Anda di halaman 1dari 7

Konsep Pembangunan Ekonomi dan Manusia dalam Islam

(Sebuah Tinjauan Ringkas Berdasarkan Al-Qur’ān dan Sunnah)

Oleh : Irfanunnisa’ Tsalits Hartanty, SE, MSI

Inti dari sebuah pembangunan ekonomi adalah pembangunan manusianya.

P e r i l i s a n G r o s s National Happiness membuktikan bahwa kebahagiaan manusia

saat ini telah menjadi sorotan masyarakat dunia.1 Menurut Chapra, manusia tidak dapat

menjadi tujuan sekaligus sarana suatu sistem ekonomi, kecuali jika sistem tersebut

didasarkan pada pandangan yang merestorasi kedudukan manusia menjadi berada di pusat,

sementara seluruh realitas yang lain berputar disekelilingnya.2 Artinya, dapat dikatakan

bahwa konsen dari pembangunan ekonomi tak lain ialah untuk membangun manusia yang

lebih baik.

Khurshid Ahmad yang dikenal sebagai pelopor pengembangan ilmu ekonomi Islam

menggagas empat filosofis dasar pendekatan Islam dalam pembangunan, yakni tauhid,

rububiyyah, khilafah dan tazkiyyah3. Penjelasan ringkas dari keempat konsep tersebut adalah

sebagai berikut.

a. Tauhid, mengacu pada ke-Esaan dan kedaulatan Allah yang menetapkan aturan-aturan

hubungan antara Allah dengan manusia serta hubungan manusia dengan sesama

(hablumminallah-dan hablumminannas).

b. Rububiyyah, mengacu pada aturan Allah dalam menciptakan, memelihara dan

1
Gross National Happiness Index pertama kali diterbitkan PBB pada tahun 2012 dalam World
Happiness Report yang awalnya terinspirasi oleh Negara Bhutan.
2
M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, alih bahasa Ikhwan Abidin, Cet.2 (Jakarta: Gema Insani
Press, 2000), hlm. 202
3
Khurshid Ahmad (ed.), “Economic Development in an Islamic Framework”, Studies Islamic Economics
(Leicester: The Islamic Foundation, 1980), hlm. 178-179
menyempurnakan alam semesta. Menurut Ahmad, hal ini adalah hukum dasar dalam

pembangunan yang berlandaskan cahaya Ilahi.

c. Khilafah, yang mengacu pada peran manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi,

mendefinisikan status dan peran manusia, serta menentukan tanggung jawab manusia

sebagai Muslim dan sebagai umat Muslim. Hal tersebut tentunya melibatkan konsep

Islam yang unik mengenai kepemimpinan manusia, moral, politik, ekonomi, dan prinsip-

prinsip organisasi sosial.

d. Tazkiyyah, mengacu pada perpaduan antara pemurnian dengan pertumbuhan. Khurshid

Ahmad mengatakan bahwa tazkiyyah adalah misi semua nabi Allah. Yakni memurnikan

manusia dalam semua hubungannya, baik dengan Tuhan, dengan manusia, dengan

lingkungan alam, dengan masyarakat serta dengan negara.4 Dari falsafah tersebut, Ahmad

memberikan penekanan mengenai konsep pembangunan ekonomi dan manusia

berdasarkan perspektif Islam dengan menyatakan :

In an Islamic framework, therefore, economic development has to be a goal-


oriented and value realising activity, involving the active participation of man and
directed towards the maximisation of human well-being in all its aspects. It also
entails building the strength of the Ummah so as to discharge all over the world its
role as God‟s vicegerent on earth and as “the mid-most people” (ummatun
wasatun) to bring mankind to the just social order that Islam envisions for all
human beings. Development means moral, spiritual and material development of
the individual and society leading to maximum socioeconomic well-being with the
establishment of a just order resulting in the ultimate good of mankind, here and
hereafter.5

Pernyataan di atas menggambarkan bahwa pembangunan dalam sudut pandang Islam

bersifat komprehensif dengan memperhatikan seluruh nilai- nilai arif tatanan kehidupan.

Kemudian, untuk dapat mewujudkan pembangunan yang sesuai dengan nilai Islam tersebut,

4
Muhammad Syukri Salleh, “Philosophical Foundations Of Islamic Development: Khurshid Ahmad‟s
Conception Revisited”, International Journal of Education and Research, Vol. 1, No. 7 (Juli 2013), hlm. 4-5
5
Khurshid Ahmad, Islamic Approach to Development – Some Policy Implications (Islamabad, Pakistan :
Institute of Policy Studies,1994), hlm. 26
harus didasarkan pada pandangan yang holistik dari ajaran Islam itu sendiri. 6 Pembangunan

manusia beserta kesejahteraannya yang holistik menduduki posisi yang penting dalam ajaran

Islam, diantaranya sebagaimana tercantum dalam Qur’ān surat al-Baqarah (2) : 200-202.

Ayat tesebut menjadi dasar pemikiran Sadeq yang berpendapat bahwa “...economic

development is related to the achievmen of welfare in the two stages of human life : the

fleeting wordly life and the eternal life of hereafter...”7 Dua tahapan kehidupan manusia

sebagaimana dimaksud, menjadi titik fokus dari konsep kesejahteraan (welfare/ W), yakni

kesejahteraan duniawi/temporal (Wt), serta kesejahteraan akhirat/permanen (Wp) yang

kemudian dapat dirumuskan menjadi sebuah persamaan berikut ini :

W = f (Wt, Wp)8

Pada dasarnya, penerapan ajaran Qur’ān dan Sunnah akan menjaga pembangunan yang

berkelajutan, tidak hanya untuk umat Islam, tetapi juga bagi dunia. Tujuan pembangunan

yang berkelanjutan sejalan dengan tujuan Islam yang menyerukan agar manusia menghindari

pemborosan, monopoli, dan korupsi, serta mempromosikan reformasi dan rasionalisasi

sumber daya alam. Nilai-nilai yang mengarah pada pembangunan berkelanjutan sesuai

dengan syariah Islam, yaitu menghargai dan menghormati manusia, menjaga keseimbangan

lingkungan, serta mengembangkan rencana untuk mempertahankan sumber daya lingkungan

dalam jangka waktu sepanjang mungkin.9

Namun, berdasarkan konsteks realita, Hasan dalam karyanya berupaya menunjukkan

bahwa selama ini, peningkatan output barang dan jasa (hasil dari pembangunan) di seluruh

6
M.B. Anto, Introducing, hlm. 78
7
A.H.M Sadeq, “Economic Development in Islam”, Journal of Islamic Economic, Vol.1, No.1,
Muharram 1408 H (Agustus – September 1987), hlm.35
8
Ibid., hlm.36
9
Muhammad Nouh, “Sustainable Development in a Muslim Context”, hlm. 43, dikutip dari
https://earthcharter.org/wp-content/assets/virtual-library2/images/uploads/11%20Manuscrip_Muhammad.pdf,
pada hari Senin, 6 Januari 2023, pukul 09.52 WIB
dunia membebankan pertukaran antara kemakmuran materi di satu sisi dengan keracunan

polusi kemanusiaan di sisi lain.10 Saat ini fokus single-minded untuk memuaskan kebutuhan

material secara total mengabaikan kebutuhan non-material dan kebutuhan spiritual,

mengabaikan hubungan manusia dengan Allah, menghabiskan sumber daya, membuat

degradasi lingkungan serta memperdalam kesenjangan sehingga membahayakan kedamaian

manusia.11

Untuk menunjukkan jalan keluar atas kebuntuan tersebut, Hasan merujuk pada ayat-ayat

Al-Qur‟ān serta maqāṣid (tujuan) dari adanya syariat. Maqāṣid asy-syarī’ah menjadi dasar

perbedaan antara pandangan sekulerisme dengan Islam dalam hal pembangunan.

Pembangunan yang berlandaskan maqāṣid asy-syarī’ah langsung merujuk pada Al-Qur’ān

dan as-Sunah dinilai lebih universal dan diterima karena bermaksud untuk menjaga

lingkungan serta menyuarakan bahwa pembangunan yang berkelanjutan memiliki

kompleksitas masalah moral, etika, sosial, politik, ekonomi, serta berbagai aspek kehidupan

yang lainnya. Jika hal-hal tersebut diabaikan, maka para ekonom sendiri saja tidak dapat

menyelesaikan problematika yang tengah berlangsung.12

Para ulama muslim sampai pada kesimpulan bulat bahwa tujuan dari syariah (maqāṣid

asy-syarī’ah) adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia, serta membantu

manusia untuk keluar dari kesulitan hidup.13 Di dalam maqāṣid asy-syarī‟ah terkandung

semua hal yang diperlukan manusia untuk merealisasikan falah dan hayatan thayyiban.14

Konsep maqāṣid asy-syarī‟ah oleh al-Juwaini diklasifikasikan dalam tiga tingkatan


10
Zubair Hasan, “Sustainable Development from an Islamic Perspective: Meaning, Implications, and
Policy Concerns”, Journal of King Abdulaziz University: Islamic Economics, Vol. 19, No. 1, Tahun 2006, hlm.
3
11
Muhtari Aminu Kano dan Atallah Fitz Gibbon, An Islamic Perspective Human Development

(United Kingdom : Islamic Relief Worldwide, 2014), hlm 11


12
Zubair Hasan, “Sustainable”, hlm. 3
13
M.B.H. Anto, Introducing, hlm. 78
14
M. Umer Chapra, Islam, hlm. 7
kebutuhan yakni ad-dharuriyyat (primer), al-hajiyyat (sekunder), dan at-tahsiniyyat

(tersier).15 Selanjutnya, al-Ghazali menerangkan bahwa para ulama membagi kebutuhan

dharuriyyat (dasar / pokok) manusia menjadi 5 (lima) kategoriyang mencakup pelestarian

agama (hifẓu ad-dīn), kehidupan (hifẓu an-nafs), akal (hifẓu al-‘aql), keturunan (hifẓu an-

nasl), dan pelestarian harta (hifẓu al-māl).16

Implikasi dari pendekatan pembangunan yang menggabungkan seluruh prinsip syariah

diatas ialah bahwa kekayaan tidak bisa dicari dengan mengorbankan kesehatan rohani atau

dengan mengorbankan lingkungan. Tidak dibenarkan pula bila mengumpulkan kekayaan

dengan melempar orang lain ke dalam kekurangan atau bahkan mengganggu ikatan sosial.

Agar kesejahteraan terwujud, maka cara yang harus ditempuh ialah dengan tetap menjaga

martabat manusia melalui pembentukan keadilan sosial. Hal ini dapat dicapai setidaknya

melalui tiga cabang strategi yakni penyediaan kebutuhan dasar, perlindungan

sumberdaya dari kekurangan dan kerentanan, serta perlindungan distribusi sumber

daya dari ketimpangan.17

Dari berbagai landasan teori di atas, maka disususnlah sebuah bagan yang

menggambarkan secara utuh konsep pembangunan ekonomi dan manusia berdasarkan syariat

Islam sebagai berikut :

Bagan Konsep Pembangunan Ekonomi dan Manusia dalam Islam

15
Imam al-Haramain al-Juwaini, Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh (Beirut : Dar Al-Kutub Al- Ilmiyah,
1980) hlm. 295.
16
Al-Ghazali, Abu Hamid (w.505 H), Al-Mustashfa min „ilm al-Ushul, Jilid 1(Beirut : Dar al- Fikr,tt),
hlm. 139-140
17
Muhtari Aminu Kano dan Atallah Fitz Gibbon, “An Islamic”, hlm. 11
Sumber : Al-Ghazali (w.505H), Ahmad (1980), Sadeq (1987), Anto (2011), Kano & Gibbon (2014),
dikembangkan dalam artikel ini
DAFTAR PUSTAKA

Chapra, M. Umer. 2000. Islam dan Tantangan Ekonomi, alih bahasa Ikhwan Abidin Basri

(Cet.2). Jakarta : Gema Insani Press.

Ahmad, Khurshid (ed.). 1980. “Economic Development in an Islamic Framework”, Studies

Islamic Economics. Leicester: The Islamic Foundation.

Anto, M.B. Hendrie. 2011. “Introducing an Islamic Human Development Index(I- HDI) to

Measure Development in OIC Countries”. Islamic Economic Studies. Vol. 19 No.2.

Kano, Muhtari Aminu dan Atallah Fitz Gibbon. 2014. An Islamic Perspective Human

Development. United Kingdom : Islamic Relief Worldwide.

Al-Ghazali, Abu Hamid (w.505 H).tt. Al-Mustashfa min ’ilm al-Ushul, Jilid 1 Beirut : Dar al-

Fikr.

Al-Juwaini, Imam al-Haramain. tt. Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh . Beirut : Dar Al- Kutub Al-

Ilmiyah.

Hasan, Zubair. 2006. “Sustainable Development from an Islamic Perspective: Meaning,

Implications, and Policy Concerns”, Journal of King Abdulaziz University: Islamic

Economics, Vol. 19, No. 1.

Nouh, Muhammad. Sustainable Development in a Muslim Context, (online) dalam

https://earthcharter.org/wp-content/assets/virtual-library2/images/uploads/11%20

Manuscrip_Muhammad. pdf, diakses pada hari Senin, 6 Januari 2023, pukul 09.52.

Sadeq, A.H.M. 1987. “Economic Development in Islam”, Journal of Islamic Economic,

Vol.1, No.1.

Salleh, Muhammad Syukri.2013. “Philosophical Foundations Of Islamic Development:

Khurshid Ahmad‟s Conception Revisited”, International Journal of Education and

Research, Vol. 1, No. 7.

Anda mungkin juga menyukai