Anda di halaman 1dari 23

PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN MAKANAN SERTA PERMASALAHAANYA

CARA MENGATASI PERMASALAHAN YANG TIMBUL AKIBAT PENGOLAHAN


DAN PENGAWETAN MAKANAN DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Oleh:

Tri jiba (08330062)


Santi Eka (08330072)
Vivi Shofia (08330083)
Apsuci Dwi S (08330085)
Arif Widi (08330087)
Viky Hidayat (08330101)

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2009
CARA MENGATASI PERMASALAHAN YANG TIMBUL AKIBAT PENGOLAHAN
DAN PENGAWETAN MAKANAN DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang

Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang sangat penting dalam kehidupan
manusia. Pengolahan dan pengawetan bahan makanan memiliki interelasi terhadap
pemenuhan gizi masyarakat, maka tidak mengherankan jika semua negara baik negara maju
maupun berkembang selalu berusaha untuk menyediakan suplai pangan yang cukup, aman
dan bergizi. Salah satunya dengan melakukan berbagai cara pengolahan dan pengawetan
pangan yang dapat memberikan perlindungan terhadap bahan pangan yang akan dikonsumsi.

Seiring dengan kemajuan teknologi, manusia terus melakukan perubahan-perubahan


dalam hal pengolahan bahan makanan. Hal ini wajar sebab dengan semakin berkembangnya
teknologi kehidupan manusia semakin hari semakin sibuk sehinngga tidak mempunyai
banyak waktu untuk melakukan pengolahan bahan makanan yang hanya mengandalkan
bahan mentah yang kemudian diolah didapur. Dalam keadaaan demikian, makanan cepat saji
(instan) yang telah diolah dipabrik atau telah diawetkan banyak manfatnya bagi masyarakat
itu sendiri. Permasalahan atau petanyaan yang timbul kemudian adalah apakah proses
pengawetan, bahan pengawet yang ditambahkan atau produk pangan yang dihasilkan aman
dikonsumsi manusia?

Banyaknya kasus keracunan makanan yang terjadi dimasyarakat saat ini


mengindikasikan adanya kesalahan yang dilakukan masyarakat ataupun makaan dalam
mengolah dan mengawetkan bahan makanan yang dikonsumsi. Problematika mendasar
pengolahan makanan yang dilakukan masyarakat lebih disebabkan budaya pengelohan
pangan yang kurang berorientasi terhadap nilai gizi, serta keterbatasan pengetahuan sekaligus
desakan ekonomi sehingga masalah pemenuhan dan pengolahan bahan pangan terabaikan,
Industri makanan sebagai pelaku penyedia produk makanan seringkali melakukan tindakan
yang tidak terpuji dan hanya berorientasi profit oriented dalam menyediakan berbagai produk
di pasar sehinngga hal itu membuka peluang terjadinya penyalahgunaan bahan dalam
pengolahan bahan makanan untuk masyarakat diantaranya seperti kasus penggunaan berbagai
bahan tambahan makanan yang seharusnya tidak layak dikosumsi.

2
Kasus yang paling menyeruak dikalangan masyarakat baru-baru ini ialah penggunaan
formalin dan borak dibeberapa produk makanan pokok masyarakat dengan berbagai cara
untuk menambah rasa dan keawetan makanan tanpa memperdulikan efek bahan yang
digunankan terhadap kesehatan masyarakat, hal inilah yang mendorong diperlukannya
berbagai peraturan dari instansi terkait Agar dapat melindungi konsumen dari berbagai
masalah keamanan pangan dan industri pangan diindonesia. Selain Badan Pengawasan Obat
dan Makanan (BPOM) yang bernaung di bawah Departemen Kesehatan, pengawasan dan
pengendalian juga dilakukan oleh Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, dan
Departemen Perindustrian rekonstruksi budaya Selain itu diperlukan juga adanya
rekonstruksi budaya guna merubah kebiasaan dan memberikan pemaham kepada masyarakat
akan pentingnya gizi bagi keberlangsungan kehidupan

1.2 Rumusan Masalah


 Bagaimanakah cara pengolahan dan pengawetan makanan agar kebutuhan gizi sehari-
hari dapat terpenuhi
 Bagaimanakah cara mengatasi permasalahan yang timbul akibat pegolahan dan
pengawetan makanan bagi kesehatan

1.3 Tujuan
 Untuk mengetahui jenis-jenis pengolahan dan pengawetan makanan
 Untuk mengetahui apa saja permasalahan yang timbul dari pengolahan dan
pengawetan makanan

1.4 Manfaat
 Agar dapat membatasi konsumsi jenis makanan yang mengandung bahan pengawet
 Agar dapat mengolah dan mengawetkan makanan dengan baik sesuai dengan
kebutuhan gizi sehari-hari

3
2. Pembahasan

2.1 Pelakuan umum pada pengolahan makanan


Nilai gizi suatu bahan pangan di pengaruhi oleh tiap perlakuan yang diterima,
mulai dari pemetikan atau pemotongan hewan sampai saat bahan pangan itu siap
dikonsumsi. Beberapa cara pengolahan pangan yang sering mengakibatkan kerugian dan
penggunaan pangan yang tidak efisien dan efektif. Oleh sebab itu perlu adanya

4
pertimbangan yang perlu dilakuan seperti penggilingan dan penumbukan, penggosokan,
pencucian dan pembersihan.

2.1.1 Penggilingan dan penumbukan


Cara penggilingan serealia sering kali berfariasi dari tempat yang satu ke
tempat lainnya. Fariasi cara penggilingan ini akan menghasilkan kualitas bahan
pangan yang berbeda antara bahan satu dengan bahan lainnya. Pada proses yang
dilakukan dengan cara kurang hati-hati dapat terjadi hasil yang berkualitas rendah.
Hal ini dapat dilihat pada saat penggilingan padi menjadi beras dimana sebagian
beras menjadi pecahan kecil yang disebut menir, maka menir ini akan ikut terbuang
bersama dedak atau bekatul.
Demikian juga apabila dilakukan penggilingan dengan berlebihan akan
menghasilkan beras yang putih bersih. Beras yang putih bersih ini sangat merugikan
karena sumber zat gizi yang terdapat dalam lembaga dan kulit ari turut terbuang.
Namun beras yang demikian ini tahan lama bila disimpan dan disukai banyak orang.
Padi yang ditumbuk menjadi beras sebagian lembaga dan kulit ari masih
terikut pada beras, sehingga lembaga dan kulit ari yang bergizi sebagian besar dapat
dipertahankan. Namun demikian beras ini kurang putih dan tidak tahan lama.
Sebagai jalan tengah dapat digiling dengan cara setengah digiling (Half Millied
Rice).
Selanjutnya proses penggilingan beras menjadi tepung. Beras tumbuk atau
Half Milled Rice yang digiling menjadi tepung maka akan menghasilkan tepung
yang berkualitas tinggi, tetapi tidak tahan lama dalam penyimpanan. Sebaliknya
beras putih bersih yang digiling menjadi tepung akan menghasilkan tepung
berkualitas rendah, namun tahan lama bila disimpan dan disenangi orang, sehingga
sering dibuat bermacam-macam jajanan (kue).
Di daerah pedesaan, sering kali tepung dibuat dengan cara merendam terlebih
dahulu beras dalam air. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya kehilangan vitamin
yang larut dalam air dan perubahan sifat pati, sehingga tepung ini tidak dapat
disimpan terlalu lama. Akhir-akhir ini ada mesin penggiling tepung yang berada di
dalam pasar, sehingga memudahkan ibu-ibu rumah tangga untuk membuat tepung
beras.

5
Dalam melakukan penggilingan daging, air daging harus dicampur dengan
hasil gilingan, sebab air daging mengandung gizi dan menambah cita rasa.

2.1.2 Penggosokan
Beras pecah kulit yang digosok dengan mesin akan menghasilkan beras putih
dan bersih (Polished rice). Proses penggosokan ini sangat merugikan, karena bagian
bahan yang mengandung protein dan vitamin (lembaga dan kulit ari) turut terbuang.
Namun bahan pangan ini tahan lama bila disimpan dan disenangi orang. Sebelum
penggosokan, beras yang direbus setengah masak membuat thiamin keluar dan
lapisan luar beras masuk ke dalam endosperm yang berpati. Hal ini menimbulkan
sedikit kehilangan vitamin pada saat dilakukan penggosokan.

2.1.3 Pencucian dan pembersihan


Pencucian sebaiknya dilakukan sebelum bahan makanan digiling atau
dipotong/dicincang, hal ini dimaksudkan supaya bahan makanan tidak kehilangan zat
gizi karena ikut terbuang bersama air pencuci (Minarno,2008)

2.2 Cara pengolahan makanan serta permasalahannya

Pada umumnya orang memasak menggunakan media air atau minyak. Makin
lama suatu bahan di masak, makin banyak zat gizi yang hilang. Sebagian gambaran
dapat diambil contoh yaitu pengaruh memasak terhadap beras, sayur, dan daging. Tiga
golongan bahan makanan yang paling penting dan dikenal di Indonesia.

2.2.1 Memasak Nasi

Untuk memudahkan pengangkutan dan penyimpanan maka beras dimasukkan


dalam karung. Karung ini tidak selalu bersih, banyak dipakai sekali-kali.
Kemudian penjual eceran menjualnya di toko atau di pasar dalam keadaan terbuka
tanpa mengindahkan kemungkinan pengotoran oleh debu dan lain-lain. Justru
karena itulah beras seringkali kotor mengandung debu, batu-batu kecil dan
mungkin masih mengandung gabah serta dihinggapi serangga. Sebagian besar

6
beras seperti tersebut di atas biasanya dikonsumsi oleh kelas pekerja. Seringkali
butir-butir beras yang kotor itu dilapisi oleh serbuk sangat halus yang berasal dari
dedak. Serbuk ini memberikan kerugian, pertama mudah dipecah oleh bakteri-
bakteri yang menyebabkan bau asam pada beras tersebut, dan kedua ketika ditanak
serbuk ini dengan cepat berubah menjadi bersifat gelatin, menyebabkan butir-butir
beras itu saling melekat menjadi gumpalan lengket yang tidak disukai oleh para
konsumen. Mencuci yang terlalu lama, yang kadang-kadang tidak dilakukan oleh
mereka yang makan nasi kadang-kadang saja, mungkin membuang 80% atau lebih
vitamin-vitamin yang larut di dalam air, dari beras giling ringan, tetapi praktik
umumnya di antara mereka yang mempergunakan beras sebagai bahan makanan
pokok di dalam diet, ialah menghindari pencucian yang berlebih. Tetapi bila beras
itu kotor dan berdebu, haruslah dicuci bersih-bersih dan di sini kadar vitamin
sangat berkurang, salah satu kadar vitamin yang hilang adalah vitamin yang sangat
mudah larut dalam air.
Dengan demikian, pencucian beras sebelum dimasak sebetulnya merupakan
suatu tindakan yang merugikan derajat kehilangan thiamin dan vitamin-vitamin
lain yang larut di dalam air, bergantung pada cara mencuci dan pada waktu
memasaknya. Lama mencuci, keras tidaknya mengaduk dengan air, kondisi-
kondisi air tersebut, apakah air keras atau air lunak, derajat giling dari beras
tersebut dan suhu, kesemuanya memegang peranan.
Memasak nasi yang umum dan paling baik ialah meliwet sejumlah air yang
tepat saja dapat di serap seluruhnya oleh butir-butir beras, ketika mengembang
selama dimasak, jadi tidak ada air tersisa yang harus dibuang. Segala jenis beras
tidak dapat mengisap air yang sama banyaknya, tetapi ibu rumah tangga akan
segera mengetahui jumlah air yang diperlukan oleh suatu jenis beras tertentu yang
dia pergunakan berlebihan air ketika memasak nasi sebaiknya jangan
dipergunakan, kecuali air itu terus dipergunakan dalam masakan, seperti misalnya
sop atau masakan-masakan berair lainnya.
Memasak nasi yang lain dapat dilakukan dengan menggunakan drum.
Praktik-praktik yang merugikan tidak akan dilakukan berbagai institut, misalnya
rumah sakit, asrama, dan penjara, di mana beras harus dimasak dalam jumlah
besar dan karena itu dipergunakan drum-drum. Pada beberapa hal, drum tersebut

7
diselubungi dengan uap air yang dipanaskan pada suhu berlebihan, berasal dari
suatu ketel uap, dialirkan melalui selubung-selubung tersebut. Bahan makanan
mungkin dimasak terlalu cepat pada suhu yang relatif tinggi dengan cara cara ini,
dan penggunaan cara-cara ini diketahui diikuti oleh gangguan kesehatan para
penghuni institute, seperti yang tampak pada timbulnya berbagai tanda defisiensi
vitami n-vitamin. Suatu contoh dari suatu metode lain terjadi di dapur sebuah
rumah sakit di dalam suatu kota tropik yang besar. Di sini nasi ditempatkan di
dalam drum-drum, diguyur dengan air mendidihsebagai suatu cara mencuci yang
cepat, sebagian besar air pencuci itu dibuang dengan mengalirkannya dari dasar
masing-masing drum itu.
Selanjutnya cara yang lain yang dapat dilakukan yaitu dengan cara aron.
Prinsip memasak aron hampir sama dengan memasak nasi dengan drum, tetapi
bedanya pada nasi aron terlebih dahulu nasi diperlakukan seperti pada waktu
meliwet tetapi tidak sampai masak pada waktu selesai diliwet nasi dimasukkan ke
alat yang ditengah-tengahnya ada lubang-lubangnya sehingga nantinya nasi aron
dapat di masak terus dengan cara dikukus. Karena uap air dibawah tempat aron
kini memanasi aron yang tidak lagi terendam air. Cara ini sangat tidak dianjurkan.
Pada proses pertama sebagian besar zat makanan menjadi larut dan dapat
tertinggal di dalam air tersebut sehingga tidak termakan. Alat soblugan tadinya
merupakan perbaikan teknologi tetapi ternyata merugikan dari sudut gizi.
Mengaroni dan mengukus beras secara tradisional adalah lebih baik dari pad
soblugan.

2.2.2 Memasak Sayuran

Di beberapa daerah di indonesia sayuran di makan dalam keadaan mentah


sebagai lahap.kebiasaan makan seperti ini baik sekali, karena memberikan pada
menu sehari-hari sejumlah besar vitamin dan mineral. Tetapi ada biji-bijian yang
sebaiknya tidak dimakan mentah karena mengandung zat yang merugikan badan.
Sayuran yang telah dimasak berkurang kadar zat makananya, karena pengaruh
berbagai faktor selama memasak. Jumlah vitamin dan mineral yang dipertahankan
tergantung pada sifat yang dimiliki oleh zat-zat makanan itu sendiri serta cara

8
memasak yang dilakukan. Sebagian besar vitamin yang mudah rusak ialah yang
tergolong vitamin yang mudah rusak oleh panas, yang larut dalam air dan yang
mudah dioksidasikan sehingga berubah sifat. Dalam golongan ini yang paling
banyak menderita kerusakan ialah vitamin C.
Jumlah mineral yang dapat berkurang karena larut dalam air pemasak
terutama karena terdapat asam-asam organik yang mempermudah pelarutan
mineral itu.
Dengan singkat, faktor-faktor yang dapat merendahkan kadar nutrien di
dalam sayuran yang di masak ialah :
o Bila jumlah air perebus yang dipakai terlalu banyak.
o Bila air perebus ini kemudian bila dibuang setelah dipakai, dan tidak
terus dipergunakan sebagai bagian dari masakan.
o Bila sayuran akan direbus itu dipotong-potong dalam ukuran yang
kecil-kecil dan dibiarkan lama sebelum dimasak.
o Bila air perebus tidak dibiarkan mendidih dahulu sebelum sayuran
dimasukkan kedalamnya.
o Bila pada waktu merebus, panci dibiarkan terbuka.
o Dan bila dipergunakan panci atau lainnya yang terbuat dari logam
yang terbuat dari logam yang dapat mengkatalisa proses oksidasi
terhadap vitamin, misalnya alat-alat yang terbuat dari besi, tembaga,
dan lain-lain.
Sangat menarik hal sayuran yang dimasak dalam sedikit lemak (ditumis
misalnya), karena lemak ini dapat meninggikan suhu memasak, sehingga waktu yang
diperlukan untuk memasak menjadi lebih pendek. Berbagai vitamin yang mudah
rusak oleh suhu memasak, biasanya tidak larut dalam lemak dan lemak mungkin
dapat melindungi berbagai vitamin yang mudah dioksidasikan oleh zat asam.

2.2.3 Memasak Daging

Daging dapat dimasak dengan menggoreng, merebus atau dengan dipanggang.


Pada umumnya memasak daging tidak akan menimbulkan penurunan nilai gizi,
bahkan dengan memasaknya, daya cerna (digestibility) daging jauh lebih baik

9
dibandingkan dengan yang mentah. Ini disebabkan oleh berbagai proses yang
diakibatkan oleh suhu terhadap protein (denaturation and coagulation).
Suhu memasak dapat menyebabkan terbentuknya zat-zat dengan aroma yang
menarik selera, misalnya bau yang ditimbulkan oleh kaldu (boullion), daging
panggang dan sebagainya. Mungkin dengan memanggang daging dapat terjadi
penurunan kadar zat-zat makanan yang larut di dalam lemak itu. Lemak yang
mencair pada daging panggang biasanya turut terbakar di dalam arang dan terjadi
ikatan-ikatan organik yang merugikan tubuh (Budiyanto, 2004)

2.3 Cara pengawetan makanan

Usaha untuk mengawetkan bahan pangan tidak saja merupakan tindakan


ekonomis, tetapi juga merupakan tindakan ekonomis, tetapi juga merupakan tindakan
kesehatan. Yang perlu di perhatikan dalam pengawetan bahan pangan adalah nilai gizi
dan kualitas (rasa dan aroma) bahan pangan tidak banyak terpengaruh.
Ada beberapa cara pengawetan bahan pangan, di antaranya dengan cara
pendinginan dan pembekuan, CAS (Control Atmosphire Storage), Irradiasi, pemanasan,
pengeringan, pengasapan, fermentasi, serta pengawetan dengan menggunakan garam,
gula, asam dan bahan pengawet kimia

2.3.1 Pendinginan dan pembekuan

Pendinginan (0-100 C) dan pe mbekuan (< 00 C) digunakan sebagai salah satu


cara pengawetan bahan pangan karena pada suhu rendah, aktivitas mikroba dan enzim
dihambat. Penggunaan suhu rendah bukan merupakan proses pemusnahan mikroba,
karena sebagian mikroba yang bersifat psikrofilik masih dapat tumbuh pada suhu 00 C.
Oleh karena itu apabila bahan pangan tadi telah dikeluarkan dari lemari pendingin,
mikroba akan cepat tumbuh dan menyebabkan kerusakan, sehingga harus segera di olah
dan dikonsumsi
Masing-masing komoditi bahan pangan mempunyai toleransi yang berbeda
terhadap suhu rendah. Beberapa bahan pangan seperti buah-buahan akan rusak apabila

10
disimpan pada suhu yang terlalu rendah. Kerusakan akibat suhu rendah sering dikenal
sebagai ”cooling injury”.
Bahan pangan nabati seperti buah dan sayuran biasanya disimpan pada suhu
pendinginan, sedangkan bahan hasil hewani biasanya disimpan pada suhu pembekuan
kecuali telur, susu dan mentega. Telur dan susu yang disimpan pada suhu dibawah 0 0 C
akan menyebabkan pemisahan lemaknya sehingga sistem emulsi susu akan rusak.
Bahan hasil hewani lainnya seperti ikan, udang, daging dan sebagainya
mempunyai daya tahan sekitar 2-3 hari saja apabila disimpan pada suhu pendinginan.
Biasanya bahan pangan ini disimpan pada suhu sekitar -250C sampai -400 C (Quick
freezing/pembekuan cepat dalam Blast freezer atau dengan nitrogen cair). Pembekuan di
atas suhu ini sering disebut slow freezing (dalam lemari es rumah tangga) atau
pembekuan lambat akan menyebabkan penurunan kualitas apabila komoditi tersebut
disimpan terlalu lama, karena terbentuknya kristal-kristal es yang besar sehingga
menyebabkan pecahnya dinding sel. Selain itu pada saat terjadi thawing (pencairan)
bahan pangan yang dibekukan sebagian zat gizi yang terkandung terbawa oleh air
sehingga akan menurunkan nilai gizinya. Daging sapi yang disimpan pada suhu ± 5 0 C
tahan 3- hari, disimpan pada suhu -2 0C tahan 7-9 minggu.

2.3.2 CAS (Control Atmosphire Storage)

CAS (Control Atmosphire Storage) adalah sistem penyimpanan bahan


makanan dimana kondisi tempat penyimpanan diatur dengan ketat. Kondisi yang diatur
adalah temperatur, kelembapan serta perbandingan antara O 2 dan CO2 di dalam udara.
Sistem CAS dapat mempertahankan bahan pangan dalam bentuk aslinya, segar dan tidak
mengalami perubahan kadar air yang berarti, sehingga kenampakannya tetap seperti
semula.
Temperatur yang tinggi akan mempercepat proses metabolisme yang sangat
membutuhkan adanya oksigen, dengan pengaturan kadar CO 2 dan O2 dalam udara serta
adanya penurunan termperatur dan kelembapan maka kerusakannya akan diperlambat.
Terdapat sestem CAS yang dimodifikasi yang dikenal dengan nama MAS
(Modified Atmosphire Storage), contohnya adalah pisang yang disimpan dalam kantong
plastik. Kandungan oksigen dalam kantong plastik lama kelamaan akan habis

11
dipergunakan untuk respirasi dan dengan penambahan KmnO 4 (kalium permanganat)
untuk menyerap etilen yang dihasilkan, maka proses kemasakannya dapat dihambat.
Contoh yang lain adalah beras dalam kantong plastik yang dilakukan oleh BULOG.
Penggunaan sistem CAS membutuhkan biaya operasional yang sangat tinggi,
sehingga sistem ini hanya menguntungkan bagi komoditi yang mahal harganya, seperti
apel, mangga. Strawberri, anggur dan lain-lain.

2.3.3 Irradiasi

Irradiasi adalah penggunaan radiasi yang dihasilkan oleh isotop radioaktif


untuk proses sterilisasi dan inaktifasi enzim perusak pada bahan pangan. Pengawetan
dengan cara irradiasi ini harus dilakukan dengan teliti karena kelebihan dosis radiasi akan
membahayakan kesehatan manusia.
Energi yang dihasilkan oleh sinar-sinar yang mempunyai panjang gelombang
yang berbeda dengan sinar tampak (visible), ternyata dapat mematikan mikroba.
Pemakaian sinar yang lebih panjang gelombangnya seperti sinar infra merah (> 8000
Angstrom) sering kali dikenal sebagai radiasi panas, sedangkan sinar yang panjang
gelombangnya pendek (<4000 Angstrom) disebut radiasi pengion yang menghasilkan
sterilisai tanpa panas. Sinar ultraviolet, sinar alfa, beta maupun gama sebagai hasil radiasi
pengiun sering dipakai pada pengawetan bahan makanan karena tidak begitu
mempengaruhi nilai gizinya.
Seperti halnya CAS, sistem irradiasi membutuhkan biaya operasional awal yang
tinggi sehingga penggunaanya masih sangat terbatas, terutama dinegara negara yang
sudah maju seperti Amerika, Rusia, Israel, dan sebagainya diantaranya untuk
mengawetkan biji-bijian, daging, dan juga untuk mencegah proses perkecambahan pada
bawang dan kentang.
Satuan radiasi yang digunakan adalah rad, meskipun beberapa buku menggunakan rep
(roentgen equialent physical) , yaitu ukuran dari jumlah energi yang diserap, dimana 1
rad sama dengan 100 erg energi yang diserap oleh 1 gram bahan pengan. Dosis yang
sering dipakai dapat dilihat pada Tabel di Bawah ini.

12
Tabel Dosis Radiasi beberapa perlakuan
Perlakuan Dosis (K rad)
Sterilisasi 1000- 50 0
Pasteurisasi 50-1000
Desinfeksi serangga 5-100
Menghambat pertunasan 5-100

2.3.4 Pemanasan
Prinsip penggunaan panas dalam pengawetan bahan pangan adalah untuk
membunuh mikroba yang mengkontaminasi bahan pangan tersebut dan untuk
menginaktifkan enzim. Mikroba dalam bentuk vegetatifnya mati pada suhu diatas 80 0 C,
Karena protein mikroba enzim mengalami denaturasi. Sedang dalam bentuk sporanya
masih dapat bertahan hidup pada pemanasan 1000 C
Dalam proses pemanasan terdapat hubungan antara panas dengan waktu, yaitu
jika suhu yang digunakan tinggi, waktu yang diperlukan singkat (High Temperature Short
Time/HTST), sebaliknya jika suhu rendah maka waktu yang diperlukan untuk pemanasan
lama (Low Temperature Long Time/LTLT). Ada tiga cara pemanasan yang sering
dijumpai, yaitu :
- Sterilisasi, yaitu pemanasan pada suhu 1000 C atau lebih (1210 C) guna membunuh
semua mikroba patogen dan pembusuk selama 15-30 menit. Contoh sterilisasi adalah
pengalengan daging, ikan, sari buah dan sebagainya.
- Pasteurisasi,yaitu pemanasan sampai suhu 65-75 0C selama beberapa saat guna
membunuh bakteri patogen, tetapi tidak membunuh semua mikroba. Contoh pasteurisasi
yang sering dilakukan adalah air susu.
-Blanching, yaitu pemanasan pendahuluan dengan menggunakan medium air panas pada
suhu 82-93 0C selama 3-5 menit untuk menginaktifkan enzim.

2.3.5 Pengeringan

13
Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air suatu bahan pangan.
Penurunan kadar air bahan pangan ini akan memperpanjang daya simpan, karena jumlah
air yang besar dalam bahan pangan merupakan media yang baik bagi pertumbuhan
mikroba pembusuk dan kegiatan enzim. Pengeringan juga bertujuan untuk
mempermudah penanganan, transportasi penyimpanan produk dan lain-lain. Disamping
itu beberapa bahan pangan dapat digunakan dalam bentuk kering seperti teh,kopi, tepung
gula pasir dan sebagainya.
Pengeringan dapat dilakukan dengan cara alami (drying) dengan sinar
matahari/penjemuran maupun dengan alat pengeringan buatan (dehydration), seperti
cabinet drier, oven, vacum drier, spray drier dan sebagainya. Pengeringan buatan
mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan penjemuran karena suhu, aliran
udara dan kelembapan dapat diatur dan tidak tergantung pada cuaca. Kadar air akhir yang
dapat dicapai dengan pengeringan bahan berkisar 4-6% sedangkan dengan penjemuran 8-
12%.

2.3.6 Pengasapan

Pengasapan ikan atau daging disamping untuk memperpanjang daya simpan


juga untuk menambah cita rasa. Bahan pangan yang akan mempunyai warna kecoklatan,
rasa, dan aroma yang khas, karena melekatnya komponen asap pada permukaan bahan
pangan. Kombinasi antara komponen asap, panas dan pengeringan ini menyebabkan ikan
asam menjadi tahan simpan.
Asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu keras mengandung senyawa
aldehid seperti formaldehid, asetaldehid, asam-asam karboksilat (asam asetat, forminat
butirat), juga senyawa fenol, kresol dan lain-lain, yang kesemuanya ini dapat
menghambat aktivitas bakteri.

2.3.7 Fermentasi
Prinsip pengawetan pangan dengan cara fermentasi sebenarnya adalah
mengaktifkan pertumbuhan dan metabolisme mikroba pembentuk alkohol dan asam
lemak. Asam yang dihasilkan ini bekerja sebagai pangawet, disamping itu proses
fermentasi dapat menekan pertumbuhan mikroba patogen, proteolitik dan lipolitik.

14
Perubahan-perubahan yang terjadi pada fermentasi membawa pengaruh yang kecil
terhadap nilai gizi, sedankan fermentasi dengan cara peragian dapat meningkatkan
sejumlah vitamin B, seperti riboflavin, asam folat dan biotin.
Biasanya proses fermentasi memecah-mecah senyawa induk (bahan pangan
asal) yang sudah berupa gula, misalnya:
1. Fermentasi gula untuk menghasilkan etil alkohol dan karbondioksida melalui reaksi
berikut :

ragi
C6 H12O6 2CH3CH2OH + 2CO2
Glukosa enzim etil alkohol

Reaksi ini merupakan dasar dari pembuatan tape, brem, roti, bir, tuak, anggur minuman
dan lain sebagainya.
2. Fermentasi gula untuk menghasilkan alam laktat

ragi
C6 H12O6 2CHOHCOOH
Glukosa enzim asam laktat

Reaksi ini merupakan dasar atau timbul pada pembuatan keju, sauerkraut, pikel dengan
bahan utamanya adalah mentimun, kubis, bawang, bunga kol, sawi dan lain sebagainya
(Minarno, 2008)

2.3.8 Pengawetan Menggunakan Garam, Gula, Asam, dan Bahan Pengawet Kimia

Garam
Larutan garam yang pekat (60-70%) dapat menyebabkan sel mikroba mengalami
plasmolisis, yaitu keluarnya cairan plasma dari sel, sehingga pertumbuhan mikroba
terhambat. Contoh pengawetan ini adalah pembuatan ikan asin.
Pengawetan sayuran dengan kadar garam tinggi, dimana konsentrasi garam diatur (12-
16%) sedemikian rupa sehingga garam akan berperan sebagai penghambat selektif pada
mikroba pembusuk dan patogen, tetapi masih memberikan kesempatan pada mikroba
pembentuk asam laktat untuk berkembang biak. Bahan pangan utama yang digunakan
dalam pengawetan ini, yaitu kubis, bawang, bunga kol, sawi, mentimun dan lain

15
sebagainya. Khusus mentimun dengan penambahan 1% gula dapat meningkatkan
fermentasi asam laktat.

Gula
Pengawetan dengan larutan gula pekat pada prinsipnya sama dengan larutan garam pekat.
Biasanya kadar gula yang dikombinasikan dengan asam yang tinggi, kemudian ditambah
bahan pengawet kimia dan dipanaskan pada suhu pateurisasi merupakan pengawetan
buah-buahan. Kadar gula yang tinggi disertai dengan pemanasan dan sedikit asam dapat
dipergunakan untuk membuat jelly, jam/selai, marmalade dan lain sebagainya.
Disamping itu ada lagi pengawetan dengan kadar gula tinggi disertai dengan
pengeringan, yaitu pada pembuatan dendeng manis, manisan buah kering dan
sebagainya.

Asam
Pengawetan menggunakan asam berperan penting untuk menghambat pertumbuhan dan
perkembangan mikroba pembusuk dan patogen, tergantung dari tingkat pHnya. Pada
umumnya mikroba mati pada pH di bawah 4,0, sedangkan asam yang sering digunakan
sebagai pengawet adalah asam asetat, asam sirsat dan asam laktat dari hasil fermentasi.
Dalam pelaksanaanya penggunaan asam sering dikombinasikan dengan bahan pengawet
dan perlakuan lainnya.

Bahan Pengawet Kimia


Beberapa bahan kimia yang diperkenankan sebagai bahan pengawet makanan adalah
asam benzoat beserta garam-garamnya, asam sorbat beserta garam-garamnya, sulfur
dioksida beserta garam-garamnya, garam nitrit, garam nitrat dan lain sebagainya.
Pada umumnya benzoat digunakan untuk mengawetkan buah dan produk-produk dari
buah, sedang sorbat digunakan untuk mengawetkan keju, roti dan lain sebagainya. Untuk
pengawetan daging digunakan garam-garam nitrit atau nitrat.

2.4 Pengolahan makanan dengan tujuan pengawetan

16
Prinsip pengawetan bahan makanan didasarkan atas bagaimana caranya
memanipulasikan faktor-faktor lingkungan bahan makanan yang dimaksud. Sebagai
contoh mikroba membutuhkan suhu optik untuk pertumbuhannya. Suhu yang lebih tinggi
merusak pertumbuhannya, sedangkan suhu yang lebih rendah sangat menghambat
metabolisme.
Metabolisme mikroba memerlukan banyak air bebas, penghilangan air yang
secara biologis aktif dengan perlakuan pengeringan atau dehidrasi menghentikan
pertumbuhan mikroba. Perlakuan ini juga menurunkan aktivitas enzim dan reaksi-reaksi
kimia. Proses ketengikan lipid akan menurun apabila air struktural yang melindungi
dibiarkan tetap seperti semula. Pengaruh penguapan air terhadap perubahan zat gizi
dalam proses pengeringan relatif kecil kalau suhu pengeringannya sedang dan bahan
makanan dikemas cukup baik. Pengeringan beku (Freeze dehidration) yaitu pengeringan
dengan cara sublimasi dalam rungan vakum pada suhu rendah, memberikan keuntungan
lebih besar dari pada pengeringan suhu tinggi ditinjau dari sudut pengawetan zat gizi.
Pengaruh utama perlakuan panas adalah denaturasi protein seperti inaktivasi
mikroba dan enzim-enzim lain. Pasteurisasi membebaskan bahan makanan terhadap
patogen dan sebagian besar sel vegetatif mikroba, sedangkan sterilisasi dapat
didefinisikan sebagai proses mematikan semua mikroba yang hidup. Sterilisasi dengan
panas merupakan proses pengawetan makanan yang paling efektif namun mempunyai
pengaruh yang merugikan terhadap zat gizi yang labil, terutama vitamin-vitamin, dan
menurunnya nilai gizi protein terutama melalui reaksi mallard.
Pengawetan suhu rendah, terutama pengawetan dengan suhu beku ditinjau dari
banyak segi merupakan cara pengawetan bahan makanan yang paling tidak merugikan.
Suhu rendah menghambat pertumbuhan mikroba dan memperlambat laju reaksi kimia
dan enzim. Aktivitas enzim dalam daging dapat dikatakan berhenti dalam penyimpanan
suhu beku sedangkan untuk penyimpanan bahan makanan asal sebelum pembekuan perlu
dikukus terlebih dahulu untuk mencegah perubahan kualitas yang tidak diinginkan. Susut
kandungan vitamin minimal bila dibandingkan dengan cara pengawetan lain. Penyebab
utama kerusakan kualitas secara keseluruhan terjadi terutama karena kondisi yang kurang
menguntungkan pada proses pembekuan, pengeringan dan pelelehan kristal es (thawing).
Kerusakan bahan makanan yang derajat keasamannya rendah secara relatif
berjalan cepat. Pertumbuhan organisme penyebab kerusakan bahan makanan sangat

17
terhambat dalam lingkungan yang keasamannya tinggi. Salah satu cara pengawetan
bahan makanan adalah menurunkan pH bahan makanan tersebut dengan cara fermentasi
anaerob senyawa karbohidrat menjadi asam laktat. Keasaman beberapa bahan makanan
dapat kinaikkan dengan menambahkan asam seperti cuka atau asam sitrat oleh proses
fermentasi kecil. Dalam beberapa hal kandungan gizi makanan dapat ditingkatkan
terutama melalui sintesis vitamin dan protein oleh mikroba.
Aditif berupa zat kimia mempunyai daya pengawet terhadap bahan makanan
karena menyediakan lingkungan yang menghambat pertumbuhan mikroba, reaksi
enzimatis dan kimia. Pengolahan demikian termasuk pola penggunaan agensia kiuring
(Curing agent) dan pegasapan produk daging, pengawetan kadar gula tinggi untuk
sayuran dan buah-buahan serta perlakuan dengan berbagai macam zat kimia aditif.
Pengaruh cara ini terhadap zat gizi bervariasi namun pada umumnya kecil.
Irradiasi sering juga disebut proses pasteurisasi dingin atau sterilisasi dingin
merupakan cara pengawetan bahan makanan paling mutakhir. Sekarang cara ini dalam
praktik tidak banyak digunakan. FDA menggolongkan sebagai aditif makanan karena
iradiasi dengan energi tinggi menghasilkan senyawa-senyawa baru dalam bahan makanan
yang telah diradiasi melalui pembentukan radikal bebas yang sangat reaktif. Mekanisme
radikal bebas tidak hanya mematikan mikroba tetapi juga sangat merusak gizi terutama
vitamin. Kelemahan lain cara ini adalah perubahan yang cukup besar dalam cita rasanya.
Dosis sterilisasinya biasanya tidak menginaktifkan enzim sehingga enzimnya perlu
diinaktifkan dengan penggunaan panas.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam usaha mempertinggi ketahanan
nilai gizi harus termasuk pertimbangan lebih lanjut teknologi bahan makanan, berbagai
aspek penyimpanan bahan makanan dan distribusinya sistem institusional bahan
makanan, dan yang terakhir penyiapan bahan makanan di rumah.

Banyaknya kasus keracunan makanan yang terjadi dimasyarakat saat ini mengindikasikan
adanya kesalahan yang dilakukan masyarakat dalam mengolah dan mengawetkan bahan
makanan yang dikonsumsi. Rasulullah bersabda: “Tidak boleh (menimbulkan) bahaya
dan juga tidak boleh membahayakan (orang lain).”(Riwayat Ibnu Majah, Kitab Al-
Ahkam 2340).

18
2.5 Cara mengatasi permasalahan yang timbul akibat pengolahan dan pengawetan
makanan dalam kehidupan sehari-hari
Dalam pengolahan dan pengawetan makanan untuk mencegah hilangnya atau
berkurangnya kandungan gizi dan berubahnya tekstur , rasa, warna dan bau
dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Menggunakan teknik pengolahan dan pengawetan yang berorientasi gizi
a) Memasak nasi
Kehilangan thiamin pada nasi dapat dilakukan dengan cara yaitu sebelum dimasak
hendaknya pencucian yang dilakukan jangan di ulang-ulang cukup 2 kali saja dan cara
memasaknya dengan meliwet.
b) Memasak sayuran
1. sebelum dimasak sayuran jangan dipotong kecil-kecil sebab luas permukaan
yang meningkat akan menyebabkan nilai gizi yang hilang juga banyak.
2. Gunakan air secukupnya
3. Biarkan air yang akan digunakan untuk merebus mendidih terlebih dahulu
sebelum sayuran dimasukkan.
4. Panci yang digunakan untuk memasak halus ditutup.
5. Jangan menggunakan panci atau alat lainnya yang terbuat dari logam dan
yang dapat mengkatalisa proses oksidasi terhadap vitamin.
6. Gunakan air rebusan sebagai kuah.
7. Pengawetan sayuran dengan cara pendinginan harus memperhatikan suhu
optimum sayuran yang dimaksud agar tidak terjadi pembusukan karena
aktivitas mikroorganisme dan lain-lain.
Contoh :
Kol pada suhu 00C, buncis 7,5-100C, tepung 7-100C, wortel 0,1,50C.

c) Ikan/Daging
1. Pink spoilage dapat dicegah dengan menggunakan larutan sodium
hypochlorite atau bahan lain yang serupa, dengan dosis tidak lebih dari 500
ppm.

19
2. Cash hardening dapat di cegah dengan cara membuat suhu pengeringan tidak
terlalu tinggi, atau proses pengeringan awal tidak terlalu cepat.
3. Freezer burn dapat di cegah dengan cara membungkus daging yang di
maksud.
d) Buah
Pada pendinginan buah maka untuk mencegah kehilangan air atau memberi kilap
maka kulit buah dilapisi dengan malam atau parafin atau campuran malam dengan
parafin.
e) Susu
Pada susu pesteurisasi yang dilakukan menggunakan suhu < 60 0 C sedangkan untuk
tujuan pembuatan es krim menggunakan suhu 71,1 0 C selama 30 menit atau 82,20 C
selama 16-20 detik (Budiyanto,2004)

Dalam Al-Qur’an pun dijelaskan bahwa makanan yang layak dimakan adalah makanan
yang baik:“wahai orang-orang yang beriman makanlah dari rezeki yang baik yang Kami
berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu menyembah kepada Nya”
(Al Baqarah 172).

2. Suplemen bahan gizi


Pada dasarnya kehilangan bahan gizi seperti lemak, asam amino, vitamin dan mineral
selama proses pengolahan sudah bisa di tekan seminimal mungkin jika menggunakan
teknik pengolahan yang berorientasi gizi. Kebutuhan tubuh akan bahan gizi yang tidak
dapat dipenuhi dari bahan yang kita konsumsi dapat ditambah dengan mengkonsumsi
bahan lain yang mengandung zat yang kita butuhkan. Salah satu cara yaitu dengan
mengkonsumsi makanan yang masih segar, sayuran dan lain-lain. Dengan mengkonsumsi
buah-buahan segar dan sayuran secara langsung maka kebutuhan dapat teratasi karena
dalam buah-buahan dan sayuran segar tersebut sudah terdapat zat gizi seperti lemak,
protein, vitamin dan mineral.
3. Menggunakan food aditif
a) Cita rasa bahan pangan terdiri dari tiga komponen bau, rasa, dan rangsangan mulut.
Untuk membangkitkan tiga komponen ini maka dalam lahan pangan biasanya dalam
proses pengolahannya ditambahkan cita rasa tiruan (sintetik), misalnya amil asetat

20
menyerupai aroma pisang, vanilin memberikan aroma serupa dengan ekstrat vanili, dan
amil kaproat mempunyai aroma apel dan nanas. Sedangkan untuk membangkitkan cita
rasa yang umum digunakan adalah asam amino L atau garamnya, misalnya monosodium
glutamat (MSG) dan jenis nukleotida seperti IMP dan GMP.
b) Pewarna
Dalam proses pengolahan bahan pangan kadang kala terdapat kecenderungan
penyalahgunaan pemakaian zat pewarna untuk sembarang bahan pangan misalnya zat
pewarna untuk tekstil dan kulit dipakai untuk mewarnai bahan makanan. Hal ini jelas
sangat berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu logam berat pada zat pewarna
tersebut..

c) Penstabil

Proses pengolahan, pemanasan, atau pembekuan dapat melunakkan jaringan sel tanaman
sehingga produk yang diperoleh mempunyai tekstur yang lunak. Untuk memperoleh
tekstur yang keras, dapat ditambahkan garam Ca (0,1-0,25% sebagai ion Ca). Ion kalsium
akan berikatan dengan pektin membentuk Ca-pektinat atau Ca-pektat yang tidak larut.
Pada umumnya untuk maksud tersebut digunakan garam-garam Ca seperti CaCl 2, Ca-
sitrat, CaSO4, Calaktat, dan Ca-monofosfat. Hanya sayangnya garam-garam kalsium ini
kelarutannya rendah dan rasanya pahit (Budiyanto, 2004)

3. Penutup
3.1 Kesimpulan
Dalam mengatasi permasalahan yang timbul akibat pengolahan dan
pengawetan makanan dalam kehidupan sehari-hari terdapat beberapa cara, yaitu
menggunakan teknik pengolahan dan pengawetan yang berorientasi gizi, suplemen bahan
gizi serta menggunakan food aditif.

21
DAFTAR PUSTAKA

Budiyanto, Agus Krisno. 2004. Dasar-dasar Ilmu Gizi. UMM Press. Malang
Minarno, Eko Budi. 2008. Gizi Dan Kesehatan. UIN-Malang Press. Malang
Http//www.scribed.com/doc/3116484/waspadai-bahan-kimia-dalam-makanan 2 April 2008

22
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................... 2
1.3 Tujuan........................................................................................................ 2
1.4 Manfaat...................................................................................................... 3
2. PEMBAHASAN
2.1 Pelakuan umum pada pengolahan makanan............................................. 4
2.1.1 Penggilingan dan penumbukan....................................................... 4
2.1.2 Penggosokan................................................................................... 5
2.1.3 Pencucian dan pembersihan............................................................ 5
2.2 Cara pengolahan makanan serta permasalahannya................................... 5
2.2.1 Memasak Nasi............................................................................... 6
2.2.2 Memasak Sayuran......................................................................... 8
2.2.3 Memasak Daging.......................................................................... 9
2.3 Cara pengawetan makanan....................................................................... 10
2.3.1 Pendinginan dan pembekuan........................................................... 10
2.3.2 CAS (Control Atmosphire Storage)................................................ 11
2.3.3 Irradiasi........................................................................................... 12
2.3.4 Pemanasan...................................................................................... 13
2.3.5 Pengeringan..................................................................................... 13
2.3.6 Pengasapan...................................................................................... 14
2.3.7 Fermentasi....................................................................................... 14
2.3.8 Pengawetan Menggunakan Garam, Gula, Asam, dan Bahan Pengawet Kimia
........................................................................................................ 15
2.4 Pengolahan makanan dengan tujuan pengawetan..................................... 16
2.5 Cara mengatasi permasalahan yang timbul akibat pengolahan dan pengawetan
makanan dalam kehidupan sehari-hari..................................................... 19
3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 23

ii 23

Anda mungkin juga menyukai