Anda di halaman 1dari 23

PROPOSAL

HUBUNGAN LAMA PEMASANGAN INFUS DENGAN


KEJADIAN PLEBHITIS DI RUANGAN UP ANGGREK
RSUD LUWUK KABUPATEN BANGGAI
TAHUN 2023

HAIKAL FIKRY
202201070

PROGRAM STUDI NERS JENJANG STRATA SATU (S1)


INSTITUT TEKNOLOGI KESEHATAN DAN SAINS
MUHAMMADIYAH SIDRAP
TAHUN 2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rumah sakit harus memiliki akomodasi yang adekuat dan berkualifikasi pada

tenaga kesehatan yang berpengalaman untuk menyediakan pelayanan dengan kualitas

yng baik. Rumah sakit bertujuan untuk menyembuhkan orang sakit, tetapi rumah sakit

juga dapat menjadi sumber infeksi. Saat ini infeksi yang berkaitan dengan pelayanan

kesehatan merupakan penyebab utama kematian di beberapa bagian dunia (WHO,

2013).

Masyarakat berhak mendapatkan pelayanan rumah sakit yang bermutu dan

perlindungan yang layak. Oleh karena itu rumah sakit dalam memberikan pelayanan

ajib mematuhi standard profesi dan memperhatikan hak pasien dan tuntutan

masyarakat akan hak mendapatkan pelayanan yang bermutu tersebut berdampak

terhadap berbgai system dalam pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk

meningkatkan mutu pelayanan dan mengembangkan system evaluasi mutu pelayanan

(Depkes RI, 2013).

Kementrian Kesehatan (Kemenkes) menetapkan seluruh rumah sakit di

indonesia wajib menyenggalarakan Program Pencegahan DAN Pengendaalian Infeksi

(PPI) di rumah sakit, PPI ini sebagai salah satu komponen penilaian akreditas rumah

sakit. Menteri Kesehatan Endang Rhayu Sedyaningsih megatakan hal ini mengingat

masalah penyakit infeksi kini menjadi masalah kesehatan seriuss. Menkes

mengatakan, dengan program PPI permasalahan penyakit infeksi ini bisa diatasi

sebagai bagian darri perlindungan pasien. Selain program PPI, setiap rumah sakit

diwajibkan membentuk komite dan tim PPI. ( Gontha, 2011).


Terapi intravena memberikan banyak manfaat bagi sebgaian besar pasien.

Namun akibat prosedur pemasangan yang kurang teapat, posisi yang salah, serta

kegagalan dalam menembus vena, dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien

(Kolcabadalam Paterson & Bredow, 2008). Selain memberikan respon

ketidaknyamanan pemberian terapi infus juga dapat menimbulkan kommplikasi, baik

komplikasi local maupun sistemik. Komplikasi local dan terapi intravena termasuk

infiltrasi, tromboplebitis, hematoma, bekuan pada jarum dan plebitis (Smeltzer &

Bare, 2010)

Plebitis di definisikan sebagai inflamasi vena yang disebabkan baik oleh iritasi

kimia maupun mekanik. Hal ini di karakteristik dengan adanya daerah yang memerah

dan hangat di sekitar daerah penusukkan atau sepanjang vena, nyeri atau rasa lunak di

daerah penusukan atau sepanjang vena, dan pembengkakan. Insidens plebitis

meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena, komposisi cairan atau

obat yang diinfuskan (terutama Ph dan tonisitasnya), Ukuran dan tempat kanula

dimasukkan, pemasangan jalur IV yang tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme

pada saat penusukan (Smeltser & Bare, 2010).

Lebih dari 60% pasien yang masuk ke rumah sakit mendapat terapi melalui

IV. Terapi IV dapat terjadi komplikasi salah satunya flrbitis. Jumlah kejadian infeksi

nosokomial berupa flebiti di Indonesia sebanyak (17,11%). Flebitis disebabkan oleh

iritasi kimia (jenis cairan infus), mekanis (Lokasi pemasangan infus), dan bakteri.

Phlebitis merupakan salah satu dari penyakit infeksi nosokomil, dimana

infeksi nosokomial adalah suatu infeksi yang diperoleh atau dialami oleh pasien

selama di rawat di rumah sakit dan menujukkan gejala infeksi baru setelah 72 jam

pasien berada di rumah sakit serta infeksi itu tidak ditemukan atau di derita pada daat

pasien masuk ke rumah sakit (WHO, 2002). Suatu rumah sakit dapat dikatakan
memenuhi standard pelayanan minimal rumah sakit apabila pravelensi kejadian

infeksi nosokomial kurang dari atau sama dngan 1,5% (Kemenkes RI, 2008).

Menurut Hankies dkk (2006) dalam Nurjannah (2011) tanda dan gejala

phlebitis adalah eritema, nyeri, dan peningkatan temperature kulit pada area

pemasangan infus. Diketahui bahwa tingkat keparahan gejala phlebitis di tentukan

berdasarkan skala derajat phlebitis (Visual Infusion Phlebitis Score) mulai dari skala 0

sampai dengan 5 berdasarkan rekomendasi The infusion Nurses Nociety (Wahyunah,

2011).

Faktor penyebab dari phlebitis terdiri dari faktor internal dan eksternal, yang

termasuk faktor penyebab internal dari phlebitis adalah usia, status gizi, stres, kondisi

vena, faktor penyakit pasien rawat inap yang terpasang infus serta jenis kelamin

(Perry dan Potter, 2005). Sedangkan faktor eksternal dari phlebitis terdiri dari 3 jenis

yaitu faktor kimis, faktor mekanik dan faktor bakterial (Alexander, et al, 2011).

Salah satu yang memberi kontribusi terhadap faktor bakteril dari phlebitis

adalah durasi pemasangan infus yang terlalu lama. Salah satu cara untuk

mengatasinya adalah dengan merotasi infuse apabila ada kontra indikasi . Pada

penelitian yang dilakukan oleh Cristian Komaling, dkk (2014) di ketahui bahwa dari

total 21 rsponden yang lama pemasangan infus lebih ari 72 jam (>3 hari), 16

Responden (27,6%) mengalami phlebitis, Sedangkan dari 37 responden yang

dipasang infus 48 – 72 jam (<3 hari), 4 responden (6,9%) mengalami phlebitis

(Komaling, 2014).

The Center For Disease Control and Prevention telh menyusun penggantian

infu tidak boleh lebih dari 72 jam, kecuali untuk penanganan darah dan lipid emulsi di

ganti tiap 24 jam (Perry & Potter, 2005).


Data statistik yang di dapat dari Yayasan Kesehtan mengenai infeksi

nosokomial, phlebitis menempati peringkat pertama infeksi nosokomial di Indonesia

di bandingkan infeksi lain yaitu sebanyak 16.435 kejadian phlebitis dari 558.328

pasien beresiko di Rumah Sakit Umum Indonesia atau lebih kurang 2,8% dan

sebanyak 293 kejadian phlebitis dari 18.800 passien yang beresiko di Rumah Sakit

Khusus atau swasta di Indonesia pada tahun 2006 atau Kurang lebh 1.5% (Depkes RI,

2013).

Kejadian phlebitis di Rumah Sakit tidak di publikasi secara luas, hanya dapat

di ketahui dalam data survailens Pengendalian Penyakit Infeksi Rumah Sakit (PPIRS)

yang bersangkutan.

Salah satu perawatan yang diberikan di RS adalah pemasangan infus (terapi

intra vena). Tujuan dari pemasangan infus yaitu memperbaiki kondisi pasien dengan

mempertahankan keseimbangan cairan, mengganti elektrolit tubuh dan zat makanan

yang hilang dan juga sebagai media pemberian obat dan vitamin. Pemasangan infus

yang di berikan secara terus-menerus dan dalam jangka waktu lama akan

meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi dari pemasangan infus, salah

satunya adalah phlebitis.

Di Indonesia belum ada angka yang pasti tentang pravalensi kejadian

phlebitis,Kemungkinan disebabkan oleh penelitian dan publikasi yang berkaitan

dengan phlebitis Jarang dilakukan. Data Depkes RI Tahun 2013 angka kejadian

phlebitis di Indonesia sebesar 50,11 % untuk Rumah Sakit Pemerintah sedangkan

untuk Rumah Sakit Swasta sebesar 32,70 % (Rizky, W, 2014).

Angka Kejadian infeksi nosokomial juga telah di jadikan salah satu tolak ukur

mutu pelayanan di Rumah Sakit. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang terjadi

paada pasien ketika berada di Rumah Sakit atau Ketika berada di fasilitas kesehtan
lainnya. Dari Sekian banyak jenis infeksi nosokomial, phlebitis menempati peringkat

pertama di banding dengan infeksi lainnya. (Depkes RI, 2013).

Berdasarkan informasi yang diperoleh peneliti pada saat pengumpulan data

awal bahwa pada tahun 2021 jumlah kunjungan pasien rawat inap sebanyak 1700

orang. Dan jumlah pasien rawat inap pada tahun 2022 mningkat menjadi 1750 orang,

dan pada tahun 2023 periode januari sampai dengan juli berjumlah 900 jiwa.

Hasil Penelitian ini yang dilakukan Mulyani (2010), yang menyatakan rata-

rata kejadian phlebitis waktu > 24 jam dan < 72 jam setelah pemasangan terapi

intravena terletak pada vena sefalika dan tidak terjadi phlebitis sebanyak 11

responden (91,7%) sedangkan lokasi pemasangan infus terletak pada vena metacarpal

dan terjadi phlebitis sebanyak 20 responden (41,7%) pemberian obat melalui wadah

cairan intravena merupakan cara memberikan obat dengan menambahkan atau

memasukan obat kedalam wadah cairan intravena yang bertujuan untuk

meminimalkan efek samping dan mempertahaankan kadar terapeutik dalam darah.

Dalam penyuntikan obat atau pemberian infus intravena dan pengambilan sampel

darah merupakan jalan masuk kuman yang potensial ke dalam tubuh, PH dn

osmololaritas cairan infus yang ekstrim selalu diikuti resiko phlebitis.

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai Hubungan Lama Pemasangan Infus di ruang Anggrek RSUD Luwuk

Kabupaten Banggai Tahun 2023.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah penelitian ini adalah

Hubungan Lama Pemasangan Infus dengan kejadian phlebitis di ruangan

Anggrek RSUD Luwuk Kabupaten Banggai Tahun 2023.


C. Tujuan Penelitian

Diketahuinya Hubungan Lama Pemasangan Infus dengan kejadian phlebitis di

ruangan Anggrek RSUD Luwuk Kabupaten Banggai Tahun 2023.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Ilmiah

Penelitian yang dilakukan ini, di harapkan dapat bermanfaat bagi peneliti

lain yang berniat melakukan penelitian dengan fokus sejenis dan sebagai

sumbangan ilmiah dan masukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

2. Manfaat Institusi

Hasil Penelitian ini merupakan salah satu sumber masukan dan informasi

mengenai sejauh mana upaya pengendalian infeksi phlebitis yang dilakukan

perawat di ruangan Anggrek RSUD Luwuk Kabupaten Bnaggai Tahun 2023.

3. Manfaat Praktis

Sebagai pengalaman yang berharga bagi peneliti dalam rangka

menambah wawasan pengetahuan dan mengembangkan diri khususnya dalam

bidang penelitian.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka
1) Definisi Phlebitis
Infeksi di Rumah Sakit atau dikenal dengan infeksi Nosokomial adalah
infeksi yang diperoleh seseorang di Rumah Sakit, yang tidak di deritanya ketika
pertama kali masuk Rumah Sakit serta tidak dalam masa inkubasi atau suatu
penyakit infeksi terjasi 3X24 jam setelah pasien di rawat di Rumah Sakit. Infeksi
Nosokomial tidak saja mengenai penderita yang di rawat, tetapi juga dapat
mengenai setiap petugas Rumah Sakit (Yusuf, 2011).
Salah satu infeksi nosokomial dalah Phlebitis. Dimana phlebitis merupkan
inflamasi vena yang disebebkan oleh iritasi kimia maupun mekanik. Kondisi ini
dikarakteristikkan dengan danya daerah yang memerah dan hangat di sekitar
daerah insersi/penusukan atau sepanjang vena, nyeri atau rasa lunak pada area
insersi atau sepanjang vena, dan pembengkakan.
Menurut Ratnawati (2010) terjadinya kejadian phlebitis, bengkak dan
trauma akibat pemasangan infus yang berulang-ulang adalah akibat tindakan
pemasangan infus yang tidak mengutamakan patient safety, sehingga pasien akan
banyak dirugikan akibatnya rentang waktu rawat inap pasien akan bertambah
panjaang.
Phlebitis merupkan peradangan vena yang disebabkan oleh kateter atau
iritasi kimia zat adiktif dan obat-obatan yang diberikan secara intravena tanda dan
gejalanya meliputi nyeri, kemerahan di tempat iritasi atau di sepanjang jalur vena
(Carson, 2012).
Terapi Intravena adalah salah satu cara atau bagian dari pengobatan untuk
memasukkan obat atau vitamin ke dalam tubuh pasien. Infeksi dapat menjadi
komplikasi utama dari terapi intravena yang terletak pada siste infus atau tempat
memasukkan vena (Darmawan, 2008).
2) Klasifikasi phlebitis berdasarkan penyebab
Klasifikasi phlebitis berdasarkan penyebab menurut Infusion Nurses Society
(INS, 2012) adalah sebagai berikut :
a. Phlebitis Kimia
Phlebitis Kimia seringkali dikaitkan dengan cairan dan terapi intravena yang
diberikan, adalah:
1) pH dan osmolaritas cairan/ terapi intravena yang tinggi beresiko terjadinya
phlebitis. Cairan infus seringkali menyebabkan phlebitis adalah larutan
Dekstrose yang memiliki pH sekitar 3-5 dan larutan yang berisi asam amino
dan lipid dalam nutrisi parenteral yang bersifat flebitogenic dibandingkan
larutan normal salin. Obat injeksi yang diberikan intravena yang lebih sering
menyebabkan terjadinya phlebitis adalah : Kaliusm Chlorida, obat antibiotik,
Diazepam, Obat Khemoterapi, dan obat-obat lain yang dengan osmolaritas
>900 mOs/L harus diberikan melalui vena sentral.
2) Partikel Obat yang tidak larut secara sempurna selama pencampuran obat dapat
memberikan kontribusi terjadinya phlebitis.
3) Pemilihn penusukan kateter intravena pada vena di daerah proksimal sangat
dianjurkan untuk larutan infus dengan osmolaritas >500 mOs/L. Hindari
penusukan infus pada vena metacarpal (punggung tangan).
4) Pengaturan aliran disesuaikan dengan besarnya kanula (kateter intravena) dan
tempat insersi. Vena di daerah distal dan ukuran kateter intravena yang tidak
sesuai, serta aliran yang terlalu cepat beresiko terhadap terjadinya phlebitis.

b. Phlebitis Mekanis
Phlebitis mekanis sering dhubungkan dengan penempatan kateter intravena.
Kateter intravena yang ditusukan pada daerah lekukkan atau area fleksi beresiko
terjadinya phlebitis disebabkan karena pada saat ekstremitas digerakkan kateter
intravena yang terpasang ikut bergerak, menyebabkan trauma pada dinding vena,
ukuran kateter intravena dipilih sesuai dengan ukuran vena, dan difikasi dengan
baik. Penggunaaan kateter intravena yang besar pada vena yang kecil dapat
mengiritasi dinding vena (The center for Disease Control and Prefention (CDC,
2012).
c. Phlebitis Bakterial
Phlebitis bakterial adalah peradangan pada vena yang disebabkan karena
adanya kolonisasi bakteri. Hal-hal yang dapat memberikan konteribusi terhadap
terjadinya phlebitis bakterial menurut Infusion Nurses New Zealend (INNZ, 2012)
adalah :
1) Teknik cuci tangan yang tidak benar / petugas tidak cuci tangan : cuci tangan
merupakan hal yang penting untuk mencegah terjadinya kontaminasi
mikroorganisme dari petugas ke pasien atau sebaliknya. World Health
Organization (WHO, 2005) telah mempropagandakan melalui enam sasaran
keselamatan pasien, salah satunya yaitu “Pengurangan Resiko Infeksi” melalui
gerakkan 6 langkah cuci tangan, dan lima saat ( 5 moment) mencuci tangan.
Petugas kesehatan sebelum dan sesudah melakukan tindakan infasif harus
mencuci tangan dengan benar. Pengunaan sarung tangan juga diperlukan
karena petugas akan terpapar dengan darah pasien pada saat pemasangan
infus.
2) Peralatan yang digunakan tidak steril : kualitas peralatan yang digunkan untuk
pemasangan infus harus terjaga kesterilannya, terutama kateter intraven yang
berhubungan langssung dengan pembuluh darah.
3) Prsedur / tindakan tidak aseptic : selama prosedur pemasangan/penusukan
infus harus menggunakan tindakan aseptic. Area yang akan dilakukan
penusukan harus dibersihkan dahulu untuk meminimalkan mikroorganisme
yang ada. Bila kulit kelihtan kotor harus dibersihkan dahulu menggunakan
sabun dan air, dikeringkan lalu diberi asntiseptic alcohol 70-90%.
4) Observasi daerah pemasangan infus kurang area insersi ( tempat penusukan
infus) difiksasi menggunakan transparant dressing, untuk memudahkn perawat
melakukan observasi dan mengurangi kontaminasi mikroorganisme. Observasi
area penusukan infus dilakukan setiap pergantian shift jaga perawat (Kozier &
Erb, 2009, 99).
5) Pemasangan Kteter intravena terlalu lama (>96 jam) lama pemasangan kateter
intravena sering dihubungkan dengan terjadinya phlebitis. Pemindahan (rotasi)
lokasi atau tempat penusukan infus adalah 72-96 jam (CDC, 2012), meskipun
beberapa literaature memperlus dukungan untuk tidak mengganti sampai 114
jam, kecuali jika ditemukan tanda phlebitis meskipun belum 72 jam.

3) Etiologi phlebitis
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya phlebitis (Bayu
Rahmanto, 2010). Yaitu :
a. Hindari pemilihan pada area fleksi atau lipatan atau pada ekstremitas dengan
pergerakan maksimal.
b. Faktor-faktor pada pasien seperti adanya vena yang berkelok-kelok dan
spasme vena dapat mempengauhi kecepatan aliran (infuse lambat atau
berhenti).
c. Ukuran kanula yang terlalu besar dibandingkan dengan ukuran vena sehingga
terjadinya cedera pada tunika intima vena.
d. Fiksasi yang kurang adekuat menyebabkan pergerakan kanula di dalam vena
sehingga terjadi infeksi.

4) Proses Penularan Phlebitis


Timbulya penyakit pada manusia dapat dipengaruhi oleh tiga factor utama,
yaitu :
a. Faktor Agent ( Bibit Penyakit)
Agent adalah faktor yang menyebabkan hadirnya penyakit. Agent
adalah substansi yang ada atau tidaknya, bila di ikuti kontak yang efektif pada
manusia yang rentan akan menjadi rangsangan bagi terjadinya penyakit.
Kelompok agent peyebab terdiri atas agent fisik, kimia, nutrisi, biologi,
kekuatan mekanik atau friksi yang menghasilkan cedera atau atmosfer seperti
sushu yang ekstrim dan radiasi yang berlebihan. Agent berpindah dari orang
tua pada anaknya melalui genetik atau agent genetik. Agent psikologi yakni
kondisi stress di lingkungan masyarakat mempengaruhi fisiologi dan
psikosomatik. Kategori dari agent biologi mencakup semua organisme hidup,
serangga, cacing, protozoa, jamur, bakteri rictesia (genus bakteri gram negatif)
dan virus.
b. Faktor Penjamu (host)
Host adalah inang individu manusia yang merupakan tempat bagi
agent untuk menghasilkan penyakit. Penyakit dapat terjadi hanya pada
seseorang / host yang rentan. Kerentanan mungkin karena kekebalan atau
resistensi yang melekat.

Faktor yang terdapat pada diri manusia yang dapat mempengaruhi


timbulnya penyakit serta riwayat suatu penyakit adalah :

1) Usia : terdapat penyakit yang terjadi atau lebih rentan pada usia tertentu.
2) Jenis Kelamin : terdapat penyakit yang menyerang jenis kelamin tertentu,
misalnya prostat pada laki-laki dan kanker cervix pada wanita.\
3) Ras : pada ras tertentu biasanya memiliki kerentangan yang berbeda untuk
beberapa jenis penyakit tertentu. Misalnya kanker pankreas lebih sering
terjadi pada populasi afrika-amerika dari pada populasi kulit putih.
4) Sosial-ekonomi : Factor social ekonomi mempengaruhi cara hidup dan
tingkat pendidikan serta ekonomi.
5) Status perkawinan : tingkat stres dan resiko penularan penyakit berbeda
antara orang yang sudah menikah dan orang yang belum menikah.
6) Riwayat Penyakit Terdahulu : orang yang memiliki penyakit kronis lebih
rentang terhadap suatu infeksi.
7) Cara hidup : life style berhubungan dengan social-ekonomi, tingkat
pendidikan.
8) Hereditas : berkaitan dengan ras dan gen / factor keturunan
9) Nutrisi : akan mempengaruhi sistem pertahnan tubuh secra umum.
10) Imunitas : imunitas alamiah (tanpa intervensi) imunitas buatan (dengan
intervensi), injeksi gamma globulin bertahan 4-5 minggu.
c. Lingkungan (Environmen)
Lingkungan adalah kondisi atau kondisi factor yang bukan bagian dari
host, tetapi mampu meningkatkan paaparan agent dan interaksinya dengan
host. Secara umum lingkungan terbagi atas tiga macam :

1) Lingkungan fisik : Meliputi kondisi udara, musim, cuaca, kondisi


geografis serta geologi.
2) Lingkungan biologi : Hewan, agent, reservoir, maupun vector dari suatu
penyakit, mikroorganisme saprofit yang mempunyai pengaruh positif.
Tumbuhan : sumber nutrient.

3) Lingkungan Social-ekonomi :
Mempengaruhi status kesehtan fisik dan mental secara individu, kehidupan
sosial, fasilitas olahraga, rekreasi, stratifikasi sosial, tngkat kesejahteraan,
sistem asuransi, bencana alam dan perang (Andi Zulkifli, 2012).

5) Pembagian Derajat Phlebitis

Terdapat tiga pembagian derajat phlebitis yaitu : (Bayu Rahmanto, 2010)

a. Derajat 1
Tanda-tanda nyeri pada tempat penusukan, eritema, dan edema, tidak ada
dtreak, tidak teraba benjolan.
b. Derajat 2
Tanda-tanda nyeri, eritema, dan edema, adaformasi streak, tidak terba
benjolan.
c. Derajat 3
Tanda-tanda yeri, eritema, ada formasi streak, teraba benjolan.

6) Manifestasi Phlebitis
Tanda dan gejala phlebitis menurut (Medicaster, 2009).

a. Nyeri yang terlokalisasi


b. Pembengkakan
c. Kulit kemerahan timbul dengan cepat di atas vena
d. Pada saat diraba terasa hangat
e. Panas tubuh cukup tinggi

7) Komplikasi Phlebitis

Dapat menyebabkan trombus yang selanjutnya menjadi trombophlebitis yang


merupakan peradangan dinding vena dan biasanya disertai pembentukan bekuan
darah. Dan perjalanan penyakit ini bersifat jinak namun jika trombus terlepas
kemudian diangkut dalam aliran darah dan masuk kejantung maka dapat
menimbulkan gumpalan darah seperti katup bola yang bisa menyumbat
atrioventikuler jantung secara mendadak dapat menimbulkan kematian. Hal ini
menjadikan phlebitis sebagai salah satu permasalahan yang penting untuk dibahas
disaamping phlebitis juga sering ditemukan dalam proses keperawatan.

8) Tindakan Pencegahan Phlebitis

Kejadian phlebitis merupakan hal yang lazim terjadi pada pemberian terapi
cairan baik terapi rumatan cairan, pemberian obat melalui intravena maupun
pemberian nutrisi parenteral. Oleh karena itu sangat diperlukan pengetahuan
tentang faktor-faktor yang berperan dalam kejadian phlebitis serta pemantauan
yang ketat untuk mencegah dan mengatasi kejadian phlebitis. Ada banyak hal
yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya phlebitis yang di sepakati oleh
para ahli, antara lain :

a. Mencegah phlebitis bakterial


Pedoman yang lazim dianjurkan adalah menekankan pada kebersihan
tangan, tekhnik antiseptik, perawwatan daerah infus serta antisepsis kulit.
b. Selalu waspada pada tindakan aseptic
Selalu berprinsip aseptic setia tindakan yang memberikan manipulasi
pada daerah infus. Studi melaporkan bahwa stopcock (yang digunakan sebagai
jalan pemberian obat, pemberian cairan infus atau pengembilan sampel darah
merupakan jalan masuk kuman.\
c. Rotasi kateter
Pemberian dimana megganti tempat (rotasi) kanula ke lengan
kontralateral setiap hari pada 15 pasien menyebabkan bebas phlebitis.
d. Aseptic Dressing
Infusion Nursing Society (INS) merekomendasikan untuk penggunaan
balutan yang transparan sehingga mudah untuk pengawasan tanpa harus
memanipulasiya. Penggunaan balutan kovesional masih bisa dilakukan, tetapi
kasa steril harus diganti tiap 24 jam.
e. Kecepatan pemberian
Para ahli sepaakat bahwa semakin lambat infus larutan hipertonik
diberikan makin rendah resiko phlebitis. Namun ada paradigma berbeda untuk
pemberian infus obat injeksi dengan osmolaritas tinggi. Osmolaritas boleh
mencapai 10000 mOsm/L jika durasi hanya beberapa jam. durasi sebaiknya
kurang dari tiga jam untuk mengurangi waktu kontak campuran yang iritatif
dengan dinding vena. ini membutuhkan kecepatan pemberian infus (150-330
ml/jam).
f. Titrable acidity
Titrable acidity mengukur jumlah alkali yang dibutuhkan untuk
menetralkan pH larutan infus. Potensi phlebitis dari larutan infus tidak bisa
ditaksir hanya berdasarkan pH atau titrable acidity sendiri. Bahkan pH 4.0,
larutan gukosa 10% jarang menyebabkan perubahan karena titrable acidity nya
sangat rendah.
B. Tinjauan Lama Pemasangan Infus
a. Definisi Pemasangan Infus
Pemasangan infus adalah pemasukan cairan atau obat langsung ke dalam
pembuluh darah vena dalam jumlah yang banyak dan waktu yang ama dengan
menggunakan alat infus set ( Pltekes Kemenkes Maluku, 2011). Pemasangan infus
addalah suatu tindakan memasukan cairan elektrolit, obat, atau nutrisi ke dalam
pembuluh darah vena dalam julmlah dan waktu tertentu dengan menggunakan set
infus (Hidayati, et al, 2014).
b. Tujuan pemasangan infus/ Terapi intravena
Memenuhi kebutuhan cairan pada klien yang tidak mampu mengkonsumsi
cairan oral secara adekuat, menambh asupan elektrolit untuk menjaga
keseimbangan elektrolit, menyediakan glukosa untuk kebutuhan energi dalam
proses metabolisme, memenuhi kebutuhan vitamin larut-air serta menjadi media
untuk pemberian obat melalui vena (Mubarak, et al, 2015). Selain itu, sebagai
pengobatan, mencukupi kebutuhan tubuh akan cairan dan elektrolit, memberi zat
makanan padda pasien yang tidak daapat atau tidak boleh makan melalui mulut
(Hidayat, et al, 2014).
Pemasangan infus intravena merupakn tindakan yang dilakukan dengan
cara memasukan cairan melalui intravena dengan bantuan infus set, bertujuan
memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit serta sebagai tindakan pengobatan dan
pemberian makanan ( Maryunani, 2015).
c. Jenis Cairan Intravena
1. Larutan Nutrient
Larutan ini berisi beberapa jenis karbohidrat dan air seperti dektrosa dan
glukosa. Larutan nutrient yang digunakan umunya adalah 5% dektrosa dalam
air (D,W), 3,3% GLUKOSA DALAM 0,3% NaCL, dan 5% glukosa 0,45%
NaCL. Setiap satu liter cairan dekstrosa 5% mengandung 17-200 kalori,
mengandung asam amino ( amigen, travamin) atau lemak (lipomul dan
liposin).
2. Larutan elektrolit
Meliputi larutn salin, baik isotonic, hipotonik, maupun hiperonik jenis larutan
elektrolit yang paling banyak digunakan adalah normal salin (isotonik) yaitu
NaCL 0,9%. Contoh larutan elektrolit lainnya adalah laktat ringer (Na+,
K+,CI’’, Ca2+) dan cairan bulter (Na+,K+,Mg2+, CI”, HCO3”).
d. Komplikasi pemasangan infus
1. Kerusakan/Oklusi Kanula
Hal pertama yang biasa kita temukan pada kanula yang mengalami oklusi
adalah kesulitan untuk membilas alat. Pasien dapat melaporkan adanya nyeri
pada lokasi kanula, yang segera butuh pemasangan ulang kanula. Jika pasien
mendapat cairan IV yang melalui pompa, maka alarm pompa dapat berbunyi.
Jika terapi IV diberikan tanpa pompa di kenal grafity feed dapat dilihat infus
berjalan dengan lambat atau bahkan berhenti pada waktu-waktu tertentu.
2. Nyeri
Lokasi terpasang kanula di inspeksi menggunakan skor VIP (vissual
infusion phlebitis). Nyeri pada lokasi/kanula juga dapat disebabkan oleh obat,
kemungkinan jika obat di encer kan dengan kadar yang salah. Phlebitis juga
dapat menyebabkan nyeri.
BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran Variabel yang diteliti

Variabel adalah sebuah konsep yang dibedakan menjadi dua yaitu yang bersifat

kuantitatif dan kualitatif, sebgai contoh, variabel kuantitatif adalah variabel berat badan,

umur, tinggi badan, sedangkan variabel kualitatif di antaranya presepsi, respons, sikap,

dan lain-lain (Hidayat, 2014). Variabel independen nya adalah sebagai berikut :

Lama pemasangan infus lebih dari 3 hari dalam terapi intravena akan terjadinya

phlebitis, karena dapat mengakibatkan tumbunhya bakteri pada area penusukan, maka

semakin lama pemasangan tanpa perawatan menyebabkan bakteri mudah tumnuh dan

berkembang (Bouty, 2014).

B. Pola pikir Varaibel Penelitian/Bagan Keragka Konsep

Berdasarkan landasan teori yang telah diuraikan pada tinjauan pustaka, maka dapat
dibuat bagan kerangka konsep sebagai berikut :

Kejadian
Lama Pemasangan
Infus phlebitis

Gambar : III.1
Bagan Kerangka Konsep

Ket : = Variabel Independen

= Variabel Dependen

= Variabel yang diteliti


C. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif

Adapun defenisi operasional dan kriteria objektif pada penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Lama Pemasangan Infus

Lama hari yang dijalani pasien pada penggunaan terapi intravena akan

beresiko terjadinya phlebitis. Data ini mnggunakan alat ukur koesioner ( daftar

pertanyaan ) sebanyak 10 item. Dengan menggunakan skala ordinal

Kriteria Objektif :

Lama : Pemasangan infus sebagian besar dipasangi infus 96-120

jam (>3 hari).

Tidak lama : Pemasangan infus sebagia besar pasien dipasangi infus 48-

72 jam (< 3 hari).

2. Phlebitis

Phlebitis adalah peradangan pembuluh darah akibat terapi cairan intravena

dan terjadi tanda-tanda kemerahan, pembengkakan serta nyeri pada daerah

yang terpasang infus. Data ini menggunakan alat ukur koesioner (Daftar

pertanyaan) sebanyak 10 item. Dengan menggunakan skala nominal.

Positif : Apabila pada lokasi atau sepanjang ekstremitas atas klien

terjadi nyari/panas pada lokasi peradangan, kemerahan,

peraadaangan.

Negatif : Apabila pada lokasi insersi atau sepanjang ekstremitas atas

klien tidak terjdai nyeri/panas, kemerahan, peradangan.


D. Hipotesis Penelitian
1. Hipotesis nol
a. Tidak ada hubungan lama pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di
ruangan Anggrek RSUD Luwuk Kabupaten Banggai Tahun 2023.
2. Hipotesis Alternatif
a. Ada hubungan lama pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di ruangan
Anggrek RSUD Luwuk Kabupaten Banggai Tahun 2023.
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Dan Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif menggunakan desain analitik


dengan pendekatan cross sectional study yaitu data yang menyangkut variabel
dependen dan independen diteliti dalam aktu yang bersamaan kemudian diolah dan
dilakukan analisis (Hidayat, 2014).

B. Lokasi Dan Wktu Penelitian

1. Lokasi
Lokasi penelitian ini dilaksanakan di ruangan Anggrek RSUD Luwuk
Kabupaten Banggai Tahun 2023.

2. Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada .... sampai ....... tahun 2023.

C. Populasi Dan Sample

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generali yang terdiri atas : objek atau subjek yang
mempunyai kuantitatif dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan. (Sugiyono, 2004 dalam
Hidayat, A.A.A, 2014).
Populasi dlam penelitian ini adalah pasien yang dirawat di ruangan Anggrek
RSUD Luwuk pada saat penelitian berjumlah .... pasien.

2. Sample

Sample adalah populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari
karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat. A.A.A, 2014).
D. Cara Pengumpulan Data
1. Angket/Koesioner
Angket/Koesioner merupakan alat ukur berupa angket atau koesioner
dengan beberapa pertanyaan. Selain itu pertanyaan-pertanyaan yang diajukam
dalam koesioner mampu menggali hal-hal yang bersifat rahasia (Hidayat. A.A.A,
2014)
Angket/Koesioner digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala
Likert yang terdiri dari 4 alternatif jawabannya selalu sangat jelas (SS) : diberi
skor 3, Setuju (S) : diberi skor 2, Tidak setuju (TS) : diberi skor 1, Sangat tidak
jelas (STS) : skor diberi 0, dan skala gutman dengan jawaban Ya skor : 1 dan
tidak skor : 0. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian phlebitis
terdiri dari 30 item pertanyaan. Dari variabel independen yang terbagi atas
kepatuhan perawat mencuci tangan, Sesuai Prosedur Oprasional (SPO)
Pemasangan infus dan lama pemasangan infus.

2. Pengumpulan Data

Dalam Penelitian ini dibutuhkan informasi yang diinginkan dari


responden, dan informasi tersebut didapatkan melalui 2 jenis sumber data yaitu :

a. Data Primer

Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden


dengan menggunakan koesiner.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupaakan data yang diperoleh dari bagian Tim


pengendalian Dan Pencegahan Infeksi di RSUD Luwuk Kabupaten Banggai
Tahun 2023.

E. Langkah Pengolahan Data


Menurut Hidayat. A.A.A, 2014, dalam melakukan analisis, data terlebih dahulu
harus diolah dengan tujuan mengubah data menjadi informasi. Dalam statistik,
informasi yang diperoleh dipergunnakan untuk proses pengambiln keputusan,
terutama dalam pengujian hipotesis. Dalam proses pengolahan data terdapat langkah-
langkah yang harus ditempuh, diantaranya :
1. Editing
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran dta yang
diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap
pengumpulan data atau setelah data terkumpul.
2. Koding
Koding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap
data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat penting
bila pengolahan data analisis data menggunakan komputer. Umumnya dalam
pemberian kode dibuat juga daftar kode dan artinya dalam satu nuku (code
book) untuk memudahkan kembali melihat lokasi dan arti suatu kode dari
suatu variabel.
3. Entri data
Data entri adalah kegiatan memasukan data yang telah dikumpulkan ke
dalam master tabel atau database komputer. Kemudian membuat distribusi
frekuensi sederhana atau membuat tabel kontigensi.

4. Melakukan teknik analisis


Dalam melakukan analisis, khususnya terhadap data penelitian akan
menggunakan ilmu statistik terapan yang disesuaikan dengan tujuan yang
yang hendak di analisis.
F. Analisis Data
Analisa data dalam penelitian ini menggunakan metode sebagai berikut :
1. Analisa Univariat
Analisa ini dilakukan terhadap tiap varibel dari hasil penelitian. Pada
umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dn presentase
dari tiap variabel (Notoadmojo, 2006). Analisa univariat bermanfaat utuk
melihat apakah data sudah layak untuk dilakukan analisis, melihat gambaran
data yang dikumpulkan dan apakah data optimal untuk analisis lebih lanjut.
2. Analisa Bivariat
Analisa ini digunkan untuk melihat tiap-tiap variabel dependen dan
variabel independen dengan menggunakan uji statistik, dengan tingkat
kemaknaan (a) = 0,05. Uji statistik yang digunakan adalah Chi kuadrat,
dengan menggunakan jasa komputer program Software Product and Service
Solution (SPSS Versi 16,0).
Analisa bivariat digunakan untuk mencari hubungan dan membuktikan
hipotesis dua variabel. Dalam penelitian ini digunakan uji Chi-square
dengan nilai a = 0. Untuk menghubungkan variabel independen dan variabel
dependen.
G. Etika Penelitian
1. Informed Consent
Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan
responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Tujuan
informed consent adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian,
mengetahui dampaknya. Jika subjek bersedia, maka mereka harus
menandatangani lembear persetujuan, jika responden tidak bersedia maka
peneliti harus menghormati hak pasien.

2. Anonymity (Tanpa nama)


Masalah etika keperawatan merupkan masalah yang memberikan
jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan
atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya
menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang
akan disajikan.
3. Confidentiality (Kerahasiaan)
Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan
kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah
lainnya.

Anda mungkin juga menyukai