Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Percobaan Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Islam

Dosen Pengampuh : Zaid Alfauza Marpaung, M.A


Mata Kuliah : Hukum Pidana islam

Disusun Oleh:
Kelompok III

Abdur Rizki Pernanda ( 0205222082 )


Muhammad al-kautsar ( 0205222108 )

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb. Puji syukur atas rahmat Allah SWT, berkat rahmat serta
karunia-Nya sehingga makalah dengan berjudul “Percobaan Tindak Pidana Menurut Hukum
Pidana Islam” dapat selesai.Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas awal semester
III kelas IIID Jinayah dari Bapak Zaid Alfauza Marpaung, M.A. pada mata kuliah Hukum
perdata. Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan menambah wawasan kepada pembaca
tentang percobaan tindak pidana. Kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Zaid
Alfauza Marpaung, M.A.
Berkat tugas yang diberikan ini, dapat menambah wawasan penulis berkaitan dengan
topik yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada semua
pihak yang membantu dalam proses penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan banyak
kesalahan. Oleh karena itu penulis memohon maaf atas kesalahan dan ketidak sempurnaan yang
pembaca temukan dalam makalah ini. Penulis juga mengharap adanya kritik serta saran dari
pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini.

Medan, 26 Oktober 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
A. Latar Belakang................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................5
C. Tujuan.............................................................................................................................5
BAB II........................................................................................................................................6
PEMBAHASAN........................................................................................................................6
A. Pengertian percobaan kejahatan......................................................................................6
B. Bentuk-bentuk Percobaan Kejahatan..............................................................................6
C. Percobaan Tindak Pidana................................................................................................7
D. Fase-Fase Pelaksanaan Jarimah......................................................................................9
BAB III.....................................................................................................................................14
PENUTUP................................................................................................................................14
A. Kesimpulan...................................................................................................................14
B. Saran..............................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................15

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum dibuat untuk ditaati, namun banyak masyarakat tidak mengerti fungsi dari hukum

tersebut, bahkan banyak masyarakat yang melanggar bahkan berbuat kejahatan. Di Indonesia

hukum yang mengatur tentang hukuman bagi pelaku kejahatan diatur dalam KUHP (Kitab

Undang-undang Hukum Pidana) hukum pidana yaitu, peraturan hukum yang mencakup

keharusan dan larangan serta bagi pelanggarnya akan dikenakan sanksi hukuman terhadapnya.

Di Indonesia terdapat sumber hukum formil dan sumber hukum materiil, mengenai sumber

hukum formil dari hukum pidana yaitu KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana)

dan sumber hukum materiilnya adalah KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), dalam

KUHP membahas tentang ketentuan-ketentuan dan hukuman bagi pelaku tindak pidana

sedangkan dalam KUHAP membahas tentang beracara dalam persidangan. Tindak pidana harus

dibedakan antara pelanggaran dan kejahatan dalam kedua kata tersebut berbeda karena ditinjau

dari niat dan perbuatan itu disengaja atau tidak disengaja.

Di agama Islam pun terdapat hukum yang mengatur tentang kejahatan (Jarimah) yang

disebut dengan hukum pidana Islam, pembahasan hukum pidana Islam ada yang menyebutnya

fiqh jinayah dan ada pula yang menjadikan fiqh jinayah sebagai sub bagian yang terdapat di

bagian akhir isi sebuah kitab fiqh atau kitab hadis yang corak pemaparanya. Ditinjau dari unsur-

unsur jarimah atau tindak pidana, objek utama kajian fiqh jinayah dapat dibedakan menjadi tiga

bagian, yaitu al-rukn al-syar’i atau unsur formil, al-rukn al-madi atau unsur materiil, al-rukn al-

adabi atau unsur moril.Dalam hukum pidana.

Islam terdapat tiga macam tindak pidana (jarimah) yaitu, jarimah hudud, jarimah qishas

atau diyat, dan jarimah ta’zir. Adapun yang dimaksud dengan jarimah hudud yaitu perbuatan

melanggar hukum yang jenis dan ancamannya ditentukan oleh nas, dan yang dimaksud dengan

jarimah qisas atau diyat yaitu perbuatan yang diancam dengan qisas dan diyat, sedangkan

jarimah ta’zir yaitu memberi pelajaran, artinya suatu jarimah yang diancam dengan hukum ta’zir

yaitu hukuman selain had dan qisas diyat.

4
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah adalah sebagai berikut ini :
1. Bagaimana yang dimaksud dengan percobaan tindak pidana ?
2. Bagaimana percobaan tindak pidana dapat di pidana ?
3. Apa saja bentuk-bentuk percobaan tindak pidana di tinjau dari hukum pidana islam?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui dan memahami percobaan tindak pidana.


2. Untuk mengetahui dan memahami percobaan tindak pidana dapat di pidana.
3. Untuk mengetahui dan memahami bentuk-bentuk percobaan tindak pidana di tinjau
dari hukum pidana islam.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian percobaan kejahatan

Percobaan dalam kamus bahasa Indonesia berasal dari kata coba artinya melakukan
sedikit pekerjaan untuk mengetahui atau merasakan hasilnya. Adapun defenisi secara etimologi
dari percobaan ialah usaha mencoba sesuatu atau permulaan pelaksanaan sesuatu.
Percobaan melakukan tindak pidana dalam hukum pidana Islam adalah seseorang yang
berniat melakukan tindak pidana dengan mengadakan permulaan pelaksanaan tetapi
perbuatannya tidak selesai baik karena kehendak diri sendiri maupun bukan karena kehendak diri
sendiri. Sedangkan dalam hukum pidana umum, percobaan hanya dibatasi pada tidak selesainya
perbuatan bukan karena kehendaknya sendiri."
Percobaan tindak pidana dalam pasal 45 Undang-Undang hukum pidana. Mesir lebih
dikenal dengan kata Adapun defenisi dari:

‫الشروع بأنه البدء في تنفيذ فعل بقصد ارتكاب جناية أو جنحة إذا أوقف أو حاب‬

‫أثره ألسباب ال دخل الردة الفا على فيها‬

Percobaan adalah mulai melaksanakan suatu perbuatan dengan maksud melakukan (jinayah atau
janhah), tetapi perbuatan tersebut tidak selesai atau terhenti karena ada sebab yang tidak ada
sangkut pautnya dengan kehendak pelaku".1

B. Bentuk-bentuk Percobaan Kejahatan

Didalam Hukum pidana umum, bentuk-bentuk percobaan menurut Jonkers yang dikutip
oleh Amzah dan Abidin dalam bukunya yang berjudul bentuk- bentuk khusus perwujudan delik
(percobaan, penyertaan, dan gabungan delik) dan hukum penitensier menyatakan bahwa terdapat
tiga bentuk percobaan"yaitu:2

1. Vooltooid poging (delit manque) atau percobaan selesai. Umpamanya seorang menembak
musuhnya, tetapi peluru yang ditembakkannya tidak mengenai sasaran (korban).
Perbuatan menembak tersebut merupakan percobaan selesai atau delit manque.
2. Geschorsten poging atau percobaan terhenti atau terhalang. Perbuatan yang lebih jauh
dari delik selesai, tetapi masih termasuk delik percobaan ialah apa yang disebut
geschorste poging atau percobaan terhalang. Contohnya: seorang mengarahkan
senapannya membidik sasaran, tetapi sebelum menarik picu senapan, tiba-tiba tangannya
dipukul orang lain sehingga senapannya jatuh.

1
Haliman, Hukum Pidana Islam Menurut Adjaran Ahli Sunnah wal Jama'ah, Jakarta: Bulan Bintang, 1967,
hlm.224
2
Irfan, Nurul. Hukum Pidana Islam. Amzah, 2022.hlm.45

6
3. Gequalificeerde poging atau percobaan berkualifikasi. Suatu perbuatan terlaksana
sehingga mendekati delik selesai. Umpamanya, seseorang berniat untuk membunuh
orang lain dan untuk melaksanakannya ia menikam korban dengan pisau sehingga korban
memperoleh luka Jelaslah percobaa ditangannya.bahwa terdakwa melakukan
pembunuhan menurut pasal 53 Jo 338 KUHP. Perbuatan melukai tangan korban ditinjau
tersendiri, terlepas dari perbuatan percobaan adalah delik selesai yaitu menganiaya berat
pasal 354 KUHP atau menganiaya biasa pasal 351 KUHP ataupun menganiaya biasa
yang mengakibatkan luka berat pasal 351 (2) KUHP.3

C. Percobaan Tindak Pidana

Sebenarnya mengenai percobaan, para fuqaha kurang begitu memperhtikannya hal ini
dikarenkan tiga sebab, yaitu sebagai berikut":4

1. Menurut syariat Islam, memiliki niat jahat tidak dihitung sebagai kejahatan selama ia belum
melakukan kejahatannya. Sebaliknya, jika ia memiliki niat baik tetapi belum sempat
melakukan, maka hal itu telah dihitung sebagai satu kebaikan

2. Percobaan melakukan tindak pidana tidak dikenal dengan istilah percobaan, melainkan dikenal
dengan istilah "jarimah belum selesai
3. Para fuqaha lebih menaruh perhatian pada tindak pidana hudud dan tindak
pidana qishash.
Istilah percobaan kejahatan dikalangan para fuqaha tidak didapati secara khusus. Akan
tetapi, apabila defenisi itu kita perhatikan maka apa yang dimaksud dengan istilah tersebut juga
terdapat pada mereka, karena dikalangan mereka juga dibicarakan tentang pemisahan antara
jarimah yang sudah selesai dan jarimah yang tidak selesai. 5

Para ulama termasuk para Imam mazhab tidak secara khusus dan detail membahas delik
percobaan. Hal ini bukan berarti masalah tersebut tidak penting, melainkan karena percobaan
masuk dalam kerangka jarimah ta'zir. Kondisi ini bukan berarti sama sekali tidak ada
keterkaitan delik percobaan dengan delik-delik lainnya. Tidak adanya perhatian secara khusus
terhadap jarimah percobaan disebabkan oleh beberapa dua faktor.
Pertama Percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qisas,
melainkan dengan hukuman ta'zir. Di mana ketentuan sanksinya diserahkan kepada penguasa
Negara (ulul-al amri) atau hakim. Untuk menetapkan hukumanhukuman jarimah tersebut, baik
yang dilarang dengan langsung oleh syara' atau yang dilarang oleh penguasa negara tersebut,
diserahkan pula kepada mereka, agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sesudah
itu, hakim diberi wewenang luas dalam menjatuhkan hukuman, di mana a bisa bergerak antara

3
Hamzah, Andi. Hukum Pidana Indonesia. Sinar Grafika, 2017.hlm.37
4
Imam Al-Mawardiy, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, Beirut alMaktab al-Islami,
1996, hlm. 219
5
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 5.

7
batas tertinggi dengan batas terendah.Kebanyakan jarimah ta'zir bisa mengalami perubahan
antara dihukum dan tidak dihukum, dari masa ke masa, dan dari tempat ke tempat lain, dan
unsur-unsurnya juga dapat berganti-ganti sesuai dengan pergantian pandangan penguasa-
penguasa negara. Oleh karena itu di kalangan fuqaha tidak ada perhatian khusus terhadap
percobaan melakukan jarimah, karena percobaan ini termasuk jarimah ta'zir.
Kedua: Dengan adanya aturan-aturan yang mencakup dari syara' tentang hukuman
jarimah ta'zir, maka aturan-aturan khusus untuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab
hukuman ta'zir dijatuhkan atas setiap perbuatan maksiat (kesalahan) yang tidak dikenakan
hukuman had atau kifarat. Dengan perkataan lain, setiap perbuatan yang dianggap percobaan
atau permulaan jahat dianggap maksiat dan dapat dijatuhi hukuman ta'zir.4 Karena hukuman
had dan kifarat hanya dikenakan atas jarimah-jarimah tertentu yang benarbenar telah selesai,
maka artinya setiap percobaan (memulai) sesuatu perbuatan yang dilarang hanya dijatuhi
hukuman ta'zir, dan percobaan itu sendiri dianggap maksiat, yakni jarimah yang selesai juga,
meskipun merupakan satu bagian saja di antara bagian-bagian lain yang membentuk jarimah
yang tidak selesai, selama satu bagian itu sendiri dilarang.
Jadi tidak aneh kalau sesuatu perbuatan semata-mata menjadi suatu jarimah, dan apabila
bergabung dengan perbuatan lain maka akan membentuk jarimah yang lain lagi. Pencuri
misalnya apabila telah melubangi dinding rumah, kemudian dapat ditangkap sebelum sempat
memasukinya, maka perbuatannya itu semata-mata dianggap maksiat (kesalahan) yang bisa
dijatuhi hukuman. meskipun sebenarnya baru merupakan permulaan dari pelaksanaan jarimah
pencurian.6
Demikian pula ketika ia masuk rumah orang lain dengan maksud hendak mencuri,
tanpa melubangi dindingnya atau menaiki atapnya, dianggap telah memperbuat suatu jarimah
tersendiri, meskipun perbuatan tersebut bisa disebut juga pencurian yang tidak selesai. Apabila
pencuri tersebut dapat menyelesaikan berbagai perbuatan yang membentuk jarimah pencurian
dan dapat membawa barang curiannya ke luar rumah, maka kumpulan perbuatan tersebut
dinamakan "pencurian", dan dengan selesainya jarimah pencurian itu maka hukuman had yang
telah ditentukan dijatuhkan kepadanya, dan untuk masing-masing perbuatan yang membentuk
pencurian itu tidak boleh dikenakan hukuman ta'zir, sebab masing-masing perbuatan tersebut
sudah bercampur jadi satu, yaitu pencurian. Di sini jelaslah kepada kita, mengapa para fuqaha
tidak membuat pembahasan khusus tentang percobaan melakukan jarimah, sebab yang
diperlukan oleh mereka ialah pemisahan antara jarimah yang telah selesai dengan jarimah yang
tidak selesai, dimana untuk jarimah macam pertama saja dikenakan hukuman had atau qisas,
sedang untuk jarimah macam kedua hanya dikenakan hukuman ta'zir.7
Pendirian Syara' tentang percobaan melakukan jarimah lebih mencakup daripada
hukum-hukum positif, sebab menurut syara' setiap perbuatan yang tidak selesai disebut maksiat
yang dijatuhi hukuman, dan dalam hal ini tidak ada pengecualiannya. Siapa yang mengangkat
tongkat untuk dipukulkan kepada orang lain, maka ia dianggap memperbuat maksiat dan
dijatuhi hukuman ta'zir. 8

6
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1984, hlm. 172
7
Wancik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007, hlm. 15.
8
2Satochid Kartanegara, tth, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, tk, Balai Lektur Mahasiswa, hlm.
74

8
D. Fase-Fase Pelaksanaan Jarimah

1. Fase Pemikiran dan Perencanaan (marhalah at-tafkir wa at- tashmim)


Fase Pemikiran dan Perencanaan (marhalah at-tafkir wa at- tashmim) Memikirkan
dan merencanakan sesuatu jarimah tidak dianggap maksiat yang dijatuhi hukuman, karena
menurut aturan dalam Syari'at Islam, seseorang tidak dapat dituntut (sepersalahkan) karena
lintasan hatinya atau niatan yang tersimpan dalam dirinya, sesuai dengan kata-kata Rasulullah
s.a.w. sebagai berikut:

‫َح َّد َثَنا َع ْم ُرو الَّناِقُد َو ُز َهْيُر ْبُن َح ْر ب َقااَل َح َّد َثَنا ِإْس َم ِع يُل ْبُن ِإْبَر اِهيَم ح و َح َّد َثَنا اْبُن اْلُم َثَّنى َو اْبُن‬
‫َبَّش اٍر َقااَل َح َّد َثَنا اْبُن َأِبي َع ِد ٍّي ُك َّلُهْم َع ْن َسِع يِد ْبِن َأبي َعُروَبًة َع ْن َقَتاَد َة َع ْن ُز َر اَر ًة َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة َقاَل َقاَل‬
‫َر ُسوُل هللا َص َّلى له َع َلْيِه َو َس َّلَم ِإَّن َهَّللا َع َّز َو َج َّل َتَج اَو َز ُأِلَّمِتي َع َّم ا َح َّد َثْت ِبِه َأْنُفَسَها َم ا الَلْم َتْع َم ْل َأْو َتَك َّلْم رواه‬
‫مسلم‬

Artinya: "Telah mengabarkan kepada kami dari Amrun an-Naqid dan Zuhair bin
Harb dari Ismail bin Ibrahim dari Abu Bakr bin Abu Syaibah dari Ali bin Mushar dan 'Abdah
bin Sulaiman dari Ibnu al-Musanna dan Ibnu Basyar dari Ibnu Abu 'Adiy dai Sa'id bin Abu
Urwah dari Qatadah dari Zurarah dari Abu Hurairah berkata: telah bersabda Rasulullah Saw:
Tuhan azza wajalla memaafkan umatku dari apa yang dibisikkan oleh dirinya, selama ia tidak
berbuat dan tidak mengeluarkan. kata-kata. Seseorang hanya dituntut karena kata-kata yang
diucapkannya dan perbuatan yang dilakukannya" (HR. Muslim).9

Aturan tersebut sudah terdapat dalam Syari'at Islam sejak mula-mula diturunkan
tanpa mengenal pengecualian. Akan tetapi pada hukum positif aturan tersebut baru dikenal
pada akhir abad kedelapan belas Masehi/ yaitu sesudah revolusi Perancis. Sebelum masa itu,
niatan dan pemikiran bisa dihukum, kalau dapat dibuktikan. Juga pada hukum positif terhadap
aturan tersebut ada pengecualiannya.10

2. .Fase Persiapan (marhalah at-tahdzir)


Menyiapkan alat yang dipakai untuk melaksanakan jarimah, seperti membeli
senjata untuk membunuh orang lain atau membuat kunci palsu untuk mencuri. Fase persiapan
juga tidak dianggap maksiat yang dapat dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan itu
sendiri dipandang sebagai maksiat, seperti hendak mencuri milik seseorang dengan jalan
membiusnya. Dalam contoh ini membeli alat bius atau membius orang lain itu sendiri dianggap
9
Imam Al-Mawardiy, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, Beirut alMaktab al-Islami,
1996, hlm. 236
10
Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahîh Muslim, Juz. 1. Mesir:
Tijariah Kubra, tth, hlm. 81-82

9
maksiat yang dihukum, tanpa memerlukan kepada selesainya maksud yang hendak dituju, yaitu
mencuri.30 Alasan untuk tidak memasukkan fase persiapan sebagai jarimah, ialah bahwa
perbuatan seseorang yang bisa dihukum harus berupa perbuatan maksiat, dan maksiat baru
terwujud apabila berisi pelanggaran terhadap hak Tuhan (hak masyarakat) dan hak manusia,
sedang pada penyiapan alat-alat jarimah pada galibnya tidak berisi suatu kerugian, maka
anggapan ini masih bisa dita'wilkan, artinya bisa diragukan, sedang menurut aturan syari'at
seseorang tidak bisa diambil tindakan terhadapnya kecuali apabila didasarkan kepada
keyakinan. 11
Sehingga peristiwa dianggap sesuatu yang syubhat dan pelakunya hanya
dikenakan hukuman ta'zir. Hal ini sesuai kaidah:
‫ان الشروع في الجريمة ال يعاقب عليه بقصاص وال حدوانما يعاقب‬
‫عليه بالتعزير‬

Artinya: Sesungguhnya percobaan berbuat jarimah tidak dihukum qisas atau had
melainkan ta'zir.12

3. Fase Pelaksanaan (marhalah tanfidiyah)


Pada fase inilah perbuatan si pembuat dianggap sebagai jarimah. Untuk
dihukum, tidak menjadi persoalan, apakah perbuatan tersebut merupakan permulaan
pelaksanaan unsur materiil jarimah atau tidak, melainkan cukup dihukum apabila perbuatan itu
berupa maksiat, yaitu yang berupa pelanggaran atas hak masyarakat dan hak perseorangan, dan
dimaksudkan pula untuk melaksanakan unsur materiil, meskipun antara perbuatan tersebut
dengan unsur materiil masih terdapat beberapa langkah lagi.13
Pada pencurian misalnya, melubangi tembok, membongkar pintu dan sebagainya
dianggap sebagai maksiat yang dijatuhi hukuman ta'zir, dan selanjutnya dianggap pula sebagai
percobaan pencurian, meskipun untuk terwujudnya perbuatan pencurian masih terdapat
perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk rumah, mengambil barang dari almari, dan
membawanya ke luar dan sebagainya. Jadi ukuran perbuatan dalam percobaan yang bisa
dihukum ialah apabila perbuatan tersebut berupa maksiat. Dalam hal ini niatan dan tujuan
pembuat sangat penting artinya untuk menentukan apakah perbuatan itu maksiat (salah) atau
tidak.

4. Tidak Selesainya Perbuatan


Seorang pembuat yang telah memulai perbuatan jarimahnya adakalanya dapat
menyelesaikannya atau tidak dapat menyelesaikannya. Kalau dapat menyelesaikannya maka
sudah sepantasnya ia dijatuhi hukuman yang diancamkan terhadap perbuatannya itu. Kalau
tidak dapat menyelesaikannya, maka adakalanya karena terpaksa atau karena kehendaknya
sendiri. Dalam keadaan tidak selesai karena kehendak sendiri, maka adakalanya disebabkan
11
Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah, Jakarta: Anggota IKAPI, 2004, hlm. 180.
12
Abd. Qadir Awdah, at-Tasyri' al-Jina'i al-Islami, Juz 1. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, t.t, hlm. 343.
13
Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah, Jakarta: Anggota IKAPI, 2004, hlm. 180

10
karena ia bertaubat dan menyesal serta kembali kepada Tuhan, atau disebabkan karena sesuatu
diluar taubat dan penyesalan diri, misalnya karena kekurangan alat-alat atau khawatir terlihat
oleh orang lain, atau hendak mengajak temannya terlebih dahulu.
Kalau tidak selesainya suatu jarimah dikarenakan terpaksa, misalnya terpaksa
tertangkap atau terkena suatu kecelakaan yang menghalang-halangi berlangsungnya jarimah,
maka keadaan tersebut tidak mempengaruhi berlangsungnya pertanggungan jawab pembuat,
selama perbuatan yang dilakukannya itu bisa disebut maksiat (suatu kesalahan). Kalau tidak
selesainya jarimah karena sesuatu bukan atas dasar taubat, maka pembuat juga bertanggung
jawab atas perbuatannya, apabila sudah cukup dipandang sebagai maksiat yakni merugikan hak
masyarakat atau hak perseorangan. Apabila seseorang hendak mencuri dari suatu rumah,
kemudian membongkar pintunya, akan tetapi ia tidak masuk rumah itu karena terlihat olehnya
peronda lewat di pekarangan rumah tersebut dan dikhawatirkan akan menangkapnya, kemudian
dia pergi tanpa mengambil sesuatu barang, atau dia sudah masuk rumah tetapi tidak dapat
membuka almari besi tempat uang.
Dalam contoh tersebut pembuat tetap dijatuhi hukuman meskipun ia
mengurungkan perbuatannya, karena motif pengurungan tersebut bukan taubat, sedangkan
perbuatan yang terjadi, adalah maksiat yaitu membongkar pintu atau masuk rumah orang lain
tanpa izin. Akan tetapi kalau sudah sampai pintu pekarangan dengan maksud mencuri,
kemudian mengurungkan niatnya karena sesuatu sebab dari dalam dirinya dan lalu pergi, maka
ia tidak dihukum karena peristiwa yang telah diperbuatnya itu tidak dianggap melanggar
(merugikan) hak masyarakat atau hak perseorangan dan oleh karena itu tidak dianggap maksiat
sedangkan apabila tidak ada maksiat berarti tidak ada hukuman.14

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

14
Imam Al-Ghazali, Muhtasar Ihya Ulumuddin, Pustaka Amani, Jakarta, 1995, hlm. 249

11
Percobaan melakukan tindak pidana dalam hukum pidana Islam adalah seseorang yang
berniat melakukan tindak pidana dengan mengadakan permulaan pelaksanaan tetapi
perbuatannya tidak selesai baik karena kehendak diri sendiri maupun bukan karena kehendak diri
sendiri. Sedangkan dalam hukum pidana umum, percobaan hanya dibatasi pada tidak selesainya
perbuatan bukan karena kehendaknya sendiri.
Dalam syariat Islam terdapat tiga macam tindak pidana (jarimah) yaitu, jarimah hudud,
jarimah qishas atau diyat, dan jarimah ta’zir. Adapun yang dimaksud dengan jarimah hudud
yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancamannya ditentukan oleh nas, dan yang
dimaksud dengan jarimah qisas atau diyat yaitu perbuatan yang diancam dengan qisas dan diyat,
sedangkan jarimah ta’zir yaitu memberi pelajaran, artinya suatu jarimah yang diancam dengan
hukum ta’zir yaitu hukuman selain had dan qisas diyat.
Dalam pandangan hukum Islam dan hukum pidana Indonesia mengenai pengertian
percobaan tindak pidana adalah sama, yaitu sebuah tindakan atau perbuatan yang mengarah
kepada suatu obyek perbuatan pidana, akan tetapi perbuatan itu tidak sampai kepada hasil akhir
atau tujuan karena ada sesuatu sebab yang menghalangi terselesainya perbuatan tersebut,
sehingga baginya tidak berlaku hukuman pokok.

B. Saran

Pemakalah menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan danmasih banyak terdapat kesalahan, oleh sebab itu saran dari dosen selaku
pembimbing dalam matakuliah ini sangat kami harapkan, untuk bisa dijadikan
sebagai pembelajaran dalampembuatan makalah dikemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Qadir Awdah, at-Tasyri' al-Jina'i al-Islami, Juz 1. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, t.t.
Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahîh Muslim, Juz. 1.
Mesir: Tijariah Kubra, tth.
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

12
Haliman, Hukum Pidana Islam Menurut Adjaran Ahli Sunnah wal Jama'ah, Jakarta: Bulan
Bintang, 1967,
Hamzah, Andi. Hukum Pidana Indonesia. Sinar Grafika, 2017.
Imam Al-Ghazali, Muhtasar Ihya Ulumuddin, Pustaka Amani, Jakarta, 1995.
Imam Al-Mawardiy, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, Beirut alMaktab al-
Islami, 1996.
Irfan, Nurul. Hukum Pidana Islam. Amzah, 2022.
Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah, Jakarta: Anggota IKAPI, 2004.
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1984.
Satochid Kartanegara, tth, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, tk, Balai Lektur
Mahasiswa.
Wancik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007.

13

Anda mungkin juga menyukai