Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN TUTORIAL

BLOK GERIATRI
MODUL 2 MALNUTRISI ENERGI PROTEIN

Tutor: dr. Inez Tieneke


Kelompok 6

1. La Ode Iznan Asy’Ari (K1A1 20 105)


2. Lion Putra Remas Pagiling (K1A1 20 106)
3. Muh. Akib Elnanda F.N.K. (K1A1 20 108)
4. Wa Ode Aprilia Ditasaswati (K1A1 20 027)
5. Nur Asima (K1A1 19 102)
6. Risviani Nur Adhanti (K1A1 19 107)
7. Fatma Kurniasih (K1A1 20 049)
8. Nurul Fitri Rohma (K1A1 20 117)
9. Meisya Aura Natasha Hasanuddin (K1A1 20 060)
10. Aniendya Chairuningtyas Gaffang (K1A1 20 040)
11. Muh. Fatih Syafiq Al Hisyam (K1A1 19 014)
12. Rahmi Julia Ilham (K1A1 20 121)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023
LAPORAN TUTORIAL 2022
UNIVERSITAS HALU OLEO

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Laporan : Malnutrisi Energi Protein


Nama Anggota Kelompok :
1. La Ode Iznan Asy’Ari (K1A1 20 105)
2. Lion Putra Remas Pagiling (K1A1 20 106)
3. Muh. Akib Elnanda F.N.K. (K1A1 20 108)
4. Wa Ode Aprilia Ditasaswati (K1A1 20 027)
5. Nur Asima (K1A1 19 102)
6. Risviani Nur Adhanti (K1A1 19 107)
7. Fatma Kurniasih (K1A1 20 049)
8. Nurul Fitri Rohma (K1A1 20 117)
9. Meisya Aura Natasha Hasanuddin (K1A1 20 060)
10. Aniendya Chairuningtyas Gaffang (K1A1 20 040)
11. Muh. Fatih Syafiq Al Hisyam (K1A1 19 014)
12. Rahmi Julia Ilham (K1A1 20 121)

Laporan ini telah disetujui dan disahkan oleh:

Kendari, 2 Januari 2023

Dosen Pembimbing

dr. Inez Tieneke


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq dan
hidayah-Nya sehingga laporan ini dapat terselesaikan tepat waktu.
Kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak terutama kepada Dokter Pembimbing
Tutorial Modul 2 Gangguan Tumbuh Kembang & Malnutrisi Energi Protein. Tak lupa pula kami
sampaikan rasa terima kasih kami kepada teman-teman yang telah mendukung, memotivasi, serta
membantu dalam menyelesaikan laporan ini.
Kami berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Kami juga menyadari
bahwa laporan yang kami buat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan
saran, masukan maupun kritikkan dari semua kalangan demi kesempurnaan laporan yang kami
susun ini.

Kendari, 2 Januari 2023

Kelompok 6
A. SKENARIO
Seorang anak perempuan, umur 6 bulan dibawa ibunya ke Puskesmas dengan sering
mencret sejak 1 bulan terakhir. Riwayat pemberian makan ASI diberikan sampai 3 bulan,
selanjutnya air tajin sampai sekarang. Riwayat kelahiran: BBL 2900 gram, PB 48 cm.
Pemeriksaan fisik didapatkan BB 6 kg, PB 60 cm, telapak tangan tampak pucat. Ditemukan
edema pada tungkai bawah & abdomen. Tampak otore pada telinga kanan & kiri. Hati teraba
2 cm di bawah arkus kosta. Lab: Hb 5 gr/dl.

B. KATA SULIT
1. Air tajin : Air yang diperoleh pada saat setelah mencuci beras, kemudian dididihkan dan
ditambah garam sekitar ½ sendok makan untuk setiap liter air (Yunitasari, 2020).
2. Otore : Cairan atau discharge yang keluar dari telinga (Mahardika et al, 2019).

C. KATA KUNCI
1. Seorang anak perempuan
2. Umur 6 bulan
3. Sering mencret sejak 1 bulan terakhir
4. Riwayat pemberian makan ASI diberikan sampai 3 bulan, selanjutnya air tajin sampai
sekarang
5. Riwayat kelahiran:
 BBL 2900 gram
 PB 48 cm
6. Pemeriksaan fisik didapatkan:
 BB 6 kg
 PB 60 cm
 telapak tangan tampak pucat
 Ditemukan edema pada tungkai bawah & abdomen
7. Otore pada telinga kanan dan kiri
8. Hati teraba 2 cm di bawah arkus kosta
9. Lab: Hb 5 gr/dl
D. PERTANYAAN
1. Bagaimana status gizi dan tumbuh kembang anak pada skenario?
2. Apa saja faktor-faktor penyebab terjadinya protein energi malnutrisi?
3. Bagaimana patomekanisme keluhan terkait skenario?
 Mencret
 Telapak tangan tampak pucat
 Edema pada tungkai bawah dan abdomen
 Hati teraba 2 cm di bawah arcus costa
 Otore pada telinga kanan dan kiri
 Hb 5 gr/dl
4. Bagaimana pengaruh riwayat pemberian ASI dan air tajin terhadap keluhan yang
dialami pasien pada skenario?
5. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik hati teraba 2 cm di bawah arcus costa dan
Hb 5 gr/dl?
6. Bagaimana langkah-langkah diagnosis terkait skenario?
7. Bagaimana DD dan DS pada skenario?
8. Bagaimana tata laksana farmakologi dan nonfarmakologi sesuai skenario?
9. Bagaimana prognosis sesuai dengan skenario?
10. Bagaimana pencegahan yang dapat dilakukan sesuai dengan skenario?

E. JAWABAN PERTANYAAN
1. Bagaimana status gizi dan tumbuh kembang anak pada skenario?
a. Status Gizi
Status gizi adalah salah satu unsur penting dalam membentuk status
kesehatan. Status gizi (nutritional satus) adalah keadaan yang diakibatkan oleh
keseimbangan antara asupan zat gizi dari makanan dan kebutuhan zat gizi oleh
tubuh. Status gizi sangat dipengaruhi oleh asupan gizi. Pemanfaatan zat gizi dalam
tubuh dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu primer dan sekunder. Faktor primer
adalah keadaan yang mempengaruhi asupan gizi dikarenakan susunan makanan
yang dikonsumsi tidak tepat, sedangkan faktor sekunder adalah zat gizi tidak
mencukupi kebutuhan tubuh karena adanya gangguan pada pemanfaatan zat gizi
dalam tubuh.
Pemeriksaan Status Gizi
1) Panjang Badan/Tinggi Badan Menurut Umur
Berdasarkan pada skenario didapatkan data, yaitu:
a) PB usia 6 bulan 60 cm
b) Status Gizi :

Gambar 1. Kurva Pertumbuhan Menurut Panjang/Tinggi Badan

Berdasarkan pada skenario, didapatkan bahwa untuk panjang


badan 60 cm saat anak perempuan tersebut berusia 6 bulan. Pada
kurva z-score didapatkan hasil -3 SD sd < -2 SD sehingga panjang
badan anak tersebut dikategorikan dalam Status Perawakan Pendek.

2) Berat Badan Menurut Umur


a) BB usia 6 bulan: 6000 gr dengan riwayat edema (tingkat sedang)
 Koreksi edema :
 BB koreksi edema :
20% x BB saat ini
20% x 6000 gr = 1200 gr
Jadi, BB aktual:
BB saat ini = BB koreksi edema = 6000 gr – 1200 gr = 4800 gr

b) Status Gizi

Gambar 2. Kurva Pertumbuhan Menurut Berat Badan

Berdasarkan pada skenario, didapatkan bahwa untuk berat badan


6000 gr saat anak perempuan tersebut berusia 6 bulan dan kemudian
dikoreksi edema pada anak tersebut sehingga didapatkan hasil 4800 gr.
Pada kurva z-score didapatkan hasil <-3 SD sehingga panjang badan
anak tersebut dikategorikan dalam Berat Badan Sangat Kurang.

3) Berat Badan Terhadap Panjang Badan/Tinggi Badan


a) PB usia 6 bulan : 4800 gr
b) BB aktual usia 6 bulan : 60 cm
c) Status gizi :

Gambar 3. Kurva Pertumbuhan Berat Badan Menurut Panjang/Tinggi Badan

Berdasarkan skenario, didapatkan bahwa untuk panjang badan 60


cm dan berat badan 6000 gr saata anak perempuan tersebut berususia 6 bulan
dan kemudian dikoreksi edema pad anak tersebut sehingga didapatkan hasil
4800 gr. Pada kurva z-score didapatkan hasil -3 SD sd < -2 SD sehingga
berat badan terhadap panjang badan/tinggi badan anak tersebut
dikategorikan dalam Status Badan Gizi Kurang.

4) IMT Terhadap Umur


a) PB usia 6 bulan : 60 cm
b) BB aktual usia 6 bulan : 4800 gr
c) IMT : 13 kg/m2
d) Status Gizi :

Gambar 4. Kurva Pertumbuhan Menurut Indeks Massa Tubuh

Berdasarkan pada skenario, didapatkan bahwa untuk BMI/IMT


sebesar 13 kg/m2. Pada kurva z-score didapatkan hasil -3 SD sd < -2 SD
sehingga berat badan terhadap panjang badan/tinggi badan anak tersebut
dikategorikan dalam Status Gizi Kurang.

b. Tumbuh Kembang
1) Pertumbuhan
Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan dalam
besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang
bisa diukur dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm,
meter), umur tulang, dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan
nitrogen tubuh) (Soetjiningsih dan Gede, 2013). Beberapa komponen yang
menjadi indikator dalam menilai pertumbuhan pada anak, yaitu (Ssoetjiningsih
dan Gede, 2013):
a) Berat Badan
b) Tinggi Badan
c) Lingkar Kepala
d) Lingkar Lengan Atas
e) Lipatan Kulit

Pertumbuhan berdasarkan skenario:

a) Riwayat Pemeriksaan Antropometri Saat Lahir


 Berat Badan : 2900 gram (Normal: 2500-4500 gram)
 Panjang Badan : 48 cm (Normal: 48-53 cm)
b) Riwayat Pemeriksaan Antropometri Usia 6 Bulan
 Berat Badan : 6000 gram 4800 gram (setelah koreksi
edema)
 Panjang Badan : 60 cm

Pertumbuhan berdasarkan skenario:

a) Berat Badan

Dalam menentukan berat badan anak dapat menggunakan rumus


perkiraan yang dikutip dari Behrman, 1992. Adapun penjelasannya
sebagai berikut.

Lahir : 3,25 kg

Umur (bulan)+ 9
Umur 3-12 bulan : 2

Umur 1-6 tahun : Umur (tahun) x 2 + 8

Umur (tahun) x 7−5


Umur 6-12 tahun : 2

Berdasarkan data dari riwayat serta rumus di atas, maka untuk


bayi yang berusia 6 bulan seharusnya memiliki berat badan berkisar
antara 7500 gram. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa bayi yang
ada pada skenario mengalami gangguan pertumbuhan di mana berat
badab yang ada pada skenario tidak sesuai dengan umurnya.
b) Panjang Badan/Tinggi Badan
Dalam menentukan perkiraan tinggi badan berdasarkan umur pada
umumnya dikutip dari Behrman, 1992 dengan beberapa poin penting
sebagai berikut.
 Lahir : 50 cm
 Umur 1 tahun : 75 cm
 Umur 2 – 12 tahun : Umur (tahun) x 6 + 77
Dalam hal ini juga dapat digunakan rumus perhitungan z-score
dengan menggunakan rumus:
TB
𝑍 − score ( )
U
nilai pengukuran individu − nilai median baku rujukan
=
nilai simpangan baku rujukan
60 − 65,7
=
65,7 − 63,5

−5,7
=
2,2

= −2,59 (Pendek)

Berdasarkan perhitungan dengan z-score, maka bayi berusia 6 bulan


yang ada pada skenario tergolong ke dalam kategori pendek atau panjang
badan/tinggi badan yang tidak sesuai dengan umurnya.

2) Perkembangan
Perkembangan (development) adalah bertambahnya kemampuan (skill)
dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang
teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Di sini
menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh,
organ-organ, dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga
masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan
emosi, intelektual, dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan
lingkungannya (Soetjiningsih dan Gede, 2013).
Adapun beberapa aspek yang dipantau dalam tahap perkembangan anak
adalah sebagai berikut.
a) Gerak kasar atau motorik kasar adalah aspek yang berhubungan dengan
kemampuan anak melakukan pergerakan dan sikap tubuh yang melibatkan
otot-otot besar seperti duduk, berdiri, dan sebagainya (Suhartini, 2005).
b) Gerak halus atau motorik halus adalah aspek yang berhubungan dengan
kemampuan anak melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian
tubuh tertentu dan dilakukan oleh otot-otot kecil, tetapi memerlukan
koordinasi yang cermat seperti mengamati sesuatu, menjimpit, menulis,
dan sebagainya (Suhartini, 2005).
c) Kemampuan bicara dan bahasa adalah aspek yang berhubungan dengan
kemampuan untuk memberikan respons terhadap suara, berbicara,
berkomunikasi, mengikuti perintah dan sebagainya (Suhartini, 2005).
d) Sosialisasi dan kemandirian adalah aspek yang berhubungan dengan
kemampuan mandiri anak (makan sendiri, membereskan mainan selesai
bermain, berpisah dengan ibu/pengasuh anak, bersosialisasi dan
berinteraksi (Suhartini, 2005).

Untuk tahap perkembangan normal bayi yang memiliki usia


berkisar pada umur 6 bulan, dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 5. Tahapan Perkembangan Berdasarkan Umur


Berdasarkan yang ada pada skenario, tidak dapat disimpulkan terkait
proses perkembangan yang dialami oleh bayi tersebut dikarenakan tidak ada
riwayat perkembangan yang disampaikan pada skenario. Akan tetapi, pada
dasarnya perkembangan berjalan secara simultan dengan pertumbuhan
sehingga apabila terjadi gangguna pertumbuhan, maka dapat juga terjadi
gangguan pada perkembangan (K.K. RI, 2016).

2. Apa saja faktor-faktor penyebab terjadinya protein energi malnutrisi?


Penyebab PEM secara langsung adalah asupan gizi dan penyakit infeksi.
Timbulnya MEP tidak hanya karena makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit.
Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering menderita diare atau
demam, akhirnya akan menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang
makanannya tidak cukup (jumlah dan mutunya) maka daya tahan tubuhnya dapat
melemah. Dalam keadaan demikian akan mudah diserang infeksi yang dapat
mengurangi nafsu makan, dan akhirnya dapat menderita kurang gizi/gizi buruk.
(Mardisantosa, 2018)
Penyebab tidak langsung adalah ketahanan pangan tingkat keluarga, pola
pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan
pangan di keluarga (household food security) adalah kemampuan keluarga untuk
memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup
baik jumlah maupun mutu gizinya. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga dan
masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar
dapat tumbuh kembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial.
Pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan, adalah tersedianya air bersih dan sarana
pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan.
Ketiga faktor ini saling berhubungan. Ketiga faktor penyebab tidak langsung saling
berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan keluarga. Makin
tinggi pendidikan, pengetahuan dan keterampilan kemungkinan makin baik tingkat
ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan anak, dan makin banyak
keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada, demikian juga sebaliknya.
(Mardisantosa, 2018).
Ketahanan pangan keluarga terkait dengan ketersediaan pangan (baik dari hasil
produksi sendiri maupun dari pasar atau sumber lain), harga pangan dan daya beli
keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. Sebagai contoh, air susu ibu
(ASI) adalah makanan bayi utama yang seharusnya tersedia di setiap keluarga yang
mempunyai bayi. Makanan ini seharusnya dapat dihasilkan oleh keluarga tersebut
sehingga tidak perlu dibeli. Namun tidak semua keluarga dapat memberikan ASI kepada
bayinya oleh karena berbagai masalah yang dialami ibu. Akibatnya, bayi tidak diberikan
ASI atau diberi ASI dalam jumlah yang tidak cukup sehingga harus diberikan tambahan
makanan pendamping ASI (MP-ASI). Timbul masalah apabila oleh berbagai sebab,
misalnya kurangnya pengetahuan dan atau kemampuan, MP-ASI yang diberikan tidak
memenuhi persyaratan. Dalam keadaan demikian, dapat dikatakan ketahanan pangan
keluarga ini rawan karena tidak mampu memberikan makanan yang baik bagi bayinya
sehingga berisiko tinggi menderita gizi buruk. (Mardisantosa, 2018).

3. Bagaimana patomekanisme keluhan terkait skenario?


a. BAB mencret
Gradient osmotic adalah perbedaan konsentrasi antara 2 larutan yang
dipisahkan oleh membrane semi-permeable. Transport aktif terus mengambil
elektrolit, Aktivitas ini menyebabkan terjadinya perpindahan cairan pasif dari
plasma ke dalam lumen usus. Apabila perpindahan secara pasif ini terjadi secara
terus menerus, hal tersebut dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan asam
basa dan elektrolit dimana absorbsi NaCl ke vili absorptive terhambat dan sekresi
Cl- usus kecil dan kolon meningkat. Hal tersebut menyebabkan tekanan osmotic
dalam usus meningkat sehingga peristaltic usus meningkat untuk mengantar cairan
ke usus besar. Tubuh secara fisiologis kemudian mengeluarkan cairan yang lebih
dari kapasitas penyerapan sehingga muncul manifestasi BAB cair (diare).

b. Telapak tangan tampak pucat


Di dalam tubuh, aliran darah dapat mencapai ke bagian tepi organ tubuh
(perifer), salah satunya adalah tangan, termasuk telapak tangan. Fungsi hemoglobin
dalam tubuh adalah mengikat oksigen agar dapat dialirkan ke seluruh tubuh. Aliran
tubuh manusia berasal dari jantung sampai ke seluruh tubuh, mencapai bagian tepi
organ tubuh/perifer, seperti telapak tangan. Telapak tangan yang pucat biasanya
berkaitan dengan tidak adekuatnya aliran darah tersebut karena oksigen yang
dibawa oleh hemoglobin tidak mencukupi. Umumnya, telapak tangan yang
memiliki kadar hemoglobin yang normal akan berwarna kemerahan, sedangkan
telapak tangan yang berwarna agak pucat dapat diindikasikan dengan kurangnya
kadar hemoglobin.

c. Edema pada tungkai bawah dan abdomen


Karena kekurangan protein, akan terjadi kekurangan berbagai asam amino
esensial dalam serum yang diperlukan untuk sintesis dan metabolisme. Makin
berkurangnya asam amino dalam serum ini akan 14 menyebabkan kurangnya
produksi albumin hepar, dimana albumin berfungsi mempertahankan tekanan
osmotik plasma. Jika terjadi penurunan tekanan osmotik plasma maka akan terjadi
pergerakan cairan dari intravaskuler kedalam jaringan intertisial dan
mengakibatkan penyusutan volume plasma. (Andi Yandi, 2016). Cairan kemudian
akan mengisi sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan. Jaringan ini tidak
mempunyai serabut kuat yang dapat mencegah penumpukan cairan dan terletak
pada selaput perut, saluran pencernaan, kelopak mata bawah, dalam ruang ketiak
dan di dalam skrotum. Selain itu cairan akan mengikuti gaya gravitasi sehingga
pada skenario edema terdapat di tungkai dan rongga perut (asites). (Andi Yandi,
2016).

d. Hati teraba 2 cm di bawah arcus costa

Malnutrisi (Gizi Buruk) dapat menyebabkan berbagai macam gangguan,


dimulai pada saat terjadinya berbagai macam defisiensi seperti yang pertama yaitu
defisiensi menyebabkan metabolisme energi menurun dan akhimya menyebabkan
cadangan lemak dan protein dipakai maka terjadi glukonkogenesis maka terjadi
atropi otot dan mengakibatkan seorang anak menjadi kurus. Selanjutnya jika
terjadi defisiensi lemak dan protein maka akan terjadi gangguan pembentukan
lipoprotein yang menyebabkan gangguan transfer lemak dari dan ke depot lemak.
Sehingga kolesterol akan terakumulasi di hepar . Hal ini akan menyebabkan
perlemakan hepar (fatty liver) sehingga akan bermanifestasi sebagai hepatomegali.
(Yuliati, 2016).

Selain itu, jika terjadi defisiensi protein maka asam amino dalam serum
akan menurun, albumin juga akan menurun sehingga metabolisme protein akan
terganggu. Metabolisme protein yang terganggu akan berdampak pada proses
regenerasi sel hepatosit, sehingga akan terjadi peningkatan aktivitas sel-sel
hepatosit yang masih baik sebagai kompensasi terhadap sel-sel hepatosit yang
sudah mati. Peningkatan aktivitas tersebut akan mengakibatkan perubahan terhadap
ukuran sel-sel hepatosit dan bermaifestasi sebagai pembesaran hepar
(hepatomegali). (Yuliati, 2016).

e. Otore pada telinga kanan dan kiri

Otorrhea merupakan discharge telinga yang dapat berasal dari membran


timpani. Otitis media diklasifikasikan berdasarkan gejala klinis, otoskopi, lama
sakit dan komplikasi. Otitis media terjadi karena aerasi telinga tengah yang
terganggu, biasanya disebabkan karena fungsi tuba eustakius yang terganggu.
Diagnosis dan tatalaksana yang benar sangatlah penting, karena otitis media
merupakan penyakit yang sering ditemukan dan dapat menyebabkan komplikasi
penyebaran infeksi sampai ke intrakranial. (Jacky, Yan. Dkk. 2018).

Ada beberapa faktor yang menyebabkan otitis lebih sering terjadi pada
anak dibandingkan dewasa. Tuba eustakius anak berbeda dibandingkan dengan
orang dewasa yakni tuba eustakius anak lebih horizontal dan lubang pembukaan
tonus tubarius dikelilingi oleh folikel limfoid yang banyak jumlahnya. Adenoid
pada anak dapat mengisi nasofaring, sehingga secara mekanik dapat menyumbat
lubang hidung dan tuba eustakius serta dapat berperan sebagai fokus infeksi pada
tuba. (Jacky, Yan. Dkk. 2018).

Tuba eustakius secara normal tertutup pada saat menelan. Tuba eustakius
melindungi telinga tengah dari sekresi nasofaring, drainase sekresi telinga tengah,
dan memungkinkan keseimbangan tekanan udara dengan tekanan atmosfer dalam
telinga tengah. Obstruksi mekanik ataupun fungsional tuba eustakius dapat
mengakibatkan efusi telinga tengah. Obstruksi mekanik intrinsik dapat terjadi
akibat dari infeksi atau alergi dan obstruksi ekstrinsik akibat adenoid atau tumor
nasofaring. Obstruksi fungsional dapat terjadi karena jumlah dan kekakuan dari
kartilago penyokong tuba. Obstruksi fungsional ini lazim terjadi pada anak-anak.
Obstruksi tuba eustakius mengakibatkan tekanan telinga tengah menjadi negatif dan
jika menetap mengakibatkan efusi transudat telinga tengah. Bila tuba eustakius
mengalami obstruksi tidak total, secara mekanik, kontaminasi sekret nasofaring dari
telinga dapat terjadi karena refluks (terutama bila membran timpani mengalami
perforasi), karena aspirasi, atau karena peniupan selama menangis atau bersin.
Perubahan tekanan atau barotrauma yang cepat juga dapat menyebabkan efusi
telinga tengah yang bersifat hemoragik. Bayi dan anak kecil memiliki tuba yang
lebih pendek dibandingkan dewasa, yang mengakibatkannya lebih rentan terhadap
refluks sekresi nasofaring. Faktor lain yaitu respon imun bayi yang belum
sempurna. Infeksi saluran nafas yang berulang juga sering mengakibatkan otitis
media melalui inflamasi dan edema mukosa dan penyumbatan lumen tuba
eustakius. Kuman yang sering menyebabkan otitis media diantaranya Streptococcus
pneumonia, Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarrhalis. (Jacky, Yan. Dkk.
2018).

f. Hb 5 gr/dl
1) Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau store iron deficiency, ditandai
dengan berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi.
Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini
terjadi peningkatan absorpsi besi non heme.
2) Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient
erythropoietin atau iron limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang
tidak cukup untuk menunjang eritropoisis.
3) Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi
bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga
menyebabkan penurunan kadar Hb. > 5gr/dl.

Kekurangan zat besi mengganggu pembentukan hemoglobin. Pembentukan


hemoglobin yang terganggu mengakibatkan terjadinya alterasi pembentukan sel
darah merah (eritropoesis) sehingga terjadi anemia. Kurangnya kesediaan zat besi
dapat terjadi karena: (1) asupan tidak mencukupi; (2) malabsorpsi; (3) peningkatan
kebutuhan; (4) kehilangan yang meningkat. Dalam skenario ini kemungkinan
defisiensi zat besi diakibatkan oleh asupan yang tidak cukup yang diakibatkan oleh
penggantian asi ekslusif menjadi air tajin sebelum 6 bulan
Derajat Anemia pada anak Derajat anemia untuk menentukan seorang anak
mengalami anemia atau tidak dapat ditentukan oleh jumlah kadar Hb yang terdapat
dalam tubuh. Klasifikasi derajat anemia yang umum dipakai dalah sebagai berikut:
a) Ringan sekali Hb 10 gr/dl – 13 gr / dl
b) Ringan Hb 8 gr / dl – 9,9 gr / dl
c) Sedang Hb 6 gr / dl – 7,9 gr / dl
d) Berat Hb < 6 gr / dl
Derajat anemia yang dialami bayi pada skenario ialah Berat dikarenakan Hb
bayi 5 gr/dl.

4. Bagaimana pengaruh riwayat pemberian ASI dan air tajin terhadap keluhan yang
dialami pasien pada skenario?
Salah satu kandungan zat gizi dalam ASI yang memberikan pengaruh pada
pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan bayi adalah kandungan zat gizi makro. Zat
gizi makro pada ASI berupa karbohidrat, lemak dan protein. Kandungan karbohidrat
dalam ASI berbentuk laktosa. Laktosa didalam usus halus dipecah menjadi glukosa dan
galaktosa oleh enzim laktase. Enzim laktase yang diproduksi pada usus halus bayi
terkadang tidak mencukupi, namun dengan diberikannya ASI pada bayi maka
kebutuhan enzim laktase dapat tercukupi dengan terpenuhinya kebutuhan sebesar 7,2g.
Kandungan protein pada ASI diharuskan sebesar 0,9g mengandung asam amino yang
memiliki peran penting untuk pertumbuhan bayi. Lemak tersebut digunakan untuk
mencukupi kebutuhan sebagian besar energi bayi. Kadar lemak dalam ASI adalah 3,2-
3,7 g/dL dan perkiraan energi yang dihasilkan berkisar 65–70 kcal/dL sehingga terdapat
korelasi yang cukup tinggi antara energi yang diperlukan oleh bayi dengan lemak yang
dihasilkan pada ASI.
World Health Organization (WHO) dan United nations of children's fund
(Unicef) menerangkan bahwa pemberian makanan bayi yang terbaik adalah dengan
memberikan ASI secara eksklusif selama 6 bulan tanpa diikuti pemberian cairan atau
asupan prelakteal.
MP-ASI merupakan proses transisi dari asupan yang semata berbasis susu
menuju ke makanan yang semi padat. Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus
dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan
pencernaan bayi/anak. Pemberian MP-ASI yang tepat diharapkan tidak hanya dapat
memenuhi kebutuuhan gizi bayi, namun juga merangsang keterampilan makan dan
merangsangg rasa percaya diri pada bayi . Pemberian makanan tambahan harus
bervariasi dari bentuk bubur cair kebentuk bubur kental, sari buah, buah segar, makanan
lumat, makanan lembek dan akhirnya makanan padat.
Pemberian MP-ASI yang cukup dalam hal kualitas dan kuantitas penting untuk
pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak yang bertambah pesat pada
periode ini. Bertambah umur bayi bertambah pula kebutuhan gizinya, maka takaran
susunya pun harus ditambah, agar bayi mendapat energi untuk pertumbuhan dan
perkembangannya. ASI hanya memenuhi kebutuhan gizi bayi sebanyak 60% pada bayi
usia 6-12 bulan. Sisanya harus dipebuhi dengan makanan lain yang cukup jumlahnya
dan baik gizinya. Oleh sebab itu pada usia 6 bulan keatas bayi membutuhkan tambahan
gizi lain yang berasal dari MP-ASI, namun MP-ASI yang diberikan juga harus
berkualitas.
Pada umur 0-6 bulan pertama dilahirkan, ASI merupakan makanan yang terbaik
bagi bayi, namun setelah usia tersebut bayi mulai membutuhkan makanan tambahan
selain ASI yang disebut makanan pendamping ASI. Pemberian makanan pendamping
ASI mempunyai tujuan memberikan zat gizi yang cukup bagi kebutuhan bayi atau balita
guna pertumbuhan dan perkembangan fisik dan psikomotorik yang optimal, selain itu
untuk mendidik bayi supaya memiliki kebiasaan makan yang baik. Tujuan tersebut
dapat tercapai dengan baik jika dalam pemberian MP-ASI sesuai pertambahan umur,
kualitas dan kuantitas makanan baik serta jenis makanan yang beraneka ragam. MP-ASI
diberikan sebagai pelengkap ASI sangat membantu bayi dalam proses belajar makan
dan kesempatan untuk menanamkan kebiasaan makan yang baik. Tujuan pemberian
MP-ASI adalah untuk menambah energi dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi karena
ASI tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi secara terus menerus, dengan demikian
makanan tambahan diberikan untuk mengisi kesenjangan antara kebutuhan nutrisi total
pada anak dengan jumlah yang didapatkan dari ASI. Pemberian MP-ASI pemulihan
sangat dianjurkan untuk penderita KEP, terlebih bayi berusia enam bulan ke atas dengan
harapan MP-ASI ini mampu memenuhi kebutuhan gizi dan mampu memperkecil
kehilangan zat gizi.
Pemberian MP-ASI harus memperhatikan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang
dianjurkan berdasarkan kelompok umur dan tekstur makanan yang sesuai
perkembangan usia balita. Terkadang ada ibu-ibu yang sudah memberikannya pada usia
dua atau tiga bulan, padahal di usia tersebut kemampuan pencernaan bayi belum siap
menerima makanan tambahan. Akibatnya banyak bayi yang mengalami diare. Masalah
gangguan pertumbuhan pada usia dini yang terjadi di Indonesia diduga kuat
berhubungan dengan banyaknya bayi yang sudah diberi MP-ASI sejak usia satu bulan,
bahkan sebelumnya. Pemberian MP-ASI terlalu dini juga akan mengurangi konsumsi
ASI, dan bila terlambat akan menyebabkan bayi kurang gizi. Sebenarnya pencernaan
bayi sudah mulai kuat sejak usia empat bulan. Selain cukup jumlah dan mutunya,
pemberian MP-ASI juga perlu memperhatikan kebersihan makanan agar anak terhindar
dari infeksi bakteri yang menyebabkan gangguan pencernaan.
Air tajin merupakan air rebusan beras. Secara umum kandungan beras tajin
adalah sebagai berikut.

Gambar 6. Kandungan beras tajin


Dampak pemberian air tajin terhadap bayi pada usia kurang dari 6 bulan yang
ada pada scenario dapat menyebabkan malnutrisi, hal ini dikarenakan pada scenario
scenario air tajin tidak digunakan digunakan sebagai sebagai pendamping pendamping
asi akan tetapi digunakan sebagai makanan pengganti asi. Jika dihubungkan dengan
kandungan gizi yang ada pada air tajin maka kandungan pada air tajin tidak akan
memenuhi kebutuhan pertumbuhan anak. akan memenuhi kebutuhan pertumbuhan
anak. Sedangka Sedangkan jika dibanding jika dibandingkan dengan kandungan ASI,
maka kandungan air dengan kandungan ASI, maka kandungan air asi jauh l asi jauh
lebih tingg ebih tinggi kandung kandungan gizinya dibandingkan air tajin. Selain itu
pemberian air tajin pada bayi kurang dari 6 bulan dapat menyebabkan diare, hal ini
dikarenakan pembentukan pembentukan zat anti oleh usus bayi belum sempurna dan
mungkin juga cara menyiapkan makanan yang kurang bersih. Bayi mudah alergi
terhadap zat makanan tertentu. Keadaan ini terjadi akibat usus bayi masih permeabel,
sehingga mudah dilalui oleh protein asing. Diare yang terjadi terus dapat menyebabkan
anak kekurangan berat badan yang drastis.

5. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik hati teraba 2 cm di bawah arcus


costa dan Hb 5 gr/dl?
a. Hepar teraba 2 cm di bawah arcus costa
Malnutrisi (Gizi Buruk) dapat menyebabkan berbagai macam gangguan,
dimulai pada saat terjadinya berbagai macam defisiensi seperti yang pertama yaitu
defisiensi menyebabkan metabolisme energi menurun dan akhimya menyebabkan
cadangan lemak dan protein dipakai maka terjadi glukonkogenesis maka terjadi
atropi otot dan mengakibatkan seorang anak menjadi kurus. Selanjutnya jika
terjadi defisiensi lemak dan protein maka akan terjadi gangguan pembentukan
lipoprotein yang menyebabkan gangguan transfer lemak dari dan ke depot lemak.
Sehingga kolesterol akan terakumulasi di hepar . Hal ini akan menyebabkan
perlemakan hepar (fatty liver) sehingga akan bermanifestasi sebagai
hepatomegali.(Yuliati, 2011).
Selain itu, jika terjadi defisiensi protein maka asam amino dalam serum akan
menurun, albumin juga akan menurun sehingga metabolisme protein akan
terganggu. Metabolisme protein yang terganggu akan berdampak pada proses
regenerasi sel hepatosit, sehingga akan terjadi peningkatan aktivitas sel-sel
hepatosit yang masih baik sebagai kompensasi terhadap sel-sel hepatosit yang
sudah mati. Peningkatan aktivitas tersebut akan mengakibatkan perubahan terhadap
ukuran sel-sel hepatosit dan bermaifestasi sebagai pembesaran hepar
(hepatomegali). (Shastia, 2017&Yuliati, 2011).

b. Hb 5 gr/dl
Teori Guillermo dan Arguelles anemia defisiensi besi (ADB) dapat
diketahui dari pemeriksaan laboratorium hemoglobin : Hemoglobin adalah
parameter status besi yang memberikan suatu ukuran kuantitatif tentang beratnya
kekurangan zat besi setelah anemia berkembang. Untuk nilai normal hemoglobin
sesuai umur adalah
 Anak usia 6 bulan-6 tahun : 11g/dl
 Anak usia 6 tahun -14 tahun : 12 g/dl
 Pria dewasa: 13 g/dl

Menurut organisasi Kesehatan dunia (WHO), pada anak usia 6 bulan – 6


tahun dikatakan anemia apabila kadar hemoglobim <11g/dl. Untuk diagnose
anemia defisiensi besi pada anak WHO memiliki kriteria yaitu :

1) Kadar Hb rendah sesuai usia.


2) Rata-rata konsentrasi Hb eritrosit (MCHC) <31%.
3) Kadar Fe serum <50 Ug/dl.
4) Saturasi transferrin ST <15%.

6. Bagaimana langkah-langkah diagnosis terkait skenario?


a. Alloanmnesis
 Identitas pasien (nama, umur, jenis kelamin, alamat).
 Keluhan utama OLDCART
 Keluhan lain
 Riwayat penyakit terdahulu
 Riwayat pemakaian obat-obatan
 Riwayat keluarga
 Riwayat dalam kelahiran
 Riwayat makanan dan imunisasi
 Riwayat tumbuh kembang (WHO, 2009).
Pada skenario, hasil anamnesis yang didapatkan yaitu pasien anak perempuan
berusia 6 bulan, datang ke Puskesmas dengan keluhan mencret sejak 1 bulan
terakhir. Riwayat konsumsi makanan yaitu pemberian ASI sampai usia 2 bulan,
dilanjutkan dengan air tajin sampai sekarang. Riwayat kelahirannya BBL 2900 g
dan PB 48 cm.

b. Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan Fisik Umum
 Inspeksi : Melihat keadaan umum (kesadaran), keadaan gizi. Dilaku-
kan secara sistematis, mulai dari bagian kepala dan berakhir
pada anggota gerak kaki. Dinilai apakah pasien tampak
anemia atau tidak. Ada edema atau tidak. Rambut kepala
mudah tercabut tanpa rasa sakit dan rambut akan tampak
kusam, halus, kering, jarang dan berubah warna menjadi
putih. Kulit cenderung kering dengan garis-garis kulit yang
lebih mendalam dan lebar. Hiperpigmentasi dan persisikan
kulit.
 Auskultasi : Menilai bising usus.
 Palpasi : Menilai adanya pembesaran hepar.
 Perkusi : Menilai adanya pembesaran hepar dan cairan berlebih.

2) Pemeriksaan Antropometrik
Berat badan menurut umur, panjang badan menurut umur, berat badan
menurut panjang badan, tebal lipatan kulit, dan lingkar lengan atas (WHO,
2009).
Pada skenario, hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan yaitu BB 6 kg,
PB 60 cm. Tampak telapak tangan pucat. Tampak otore pada telinga kanan dan
kiri. Ditemukan edema pada tungkai bawah dan abdomen. Hati teraba 2 cm
bawah arkus kosta.

c. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan darah rutin, kimia darah, urin rutin,
dan protein serum.
2) Pemeriksaan radiologi : melihat densitas tulang, serta kelainan organ-organ
yang dapat disebabkan oleh malnutrisi (WHO, 2009).
Pada skenario, hasil pemeriksaan penunjang yang didapatkan yaitu kadar
Hemoglobin 5g/dl.

7. Bagaimana DD dan DS pada Skenario?


KWASHIORKOR
a. Definisi
Kwashiorkor, atau malanutrisi edematosa, adalah keadaan gizi buruk yang
terutama disebabkan oleh kurangnya asupan protein.

b. Epidemiologi
MEP merupakan salah satu dari empat masalah gizi utama di Indonesia.
Prevalensi yang tinggi terdapat pada anak di bawah 5 tahun (balita) serta pada ibu
hamil dan menysui. Pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 20 13, terdapat 1 7,9%
balita gizi kurang dan 5, 7% gizi buruk. Berdasarkan Survei Sosial-Ekonomi
Nasional (SUSENAS) 2007, 5,5% balita mengalami gizi buruk dan 13% balita
mengalami gizi kurang.

c. Etiologi
Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein yang
berlansung kronis. Faktor yang dapat menyebabkan hal tersbut diatas antara lain:
(Kemenkes RI. 2015)
1) Pola makan
Protein (asam amino) adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk
tumbuh dan berkembang. Meskipun intake makanan mengandung kalori yang
cukup, tidak semua makanan mengandung protein/ asam amino yang memadai.
Bayi yang masih menyusui umumnya mendapatkan protein dari ASI yang
diberikan ibunya, namun bagi yang tidak memperoleh ASI protein adri sumber-
sumber lain (susu, telur, keju, tahu dan lain-lain) sangatlah dibutuhkan.
Kurangnya pengetahuan ibu mengenai keseimbangan nutrisi anak berperan
penting terhadap terjadi kwashiorkhor, terutama pada masa peralihan ASI ke
makanan pengganti ASI.
2) Faktor sosial
Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi,
keadaan sosial dan politik tidak stabil, ataupun adanya pantangan untuk
menggunakan makanan tertentu dan sudah berlansung turun-turun dapat
menjadi hal yang menyebabkan terjadinya kwashiorkor.
3) Faktor ekonomi
Kemiskinan keluarga/ penghasilan yang rendah yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan berakibat pada keseimbangan nutrisi anak tidak
terpenuhi, saat dimana ibunya pun tidak dapat mencukupi kebutuhan
proteinnya.
4) Faktor infeksi dan penyakit lain
Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP dan
infeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Dan
sebaliknya MEP, walaupun dalam derajat ringan akan menurunkan imunitas
tubuh terhadap infeksi.

d. Patofisiologi
Kwashiorkor ditandai dengan edema perifer pada seseorang yang menderita
kelaparan. Edema terjadi akibat hilangnya keseimbangan cairan antara tekanan
hidrostatik dan onkotik melintasi dinding pembuluh darah kapiler. Konsentrasi
albumin berkontribusi pada tekanan onkotik, memungkinkan tubuh menyimpan
cairan di dalam pembuluh darah. Anak - anak dengan kwashiorkor ditemukan
memiliki kadar albumin yang sangat rendah dan, sebagai akibatnya, menjadi
terkuras secara intravaskular
Selanjutnya, hormon antidiuretik (ADH) meningkat sebagai respons
terhadap hipovolemia, yang kemudian mengakibatkan edema. Renin plasma juga
merespon secara agresif, menyebabkan retensi natrium.
Kwashiorkor juga ditandai dengan rendahnya kadar glutathione
(antioksidan). Hal ini diduga mencerminkan tingkat stress oksidan yang tinggi pada
anak yang kekurangan gizi. Tingkat oksidan yang tinggi biasanya terlihat selama
kelaparan dan bahkan terlihat pada kasus peradangan kronis.

e. Gejala Klinis
 Edema seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki
 Wajah membulat dan sembab
 Pandangan mata sayu
 Rambut tipis kemerahan
 Warna rambut jagung
 Apatis dan rewel
 Pembesaran hati
 Otot – otot mengecil
 Adanya “crazy pavement dermatosis”
 Sering disertai penyakit infeksi, anemia dan diare

f. Diagnosis
Anamnesis
Pada anak dengan gizi buruk, keluhan yang sering ditemukan adalah berat
badan tidak naik atau berat badan kurang. Selain itu, ada keluhan anak tidak mau
makan, sering menderita sakit berulang atau timbulnya bengkak pada kedua kaki,
kadang sampai seluruh tubuh.
Pada gizi buruk kwashiokor, anak tampak letargis, apatis, dan/ atau iritabel.
Manifestasi khas yang dapat dikeluhkan oleh orangtua pasien adalah bengkak/
buncit (edema), yang terkadang menyebabkan berat badan pasien tampak tidak
berkurang pada awal terjadinya gizi buruk kwashiokor.
Pemeriksaan Fisik
 Perubahan mental sampai apatis;
 Anemia;
 Perubahan warna dan tekstur rambut, mudah dicabut atau rontok;
 Gangguan sistem gastrointestinal;
 Pembesaran hati;
 Perubahan kulit (dermatosis)
 Atrofi otot;
 Edema simetris pada kedua punggung kaki, dapat sampai seluruh tubuh.

Pemeriksaan Penunjang

 Kadar gula darah,


 darah tepi lengkap,
 urine lengkap,
 feses lengkap,
 elektrolit serum,
 protein serum (albumin, globulin),
 feritin; Tes Mantoux;
 Roentgen (dada, AP dan lateral);
 Pemeriksaan EKG.

MARASMUS
a. Definisi
Marasmus merupakan malanutrisi nonedematosa dengan wasting berat yang
disebabkan terutama oleh kurangnya asupan energi atau gabungan kurangnya
asupan energi dan asupan protein.
b. Epidemiologi
MEP merupakan salah satu dari empat masalah gizi utama di Indonesia.
Prevalensi yang tinggi terdapat pada anak di bawah 5 tahun (balita) serta pada ibu
hamil dan menysui. Pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 20 13, terdapat 1 7,9%
balita gizi kurang dan 5, 7% gizi buruk. Berdasarkan Survei Sosial-Ekonomi
Nasional (SUSENAS) 2007, 5,5% balita mengalami gizi buruk dan 13% balita
mengalami gizi kurang.

c. Etiologi
Secara garis besar sebab-sebab marasmus ialah sebagai berikut:
1) Pemasukan kalori yang tidak cukup. Marasmus terjadi akibat masukan kalori
yang sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan
akibat dari ketidak tahuan orang tua si anak.
2) Kebiasaan makan yang tidak tepat. Seperti mereka yang mempunyai
hubungan orang tua-anak terganggu.
3) Kelainan metabolik. Misalnya: renal asidosis, idiopathic hypercalcemia,
galactosemia, lactose intolerance.
4) Malformasi kongenital. Misalnya: penyakit jantung bawaan, penyakit
Hirschprung, deformitas palatum, palatoschizis, micrognathia, stenosispilorus,
hiatus hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis pankreas.

d. Patofisiologi
Kurang kalori protein akan terjadi manakala kebutuhan tubuh akan kalori,
protein, atau keduanya tidak tercukupi oleh diet. Dalam keadaan kekurangan
makanan, tubuh selalu berusaha untuk mempertahankan hidup dengan memenuhi
kebutuhan pokok atau energi. Kemampuan tubuh untuk mempergunakan
karbohidrat, protein dan lemak merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan kehidupan, karbohidrat (glukosa) dapat dipakai oleh seluruh
jaringan tubuh sebagai bahan bakar, sayangnya kemampuan tubuh untuk
menyimpan karbohidrat sangat sedikit, sehingga setelah 25 jam sudah dapat terjadi
kekurangan. Akibatnya katabolisme protein terjadi setelah beberapa jam dengan
menghasilkan asam amino yang segera diubah jadi karbohidrat di hepar dan ginjal.
Selam puasa jaringan lemak dipecah menjadi asam lemak, gliserol dan keton
bodies. Otot dapat mempergunakan asam lemak dan keton bodies sebagai sumber
energi kalau kekurangan makanan ini berjalan menahun. Tubuh akan
mempertahankan diri jangan sampai memecah protein lagi seteah kira-kira
kehilangan separuh dari tubuh.

e. Gejala Klinis
 Tampak sangat kurus hingga tulang terbungkus kulit
 Wajah seperti orang tua
 Cengeng / rewel
 Baggy pants
 Perut cekung
 Iga gambang
 Sering disertai penyakit infeksi dan diare

f. Diagnosis
Anamnesis
Pada gizi buruk marasmus, keluhan yang disampaikan oleh orang tua pasien
terkait perubahan fisis anak meliputi kulit keriput, penipisan lemak subkutan, atrofi
otot (makin tampak kurus). serta penampakan lain yang disebabkan oleh defisiensi
mikronutrien yang menyertai defisiensi protein dan energi.
Pemeriksaan Fisik
 Penampilan wajah seperti orang tua, terlihat sangat kurus;
 Perubahan mental,
 Cengeng; kulit kering,
 Dingin dan mengendor, keriput;
 Lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit berkurang;
 Otot atrofi sehingga kontur tulang terlihatjelas:
 Bradikardia (kadang-kadang);
 Tekanan darah lebih rendah dibandingkan anak yang sehat.
MARASMIK-KWASHIORKOR
a. Definisi
Marasmus-kwashiorkor (marasmic kwashiorkor) adalah gabungan tanda-
tanda marasmus dan kwashiorkor yang disebabkan oleh kekurangan makanan
sumber energi secara umum dan kekurangan sumber protein.

b. Etiologi
1) Asupan makanan
Kurangnya asupan makanan disebabkan oleh berbagai faktor, antara
lain yaitu pola makan yang salah, tidak tersedianya makanan secara cukup, dan
anak tidak cukup atau salah mendapat makanan bergizi seimbang.16Kebutuhan
nutrisi pada balita meliputiair, energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan
mineral.Setiap gram protein menghasilkan 4 kalori, lemak 9 kalori,dan
karbohidrat 4 kalori.Distribusi kalori dalam makanan balita dalam
keseimbangan diet adalah 15% dari protein, 35% dari lemak, dan 50% dari
karbohidrat.Maka jika terjadi kelebihan kalori yang menetap setiap hari sekitar
500 kalori dapat menyebabkan kenaikan berat badan 500 gram dalam
seminggu.
2) Status sosial ekonomi
Balita dengan gizi buruk pada umumnya hidup dengan makanan yang
kurang bergizi.18Hal ini dapat disebabkan oleh karena rendahnya ekonomi
keluarga sehingga pada akhirnyaakan berdampak dengan rendahnya daya beli
pada keluarga tersebut. Selain itu rendahnya kualitas dan kuantitas konsumsi
pangan, merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak balita.
Keadaan sosial ekonomi yang rendah berkaitan dengan masalah kesehatan
yang dihadapi karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan untuk mengatasi
berbagai masalah tersebut.
3) ASI
Hanya 14% ibu di Indonesia yang memberikan air susu ibu (ASI)
eksklusif kepada bayinya sampai enam bulan. Rata-rata bayi di Indonesia
hanya menerima ASI eksklusif kurang dari dua bulan. Berdasarkan riset yang
sudah dibuktikan di seluruh dunia, ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi
sampai enam bulan, dan disempurnakan sampai umur dua tahun.
4) Pendidikan ibu
Salah satu faktor penyebab timbulnya kemiskinan adalah pendidikan
yang rendah sehingga menyebabkan seseorang kurang mempunyai
keterampilan tertentu yang diperlukan dalam kehidupan.Rendahnya
pendidikan dapat mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga, yang
selanjutnya mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi pangan yang
merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak balita.
5) Pengetahuan ibu
Pengetahuan yang dimiliki ibu berpengaruh terhadap pola konsumsi
makanan keluarga khususnya pada anak.
6) Penyakit penyerta
Anak yang berada dalam status gizi buruk, umumnya sangat rentan
terhadap penyakit –penyakitseperti tuberculosis (TBC), diare
persisten(berlanjutnya episode diare selama 14 hari atau lebih dan dimulai dari
suatu diare cair akut atau berdarah/disentri)dan HIV/AIDS.Penyakit tersebut
dapat memperjelek keadaan gizi melalui gangguan masukan makanan dan
meningkatnya kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh.

c. Gejala Klinis
Penyakit marasmus-kwashiorkor memperlihatkan gejala campuran antara
penyakit marasmus dan kwashiorkor. Makanan sehari-harinya tidak cukup
mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada
penderita demikian, disamping menurunnya berat badan di bawah 60% dari normal
memperlihatkan gejala-gejala kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut,
kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula.
Tabel DD dan DS

Kwashiorkor Marasmus Marasmik- Kwashiorkor


Anak perempuan + + +
Umur 6 bulan + + +

Mencret sejak 1 bulan + + +


Edema pada tungkai
+ - +/-
bawah dan abdomen
Otore telinga kanan
+ + +
dan kiri
Hati teraba 2 cm
+ - +/-
dibawah arkus kosta
Hb : 5 gr/dl +/- - +/-
Tabel 1. DD dan DS

8. Bagaimana tata laksana farmakologi dan nonfarmakologi sesuai skenario?


a. Cenderung terjadi diagnosis berlebihan dari dehidrasi dan estimasi yang
berlebihan mengenai derajat keparahannya pada anak dengan gizi buruk. Hal ini
disebabkan oleh sulitnya menentukan status dehidrasi secara tepat pada anak
dengan gizi buruk, hanya dengan menggunakan gejala klinis saja. Anak gizi buruk
dengan diare cair, bila gejala dehidrasi tidak jelas, anggap dehidrasi ringan (WHO.
2009).
 Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dehidrasi berat
dengan syok.
 Berikan anak lebih banyak cairan daripada biasanya untuk mencegah
dehidrasi. Karena anak tidak mendapatkan ASI eksklusif, maka bisa diberikan
cairan makanan atau air matang.
 Beri tablet zinc
Diberi selama 10 hari dengan dosis 1 tablet (20 mg) per hari
b. Edema anak

 Untuk mengatasi gangguan elektrolit diberikan Kalium danMagnesium, yang


sudah terkandung di dalam larutan Mineral-Mix yang ditambahkan ke dalam
F-75, F-100 atau ReSoMal.

 Gunakan larutan ReSoMal untuk rehidrasi.

 Siapkan makanan tanpa menambahkan garam (NaCl) (WHO. 2009).

Gambar 7. Resep Resomal

Gambar 8. Larutan Mineral-Mix


c. Hb anak
Pada anak gizi buruk, transfusi harus diberikan secara lebih lambat dan
dalam volume lebih kecil dibanding anak sehat. Beri: Darah utuh (Whole Blood),
10 ml/kgBB secara lambat selama 3 jam, Furosemid, 1 mg/kg IV pada saat transfusi
dimulai (WHO. 2009).
d. Defisiensi zat gizi mikro
Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral.
Meskipun sering ditemukan anemia, jangan beri zat besi pada fase awal, tetapi
tunggu sampai anak mempunyai nafsu makan yang baik dan mulai bertambah berat
badannya (biasanya pada minggu kedua, mulai fase rehabilitasi), karena zat besi
dapat memperparah infeksi. Tatalaksana Berikan setiap hari paling sedikit dalam 2
minggu (WHO. 2009):

 Multivitamin Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari)

 Seng (2 mg Zn elemental/kgBB/hari)

 Tembaga (0.3 mg Cu/kgBB/hari)

 Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai faserehabilitasi)


 Vitamin A: diberikan secara oral pada hari ke 1 (kecuali bila telah
diberikan sebelum dirujuk), dengan dosis seperti di bawah ini:

Umur Dosis (IU)

< 6 bulan 50 000 (1/2 kapsul Biru)

6–12 bulan 100 000 (1 kapsul Biru)

1-5 tahun 200 000 (1 kapsul Merah)

Tabel 2. Pemberian Dosis Vitamin A Berdasarkan Umur

Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3
bulan terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2, dan
15.
e. Berikan pada semua anak dengan gizi buruk:
 Antibiotik spektrum luas: Jika tidak ada komplikasi atau tidak ada infeksi
nyata, beri Kotrimoksazol per oral (25 mg SMZ + 5 mg TMP/kgBB setiap 12
jam, dosis 240 mg, 2 x 1 selama 5 hari.
 Vaksin campak jika anak berumur ≥ 6 bulan dan belum pernah
mendapatkannya, atau jika anak berumur > 9 bulan dan sudah pernah diberi
vaksin sebelum berumur 9 bulan. Tunda imunisasi jika anak syok.
f. Petunjuk dari WHO tentang pengelolaan MEP (Malnutrisi Energi Protein) berat di
rumah sakit dengan menetapkan 10 langkah tindakan pelayanan melalui 3 fase
(stabilisasi, transisi dan rehabilitasi) dan dilanjutkan dengan fase follow up (WHO.
2009).
 Fase Stabilisasi:
- Porsi kecil, sering, rendah serat dan rendah laktosa.
- Energi: 100 kkal/kgBB/hari.
- Protein: 1 -1,5 g/kgBB/hari.
- Cairan: 130 ml/kgBB/hari (bila sembab berat: 100 ml/kgBB/hari).
- Teruskan ASI pada anak menetek.
- Bila selera makan baik dan tidak sembab pemberian makan bisadipercepat
dalam waktu 2-3 hari.
- Makanan yang tidak habis, sisanya diberikan personde.

- Jenis makanan Formula WHO (awal fase stabilisasi dengan F75 fase transisi
dengan F100) atau modifikasinya.

- Pantau dan catat: Jumlah cairan yang diberikan, yang tersisa; jumlah cairan
yang keluar seperti muntah, frekuensi buang air; timbang BB (harian).
 Fase Transisi:
- Pemberian energi masih sekitar 100 kkal/kgBB/hari.
- Pantau frekuensi napas dan denyut nadi.
- Bila napas meningkat >5 kali/menit dan nadi >25 kali/ menit dalam
pemantauan tiap 4 jam berturutan, kurangi volume pemberian formula.
- Setelah normal bisa naik kembali.
 Fase Rehabilitasi:

- Beri makanan/formula WHO (F135), jumlah tidak terbatas dan sering.

- Energi: 150-220 kkal/kgBB/hari.

- Protein: 4-6 g/kgBB/hari.

- ASI diteruskan, tambahkan makanan formula; secara perlahan


diperkenalkan makanan keluarga.

- Pemantauan: kecepatan pertambahan BB setiap minggu (timbang BB setiap


hari sebelum makan). Kenaikan BB Kurang (<5 g/kgBB/hari) → evaluasi
ulang secara menyeluruh; bila kenaikan BB Sedang(5-10 g/kgBB/hari)
→ cek asupan makanan/infeksi sudah teratasi.

9. Bagaimana prognosis sesuai dengan skenario?


Pada malnutrisi prognosis bergantung derajat keparahan malnutrisi serta
durasi terjadinya malnutrisi. Pada anak yang mengalami malnutrisi kronik, terutama
yang terjadi pada 1000 hari pertama kehidupan, malnutrisi dapat mengakibatkan
pertumbuhan dan perkembangan anak tidak mencapai potensi maksimal. Gangguan
tumbuh kembang termasuk di dalamnya adalah perkembangan kognitif anak. Selain itu,
pada kondisi malnutrisi akut berat pada anak, ancaman mortilitas cukup tinggi terutama
saat fase stabilisasi (Liansya, dkk. 2015).
Prognosis tergantung pada seberapa parah gajalanya saat pengobatan dimulai.
Jika pengobatan dimulai sejak dini, anak biasanya akan pulih dengan baik sehingga
prognosisnya baik, meskipun anak-anak mungkin tidak pernah mencapai potensi
pertumbuhan penuh dan lebih pendek dari teman sebayanya. Jika pengobatan dimulai
pada tahap selanjutnya dari malnutrisi protein, orang tersebut mungkin akan mengalami
cacat fisik dan intelektual. Namun jika tidak diobati atau pengobatan ditunda secara
signifikan maka prognosis dapat menjadi buruk yang dapat menyebabkan kematian
(Onecia & Sarah, 2021).
10. Bagaimana pencegahan yang dapat dilakukan sesuai dengan skenario?
a. ASI Eksklusif
Pencegahan malnutrisi pada balita juga harus dimulai sejak janin masih
berada dalam kandungan karena pertumbuhan dan perkembangan pada masa bayi
dan balita tidak bisa terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan janin dalam
rahim. Pencegahan dapat dimulai dengan menjaga asupan ibu hamil selalu
tercukupi sejak awal kehamilan. Setelah janin dilahirkan, pencegahan malnutrisi
dilakukan dengan memberikan ASI eksklusif yaitu pemberian ASI saja selama 6
bulan berturut-turut. Apabila pemberian ASI eksklusif tidak memungkinkan karena
berbagai alasan, maka bisa diganti atau ditambah dengan susu formula. Namun
sebaiknya diusahakan tetap memberikan ASI eksklusif. Setelah usia bayi mencapai
6 bulan, selain ASI bayi harus segera diberikan makanan pendamping ASI secara
bertahap, disesuaikan dengan umur bayi. Pemberian ASI tetap dilanjutkan sampai
usia dua tahun.
b. Imunisasi
Imunisasi harus diberikan secara rutin sejak usia 0 bulan. Imunisasi yang
rutin dan lengkap akan mencegah bayi terserang penyakit infeksi. Imunisasi dasar
lengkap adalah imunisasi yang sesuai dengan program pemerintah. Imunisasi juga
harus diulang supaya status kekebalan bayi tetap optimal. Selain imunisasi, bayi
juga harus mendapatkan suplementasi vitamin A karena kadar vitamin A dalam ASI
tidak tinggi, tidak bisa mencukupi kebutuhan. Pemerintah sudah membuat program
suplementasi vitamin A yang diberikan setiap bulan Februari dan Agustus.
Pemantauan kesehatan balita secara rutin juga harus dilakukan supaya
mampu mendeteksi adanya gangguan kesehatan atau gangguan gizi. Hal ini dapat
dilakukan dengan membawa balita ke Posyandu yang dilaksanakan setiap satu
bulan sekali. Penimbangan, imunisasi, dan pemberian vitamin A juga dilakukan di
Posyandu. Imunisasi lanjutan (booster) juga perlu diberikan sejak usia 2 tahun. Hal
ini perlu karena imunisasi dasar yang diperoleh pada waktu bayi sudah mulai
menurun sehingga perlu dilakukan imunisasi ulang untuk meningkatkan kembali
imunitas tubuh.
c. Program 1000 Hari Pertama Kehidupan
Program seribu hari pertama kehidupan yang telah dicanangkan oleh
UNICEF menyatakan bahwa pada periode ini anak harus memperoleh ASI,
makanan pendamping ASI yang kaya zat gizi dan suplementasi mikronutrien.
Suplementasi mikronutrien yang penting untuk balita adalah vitamin A, zat besi,
zink, dan iodium. Zat-zat gizi tersebut penting karena berperan dalam pertumbuhan
dan imunitas. Namun di Indonesia program suplementasi yang sudah ada untuk
balita hanya suplementasi vitamin A. Harga suplemen atau multivitamin yang
mengandung mikronutrien penting sebenarnya terjangkau dan dan dapat dibeli di
mana saja. Bila ada kecurigaan seorang balita mengalami defisiensi mikronutrien
maka tindakan yang perlu dilakukan adalah segera memberi suplementasi
multivitamin untuk mencegah komplikasi yang lebih lanjut.
d. Suplementasi Mikronutrient
Pemberian suplementasi seng dan zat besi pada banyak penelitian terbukti
mampu meningkatkan nafsu makan balita. Pemberian suplementasi seng
meningkatkan rerata frekuensi makan dari 4,16 menjadi 4,8 kali per hari.
Sedangkan suplementasi seng dan zat besi mampu meningkatkan rerata frekuensi
makan dari 4,1 menjadi 5 kali per hari. Hal ini berarti pemberian suplementasi seng
bersama dengan zat besi mampu meningkatkan frekuensi makan lebih banyak
dibandingkan suplementasi seng saja atau zat besi saja.(Aryu dkk) Selain dari
frekuensi makan, peningkatan nafsu makan juga dapat dilihat dengan adanya
peningkatan asupan energi. Penelitian lain yang meneliti pengaruh suplementasi
seng dan zat besi adalah penelitian Khademian dkk yang menyatakan bahwa
suplementasi seng dan zat besi secara bersama-sama dapat meningkatkan nafsu
makan balita.
Suplementasi seng dan zat besi juga terbukti dapat meningkatkan status
gizi balita. Peningkatan berat badan salah satunya disebabkan oleh peningkatan
nafsu makan. Suplementasi seng dan zat besi juga dapat membantu balita mencapai
tinggi badan yang optimal. Proses pertumbuhan linier atau pertambahan tinggi
badan pada balita di atas 2 tahun berjalan lebih lambat dibandingkan balita di bawah
2 tahun, sehingga dibutuhkan waktu lebih lama pemberian suplementasi untuk
meningkatkan tinggi badan secara signifikan. Penelitian Rerksuppaphol
menyatakan bahwa pemberian suplementasi seng selama 6 bulan bisa
meningkatkan tinggi badan dan berat badan anak lebih banyak dibanding placebo
(4.9 ± 1.3 vs 3.6 ± 0.9 cm, p < 0.001).
Hasil penelitian juga menyatakan bahwa suplementasi zat besi dapat
meningkatkan skor Inteliigentia Quotient (IQ) sebesar 2,5 point. Suplementasi zat
besi mampu meningkatkan skor IQ karena zat besi merupakan komponen penting
dalam pembentukan hemoglobin yang berfungsi mengantarkan oksigen ke seluruh
jaringan tubuh. Otak merupakan jaringan konsumsi oksigennya tinggi, sehingga
kadar zat besi yang cukup sangat penting bagi kerja otak yang sangat berperan
dalam fungsi kecerdasan. Pada kelompok yang memperoleh suplementasi seng dan
zat besi secara bersama-sama tidak terjadi peningkatan skor IQ secara signifikan.
Salah satu faktor penyebabnya adalah karena pemberian seng dan zat besi secara
bersamaan menimbulkan interaksi negatif yang dapat menghambat absorbsi dari
masing-masing zat gizi.
DAFTAR PUSTAKA

Andi Yandi, Ratu. 2016. Anak Perempuan Usia Lima Tahun Dengan Kwashiorkor Vol. 4 No. 3.
Lampung: J Medula Unila Fakultas Kedokteran Unila.

Benyamin, O. and Lappin, S., 2022. Kwashiorkor. [online] Ncbi.nlm.nih.gov.

Brown, KH., Dewey, K., Allen, L. 1998. Breast-feeding and Complementary Feeding,
Complementary Feeding of Young Children in Developing Countries: A Review of
Curent Scientific Knowledge. Geneva: World Health Organization.

Depkes RI. 2017. Manajemen Laktasi. Direktorat Gizi Masyarakat. Direktorat Jendral Kesehatan
Masyarakat. Jakarta.

Depkes RI. 2018. Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). Direktorat Gizi
Masyarakat. Direktorat Jendral Kesehatan Masyarakat. Jakarta.

Dietz, WH. 2000. Breastfeeding May Help Prevent Childhood Overweight. JAMA.
2000:285:2506-7

Dimas Priantono, Titis Prawitasari. 2014. Gizi Buruk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV Jilid 1

Fitriany, J., & Saputri, A. I. (2018). Anemia Defisiensi Besi. AVERROUS: Jurnal Kedokteran dan
Kesehatan Malikussaleh, 4(2), 1-14.

Jacky, Yan Yolazenia. 2018. Penatalaksanaan Otitis Media Akut. FK Universitas Andalas Padang:
Bagian Telingan Hidung Tenggoro Badan Kepala Leher (THT-KL).

Kemenkes RI. 2015. Situasi Kesehatan Anak BALITA di Indonesia. Infodatin : Jakarta.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi, dan
Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Dasar. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Liansyah, T. M. (2015). Malnutrisi pada Anank Balita. Jurnal Buah Hati, 2(1), 1-12.

Mardisantosa, B., Huri, D., & Edmaningsih, Y. 2018. Faktor Faktor Kejadian Kurang Energi
Protein (KEP) Pada Anak Balita. Jurnal Kesehatan, 6(2).
Muin, R. Y., Roma, J., Mutmainnah, M., & Abd Samad, I. (2016). SIROSIS HEPATIS
DEKOMPENSATA PADA ANAK. INDONESIAN JOURNAL OF CLINICAL
PATHOLOGY AND MEDICAL LABORATORY, 18(1), 63-67.

Pudjiadi Solihin. Penyakit KEP (Kurang Energi dan Protein) dai Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Edisi
keempat. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2005: 95-137.

Rofles, W. 2008. Understanding Nutrition. Belmont: Wadsworth/CengageLearning.

Soetjiningsih dan Gede Ranuh. 2013. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.

Suhartini, B. 2005. Deteksi Dini Keterlambatan Perkembangan Motorik Kasar Pada Anak.
Meidkora. 1(2).

Tita Menawati Liansyah, Malnutrisi Pada Anak. Fakutas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala
Volume II Nomor 1. Maret 2015.

Wardana, Ruliansyah Kusuma, Dkk. 2018. Journal of Nutrition College : Hubungan Asupan Zat
Gizi Makro dan Status Gizi Ibu Menyusui Dengan Kandungan Zat Gizi Makro Pada
Air Susu Ibu (ASI) di Kelurahan Bandaharjo Semarang. Departemen Ilmu Gizi,
Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro. Semarang.

Wijaya, Felicia Anita. (2019). ASI Eksklusif: Nutrisi Ideal untuk Bayi 0-6 Bulan. Jurnal CDK,
Vol 46(4).

World Health Organization. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Pedoman Bagi
Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Jakarta: WHO.

World Health Organization. 2009. Pocket Book of Hospital Care for Children, Guidelines for the
Management of Common Illnesses with Limited Resources. Terjemahan Tim Adaptasi
Indonesia. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Cetakan I.
Jakarta: World Health Organization Indonesia bekerjasama dengan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai