Fiqh Kontenporer KLMPK 3
Fiqh Kontenporer KLMPK 3
Dosen Pengampuh :
Aripin Marpaung, MA
Disusun Oleh:
Kelompok III Jinayah III D
Abdur Rizki Pernanda (0205222082)
Muhammad Alkautsar (0205222108)
Putra Arnandi NST (0205222138)
Assalamualaikum wr.wb. Puji syukur atas rahmat Allah SWT, berkat rahmat serta
karunia-Nya sehingga makalah dengan berjudul “Asas’ Umum, Asas’ Hukum Pidana Dan
Asas’ Hukum Perdata” dapat selesai.
Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas awal semester 3 kelas III D Jinayah
dari Bapak Aripin Marpaung, M.A. pada mata kuliah Fiqih Kontemporer. Selain itu,
penyusunan makalah ini bertujuan menambah wawasan kepada pembaca tentang Pengertian
Iman.Kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Aripin Marpaung, M.A.
berkat tugas yang diberikan ini, dapat menambah wawasan penulis berkaitan dengan topik
yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada semua pihak
yang membantu dalam proses penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan banyak
kesalahan. Oleh karena itu penulis memohon maaf atas kesalahan dan ketidaksempurnaan
yang pembaca temukan dalam makalah ini. Penulis juga mengharap adanya kritik serta saran
dari pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini.
Pemakalah
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
A. Latar Belakang...................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah..............................................................................................................6
BAB II........................................................................................................................................7
PEMBAHASAN........................................................................................................................7
A. Asas Umum.......................................................................................................................7
BAB III.....................................................................................................................................29
PENUTUP................................................................................................................................29
A. Kesimpulan...................................................................................................................29
B. Saran..............................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................30
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
4
untuk memperoleh berkas miliki pribadi dengan tetap memperhatikan kepentingannya yang
sah atas kerahasiaan dan atas kerahasiaan profesional; Kewajiban pihak-pihak administrasi
Negara untuk memberikan alasan-alasan mendasari keputusannya; dan Untuk memperoleh
ganti rugi yang ditimbulkan oleh lembaga atau aparatur pemerintah daLam menjalankan
tugasnya. Hak masyarakat tersebut secara filosofis sekaligus merupakan kewajiban
pemerintah untuk memberikan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat sebaik-baiknya.
Dengan demikian, fungsi administrasi pemerintahan tidak lain adalah tugas pemerintah dan
negara untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan
oleh UUD 1945. Fungsi pemerintahan yang efisien dan efektif sesungguhnya telah diatur
dalam UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dan Bersih dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yaitu berdasar atas asas kepastian hukum, asas tertib
penyelenggaran negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas,
asas profesionalisme dan asas akuntabilitas.
Dalam aspek yuridis, dalam upaya meningkatkan fungsi administrasi pemerintahan,
pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan yang sebenarnya masih sangat terbatas
atau belum cukup untuk menjadi landasan hukum pelaksanaan fungsi pemerintahan yang
efektif dan efisien, akuntable dan transparan. Sampai saat ini UU 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara telah direvisi melalui UU Nomor 9 tahun 2004, juga UU
Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bebas dan Bersih dari KKN telah
pula melahirkan berbagai peraturan pemerintah dan menteri untuk melengkapi pedoman
pelayanan administrasi pemerintahan. Meskipun demikian, peraturan-peraturan tersebut
belumlah cukup memadai sebagai landasan untuk terciptanya suatu penyelenggaraan
pemerintahan yang mencerminkan asas-asas pemerintahan yang baik. Pelaksanaan Asas asas
umum pemerintahan yang baik (AUPB) dalam sistem pemerintahan Indonesia akan berjalan
dengan baik dan lancar apabila didukung oleh adanya adiministrasi yang baik dan mantap.
Administrasi berkaitan erat dengan pengurusan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan organisasi
secara menyeluruh. Administrasi akan memberi warna bagi organisasi dalam mencapai
tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Oleh karena demikian, patut untuk ditelaah dan dikaji
lebih lanjut apakah asas asas umum pemerintahan yang baik menjadi roh atas keberadaan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Sejauh mana
pula urgensi undang undang tersebut dalam menjamin terlaksananya pemerintahan yang baik.
Administrasi negara mengandung pengertian dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam
arti luas, administrasi negara adalah kegiatan negara dalam melaksanakan kekuasan
politiknya. Sedangkan dalam arti sempit, administrasi negara adalah kegiatan eksekutif dalam
5
penyelenggaraan pemerintahan. Dengan mengacu berbagai pendapat di atas, maka
administrasi negara harus digunakan dan dipraktekkan secara benar dalarn penyelenggaraan
administrasi pemerintahan agar tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara
efisien dan efektif.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang dapat penulis rumuskan agar pembahasan dalam makalah ini dapat
tersusun secara lebih sistematis dan terarah adalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Asas Umum?
2. Apa yang dimaksud dengan Asas Hukum Pidana?
3. Apa yang dimaksud dengan Asas Hukum Perdata?
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asas Umum
1. Relevansi Asas Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Dalam Undang Undang
Adminsitrasi Pemerintahan.
Beberapa peraturan perundang undangan berikut menguraikan AAUPB
sebagai dasar dalam mengeluarakan putusan, diantara peraturan tersebut adalah
sebagaimana tertera dalam perturan perundang-undangan sebagai berikut:
a) UU Nomor 9 Tahun 2004 JO UU Nomor 51 Tahun 2009 Tentang PTUN.
Pasal 53 ayat (2) huruf b. menyatakan bahwa alasan-alasan yang dapat
digunakan dalam gugatan adalah: Pertama, Keputusan Tata Usaha Negara
yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang
berlaku; Kedua, Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Asas asas umum
pemerintahan yang baik tersebut adalah asas kepastian hukum; Asas tertib
penyelenggaraan negara; Asas keterbukaan; Asas proporsionalitas; Asas
profesionalitas; Asas akuntabilitas.1
b) UU Nomor 30 Tahun 2014
Pada pasal 10 Undang Undang Nomor 30 Tahun 30014 tentang
Administrasi Pemerintahan menguraikan ruag lingkup AUPB yang berlaku
dalam administrasi pemerintahan. Asas Umum Pemerintahan yang Baik yang
dimaksud meliputi asas:
1. kepastian hukum. asas kepastian hukum merupakan asas dalam negara
hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-
undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggaraan pemerintahan.
2. kemanfaatan. asas kemanfaatan maksudnya manfaat yang harus
diperhatikan secara seimbang antara: (1) kepentingan individu yang satu
dengan kepentingan individu yang lain; (2) kepentingan individu dengan
masyarakat;(3) kepentingan Warga Masyarakat dan masyarakat asing; (4)
kepentingan kelompok masyarakat yang satu dan kepentingan kelompok
1
Moeljatno, S. H. (2002). Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta.
7
masyarakat yang lain; (5) kepentingan pemerintah dengan Warga
Masyarakat; (6) kepentingan generasi yang sekarang dan kepentingan
generasi mendatang; (7) kepentingan manusia dan ekosistemnya; (8)
kepentingan pria dan wanita.
3. Ketidakberpihakan. asas ketidakberpihakan adalah asas yang mewajibkan
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau
melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dengan mempertimbangkan
kepentingan para pihak secara keseluruhan dan tidak diskriminatif.
4. Kecermatan. asas kecermatan dimaksudkan sebagai asas yang
mengandung arti bahwa suatu Keputusan dan/atau Tindakan harus
didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung
legalitas penetapan dan/atau pelaksanaan Keputusan dan/atau Tindakan
sehingga Keputusan dan/atau Tindakan yang bersangkutan dipersiapkan
dengan cermat sebelum Keputusan dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan
dan/atau dilakukan.
5. tidak menyalahgunakan kewenangan. asas tidak menyalahgunakan
kewenangan adalah asas yang mewajibkan setiap Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan
pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan
pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak
menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan.
6. Keterbukaan. asas keterbukaan adalah asas yang melayani masyarakat
untuk mendapatkan akses dan memperoleh informasi yang benar, jujur,
dan tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia
negara.
7. Kepentingan umum. asas kepentingan umum adalah asas yang
mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan umum dengan cara yang
aspiratif, akomodatif, selektif, dan tidak diskriminatif.
8. Pelayanan yang baik. asas pelayanan yang baik dimaksudkan sebagai asas
yang memberikan pelayanan yang tepat waktu, prosedur dan biaya yang
jelas, sesuai dengan standar pelayanan, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan. AAUPB dapat dijadikan landasan atau pedoman
bagi aparat pemerintah dalam menjalankan tugasnya, sekaligus sebagai
8
alat uji bagi lembaga peradilan dalam menilai tindakan pemerintah ketika
ada gugatan dari ohak lain yang dirasakan merugikannya. Dengan kata
lain, AAUPB secara teoritis sangat penting dalam mewujudkan
pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan berukualitas baik di pusat
maupun di daerah. Secara yuridis, cerminan pemerintah yang demikian
dapat dilihat dari produk hukum yang ditetapkannya, seperti dalam wujud
perizinan daerah yang berwawasan lingkungan hidup. 2
Menyimak pendapat di atas, ada beberapa cirri yang dapat ditemukan dengan
kedudukan AAUPB bagi penyelenggaraan pemerintahan oleh aparat pemerintah baik
dipusat maupun di daerah. AAUPB dapat dikualifikasikan sebagai nilai etik yang
hidup dan berkembang dalam lingkup Hukum Adminsitrasi, sebagi pedoman aparat
pemerintah atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam menjalankan funginya, sebagai alat
uji bagi hakim dalam menyelesaikan sengketa atas suatu tindakan pemerintahan yang
dirasakan merugikan pihak penggugat.
9
Adapun penerapan asas asas umum pemerintahan yang baik dalam
penyelenggaraan pemerintahan dapat diketahui dari adanya asas pemberian alasan,
asas pembatalan dan pembahasan dan lain sebagainya.
a) Pemberian alasan
3
Marpaung, L. (2008). Asas-asas teori praktek hukum pidana.
10
yang mengandung kekurangan yaitu: pertama bahwa tindakan administrasi
negara yang mengandung kekuarangan dapat (tidak wajib) ditarik atau ditinjau
kembali oleh organ administrasi yang bersangkutan, kecuali bilamana ada
ketentuan atau aturan hukum yang menetang penarikan/peninjauan kembali
dari tindakan administrasi negara tersebut, kedua bilamana di dalam undang-
undang atau peraturan dasar tidak ada ketentuan-ketentuan lain mengenai
penarikan/peninjauan kembali, maka penarikan/peninjauan kembali tindak
adaministrasi negara tersebut wajib mengeikuti bentuk dan prosedur yang
berlaku bagi penerbitannya (asas contratirus actus similiter fit), ketiga
bilamana penarikan/peninjauan kembali suatu tindakan hukum administrasi
yang mengandung kekurangan akan merugikan kepastian hukum, atau akan
menurunkan wibawa pemerintah, atau akan menimbulkan kerugian atau
penderitaan yang tdak berperikemanusiaan kepada warga masyarakat yang
bersangkutan, maka penarikan atau peninjauan kembali tersebut tidak bisa
dilakukan begitu saja. Berbagai upaya haais ditempuh untuk mencegah
timbulnya efek-efek negatif. Keempat, bilamana tidak ada ketentuan lain
dalam undang-undang atau peraturan-dasarnya, maka suatu tindakan
administrasi negara yang mengandung kekuarangan karena beberapa
ketentuan atau syarat-syarat tidak dipenuhi, dapat ditarik/ditinjau kembali
untuk sementara sampai semua persyaratan dipenuhi oleh yang bersangkutan.
Namun bilamana dalam jangka waktu yang telah ditetapkan secara
perhitungan wajar yang bersangkutan tetap tidak dapat memenuhi persyaratan,
maka tindakan administrasi negara tersebut dapat ditinjau kembali atau ditarik
kembali sama sekali dengan diganti tindakan administrasi negara lain yang
memenuhi persyaratan. 4
c) Perlindungan hukum
11
penyelesaian sengketa tersebut maka terhadap pejabat administrasi negara dan
warga masyarakat diberikan perlindungan hukum bagi keduanya agar tidak
terjadi hal-hal yang dapat merugikan kepentingan kedua pihak tersebut.
12
terlibat, instansi Administrasi Pemerintahan tidak diperbolehkan membuka
rahasia yang berkenaan dengan kehidupan pribadidan rahasia-rahasia
perusahaan pihak yang bersangkutan. Disamping hak untuk didengar
pendapatnya, setiap individu dan masyarakat yang sedang berurusan dengan
Administrasi Pemerintahan memiliki hak untuk mendapatkan bimbingan dan
informasi dari kantor instansi Administrasi Pemerintahan yang bersangkutan.
Ketentuan ini merupakan bagian dari prinsip kesesuaian prosedur administrasi,
dimana setiap kantor Administrasi Pemerintahan harus menjelaskan tahapan,
prosedur dan syarat- syarat administrasi yang harus dilalui sampai sebuah
pelayanan dapat diperoleh. Disamping itu, bimbingan dan informasi ini
memuat juga penilaian pegawai atau pejabat administrasi terhadap kondisi
aktual berkaitan dengan prosedur dan syarat-syarat yang sedang dan akan
dilalui. Ketentuan ini berlaku terutama untuk keputusan publik yang
menyebabkan kerugian individu atau masyarakat.5
5
Syahrani, R. (1989). Seluk beluk dan asas-asas hukum perdata.
6
Atmadja, I. D. G. (2018). Asas-asas hukum dalam sistem hukum. Kertha
Wicaksana, 12(2), 145-155.
13
1) Perintah dan larangan yang atas pelanggaran terhadapnya organ-organ yang
dinyatakan berwenang oleh undang-undang dikaitkan ancaman pidana, norma-
norma yang harus ditaati oleh siapapun juga
2) Ketentuan-ketentuan yang menetapkan sarana-sarana apa yang dapat
didayagunakan sebagai reaksi terhadap pelanggaran norma-norma itu
3) Aturan-aturan yang secara temporal atau dalam jangka waktu tertentu
menetapkan batas ruang lingkup kerja dari norma-norma. 7
W.L.G. Lemaire, hukum pidana itu itu terdiri dari norma-norma yang berisi
keharusan keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang)
telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang
bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu
merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan
yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat
suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana
hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan
bagi tindakan-tindakan tersebut.
7
DAN, M. T. P., & PEMIDANAAN, S. (2005). Asas-asas hukum pidana.
8
Moeljatno, S. H. (2002). Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta.
14
Menurut Sudarto bahwa hukum pidana adalah aturan hukum yang
mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu akibat
yang berupa pidana.
Menurut Simons hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam
arti objektif atau strafrecht in objectieve zin dan hukum pidana dalam arti subjektif
atau strafrecht in subjectieve zin. Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum
pidana yang berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum positif atau ius poenale.
Simons merumuskan hukum pidana dalam arti objektif sebagai:
1) Keseluruhan larangan dan perintah yang oleh negara diancam dengan
nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati;
2) Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan
pidana, dan
3) Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan
penerapan pidana \
W.F.C. van Hattum, hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-
asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat
hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban
hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat
melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap
peraturanperaturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa
hukuman.
Adami Chazawi, hukum pidana itu adalah bagian dari hukum publik
yang memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang:
1) Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan)
larangan melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun
pasif/negatif) tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana
(straf) bagi yang melanggar larangan itu;
2) Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si
pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada
larangan perbuatan yang dilanggarnya.
3) Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara
melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya Polisi, Jaksa, Hakim),
terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana
15
dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan
sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang
boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum
tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari
tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut.
Hazewinkel-Suringa, hukum pidana adalah sejumlah peraturan hukum
yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap
pelanggarannya diancam dengan pidana (sanksi hukum) bagi barang siapa
yang membuatnya.
Dari beberapa pendapat yang telah dikutip tersebut dapat diambil
gambaran tentang hukum pidana, bahwa hukum pidana setidaknya merupakan
hukum yang mengatur tentang:
a) Larangan untuk melakukan suatu perbuatan;
b) Syarat-syarat agar seseorang dapat dikenakan sanksi pidana;
c) Sanksi pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang
melakukan suatu perbuatan yang dilarang (delik);
d) Cara mempertahankan/memberlakukan hukum pidana.9
16
melindungi dari undang-undang pidana. Di samping fungsi melindungi, undang-
undang pidana juga mempunyai fungsi instrumental, yaitu di dalam batasbatas yang
ditentukan oleh undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah secara tegas
diperbolehkan.
Anselm von Feuerbach, seorang sarjana hukum pidana Jerman, sehubungan
dengan kedua fungsi itu, merumuskan asas legalitas secara mantap dalam bahasa
Latin, yaitu : Nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut
undang-undang. Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana.
Nullum crimen sine poena legali: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut
undang-undang. Rumusan tersebut juga dirangkum dalam satu kalimat, yaitu nullum
delictum, nulla poena sine praevia lege poenali. Artinya, tidak ada perbuatan pidana,
tidak ada pidana, tanpa ketentuan undang-undang terlebih dahulu. Dari penjelasan
tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1)
KUHP mengandung tiga pokok pengertian yakni :
a. Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana (dihukum) apabila perbuatan
tersebut tidak diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan
sebelumnya/terlebih dahulu, jadi harus ada aturan yang mengaturnya sebelum
orang tersebut melakukan perbuatan;
b. Untuk menentukan adanya peristiwa pidana (delik/tindak pidana) tidak boleh
menggunakan analogi; dan
c. Peraturan-peraturan hukum pidana/perundang-undangan tidak boleh berlaku
surut; 10
10
Atmasasmita, R. (1989). Asa-asas perbandingan hukum pidana.
17
Memperkokoh penerapan “the rule of law” Sementara itu, Ahmad Bahiej
dalam bukunya Hukum Pidana, memberikan penjelasan mengenai konsekuensi asas
legalitas formil, yakni:
a) Suatu tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dalam peraturan perundang-
undangan. Konsekuensinya adalah:
Perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang
sebagai tindak pidana juga tidak dapat dipidana.
Ada larangan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi tindak
pidana.
Peraturan perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak
pidana.
b) Konsekuensinya adalah aturan pidana tidak boleh berlaku surut (retroaktif),
hal ini didasari oleh pemikiran bahwa:
Menjamin kebebasan individu terhadap kesewenangwenangan
penguasa.
Berhubungan dengan teori paksaan psikis dari anselem Von
Feuerbach, bahwa si calon pelaku tindak pidana akan terpengaruhi
jiwanya, motif untuk berbuat tindak pidana akan ditekan, apabila ia
mengetahui bahwa perbuatannya akan mengakibatkan pemidanaan
terhadapnya. 11
3. Pengecualian Asas Legalitas
Asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP) memiliki pengecualian khusus
mengenai keberadaannya, yaitu di atur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang
mana pasal tersebut berbunyi seperti ini “jika terjadi perubahan perundangundangan
setelah perbuatan itu dilakukan maka kepada tersang ka/terdakwa dikenakan
ketentuan yang menguntungkan baginya. Dari ketentuan pasal 1 ayat (2) KUHP ini
sebagai pengecualian yakni memperlakukan ketentuan yang menguntungkan bagi
terdakwa. Menurut jonkers pengertian menguntungkan disini bukan saja terhadap
pidana dari perbuatan tersebut,tetapi juga mencakup penuntutan bagi si terdakwa.
Ada bermacam-macam teori yang menyangkut masalah perubahan peraturan
perundangundangan yang dimaksud dalam hal ini. Yakni sebagai berikut :
11
Usfa, F. (2006). Pengantar Hukum Pidana.
18
a) Teori formil yang di pelopori oleh Simons, berpendapat bahwa perubahan
undangundang baru terjadi bilamana redaksi undang-undang pidana tersebut
berubah. Perubahan undang-undang lain selain dari undang-undang pidana
walaupun berhubungan dengan uu pidana bukanlah perubahan undang-undang
yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) ini.
b) Teori material terbatas yang dipelopori oleh Van Geuns berpendapat antara
lain bahwa perubahan undang-undang yang dimaksud harus diartikan
perubahan keyakinan hukum dari pembuat undang-undang.perubahan karena
zaman atau karena keadaan tidak dapat dianggap sebagai perubahan dalam
undang-undang pidana.
c) Teori material tak terbatas yang merujuk pada putusan Hoge Raad tanggal 5
desember 1921 mengemukakan bahwa perubahan undang-undang adalah
meliputi semua undang-undang dalam arti luas dan perubahan undangundang
yang meliputi perasaan 30 hukum pembuat undangundang maupun perubahan
yang dikarenakan oleh perubahan jaman (keadaan karena waktu tertentu).12
12
Ali, M. (2022). Dasar-dasar hukum pidana. Sinar Grafika.
13
Usfa, F. (2006). Pengantar Hukum Pidana.
19
Salah satu contoh yang terkenal dalam penerapan hukum di Belanda tentang
asas teritoriaal ini adalah : bahwa si A yang berada di negeri Jerman, melalui
perbatasan melemparkan seutas tali yang bersimpul bulatan diujungnya, untuk
menjerat seekor kuda yang berada di negeri Belanda. Kemudian kuda tersebut ditarik
ke wilayah Jerman dengan maksud untuk memilikinya. Dalam hal ini tindak pidana
dianggap telah terjadi di negeri Belanda dan kepada pelakunya berlaku ketentuan
pidana Belanda. 14
2. Asas Personalitas
Berlakunya hukum piana menurut asas personalitas adalah tergantung atau
mengikuti subjek hukum atau orangnya yakni, warga negara dimanapun
keberadaannya. Menurut sistem hukum pidana Indonesia, dalam batas-batas dan
dengan syarat tertentu, di luar wilayah hukum Indonesia, hukum pidana Indonesia
mengikuti warga negaranya artinya hukum pidana Indonesia berlaku terhadap warga
negaranya dimanapun di luar wilayah Indonesia. Oleh sebab itu, asas ini dapat disebut
sebagai asas mengenai batas berlakunya hukum menurut atau mengikuti orang. Asas
ini terdapat dalam Pasal 5, diatur lebih lanjut dalam Pasal 6, 7, dan 8.
KUHP menganut asas pesonalitas terbatas. Yang terpokok dalam asas
personalitas adalah orang, person. Dalam hal ini berlakunya hukum pidana dikaitkan
dengan orangnya, tanpa mempersoalkan dimana orang itu berada, yaitu didalam
ataupun diluar wilayah negara Indonesia. Pada dasarnya orang yang dikaitkan itu
adalah warga dari negara yang bersangkutan, dalam hal ini warga negara Indonesia.
Apabila asas personalitas dianut secara murni di Indonesia, maka hukum pidana
Indonesia berlaku bagi setiap warga negara Indonesia dimanapun ia berada. Sudah
tentu hal ini akan melanggar kedaulatan negara asaing. Dalam KUHP Indonesia
ternyata asas ini digunakan dalam batas-batas tertentu yaitu pada umumnya dalam hal
yang berhubungan dengan:
1) Kesetiaan yang diharapkan dari seseorang warga negara terhadap negara dan
pemerintahnya
2) Kesadaran dari seseorang warga negara untuk tidak melakukan suatu tindak
pidana di luar negeri dimana tindakan itu merupakan kejahatan di tanah air
14
Prodjodikoro, W. (1989). Asas-asas hukum pidana di Indonesia.
20
3) Diperluas dengan pejabat-pejabat (pegawai negeri) yang pada umumnya adalah
warga negara yang disamping kesetiaannya sebagai warga negara, juga
diharapkan kesetiaannya kepada tugas/jabatan yang dipercayakan kepadanya.
21
berlaku tanpa memandang ditempat manapun dan oleh siapa pun karena nyata-nyata
kejahatan-kejahatan yang ditujukan oleh Pasal 4 itu adalah jenis-jenis kejahatan yang
mengancam kepentingan hukum negara Indonesia yang mendasar, baik berupa
kepentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan negara, perekonomian
Indonesia, maupun kepentingan hukum terhadap sarana dan prasarana angkutan
Indonesia.
Dilihat dari sudut kepentingan hukum negara, maka maksud dipidananya
setiap orang yang melakukan kejahatan-kejahatan teretntu di luar Indonesia yang
disebut dalam Pasal 4 agar si pembuat dapat dipidana, dalam hal dan sebab di negara
asing di tempat ia melakukan kejahatan menurut ketentuan hukum pidana asing itu
tidak merupakan perbuatan yang diacam dengan pidana.
Beberapa asas yang terkandung dalam KUHP DT yang sangat penting dalam Hukum
Perdata adalah:
1. Asas Kebebasan Kontrak.
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan
perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang
belum diatur dalam undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHP DT). Asas kebebasan
berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1)KUHP DT, yang
berbunyi: "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
16
Moeljatno, S. H. (2002). Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta.
23
bag mereka yang membuatnva."Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk:
Membuat atau tidak membuat perianjian;
Mengadakan perianjian dengan siapa pun;
Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
2. Asas Konsesualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPDT.
Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah
adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak.Asas ini merupakan asas yang
menyatakan bahwa perianjian pada umumnya tidak diadakan secara formal,
melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.Kesepakatan adalah
persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
17
Atmadja, I. D. G. (2018). Asas-asas hukum dalam sistem hukum. Kertha
Wicaksana, 12(2), 145-155.
24
Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih
dikenal dengan sebutan perianjian ril dan perjanjian formal. Perjanjian ril adalah suatu
perianjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut
secara kontan) Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah
ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun aka bawah
tangan).18
3. Asas Kepercayaan
Asas kekuatan mengi kat ini adalah asas yang menyatakan bahwa perianjian
hanya mengikat bagi para fihak yang mengikatkan diri pada perjanjian tersebut dan
sifatnya hanya mengikat ke dalam Pasal 1340 KUHPDT berbunyi: "Perjaniian hanya
berlaku antara pihak yang membuatnya." Hal ini mengandung maksud bahwa
perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana dalam Pasal
1317 KUHPDT yang menyatakan:
"Dapat pula perianjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu
perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain,
mengandung suatu syarat semacam itu."
18
Ali, A. (2012). Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata.
25
yang membuatnya.Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPdt mengatur tentang
pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHP DT memiliki ruang lingkup yang luas
5. Asas Persamaan hukum
Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang
mengadakan perianian mempunyai kedudukan, hak dan kewajban yang sama dalam
hukum. Mereka tidak bole dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek
hukum it berbeda warna kulit, agama, dan ras.
6. Asas Keseimbangan
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda
merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian.Asas pacta sunt servanda
merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak
yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layakya sebuah undang-undang. Mereka
tidak bole melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat ole para
pihak.
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUHPDT. Asas in pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja
itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak
yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah.Hal in mengandung mana bahwa
setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral
dan dikaitkan dengan unsur keagamaan.Namun, dalam perkembangan selanjutnya
asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak
perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah
nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.19
8. Asas Moral
19
Atmasasmita, R. (1989). Asa-asas perbandingan hukum pidana.
26
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela
dari seseorang tidak dapat menuntut hak bagina untuk menggugat prestasi dari pihak
debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan
dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk
meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan
motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan
pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya
9. Asas Perlindungan
20
Syahrani, R. (1989). Seluk beluk dan asas-asas hukum perdata.
27
"Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik." Asas ini merupakan asas
bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi
kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik
dari para pihak.Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi
( relative) dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang
memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang
kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta debut ukuran yang
obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma
yang objektif..21
21
Atmasasmita, R. (1989). Asa-asas perbandingan hukum pidana.
28
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Asas-asas hukum itu sebagai pikiran -pikiran dasar yang terdapat di dalam dan
di belakang sistem hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan
perundangundangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengannya
ketentuan-ketentuan dan keputuan-keputusan individual dapat dipandang sebagai
penjabarannya. Apabila dalam bidang hukum kita telah sepakat, bahwa Pancasila
sumber dari segala sumber hukum negara, maka sudah wajarlah, kalau kita
membicarakan asas, berpendapat bahwa sumber dari segala asas hukum adalah
Pancasila, Pancasila dipegang teguh sebagai kaidah dasar, sebagai suatu beginsel
rechtsideologie atau asas ideologi hukum Indonesia.
Syarat Pemidanaan terbagi dua yaitu Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana, di mana tindak pidana dikenal pula dengan istilah perbuatan (actus reus) yang
unsurnya terdiri atas ada perbuatan (mencocoki rumusan delik), ada sifat melawan
hukum, dan tidak ada alasan pembenar. Sedangkan Pertanggungjwaban Pidana yang
biasa pula dikenal dengan istilah Pembuat (Mens Rea) memiliki unsur-unsur mampu
bertanggungjawab, ada kesalahan dan tidak ada alasan pemaaf.
B. Saran
29
DAFTAR PUSTAKA
30