Anda di halaman 1dari 5

PAPER

DIGITALISASI TELEVISI

Oleh : Hernadi Priambodo S.I.Kom

Indonesia sebagai Negara berkembang tidak lepas dari sentuhan kecanggihan


tehnologi, terutama pada pertelevisian di Indonesia. Indonesia mulai akan memasuki era
tehnologi baru dalam dunia pertelevisian. Televisi Digital, merupakan perubahan yang
baru dalam pertelevisian Indonesia dan akan segera meninggalkan televisi analog
seperti yang kita gunakan saat ini. Deadline atau batas akhir yang telah diberikan oleh
International Telecomunication Union kepada seluruh dunia untuk melakukan
penyiaran secara digital paling lambat yaitu pada tanggal 17 juni 2015. Namun
Pemerintah Indonesia baru dapat menargetkan migrasi dari TV analog ke TV digital
hanya pada pulau jawa dan Riau pada 2015, sedangkan untuk keseluruhan provinsi di
Indonesia pemerintah berharap batas akhir sampai pada tahun 2018 mendatang.

Pada dasarnya dengan adanya migrasi ke tv digital di Indonesia, memberikan


pengaruh positif yang besar kepada masyarakat luas. Adanya televisi digital, masyarakat
dapat menikmati kualitas penerimaan siaran berupa gambar dan suara yang jauh lebih
baik. Selain itu masyarakat memiliki banyak alternatif program siaran televisi yang
lebih banyak dibandingkan pada tv analog. Pengaruhnya tidak hanya pada pertelevisian
saja melainkan juga pada peningkatan kualitas layanan telekomunikasi dan internet. Ini
dikarenakan adanya migrasi tersebut membutuhkan frekuensi yang baru yang
dibutuhkan untuk tv digital yang juga dibutuhkan untuk melayani kebutuhan broadband
dan telekomunikasi yang semakin tinggi permintaanya di Indonesia.

Berkaitan dengan rencana perpindahan ke televisi digital, Menkominfo telah


menetapkan peraturan tentang Standar Penyiaran Televisi Digital Teresterial
Penerimaan Tetap Tidak Berbayar ( free-to-air) dalam Peraturan Mentri Kominfo
No.5/PER/M.KOMINFO/2/2012 dan telah disusul pengesahan kepmen no.95 tahun
2012 pada tanggal 2 februari 2012 memutuskan bahwa Pertama, membuka peluang
usaha untuk penyelenggaraan multipleksing tersebut dilaksanakan di 5 zona yaitu Zona
Layanan 4 (DKI Jakarta dan Banten), Zona Layanan 5 (Jawa Barat), Zona Layanan 6
(Jawa Tengah dan Yogyakarta), Zona Layanan 7 (Jawa Timur) dan Zona Layanan 15
(Kepulauan Riau). Kedua, peluang usaha sebagaimana dimaksud dalam Diktum
Pertama diberikan kepada Lembaga Penyiaran Swasta Jasa Penyiaran Televisi. Ketiga,
Pemilihan Lembaga Penyiaran Swasta Jasa Penyiaran Televisi yang akan ditetapkan
sebagai lembaga penyiaran penyelenggara penyiaran multipleksing sebagaimana
dimaksud dalam Diktum Pertama dilaksanakan melalui proses seleksi yang diatur
dengan peraturan Menteri tersendiri. Keempat, seleksi sebagaimana dimaksud dalam
Diktum Ketiga mulai dilaksanakan paling lambat dua bulan terhitung sejak ditetapkan
keputusan Menteri ini. Kelima, keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.
Berdasarkan peraturan tersebut, maka dalam pelaksanaannya Menkominfo memberikan
pembatasan peluang usaha pada beberapa zona layanan penyelenggaraan penyiaran
multipleksing. Ini berarti akan meminimalisir terjadinya suatu monopoli dalam
pelaksanaanya.

Sesuai Undang-undang No 32 Tahun 2002, televisi digital akan menjamin


diversity of ownership, diversity of content dan sistem stasiun jaringan (SSJ) yang tidak
akan menimbulkan kasus monopoli. Namun apakah hal tersebut dapat berhasil dalam
pelaksanaanya, ditambah lagi dengan pemilihan lembaga penyiaran swasta sebagai
lembaga penyiaran penyelenggara penyiaran multipleksing. Pertanyaan tersebut muncul
akibat adanya kekawatiran masyarakat luas terhadap monopoli yang telah terjadi seperti
saat ini. Pada dasarnya Pemilihan LPS sebagai LPPPM telah disesuaikan dengan
keadaan infrastruktur pertelevisian Indonesia saat ini. Oleh karena itu pemerintah
menentukan LPS sebagai LPPPM bukan karena tanpa pertimbangan yang jelas.

Pemerintah dalam menentukan LPS sebagai LPPPM menetapkan kriteria tertentu


untuk melakukan proses penyeleksian terhadap LPS yang yang akan dipilih. Salah satu
Kriteria tersebut adalah LPS harus sudah memiliki izin IPP atau ISR tersebut terkait
dengan ketentuan UU Penyiaran. Selain itu bagi lembaga penyiaran swasta yang sudah
memiliki perijinan, ini berarti LPS tersebut telah legal, dan telah diproses oleh KPI.
Meskipun LPS tersebut telah berijin dan menguasai frekuensi analog, namun untuk
migrasi ke digital harus melalui proses penyeleksian selanjutnya. Dari sekian banyak
LPS berijin, hanya akan diseleksi 5 di antaranya untuk diijinkan mengelola frekuensi
multiplexer. Satu frekuensi multiplexer khusus diberikan kepada LPP TVRI untuk
digunakan bersama-sama LPK dan LPP Lokal.

Pemerintah akan memastikan LPPPM agar melaksanakan prinsip keterbukaan dan


non diskriminatif sehingga praktek-praktek monopoli bisa dihindarkan. Dalam
pelaksanaanya pemerintah akan memberikan sanksi tegas kepada setiap pelanggaran
yang ada. Kriteria seleksi akan ditetapkan secara ketat sehingga hanya akan ada satu
lembaga penyiaran swasta yang mewakili satu kelompok usaha untuk bisa mengikuti
proses seleksi dan memenangkan hak sebagai LP3M di satu zona. Apabila terjadi
pelanggaran seperti adanya LPS yang terbukti memiliki afiliasi dengan peserta lainnya
di zona yang sama, tim seleksi akan menggugurkan . Nantinya, anggota LPPPM di satu
zona layanan harus berasal dari LPS yang telah memiliki izin penyelenggaraan
penyiaran(IPP) di wilayah layanan dalam zona tersebut.

Persoalan migrasi ke televisi digital tetap harus tidak hanya memperhatikan dari
aspek tehnis saja, melainkan juga harus memperhatikan persoalan sosial dan politis juga
yang menjadi salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan. Kebijakan pemerintah
mengenai perpindahan atau migrasi ke tv digital pada dasarnya tidak semua disetujui
oleh kalangan masyarakat ataupun lembaga pertelevisian tertentu. Dampak positif dari
migrasi tersebut memang tidak perlu diragukan lagi, namun dampak negatif dalam
persiapan ke arah migrasi tersebut pun tidak sedikit. Migrasi ke tv digital menyebabkan
beberapa lembaga pertelevisian merasa dirugikan. Tentu saja demikian, karena dalam
kondisi saat ini dimana tv analog harus tetap berjalan, sementara merekapun harus
mengeluarkan dana lebih untuk persiapan perpindahan ke tv digital yang memerlukan
dana jauh lebih besar dari analog.

Begitu pula yang terjadi pada masyarakat, untuk dapat menikmati program-
program tv digital, mereka harus membeli set top box atau bahkan mengganti tv analog
mereka menjadi tv digital yang tentunya dengan harga relatif mahal. Kebijakan ini pada
dasarnya sudah muncul pada tahun 2007, namun belum dapat terealisasikan karena
pemerintah harus menyesuaikan kepada prinsip diversity of content and diversity of
ownership yang memang harus dipenuhi. Berdasarkan penjelasan sebelumnya,
sepertinya pemerintah sudah yakin dengan telah ditetapkan Peraturan Menteri Kominfo
No.5/PER/M.KOMINFO/2/2012 dan disusul pengesahan kepmen no.95 tahun 2012
pada tanggal 2 februari 2012.

Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, merupakan


negara yang relatif ketinggalan dalam implementasi televisi digital. Seperti pada negara
Jerman yang sudah dimulai proyeknya pada tahun 2003, Berlin pada tahun 2005 dan
Amerika Serikat memulainya pada tahun 2009 (GrafisTv.com). Oleh karena itu agar
Indonesia tidak menjadi negara yang tertinggal dari proses konvergensi media televisi,
menkominfo segera memulai proyek migrasi dari tv analog ke digital, meskipun dapat
dikatakan proses migrasi yang terlambat dibadingkan dengan negara lainya. Televisi
digital mempunyai banyak sekali manfaat untuk para penggunanya. Hal ini dikarenakan
televisi digital sangat berbeda dengan tv analog yang cendrung terbatas dan programnya
serta kualitas yang jauh lebih rendah dibandingkan tv digital. Tentu saja demikian
karena dengan menggunakan tv digital memungkinkan masyarakat memiliki banyak
pilihan atas layanan siaran tambahan yang bersifat interaktif seperti halnya internet.
Selain itu Kualitas audiovisual yang lebih baik, menjadi keunggulan utama dari televisi
ini, sehingga pengguna dapat menikmati kualitas siaran yang jauh lebih baik dari segi
audio dan visualnya, seperti layaknya menyaksikan siaran tv di bioskop.

Dengan adanya tv digital sangat memungkinkan suatu penggabungan televisi


dan internet dan tentunya memberikan kesempatan untuk terbukanya untuk layanan -
layanan baru, seperti: penyediaan link antara program dokumenter dengan ensiklopedia
online; akses kepada arsip digital untuk memperoleh informasi-informasi tambahan bagi
program-program berita dan current affairs. Selain itu dapat pula digunakan untuk
streaming video yang lazim di dunia internet, termasuk film on demand dan siaran
langsung melalui internet (Hastjarjo, 2007). Di samping itu, sistem digital
memungkinkan diversifikasi saluran sehingga menjadi saluran multikanal. Dengan
adanya banyak pilihan program siaran tv yang merupakan salah satu keunggulan tv
digital, membuat penonton atau masyarakat dapat memilih program siaran sesuai
dengan keinginan, kebutuhan dan bertanggung jawab atas program siaran yang dipilih,
sesuai dengan uses and gratification theory.
Pengguna dapat menentukan siaran yang berguna atau tidak untuk dirinya,
sehingga dapat meminimalisir dampak negatif dari sebuah tayangan tv digital. Selain itu
pengguna dapat melakukan pengawasan atau kontrol yang baik terhadap program siaran
tersebut, baik untuk diri sendiri, keluarga, ataupun orang lain. Contohnya seperti
program siaran yang tepat bagi anak – anak adalah program acara yang dikhususkan
untuk mereka, dengan demikian orang tua dapat melakukan pengawasan dengan
memilih program yang dikhususkan untuk anak – anak. Kelebihan dari TV digital ini
free to air , sehingga tidak lagi pengguna harus melakukan pembayaran terhadap
sejumlah program siaran tertentu seperti saat ini.

Migrasi dari tv analog ke tv digital memang memberikan banyak manfaat untuk


masyarakat Indonesia. Selain karena ini merupakan kebijakan International
Telecomunication Union kepada seluruh dunia untuk kemajuan pertelevisian dunia,
masyarakat Indonesia juga dapat memiliki banyak alternatif program siaran pilihan yang
memungkinkan dapat selalu menerima informasi dengan cepat dan kualitas yang baik
pula. Namun sebaiknya Kemenkominfo dapat menunda sampai dengan terselesaikanya
revisi undang – undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Ini karena harus ada
peraturan yang lebih tinggi lagi, tidak hanya sekedar.

Peraturan menteri saja. Selain itu karena dalam undang – undang nomor 32
tahun 2002 tentang penyiaran belum terdapat pasal yang mengenal kata multiplexer
ataupun peraturanya. Begitu juga pada penyerahan pihak penyelenggaraan yang diatur
dalam kepmen no.95 tahun 2012 pada lembaga penyiaran swasta. LPS sebagai pihak
penyelenggara memang memiliki kesiapan dan infrastruktur yang lebih baik saat ini,
namun meskipun menkominfo berusaha menjamin tidak terjadinya monopoli, tetap saja
tidak akan bisa terjamin hal tersebut tidak dapat terjadi. Contohnya seperti saat ini di
Indonesia, banyak sekali terjadi monopoli dalam dunia pertelevisian yang telah di
lakukan oleh pihak swasta. Sehingga seharusnya pemerintah, khususnya menkominfo
mempertimbangkan kembali dengan memberikan hak penyelenggara pada KPI ataupun
BUMN yang terkait.

Anda mungkin juga menyukai