
Menurut Musfira dalam bukunya yang
berjudul Status Anak Nikah Siri Perspektif Hukum
Islam dan Hukum Positif. Yang mana perspektif
hukum Positif membedakan antara keturunan yang
sah dan keturunan yang tidak sah, dalam arti bahwa
keturunan yang sah merupakan keturunan yang
berdasarkan kelahiran sebagai akibat dari
perkawinan yang sah, sedangkan keturunan yang
tidak sah adalah keturunan yang tidak berdasarkan
suatu perkawinan atas suatu perkawinan yang sah.
Sehingga anak demikian dikatakan sebagai anak
luar kawin. Mengenai anak sah maupun anak luar
kawin telah diatur dalam pasal 42, 43 Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang
perkawinan, dan pasal 99, 100 Kompilasi Hukum
Islam yaitu:
Pasal 42 Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 tentang perkawinan dan pasal 99 Kompilasi
Hukum Islam berbunyi “Anak yang sah adalah
79
anak yang dilahirkan dari suatu akibat perkawinan
yang sah”. 45
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2019 tentang perkawinan dan pasal 100
Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi “Anak yang
lahir diluar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya.”
Pasal diatas sudah jelas bahwa anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat
perkawinan yang sah, adapun yang dimaksud
dengan perkawinan yang sah adalah perkawinan
yang dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaan (Pasal 2 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019). Adapun pasal
selanjutnya juga menjelaskan bahwa status anak
yang dilahirkan diluar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya saja. Sehingga anak kehilangan
hak atas nama atau nasab dari bapaknya. Dan jika
diketahui anak yang lahir dari perkawinan tersebut
adalah perempuan, maka perwalian jatuh kepada
wali hakim, sebab anak hasil nikah siri tidak
mempunyai hubungan nasab kepada pihak ayah.
Putusan Mahkamah Kostitusi menolak akan
hal tersebut. Sebab tidak mungkin seorang anak
lahir tanpa adanya hubungan biologis antara
sepasang suami istri. Adapun putusan tersebut
berbunyi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lainnya menurut
hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.46
45
Musfira, “Status Anak Nikah Siri Perspektif Hukum Islam Dan
Hukum Positif,” : 14-16.
46
Musfira, “Status Anak Nikah Siri Perspektif Hukum Islam Dan
Hukum Positif,” : 16.
80
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi,
penulis berpendapat bahwa anak yang lahir di luar
perkawinan berbeda dengan anak yang lahir tanpa
perkawinan (anak zina). Artinya pengertian luar
perkawinan berbeda dengan pengertian tanpa
perkawinan. Contohnya dapat dianalogikan pada
kalimat “Sinta bekerja di luar kantor” dengan
“Sinta bekerja tanpa kantor”. Maksud dari kalimat
Sinta bekerja di luar kantor berarti ada kantornya,
tetapi Sinta sedang bekerja di luar kantor,
sementara kalimat “Sinta bekerja tanpa kantor”
berarti Sinta bekerja tanpa ada kantornya. Dengan
demikian dapat digaris bawahi bahwa anak yang
lahir diluar perkawinan, berarti anak tersebut lahir
pada pasangan suami istri yang secara materiil ada
ikatan perkawinan, tetapi perkawinannya tersebut
secara formil tidak ada, sebab tidak dicatatkan
kepada pihak yang berwenang.
Berkenaan dengan pembuktian asal-usul
anak, pada Pasal 55 Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2019 tentang perkawinan berbunyi :
(a) Asal usul anak hanya dapat dibuktikan dengan
akta kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan
oleh pejabat yang berwenang
(b) Bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1)
pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal-usul
seorang anak setelah diadakan pemeriksaan
yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang
memenuhi syarat.47
Mengenai asal usul anak hanya dapat
dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti
lainnya. Apabila hal itu tidak ada, maka
perlindungan hukum terhadap anak yang lahir dari
perkawinan yang tidak tercatat atau nikah siri bisa
dilakukan untuk mengesahkan perkawinan yang
tidak tercatat hanyalah melalui Isbat nikah di
47
Purwoatmodjo Djumadi, Addin Daniar Syamdan, “Aspek Hukum
Perkawinan Siri Dan Akibat Hukumnya ▪,” Notarius 12, no. 1 (2019): 463–64.
81
Pengadilan Agama, selagi perkawinan yang dijalani
masih ada (belum putus/cerai). Dimana Pengadilan
dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul
seorang anak melalui pengakuan berdasarkan bukti-
bukti yang kuat, atau bisa juga pengakuan dari
pihak kedua orangtuanya/alat bukti lainnya. Dan
jika perkawinan tersebut telah disahkan melalui
penetapan Isbat nikah, selanjutnya pemohon dapat
mencatatkan perkawinannya pada Pegawai Pencatat
Nikah, dan atas dasar penetapan itu pula Pegawai
Pencatat Nikah akan mengeluarkan Kutipan Akta
Nikah dengan adanya Kutipan Akta Nikah tersebut,
pemohon dapat mengurus Akta Kelahiran anaknya.
Menurut penulis, adanya Isbat nikah sangat
bermanfaat bagi seseorang yang belum mempunyai
akta nikah guna memberikan jaminan kepastian
hukum terhadap masing-masing pasangan,
termasuk perlindungan terhadap status anak yang
lahir dari perkawinan tersebut, sehingga yang
awalnya anak hasil perkawinan siri dianggap anak
luar nikah, dengan adanya pengajuan Isbat nikah di
Pengadilan Agama sekarang dianggap sebagai anak
sah dari pihak ibu maupun sang ayahnya. Dan jika
diketahui dari perkawinan tersebut lahir seorang
anak perempuan, maka anak tersebut berhak
mendapatkan perwalian dari ayah biologisnya pada
saat akad nikah.
82
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
1. Proses pengajuan Isbat nikah dapat dilakukan dengan dua
cara yaitu Volunteer dan Kontensius. Volunteer yaitu jenis
perkara yang hanya ada pihak pemohon saja atau bersifat
kepentingan sepihak, dan produk hukumnya berupa
penetapan. Sedangkan Kontensius yaitu permohonan Isbat
nikah yang melibatkan orang lain sebagai termohon.
Namun lain halnya ketika seseorang menikah siri dan
ternyata masih terikat dalam perkawinan lain, maka
permohonan Isbat nikah jelas tidak dapat diterima, sebab
legal standing nya perkawinan yaitu monogami (satu istri
untuk satu suami). Jika ingin menikah lagi maka jalannya
adalah poligami bukan menikah siri dengan istri orang yang
kemudian mengajukan Isbat nikah.
2. Dasar Hukum dan Pertimbangan Hakim pada Nomor
perkara 085/Pdt.P/2020/PA.Kds adalah ketentuan pada
Pasal 7 ayat (2) dan (3) Kompilasi hukum Islam. Dimana
hakim dalam menerima permohonan Isbat nikah, melihat
apakah perkawinan tersebut memenuhi rukun syarat
perkawinan, serta memenuhi legal standing, fakta
hukum/posita, keterangan saksi saat pembuktian, dan alasan
pengajuan Isbat nikah.
3. Islam tidak begitu mengatur hal yang berkaitan dengan
pencatatan perkawinan, hukum nikah siri adalah sah
asalkan memenuhi rukun syarat perkawinan. Sedangkan
menurut hukum positif, perkawinan yang tidak dicatatkan
maka perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum.
Sehingga anak hasil dari perkawinan siri dianggap sebagai
anak luar kawin. Adapun selama mereka (para pemohon)
belum mengajukan permohonan Isbat nikah, maka dapat
dikatakan bahwa perkawinan mereka sudah sah menurut
agama akan tetapi belum sah dalam negara. Sehingga
setelah mengajukan Isbat nikah, maka perkawinan dan anak
dari hasil perkawinan mereka baru dianggap oleh negara,
83
dan anak mempunyai hubungan perdata dengan ibu serta
ayah biologisnya.
B. Saran
Beberapa saran atau masukan dari penulis sebagai
berikut :
1. Kepada masyarakat, diwajibkan mengerti dampak buruknya
dari perkawinan yang tidak dicatatkan. Namun bagi
masyarakat yang terlanjur menikah siri agar segera
mengajukan permohonan Isbat nikah ke Pengadilan Agama.
Hal ini bertujuan agar perkawinan tersebut sah secara hukum
agama dan negara. Selain itu, penelitian ini hadir untuk
memberikan pemahaman kepada masyarakat luas untuk tidak
menyalahgunakan perlindungan hukum berupa Isbat nikah,
sehingga tidak menganggap bahwa nikah siri adalah hal biasa
yang kapan saja dapat diisbatkan.
2. Kepada Instansi terkait, khususnya bagi Hakim dituntut
untuk memiliki sifat yang adil dan bijak dalam memeriksa
dan mengadili perkara Isbat nikah. Penulis berharap, seorang
Hakim harus teliti dalam mengambil keputusan, sebab tidak
mustahil dibalik alasan yang didalilkan para pemohon,
terdapat unsur penyelundupan hukum dengan menggunakan
Isbat nikah untuk menghindari prosedur poligami.
3. Kepada Mahasiswa, diharapkan menjadi generasi penerus
bangsa yang mampu membuat perubahan-perubahan positif
bagi masyarakat. Dalam hal ini mahasiswa sebagai agen of
change diharapkan untuk kedepannya tidak ada lagi praktik
nikah siri di Indonesia, sebab nikah siri sangat merugikan
istri dan anak-anak hasil dari perkawinan mereka.
C. Penutup
Alhamdulillah, Puji syukur atas karunia dan ridho
Allah SWT, sehingga proses penulisan skripsi ini dapat tercapai.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan
dan kesalahan, bahkan jauh dari kata sempurna, dari tulisan ini
akan menjadikan penulis untuk terus semangat dalam belajar,
serta selalu ikhtiar dan berdoa kepada Allah SWT agar suatu
saat nanti ada pencapaian yang lebih baik lagi dari ini. Semoga
skripsi ini mampu bermanfaat dan menambah wawasan bagi
pembaca.
84
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Abd shomad. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam
Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana, 2012.
Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia.
Jakarta: Kencana, 2006.
Ahyuni Yunus. Hukum Perkawinan Dan Isbat Nikah Antara
Perlindungan Dan Kepastian Hukum. Makassar: Humanities
Genius, 2020.
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam
Di Indonesia Studi Krisis Perkembangan Hukum Islam Dari
Fikih, No 1/1974 Sampai KHI. Jakarta: kencana Prenada
Media Group, 2004.
Ani Purwati. Metode Penelitian Hukum Teori Dan Praktek.
Surabaya: Jakad Media Publishing, 2020.
Beni Ahmad Saebani. Perkawinan Dalam Hukum Islam Dan
Undang – Undang Perspektif Fiqh Munakahat Dan UU
No.1/1974 Tentang Poligami Dan Problematikanya.
Bandung: Pustaka Setia, 2008.
FAQIH, UMAR HARIS SANJAYA AUNUR RAHIM. HUKUM
PERKAWINAN ISLAM. Yogyakarta: Gama Media
Yogyakarta, 2017.
Farida Nugrahani. Metode Penelitian Kualitatif Dalam Penelitian
Pendidikan Bahasa. Solo: Cakra Books, 2014.
Happy Susanto. Nikah Siri Apa Untungnya. Bintaro Jaya Sektor 3:
Transmedia Pustaka, 2007.
Hengki Wijaya. Analisis Data Kualitatif Ilmu Pendidikan Teologi.
Makassar: Sekolah Tinggi Theologia Jaffray, 2018.
Iffah Muzammil. Fiqh Munakahat Hukum Pernikahan Dalam
Islam. Tangerang: Tira Smart, 2019.
Ismail Nurudin dan Sri Hartati. Metodologi Penelitian Sosial.
Surabaya: Media Sahabat Cendekia, 2019.
Jamaluddin, Nanda Amalia. Buku Ajar Hukum Perkawinan.
Kampus Bukit Indah Lhokseumawe: Unimal Press, 2016.
———. Buku Ajar HUKUM PERKAWINAN. Kampus Bukit Indah
Lhokseumawe: Unimal Press, 2016.
xviii
Mahmudin Bunyamin dan Agus Hermanto. Hukum Perkawinan
Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2017.
Mardani. Hukum Keluarga Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana,
2016.
Mardani. Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern.
Yogyakarta: Ruko Jambusari, 2011.
Moh Ali Wafa. Hukum Perkawinan Di Indonesia Sebuah Kajian
Dalam Hukum Islam Dan Hukum Materil. Tangerang Selatan:
YASMI, 2018.
Raco, R. Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karakteristik, Dan
Keunggulannya. Jakarta: Gramedia Widasarana Indonesia,
2010.
Rifdan, Muhammadong. Tata Kelola Pencatatan Perkawinan
Berdasarkan Undang-Undang. Makassar: Badan Penerbit
Universitas Negeri Makassar, 2017.
Rocky Marbun. Kiat Jitu Menyelesaikan Kasus Hukum. Jakarta
Selatan: Transmedia Pustaka, 2011.
Suadi Amran, Mardi Candra. Politik Hukum Perdata Dan Pidana
Islam Serta Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana, 2016.
Sudarto. Fikih Munakahat. Semarang: Qiara Media, 2015.
Suwarjin. Ushul Fiqh. Yogyakarta: Sukses Offset, 2012.
Tim Redaksi Nuansa Aulia. Kompilasi Hukum Islam (Hukum
Perkawinan, Kewarisan, Dan Perwakafan). Bandung: Nuansa
Aulia, 2011.
Tinuk Dwi Cahyani. Hukum Perkawinan. Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang, 2020.
Umrati dan Hengki Wijaya. Analisis Data Kualitatif Teori Konsep
Dalam Penelitian Pendidikan. Makassar: Sekolah Tinggi
Theologia Jaffray, 2020.
Vivi Kurniawati. Nikah Siri. Setiabudi Jakarta Selatan: Rumah
Fiqih Publishing, 2019.
Zainuddin dan Afwan Zainuddin. Kepastian Hukum Perkawinan
Siri Dan Permasalahannya Ditinjau Dari Undang–Undang
Nomor 1 Tahun 1974. Yogyakarta: Budi Utama, 2017.
JURNAL :
Addin Daniar Syamdan, Purwoatmodjo Djumadi. ―Aspek Hukum
Perkawinan Siri Dan Akibat Hukumnya.‖ Notarius 12, no. 1
(2019): 463–64.
xix
Adillah, Siti Ummu. ―Implikasi Hukum Dari Perkawinan Siri
Terhadap Perempuan Dan Anak.‖ Palastren : Journal Hukum 7, no.
1 (2014): 195.
Barmawi Murki. ―Kedudukan Dan Peranan Kompilasi Hukum
Islam Dalam Sistem Hukum Nasional.‖ Jurnal Hukum 8, no.
17 (2001): 27.
Dwiasa, Gema Mahardhika dkk. ―Fungsi Itsbat Nikah Terhadap
Isteri Yang Dinikahi Secara Tidak Tercatat ( Nikah Siri )
Apabila Terjadi Perceraian.‖ Jurnal Ilmiah Hukum
Kenotariatan, Vol. 7 7, no. 1 (2018): 25.
Faizah Bafadhal. ―Itsbat Nikah Dan Implikasinya Terhadap Status
Perkawinan Menurut Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia.‖ Jurnal Ilmu Hukum, 2014.
Faizah, Siti. ―Dualisme Hukum Islam Di Indonesia Tentang Nikah
Siri.‖ Isti’dal, Jurnal Studi Hukum Islam 1, no. 1 (2014): 22.
Irfan Islami. ―Perkawinan Di Bawah Tangan (Kawin Sirri) Dan
Akibat Hukumnya.‖ Adil: Jurnal Hukum No. 1 8 (2010): 72–
73.
Kawasati, Iryana dan Risky. ―Teknik Pengumpulan Data Metode
Kualitatif.‖ Jurnal Ekonomi Syariah, 2019.
Khoiriyah, Rihlatul. ―ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN
PEREMPUAN DAN ANAK DALAM NIKAH SIRI.‖ Jurnal
Sawwa, Vol. 12 12, no. 3 (2017): 405.
Kusumo, Bambang Ali. ―Perkawinan Sirri Ditinjau Dari Hukum
Islam Dan Hukum Positif.‖ Jurnal Wacana Hukum, No.1 10
(2011).
Masturiyah. ―Nikah Siri Perspektif Hukum Islam Dan Hukum
Perkawinan Nasional.‖ Musawa, Vol. 12 12, no. 1 (2013): 58–
59.
Meita Djohan Oe. ―ISBAT NIKAH Dalam HUKUM ISLAM Dan
PERUNDANG-UNDANGAN Di INDONESIA.‖ Journal
PRANATA HUKUM 8, no. 2 (2013): 139.
Musfira. ―Status Anak Nikah Siri Perspektif Hukum Islam Dan
Hukum Positif.‖ Journal Hukum Islam, Perundang-Undangan
Dan Pranata Sosial VII, no. No.1 (2017): 11.
Nawawi, A Hasyim. ―Perlindungan Hukum Dan Akibat Hukum
Anak Dari Perkawinan Tidak Tercatat ( Studi Di Pengadilan
Agama Tulungagung ).‖ Journal Ahkam No.1 3 (2015): 117.
Rodliyah, Nunung. ―Pencatatan Pernikahan Dan Akta Nikah
Sebagai Legalitas Pernikahan Menurut Kompilasi Hukum
xx
Islam.‖ Journal PRANATA HUKUM, Vol 8 8, no. 1 (2013):
32.
Sanawiah. ―Isbat Nikah Melegalkan Pernikahan Sirri Menurut
Hukum Positif Dan Hukum Agama (Studi Di Pengadilan
Agama Palangka Raya).‖ Anterior Jurnal, No. 1 15, no. 1
(2015): 97.
Sayyad, Muhammad Amin. ―Urgensi Pencatatan Nikah Sebagai
Rukun Nikah (Studi Kritis Siti Mahmudah Dan Khoiruddin
Nasution).‖ El-Maslahah Journal 8, no. 1 (2018): 3.
Suhartono, Slamet. ―HUKUM POSITIF PROBLEMATIK
PENERAPAN DAN SOLUSI TEORITIKNYA.‖ Journal
Ilmu Hukum Vol.15, no. No.2 (2020): 202.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
Permenristek Dikti RI, ―16 Tahun 2019, Perubahan Atas Undang
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,‖ (14
Oktober 2019).
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama
yang sekarang mengalami perubahan kedua dengan
munculnya Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Peradilan Agama
xxi