1658731147-Implementasi Paludikultur Dan Agroforestry Di Lahan Gambut
1658731147-Implementasi Paludikultur Dan Agroforestry Di Lahan Gambut
OLEH:
Dr. DARWO
Dr. MADE HESTI L. TATA
Dr. IKA HERIANSYAH
Dr. I. ADI NUGROHO
Ir. RINA BOGIDARMANTI, M.Si.
Ir. TIGOR BUTARBUTAR, M.Sc.
DHANY YULIANTI, S.Hut.
MAWAZIN, S.Si.
KERJASAMA ANTARA
BADAN RESTORASI GAMBUT
DENGAN
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN,
BADAN LITBANG DAN INOVASI-KLHK
BOGOR, 2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT bahwa Laporan Hasil
Kegiatan Pilot Project Implemantasi Paludikultur dan Agroforestry telah
selesai dibuat.
Dalam rangka mendukung suksesnya restorasi gambut, Badan
Restorasi Gambut bekerja sama dengan Pusat Litbang Hutan, BLI-KLHK
telah melakukan pembangunan demplot pilot project Implementasi
Paludikultur dan Agroforeatry di Lahan Gambut. Hasil kegiatan ini
diharapkan menjadi show window IPTEK dan dapat direplikasi untuk
penyempurnaan implementasi restorasi gambut.
Laporan hasil kegiatan ini merupakan hasil kegiatan tahun pertama
sehingga kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh masih memerlukan
pengamatan dan kajian lebih lanjut.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Kepala Badan Restorasi Gambut yang telah memberikan dana untuk
kegiatan Pilot Project Implementasi Paludikultur dan Agroforeatry di
Lahan Gambut.
2. Kepala Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan atas dukungan dalam pelaksanaan kegiatan.
3. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembang Hutan yang telah
memberikan masukan, arahan dan kepercayaan kepada kami dalam
pelaksanaan kegiatan.
4. Kepala Pokja Kedeputian Litbang Badan Restorasi Gambut beserta staf
yang telah membantu kelancaran kegiatan.
5. Kepada Kepala UPTD KPHL Sungai Bram Itam yang telah memberikan
ijin sebagai tempat kajian dan pembangunan demplot.
6. Kepala Bidang Kerjasama dan Desiminasi beserta staf yang telah
membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan.
7. Semua pihak yang telah membantu kelancaran kegiatan.
Sangat disadari bahwa laporan ini belum sempurna, untuk itu kami
dengan senang hati menerima masukan guna penyempurnaan laporan
dan semoga laporan ini bermanfaat.
Pelaksana Kegiatan,
DAFTAR ISI i
DAFTAR TABEL ii
DAFTAR GAMBAR iii
I. PENDAHULUAN ................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................... 3
C. State of the Art Pilot Project ............................................. 5
D. Tujuan dan Sasaran .......................................................... 6
E. Luaran ............................................................................ 6
F. Manfaat ........................................................................... 7
KERJASAMA ANTARA
BADAN RESTORASI GAMBUT
DENGAN
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN
TAHUN 2017
HASIL KEGIATAN
PILOT PROJECT IMPLEMENTASI PALUDIKULTUR DAN
AGROFORESTRY DI LAHAN GAMBUT
MENGETAHUI,
MENYETUJUI:
PEJABAT PEMBUAT KOMITMEN
KEDEPUTIAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BRG
A. Latar Belakang
1
Disadari bahwa riset tentang restorasi telah dilakukan oleh beberapa
pihak dan hasil-hasilnya telah tersedia, namun kajian penerapan hasil
Litbang yang terangkai untuk tujuan tertentu dan terintegrasi
pelaksanaannya tetap diperlukan. Dukungan Litbang untuk input teknologi
paludikultur dan agroforestry sangat penting berupa: a) Paludikultur
mengacu pada Pedoman Pemulihan Ekosistem Gambut (2015),
menyebutkan bahwa rehabilitasi vegetasi di lahan gambut sebaiknya
menggunakan tanaman rawa endemik yang tidak memerlukan drainase
(dikenal dengan sebutan paludikultur) dan sangat direkomendasikan di
zona fungsi lindung gambut; b) Untuk konsep agroforestry mengacu pada
Pedoman Pemulihan Ekosistem Gambut (2015) tersebut menyebutkan
bahwa pada zona budidaya, optimasi lahan dilakukan dengan
memperbanyak keragaman jenis yang memiliki nilai sosial, ekonomi dan
ekologi yang baik. Pola-pola agroforestri berbasis jenis lokal, kombinasi
tanaman berkayu, tanaman semusim dengan peternakan, perikanan (beje
adalah teknik budidaya ikan tradisional Dayak). Kunci keberhasilan
budidaya tanaman dengan sistem agroforestri di lahan gambut adalah
bertani secara bijak mengikuti faktor-faktor pembatasnya dengan
memperhatikan aspek minimal kering tak balik (irreversible drying) dan
minimal penurunan permukaan gambut (subsidence) (Pedoman Pemulihan
ekosistem Gambut, 2015). Pembangunan pilot project ini merupakan plot
demontrasi yaitu penerapan hasil IPTEK yang dirajut menjadi suatu upaya
restorasi yang terintegrasi. Penerapan hasil IPTEK tersebut telah
memperoleh catatan teknis yang perlu menjadi acuan bila kegiatan
tersebut direplikasi di tempat lain. Kegiatan pembangunan demplot
paludikultur dan agroforestry ini akan melibatkan secara aktif kelompok-
kelompok yang terkait langsung, sehingga kegiatan restorasi gambut
dapat diinternalisasikan.
Pilot project ini akan dilakukan di Provinsi Jambi. Alasan pemilihan
lokasi adalah karena a) Lokasi lahan gambut tersebut menjadi prioritas
untuk direstorasi; b) Karakteristik lahan gambut tersebut bisa mewakili
2
kegiatan paludikultur dengan mengembangkan jenis-jenis pohon unggulan
lokal di lahan gambut, dan c) Penerapan pola tanam agroforestry dengan
mengkombinasikan jenis-jenis pohon unggulan lokal dengan tanaman
pertanian yang cocok di lahan gambut. Dari hasil penelitian silvikultur
jenis-jenis yang sesuai untuk dikembangkan di lahan gambut di
antaranya: gerunggang (Cratoxylum arborescens), bintangur (Calophyllum
soulattri) (Bogidarmanti et al., 2015; Darwo & Bogidarmanti, 2016a),
jelutung rawa (Dyera lowii) (Tata et al., 2015;; Bastoni, 2014; Harun,
2013), balangeran (Shorea balangeran) (Atmoko, 2011; Darwo &
Bogidarmanti, 2016b), gelam (Melaleuca sp.) (Prayitno & Bakri, 2014) dan
jenis-jenis lainnya.
Pilot project ini diharapkan mampu menjadi model pengelolaan
ekosistem gambut yang dapat mengembalikan kondisi biofisik, fungsi
ekologis, fungsi ekonomi dan sosial dari ekosistem gambut dengan
mempertimbangkan manfaat ekonomi, ekologi dan sosial masyarakat
sekitar. Model pengelolaan dengan membangun demplot paludikultur dan
agroforestry menjadi jendela pembelajaran dan transfer pengetahuan baik
untuk produktivitas lahan maupun untuk fungsi hidro-orologis dan juga
menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar hutan. Oleh
karena itu, keberlanjutan pilot project ini membutuhkan pelibatan
masyarakat dan stakeholder dengan memperhatikan kearifan lokal
masyarakat dalam pengelolaan lahan gambut.
B. Rumusan Masalah
4
Lansekap gambut belum mampu
menjamin manfaat ekonomi, ekologi
Dampak
dan sosial secara berkelanjutan
Penyebab
5
tahun yang lalu (Schultz et al., 2015). Selain itu, terjadinya kebakaran
pada lahan gambut menunjukan kontribusi lebih tinggi pada bahan bakar
yang berasal dari serasah daun, bahan terdekomposisi dan tumbuhan
hidup yang terdapat di permukaan gambut di Australia (Possel et al.,
2015). Oleh sebab itu state of the art pembangunan pilot project
paludikultur dan demplot agroforestry ini diharapkan memberikan
kebaruan dalam membuat suatu kebijakan untuk pengelolaan lahan
gambut berkelanjutan yang tidak mudah terbakar, memberikan dampak
sosial dan ekonomi yang lebih tinggi pada masyarakat yang tinggal di
dalamnya serta didukung oleh semua pihak.
E. Luaran
6
E. Manfaat
Manfaat dari pilot project ini adalah:
1. Perbaikan tutupan hutan dan pencegahan kebakaran pada kawasan
ekosistem gambut.
2. Pembangunan pilot project paludikultur dan agroforestry dengan
pelibatan masyarakat dalam pengelolaan lahan gambut secara
berkelajutan yang dapat memberikan manfaat langsung peningkatan
produktivitas lahan dan perbaikan pendapatan berbasis lingkungan
hidup dan peningkatan taraf hidup masyarakat.
3. Berkontribusi pada penyebaran ketahanan iklim melalui peningkatan
stok karbon.
7
II. METODOLOGI
A. Lokasi
Pilot project ini dilakukan di salah satu areal prioritas untuk
direstorasi di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Lebih
tepatnya demplot dibangun di KPHL Sungai Bram Itam dalam KHG Baung
Batara (Gambar 2). Total luas demplot yang dibangun 10,5 hektar yaitu
di lokasi 1 seluas 7,5 hektar, lokasi 2 seluas 2 hektar dan lokasi 3 seluas 1
hektar. Secara administrasi pemerintahan ketiga lokasi tersebut berada di
Desa Bram Itam Raya, Kecamatan Bram Itam, Kabupaten Tanjung Jabung
Barat, Provinsi Jambi.
8
B. Prosedur Kerja
9
adaptif di lahan gambut, seperti jelutung rawa, Shorea balangeran,
pinang dan lain-lain.
3. Penyiapan dan desain lahan.
Penyiapan lahan meliputi pemberisihan lahan, pembuatan jalur tanam,
lubang tanam, pengangkutan bibit, penanaman, dan pengajiran. Jarak
tanam di demplot paludikultur dan agroforestry menggunakan jarak
tanam 3 m x 3 m.
4. Pembangunan demplot seluas 10,5 hektar, yaitu demplot kegiatan
paludikultur dan penerapan pola tanam agroforestry dengan jenis-jenis
tanaman pertanian yang cocok di lahan gambut. Pola tanam
agroforestry (jelutung rawa/balangeran/jenis lain dengan tanaman
pinang/kopi liberika). Pembangunan demplot tersebut telah
memperhatikan tata kelola muka air tanah yang diperbolehkan (≤ 40
cm) dengan cara pengaturan sekat kanal yang ditujukan untuk
membuang kelebihan air saat musim hujan, dan mengendalikan muka
air tanah agar dapat mencapai kondisi optimum bagi pertumbuhan
tanaman.
5. Untuk menambah pendapatan dan insentif kepada masyarakat yang
terlibat aktiif dalam pembangunan dan menjaga demplot telah
membuat usaha ternak kambing sistem kandang. Konsep kontrak
kerjasama pembangunan dan pemeliharaan demplot dengan insentif
kambing menggunakan sistem perjanjian yang ditandatangani oleh
kedua belah pihak, yaitu pelaksana kegiatan dan kelompok tani
penerima yang bertugas menjaga kelangsungan demplot paludikultur di
lapangan. Dalam perjanjian tersebut disaksikan oleh Kepala Desa dan
penanggung jawab dari kelompok tani tersebut. Isi perjanjian antara
lain bahwa pihak penerima insentif berkewajiban menjaga demplot
agroforestry dan mengembangkan jumlah kambing yang diterimanya di
dalam kelompok dengan sistem bergulir. Manfaat lain yang bisa
diperoleh dari sistem ini adalah untuk mengurangi kesempatan petani
mengokupasi kawasan lindung gambut semakin luas lagi karena pada
10
saat ini luasan kawasan lindung gambut yang sudah diokupasi
masyarakat sekitar 5.000 hektar.
6. Kegiatan survey sosial ekonomi melalui wawancara, pengumpulan
baseline sosial ekonomi dan FGD. Kajian sosek ini bertujuan untuk
menggali informasi mengenai aspek sosial ekonomi yang
memanfaatkan gambut dalam hal; (1) motivasi dan persepsi para
pihak dalam pemanfaatan gambut, (2) kepentingan dan pengaruh para
pihak dalam pemanfaatan gambut, (3) faktor-faktor pendapatan
cadangan yang diperoleh para pihak dari pengelolaan lahan gambut.
(4) keterlibatan masyarakat secara aktif dalam pengelolaan lahan
gambut.
a. Kegiatan wawancara yang dilakukan adalah proses perencanaan
pengelolaan lahan gambut secara partisipatif dengan melibatkan
masyarakat lokal. Proses ini dapat dicapai dengan melakukan
wawancara informan kunci, survey sosial ekonomi rumah tangga
dan desa serta Focus Group Discussion (FGD). Kegiatan-kegiatan
wawancara informan kunci yaitu para pihak yang memiliki hubungan
langsung maupun tak langsung dengan restorasi gambut melalui
pembangunan pilot seperti ketua kelompok tani, Kepala KPH dan
lain-lain, survey sosial ekonomi rumah tangga dan desa serta FGD
menyediakan cara untuk memperoleh pemahaman menyeluruh
tentang hubungan masyarakat lokal dengan pengelolaan sumber
daya alam seperti dalam pengelolaan hutan gambut melalui
paludikultur dan agroforestry.
Wawancara dengan informan kunci merupakan langkah awal yang
dapat dilakukan oleh tim survey sosial ekonomi untuk menggali
informasi atau isu-isu penting. Informan kunci memberikan
informasi-informasi kunci kepada tim survey sosial ekonomi terkait
isu yang ingin digali dalam pemanfaatan lahan gambut oleh
masyarakat. Informan kunci adalah para tokoh masyarakat, kepala
pemerintahan, kepala desa. Tujuan kegiatan wawancara dengan
11
informan kunci adalah untuk mendapatkan data dan informasi
tentang isu-isu penting terkait kearifan lokal praktek-praktek
paludikultur dan agroforestry di lahan gambut serta memberikan
pemahaman mendasar mengenai kondisi sosial dan ekonomi
masyarakat menggunakan perspektif tokoh kunci. Kegiatan ini
dilakukan melalui metode indepth interview yaitu metode penelitian
dengan menggunakan pertanyaan terbuka dan rinci (mendalam)
mengenai isu yang akan dikaji dari para informan kunci (key
person). Responden dipilih secara purposive, yaitu responden dipilih
berdasarkan peran kunci dalam masing-masing para pihak.
Informan kunci adalah para kepala instansi, kepala desa, dan ketua
kelompok tani yang mengetahui kondisi desa serta memiliki
pengalaman dan pengetahuan mengenai pengelolaan lahan gambut.
Data hasil wawancara dan observasi diolah dan dianalisis
menggunakan analisis deskriptif.
b. Pengumpulan baseline sosial ekonomi dengan kegiatan survey sosek
merupakan langkah selanjutnya yang menyediakan cara untuk
mendapatkan pemahaman menyeluruh tentang hubungan
masyarakat lokal dengan sumberdaya yang relevan sekaligus
menjadi baseline data sosial ekonomi di tingkat desa. Survey sosial
ekonomi digunakan untuk mengumpulkan data kuantitatif dan
kualitatif melalui wawancara semi terstruktur. Tujuan kegiatan
pengumpulan survey baseline sosial ekonomi adalah untuk
mendapatkan data dan informasi tentang:
(1) Karakteristik masyarakat lokal di hutan gambut
(2) Kondisi lingkungan sosial dan ekonomi masyarakat lokal di
hutan gambut
(3) Kondisi mata pencaharian masyarakat lokal di hutan gambut
(4) Kondisi pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan (baik kayu
dan HHBK) oleh masyarakat.
12
(5) Data dan informasi jenis-jenis potensial lokal yang dapat
dikembangkan dalam paludikultur dan agroforestry.
Pendekatan kegiatan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan
dukungan pendekatan kualitatif. Metode penelitian kuantitatif yang
digunakan adalah metode survey, yaitu menggunakan kuesioner
sebagai instrumen utama dalam pengumpulan data. Pengumpulan
data dalam kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan beberapa
teknik yaitu: (a) pengamatan secara langsung melalui observasi
lapangan; (b) wawancara langsung dengan menggunakan
kuesioner yang telah disusun. Pengumpulan data dilakukan melalui
studi pustaka, wawancara dan observasi. Jenis data yang
dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui observasi dan wawancara langsung
dengan responden dan pengisian kuesioner.
Teknik pemilihan responden berdasarkan purposive random
sampling, yaitu responden dipilih berdasarkan tujuan tertentu,
seperti masyarakat lokal atau petani hutan. Responden yang diteliti
adalah kepala rumah tangga. Responden yang diwawancarai dipilih
secara acak sederhana dari masing masing kelompok atau dusun.
Untuk kegiatan wawancara dan pengumpulan data, dilakukan
dengan mengunjungi responden baik di tempat tinggal maupun
di lahan. Data hasil wawancara dan observasi penelitian diolah dan
dianalisis menggunakan analisis deskriptif, yaitu suatu analisis yang
memberikan penjelasan, keterangan dan gambaran tentang obyek
penelitian.
c. FGD (Focus Group Discussion). FGD bertujuan untuk mengumpulkan
informasi yang lebih dalam tentang konsep, persepsi, dan ide-ide
suatu kelompok tani. Idealnya suatu FGD adalah lebih dari sekedar
proses interaksi bertanya dan menjawab. Kegiatan ini membutuhkan
seorang fasilitator untuk memandu anggota kelompok dalam
mendiskusikan topik yang dibutuhkan. Peserta FGD adalah para
13
pihak terkait dengan pengelolaan lahan gambut bersama
mayarakat.
d. Mengukur sejauh mana motivasi dan persepsi para pihak dalam
pemanfaatan lahan gambut. Indentifikasi dilakukan kepada para
pihak yang telah diwawancarai melalui FGD. Variabel kepentingan
dan pengaruh digunakan untuk memetakan posisi para pihak dalam
pemanfaatan lahan gambut. Variabel kepentingan para pihak
ditentukan oleh aspek-aspek sebagai berikut: (1) persepsi para
pihak; (2) motivasi para pihak; (3) kebutuhan para pihak; (4)
bentuk dukungan para pihak; dan (5) keuntungan yang diharapkan
oleh para pihak dalam pemanfaatan gambut. Variabel pengaruh
sendiri dinilai berdasarkan: (1) tingkat keterlibatan para pihak; (2)
peranan para pihak dalam pembuatan keputusan; (3) hubungan
dengan pihak lain; (4) dukungan sumberdaya manusia; dan (5)
dukungan finansial dalam pemanfaatan gambut. Hal ini perlu
dilakukan agar pihak-pihak yang tidak sepakat atau mendukung
rencana pengelolaan dapat diketahui sehingga memudahkan
penerapan program kegiatan yang berhubungan dengan restorasi
gambut. Teknik pemetaan dilakukan menggunakan konsep analisis
para pihak yang membagi para pihak ke dalam 4 (empat) kuadran,
yaitu key players, subject, context setter, crowd. (Nugroho, 2016;
Reed et al., 2009). Key player merupakan para pihak yang
mendukung dan sepakat dengan kegiatan-kegiatan yang
berhubungan dengan pemanfaatan gambut sehingga digambarkan
melalui pengaruh dan kepentingan yang tinggi; Subject merupakan
pihak-pihak yang sepakat dengan pemanfaatan gambut, memiliki
kepentingan yang tinggi tetapi memiliki pengaruh yang rendah
terkait dengan kegiatan tersebut; Context setter merupakan pihak-
pihak yang memiliki pengaruh tinggi yang tinggi dalam pemanfaatan
gambut tetapi kepentingannya rendah; dan Crowd merupakan
pihak-pihak yang memiliki pengaruh maupun kepentingannya
14
bernilai rendah dalam pemanfaatan gambut. Kuadran para pihak
dapat digambarkan seperti pada Gambar 3.
15
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil FGD
FGD dilakukan di Bogor dan Palembang dalam rangka tukar-menukar
informasi, menyamakan persepsi kegiatan-kegiatan riset dan pilot project
BRG yang dilakukan di lingkup BLI dan menghindari terjadinya tumpang
tindih kegiatan yang dilakukan. Kegiatan penelitian dan pilot project
dalam lingkup Badan Litbang dan Inovasi yang didanai oleh Badan
Restorasi Gambut (BRG) jumlahnya 11 kegiatan dan dilaksanakan oleh 7
Satker. Arahan dari Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK bahwa
ketujuh kegiatan tersebut perlu dilakukan kegiatan FGD secara bersamaan
agar bisa diketahui benang merahnya.
Kegiatan penelitian dan pembangunan Pilot Project harus menggali
pengalaman dari petani/masyarakat mengenai cara penanaman, pemilihan
jenis-jenis tanaman yang dikembangkan, teknik pemeliharaan dan lain-lain
kemudian dirajut menjadi suatu karya. Pengalaman kegiatan restorasi
lahan gambut di Sepucuk Palembang oleh Balai Litbang KLHK Palembang
menjadi bahan pertimbangan untuk diimplementasikan di lapangan
masing-masing. Hasilnya sebagai berikut:
1. Kegiatan ini merupakan suatu success story. Telah diperoleh 20 jenis
tanaman lokal yang mampu tumbuh dengan baik di lahan gambut
antara lain jelutung, pulai rawa, sesendok, arang-arang, kayu labu,
ramin, balangeran, punak, dan lain-lain.
2. Hasil penelitian yang telah dilakukan selama 20 tahun ini dapat
menghasilkan strategi dalam pemilihan jenis-jenis tanaman yang
dikembangkan di lahan gambut.
16
Kepala Badan sedang memberikana Para peserta FGD dari beberapa
pengarahan Satker lingkup BLI
17
B. Sejarah Pengelolaan HLG Sungai Bram Itam
Kawasan Hutan Lindung Gambut Sungai Bram Itam semula
merupakan kawasan dengan fungsi produksi terbatas (HPT). Kawasan
tersebut dikelola oleh HPH PT. Betara Agung Timber berdasarkan Surat
Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor SK. 19/Kpts-1/1977 tanggal 1
Januari 1977. Wilayah tersebut termasuk dalam kelompok hutan
Tungkal-Betara dan pada tahun 1992 telah ditata batas luar. Total
kawasan hutan yang dikelola oleh PT. Betara Agung Timber sesuai SK
Menteri Kehutanan seluas 260.350 ha. Ijin pengelolaan berakhir pada
tanggal 1 Januari 1997 dan tidak diperpanjang lagi. Pengelolaan kawasan
hutan Bram Itam selanjutnya dilimpahkan kepada PT Wira Karya Sakti (PT
WKS) berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor SK. 381/Menhut-IV/1997
tanggal 4 April 1997 untuk menghindari kekosongan pengelolaan.
Sesuai SK Gubernur Provinsi Jambi No.108 tahun 1997 tentang
penetapan luas kawasan hutan di Provinsi Jambi, bahwa kawasan hutan
tersebut ditingkatkan statusnya menjadi kawasan Hutan Lindung Gambut.
Setelah adanya padu serasi antara Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK)
dan Tata Ruang Wilayah Propinsi Jambi, status fungsi kawasan berubah
menjadi Hutan Lindung Gambut sebagaimana surat penetapan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan No. 421/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999
tentang penunjukan kawasan hutan di wilayah Provinsi Jambi.
Sejak tahun 2007 sampai dengan 2009 terjadi konflik antara
masyarakat dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Masyarakat tidak mengakui bahwa areal yang digarap merupakan
kawasan hutan lindung gambut. Untuk menyelesaikan konflik dimaksud
pada tanggal 18 November 2009 dilakukan mediasi oleh Komisi II DPRD
Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Hasil mediasi adalah bahwa lokasi
tersebut merupakan kawasan hutan lindung gambut dan masyarakat yang
terlanjur berada di dalam kawasan akan diberikan kesempatan untuk ikut
melakukan pengelolaan hutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
18
Sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.787/Menhut-
II/2009 tanggal 7 Desember 2009 ditetapkan menjadi Wilayah Kesatuan
Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Sungai Beram Hitam Kabupaten
Tanjung Jabung Barat dengan luas ± 15.965 ha. Luas areal KPHLG Sungai
Bram Itam mengalami perubahan, dari ± 15.965 ha menjadi ± 15.050 ha
berdasarkan SK Menhut No. 727/Menhut-II/2012 tanggal 10 Desember
2012 tentang Perubahan Fungsi dan Peruntukan Kawasan Hutan Propinsi
Jambi dikarenakan adanya penyesuaian hasil padu serasi Tata Ruang
Propinsi Jambi Tahun 1999 dengan hasil koreksi titik ikat yang
dilaksanakan pada tahun 2012. Setelah dilakukan digitasi di Dinas
Kehutanan Kabupaten Tanjung Jabung Barat, luas kawasan KPHL Model
Sungai Bram Itam adalah + 15.050 Ha, hal tersebut sesuai dengan
Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:
SK.863/Menhut-II/2014 tanggal 29 September 2014 tentang Kawasan
Hutan Provinsi Jambi.
Akses menuju kawasan KPHL Model Sungai Bram Hitam sangat
mudah. Untuk mencapai kawasan KPHL Sungai Bram Itam dapat
ditempuh dengan jalan darat menuju ke arah Timur dari Ibu Kota Provinsi
Jambi melalui Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung
Timur dengan jarak ± 120 km dengan waktu tempuh ± 2,5 jam.
Sedangkan dari Ibu Kota Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Kuala
Tungkal) dapat ditempuh melalui jalur darat melewati Desa Bram Itam
Raya dan Bram Itam Kanan dengan waktu tempuh ± 30 menit. Bisa juga
ditempuh melalui jalur sungai menuju ke arah Barat dari Desa Sungai
Saren melewati Jembatan Ahmad Sugeng dengan waktu tempuh + 1,5
jam. Akses yang lain untuk menuju kawasan KPHL Model Sungai Bram
Itam bisa ditempuh melalui jalan yang dibangun oleh HTI PT. Wirakarya
Sakti yaitu dibagian Utara, Barat dan Selatan yang berbatasan lansung
antara kawasan KPHL Model Sungai Bram Itam dengan PT. Wirakarya
Sakti. Kawasan KPHL Model Sungai Bram Itam terletak diantara dua
sungai yaitu Sungai Bram Itam Kanan dan Sungai Bram Itam Kiri.
19
Dari luas kawasan 15.050 ha, kawasan KPHL Model Sungai Bram
Itam telah dirambah oleh masyarakat untuk dijadikan lahan pertanian dan
perkebunan seluas ± 5.000 ha. Konsekuesi dari kegiatan tersebut adalah
telah dibuatnya parit-parit sebagai saluran drainase untuk mengatur tata
air di areal kebun serta untuk sarana jalur transportasi pengangkutan hasil
produksi pertanian dan perkebunan. Kegiatan pertanian dan perkebunan
yang dilakukan oleh masyarakat di dalam areal Hutan Lindung Gambut
(HLG) bukan merupakan bentuk pengelolaan yang ramah gambut karena
menggunakan spesies yang bukan asli gambut sehingga dalam
penanamannya harus melakukan drainase lahan gambut. Pengelolaan
yang demikian cenderung akan merusak lahan gambut.
Dalam kegiatan pengelolaan KPHL Bram Itam, maka disusun rencana
pengelolaan. Dalam rencana pengelolaan KPHL Bram Itam berdasarkan
hasil analisis tentang kondisi kawasan, maka kawasan Hutan Lindung
Gambut Sungai Bram Itam dibagi menjadi dua blok yakni Blok Inti dan
Blok Pemanfaatan. Masing-masing blok dibagi ke dalam petak-petak
sebagai unit terkecil dalam pengelolaan.
Dalam rangka kegiatan restorasi lahan gambut yang telah
terdegradasi akibat pengelolaan lahan yang tidak ramah gambut dan
untuk mendukung pengelolaan KPHL Sungai Bram Itam, maka dilakukan
kegiatan pilot project implementasi paludikultur dan agroforestri di lahan
gambut. Tujuan kegiatan ini diharapkan dapat memberikan contoh
praktek yang baik kepada masyarakat maupun pihak pengelola KPHL
Sungai Bram Itam tentang cara melakukan pengelolaan lahan yang ramah
gambut dengan tetap memberikan manfaat terhadap peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan sumber pendapatan bagi pihak KPHL
Sungai Bram Itam.
20
103°11’22” - 103°22’3” Bujur Timur (BT). Berdasarkan administrasi
kehutanan, kawasan HLG Sungai Bram Itam termasuk dalam wilayah
pengelolaan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi yang secara langsung
dikelola oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sungai Bram
Itam.
Secara administrasi pemerintahan, kawasan KPHL Model Sungai
Beram Hitam terletak di Kabupaten Tanjung Jabung Barat meliputi tiga
wilayah kecamatan yaitu: Kecamatan Pengabuan, Kecamatan Betara dan
Kecamatan Bram Itam.
21
Gambar 5. Peta wilayah KPHL Sungai Bram Itam
2. Batas-batas
Batas-batas kawasan KPHL Model Sungai Beram Hitam adalah:
Sebelah Utara : berbatasan dengan hutan produksi konsesi PT.
Wirakarya Sakti dan lahan masyarakat
Sebelah Selatan : berbatasan dengan hutan produksi konsesi PT.
Wirakarya Sakti
Sebelah Barat : berbatasan dengan hutan produksi konsesi PT.
Wirakarya Sakti dan lahan masyarakat
Sebelah Timur : Lahan Masyarakat
4. Iklim
Tipe iklim di kawasan HLG Bram Itam termasuk dalam kategori A
berdasar klasifikasi menurut Schmidt-Ferguson. Curah hujan tahunan
antara 1.344 mm/tahun sampai dengan 2.526 mm/tahun dengan rata-rata
curah hujan sebesar 2.092 mm/th. Curah hujan tertinggi pada bulan Maret
sebesar 236,4 mm dan terendah pada bulan Juni sebesar 105,4 mm.
Jumlah hari hujan rata-rata tahunan sebesar 125 hari. Jumlah hari hujan
tertinggi pada bulan Desember dan Januari sebanyak 13 hari hujan dan
terendah pada bulan Juni sebanyak 7 hari hujan.
Temperatur udara rata-rata tahunan sebesar 27oC, dengan kisaran
antara 23oC (pada bulan Januari) dan 31oC (pada bulan Juni). Kelembaban
udara rata-rata 84% dengan kisaran antara 66–97%, kelembaban udara
relatif paling rendah pada bulan Juni dan paling tinggi pada bulan
September – Oktober. Kecepatan angin rata-rata 4,13 km/jam denga
rata-rata kecepatan tertinggi pada bulan Oktober sebesar 4,78 km/jam.
23
5. Kondisi penutupan lahan dan perubahannya
Pada kawasan KPHL Sungai Bram Itam tutupan lahan adalah sebagai
berikut:
Tabel 3. Luas tutupan lahan HLG di KPHL Sungai Bram Itam
Presentase
No. Uraian Luas (Ha)
(%)
1. Belukar seluas 167,60 1,11%
Berdasarkan analisis hasil penafsiran citra tahun 2006 dan 2014 serta
ground check yang dilakukan pada tahun 2015 bahwa telah terjadi
perubahan penutupan lahan dari hutan menjadi non hutan (Gambar 6).
Selama kurun waktu ± 8 tahun laju pembukaan lahan hutan sebesar
11,08% atau 1,39% pertahun. Sebagian besar bentuk perubahan yang
terjadi menjadi tanah kosong/lahan terbuka, pertanian lahan kering dan
semak belukar. Jika dibiarkan terbuka maka bisa menimbulkan
kebakaran. Menurut Nurzakiah (2017) bahwa pengelolaan air merupakan
salah satu tindakan mitigasi emisi karbon dioksida. Perubahan
tutupan/vegetasi di lahan gambut membuat ekosistem lebih rentan
terbakar dan menyebabkan pelepasan karbon yang besar melalui
pembakaran pada saat pembukaan lahan. Besaran kadar air secara
vertikal dan gugus fungsional bahan organik yang bersifat hidrofobik
dapat menjadi indikator kerentanan terhadap kebakaran. Oleh karena itu,
lahan gambut memerlukan pengelolaan air yang tepat untuk konservasi
24
alam dan mengembalikan kondisi hidrologis seperti mengurangi
kerentanan gambut terhadap kebakaran.
26
bujur sangkar dengan ukuran 1 km x 1 km. Pada Blok Pemanfaatan
terdapat jaringan kanal (parit) serta batas-batas lahan oleh kegiatan
okupasi, petaknya menyesuaikan bentuk kanal dan batas lahan tersebut.
Luas setiap petak bervariasi antara 53 sampai dengan 137 Ha.
27
rawa gambut (endemik) sehingga areal tersebut harus dilindungi dan tidak
dipergunakan untuk kepentingan lain agar gambut tidak mengalami
kerusakan.
Pada Blok Pemanfaatan sebagian merupakan hutan alam sekunder
eks HPH Betara Agung Timber dan sebagian areal telah diokupasi oleh
masyarakat ± 5.000 hektar. Pada lahan yang telah diokupasi tersebut
telah diusahakan tanaman komoditi perkebunan berupa kelapa sawit,
pinang dan kopi liberika.
28
Tabel 6. Status dan suku masyarakat pada kawasan HLG Sungai Bram
Hitam
Karakteristik penduduk Prosentase (%)
A. Status
1. Pendatang 56,7
2. Asli 43,3
B. Suku
1. Jawa 40
2. Banjar 30
3. Bugis 26
4. Melayu 3,3
Sumber: Data inventarisasi sosial ekonomi BPKH Unit XIII Pangkal Pinang (2010)
2. Penduduk
Jumlah penduduk pada wilayah kelola KPHL Sungai Bram Itam dan
perkembangannya selama kurun waktu 2010-2015 dapat dilihat pada
Tabel 7.
Tabel 7. Penduduk Kecamatan di dalam dan sekitar kawasan kelola KPHL
Sungai Bram Itam
Laju
Luas Kepadatan pertumbuhan
Pendudu
No. Kecamatan wilayah penduduk penduduk
k (Jiwa)
(km²) (Jiwa/km²) per-tahun
(%)
1. Bram Itam 312,66 15.438 49 0.94
2. Pengabuan 440,13 25.142 57 1.45
29
Tabel 8. Luas tanaman perkebunan di sekitar kawasan KPHL Sungai Bram
Itam
Karet Sawit
Kelapa Kopi Pinang
No Kecamatan (hektar)
(hektar) (hektar) (hektar)
(hektar)
1 Bram Itam 53 5.735 3.527 416 1.241
Sumber: Badan Pusat Statistik Kab. Tanjung Jabung Barat Tahun 2016
30
lahan untuk kegiatan pertanian dan perkebunan. Masyarakat yang
melakukan pembukaan berasal dari sekitar kawasan maupun
pendatang. Pada awalnya mereka menanam tanaman pertanian seperti
jagung dan sayur-sayuran sampai dengan 3 tahun kemudian
dilanjutkan dengan menanam tanaman perkebunan. Trend tanaman
perkebunan yang dibudidayakan adalah kelapa sawit. Kelapa sawit
ditanam secara monokultur dengan jumlah 150 sd 200 pokok
perhektar. Alasan petani menanam kelapa sawit adalah kepastian pasar
dan tidak perlu melakukan pengolahan untuk dijual.
b. Fokus pengelolaan hutan hanya pada kawasan hutan produksi
Pada masa itu fokus pengelolaan kawasan oleh pihak pemerintah hanya
ditujukan pada hutan produksi. Hal ini ditunjukkan oleh indikator
prestasi seorang KRPH adalah kemampuannya untuk memberantas
ilegal logging dan menghasilkan iuran dana reboisasi yang tinggi
sehingga kawasan hutan produksi tidak terkelola dengan baik.
c. Tidak ada batas kawasan hutan yang jelas
Tidak adanya batas-batas kawasan yang jelas membuat masyarakat
dengan mudah mengklaim bahwa kawasan hutan eks-PT Batara Agung
Timber merupakan lahan kosong yang tidak ada pemiliknya.
d. Kebutuhan akan lahan pertanian
Penggarap lahan di kawasan HLG Sungai Bram Itam berasal dari
beberapa generasi yakni generasi pertama sampai dengan generasi
ketiga. Generasi pertama yang menggarap lahan di kawasan HLG Bram
Itam biasanya merupakan pendatang yang orang tuanya telah lama
bermukim di Pulau Sumatera kemudian anaknya mencari lahan garapan
di tempat lain, salah satunya di kawasan HLG. Selanjutnya generasi
kedua dan ketiganya turut serta membuka lahan di kawasan HLG
Sungai Bram Itam.
e. Peristiwa kebakaran besar
Peristiwa kebakaran besar yang beberapa kali terjadi telah menarik
masyarakat untuk menggarap kawasan HLG Sungai Bram Itam. Adanya
31
peristiwa kebakaran memudahkan masyarakat dalam menggarap areal
HLG Sungai Bram Itam dikarenakan tidak diperlukan upaya penyiapan
lahan yang membutuhkan biaya tinggi.
f. Persepsi para pengambil kebijakan tentang pentingnya HLG Bram Itam
Para pengambil kebijakan waktu itu belum menyadari sepenuhnya
tentang fungsi dan peran HLG bagi lingkungan. Hal ini tercermin dari
persepsi bahwa HLG adalah lahan tidur yang bisa dikelola untuk
pertanian tanpa memperhatikan kaidah-kaidah pengelolaan lahan
gambut yang benar.
Beberapa skema dari masyarakat dalam mengokupasi kawasan HLG
Sungai Bram Itam sebagai berikut:
a. Tradisi pancung alas
Pancung alas merupakan “tanda” terhadap pembukaan hutan untuk
dijadikan kebun. Tanda berupa pohon yang dipotong/ditakuk sebagai
ditandai menggunakan “kapak” sehingga disebut sebagai pancung.
“Pancung Alas” juga merupakan “tanda” izin kepada penghulu
(Pemangku adat setingkat Kepala Desa atau pemangku adat) untuk
memohon izin membuka hutan untuk dijadikan kebun. Pembukaan
kawasan HLG biasanya digunakan tradisi “Pancung Alas”. Dalam hal ini
calon pengelola lahan akan membayar uang dengan jumlah tertentu
kepada Kepala Desa agar bisa mengelola lahan di kawasan HLG. Tradisi
ini sekarang sudah tidak ada dikarenakan Kepala Desa takut terhadap
peraturan bahwa kawasan HLG Sungai Bram Itam adalah kawasan
hutan lindung gambut yang tidak boleh dikeluarkan ijin penggarapan
lahan kepada masyarakat.
b. Menyewa/bagi hasil dengan pemilik lahan sebelumnya
Ada beberapa orang yang menguasai lahan yang sangat luas di
kawasan HLG. Dipihak lain ada sekelompok orang mencari lahan
garapan. Terjadi negosiasi diantara kedua belah pihak dimana
penguasa lahan akan meminjamkan lahannya dengan sistem bagi hasil
sesuai dengan kesepakatan. Dalam hal ini penyewa lahan juga
32
berharap suatu saat akan “memiliki lahan” tersebut. Sekarang cara ini
sudah tidak dilakukan karena para pencari lahan sudah mengetahui
tentang keberadaan kawasan HLG Sungai Bram sehingga tidak mungkin
untuk memiliki lahan tersebut.
c. Mengganti sejumlah uang tertentu kepada pemilik lahan sebelumnya
Penggarap lahan yang lama akan menjual lahannya kepada orang lain
dengan ganti uang sebesar kesepakatan. Cara ini sampai sekarang
masih banyak dilakukan. Dasar besaran uang yang dibayarkan adalah
kesiapan lahan untuk diolah dan ada tidaknya parit.
d. Langsung membuka lahan
Akhir-akhir ini tradisi “Pancung Alas” sudah tidak berlaku lagi sehingga
yang banyak terjadi adalah membuka secara langsung dan secara
berkelompok dengan luasan tertentu. Biasanya satu orang akan
mendapat jatah seluas 2 hektar, namun dari hasil pendataan pada 6
kelompok tani hutan, rata-rata penguasaan lahan perorang adalah 3,11
hektar. Saat ini dalam kawasan KPHL Sungai Bram Itam ± 5.000 hektar
telah diokupasi masyarakat. Preferensi masyarakat penggarap lahan di
Kawasan HLG Sungai Bram Itam telah bergeser dari komodi tanaman
sawit ke tanaman pinang.
Gambaran awal analisis biaya dan pendapatan kotor antara usaha
kelapa sawit dengan pinang di lahan gambut sebagai berikut:
a. Pola I (Penanaman pinang murni) dengan asumsi:
Jarak Tanam 3 m x 3 m (1.100 pohon/ha)
Prosen hidup tanaman pinang sebesar 80%
Mulai panen pada tahun ke-5
Hasil panen berkisar antara 1,5 sampai 3 kg pinang glondong per
pohon
Rendemen pinang glondong ke pinang kering 30%
Pemanenan dilakukan 1 bulan sekali
Harga pinang kering di tingkat pengepul Rp. 15.000/kg
Tidak ada biaya sewa lahan (diasumsikan lahan milik/lahan KPHL)
33
Umur produktif dari tahun ke-5 sampai tahun ke-12 setelah
penanaman (8 tahun)
Hasil yang diperhitungkan hanya dari tanaman pinang, hasil
tanaman sela tidak diperhitungkan.
b. Pola II (Penanaman pinang dicampur dengan tanaman kehutanan)
dengan asumsi sebagai berikut:
Jarak tanam 3 m x 3 m (1.100 pohon/ha)
Jumlah tanaman pinang 50% (550 batang)
Jumlah tanaman kayu 50% (550 batang)
Prosen hidup tanaman pinang 100%
Tanaman kayu tidak dapat ditebang (karena di hutan lindung)
sehingga belum ada hasil dari tanaman pohon
Mulai panen pada tahun ke-5
Hasil panen berkisar antara 1,5 - 3 kg pinang glondong per pohon
Rendemen pinang glondong ke pinang kering 30%
Pemanenan dilakukan 1 bulan sekali
Harga pinang kering ditingkat pengepul Rp. 15.000/kg
Tidak ada biaya sewa lahan (diasumsikan lahan milik/lahan KPHL)
Umur produktif dari tahun ke-5 sampai tahun ke-12 setelah
penanaman (8 tahun)
Hasil yang diperhitungkan hanya dari tanaman pinang, hasil
tanaman sela tidak diperhitungkan
c. Pola III ( Penanaman sawit secara monokultur)
Jumlah tanaman sawit 150 pokok perhektar.
Tanaman sawit mulai berbuah pada tahun ke-4 setelah
penanaman.
Pada tahun ke-5 sd ke-9 produksi sawit maksimal yakni sebesar 3
ton/ha/bulan.
Setelah tahun ke-10 produksi mulai menurun yakni 1 ton/ha/bulan,
hal ini dikarenakan tanaman sawit mulai miring bahkan roboh
karena lahan gambut tidak mampu menopang akar dari tanaman
34
sawit. Umur tanaman sawit digambut hanya mencapai 10 sampai
12 tahun.
Pada tahun ke-8 mulai ada ongkos petik buah sawit lebih mahal
karena kondisi tanaman yang sudah tinggi.
Hasil yang diperhitungkan hanya dari sawit saja, tanaman sela yang
ditanaman diawal tanaman sawit ditanam tidak diperhitungkan.
Harga kelapa sawit antara Rp 800 - 1.200 per kg.
Hasil pendapatan kotor kelapa sawit dan pinang di lahan gambut
pada saat berbuah secara stabil yaitu umur 6-12 tahun, kelapa sawit akan
dihasilkan pendapatan sebesar Rp 36.000.000/ha/tahun atau Rp
3.000.000/ha/bulan. Jika ditanam pinang 100% akan menghasilkan
pendapatan kotor sebesar Rp 89.100.000/ha/tahun atau Rp
7.425.000/ha/bulan, namun jika campuran antara pinang dengan
tanaman kehutanan dengan perbandingan 50% : 50% maka akan
menghasilkan Rp 45.540.000/ha/tahun atau Rp 3.795.000/ha/bulan. Hasil
penelitian Noorginayuwati et al. (2008) menunjukkan bahwa dari usaha
pinang (berumur 7 tahun) di lahan gambut dapat diperoleh penerimaan
Rp. 3.000.000/ha/bulan. Lebih lanjut Arsyah (2014) menyatakan bahwa
jika pinang ditanam di lahan mineral, maka dalam satu pohon pinang
mampu menghasilkan panen 20 kg biji setiap bulannya. Jika jumlah
pinang berkisar 450-500 batang/ha, maka rata-rata produksi pinang 400
kg/ha/bulan biji pinang kering, maka dalam satu hektar bisa menghasilkan
pendapatan Rp 6.000.000/ha/bulan. Hasil penerimaan pinang di lahan
gambut relatif masih lebih rendah daripada di lahan mineral. Dengan
demikian, menanam pinang di lahan gambut baik ditanam monokultur
maupun dicampur dengan tanaman kehutanan 50% ternyata masih lebih
untung daripada usaha kelapa sawit. Lahan gambut jika dilakukan usaha
budidaya pinang mempunyai prospek yang lebih baik daripada usaha
sawit. Gambaran kotor aran hasil pendapatan kotor disajikan pada
Gambar 8.
35
Gambar 8. Grafik perbandingan pendapatan kotar antara usaha sawit,
pinang murni dan pinang dicampur dengan tanaman
kehutanan
37
Gambar 9. Pemetaan para pihak dalam restorasi gambut
39
Untuk mengetahui tingkatan partisipasi yang terjadi di antara para
pihak, wawancara dilakukan terhadap masing-masing pihak yang terlibat
dalam kegiatan restorasi gambut baik secara langsung maupun tidak
langsung. Data wawancara mengenai partisipasi tersebut disajikan pada
Tabel 11.
40
Hasil wawancara yang ditampilkan pada Tabel 12 menunjukkan bahwa
terdapat dua tipe derajad partisipasi yang terjadi terkait dengan para
pihak yang terlibat dalam restorasi gambut, yaitu tokenisme dan citizen
power. Tokenisme menunjukan bahwa partisipasi yang terjadi diantara
para pihak masih bersifat satu arah, sedangkan citizen power menunjukan
bahwa tingkatan partisipasi tersebut sudah bersifat dua arah (Arnstein,
1969; Oktavia & Saharuddin, 2013). Dari kedua sifat partisipasi tersebut,
citizen power menempati angka partisipasi sebesar 56% dan tokenisme
sebesar 44%, artinya bahwa dalam kegiatan restorasi gambut, para pihak
yang terlibat sudah memahami bahkan bersedia terlibat untuk ikut serta
dalam kegiatan restorasi tersebut. Kegiatan restorasi dianggap memiliki
manfaat yang positif bagi para pihak, baik dari sisi sosial-ekonomi maupun
ekologi. Oleh sebab itu, situasi tersebut perlu dimanfaatkan oleh para
pihak untuk mendorong peningkatan partisipasi, khususnya pihak-pihak
yang terdapat di lapangan, misalnya kelompok tani, KPHL, swasta dan
pengepul. Hambatan-hambatan partisipasi satu arah di mana dominansi
partisipasi dilakukan oleh para pihak yang memiliki otoritas lebih kuat
seperti pemerintah maupun perusahaan swasta perlu dikurangi. Caranya
adalah dengan mengembangkan komunikasi dimana para pihak dapat
bertemu untuk saling menyampaikan pendapatnya serta mendorong
terjadinya kebijakan yang berpihak pada petani yang terdapat di lahan
gambut. Program ekowisata di lahan gambut dapat didorong untuk
meningkatkan artisipasi tersebut.
E. Pembangunan Demplot
Setelah dilakukan diskusi dengan pihak KPHL Sungai Bram Itam dan
kelompok tani, hasilnya disepakti untuk membangun demplot dalam
rangka merehabilitasi lahan gambut di lahan yang digarap dengan
menerapkan pola tanam paludikultur yang dikombinasi dengan
agroforestry dan penerapan silvopastura melalui bantuan ternak kambing
dengan sistem bergulir. Pembangunan demplot tersebut merupakan
41
upaya melakukan revegetasi dan sekaligus revitalisasi. Demplot yang
telah dibangun seluas 10,5 hektar, yaitu lokasi 1 seluas 7,5 hektar yang
berada dikelompok Tani Saren Jaya, lokasi 2 seluas 2 hektar di Kelompok
Tani Parit Ujung Sungai Bram Itam, dan lokasi 3 seluas 1 hektar di
Kelompok Tani Parit Saudara I).
Sehubungan dengan waktu pelaksanaan yang singkat, maka
penyiapan bibit dilakukan dengan cara pembelian bibit. Jenis tanaman
yang dikembangkan adalah jenis-jenis pohon lokal yang adaptif di lahan
gambut yaitu jelutung rawa (Dryera lowii, balangeran (Shorea
balangeran), medang putih (Litsea sp.), medang mangga (Litsea sp.),
laban (Vitex sp.), manggis-manggisan (Illex cymosa), kelat (Eugenia sp.)
dan jambu-jambu (Eugenia sp.). Untuk jenis tanaman non hutan yaitu
pinang batara, kopi liberika (Coffea liberica), mangga (Mangifera sp.),
rambutan dan durian (Durio sp.). Pola tanam agroforestry dengan
mencampukan tanaman kehutanan dengan non kehutanan (pinang dan
atau kopi liberika) upaya revegetasi dan revitalisasi. Diharapkan 5 tahun
kemudian bisa berproduksi (berbuah). Jenis-jenis yang ditanam dapat
dilihat pada Gambar 11 dan 12.
42
Duian Mangga
Gambar 11. Bibit tanaman hutan serta bibit pinang dan kopi liberika
yang ditanam di demplot paludikultur dan agroforestry di
lahan gambut
43
Gambar 12. Lokasi demplot paludikultur dan agroforestri yang dibangun
di lahan gambut di Desa Bram Hitam, Kecamatan Bram
Hitam, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi
Ada dua pola tanam yang diterapkan pada sistem paludikultur dan
agroforestry yaitu pola tanam jalur dan pola tanam sabuk (blok). Pola
jalur dengan cara menanam satu jalur tanaman hutan (jelutung rawa,
balangeran, jambu-jambu, medang, kelat, laban dll.) dan diselingi dengan
tanaman pinang/kopi liberika, sedangkan pola sabuk (blok) dimana
dibagian tengahnya ditanam pinang/kopi/buah-buahan dan di luarnya
ditanami tanaman hutan (jelutung rawa dan/atau balangeran). Jarak
tanam yang dibuat adalah 3 m x 3 m. Pola tanam pola tanam jalur dan
sabuk (blok) disajikan pada Gambar 13.
44
Gambar 13. Demplot paludikultur dan agroforestry dengan pola tanam
jalur dan pola sabuk (blok)
45
2. Silvopastura
Penerapan silvopastura dengan melakukan ternak kambing sistem
bergulir diharapkan bisa menjadi upaya tambahan pendapatan kelompok
tani yang terlibat kegiatan pilot project ini sebelum pinang dan kopi
menghasilkan. Pemberian bantuan ternak kambing ini hanya diberikan
kepada kedua kelompk tani yaitu Kelompok Tani Saren Jaya dan
Kelompok Tani Parit Saudara I. Setiap kelompok berhak untuk
memelihara 6 ekor kambing, yaitu 5 ekor betina yang siap dikawinkan dan
1 ekor jantan (Gambar 14). Selama 1 tahun diharapkan betina yang
pertama menerima pemeliharaan kambing berhak mengambil seluruh
anaknya, selanjutnya indukan dan pejantan diserahkan kepada kelompok
tani lainnya yang sudah ditetapkan kelompok tani yang akan menerima
berikutnya. Mekanisme ini dimonitor oleh pihak KPHL.
A B
Gambar 14. Ternak kambing di Kelompok Tani Parit Saren Jaya (A) dan
Kelompok Tani Parit Saudara 1 (B)
46
Gambar 15. Sekat kanal yang dibangun oleh BRG di
sepanjang parit panglong
47
dipengaruhi oleh ketebalan, kematangan, lapisan sub stratum di
bawahnya, bahan penyusun, lingkungan pembentukan dan pengelolaan
atau input yang diberikan. Oleh karena itu, Perhutanan Sosial di kawasan
Hutan Lindung Gambut terbatas pada pengembangan komoditas HHBK
dan Jasa lingkungan. Hal ini berimplikasi pada hak akses masyarakat
dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan lahan untuk
pengembangan agribisnis berbasis hutan harus sesuai dengan tipologi
biofisik dan sosial ekonomi dan budaya masayarkat.
Pembangunan demplot pola agroforestry di KPHL Sungai Bram Itam
dengan menanam jenis-jenis tanaman hutan yang adaptif di lahan gambut
yang dikombinasikan dengan komoditas HHBK jenis pinang dan/atau kopi
liberika yang adaptif di lahan gambut merupakan pilihan yang tepat untuk
memulihkan kawasan hutan gambut yang rusak dan/atau lahan gambut
yang telah diokupasi masyarakat serta sekaligus meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Saat ini pihak KPHL Sungai Bram
Itam telah melakukan kegiatan pendataan sosial-ekonomi, identifikasi tata
batas serta penyelesaian berbagai persoalan lainnya terkait dengan
masyarakat dan pengelolaan hutan.
Untuk mendukung keberhasilan program Perhutanan Sosial di lahan
gambut sebagai berikut (Suharti, 2017):
1. Diperlukan dukungan akses kepada sumber-sumber pendanaan (per-
bank-an, dan lain-lain) serta skema-skema bantuan pinjaman dana
(kredit mikro) atau hibah dan lain-lain.
2. Keberhasilan progrm PIR-Trans dapat menjadi salah satu acuan untuk
implementasi Perhutanan Sosial di lahan gambut tersebut.
3. dukungan aktif KPH diharapkan dapat menjadi jembatan penghubung
pihak pengelola hutan dengan entitas bisnis dalam mewujudkan hutan
lestari dan masyarakat sejahtera. Oleh karena itu, peran KPH perlu
dioptimalkan
4. Perlu peningkatan fasilitasi pendampingan untuk masyarakat oleh LSM,
Badan Penyuluhan, dan Pokja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja-
48
PPS). Revitalisasi Pokja-PPS sebagai pendamping utama pemerintah
dalam pengembangan perhutanan sosial sangat diperlukan.
5. Tidak ada peraturan-perundangan yang besifat berlaku untuk semua
kondisi di lapangan. Untuk mempercepat capaian target implementasi
Perhutanan Sosial di lahan gambut perlu dikembangkan strategi kerja
baru dimana pejabat di lapangan pada tingkat tertentu diperkenankan
melakukan penyesuaian kegiatan sesuai dengan kondisi di lapangan.
G. Kondisi Biofisik
1. Tutupan vegetasi
Vegetasi awal merupakan hutan alam primer, kemudian
dimanfaatkan kayunya oleh Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Kegiatan HPH
ini merobah hutan primer menjadi hutan sekunder. Hutan sekunder
selanjutnya menjadi terlantar karena kegiatan pembinaan sisa tebangan
tidak dilakukan secara maksimal oleh HPH.
49
2. Tanah
Pengukuran tanah gambut dilakukan dengan pemboran gambut
dengan Bor Eijelkamp untuk menduga ketebalan gambut dan mengambil
contoh gambut (Wahyuwanto & Subagyo, 2002). Pengamatan tingkat
kematangan gambut dilakukan sesuai dengan kriteria Soil Survei Staff
(1998). Berdasarkan hasil pemboranpada 7 titik pemboran di demplot 1
ditemukan bahwa kedalaman gambut di lokasi hanya 60-100 cm, dimana
lapisan gambut terdiri dari bahan saprik (matang) pada lapisan 0-25 cm,
hemik (setengah matang) pada lapisan 25-50 cm; dan fibrik (mentah),
sedangkan mulai lapisan 50-75 cm terdiri dari lapisan yang didominasi
oleh tanah mineral dengan tekstur berdebu sampai berliat (Tabel 13 dan
Gambar 17).
50
Tabel 13. (Lanjutan)
Titik Kedalaman Kematangan Keterangan*
pemboran/Lokasi (cm)
5. Di demplot 1 0-25 Saprik Muka air tanah
25-50 Hemik
50-60 Fibrik
60-100 Mineral
6. Di demplot 1 0-25 Saprik
25-50 Hemik muka air tanah
50-60 Fibrik
60-100 Mineral
7. Di demplot 1 0-25 Saprik
25-50 Hemik Muka air tanah
50-60 Fibrik
60-100 Mineral
8. Di hutan alam 0-25 Saprik Muka air tanah
25-50 Hemik
50-75 Fibrik
75-100 Fibrik
100-130 Fibrik
130-150 Mineral
150-200 Mineral
9. Di demplot 3 0-20 Saprik, emik, fibrik Muka air tanah 22-
23 cm
20-50 Mineral
50-75 Mineral
75-100 Mineral Ada ciri tanah sulfat
Keterangan: Tinggi muka air tanah ditentukan berdasarkan kedalaman contoh tanah
dari pemboran tanah yang sudah mulai basah
Gambar 18. Salah satu titik pengukuran tinggi muka air tanah (TMA)
53
Tabel 14 dan grafik rata tinggi muka air tanah selama bulan Desember
2017 disajikan pada Gambar 19.
Tabel 14. Tinggi muka air tanah pada beberapa titik pengamatan di Saren
Jaya
Titik pe- Kedalaman air tanah (cm) pada tanggal dan Bulan Desember 2017
ngamatan 1 Des 2 Des 3 Des 4 Des 5 Des 6 Des 7 Des 8 Des 9 Des 10 Des 11 Des 12 Des 13 Des
1 30,0 30,0 33,0 36,0 36,0 15,0 22,0 22,0 28,0 12,0 10,5 22,0 21,0
2 30,0 31,0 35,5 33,5 36,0 32,0 30,0 31,0 37,0 25,0 30,0 30,0 29,0
3 25,0 24,0 29,5 31,0 27,0 23,0 24,0 35,0 32,0 27,0 20,0 28,0 25,0
Rata-rata 28,3 28,3 32,7 33,5 33,0 23,3 25,3 29,3 32,3 21,3 20,2 26,7 25,0
4 43,0 43,0 46,0 45,0 46,0 39,0 40,0 36,5 47,0 32,0 27,0 39,0 37,0
5 44,0 23,0 26,0 26,0 24,0 20,0 19,0 20,0 37,0 21,0 19,0 20,0 22,0
6 38,0 38,0 40,0 41,0 41,0 39,0 39,0 37,0 51,0 31,0 15,0 37,0 35,0
Rata-rata 41,7 34,7 37,3 37,3 37,0 32,7 32,7 31,2 45,0 28,0 20,3 32,0 31,3
Gambar 19. Grafik rata-rata tinggi muka air tanah selama bulan
Desember 2017
54
a. Penentuan lokasi yang representatif, terhindar dari tanaman dan
tunggak-tungkak pohon
b. Penentuan titik tengah dan titik diagonal sepanjang masing-masing 5
(lima) meter ke arah Utara–Timur, arah Utara-Barat, arah Selatan -
Barat dan arah Selatan-Timur. Titik tengah ditandai dengan
pemancangan pipa paralon dengan diameter 2 inci sampai kedalaman
tanah mineral dengan tinggi yang muncul dipermukaan tanah gambut
sekitar 150-175 cm.
c. Demikian juga pada ke 4 (empat) titik diagonal ditancapkan pipa
paralon dengan diameter sekitar 1 inci, dengan tinggi yang sama yang
muncul ke permukaan sekitar 150-175 cm.
d. Pemasangan benang mulai dari titik tengah (diberi tanda: pada
paralon dengan diameter 2 inci, pada ketinggian 150 cm) sampai ke
masing-masing ke 4 (empat) titik diagonal.
e. Pengukuran ketinggian benang dari permukaan tanah gambut pada
jarak setiap 10 cm mulai dari titik tengah (sehingga terdapat 50 titik
pengukuran pada setiap diagonal)
f. Pengukuran berikutnya akan dilakukan setiap 6 (enam) bulan
g. Salah satu lokasi titik pengamatan subsidensi dapat dilihat pada
Gambar 20.
55
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
56
DAFTAR PUSTAKA
58
Ribot JC, Peluso NL. (2003). Theory of Access. The Rural Sociology 68:
153 – 181.
Schulze, E.D., Lapshina, E., Filippov, I., Kuhlmann, I., Mollicone, D.
(2015). Carbon Dynamics in Boreal Peatlands of the Yenisey Region,
Western Siberia. Biogeosciences, 12, 7057 – 7070. Doi: 10.5194/bg-
12-7057-2015.
Tata, H.L, van Noordwijck, M., Ruysschaert, D., Mulia, R., Rahayu S.,
Mulyoutami, E., Widayati, A., Ekadinata, A., Zen, R., Darsoyo, A.,
Oktaviani, R., Dewi, S. (2013). Will Funding to Reduce Emissions
from Deforestation and (forest) Degradation (REDD+) Stop
Conversion of Peat Swamps to Oil Palm in Orangutan Habitat in Tripa
in Aceh, Indonesia? Mitigation and Adaptation Strategies for Global
Change. Doi 10.1007/s11027-013-9524-5
Tata, H.L., Bastoni, Mulyoutami, E., Perdana, A, & Janudianto. (2015).
Jelutung Rawa: Teknik Budidaya dan Prospek Ekonominya. Bogor:
World Agroforestry Centre.
Tata, H.L., & Susmianto, A. (2016). Prospek Paludikultur Ekosistem
Gambut Indonesia. Forda Press. Bogor.
Possel, M., Jenkins, M., Bell, T.L., Adams, M.A. (2015). Emissions from
Prescribed Fires in Temperate Forest in South-East Australia:
Implication for Carbon Accounting. Biogeosciences, 12, 257 – 268.
doi: 10.5194/bg-12-257-2015.
Prayitno, M.B., & Bakri. (2014). Dampak perubahan tata guna lahan
terhadap cadangan karbon di lahan sub-optimal. Dalam: Prosiding
Seminar Nasional Lahan ITTO Suboptimal. Palembang 26-27
September 2014. Pp: 453-461. http://pur-
plso.unsri.ac.id/userfiles/81_%20bambangbakri_revisi%201(1).pdf
Simon, H. (2001). Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat. (Cooperative
Forest Management). Teori dan Aplikasi Pada Hutan Jati di Jawa.
Bigraf Publishing. Yogyakarta.
Suharti, S. (2017). Peluang dan Tantangan Implementasi Perhutanan
Sosial di Lahan Gambut. Dalam Workshop Finalisasi dan Diseminasi
Hasil Riset Aksi Paludikultur untuk mendukung Program Prioritas
Nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor, 28-29
Desember 2017.
Suryadiputra, I.N.N., Dohong, A., Waspodo, R.S.B., Muslihat, L., Lubis,
I.R., Hasudungan, F., et al. (2005). A guide to the blocking of canals
and ditched in conjunction with the community. Bogor: Wetlands
International Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada.
59