Anda di halaman 1dari 3

1. Bagaimana penerapan pertanggungjawaban pidana pada tindak pidana korporasi?

Dalam (KUHP), belum dikenal adanya ketentuan pidana yang menetapkan subjek
hukum buatan (rechtpersoon) atau korporasi, sebagai subjek yang dapat dikenakan
pidana. Namun demikian, adapun sanksi atau hukum yang dapat dijatuhkan terhadap
Korporasi menurut pedoman yang digariskan dalam Pasal 25 ayat (1) Perma
13/2016 adalah pidana pokok dan/atau pidana tambahan. Pidana pokok yang dapat
dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda. Sedangkan pidana
tambahan yang dijatuhkan terhadap Korporasi sesuai yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan lain, yaitu Pasal 10 KUHP dan ketentuan jenis pidana lain yang
tersebar dalam undang-undang lain sebagai lex specialis dari KUHP yang
merupakan legi generali.

2. Apa yang membedakan manusia sebagai subjek hukum dengan korporasi sebagai
subjek hukum?
Sebgaimana layaknya subjek hukum. Badan hukum mempunyai kewenangan
melakukan perbuatan hukum seperti halnya orang, akan tetapi perbuatan hukum itu
hanya terbatas pada bidang hukum harta kekayaan, mengingat wujdunya adalah badan
hukum atau lembaga maka dalam mekanisme pelaksanaannya badan hukum bertindak
dengan perantara prngurus-pengurusnya.
Korporasi adalah subjek hukum (recht persoon) yang merupakan bentuk artificial
person dari seorang manusia yang dapat memiliki hak dan kewajiban hukum. Yang
membedakannya dengan manusia adalah korporasi sebagai subjek hukum tentunya
tidak dapat dikenakan pemidanaan berupa pidana yang merampas kemerdekaan badan
(penjara).

3. Salah satu yang membedakan antara kejahatan korporasi dengan kejahatan


konvensional pada umumnya terletak pada karakteristik yang melekat pada kejahatan
korporasi. Sebutkan karakteristik apa saja yang saudara pahami? Jelaskan

Salah satu yang membedakan antara kejahatan korporasi dengan kejahatan


konvensional pada umumnya, terletak pada karakteristik yang melekat pada kejahatan
korporasi itu sendiri, antara lain:

a. Kejahatan tersebut sulit dilihat (low visibility), karena biasanya tertutup oleh
kegiatan pekerjaan yang normal dan rutin, melibatkan keahlian profesional dan sistem
organisasi yang kompleks;
b. Kejahatan tersebut sangat kompleks (complexity) karena selalu berkaitan dengan
kebohongan, penipuan dan pencurian serta sering kali berkaitan dengan sebuah yang
ilmiah, teknologis, finansial, legal, terorganisasikan, dan melibatkan banyak orang
serta berjalan bertahun-tahun;
c. Terjadinya penyebaran tanggungjawab (diffusion of responsibility) yang semakin
luas akibat kompleksitas organisasi;
d. Penyebaran korban yang sangat luas (diffusion of victimazation) seperti polusi dan
penipuan;
e. Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan (detection and prosecution) sebagai
profesionalisme yang tidak seimbang antara aparat penegak hukum dengan pelaku
kejahatan;
f. Peraturan yang tidak jelas (ambigution law) yang sering menimbulkan kerugian
dalam penegakan hukum; dan
g. Sikap mendua status pelaku pidana. Harus diakui bahwa pelaku kejahatan korporasi
pada umumnya tidak melanggar peraturan perundang-undangan, tetapi apa yang
dilakukan memang merupakan perbuatan ilegal.

tindak pidana korporasi melingkupi 3 (tiga) hal sebagai berikut:


1. Crimes for corporation, dapat diartikan kejahatan atau pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna memperoleh
keuntungan.
2. crime against corporation, yaitu kejahatan yang diperbuat oleh para pegawai dalam
korporasi, contohnya menggelapkan dana/
uang perusahaan. Pelaku/subjek kejahatan ini tidak terbatas pada pejabat atau
karyawan yang terkait, namun masyarakat juga dapat menjadi pelaku/subjek
kejahatan terhadap korporasi.
3. Criminal corporations yaitu korporasi dibuat dan dikendalikan secara sengaja
untuk berbuat kejahatan. Kedudukan korporasi dalam criminal corporation
hanyalah sebagai sarana melakukan suatu perbuatan pidana/kejahatan; layaknya
seperti “topeng” yang menyembunyikan wajah asli atas kejahatan.

4. Apa yang saudara ketahui


a. Vicarious liability, pembebanan pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana
yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain. Misalnya pengelola atau
pegawai yang berbuat, korporasi yang ikut bertanggungjawab.
b. Strict liability, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku
tindak pidana dengan tidak harus terdapat kesalahan (kesengajaan/kelalaian) pada
pelakunya dibuktikan.
c. Corporate culture model, pertanggungjawaban dapat dibebankan kepada korporasi
apabila berhasil ditemukan bahwa seseorang yang telah melakukan perbuatan
yang melanggar hukum memiliki dasar yang rasional untuk meyakini bahwa
anggota korporasi yang memiliki kewenangan telah memberikan wewenang atau
mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut
d. Agresitation test, ajaran ini memungkinakan agregasi/kombinasi perbuatan (actus
rea) dan kesalahan (mens rea) dari sejumlah orang untuk diatributkan kepada
korporasi sehingga korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban
5. UU no.40 tahun 2007 tentang PT membatasi pertanggungjawaban pemegang saham
yang diatur dalam pasal 3 ayat 1, yaitu pemegang saham perseroan tidak bertanggung
jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak
bertanggung jawab atas kerugian perseroang melebihi saham yang dimiliki pemegang
saham hanya bertanggung jawab terbatas pada nilai nominal saham yang dimiliki.

a. Bagaimana jika para pemegang saham ternyata aktif mempengaruhi pengurus


untuk melakukan tindak pidana yang melibatkan perseroang?

UU 40/2007 Pasal 3 ayat (1) menganut asas separate corporate


personality yang memberi batasan pemegang saham dengan
perseroan terbatas sebagai legal entity tersendiri. Namun demikian,
UU Perseroan Terbatas juga membatasi kekuasaan pemegang saham.

Pembatasan itu tertuang dalam Pasal 3 ayat (2), imunitas pemegang


saham dapat berubah menjadi kondisi piercing the corporate
veil atauhilangnya imunitas, sehingga pemegang saham dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana, apabila terbukti tindakan
perusahaan dipengaruhi oleh pemegang saham.

b. Bagaimana jika beberapa pemegang saham dominan dalam mempengaruhi


kebijakan korporasi yang diambil oleh pengurus?
Doktrin alter ego menjelaskan bahwa jika seorang pemegang saham suatu
perseroan menguasai mayoritas saham di perseroan tertentu, kemudian
perseroan tersebut dipakai untuk tujuan-tujuan tertentu oleh pemegang saham
tersebut melalui kekuasaan mayoritasnya sebagai pemegang saham, maka
secara tidak langsung perseroan digunakan sebagai alat oleh pemegang saham
untuk tujuan tertentu dari si pemegang saham, yaitu untuk mencapai
keuntungan pribadi dan bahkan tidak tertutup dapat merugikan pihak ketiga.
Dalam keadaan demikian perseroan dikatakan hanya sebagai alat (alter ego
atau agent). Dengan demikian sifat pertanggungjawaban terbatas pemegang
saham menjadi hapus dan tidak berlaku lagi dihadapan hukum.

Anda mungkin juga menyukai