Laporan Tutorial Modul 2 Kelompok 6
Laporan Tutorial Modul 2 Kelompok 6
BLOK GERIATRI
MODUL 2 MALNUTRISI ENERGI PROTEIN
LEMBAR PENGESAHAN
Dosen Pembimbing
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq dan
hidayah-Nya sehingga laporan ini dapat terselesaikan tepat waktu.
Kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak terutama kepada Dokter Pembimbing
Tutorial Modul 2 Gangguan Tumbuh Kembang & Malnutrisi Energi Protein. Tak lupa pula kami
sampaikan rasa terima kasih kami kepada teman-teman yang telah mendukung, memotivasi, serta
membantu dalam menyelesaikan laporan ini.
Kami berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Kami juga menyadari
bahwa laporan yang kami buat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan
saran, masukan maupun kritikkan dari semua kalangan demi kesempurnaan laporan yang kami
susun ini.
Kelompok 6
A. SKENARIO
Seorang anak perempuan, umur 6 bulan dibawa ibunya ke Puskesmas dengan sering
mencret sejak 1 bulan terakhir. Riwayat pemberian makan ASI diberikan sampai 3 bulan,
selanjutnya air tajin sampai sekarang. Riwayat kelahiran: BBL 2900 gram, PB 48 cm.
Pemeriksaan fisik didapatkan BB 6 kg, PB 60 cm, telapak tangan tampak pucat. Ditemukan
edema pada tungkai bawah & abdomen. Tampak otore pada telinga kanan & kiri. Hati teraba
2 cm di bawah arkus kosta. Lab: Hb 5 gr/dl.
B. KATA SULIT
1. Air tajin : Air yang diperoleh pada saat setelah mencuci beras, kemudian dididihkan dan
ditambah garam sekitar ½ sendok makan untuk setiap liter air (Yunitasari, 2020).
2. Otore : Cairan atau discharge yang keluar dari telinga (Mahardika et al, 2019).
C. KATA KUNCI
1. Seorang anak perempuan
2. Umur 6 bulan
3. Sering mencret sejak 1 bulan terakhir
4. Riwayat pemberian makan ASI diberikan sampai 3 bulan, selanjutnya air tajin sampai
sekarang
5. Riwayat kelahiran:
BBL 2900 gram
PB 48 cm
6. Pemeriksaan fisik didapatkan:
BB 6 kg
PB 60 cm
telapak tangan tampak pucat
Ditemukan edema pada tungkai bawah & abdomen
7. Otore pada telinga kanan dan kiri
8. Hati teraba 2 cm di bawah arkus kosta
9. Lab: Hb 5 gr/dl
D. PERTANYAAN
1. Bagaimana status gizi dan tumbuh kembang anak pada skenario?
2. Apa saja faktor-faktor penyebab terjadinya protein energi malnutrisi?
3. Bagaimana patomekanisme keluhan terkait skenario?
Mencret
Telapak tangan tampak pucat
Edema pada tungkai bawah dan abdomen
Hati teraba 2 cm di bawah arcus costa
Otore pada telinga kanan dan kiri
Hb 5 gr/dl
4. Bagaimana pengaruh riwayat pemberian ASI dan air tajin terhadap keluhan yang
dialami pasien pada skenario?
5. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik hati teraba 2 cm di bawah arcus costa dan
Hb 5 gr/dl?
6. Bagaimana langkah-langkah diagnosis terkait skenario?
7. Bagaimana DD dan DS pada skenario?
8. Bagaimana tata laksana farmakologi dan nonfarmakologi sesuai skenario?
9. Bagaimana prognosis sesuai dengan skenario?
10. Bagaimana pencegahan yang dapat dilakukan sesuai dengan skenario?
E. JAWABAN PERTANYAAN
1. Bagaimana status gizi dan tumbuh kembang anak pada skenario?
a. Status Gizi
Status gizi adalah salah satu unsur penting dalam membentuk status
kesehatan. Status gizi (nutritional satus) adalah keadaan yang diakibatkan oleh
keseimbangan antara asupan zat gizi dari makanan dan kebutuhan zat gizi oleh
tubuh. Status gizi sangat dipengaruhi oleh asupan gizi. Pemanfaatan zat gizi dalam
tubuh dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu primer dan sekunder. Faktor primer
adalah keadaan yang mempengaruhi asupan gizi dikarenakan susunan makanan
yang dikonsumsi tidak tepat, sedangkan faktor sekunder adalah zat gizi tidak
mencukupi kebutuhan tubuh karena adanya gangguan pada pemanfaatan zat gizi
dalam tubuh.
Pemeriksaan Status Gizi
1) Panjang Badan/Tinggi Badan Menurut Umur
Berdasarkan pada skenario didapatkan data, yaitu:
a) PB usia 6 bulan 60 cm
b) Status Gizi :
b) Status Gizi
b. Tumbuh Kembang
1) Pertumbuhan
Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan dalam
besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang
bisa diukur dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm,
meter), umur tulang, dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan
nitrogen tubuh) (Soetjiningsih dan Gede, 2013). Beberapa komponen yang
menjadi indikator dalam menilai pertumbuhan pada anak, yaitu (Ssoetjiningsih
dan Gede, 2013):
a) Berat Badan
b) Tinggi Badan
c) Lingkar Kepala
d) Lingkar Lengan Atas
e) Lipatan Kulit
a) Berat Badan
Lahir : 3,25 kg
Umur (bulan)+ 9
Umur 3-12 bulan : 2
−5,7
=
2,2
= −2,59 (Pendek)
2) Perkembangan
Perkembangan (development) adalah bertambahnya kemampuan (skill)
dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang
teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Di sini
menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh,
organ-organ, dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga
masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan
emosi, intelektual, dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan
lingkungannya (Soetjiningsih dan Gede, 2013).
Adapun beberapa aspek yang dipantau dalam tahap perkembangan anak
adalah sebagai berikut.
a) Gerak kasar atau motorik kasar adalah aspek yang berhubungan dengan
kemampuan anak melakukan pergerakan dan sikap tubuh yang melibatkan
otot-otot besar seperti duduk, berdiri, dan sebagainya (Suhartini, 2005).
b) Gerak halus atau motorik halus adalah aspek yang berhubungan dengan
kemampuan anak melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian
tubuh tertentu dan dilakukan oleh otot-otot kecil, tetapi memerlukan
koordinasi yang cermat seperti mengamati sesuatu, menjimpit, menulis,
dan sebagainya (Suhartini, 2005).
c) Kemampuan bicara dan bahasa adalah aspek yang berhubungan dengan
kemampuan untuk memberikan respons terhadap suara, berbicara,
berkomunikasi, mengikuti perintah dan sebagainya (Suhartini, 2005).
d) Sosialisasi dan kemandirian adalah aspek yang berhubungan dengan
kemampuan mandiri anak (makan sendiri, membereskan mainan selesai
bermain, berpisah dengan ibu/pengasuh anak, bersosialisasi dan
berinteraksi (Suhartini, 2005).
Selain itu, jika terjadi defisiensi protein maka asam amino dalam serum
akan menurun, albumin juga akan menurun sehingga metabolisme protein akan
terganggu. Metabolisme protein yang terganggu akan berdampak pada proses
regenerasi sel hepatosit, sehingga akan terjadi peningkatan aktivitas sel-sel
hepatosit yang masih baik sebagai kompensasi terhadap sel-sel hepatosit yang
sudah mati. Peningkatan aktivitas tersebut akan mengakibatkan perubahan terhadap
ukuran sel-sel hepatosit dan bermaifestasi sebagai pembesaran hepar
(hepatomegali). (Yuliati, 2016).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan otitis lebih sering terjadi pada
anak dibandingkan dewasa. Tuba eustakius anak berbeda dibandingkan dengan
orang dewasa yakni tuba eustakius anak lebih horizontal dan lubang pembukaan
tonus tubarius dikelilingi oleh folikel limfoid yang banyak jumlahnya. Adenoid
pada anak dapat mengisi nasofaring, sehingga secara mekanik dapat menyumbat
lubang hidung dan tuba eustakius serta dapat berperan sebagai fokus infeksi pada
tuba. (Jacky, Yan. Dkk. 2018).
Tuba eustakius secara normal tertutup pada saat menelan. Tuba eustakius
melindungi telinga tengah dari sekresi nasofaring, drainase sekresi telinga tengah,
dan memungkinkan keseimbangan tekanan udara dengan tekanan atmosfer dalam
telinga tengah. Obstruksi mekanik ataupun fungsional tuba eustakius dapat
mengakibatkan efusi telinga tengah. Obstruksi mekanik intrinsik dapat terjadi
akibat dari infeksi atau alergi dan obstruksi ekstrinsik akibat adenoid atau tumor
nasofaring. Obstruksi fungsional dapat terjadi karena jumlah dan kekakuan dari
kartilago penyokong tuba. Obstruksi fungsional ini lazim terjadi pada anak-anak.
Obstruksi tuba eustakius mengakibatkan tekanan telinga tengah menjadi negatif dan
jika menetap mengakibatkan efusi transudat telinga tengah. Bila tuba eustakius
mengalami obstruksi tidak total, secara mekanik, kontaminasi sekret nasofaring dari
telinga dapat terjadi karena refluks (terutama bila membran timpani mengalami
perforasi), karena aspirasi, atau karena peniupan selama menangis atau bersin.
Perubahan tekanan atau barotrauma yang cepat juga dapat menyebabkan efusi
telinga tengah yang bersifat hemoragik. Bayi dan anak kecil memiliki tuba yang
lebih pendek dibandingkan dewasa, yang mengakibatkannya lebih rentan terhadap
refluks sekresi nasofaring. Faktor lain yaitu respon imun bayi yang belum
sempurna. Infeksi saluran nafas yang berulang juga sering mengakibatkan otitis
media melalui inflamasi dan edema mukosa dan penyumbatan lumen tuba
eustakius. Kuman yang sering menyebabkan otitis media diantaranya Streptococcus
pneumonia, Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarrhalis. (Jacky, Yan. Dkk.
2018).
f. Hb 5 gr/dl
1) Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau store iron deficiency, ditandai
dengan berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi.
Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini
terjadi peningkatan absorpsi besi non heme.
2) Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient
erythropoietin atau iron limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang
tidak cukup untuk menunjang eritropoisis.
3) Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi
bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga
menyebabkan penurunan kadar Hb. > 5gr/dl.
4. Bagaimana pengaruh riwayat pemberian ASI dan air tajin terhadap keluhan yang
dialami pasien pada skenario?
Salah satu kandungan zat gizi dalam ASI yang memberikan pengaruh pada
pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan bayi adalah kandungan zat gizi makro. Zat
gizi makro pada ASI berupa karbohidrat, lemak dan protein. Kandungan karbohidrat
dalam ASI berbentuk laktosa. Laktosa didalam usus halus dipecah menjadi glukosa dan
galaktosa oleh enzim laktase. Enzim laktase yang diproduksi pada usus halus bayi
terkadang tidak mencukupi, namun dengan diberikannya ASI pada bayi maka
kebutuhan enzim laktase dapat tercukupi dengan terpenuhinya kebutuhan sebesar 7,2g.
Kandungan protein pada ASI diharuskan sebesar 0,9g mengandung asam amino yang
memiliki peran penting untuk pertumbuhan bayi. Lemak tersebut digunakan untuk
mencukupi kebutuhan sebagian besar energi bayi. Kadar lemak dalam ASI adalah 3,2-
3,7 g/dL dan perkiraan energi yang dihasilkan berkisar 65–70 kcal/dL sehingga terdapat
korelasi yang cukup tinggi antara energi yang diperlukan oleh bayi dengan lemak yang
dihasilkan pada ASI.
World Health Organization (WHO) dan United nations of children's fund
(Unicef) menerangkan bahwa pemberian makanan bayi yang terbaik adalah dengan
memberikan ASI secara eksklusif selama 6 bulan tanpa diikuti pemberian cairan atau
asupan prelakteal.
MP-ASI merupakan proses transisi dari asupan yang semata berbasis susu
menuju ke makanan yang semi padat. Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus
dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan
pencernaan bayi/anak. Pemberian MP-ASI yang tepat diharapkan tidak hanya dapat
memenuhi kebutuuhan gizi bayi, namun juga merangsang keterampilan makan dan
merangsangg rasa percaya diri pada bayi . Pemberian makanan tambahan harus
bervariasi dari bentuk bubur cair kebentuk bubur kental, sari buah, buah segar, makanan
lumat, makanan lembek dan akhirnya makanan padat.
Pemberian MP-ASI yang cukup dalam hal kualitas dan kuantitas penting untuk
pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak yang bertambah pesat pada
periode ini. Bertambah umur bayi bertambah pula kebutuhan gizinya, maka takaran
susunya pun harus ditambah, agar bayi mendapat energi untuk pertumbuhan dan
perkembangannya. ASI hanya memenuhi kebutuhan gizi bayi sebanyak 60% pada bayi
usia 6-12 bulan. Sisanya harus dipebuhi dengan makanan lain yang cukup jumlahnya
dan baik gizinya. Oleh sebab itu pada usia 6 bulan keatas bayi membutuhkan tambahan
gizi lain yang berasal dari MP-ASI, namun MP-ASI yang diberikan juga harus
berkualitas.
Pada umur 0-6 bulan pertama dilahirkan, ASI merupakan makanan yang terbaik
bagi bayi, namun setelah usia tersebut bayi mulai membutuhkan makanan tambahan
selain ASI yang disebut makanan pendamping ASI. Pemberian makanan pendamping
ASI mempunyai tujuan memberikan zat gizi yang cukup bagi kebutuhan bayi atau balita
guna pertumbuhan dan perkembangan fisik dan psikomotorik yang optimal, selain itu
untuk mendidik bayi supaya memiliki kebiasaan makan yang baik. Tujuan tersebut
dapat tercapai dengan baik jika dalam pemberian MP-ASI sesuai pertambahan umur,
kualitas dan kuantitas makanan baik serta jenis makanan yang beraneka ragam. MP-ASI
diberikan sebagai pelengkap ASI sangat membantu bayi dalam proses belajar makan
dan kesempatan untuk menanamkan kebiasaan makan yang baik. Tujuan pemberian
MP-ASI adalah untuk menambah energi dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi karena
ASI tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi secara terus menerus, dengan demikian
makanan tambahan diberikan untuk mengisi kesenjangan antara kebutuhan nutrisi total
pada anak dengan jumlah yang didapatkan dari ASI. Pemberian MP-ASI pemulihan
sangat dianjurkan untuk penderita KEP, terlebih bayi berusia enam bulan ke atas dengan
harapan MP-ASI ini mampu memenuhi kebutuhan gizi dan mampu memperkecil
kehilangan zat gizi.
Pemberian MP-ASI harus memperhatikan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang
dianjurkan berdasarkan kelompok umur dan tekstur makanan yang sesuai
perkembangan usia balita. Terkadang ada ibu-ibu yang sudah memberikannya pada usia
dua atau tiga bulan, padahal di usia tersebut kemampuan pencernaan bayi belum siap
menerima makanan tambahan. Akibatnya banyak bayi yang mengalami diare. Masalah
gangguan pertumbuhan pada usia dini yang terjadi di Indonesia diduga kuat
berhubungan dengan banyaknya bayi yang sudah diberi MP-ASI sejak usia satu bulan,
bahkan sebelumnya. Pemberian MP-ASI terlalu dini juga akan mengurangi konsumsi
ASI, dan bila terlambat akan menyebabkan bayi kurang gizi. Sebenarnya pencernaan
bayi sudah mulai kuat sejak usia empat bulan. Selain cukup jumlah dan mutunya,
pemberian MP-ASI juga perlu memperhatikan kebersihan makanan agar anak terhindar
dari infeksi bakteri yang menyebabkan gangguan pencernaan.
Air tajin merupakan air rebusan beras. Secara umum kandungan beras tajin
adalah sebagai berikut.
b. Hb 5 gr/dl
Teori Guillermo dan Arguelles anemia defisiensi besi (ADB) dapat
diketahui dari pemeriksaan laboratorium hemoglobin : Hemoglobin adalah
parameter status besi yang memberikan suatu ukuran kuantitatif tentang beratnya
kekurangan zat besi setelah anemia berkembang. Untuk nilai normal hemoglobin
sesuai umur adalah
Anak usia 6 bulan-6 tahun : 11g/dl
Anak usia 6 tahun -14 tahun : 12 g/dl
Pria dewasa: 13 g/dl
b. Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan Fisik Umum
Inspeksi : Melihat keadaan umum (kesadaran), keadaan gizi. Dilaku-
kan secara sistematis, mulai dari bagian kepala dan berakhir
pada anggota gerak kaki. Dinilai apakah pasien tampak
anemia atau tidak. Ada edema atau tidak. Rambut kepala
mudah tercabut tanpa rasa sakit dan rambut akan tampak
kusam, halus, kering, jarang dan berubah warna menjadi
putih. Kulit cenderung kering dengan garis-garis kulit yang
lebih mendalam dan lebar. Hiperpigmentasi dan persisikan
kulit.
Auskultasi : Menilai bising usus.
Palpasi : Menilai adanya pembesaran hepar.
Perkusi : Menilai adanya pembesaran hepar dan cairan berlebih.
2) Pemeriksaan Antropometrik
Berat badan menurut umur, panjang badan menurut umur, berat badan
menurut panjang badan, tebal lipatan kulit, dan lingkar lengan atas (WHO,
2009).
Pada skenario, hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan yaitu BB 6 kg,
PB 60 cm. Tampak telapak tangan pucat. Tampak otore pada telinga kanan dan
kiri. Ditemukan edema pada tungkai bawah dan abdomen. Hati teraba 2 cm
bawah arkus kosta.
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan darah rutin, kimia darah, urin rutin,
dan protein serum.
2) Pemeriksaan radiologi : melihat densitas tulang, serta kelainan organ-organ
yang dapat disebabkan oleh malnutrisi (WHO, 2009).
Pada skenario, hasil pemeriksaan penunjang yang didapatkan yaitu kadar
Hemoglobin 5g/dl.
b. Epidemiologi
MEP merupakan salah satu dari empat masalah gizi utama di Indonesia.
Prevalensi yang tinggi terdapat pada anak di bawah 5 tahun (balita) serta pada ibu
hamil dan menysui. Pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 20 13, terdapat 1 7,9%
balita gizi kurang dan 5, 7% gizi buruk. Berdasarkan Survei Sosial-Ekonomi
Nasional (SUSENAS) 2007, 5,5% balita mengalami gizi buruk dan 13% balita
mengalami gizi kurang.
c. Etiologi
Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein yang
berlansung kronis. Faktor yang dapat menyebabkan hal tersbut diatas antara lain:
(Kemenkes RI. 2015)
1) Pola makan
Protein (asam amino) adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk
tumbuh dan berkembang. Meskipun intake makanan mengandung kalori yang
cukup, tidak semua makanan mengandung protein/ asam amino yang memadai.
Bayi yang masih menyusui umumnya mendapatkan protein dari ASI yang
diberikan ibunya, namun bagi yang tidak memperoleh ASI protein adri sumber-
sumber lain (susu, telur, keju, tahu dan lain-lain) sangatlah dibutuhkan.
Kurangnya pengetahuan ibu mengenai keseimbangan nutrisi anak berperan
penting terhadap terjadi kwashiorkhor, terutama pada masa peralihan ASI ke
makanan pengganti ASI.
2) Faktor sosial
Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi,
keadaan sosial dan politik tidak stabil, ataupun adanya pantangan untuk
menggunakan makanan tertentu dan sudah berlansung turun-turun dapat
menjadi hal yang menyebabkan terjadinya kwashiorkor.
3) Faktor ekonomi
Kemiskinan keluarga/ penghasilan yang rendah yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan berakibat pada keseimbangan nutrisi anak tidak
terpenuhi, saat dimana ibunya pun tidak dapat mencukupi kebutuhan
proteinnya.
4) Faktor infeksi dan penyakit lain
Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP dan
infeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Dan
sebaliknya MEP, walaupun dalam derajat ringan akan menurunkan imunitas
tubuh terhadap infeksi.
d. Patofisiologi
Kwashiorkor ditandai dengan edema perifer pada seseorang yang menderita
kelaparan. Edema terjadi akibat hilangnya keseimbangan cairan antara tekanan
hidrostatik dan onkotik melintasi dinding pembuluh darah kapiler. Konsentrasi
albumin berkontribusi pada tekanan onkotik, memungkinkan tubuh menyimpan
cairan di dalam pembuluh darah. Anak - anak dengan kwashiorkor ditemukan
memiliki kadar albumin yang sangat rendah dan, sebagai akibatnya, menjadi
terkuras secara intravaskular
Selanjutnya, hormon antidiuretik (ADH) meningkat sebagai respons
terhadap hipovolemia, yang kemudian mengakibatkan edema. Renin plasma juga
merespon secara agresif, menyebabkan retensi natrium.
Kwashiorkor juga ditandai dengan rendahnya kadar glutathione
(antioksidan). Hal ini diduga mencerminkan tingkat stress oksidan yang tinggi pada
anak yang kekurangan gizi. Tingkat oksidan yang tinggi biasanya terlihat selama
kelaparan dan bahkan terlihat pada kasus peradangan kronis.
e. Gejala Klinis
Edema seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki
Wajah membulat dan sembab
Pandangan mata sayu
Rambut tipis kemerahan
Warna rambut jagung
Apatis dan rewel
Pembesaran hati
Otot – otot mengecil
Adanya “crazy pavement dermatosis”
Sering disertai penyakit infeksi, anemia dan diare
f. Diagnosis
Anamnesis
Pada anak dengan gizi buruk, keluhan yang sering ditemukan adalah berat
badan tidak naik atau berat badan kurang. Selain itu, ada keluhan anak tidak mau
makan, sering menderita sakit berulang atau timbulnya bengkak pada kedua kaki,
kadang sampai seluruh tubuh.
Pada gizi buruk kwashiokor, anak tampak letargis, apatis, dan/ atau iritabel.
Manifestasi khas yang dapat dikeluhkan oleh orangtua pasien adalah bengkak/
buncit (edema), yang terkadang menyebabkan berat badan pasien tampak tidak
berkurang pada awal terjadinya gizi buruk kwashiokor.
Pemeriksaan Fisik
Perubahan mental sampai apatis;
Anemia;
Perubahan warna dan tekstur rambut, mudah dicabut atau rontok;
Gangguan sistem gastrointestinal;
Pembesaran hati;
Perubahan kulit (dermatosis)
Atrofi otot;
Edema simetris pada kedua punggung kaki, dapat sampai seluruh tubuh.
Pemeriksaan Penunjang
MARASMUS
a. Definisi
Marasmus merupakan malanutrisi nonedematosa dengan wasting berat yang
disebabkan terutama oleh kurangnya asupan energi atau gabungan kurangnya
asupan energi dan asupan protein.
b. Epidemiologi
MEP merupakan salah satu dari empat masalah gizi utama di Indonesia.
Prevalensi yang tinggi terdapat pada anak di bawah 5 tahun (balita) serta pada ibu
hamil dan menysui. Pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 20 13, terdapat 1 7,9%
balita gizi kurang dan 5, 7% gizi buruk. Berdasarkan Survei Sosial-Ekonomi
Nasional (SUSENAS) 2007, 5,5% balita mengalami gizi buruk dan 13% balita
mengalami gizi kurang.
c. Etiologi
Secara garis besar sebab-sebab marasmus ialah sebagai berikut:
1) Pemasukan kalori yang tidak cukup. Marasmus terjadi akibat masukan kalori
yang sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan
akibat dari ketidak tahuan orang tua si anak.
2) Kebiasaan makan yang tidak tepat. Seperti mereka yang mempunyai
hubungan orang tua-anak terganggu.
3) Kelainan metabolik. Misalnya: renal asidosis, idiopathic hypercalcemia,
galactosemia, lactose intolerance.
4) Malformasi kongenital. Misalnya: penyakit jantung bawaan, penyakit
Hirschprung, deformitas palatum, palatoschizis, micrognathia, stenosispilorus,
hiatus hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis pankreas.
d. Patofisiologi
Kurang kalori protein akan terjadi manakala kebutuhan tubuh akan kalori,
protein, atau keduanya tidak tercukupi oleh diet. Dalam keadaan kekurangan
makanan, tubuh selalu berusaha untuk mempertahankan hidup dengan memenuhi
kebutuhan pokok atau energi. Kemampuan tubuh untuk mempergunakan
karbohidrat, protein dan lemak merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan kehidupan, karbohidrat (glukosa) dapat dipakai oleh seluruh
jaringan tubuh sebagai bahan bakar, sayangnya kemampuan tubuh untuk
menyimpan karbohidrat sangat sedikit, sehingga setelah 25 jam sudah dapat terjadi
kekurangan. Akibatnya katabolisme protein terjadi setelah beberapa jam dengan
menghasilkan asam amino yang segera diubah jadi karbohidrat di hepar dan ginjal.
Selam puasa jaringan lemak dipecah menjadi asam lemak, gliserol dan keton
bodies. Otot dapat mempergunakan asam lemak dan keton bodies sebagai sumber
energi kalau kekurangan makanan ini berjalan menahun. Tubuh akan
mempertahankan diri jangan sampai memecah protein lagi seteah kira-kira
kehilangan separuh dari tubuh.
e. Gejala Klinis
Tampak sangat kurus hingga tulang terbungkus kulit
Wajah seperti orang tua
Cengeng / rewel
Baggy pants
Perut cekung
Iga gambang
Sering disertai penyakit infeksi dan diare
f. Diagnosis
Anamnesis
Pada gizi buruk marasmus, keluhan yang disampaikan oleh orang tua pasien
terkait perubahan fisis anak meliputi kulit keriput, penipisan lemak subkutan, atrofi
otot (makin tampak kurus). serta penampakan lain yang disebabkan oleh defisiensi
mikronutrien yang menyertai defisiensi protein dan energi.
Pemeriksaan Fisik
Penampilan wajah seperti orang tua, terlihat sangat kurus;
Perubahan mental,
Cengeng; kulit kering,
Dingin dan mengendor, keriput;
Lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit berkurang;
Otot atrofi sehingga kontur tulang terlihatjelas:
Bradikardia (kadang-kadang);
Tekanan darah lebih rendah dibandingkan anak yang sehat.
MARASMIK-KWASHIORKOR
a. Definisi
Marasmus-kwashiorkor (marasmic kwashiorkor) adalah gabungan tanda-
tanda marasmus dan kwashiorkor yang disebabkan oleh kekurangan makanan
sumber energi secara umum dan kekurangan sumber protein.
b. Etiologi
1) Asupan makanan
Kurangnya asupan makanan disebabkan oleh berbagai faktor, antara
lain yaitu pola makan yang salah, tidak tersedianya makanan secara cukup, dan
anak tidak cukup atau salah mendapat makanan bergizi seimbang.16Kebutuhan
nutrisi pada balita meliputiair, energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan
mineral.Setiap gram protein menghasilkan 4 kalori, lemak 9 kalori,dan
karbohidrat 4 kalori.Distribusi kalori dalam makanan balita dalam
keseimbangan diet adalah 15% dari protein, 35% dari lemak, dan 50% dari
karbohidrat.Maka jika terjadi kelebihan kalori yang menetap setiap hari sekitar
500 kalori dapat menyebabkan kenaikan berat badan 500 gram dalam
seminggu.
2) Status sosial ekonomi
Balita dengan gizi buruk pada umumnya hidup dengan makanan yang
kurang bergizi.18Hal ini dapat disebabkan oleh karena rendahnya ekonomi
keluarga sehingga pada akhirnyaakan berdampak dengan rendahnya daya beli
pada keluarga tersebut. Selain itu rendahnya kualitas dan kuantitas konsumsi
pangan, merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak balita.
Keadaan sosial ekonomi yang rendah berkaitan dengan masalah kesehatan
yang dihadapi karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan untuk mengatasi
berbagai masalah tersebut.
3) ASI
Hanya 14% ibu di Indonesia yang memberikan air susu ibu (ASI)
eksklusif kepada bayinya sampai enam bulan. Rata-rata bayi di Indonesia
hanya menerima ASI eksklusif kurang dari dua bulan. Berdasarkan riset yang
sudah dibuktikan di seluruh dunia, ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi
sampai enam bulan, dan disempurnakan sampai umur dua tahun.
4) Pendidikan ibu
Salah satu faktor penyebab timbulnya kemiskinan adalah pendidikan
yang rendah sehingga menyebabkan seseorang kurang mempunyai
keterampilan tertentu yang diperlukan dalam kehidupan.Rendahnya
pendidikan dapat mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga, yang
selanjutnya mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi pangan yang
merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak balita.
5) Pengetahuan ibu
Pengetahuan yang dimiliki ibu berpengaruh terhadap pola konsumsi
makanan keluarga khususnya pada anak.
6) Penyakit penyerta
Anak yang berada dalam status gizi buruk, umumnya sangat rentan
terhadap penyakit –penyakitseperti tuberculosis (TBC), diare
persisten(berlanjutnya episode diare selama 14 hari atau lebih dan dimulai dari
suatu diare cair akut atau berdarah/disentri)dan HIV/AIDS.Penyakit tersebut
dapat memperjelek keadaan gizi melalui gangguan masukan makanan dan
meningkatnya kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh.
c. Gejala Klinis
Penyakit marasmus-kwashiorkor memperlihatkan gejala campuran antara
penyakit marasmus dan kwashiorkor. Makanan sehari-harinya tidak cukup
mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada
penderita demikian, disamping menurunnya berat badan di bawah 60% dari normal
memperlihatkan gejala-gejala kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut,
kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula.
Tabel DD dan DS
Seng (2 mg Zn elemental/kgBB/hari)
Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3
bulan terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2, dan
15.
e. Berikan pada semua anak dengan gizi buruk:
Antibiotik spektrum luas: Jika tidak ada komplikasi atau tidak ada infeksi
nyata, beri Kotrimoksazol per oral (25 mg SMZ + 5 mg TMP/kgBB setiap 12
jam, dosis 240 mg, 2 x 1 selama 5 hari.
Vaksin campak jika anak berumur ≥ 6 bulan dan belum pernah
mendapatkannya, atau jika anak berumur > 9 bulan dan sudah pernah diberi
vaksin sebelum berumur 9 bulan. Tunda imunisasi jika anak syok.
f. Petunjuk dari WHO tentang pengelolaan MEP (Malnutrisi Energi Protein) berat di
rumah sakit dengan menetapkan 10 langkah tindakan pelayanan melalui 3 fase
(stabilisasi, transisi dan rehabilitasi) dan dilanjutkan dengan fase follow up (WHO.
2009).
Fase Stabilisasi:
- Porsi kecil, sering, rendah serat dan rendah laktosa.
- Energi: 100 kkal/kgBB/hari.
- Protein: 1 -1,5 g/kgBB/hari.
- Cairan: 130 ml/kgBB/hari (bila sembab berat: 100 ml/kgBB/hari).
- Teruskan ASI pada anak menetek.
- Bila selera makan baik dan tidak sembab pemberian makan bisadipercepat
dalam waktu 2-3 hari.
- Makanan yang tidak habis, sisanya diberikan personde.
- Jenis makanan Formula WHO (awal fase stabilisasi dengan F75 fase transisi
dengan F100) atau modifikasinya.
- Pantau dan catat: Jumlah cairan yang diberikan, yang tersisa; jumlah cairan
yang keluar seperti muntah, frekuensi buang air; timbang BB (harian).
Fase Transisi:
- Pemberian energi masih sekitar 100 kkal/kgBB/hari.
- Pantau frekuensi napas dan denyut nadi.
- Bila napas meningkat >5 kali/menit dan nadi >25 kali/ menit dalam
pemantauan tiap 4 jam berturutan, kurangi volume pemberian formula.
- Setelah normal bisa naik kembali.
Fase Rehabilitasi:
Andi Yandi, Ratu. 2016. Anak Perempuan Usia Lima Tahun Dengan Kwashiorkor Vol. 4 No. 3.
Lampung: J Medula Unila Fakultas Kedokteran Unila.
Brown, KH., Dewey, K., Allen, L. 1998. Breast-feeding and Complementary Feeding,
Complementary Feeding of Young Children in Developing Countries: A Review of
Curent Scientific Knowledge. Geneva: World Health Organization.
Depkes RI. 2017. Manajemen Laktasi. Direktorat Gizi Masyarakat. Direktorat Jendral Kesehatan
Masyarakat. Jakarta.
Depkes RI. 2018. Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). Direktorat Gizi
Masyarakat. Direktorat Jendral Kesehatan Masyarakat. Jakarta.
Dietz, WH. 2000. Breastfeeding May Help Prevent Childhood Overweight. JAMA.
2000:285:2506-7
Dimas Priantono, Titis Prawitasari. 2014. Gizi Buruk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV Jilid 1
Fitriany, J., & Saputri, A. I. (2018). Anemia Defisiensi Besi. AVERROUS: Jurnal Kedokteran dan
Kesehatan Malikussaleh, 4(2), 1-14.
Jacky, Yan Yolazenia. 2018. Penatalaksanaan Otitis Media Akut. FK Universitas Andalas Padang:
Bagian Telingan Hidung Tenggoro Badan Kepala Leher (THT-KL).
Kemenkes RI. 2015. Situasi Kesehatan Anak BALITA di Indonesia. Infodatin : Jakarta.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi, dan
Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Dasar. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Liansyah, T. M. (2015). Malnutrisi pada Anank Balita. Jurnal Buah Hati, 2(1), 1-12.
Mardisantosa, B., Huri, D., & Edmaningsih, Y. 2018. Faktor Faktor Kejadian Kurang Energi
Protein (KEP) Pada Anak Balita. Jurnal Kesehatan, 6(2).
Muin, R. Y., Roma, J., Mutmainnah, M., & Abd Samad, I. (2016). SIROSIS HEPATIS
DEKOMPENSATA PADA ANAK. INDONESIAN JOURNAL OF CLINICAL
PATHOLOGY AND MEDICAL LABORATORY, 18(1), 63-67.
Pudjiadi Solihin. Penyakit KEP (Kurang Energi dan Protein) dai Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Edisi
keempat. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2005: 95-137.
Soetjiningsih dan Gede Ranuh. 2013. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.
Suhartini, B. 2005. Deteksi Dini Keterlambatan Perkembangan Motorik Kasar Pada Anak.
Meidkora. 1(2).
Tita Menawati Liansyah, Malnutrisi Pada Anak. Fakutas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala
Volume II Nomor 1. Maret 2015.
Wardana, Ruliansyah Kusuma, Dkk. 2018. Journal of Nutrition College : Hubungan Asupan Zat
Gizi Makro dan Status Gizi Ibu Menyusui Dengan Kandungan Zat Gizi Makro Pada
Air Susu Ibu (ASI) di Kelurahan Bandaharjo Semarang. Departemen Ilmu Gizi,
Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro. Semarang.
Wijaya, Felicia Anita. (2019). ASI Eksklusif: Nutrisi Ideal untuk Bayi 0-6 Bulan. Jurnal CDK,
Vol 46(4).
World Health Organization. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Pedoman Bagi
Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Jakarta: WHO.
World Health Organization. 2009. Pocket Book of Hospital Care for Children, Guidelines for the
Management of Common Illnesses with Limited Resources. Terjemahan Tim Adaptasi
Indonesia. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Cetakan I.
Jakarta: World Health Organization Indonesia bekerjasama dengan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.