Anda di halaman 1dari 30

FIQH KONTEMPORER

ASAS’ UMUM, ASAS’ HUKUM PIDANA DAN ASAS’ HUKUM PERDATA

Dosen Pengampuh :
Aripin Marpaung, MA

Disusun Oleh:
Kelompok III Jinayah III D
Abdur Rizki Pernanda (0205222082)
Muhammad Alkautsar (0205222108)
Putra Arnandi NST (0205222138)

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN
T.A 2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb. Puji syukur atas rahmat Allah SWT, berkat rahmat serta
karunia-Nya sehingga makalah dengan berjudul “Asas’ Umum, Asas’ Hukum Pidana Dan
Asas’ Hukum Perdata” dapat selesai.
Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas awal semester 3 kelas III D Jinayah
dari Bapak Aripin Marpaung, M.A. pada mata kuliah Fiqih Kontemporer. Selain itu,
penyusunan makalah ini bertujuan menambah wawasan kepada pembaca tentang Pengertian
Iman.Kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Aripin Marpaung, M.A.
berkat tugas yang diberikan ini, dapat menambah wawasan penulis berkaitan dengan topik
yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada semua pihak
yang membantu dalam proses penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan banyak
kesalahan. Oleh karena itu penulis memohon maaf atas kesalahan dan ketidaksempurnaan
yang pembaca temukan dalam makalah ini. Penulis juga mengharap adanya kritik serta saran
dari pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini.

Medan, 25 September 2023

Pemakalah

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2

DAFTAR ISI..............................................................................................................................3

BAB I.........................................................................................................................................4

PENDAHULUAN......................................................................................................................4

A. Latar Belakang...................................................................................................................4

B. Rumusan Masalah..............................................................................................................6

BAB II........................................................................................................................................7

PEMBAHASAN........................................................................................................................7

A. Asas Umum.......................................................................................................................7

B. Asas Hukum Pidana.........................................................................................................13

c. Asas Hukum Perdata.........................................................................................................23

BAB III.....................................................................................................................................29

PENUTUP................................................................................................................................29

A. Kesimpulan...................................................................................................................29

B. Saran..............................................................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................30

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945


memerlukan berbagai Undang-Undang untuk melaksanakan tugas pemerintahannya sehari-
hari. Tugas-tugas pemerintahan tersebut di dalam prakteknya dilaksanakan oleh kekuasaan
eksekutif dalam hal ini, Pemerintah dibawah pimpinan Presiden bersama para Administrator
Negara yang ada dan bekerja di seluruh wilayah kedaulatan negara Indonesia.
Undang Undang Nomor 30 tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan
merupakan sumber hukum materil atas penyelenggaraan pemerintahan. Tanggung jawab
negara dan pemerintah untuk menjamin penyediaan Administrasi Pemerintahan yang cepat,
nyaman dan murah. Jaminan kepastian penyediaan Administrasi Pemerintahan harus diatur di
dalam produk hukum Undang-Undang. Hal ini dapat terdiri dari satu Undang-Undang pokok
yang mengatur ketentuan umum tentang Administrasi Pemerintahan dan undang-undang lain
yang mengatur secara detail hal-hal yang tidak diatur dalam undang-undang tersebut.
Undang-undang ini tidak mengatur hal-hal teknis manajerial dalam penyediaan Administrasi
Pemerintahan, tetapi hanya memuat aturan-aturan umum antara lain berkenaan dengan
prosedur, bantuan hukum, batas waktu, akte administrasi dan kontrak administrasi dalam
Administrasi Pemerintahan. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dengan demikian
berisi kaidah-kaidah hubungan antara instansi pemerintah sebagai penyelenggara adrninistrasi
publik dan individu atau masyarakat penerima layanan publik.
Secara filosofis kebutuhan tersebut merupakan bagian dari sistem yang menempatkan
administrasi negara sebagai hak masyarakat sebagaimana termaktub dalam pasal 41 The
Charter of Fundamental Rights of the Union yang meliputi hak: Untuk memperoleh
penanganan urusan-urusannya secara tidak memihak, adil dan waktu yang wajar; Untuk
didengar sebelum tindakan indiviudal apapun yang akan diterapkan pada dirinya; Atas akses

4
untuk memperoleh berkas miliki pribadi dengan tetap memperhatikan kepentingannya yang
sah atas kerahasiaan dan atas kerahasiaan profesional; Kewajiban pihak-pihak administrasi
Negara untuk memberikan alasan-alasan mendasari keputusannya; dan Untuk memperoleh
ganti rugi yang ditimbulkan oleh lembaga atau aparatur pemerintah daLam menjalankan
tugasnya. Hak masyarakat tersebut secara filosofis sekaligus merupakan kewajiban
pemerintah untuk memberikan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat sebaik-baiknya.
Dengan demikian, fungsi administrasi pemerintahan tidak lain adalah tugas pemerintah dan
negara untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan
oleh UUD 1945. Fungsi pemerintahan yang efisien dan efektif sesungguhnya telah diatur
dalam UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dan Bersih dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yaitu berdasar atas asas kepastian hukum, asas tertib
penyelenggaran negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas,
asas profesionalisme dan asas akuntabilitas.
Dalam aspek yuridis, dalam upaya meningkatkan fungsi administrasi pemerintahan,
pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan yang sebenarnya masih sangat terbatas
atau belum cukup untuk menjadi landasan hukum pelaksanaan fungsi pemerintahan yang
efektif dan efisien, akuntable dan transparan. Sampai saat ini UU 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara telah direvisi melalui UU Nomor 9 tahun 2004, juga UU
Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bebas dan Bersih dari KKN telah
pula melahirkan berbagai peraturan pemerintah dan menteri untuk melengkapi pedoman
pelayanan administrasi pemerintahan. Meskipun demikian, peraturan-peraturan tersebut
belumlah cukup memadai sebagai landasan untuk terciptanya suatu penyelenggaraan
pemerintahan yang mencerminkan asas-asas pemerintahan yang baik. Pelaksanaan Asas asas
umum pemerintahan yang baik (AUPB) dalam sistem pemerintahan Indonesia akan berjalan
dengan baik dan lancar apabila didukung oleh adanya adiministrasi yang baik dan mantap.
Administrasi berkaitan erat dengan pengurusan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan organisasi
secara menyeluruh. Administrasi akan memberi warna bagi organisasi dalam mencapai
tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Oleh karena demikian, patut untuk ditelaah dan dikaji
lebih lanjut apakah asas asas umum pemerintahan yang baik menjadi roh atas keberadaan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Sejauh mana
pula urgensi undang undang tersebut dalam menjamin terlaksananya pemerintahan yang baik.
Administrasi negara mengandung pengertian dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam
arti luas, administrasi negara adalah kegiatan negara dalam melaksanakan kekuasan
politiknya. Sedangkan dalam arti sempit, administrasi negara adalah kegiatan eksekutif dalam
5
penyelenggaraan pemerintahan. Dengan mengacu berbagai pendapat di atas, maka
administrasi negara harus digunakan dan dipraktekkan secara benar dalarn penyelenggaraan
administrasi pemerintahan agar tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara
efisien dan efektif.

B. Rumusan Masalah

Masalah yang dapat penulis rumuskan agar pembahasan dalam makalah ini dapat
tersusun secara lebih sistematis dan terarah adalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Asas Umum?
2. Apa yang dimaksud dengan Asas Hukum Pidana?
3. Apa yang dimaksud dengan Asas Hukum Perdata?

6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asas Umum

1. Relevansi Asas Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Dalam Undang Undang
Adminsitrasi Pemerintahan.
Beberapa peraturan perundang undangan berikut menguraikan AAUPB
sebagai dasar dalam mengeluarakan putusan, diantara peraturan tersebut adalah
sebagaimana tertera dalam perturan perundang-undangan sebagai berikut:
a) UU Nomor 9 Tahun 2004 JO UU Nomor 51 Tahun 2009 Tentang PTUN.
Pasal 53 ayat (2) huruf b. menyatakan bahwa alasan-alasan yang dapat
digunakan dalam gugatan adalah: Pertama, Keputusan Tata Usaha Negara
yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang
berlaku; Kedua, Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Asas asas umum
pemerintahan yang baik tersebut adalah asas kepastian hukum; Asas tertib
penyelenggaraan negara; Asas keterbukaan; Asas proporsionalitas; Asas
profesionalitas; Asas akuntabilitas.1
b) UU Nomor 30 Tahun 2014
Pada pasal 10 Undang Undang Nomor 30 Tahun 30014 tentang
Administrasi Pemerintahan menguraikan ruag lingkup AUPB yang berlaku
dalam administrasi pemerintahan. Asas Umum Pemerintahan yang Baik yang
dimaksud meliputi asas:
1. kepastian hukum. asas kepastian hukum merupakan asas dalam negara
hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-
undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggaraan pemerintahan.
2. kemanfaatan. asas kemanfaatan maksudnya manfaat yang harus
diperhatikan secara seimbang antara: (1) kepentingan individu yang satu
dengan kepentingan individu yang lain; (2) kepentingan individu dengan
masyarakat;(3) kepentingan Warga Masyarakat dan masyarakat asing; (4)
kepentingan kelompok masyarakat yang satu dan kepentingan kelompok

1
Moeljatno, S. H. (2002). Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta.

7
masyarakat yang lain; (5) kepentingan pemerintah dengan Warga
Masyarakat; (6) kepentingan generasi yang sekarang dan kepentingan
generasi mendatang; (7) kepentingan manusia dan ekosistemnya; (8)
kepentingan pria dan wanita.
3. Ketidakberpihakan. asas ketidakberpihakan adalah asas yang mewajibkan
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau
melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dengan mempertimbangkan
kepentingan para pihak secara keseluruhan dan tidak diskriminatif.
4. Kecermatan. asas kecermatan dimaksudkan sebagai asas yang
mengandung arti bahwa suatu Keputusan dan/atau Tindakan harus
didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung
legalitas penetapan dan/atau pelaksanaan Keputusan dan/atau Tindakan
sehingga Keputusan dan/atau Tindakan yang bersangkutan dipersiapkan
dengan cermat sebelum Keputusan dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan
dan/atau dilakukan.
5. tidak menyalahgunakan kewenangan. asas tidak menyalahgunakan
kewenangan adalah asas yang mewajibkan setiap Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan
pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan
pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak
menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan.
6. Keterbukaan. asas keterbukaan adalah asas yang melayani masyarakat
untuk mendapatkan akses dan memperoleh informasi yang benar, jujur,
dan tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia
negara.
7. Kepentingan umum. asas kepentingan umum adalah asas yang
mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan umum dengan cara yang
aspiratif, akomodatif, selektif, dan tidak diskriminatif.
8. Pelayanan yang baik. asas pelayanan yang baik dimaksudkan sebagai asas
yang memberikan pelayanan yang tepat waktu, prosedur dan biaya yang
jelas, sesuai dengan standar pelayanan, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan. AAUPB dapat dijadikan landasan atau pedoman
bagi aparat pemerintah dalam menjalankan tugasnya, sekaligus sebagai
8
alat uji bagi lembaga peradilan dalam menilai tindakan pemerintah ketika
ada gugatan dari ohak lain yang dirasakan merugikannya. Dengan kata
lain, AAUPB secara teoritis sangat penting dalam mewujudkan
pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan berukualitas baik di pusat
maupun di daerah. Secara yuridis, cerminan pemerintah yang demikian
dapat dilihat dari produk hukum yang ditetapkannya, seperti dalam wujud
perizinan daerah yang berwawasan lingkungan hidup. 2

Menurut Ateng Syarifudin dalam pidato pengukuhan guru besar beliau


dikemukakan bahwa penilaian atas baik buruknya pemerintahan adalah bersifat etika,
sedangkan penilaian dari segi kewajaran dan keadilan sering dibahas dalam ilmu
Hukum Administrasi. Lebih lanju menurut beliau, adapun bidang yang
mempertemukan antara kedua sudut pandang terhadap penyelenggaraab pemeirntahan
itu adalah asas-asas umum pemerintahan yang baik. Pemikiran ini sejalan dengan
pendapat Wiarda dalam membahas keberadaan dan sejarah perkembangan AAUPB,
yang mengemukakan sebagai berikut :

Asas-asas umum pemerintahan yang baik itu merupakan tendensi-tendensi


(kecenderungan) etik yang menjadi dasar Hukum Tata Usaha Negara kita, baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis termasuk praktik pemerintahan, dan dapatlah
diketahui pula bahwa asas-asas itu untuk sebagian dapat diturunkan dari hukum dan
praktik, sedangkan untuk sebagian secara eviden (jelas dan nyata) langsung mendesak
kita.

Menyimak pendapat di atas, ada beberapa cirri yang dapat ditemukan dengan
kedudukan AAUPB bagi penyelenggaraan pemerintahan oleh aparat pemerintah baik
dipusat maupun di daerah. AAUPB dapat dikualifikasikan sebagai nilai etik yang
hidup dan berkembang dalam lingkup Hukum Adminsitrasi, sebagi pedoman aparat
pemerintah atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam menjalankan funginya, sebagai alat
uji bagi hakim dalam menyelesaikan sengketa atas suatu tindakan pemerintahan yang
dirasakan merugikan pihak penggugat.

2. Penerapan Asas-Asas Umum Pemerintahan Dalam Penyelenggaraan


Pemerintahan
2
Marpaung, L. (2008). Asas-asas teori praktek hukum pidana.

9
Adapun penerapan asas asas umum pemerintahan yang baik dalam
penyelenggaraan pemerintahan dapat diketahui dari adanya asas pemberian alasan,
asas pembatalan dan pembahasan dan lain sebagainya.

a) Pemberian alasan

Untuk menghindari perbuatan sewenang-wenang, maka setiap setiap


keputusan pemerintahan harus memiliki alasan yang tepat sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Pemberian alasan ini sekaligus merupakan prosedur
perlindungan hukum kepada individu dan anggota masyarakat. Karena itu,
Setiap Keputusan Tata Usaha Negara baik tertulis maupun elektronis harus
memberikan alasan yang bersifat faktual (fakta-fakta) dan hukum (juridis)
yang memberikan dasar terhadap pembuatan keputusan tersebut. Ketentuan
yang sama berlaku dalam hal pemberian alasan terhadap keputusan yang
bersifat diskresif. Meskipun demikian harus dimungkinkan beberapa
keputusan yang dikecualikan dari pemberian alasan seperti; Keputusan yang
sesuai dengan permohonan yang diajukan; Keputusan yang diikuti dengan
penjelasan rinci; Individu atau anggota masyarakat yang bersangkutan telah
mendapatkan penjelasan sebelumnya berkenaan dengan fakta-fakta yang ada
dan hukum yang berlaku; atau keputusan yang sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku hal tersebut tidak dibutuhkan atau dikehendaki .3

b) Pembatalan dan Pembahasan

Timbulnya atau sering terjadinya tindakan Administrasi negara yang


mengandung kekurangan, sehingga dipersoalkan menurut Prayudi
Atmosudirdjo (1986:130) disebabkan oleh banyak faktor, antara lain: sangat
meluasnya tugas pemerintah administrasi negara, peraturan-peraturan
perundang-undangan yang tidak jelas atau tidak lengkap, kurangnya pedoman
dan petunjuk pelaksanaan. Tindakan Administrasi Negara yang mengandung
kekurangan itu perlu dipahami, baik oleh pihak (pejabat/instansi) Administrasi
yang bersangkutan sendiri maupun oleh pihak lain yang dirugikan karenanya
untuk dikoreksi sebelum diproses atau dipersoalkan. Ada sejumlah prinsip-
prinsip yang dapat dijadikan dasar dalam melihat suatu tindakan administrasi

3
Marpaung, L. (2008). Asas-asas teori praktek hukum pidana.

10
yang mengandung kekurangan yaitu: pertama bahwa tindakan administrasi
negara yang mengandung kekuarangan dapat (tidak wajib) ditarik atau ditinjau
kembali oleh organ administrasi yang bersangkutan, kecuali bilamana ada
ketentuan atau aturan hukum yang menetang penarikan/peninjauan kembali
dari tindakan administrasi negara tersebut, kedua bilamana di dalam undang-
undang atau peraturan dasar tidak ada ketentuan-ketentuan lain mengenai
penarikan/peninjauan kembali, maka penarikan/peninjauan kembali tindak
adaministrasi negara tersebut wajib mengeikuti bentuk dan prosedur yang
berlaku bagi penerbitannya (asas contratirus actus similiter fit), ketiga
bilamana penarikan/peninjauan kembali suatu tindakan hukum administrasi
yang mengandung kekurangan akan merugikan kepastian hukum, atau akan
menurunkan wibawa pemerintah, atau akan menimbulkan kerugian atau
penderitaan yang tdak berperikemanusiaan kepada warga masyarakat yang
bersangkutan, maka penarikan atau peninjauan kembali tersebut tidak bisa
dilakukan begitu saja. Berbagai upaya haais ditempuh untuk mencegah
timbulnya efek-efek negatif. Keempat, bilamana tidak ada ketentuan lain
dalam undang-undang atau peraturan-dasarnya, maka suatu tindakan
administrasi negara yang mengandung kekuarangan karena beberapa
ketentuan atau syarat-syarat tidak dipenuhi, dapat ditarik/ditinjau kembali
untuk sementara sampai semua persyaratan dipenuhi oleh yang bersangkutan.
Namun bilamana dalam jangka waktu yang telah ditetapkan secara
perhitungan wajar yang bersangkutan tetap tidak dapat memenuhi persyaratan,
maka tindakan administrasi negara tersebut dapat ditinjau kembali atau ditarik
kembali sama sekali dengan diganti tindakan administrasi negara lain yang
memenuhi persyaratan. 4

c) Perlindungan hukum

Di dalam pelaksanaan tugas pemerintahan dan pelayanan masyarakat


sehari-hari sering terjadi perbedaan kepentingan dan konflik antara pejabat
administrasi negara dengan warga masyarakat. Konflik dan perbedaan
kepentingan tersebut mewarnai dinamika hubungan antara kedua fihak
tersebut. Oleh karena itu, untuk memberikan kepastian hukum terhadap
4
Marpaung, L. (2008). Asas-asas teori praktek hukum pidana.

11
penyelesaian sengketa tersebut maka terhadap pejabat administrasi negara dan
warga masyarakat diberikan perlindungan hukum bagi keduanya agar tidak
terjadi hal-hal yang dapat merugikan kepentingan kedua pihak tersebut.

Perlindungan hukum yang diberikan kepada warga masyarakat adalah


dalam bentuk perlindungan terhadap warga masyarakat terhadap perbuatan
sewenang-wenang dari pejabat administrasi negara dalam bentuk pemberian
upaya hukum untuk menggugat tindakan sewenang-wenang tersebut melalui
berbagai jalur hukum yang ada, baik melalui peradilan tata usaha negara
maupun peradilan umum (perdata dan pidana). Perlindungan hukum tersebut
diberikan untuk menjamin agar hak-hak asasi warga masyarakat tidak
dilanggar dan kepentingannya tidak dirugikan oleh lindakan-tindakan yang
dilakukan oleh pejabat administrasi negara.

Sedangkan perlindungan hukum terhadap pejabat administrasi negara


diberikan agar dalam melaksanakan tugas pemerintahannya sehari-hari,
pejabat tersebut tidak mengalami hambatan teknis dan kegiatan pemerintahan
yang dilakukannya dapat berjalan terus. Perlindungan hukum kepada pejabat
administrasi negara diberikan selama pejabat tersebut dalam melakukan
tindakan serta membuat keputusan berada dalam koridor hukum yang ada.
Perlindungan hukum yang diberikan dapat berupa antara lain pemberian
kewenangan tertentu kepada pejabat tersebut, bantuan hukum dalam
penyelesaian sengketa, kepastian hukum dalam pelaksanaan tugas pejabat
administrasi negara.

d) Kewajiban memberikan informasi.

Sebagai bagian dari dengar pendapat dengan pihak yang terlibat,


Undang-undang Administrasi Pemerintahan memuat ketentuan mengenai akte-
akte dan dokumen administrasi yang dapat diperlihatkan dan ditunjukkan oleh
instansi pemerintah kepada pihak yang terlibat. Ketentuan itu antara lain,
bahwa instansi Administrasi Pemerintahan dapat memperlihatkan akte
administrasi kepada pihak yang terlibat sejauh hal tersebut berkaitan dengan
dengan usaha mempertahankan secara hukum kepentingannya dan sejauh
bahwa hal tersebut tidak menyebabkan pelanggaran atau maladministrasi.
Disamping itu, harus dimuat ketentuan bahwa atas permintaan pihak yang

12
terlibat, instansi Administrasi Pemerintahan tidak diperbolehkan membuka
rahasia yang berkenaan dengan kehidupan pribadidan rahasia-rahasia
perusahaan pihak yang bersangkutan. Disamping hak untuk didengar
pendapatnya, setiap individu dan masyarakat yang sedang berurusan dengan
Administrasi Pemerintahan memiliki hak untuk mendapatkan bimbingan dan
informasi dari kantor instansi Administrasi Pemerintahan yang bersangkutan.
Ketentuan ini merupakan bagian dari prinsip kesesuaian prosedur administrasi,
dimana setiap kantor Administrasi Pemerintahan harus menjelaskan tahapan,
prosedur dan syarat- syarat administrasi yang harus dilalui sampai sebuah
pelayanan dapat diperoleh. Disamping itu, bimbingan dan informasi ini
memuat juga penilaian pegawai atau pejabat administrasi terhadap kondisi
aktual berkaitan dengan prosedur dan syarat-syarat yang sedang dan akan
dilalui. Ketentuan ini berlaku terutama untuk keputusan publik yang
menyebabkan kerugian individu atau masyarakat.5

B. Asas Hukum Pidana

1. Pengertian Hukum Pidana.


Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana.1 Pengertian tersebut
telah diperjelas oleh Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad yang mengatakan bahwa
hukum pidana substantif/materiel adalah hukum mengenai delik yang diancam
dengan hukum pidana.6
Kata hukum pidana pertama-tama digunakan untuk merujuk pada keseluruhan
ketentuan yang menetapkan syarat-syarat apa saja yang mengikat negara, bila negara
tersebut berkehendak untuk memunculkan hukum mengenai pidana, serta aturan-
aturan yang merumuskan pidana seperti apa yang dapat diperkenankan. Hukum
pidana dalam artian ini adalah hukum pidana yang berlaku atau hukum pidana positif
yang juga sering disebut jus poenale.Hukum pidana tersebut mencakup;

5
Syahrani, R. (1989). Seluk beluk dan asas-asas hukum perdata.

6
Atmadja, I. D. G. (2018). Asas-asas hukum dalam sistem hukum. Kertha
Wicaksana, 12(2), 145-155.

13
1) Perintah dan larangan yang atas pelanggaran terhadapnya organ-organ yang
dinyatakan berwenang oleh undang-undang dikaitkan ancaman pidana, norma-
norma yang harus ditaati oleh siapapun juga
2) Ketentuan-ketentuan yang menetapkan sarana-sarana apa yang dapat
didayagunakan sebagai reaksi terhadap pelanggaran norma-norma itu
3) Aturan-aturan yang secara temporal atau dalam jangka waktu tertentu
menetapkan batas ruang lingkup kerja dari norma-norma. 7

Moeljatno menyatakan hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan


hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk ;
1) Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan yang dilarang dengan
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertenru bagi siapa yang
melanggarnya
2) Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar
laranganlarangan itu dapat dikenakan atau diajtuhi sebagaimana yang telah
diancamkan
3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang telah melanggar tersebut. 8

W.L.G. Lemaire, hukum pidana itu itu terdiri dari norma-norma yang berisi
keharusan keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang)
telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang
bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu
merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan
yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat
suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana
hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan
bagi tindakan-tindakan tersebut.

7
DAN, M. T. P., & PEMIDANAAN, S. (2005). Asas-asas hukum pidana.

8
Moeljatno, S. H. (2002). Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta.

14
Menurut Sudarto bahwa hukum pidana adalah aturan hukum yang
mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu akibat
yang berupa pidana.
Menurut Simons hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam
arti objektif atau strafrecht in objectieve zin dan hukum pidana dalam arti subjektif
atau strafrecht in subjectieve zin. Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum
pidana yang berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum positif atau ius poenale.
Simons merumuskan hukum pidana dalam arti objektif sebagai:
1) Keseluruhan larangan dan perintah yang oleh negara diancam dengan
nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati;
2) Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan
pidana, dan
3) Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan
penerapan pidana \

W.F.C. van Hattum, hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-
asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat
hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban
hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat
melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap
peraturanperaturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa
hukuman.
Adami Chazawi, hukum pidana itu adalah bagian dari hukum publik
yang memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang:
1) Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan)
larangan melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun
pasif/negatif) tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana
(straf) bagi yang melanggar larangan itu;
2) Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si
pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada
larangan perbuatan yang dilanggarnya.
3) Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara
melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya Polisi, Jaksa, Hakim),
terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana
15
dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan
sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang
boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum
tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari
tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut.
Hazewinkel-Suringa, hukum pidana adalah sejumlah peraturan hukum
yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap
pelanggarannya diancam dengan pidana (sanksi hukum) bagi barang siapa
yang membuatnya.
Dari beberapa pendapat yang telah dikutip tersebut dapat diambil
gambaran tentang hukum pidana, bahwa hukum pidana setidaknya merupakan
hukum yang mengatur tentang:
a) Larangan untuk melakukan suatu perbuatan;
b) Syarat-syarat agar seseorang dapat dikenakan sanksi pidana;
c) Sanksi pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang
melakukan suatu perbuatan yang dilarang (delik);
d) Cara mempertahankan/memberlakukan hukum pidana.9

2. Asas-Asas Hukum Pidana


A. Asas Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu
1. Asas Legalitas
Asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “tiada suatu
perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam
undangundang yang ada terlebih dahulu dari perbuatan itu. Asas legalitas (the
principle of legality) yaitu asas yang menentukan bahwa tiap-tiap peristiwa pidana
(delik/ tindak pidana ) harus diatur terlebih dahulu oleh suatu aturan undang-undang
atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada atau berlaku sebelum
orang itu melakukan perbuatan. Setiap orang yang melakukan delik diancam dengan
pidana dan harus mempertanggungjawabkan secara hukum perbuatannya itu.
Berlakunya asas legalitas seperti diuraikan di atas memberikan sifat
perlindungan pada undang-undang pidana yang melindungi rakyat terhadap
pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Ini dinamakan fungsi
9
Ali, A. (2012). Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata.

16
melindungi dari undang-undang pidana. Di samping fungsi melindungi, undang-
undang pidana juga mempunyai fungsi instrumental, yaitu di dalam batasbatas yang
ditentukan oleh undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah secara tegas
diperbolehkan.
Anselm von Feuerbach, seorang sarjana hukum pidana Jerman, sehubungan
dengan kedua fungsi itu, merumuskan asas legalitas secara mantap dalam bahasa
Latin, yaitu : Nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut
undang-undang. Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana.
Nullum crimen sine poena legali: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut
undang-undang. Rumusan tersebut juga dirangkum dalam satu kalimat, yaitu nullum
delictum, nulla poena sine praevia lege poenali. Artinya, tidak ada perbuatan pidana,
tidak ada pidana, tanpa ketentuan undang-undang terlebih dahulu. Dari penjelasan
tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1)
KUHP mengandung tiga pokok pengertian yakni :
a. Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana (dihukum) apabila perbuatan
tersebut tidak diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan
sebelumnya/terlebih dahulu, jadi harus ada aturan yang mengaturnya sebelum
orang tersebut melakukan perbuatan;
b. Untuk menentukan adanya peristiwa pidana (delik/tindak pidana) tidak boleh
menggunakan analogi; dan
c. Peraturan-peraturan hukum pidana/perundang-undangan tidak boleh berlaku
surut; 10

2. Tujuan Asas Legalitas


Menurut Muladi asas legalitas diadakan bukan karena tanpa alasan tertentu.
Asas legalitas diadakan bertujuan untuk:
1) Memperkuat adanya kepastian hukum;
2) Menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa;
3) Mengefektifkan deterent functiondari sanksi pidana;
4) Mencegah penyalahgunaan kekuasaan; dan

10
Atmasasmita, R. (1989). Asa-asas perbandingan hukum pidana.

17
Memperkokoh penerapan “the rule of law” Sementara itu, Ahmad Bahiej
dalam bukunya Hukum Pidana, memberikan penjelasan mengenai konsekuensi asas
legalitas formil, yakni:
a) Suatu tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dalam peraturan perundang-
undangan. Konsekuensinya adalah:
 Perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang
sebagai tindak pidana juga tidak dapat dipidana.
 Ada larangan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi tindak
pidana.
 Peraturan perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak
pidana.
b) Konsekuensinya adalah aturan pidana tidak boleh berlaku surut (retroaktif),
hal ini didasari oleh pemikiran bahwa:
 Menjamin kebebasan individu terhadap kesewenangwenangan
penguasa.
 Berhubungan dengan teori paksaan psikis dari anselem Von
Feuerbach, bahwa si calon pelaku tindak pidana akan terpengaruhi
jiwanya, motif untuk berbuat tindak pidana akan ditekan, apabila ia
mengetahui bahwa perbuatannya akan mengakibatkan pemidanaan
terhadapnya. 11
3. Pengecualian Asas Legalitas
Asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP) memiliki pengecualian khusus
mengenai keberadaannya, yaitu di atur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang
mana pasal tersebut berbunyi seperti ini “jika terjadi perubahan perundangundangan
setelah perbuatan itu dilakukan maka kepada tersang ka/terdakwa dikenakan
ketentuan yang menguntungkan baginya. Dari ketentuan pasal 1 ayat (2) KUHP ini
sebagai pengecualian yakni memperlakukan ketentuan yang menguntungkan bagi
terdakwa. Menurut jonkers pengertian menguntungkan disini bukan saja terhadap
pidana dari perbuatan tersebut,tetapi juga mencakup penuntutan bagi si terdakwa.
Ada bermacam-macam teori yang menyangkut masalah perubahan peraturan
perundangundangan yang dimaksud dalam hal ini. Yakni sebagai berikut :

11
Usfa, F. (2006). Pengantar Hukum Pidana.

18
a) Teori formil yang di pelopori oleh Simons, berpendapat bahwa perubahan
undangundang baru terjadi bilamana redaksi undang-undang pidana tersebut
berubah. Perubahan undang-undang lain selain dari undang-undang pidana
walaupun berhubungan dengan uu pidana bukanlah perubahan undang-undang
yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) ini.
b) Teori material terbatas yang dipelopori oleh Van Geuns berpendapat antara
lain bahwa perubahan undang-undang yang dimaksud harus diartikan
perubahan keyakinan hukum dari pembuat undang-undang.perubahan karena
zaman atau karena keadaan tidak dapat dianggap sebagai perubahan dalam
undang-undang pidana.
c) Teori material tak terbatas yang merujuk pada putusan Hoge Raad tanggal 5
desember 1921 mengemukakan bahwa perubahan undang-undang adalah
meliputi semua undang-undang dalam arti luas dan perubahan undangundang
yang meliputi perasaan 30 hukum pembuat undangundang maupun perubahan
yang dikarenakan oleh perubahan jaman (keadaan karena waktu tertentu).12

B. Asas Hukum Pidana yang berlaku berdasarkan Tempat dan Orang


1. Asas Teritorial
Asas territorialitas termuat dalam pasal 2 KUHP yang berbunyi:” Ketentuan
pidana dalam Undang-Undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan
suatu tindak pidana di wilayah Indonesia”. jika rumusan ini dihubungkan dengan
uraian diatas, maka akan diperoleh unsur sebagai berikut: 13
1). Undang-undang (ketentuan pidana) Indonesia berlaku di wilayah indonesia
2). Orang/pelaku berada di Indonesia
3). Suatu tindak pidana terjadi di wilayah Indonesia.
Persamaan dari tiga unsur diatas adalah, semuanya di wilayah Indonesia. jelas
bahwa yang diutamakan adalah wilayah yang berarti mengutamakan asas terotorial.
Jadi apabila pencurian dilarang di wilayah Indonesia, dan si X yang berada di
Indonesia melakukan pencurian di wilayah Indonesia, maka telah terpenuhi ketentuan
Pasal 2 KUHP.

12
Ali, M. (2022). Dasar-dasar hukum pidana. Sinar Grafika.
13
Usfa, F. (2006). Pengantar Hukum Pidana.

19
Salah satu contoh yang terkenal dalam penerapan hukum di Belanda tentang
asas teritoriaal ini adalah : bahwa si A yang berada di negeri Jerman, melalui
perbatasan melemparkan seutas tali yang bersimpul bulatan diujungnya, untuk
menjerat seekor kuda yang berada di negeri Belanda. Kemudian kuda tersebut ditarik
ke wilayah Jerman dengan maksud untuk memilikinya. Dalam hal ini tindak pidana
dianggap telah terjadi di negeri Belanda dan kepada pelakunya berlaku ketentuan
pidana Belanda. 14
2. Asas Personalitas
Berlakunya hukum piana menurut asas personalitas adalah tergantung atau
mengikuti subjek hukum atau orangnya yakni, warga negara dimanapun
keberadaannya. Menurut sistem hukum pidana Indonesia, dalam batas-batas dan
dengan syarat tertentu, di luar wilayah hukum Indonesia, hukum pidana Indonesia
mengikuti warga negaranya artinya hukum pidana Indonesia berlaku terhadap warga
negaranya dimanapun di luar wilayah Indonesia. Oleh sebab itu, asas ini dapat disebut
sebagai asas mengenai batas berlakunya hukum menurut atau mengikuti orang. Asas
ini terdapat dalam Pasal 5, diatur lebih lanjut dalam Pasal 6, 7, dan 8.
KUHP menganut asas pesonalitas terbatas. Yang terpokok dalam asas
personalitas adalah orang, person. Dalam hal ini berlakunya hukum pidana dikaitkan
dengan orangnya, tanpa mempersoalkan dimana orang itu berada, yaitu didalam
ataupun diluar wilayah negara Indonesia. Pada dasarnya orang yang dikaitkan itu
adalah warga dari negara yang bersangkutan, dalam hal ini warga negara Indonesia.
Apabila asas personalitas dianut secara murni di Indonesia, maka hukum pidana
Indonesia berlaku bagi setiap warga negara Indonesia dimanapun ia berada. Sudah
tentu hal ini akan melanggar kedaulatan negara asaing. Dalam KUHP Indonesia
ternyata asas ini digunakan dalam batas-batas tertentu yaitu pada umumnya dalam hal
yang berhubungan dengan:
1) Kesetiaan yang diharapkan dari seseorang warga negara terhadap negara dan
pemerintahnya
2) Kesadaran dari seseorang warga negara untuk tidak melakukan suatu tindak
pidana di luar negeri dimana tindakan itu merupakan kejahatan di tanah air

14
Prodjodikoro, W. (1989). Asas-asas hukum pidana di Indonesia.

20
3) Diperluas dengan pejabat-pejabat (pegawai negeri) yang pada umumnya adalah
warga negara yang disamping kesetiaannya sebagai warga negara, juga
diharapkan kesetiaannya kepada tugas/jabatan yang dipercayakan kepadanya.

3. Asas Perlindungan (Asas Nasional Pasif)


Asas perlindungan atau nasional pasif adalah asas berlakunya hukum pidana
menurut atau berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi dari suatu negara yang
dilanggar di luar wilayah Indonesia. Asas ini berpijak pada pemikiran dari asas
perlindungan yang menyatakan bahwa setiap negara yang berdaulat wajib melindungi
kepentingan hukumnya dan kepentingan nasionalnya. Dalam hal ini buka kepentingan
perseorangan yang diutamakan, tetapi kepentingan bersama (kolektif). Ciri dari asas
perlindungan adalah subjeknya berupa setiap orang (tidak terbatas pada warga
negaranya). Selain itu tindak pidana itu tidak tergantung pada tempat, ia merupakan
tindakan-tindakan yang dirasakan sangat merugikan kepentingan nasional Indonesia
yang karenanya harus diindungi. Kepentingan-kepentingan nasional yang ditentukan
harus dilindungi ialah:
a. Keselamatan kepala/wakil kepala negara RI, keutuhan dan keamanan negara serta
pemerintah yang sah dari RI, keamanan negara terhadap pemberontakan,
keamanan penyerahan barang-barang angkatan perang RI pada waktu perang,
keamanan martbat kepada negara RI dst.
b. Keamanan ideologi negara Pancasila dan haluan negara
c. Keamanan perekonomian negara RI
d. Keamanan uang negara, nilai-nilai dari surat-surat berharga yang
dikeluarkan/disahkan oleh pemerintah RI
e. Keamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan dan lain
sebagainya.15

Ketentuan-ketentuan yang bertitik berat kepada asas perlindung terutama


dapat ditemukan dalam Pasal 4 KUHP . Walaupun ketentuan Pasal 4 KUHP pada
umumnya mengatur perlindungan terahdap kepentingan nasional Indonesia, akan
tetapi yang benar-benar hanya mengatur perlindungan nasional Indonesia saja. Dapat
difahami apabila pada Pasal 4 menentukan sekian larangan perbuatan/kejahatan, yang
15
Ali, A. (2012). Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata.

21
berlaku tanpa memandang ditempat manapun dan oleh siapa pun karena nyata-nyata
kejahatan-kejahatan yang ditujukan oleh Pasal 4 itu adalah jenis-jenis kejahatan yang
mengancam kepentingan hukum negara Indonesia yang mendasar, baik berupa
kepentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan negara, perekonomian
Indonesia, maupun kepentingan hukum terhadap sarana dan prasarana angkutan
Indonesia.
Dilihat dari sudut kepentingan hukum negara, maka maksud dipidananya
setiap orang yang melakukan kejahatan-kejahatan teretntu di luar Indonesia yang
disebut dalam Pasal 4 agar si pembuat dapat dipidana, dalam hal dan sebab di negara
asing di tempat ia melakukan kejahatan menurut ketentuan hukum pidana asing itu
tidak merupakan perbuatan yang diacam dengan pidana.

4. Asas Universaliteit ( Asas Persamaan)


Asas universaliteit bertumpu pada kepentingan hukum yang lebih luas yaitu
kepentingan hukum penduduk dunia atau bangsa-bangas dunia. Berdasarkan
kepentingan hukum yang lebih luas ini, maka menurut asas ini, berlakunya hukum
pidana tidak dibatasi oleh tempat atau wilayah tertentu dan bagi orang-orang tertentu,
melainkan berlaku dimana pun dan terhadap siapa pun.53 Adanya asas ini berlatar
belakang pada kepentingan hukum dunia. Negara manapun diberi hak dan wewenang
mengikat dan membatasi tingkah laku setiap orang dimana pun keberadaannya
sepanjang perlu untuk menjaga ketertiban dan keamanan serta kenyamanan warga
negara di negara-negara dunia tersebut.
Hukum pidana Indonesia dalam batas-batas tertentu juga menganut asas ini,
seperti yang terantum dalam Pasal 4 khususnya sepanjang menyangkut mengenai
kepentingan bangsa-bangsa dunia. Kejahatan-kejahatan tertentu yang disebut dalam
Pasal 4 (terutama butir ke 2,3,4) dalam hal menyangkut dan mengenai kepentingan
bangsa-bangsa dunia, berlaku pula asas universaliteit. Dapat pula dikatakan bahwa
berlakunya ketentuan Pasal 4 dalam hubungannya dengan kepentingan hukum
bangsa-bangsa dunia ini adalah fungsi hukum pidan Indonesia dalam ruang lingkup
hukum pidana internasional.
Jadi ketentuan pada Pasal 4 ini dapat dipandang sebagai ketentuan mengenai
asas perlindungan yang sekaligus juga asas universaliteit. Jika pelanggaran yang
dilakukan mengenai kepentingan hukum bangsa dan negara Indonesia, misalnya
pembajakan pesawat udara Indonesia di wilayah hukum negara manapun juga, atas
22
peristiwa itu berlaku asas perlindungan, dalam arti melindungi kepentingan hukum
dalam hal prasarana dan sarana pengangkutan udara Indonesia. akan tetapi,
sesungguhnya pelanggaran seperti itu juga dipandang sebagai melanggar kepentingan
hukum yang lebih luas yakni kepentingan hukum bangsa-bangsa dan negara-negara
dunia, maka dalam hal yang terakhir ini berlaku pula asas universaliteit. Demikian
juga kejahatan mengenai mata uang (Bab X Buku II), kejahatan pembajakan laut
(438), pembajak di tepi laut (439), pembajakan pantai (440) maupun pembajak sungai
(441), walauun dilakukan di Indonesia tidak berarti kejahatan itu semata-mata
menyerang kepentingan hukum negara-negara dunia.54 Indonesia sebagai bagian dri
dunia sehingga wajib bertanggungjawab untuk memberantas kejahatan-kejahatan
yang berkualitas dan berskala internasional, demikianlah maksud dari asas
universaliteit.
Tujuan dibentuknya Pasal 4, khususnya angka 2,3 dan 4 dalam kaitannya
dengan asas universaliteit adalah agar tidak lepasnya dari tuntutan pidana dan
pemidanaan terhadap si pembuat kejahatan-kejahatan yang dimaksud ketika setelah
dia berbuat di luar Indonesia, kemudian masuk ke negara Indonesia, sedangkan
Indonesia tidak dapat mengekstradisi yang bersangkutan berhubung dengan tidak
adanya perjanjian mengenai ekstradisi dengan negara tersebut, atau menurut hukum
negara asing tersebut perbuatan itu tidak diancam pidana, hukum pidana Indonesia
berlaku baginya dan dapat di tuntut pidana dan dipidana berdasarkan hukum pidana
Indonesia, tanpa melihat kewarganegaraan si pembuat tersebut.16

C. Asas Hukum Perdata

Beberapa asas yang terkandung dalam KUHP DT yang sangat penting dalam Hukum
Perdata adalah:
1. Asas Kebebasan Kontrak.
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan
perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang
belum diatur dalam undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHP DT). Asas kebebasan
berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1)KUHP DT, yang
berbunyi: "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

16
Moeljatno, S. H. (2002). Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta.
23
bag mereka yang membuatnva."Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk:
 Membuat atau tidak membuat perianjian;
 Mengadakan perianjian dengan siapa pun;
 Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
 Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham


individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan ole
kaum Epicuristen dan berkembang pest dalam zaman renaissance melalui antara lain
ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau.
Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang
dikehendakinya.

Dalam hukum kontrak, asas ini diwujudkan dalam "Kebebasan berkontrak".


Teori leisbet fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin
kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak boleh
mengadakan intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi masarakat. Paham
individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat ekonomi untuk
menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak
yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat seperti
yang diungkap dalam exploitation de home par l'homme.17

2. Asas Konsesualisme

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPDT.
Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah
adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak.Asas ini merupakan asas yang
menyatakan bahwa perianjian pada umumnya tidak diadakan secara formal,
melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.Kesepakatan adalah
persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.

Asas konsensualisme muncul dilhami dari hukum Romawi dan hukum

17
Atmadja, I. D. G. (2018). Asas-asas hukum dalam sistem hukum. Kertha
Wicaksana, 12(2), 145-155.

24
Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih
dikenal dengan sebutan perianjian ril dan perjanjian formal. Perjanjian ril adalah suatu
perianjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut
secara kontan) Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah
ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun aka bawah
tangan).18

3. Asas Kepercayaan

Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan


mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka
dibelakang hari
4. Asas Kekuatan Mengikat

Asas kekuatan mengi kat ini adalah asas yang menyatakan bahwa perianjian
hanya mengikat bagi para fihak yang mengikatkan diri pada perjanjian tersebut dan
sifatnya hanya mengikat ke dalam Pasal 1340 KUHPDT berbunyi: "Perjaniian hanya
berlaku antara pihak yang membuatnya." Hal ini mengandung maksud bahwa
perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana dalam Pasal
1317 KUHPDT yang menyatakan:
"Dapat pula perianjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu
perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain,
mengandung suatu syarat semacam itu."

Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan


perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang
ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPDT, tidak hanya mengatur
perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan
untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.
Jika dibandingkan kedua pasal it maka Pasal 1317 KUHPDT mengatur tentang
perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPDT untuk
kepentingan dirina sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari

18
Ali, A. (2012). Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata.

25
yang membuatnya.Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPdt mengatur tentang
pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHP DT memiliki ruang lingkup yang luas
5. Asas Persamaan hukum
Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang
mengadakan perianian mempunyai kedudukan, hak dan kewajban yang sama dalam
hukum. Mereka tidak bole dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek
hukum it berbeda warna kulit, agama, dan ras.
6. Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak


memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk
menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui
kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan
perjanjian itu dengan itikad baik
7. Asas Kepastian Hukum

Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda
merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian.Asas pacta sunt servanda
merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak
yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layakya sebuah undang-undang. Mereka
tidak bole melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat ole para
pihak.
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUHPDT. Asas in pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja
itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak
yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah.Hal in mengandung mana bahwa
setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral
dan dikaitkan dengan unsur keagamaan.Namun, dalam perkembangan selanjutnya
asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak
perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah
nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.19
8. Asas Moral

19
Atmasasmita, R. (1989). Asa-asas perbandingan hukum pidana.

26
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela
dari seseorang tidak dapat menuntut hak bagina untuk menggugat prestasi dari pihak
debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan
dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk
meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan
motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan
pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya
9. Asas Perlindungan

Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur


harus dilindungi ole hukum.Namun, yang perlu mendapat perlindungan it adalah
pihak debitur karena pihak in berada pada posisi yang lemah.Asas-asas inilah yang
menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu
kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus
diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu
kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana dinginkan oleh para pihak20

10. Asas Kepatutan.


Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPDT. Asas in berkaitan
dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan ole kepatutan berdasarkan
sifat perianjiannya
11. Asas Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas vang menentukan bahwa seseorang yang
akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan
saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPDT.
Pasal 1315 KUHPDT menegaskan: "Pada umumnya seseorang tidak dapat
mengadakan perikatan atau perianian selain untuk dirinya sendiri." Inti ketentuan ini
sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk
kepentingan dirinya sendiri.
12. Asas Itikad Baik (Good Faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPDT yang berbunyi:

20
Syahrani, R. (1989). Seluk beluk dan asas-asas hukum perdata.

27
"Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik." Asas ini merupakan asas
bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi
kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik
dari para pihak.Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi
( relative) dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang
memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang
kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta debut ukuran yang
obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma
yang objektif..21

21
Atmasasmita, R. (1989). Asa-asas perbandingan hukum pidana.

28
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Asas-asas hukum itu sebagai pikiran -pikiran dasar yang terdapat di dalam dan
di belakang sistem hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan
perundangundangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengannya
ketentuan-ketentuan dan keputuan-keputusan individual dapat dipandang sebagai
penjabarannya. Apabila dalam bidang hukum kita telah sepakat, bahwa Pancasila
sumber dari segala sumber hukum negara, maka sudah wajarlah, kalau kita
membicarakan asas, berpendapat bahwa sumber dari segala asas hukum adalah
Pancasila, Pancasila dipegang teguh sebagai kaidah dasar, sebagai suatu beginsel
rechtsideologie atau asas ideologi hukum Indonesia.
Syarat Pemidanaan terbagi dua yaitu Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana, di mana tindak pidana dikenal pula dengan istilah perbuatan (actus reus) yang
unsurnya terdiri atas ada perbuatan (mencocoki rumusan delik), ada sifat melawan
hukum, dan tidak ada alasan pembenar. Sedangkan Pertanggungjwaban Pidana yang
biasa pula dikenal dengan istilah Pembuat (Mens Rea) memiliki unsur-unsur mampu
bertanggungjawab, ada kesalahan dan tidak ada alasan pemaaf.

B. Saran

Meskipun kami sebagai penulis menginginkan kesempurnaan dalam menyusun


makalah ini, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu
kami perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan kami. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan sebagai
bahan evaluasi untuk kedepannya

29
DAFTAR PUSTAKA

Moeljatno, S. H. (2002). Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta.


Marpaung, L. (2008). Asas-asas teori praktek hukum pidana.
Syahrani, R. (1989). Seluk beluk dan asas-asas hukum perdata.
Atmadja, I. D. G. (2018). Asas-asas hukum dalam sistem hukum. Kertha
Wicaksana, 12(2), 145-155.
DAN, M. T. P., & PEMIDANAAN, S. (2005). Asas-asas hukum pidana.
Prodjodikoro, W. (1989). Asas-asas hukum pidana di Indonesia.
Ali, A. (2012). Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata.
Atmasasmita, R. (1989). Asa-asas perbandingan hukum pidana.
Usfa, F. (2006). Pengantar Hukum Pidana.
Ali, M. (2022). Dasar-dasar hukum pidana. Sinar Grafika.

30

Anda mungkin juga menyukai