Anda di halaman 1dari 3

Potensi Politik Uang di Pemilu 2024, SMRC: Uang Diterima tapi tak Pilih Pemberinya

Penulis Diana Runtu – 26 Desember 2023 0

FTNews, Jakarta— Seperti umumnya jelang Pemilu maka politik uang pun ikut memainkan
peranannya. Pelakunya adalah sebagian peserta Pemilu yang ingin mempengaruhi preferensi
pemilih dengan cara memberikan uang ataupun sembako.

Hasil penelitian menyebut, cara ini tidak efektif dan hanya menghambur-hamburkan uang
saja. Karena sebagian besar orang yang menerima uang ataupun sembako tidak akan memilih
si pemberi uang.

Dalam ‘Bedah Politik’ bertema ‘Potensi Politik Uang pada Pemilu 2024’ yang disiarkan
SMRC TV, Prof Saiful Mujani dan Saidiman Ahmad juga mengungkap tentang hasil survei
terkait masalah politik uang.

“Sebenarnya, seberapa besar pengaruh atau toleransi masyarakat terhadap praktik politik
uang dan seberapa jauh pengaruhnya terhadap preferensi politik mereka?” tanya Saidiman
Ahmad pada Prof Saiful, pendiri SMRC yang juga Guru Besar Ilmu Politik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Menurut Saiful, pertanyaan tersebut membutuhkan jawaban empiris bukan spekulasi. “Tapi
berdasarkan pembicaraan di publik, para pengamat ataupun politisi, sepertinya meyakini
bahwa politik uang penting untuk mempengaruhi pemilih. Itu opini yang saya tangkap secara
umum,” paparnya.

SMRC, lanjutnya, juga melakukan survei terkait masalah ini pada bulan November 2023 lalu,
guna mengecek seberapa besar pentingnya politik uang.

Lalu Saiful pun mengungkapkan pertanyaan dalam survei tersebut.

“Di dalam survei nasional, kita punya pertanyaan seperti ini : Sebagai usaha untuk
memenangkan Pemilu, ada calon presiden atau calon anggota DPR, DPRD, atau orang
membantu mereka memberikan uang atau hadiah tertentu agar memilih calon tersebut.
Menurut Anda, apakah pemberian tersebut dapat diterima sebagai hal yang wajar atau tidak
bisa diterima atau tidak bisa dibenarkan,” tutur Saiful menguraikan pertanyaan yang
disampaikan pada responden.

Ternyata, lanjutnya, yang menyatakan bahwa itu bisa diterima sebagai hal yang wajar 44
persen.

Jadi, jika jumlah pemilih Pemilu 2024 adalah 204 juta jiwa, yang mungkin datang ke TPS
sekitar 160 juta, artinya yang menganggap pemberian uang itu adalah hal yang lumrah atau
bukan masalah besar, adalah sekitar 70 juta orang. Atau bisa saja hampir 100 juta orang dari
total populasi pemilih. “Ini jumlah yang cukup banyak,” tambahnya.
Sebagian masyarakat itu sepertinya tidak menganggap tabu menerima uang, meski tahu
bahwa hal itu melanggar hukum dalam Pemilu.

Sementara sebagian masyarakat lainnya, yakni 36 persen, tidak bisa menerima dan
mengatakan ini melanggar hukum, dll.

Jika melihat hasil ini maka 4 dari 10 kasus menganggap ini wajar. Tapi, ucapnya, apakah
orang yang mengatakan wajar itu akan terpengaruh pilihannya karena pemberian uang
tersebut?

Ternyata banyak yang menjawab, tidak terpengaruh.

“Jadi pertanyaan berikutnya yang kami ajukan adalah, apakah ibu/bapak sendiri akan
menerima bila ada orang yang memberi uang atau hadiah tersebut?”

Yang menjawab ya akan menerima dan akan memilih calon yang memberi uang tersebut, 21
persen. Akan menerima dan memilih calon yang memberi lebih banyak 5%.

Hanya 10 Persen yang Terpengaruh

Jika ditotal, jumlahnya 26 persen, atau sekitar 10 persen dari orang yang menyatakan
menerima uang adalah wajar, lumrah.

Jadi, lanjut Saiful, dalam masyarakat nasional yang jumlahnya 204 juta tersebut, hanya 10
persen yang terpengaruh. Dalam artian, hanya 10 persen penerima uang akan memilih orang
yang memberi uang. Itu hanya 1 dari 10 kasus.

“Masalahnya adalah, jika ingin efektif dalam memberi uang dan berharap orang akan
memilih Anda, maka peluangnya adalah 1 dari 10. Masalahnya adalah dimana adanya orang
yang 1 itu diantara 10 warga itu,” urai Saiful dengan nada bertanya.

Jadi, lanjutnya lagi, betul politik uang ada pengaruhnya sebanyak 10 persen tapi Anda tidak
tahu persis 10 persen itu siapa dan berada di mana. Oleh karena itu, menjadi tidak mudah
membuat politik uang itu menjadi betul-betul efektif dan efisien.

“Misalnya, kalau hanya 1 dari 10, ya sudah saya mau kasih ke satu orang saja, kan itu tidak
mudah. Anda harus punya namanya dan alamat orang yang akan terpengaruh. Itu tidak
mudah mencarinya,” tandas Saiful.

Karena itu, Saiful berpandangan, pelaku politik yang akan menghambur-hamburkan uang
saja. “Untuk mendapatkan 1 suara Anda harus memberi 10 amplop. 10 amplop efektivitasnya
hanya 1. Itulah yang membuat Pemilu menjadi mahal,” tegas Prof Saiful.

Orang menerima dikasih uang tapi belum tentu memilih.


Lebih tegas lagi Saiful menyebut, pelaku politik uang seperti spekulan. Ia menyebarkan uang
tapi hanya mendapat satu (suara). “Karena itu politik uang jadi mahal, dan belum tentu
efektif. Bayangkan kalau semua calon melakukan hal yang sama,” ujarnya.

Guna menekan praktik politik uang ini, Saiful Mujani menyarankan agar pihak Bawaslu,
Pengawas, Aparat, dll, memperketat pengawasan.***

Sumber: https://ftnews.co.id/mediapemilu2024/potensi-politik-uang-di-pemilu-2024-smrc-
uang-diterima-tapi-tak-pilih-pemberinya/amp/

Anda mungkin juga menyukai