Anda di halaman 1dari 9

NAMA : AYU WANDIRA RAMBE

NIM : 21106073

MATKUL : EKONOMI PEMBANGUNAN

PRODI : MANAJEMEN B SORE

TUGAS: KEMISKINAN DAN KESENJANGAN PENDAPATAN

1. SUBJEK DAN OBJEK DARI KEMISKINAN DAN KESENJANGAN PENDAPATAN

Secara etimologi kemiskinan berasal dari kata miskin, yang berarti tidak mempunyai
harta dan benda atau dengan kata lain serba kekurangan. Sedangkan secara terminologi
kemiskinan menurut Sorjono Soekanto ialah kemiskinan suatu kondisi seseorang yang tidak
dapat untuk menyesuaikan dirinya sesuai dengan gaya hidup kelompok dan juga tidak
mampu lagi untuk memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya. Kemiskinan merupakan
suatu kondisi ketidakmampuan secara ekonomi untuk memenuhi standar hidup rata–rata
masyarakat di suatu daerah.

Kesenjangan pendapatan adalah menggambarkan distribusi pendapatan masyarakat di


suatu daerah atau wilayah pada waktu tertentu. Kaitan kemiskinan dengan ketimpangan
pendapatan ada beberapa pola yaitu: semua anggota masyarakat income tinggi (tak ada
miskin) tetapi ketimpangan pendapatannya tinggi.

Indikator Kemiskinan :

1. Ketidakmampuan dalam memenuhi setiap kebutuhan dasar dalam sehari-hari


seperti pendidikan yang layak, kesehatan, air bersih, dan alat transportasi.

2. Tidak memiliki jaminan masa depan karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan
keluarga.

3. Kerentangan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massa.

4. Rendahnya kualitas SDM dan juga terbatasnya SDA.

5. Kurangnya apresiasi dalam setiap kegiatan sosial yang dilakukan masyarakat.

6. Tidak memiliki semangat karena cacat fisik maupun mental.

Indikator Kesenjangan Pendapatan :


1. UMR yang telah dibentuk pemerintah untuk para pegawai swasta dan pegawai
Pemerintah yang berbeda.

2. PNS adalah golongan yang lebih sejahtera dari pada petani.

3. PNS (golongan atas) lebih sejahtera dibandingkan petani.

1. Pengangguran

Karena tidak bekerja pastilah setiap individu tidak memiliki pendapatan, jika
masyarakat tidak mempunyai penghasilan maka setiap kebutuhan pangannya juga tidak
terpenuhi. Secara tidak langsung pengangguran akan menurunkan daya saing dan beli
masyarakat. Sehingga akan memberikan dampak negatif terhadap tingkat pendapatan,
nutrisi, dan tingkat pengeluaraan rata-rata.

2. Kekerasan

Akhir-akhir ini kekerasan terus merajalela hal ini disebabkan karena semakin
tingginya tingkat pengangguran di Indonesia. Jika seseorang tak mampu lagi dalam
mencari nafkah dengan benar dan halal maka mereka berpikir bagaimana mendapatkan
uang secara instan, seperti merampok, mencuri,dan menipu . Mereka tak berpikir lagi
bahwa hal tersebut adalah cara yang haram.

3. Pendidikan

Saat ini tingkat putus sekolah terus meningkat. Mahalnya biaya pendidikan
membuat masyarakat miskin tidak dapat lagi menjangkqu dunia pendidikan. Sebab
mereka begitu miskin mereka berpikir bahwa untuk makan saja susah apalagi harus
membayar uang sekolah. Padahal jika ini terus menerus terjadi maka tingkat pendidikan akan
terus merosot dan mereka juga

sulit bersaing untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.

4. Kesehatan

Seperti kita ketahuai biaya pengobatan saat ini sangatlah mahal. Hampir setiap klinik
dan beberapa rumah sakit swasta besar menerapkan tarif pengobatan yang cukup besar
hal tersebut sangatlah sulit dijangkau oleh masyarakat miskin.

5. Konflik sosial bernuasa SARA

Biasanya konfilik SARA muncul karena akibat ketidakpuasan dan kekecewaan atas
kondisi miskin yang tinggi. Hal ini menjadi bukti lain dari kemiskinan yang kita alami. M
Yudhi Haryono menyebut akibat ketiadaan jaminan keadilan”keamanan” dan
perlindungan hukum dari negara,persoalan ekonomi-politik yang obyektif
disublimasikan ke dalam bentrokan identitas yang subjtektif.
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan adalah hubungan yang
kompleks dan kontroversional. Secara umum, pertumbuhan ekonomi adalah prakondisi
bagi pengurangan kemiskinan. Namun ini tidaklah cukup, berbagai studi telah mencoba
menganalisis hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan yang secara
metodologi dapat dikelompokkan menjadi dua (Berardi dan Marzo, 2015).

A. Kelompok pertama berfokus pada hubungan anatara kemiskinan, pertumbuhan


pendapatan dan distribusi pendapatan. Penelitian ini merupakan bentuk dari hubungan
kemiskinan dengan perekonomian secara mikro dimana pertumbuhan pendapatan dan
distribusi pendapatan menjadi indikator dari perekonomian mikro.
B. Kelompok kedua berfokus pada elastisitas kemiskinan terhadap PDB yang merupakan
indikator dari perekonomian secara makro. Dalam hal ini, struktur ekonomi adalah
elemen penting yang menentukan pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap
kemiskinan.

ANALISIS EMPIRIS

Menganalisis secara empiris kesenjangan ekonomi antarwilayah di kabupaten/kota di


Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari rilis publikasi
Badan Pusat Statistik (BPS) yang terdiri dari data time series tahunan periode 2011-2015
dan metode analisis kuantitatif pengukuran kesenjangan ekonomi, yaitu (1) Model
Indeks Williamson, (2) Model Klassen Typology dan (3) Model Indeks Theil.

Hasil penelitian ini secara empiris menemukan bahwa tingkat kesenjangan ekonomi di
Provinsi Sulawesi Selatan yang ditunjukan dengan nilai Indeks Wiliamson pada kurun
waktu 2011-2015 memiliki kecenderungan menurun dengan kategori sedang dengan
nilai rata-rata selama 5 tahun sebesar 0,64. Ketimpangan wilayah yang diukur dengan
Indeks Theil, menunjukan kesenjangan antar wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan
berfluktuasi.
2. ANALISA KEMISKINAN DAN KESENJANGAN PENDAPATAN

Antara pertengahan tahun 1960-an sampai tahun 1996, waktu Indonesia berada di bawah
kepemimpinan Pemerintahan Orde Baru Suharto, tingkat kemiskinan di Indonesia menurun
drastis - baik di desa maupun di kota - karena pertumbuhan ekonomi yang kuat dan adanya
program-program penanggulangan kemiskinan yang efisien. Selama pemerintahan Suharto
angka penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan menurun drastis, dari
awalnya sekitar setengah dari jumlah keseluruhan populasi penduduk Indonesia, sampai
hanya sekitar 11 persen saja.

Namun, ketika pada akhir tahun 1990-an Krisis Finansial Asia terjadi, tingkat
kemiskinan di Indonesia melejit tinggi, dari 11 persen menjadi 19.9 persen di akhir
tahun 1998, yang berarti prestasi yang sudah diraih Orde Baru hancur seketika.

Statistik Kemiskinan dan Ketidaksetaraan di Indonesia:

201
2013 2014 2016 2017
5
Kemiskinan Relatif
11.5 11.0 11.2 10.7 10.1
(% dari populasi)
Kemiskinan Absolut
28.6 27.7 28.5 27.8 26.6
(dalam jutaan)
Koefisien Gini/
0.41 0.41 0.41 0.40 0.39
Rasio Gini
2007 2008 2009 2010
Kemiskinan Relatif
16.6 15.4 14.2 13.3
(% dari populasi)
Kemiskinan Absolut
37 35 3.25 31.0
(dalam jutaan)
Koefisien Gini/
0.35 0.35 0.37 0.38
Rasio Gini

Tabel di atas menunjukkan penurunan kemiskinan nasional secara perlahan dan konsisten.
Namun, pemerintah Indonesia menggunakan persyaratan yang tidak ketat mengenai definisi
garis kemiskinan, sehingga yang tampak adalah gambaran yang lebih positif dari
kenyataannya. Tahun 2016 pemerintah Indonesia mendefinisikan garis kemiskinan dengan
perdapatan per bulannya (per kapita) sebanyak Rp. 354,386 (atau sekitar USD $25) yang
dengan demikian berarti standar hidup yang sangat rendah, juga buat pengertian orang
Indonesia sendiri.

Namun jika kita menggunakan nilai garis kemiskinan yang digunakan Bank Dunia, yang
mengklasifikasikan persentase penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang
dari USD $1.25 per hari sebagai mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan (dengan kata
lain miskin), maka persentase tabel di atas akan kelihatan tidak akurat karena nilainya
seperti dinaikkan beberapa persen. Lebih lanjut lagi, menurut Bank Dunia, kalau kita
menghitung angka penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $2
per hari angkanya akan meningkat lebih tajam lagi. Ini menunjukkan bahwa sebagian
besar penduduk Indonesia hidup hampir di bawah garis kemiskinan. Laporan lebih anyar lagi
di media di Indonesia menginformasikan bahwa sekitar seperempat jumlah penduduk
Indonesia (sekitar 65 juta jiwa) hidup hanya sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional.

Dalam beberapa tahun belakangan ini angka kemiskinan di Indonesia memperlihatkan


penurunan yang signifikan. Meskipun demikian, diperkirakan penurunan ini akan melambat
di masa depan. Mereka yang dalam beberapa tahun terakhir ini mampu keluar dari
kemiskinan adalah mereka yang hidup di ujung garis kemiskinan yang berarti tidak
diperlukan sokongan yang kuat untuk mengeluarkan mereka dari kemiskinan. Namun
sejalan dengan berkurangnya kelompok tersebut, kelompok yang berada di bagian paling
bawah garis kemiskinanlah yang sekarang harus dibantu untuk bangkit dan keluar dari
kemiskinan. Ini lebih rumit dan akan menghasilkan angka penurunan tingkat kemiskinan
yang berjalan lebih lamban dari sebelumnya.

Stabilitas harga makanan (khususnya beras) merupakan hal penting sekali bagi Indonesia
sebagai negara yang penduduknya menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk
membeli beras (dan produk makanan lain). Oleh karena itu, tekanan inflasi pada harga beras
(misalnya karena gagal panen) dapat memiliki konsekuensi serius bagi mereka yang miskin
atau hampir miskin. Bahkan sebagian dari mereka yang hidup sedikit saja di atas garis
kesmiskinan bisa jatuh dalam kemiskinan penuh karena inflasi yang tinggi.

Selain inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga makanan, keputusan pemerintah untuk
mengurangi subsidi (terutama subsidi untuk BBM dan listrik) menyebabkan inflasi yang
tinggi. Misalnya waktu pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan
pemotongan subsidi BBM pada akhir tahun 2005 terjadinya peningkatan signifikan angka
kemiskinan di antara tahun 2005 dan 2006. Harga minyak internasional yang naik membuat
pemerintah terpaksa mengurangi subsidi BBM waktu itu guna meringankan defisit anggaran
pemerintah. Konsekuensinya adalah inflasi dua digit di antara 14 sampai 19 persen (tahun-
ke-tahun) terjadi sampai oktober 2006. Presiden Joko Widodo juga mengurangi subsidi
BBM, baik pada akhir tahun 2014 maupun awal tahun 2015. Namun karena harga minyak
internasional yang lemah pada waktu itu, keputusan ini tidak mengimplikasikan dampak
yang luar biasa pada angka inflasi. Toh, angka inflasi Indonesia naik menjadi di antara 8 - 9
persen (t/t) pada tahun 2014 maka ada peningkatan kemiskinan sedikit di Indonesia di
antara tahun 2014 dan 2015, baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan.

Kemiskinan di Indonesia dan Distribusi Geografis

Salah satu karakteristik kemiskinan di Indonesia adalah perbedaan yang begitu besar antara
nilai kemiskinan relatif dan nilai kemiskinan absolut dalam hubungan dengan lokasi
geografis. Jika dalam pengertian absolut lebih dari setengah jumlah total penduduk
Indonesia yang hidup miskin berada di pulau Jawa (yang berlokasi di bagian barat Indonesia
dengan populasi padat), dalam pengertian relatif propinsi-propinsi di Indonesia Timur
menunjukkan nilai kemiskinan yang lebih tinggi. Tabel di bawah ini menunjukkan lima
propinsi di Indonesia dengan angka kemiskinan relatif yang paling tinggi. Semua propinsi ini
berlokasi di luar wilayah Indonesia Barat seperti pulau Jawa, Sumatra dan Bali (yang adalah
wilayah-wilayah yang lebih berkembang dibanding pulau-pulau di bagian timur Indonesia).

Tingkat kemiskinan di propinsi-propinsi di Indonesia Timur ini, di mana sebagian


besar penduduknya adalah petani, kebanyakan ditemukan di wilayah pedesaan.
Di daerah tersebut masyarakat adat sudah lama hidup di pinggir proses
perkembangan ekonomi dan jauh dari program-program pembangunan (yang
diselenggarakan pemerintah atau lembaga internasional). Migrasi ke daerah
perkotaan adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan pekerjaan dan - dengan
demikian - menghindari kehidupan dalam kemiskinan.

Bertentangan dengan angka kemiskinan relatif di Indonesia Timur, tabel di bawah


ini menunjukkan angka kemiskinan absolut di Indonesia yang berkonsentrasi di
pulau Jawa dan Sumatra. Kedua pulau ini adalah pulau terpadat (populasi) di
Indonesia.
3. MANFAAT MEMPELAJARI KEMISKINAN DAN KESENJANGAN PENDAPATAN

Pemikiran mengenai kemiskinan berubah sejalan dengan berjalannya waktu, tetapi


pada dasarnya berkaitan dengan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar
(Britha Mikelsen, 2003). Kemiskinan menunjukkan situasi serba kekurangan yang terjadi
bukan karena dikehendaki oleh orang miskin tersebut, melainkan karena tidak bisa dihindari
dengan kekuatan yang dimilikinya (Soegijanto Soegijoko, 1997).
Penyebab kemiskinan dapat terjadi karena kondisi alamiah dan ekonomi, kondisi
struktural dan sosial, serta kondisi kultural (budaya). Kemiskinan alamiah dan ekonomi
timbul akibat keterbatasan sumber daya alam, manusia, dan sumberdaya lain sehingga
peluang produksi relatif kecil dan tidak dapat berperan dalam pembangunan. Kemiskinan
struktural dan sosial disebabkan hasil pembangunan yang belum merata, tatanan
kelembagaan dan kebijakan dalam pembangunan. Sedangkan kemiskinan kultural (budaya)
disebabkan sikap atau kebiasaan hidup yang merasa kecukupan sehingga menjebak
seseorang dalam kemiskinan. Penyebab timbulnya kemiskinan berasal dari dalam dan dari
luar penduduk miskin. Penyebab dari dalam diantaranya rendahnya kualitas sumber daya
manusia dan sikap individu tersebut. Sedangkan penyebab dari luar adalah keterbatasan
sumber daya alam, tatanan sosial dan kelembagaan dalam masyarakat, kebijakan
pembangunan, kesempatan kerja yang terbatas dan persaingan yang menyebabkan
terpinggirnya penduduk miskin.
Jenis kemiskinan dapat dibedakan berdasarkan pola waktunya yaitu:
(1) persistent poverty, yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun yang
diantaranya merupakan daerah kritis sumber daya alam atau terisolasi;
(2) cyclical poverty, yaitu kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara
keseluruhan.
(3) seasonal poverty, yaitu kemiskinan musiman seperti sering dijumpai kasus-kasus nelayan
dan petani tanaman pangan.
(4) accidental poverty, yaitu kemiskinan karena bencana alam atau dampak dari suatu
kebijakan.
Kemiskinan juga dapat dibedakan melalui perbandingan dengan suatu ukuran tertentu atau
dengan anggota/kelompok masyarakat lainnya. Ukuran kemiskinan absolut dengan
menggunakan garis kemiskinan atau kondisi kondisi tertentu yang mencerminkan situasi
kemiskinan. Sedangkan ukuran kemiskinan relatif dengan membandingkan dengan jumlah
keseluruhan kelompok dan dapat digambarkan melalui Kurva Lorentz dan menggunakan
Gini Ratio untuk mengetahui besarnya kesenjangan.
Strategi pengentasan kemiskinan yang dikemukakan oleh Bank Dunia, bahwa setiap
dekade strategi pengentasan kemiskinan mengalami perkembangan mulai dari penciptaan
lapangan kerja, peningkatan pendapatan, pengembangan kesehatan dan pendidikan,
perlindungan sampai dengan pemberdayaan kaum miskin.
Strategi memerangi kemiskinan yang dikemukakan oleh Gunnar Adler Karlsson yang dikutip
Andre Bayo Ala (1981) meliputi: (1) strategi dalam jangka pendek yaitu memindahkan
sumberdaya-sumberdaya kepada kaum miskin dalam jumlah yang memadai. Perbaikan
keadaan kemiskinan dalam jangka pendek diantaranya menciptakan kesempatan kerja,
meningkatkan pendapatan, dan memperbaiki distribusinya; (2) Strategi jangka panjang
dengan menumbuhkan swadaya setempat. Perbaikan dalam jangka panjang dengan
memperbaiki dan memenuhi harkat hidup secara individual dan sosial yang bermartabat.
Strategi Pengentasan Kemiskinan yang dilaksanakan oleh Pemerintah dapat dibagi
menjadi dua bagian besar, pertama melindungi keluarga dan kelompok masyarakat yang
mengalami kemiskinan sementara, dan kedua membantu masyarakat yang mengalami
kemiskinan kronis dengan memberdayakan dan mencegah terjadinya kemiskinan baru.
Strategi tersebut selanjutnya dituangkan dalam tiga program yang langsung diarahkan pada
penduduk miskin yaitu: (1) penyediaan kebutuhan pokok; 2) pengembangan sistem jaminan
sosial; dan 3) pengembangan budaya usaha. Selain itu penduduk miskin mempunyai strategi
sendiri untuk menanggulangi kemiskinannya. Strategi yang ditempuh yaitu dengan pinjam
dari lembaga informal, menambah jam kerja, anggota keluarga ikut bekerja, merantau atau
berhemat.
Konsep kebijakan yang digunakan pemerintah dalam program pengentasan
kemiskinan dapat dibedakan berdasarkan tradisi dan pendekatan perencanaan yang
melandasinya. Tradisi perencanaan menurut John Friedmann setidaknya terdiri empat tipe
yaitu: (1) perencanaan sebagai reformasi sosial (social reform), bahwa negara menyusun
dan merencanakan berbagai arahan dan pedoman pembangunan untuk diikuti dan
dilaksanakan oleh masyarakat; (2) perencanaan sebagai analisis kebijakan (policy analysis),
bahwa para penentu kebijakan (pemerintah dan pihak terkait lainnya) berdasarkan analisis
data yang ilmiah menyusun dan merencanakan berbagai arahan dan pedoman
pembangunan yang dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat; (3) perencanaan
sebagai pembelajaran sosial (social learning), bahwa pengetahuan perencanaan diperoleh
lewat pengalaman dan disempurnakan lewat praktik (learning by doing), perencanaan serta
pelaksanaan pembangunan dijalankan bersama-sama dengan masyarakat dengan
bimbingan dari ahli; dan (4) perencanaan sebagai mobilisasi sosial (social
mobilization), bahwa perencanaan pembangunan harus dilaksanakan oleh masyarakat dan
digerakkan dengan berbagai konsep/ideologi yang sudah tertanam di dalam jiwa dan
kebudayaan mereka.
Sedangkan jenis-jenis program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan
pemerintah dapat dilihat berdasarkan model pembangunan yang mendasari program-
program tersebut untuk melihat titik berat strategi yang dijalankan program tersebut.
Model pembangunan yang dianut negara berkembang secara garis besar terbagi dalam
empat model pembangunan. Model pembangunan I menitik beratkan pada pertumbuhan
pendapatan nasional. Model pembangunan II menitikberatkan pada pemerataan dan
pemenuhan kebutuhan pokok/dasar. Model pembangunan III berupaya meningkatkan
kualitas sumber daya manusia melalui keikutsertaan masyarakat dan kelompok sasaran
dalam menentukan kebutuhan dan partisipasi dalam proses pembangunan. Sedangkan
model pembangunan IV menitikberatkan pada peningkatan daya saing untuk menghadapi
era globalisasi dan era otonomi daerah.
Evaluasi terhadap program pengentasan kemiskinan diantaranya dapat dilakukan
terhadap pendekatan perencanaan, model pembangunan yang digunakan dan pelaksanaan
program tersebut. Kriteria yang digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan
program pengentasan kemiskinan meliputi: penentuan sasaran dan data yang digunakan
untuk menentukan sasaran; peranan pemerintah daerah, masyarakat umum dan penerima
sasaran program; dan implementasi program di tingkat pemerintah dan masyarakat.
Kendati kelesuan perekenomian dunia, kemiskinan ekstrem di dunia terus berkurang,
menurut laporan terbaru Bank Dunia terkait isu kemiskinan dan kesejahteraan bersama.
Namun, seiring dengan proyeksi tren pertumbuhan, laporan tersebut mengingatkan bahwa
pengurangan ketimpangan yang tinggi semakin penting agar tercapai target pengentasan
kemiskinan ekstrem di tahun 2030.

Menurut edisi pertama dari Laporan Kemiskinan dan Kesejahteraan Bersama (Poverty and
Shared Prosperity Report) – sebuah paparan baru data terkini dan akurat terkait kemiskinan
dan kesejahteraan bersama di dunia – sekitar 800 juta orang bertahan hanya dengan kurang
dari US$1,9 per hari di tahun 2013. Jumlah tersebut sekitar 100 juta lebih sedikit dibanding
di tahun 2012.

Perbaikan untuk mengentaskan kemiskinan ekstrem lebih banyak didorong oleh kawasan
Asia Timur dan Pasifik, terutama Tiongkok, Indonesia, dan India. Setengah dari penduduk
miskin ekstrem di dunia berasal dari kawasan Afrika Sub-Sahara dan sepertiga-nya lagi di
Asia Selatan.

Di 60 dari 83 negara yang tercakup oleh laporan tersebut, sejak tahun 2008 pendapatan
rata-rata rakyat yang hidup di 40 persen terbawah telah meningkat, walaupun terjadi krisis
keuangan di masa itu. Lebih penting lagi, negara-negara ini mewakili 67 persen dari
penduduk dunia.

Laporan ini menemukan bahwa di 34 dari 83 negara yang dipantau, kesenjangan


pendapatan melebar seiring dengan meningkatnya pendapatan di antara 60 persen terkaya
dibanding mereka yang berada di 40 persen termiskin. Dan di 23 negara, penduduk yang
merupakan 40 persen golongan termiskin menderita penurunan pendapatan selama
beberapa tahun, dan tidak saja bila dibanding penduduk terkaya namun secara absolut.

Setelah mempelajari sekelompok negara – termasuk Brasil, Kamboja, Mali, Peru dan
Tanzania – yang berhasil mengurangi ketimpangan secara signifikan selama beberapa tahun
terakhir, dan mempelajari berbagai bukti yang tersedia, peneliti Bank Dunia
mengindentifikasi enam strategi yang berpeluang memberi dampak. Strategi tersebut
mengungkap kebijakan yang terbukti telah menambah penghasilan masyarakat miskin,
memperbaiki akses masyarakat terhadap layanan penting, dan memperkuat prospek
pembangunan jangka panjang tanpa merusak pertumbuhan. Kebijakan ini berkinerja baik
ketika didampingi oleh pertumbuhan yang kuat, manajemen makro ekonomi yang baik, dan
pasar tenaga kerja yang dapat menciptakan lapangan kerja dan memungkinkan masyarakat
termiskin untuk memanfaatkan peluang tersebut.

Anda mungkin juga menyukai