Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN UMUM

A. Definisi Instalasi Farmasi Klinik

Menurut Peraturan Kesehatan Republik Indonesia No 34 tahun 2021

tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Klinik, menyatakan bahwa klinik

adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan

kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau

spesialistik. Instalasi farmasi adalah bagian dari klinik yang bertugas

menyelenggarakan, mengoordinasikan, mengatur, dan mengatasi seluruh

kegiatan pelayanan farmasi serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmaian

di klinik.

1. Peraturan Perundang undangan tentang Instalasi Farmasi Klinik

a. Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2021 tentang Kementerian

Kesehatan.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan

Kefarmasian.

c. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2018

tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan.

d. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2021

tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Klinik.

e. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2014

tentang Klinik.

4
5

f. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 573 tahun

2008 tentang standar profesi Asisten Apoteker (Tenaga Teknis

Kefarmasian/TTK).

g. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2021

tentang Ketentuan dan Tatacara Pemberian Izin Klinik.

2. Persyaratan Instalasi Farmasi Klinik

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9

tahun 2014 Persyaratan Klinik yaitu:

a. Lokasi

1) Pemerintah daerah kabupaten/kota mengatur persebaran klinik yang

di selenggarakan masyarakat di wilayahnya dengan memperhatikan

kebutuhan pelayanan berdasarkan rasio jumlah penduduk.

2) Lokasi klinik harus memenuhi ketentuan mengenai persyaratan

kesehatan lingkungan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

3) Ketentuan mengenai persebaran tidak berlaku untuk klinik

perusahaassn atau klinik instalasi pemerintah tertentu yang hanya

melayani karyawan perusahaan, warga binaan, atau pegawai instalasi

tersebut.

b. Bangunan

1) Bangunan klinik harus bersifat permanen dan tidak bergabung fisik

bangunannya dengan tempat tinggal perorang.

2) Ketentuan tempat tinggal perorangan tidak termasuk apartemen,

rumah toko, rumah kantor, rumuh susun, dan bangunan yang sejenis.
6

3) Banguanan klinik harus memperhatikan fungsi, keamanan,

kenyamanan dan kemudahan dalam pemberian pelayanan serta

perlindungan keselamatan dan kesehatan bagi semua orang termasuk

penyandang cacat, anak-anak, dan orang lanjut usia.

4) Bangunan klinik paling sedikit terdiri atas:

a) ruangan pendaftaran/ ruang tunggu;

b) ruang konsultasi;

c) ruang administrasi;

d) ruang obat dan bahan habis pakai untuk klinik yang

melaksanakan pelayanan farmasi;

e) ruang tindakan;

f) ruang/ pojok ASI;

g) kamar mandi/ WC; dan

h) ruangan lainnya sesuai kebutuhan.

5) Selain persyaratan sebagaimana klinik rawat inap harus memiliki:

a) ruangan rawat inap yang memenuhi persyaratan;

b) ruangan farmasi:

c) ruangan laboratorium; dan

d) ruang dapur.

6) Ruangan memenuhi persyaratan teknis yang sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

7) Jumlah tempat tidur pasien pada klinik rawat inap paling sedikit 5

(lima) buah dan paling banyak 10 (sepuluh) buah.


7

c. Prasaranan

1) Prasarana klinik meliputi:

a) instalasi sanitasi;

b) instalasi listrik;

c) ambulance, khusus untuk klinik penyelenggaraan rawat inap;

d) sistem gas medis;

e) sistem tata usaha;

f) sistem pencahayaan; dan

g) prasarana lainnya sesuai kebutuhan.

2) Sarana dan prasarana klinik sebagai mana harus dalam keadaan

terpilih dan berfungsi dengan baik.

d. Ketenagaan

1) Penanggung jawab teknis klinik harus seorang tenaga medis.

2) Penanggung jawab teknis klinik harus memiliki Surat Izin Praktik

(SIP) di klinik tersebut, dan dapat merangkap sebagai pemberi

pelayanan.

3) Tenaga medis hanya dapat menjadi penanggung jawab teknis pada 1

(satu) klinik.

4) Ketenangan klinik rawat jalan terdiri atas tenaga medis, tenaga

kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga gizi, dan tenaga non

kesehatan sesuai dengan kebutuhan.

5) Ketenangan klinik rawat inap terdiri atas tenaga medis, tenaga

kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga gizi, tenaga analis


8

kesehatan, tenaga kesehatan lain dan tenaga non kesehatan sesuai

dengan kebutuhan.

6) Jenis, kualifikasi, dan jumlah tenaga kesehatan lain dan tenaga non

kesehatan sebagimana disesuaikan dengan kebutuhan dan jenis

pelayanan yang diberikan oleh klinik.

7) Tenaga medis pada klinik pratama yang memberikan pelayana

kedokteran paling sedikit terdiri dari 2 (dua) orang dokter dan dokter

gigi sebagai pemberi pelayanan.

8) Tenaga medis pada klinik pratama yang memberikan pelayanan

kedokteran paling sedikit terdiri dari 1 (satu) orang dokter spesialis

dan 1 (satu) orang doketer sebagai pemberi pelayanan.

9) Tenaga medis pada klinik pratama yang memberikan pelayanan

kedokteran gigi paling sedikit terdiri dari 1 (satu) orang dokter

spesialis gigi dan 1 (satu) orang dokter gigi sebagai pemberian

pelayanan.

10) Setiap tenaga medis yang praktik di klinik harus mempunyai Surat

Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) sesuai ketentuan

perundang-undangan.

11) Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di klinik harus bekerja dengan

standar profesi, standar prosedur operasional, standar pelayanan,

etika profesi, menghormati hak pasien, serta mengutamakan

kepentingan dan keselamatan pasien.


9

12) Pendayagunaan tenaga kesehatan warga negara asing di klinik di

laksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan. pencegahan dan

penanggulangan kebakaran;

13) Klinik yang menyelenggarakan kesehatan 24 (dua puluh empat) jam

harus menyediakan dokter serta tenaga kesehatan lain sesuai

kebutuhan pelayanan dan setiap saat berada di tempat.

e. Peralatan

1) Klinik harus di lengkapi peralatan medis dan non medis yang

memadai dengan jenis pelayanan yang di berikan.

2) Peralatan medis dan non medis harus memenuhi standar mutu,

keamanan, dan keselamatan.

3) Selain memenuhi standar peralatan medis yang harus memiliki izin

edar sesuai ketentuan peraturan.

4) Peralatan medis yang digunakan di klinik harus diuji dan dikalibrasi

secara berkala oleh instusi pengujian fasilitas kesehatan yang

berwenang.

5) Ketentuan di laksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan.

6) Peralatan medis yang menggunakan sinar pengion harus

mendaptakna izin sesuai ketentuan perundang-undangan.

7) Penggunaan peralatan medis di klinik harus dilakukan berdasarkan

indikasi medis.

f.Kefarmasian
10

1) Klinik rawat jalan tidak wajib melaksanakan pelayanan farmasi.

2) Klinik rawat jalan yang menyelenggarakan pelayanan kefarmasian

wajib memiliki apoteker yang memiliki Surat Izin Praktik Apoteker

(SIPA) sebagai penanggung jawab atau pendamping.

3) Klinik rawat inap wajib memiliki instalasi farmasi yang

diselenggarakan apoteker.

4) Instalasi farmasi melayani resep dari dokter klinik yang

bersangkutan, serta dapat melayani resep dari dokter praktik

perorangan maupun klinik lain.

5) Klinik yang menyelenggarakan pelayanan rehabilitasi medis

pecandu narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya wajib

memiliki instalasi farmasi yang diselenggarakan oleh apoteker.

g. Laboratorium

1) Klinik rawat inap wajib menyelenggarakan pengelolaan dan

pelayanan laboratorium klinik.

2) Klinik rawat jalan dapat menyelenggarakan pengelolaan dan

pelayanan laboratorium klinik.

3) Laboratorium klinik pada klinik pratama merupakan pelayanan

laboratorium klinik umum pratama sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

4) Klinik utama dapat menyelenggarakan pelayanan laboratorium

klinik umum pratama atau laboratorium klinik umum madya.

5) Perizinan laboratorium klinik terintegrasi dengan perizinan klinik.


11

6) Dalam hal klinik menyelenggarakan laboratorium klinik yang

memiliki sarana, prasarana, ketenagaan dan kemampuan pelayanan

melebihi kriteria dan persyaratan klinik, maka laboratorium klinik

tersebut harus memiliki izin tersendiri sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

3. Tata Cara Pemberian Izin Instalasi Farmasi Klinik

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9

tahun 2014 tentang Klinik. Setiap penyelenggaraan klinik wajib memiliki

izin mendirikan dan izin operasional. Izin mendirikan diberikan oleh

pemerintah daerah kabupaten/kota, sedangkan izin operasional diberikan

oleh pemerintah daerah kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan

kabupaten/kota.

Untuk memperoleh izin kepala dinas kesehatan kabupaten/kota,

penyelenggaran klinik harus melengkapi persyaratan sebagai berikut:

a. Identitas lengkap permohonan.

b. Fotokopi pendirian badan hukum atau badan usaha, kecuali untuk

kepemilikan perorang.

c. Fotokopi sertifikat tanah sah, buku kepemilikan lain yang disahkan oleh

notaris, atau bukti surat kontrak minimal untuk jangka waktu 5 (lima)

tahun.

d. Dokumen Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL) untuk

klinik rawat jalan, atau dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan dan


12

Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL) untuk klinik rawat inap

sesuai ketentuan perundang-undangan.

e. Profil klinik yang akan didirikan meliputi pengorganisasian, lokasi,

bangunan, prasarana, ketenangan, peralatan kefarmasian, laboratorium,

serta pelayanan yang diberikan.

f. Persyartan lainnya sesuai dengan peraturan daerah setempat.

Izin mendirikan diberikan untuk jangka waktu 6 (enam) bulan, dan

dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan apabila belum dapat

memenuhi persyaratan. Apabila batas waktu habis dan pemohon tidak

dapat memenuhi persyaratan, maka pemohon harus mengajukan

permohonan izin mendirikan yang baru.

Untuk mendapatkan izin operasional, penyelenggara klinik harus

memenuhi persyaratan teknis dan administrasi. Persyaratan teknis meliputi

persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, ketenagaan, peralatan,

kefarmasian, dan laboratorium. Persyaratan administrasi meliputi izin

mendirikan dan rekomendasi dari dinas kesehatan kabupaten/kota. Izin

operasional diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat

diperpanjang kembali selama memenuhi persyaratan.

Pemerintah daerah kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan

kabupaten/kota harus mengeluarkan keputusan atas permohonan izin

operasional, paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima permohonan izin.

Keputusan dapat berupa penerbitan izin, penolakan izin atau

pemberitahuan untuk kelengkapan berkas.


13

Apabila dalam permohonan izin operasional, pemohon dinyatakan

masih harus melengkapi persyaratan, maka pemerintah daerah

kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota harus segera

memberitahukan kepada pemohon dalam jangka waktu 1 (satu) bulan.

Pemohon dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak pemberitahuan

disampaikan, harus segera melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi.

Apabila dalam jangka waktu pemohon tidak dapat memenuhi persyaratan,

pemerintah daerah kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan

kabupaten/kota mengeluarkan surat penolakan atas permohonan izin

operasional dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari.

Perpanjangan izin operasional harus diajukan pemohon paling lama

3 (tiga) bulan sebelum habis masa berlaku izin operasional. Dalam waktu 1

(satu) bulan sejak permohonan perpanjangan izin diterima, pemerintah

daerah kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota harus

memberi keputusan berupa penerbitan izin atau penolakan izin. Dalam hal

permohonan perpanjangan izin ditolak, pemerintah daerah kabupaten/kota

atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota wajib memberikan alasan

penolakan secara tertulis.

4. Klasifikasi Instalasi Farmasi Klinik

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9

tahun 2014 tentang instalasi klinik. Klinik dibagi menjadi 2 (dua) bagian

berdasarkan pelayanannya yaitu:


14

a. Klinik pratama adalah klinik yang menyelenggarakan pelayanan medis

dasar baik umum maupun khusus.

b. Klinik utama adalah klinik yang menyelenggarakan pelayanan medis

spesialistik atau pelayanan medis dasar dan spesialistik.

B. Tenaga Kefarmasian

1. Apoteker Penanggung Jawab

Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker

dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Apoteker pendamping

adalah apoteker yang melaksanakan praktik kefarmasian selama apoteker

penanggung jawab apotek tidak berada di apotek. Dari segi legalitas,

apoteker pendamping juga harus memiliki Surat Izin Apoteker (SIPA)

sebagai apoteker pendamping dalam melaksanakan praktik kefarmasian.

2. Fungsi dan Peran Apoteker di Instalasi Farmasi Klinik

Tugas dan kewenangan apoteker dalam menjalankan kefarmasian

yaitu:

a. Bertanggung jawab pada pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan,

dan bahan medis habis pakai.

b. Apoteker mampu mengelola IFK dengan baik dalam hal pelayanan,

pengelolaan dan pengolahan tenaga kerja.

c. Membuat sistem pengawasan dan pengendalian Standar Prosedur

Operasional (SPO).

3. Tenaga Teknis Kefarmasian


15

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun

2009 pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian

mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan

pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat

atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat,

bahan obat dan obat tradisional.

Pekerjaan kefarmasian dilakukan berdasarkan nilai ilmiah, keadilan,

kemanusian, keseimbangan dan perlindungan, serta keselamatan pasien

atau masyarakat yang berkaitan dengan sediaan farmasi yang memenuhi

standar dan persyaratan keamanan, mutu dan kemanfaatan. Terdiri dari

apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.

4. Fungsi dan Peran Tenaga Teknis Kefarmasian di Instalasi Farmasi Klinik

Tugas pokok instalasi farmasi berdasarkan surat keputusan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia No.1197/Menkes/SK/X/2004 tentang

standar pelayanan farmasi antara lain:

a. Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal.

b. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan farmasi profesional berdasarkan

prosedur kefarmasian dan etika profesi.

c. Melaksanakan Komunikasi Informasi Obat (KIO).

d. Memberikan pelayanan bermutu melalui analisa dan evaluasi untuk

meningkatkan mutu pelayanan farmasi.

e. Melakukan pengawasan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku.

f. Menyelenggarakan pendidikan dan pengembangan di bidang farmasi.


16

g. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan.

C. Pengelolaan Pembekalan Farmasi

1. Perencanaan

Perencanaan obat adalah suatu proses kegiatan seleksi obat dan

pembekalan kesehatan dalam menentukan jenis dan jumlah obat yang

dibutuhkan. Klinik harus melakukan perencanaan sediaan farmasi, alat

kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) dengan menggunakan

metode konsumsi, metode morbiditas dan metode proxy consumption.

Metode konsumsi didasarkan pada data konsumsi sediaan farmasi. Metode

morbiditas adalah perhitungan kebutuhan obat berdasarkan pola penyakit.

Metode proxy consumption dapat digunakan untuk perencanaan

pengadaan di klinik baru yang tidak memiliki data konsumsi di tahun

sebelumnya. Pada prinsipnya, perencanaan obat merupakan suatu proses

kegiatan menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka pengadaan obat

agar sesuai dengan kebutuhan untuk pelayanan kesehatan kepada

masyarakat.

Tujuan perencanaan pengadaan obat antara lain untuk :

a. Mendapatkan perkiraan jenis dan jumlah sediaan farmasi, alat

kesehatan, dan BMHP yang mendekati kebutuhan.

b. Meningkatkan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP

secara rasional.

c. Menjamin ketersediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP.


17

d. Menjamin stok sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP tidak

berlebih.

e. Efisiensi biaya.

f. Memberikan dukungan data bagi estimasi pengadaan, penyimpanan dan

biaya distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP.

2. Pengadaan

Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan

yang telah direncanakan dan disetujui, melalui pembelian. Pengadaan

sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP di klinik dilaksanakan dengan

pembelian. Pembelian merupakan suatu metode penting untuk mencapai

keseimbangan yang tepat antara mutu dan harga.

Waktu pengadaan dilakukan berdasarkan kebutuhan dengan

mempertimbangkan hasil analisis dari data:

a. Sisa stok dengan memperhatikan waktu (tingkat kecukupan obat dan

perbekalan kesehatan).

b. Kapasitas sarana penyimpanan.

c. Waktu tunggu.

3. Pemesanan

Pemesanan adalah obat yang dipesan dari PBF dengan disertai Surat

Pemesanan (SP) yang di tanda tangan oleh apoteker sehingga ada

tanggung jawab penuh terhadap obat yang di beli. Surat pesanan dibuat

sekurang-kurangnya rangkap 2 (dua) serta tidak dibenarkan dalam bentuk


18

faksimili dan fotokopi. Satu rangkap surat pesanan diserahkan kepada

distributor dan 1 (satu) rangkap sebagai arsip.

4. Penerimaan

Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis

spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan, dan harga yang tertera dalam

surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. Penerimaan dan

pemeriksaan merupakan salah satu kegiatan pengadaan agar obat yang

diterima sesuai dengan jenis, jumlah, dan mutunya berdasarkan faktur

pembelian dan/atau Surat Pengiriman Barang (SPB) yang sah.

Pemeriksaan sediaan farmasi yang dilakukan meliputi:

a. Kondisi kemasan termasuk segel, label/penandaan dalam keadaan baik.

b. Kesesuaian nama, bentuk, kekuatan sediaan farmasi, isi kemasan antara

arsip surat pesanan dengan obat yang diterima.

c. Kesesuaian antara fisik sediaan farmasi dengan faktur pembelian

dan/atau Surat Pengiriman Barang (SPB) yang meliputi:

1) Kebenaran nama produsen, nama pemasok, nama sediaan farmasi,

jumlah, bentuk, kekuatan sediaan farmasi, dan isi kemasan.

2) Nomor batch dan tanggal kedaluwarsa.

5. Penyimpanan

Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara

dengan cara menempatkan sediaan farmasi yang diterima pada tempat

yang dinilai aman dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak

mutu sediaan farmasi. Tujuan penyimpanan adalah untuk memelihara


19

mutu sediaan farmasi, menghindari penggunaan yang tidak bertanggung

jawab, menjaga ketersediaan, serta memudahkan pencarian dan

pengawasan.

Aspek yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan adalah:

a. Sediaan farmasi disimpan dalam kondisi yang sesuai.

b. Tersedia rak/lemari dalam jumlah cukup untuk memuat sediaan

farmasi, alat kesehatan, dan BMHP.

c. Jarak antara barang yang diletakkan di posisi tertinggi dengan langit-

langit minimal 50 cm.

d. Langit-langit tidak berpori dan tidak bocor.

e. Ruangan harus bebas dari serangga dan binatang pengganggu.

f. Tersedia sistem pendingin yang dapat menjaga suhu ruangan di bawah

25ºC.

g. Tersedia lemari pendingin untuk penyimpanan obat tertentu.

h. Penyimpanan Obat menggunakan sistem First In First Out (FIFO),

First Expired First Out (FEFO).

i. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan

dan menurut farmakologinya serta disusun secara alfabetis.

j. Kerapian dan kebersihan ruang penyimpanan.

k. Sediaan farmasi harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam

hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain,

maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi

yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-kurangnya memuat nama


20

sediaan farmasi, nomor batch, dan tanggal kedaluwarsa. Sediaan

farmasi yang mendekati kedaluwarsa (3-6 bulan sebelum tanggal

kedaluwarsa) diberikan penandaan khusus dan sebaiknya disimpan

terpisah.

l. Sediaan farmasi harus disimpan dalam kondisi yang menjaga stabilitas

bahan aktif hingga digunakan oleh pasien. Informasi terkait dengan

suhu penyimpanan obat dapat dilihat pada kemasan sediaan farmasi.

6. Pendistribusian

Distribusi adalah kegiatan menyalurkan sediaan farmasi dan BMHP

di klinik untuk pelayanan pasien rawat inap untuk menunjang pelayanan

medis dan BMHP. Tujuan pendistribusian adalah tersedianya sediaan

farmasi dan BMHP di unit-unit pelayanan secara tepat waktu, tepat jenis,

dan tepat jumlah.

7. Pemusnahan

Klinik harus memiliki sistem pemusnahan obat rusak, tidak

memenuhi persyaratan mutu, telah kedaluwarsa, tidak memenuhi syarat

untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan, atau dicabut izin edarnya

untuk dilakukan pemusnahan atau pengembalian ke distributor sesuai

ketentuan yang berlaku.

Pemusnahan narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi

dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan untuk kelompok obat ini.

Tujuan pemusnahan adalah untuk menjamin sediaan farmasi dan BMHP

yang sudah tidak memenuhi syarat dikelola sesuai dengan standar yang
21

berlaku. Adanya pemusnahan akan mengurangi beban penyimpanan

maupun mengurangi risiko terjadi penggunaan obat yang substandar.

Pemusnahan dilakukan untuk sediaan farmasi, alat kesehatan, dan

BMHP bila:

a. Produk tidak memenuhi persyaratan mutu.

b. Telah kedaluwarsa.

c. Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan

atau kepentingan ilmu pengetahuan.

d. Dicabut izin edarnya.

Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun

dapat dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh apoteker disaksikan

oleh sekurang-kurangnya petugas lain di apotek dengan cara dibakar atau

cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan berita acara pemusnahan

resep menggunakan formulir 2 sebagaimana terlampir dan selanjutnya

dilaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota.

8. Pelaporan

Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan pelapora eksternal.

Pelaporan internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan

manajemen apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya.

Pelaporan eksternal adalah pelaporan yang dibuat untuk memenuhi

kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

meliputi pelaporan narkotika, psikotropika dan pelaporan lainnya.

FHGHGJ

Anda mungkin juga menyukai