Ekopem 11 Ayu Wandira
Ekopem 11 Ayu Wandira
NIM : 21106073
Secara etimologi kemiskinan berasal dari kata miskin, yang berarti tidak mempunyai
harta dan benda atau dengan kata lain serba kekurangan. Sedangkan secara terminologi
kemiskinan menurut Sorjono Soekanto ialah kemiskinan suatu kondisi seseorang yang tidak
dapat untuk menyesuaikan dirinya sesuai dengan gaya hidup kelompok dan juga tidak
mampu lagi untuk memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya. Kemiskinan merupakan
suatu kondisi ketidakmampuan secara ekonomi untuk memenuhi standar hidup rata–rata
masyarakat di suatu daerah.
Indikator Kemiskinan :
2. Tidak memiliki jaminan masa depan karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan
keluarga.
1. Pengangguran
Karena tidak bekerja pastilah setiap individu tidak memiliki pendapatan, jika
masyarakat tidak mempunyai penghasilan maka setiap kebutuhan pangannya juga tidak
terpenuhi. Secara tidak langsung pengangguran akan menurunkan daya saing dan beli
masyarakat. Sehingga akan memberikan dampak negatif terhadap tingkat pendapatan,
nutrisi, dan tingkat pengeluaraan rata-rata.
2. Kekerasan
Akhir-akhir ini kekerasan terus merajalela hal ini disebabkan karena semakin
tingginya tingkat pengangguran di Indonesia. Jika seseorang tak mampu lagi dalam
mencari nafkah dengan benar dan halal maka mereka berpikir bagaimana mendapatkan
uang secara instan, seperti merampok, mencuri,dan menipu . Mereka tak berpikir lagi
bahwa hal tersebut adalah cara yang haram.
3. Pendidikan
Saat ini tingkat putus sekolah terus meningkat. Mahalnya biaya pendidikan
membuat masyarakat miskin tidak dapat lagi menjangkqu dunia pendidikan. Sebab
mereka begitu miskin mereka berpikir bahwa untuk makan saja susah apalagi harus
membayar uang sekolah. Padahal jika ini terus menerus terjadi maka tingkat pendidikan akan
terus merosot dan mereka juga
4. Kesehatan
Seperti kita ketahuai biaya pengobatan saat ini sangatlah mahal. Hampir setiap klinik
dan beberapa rumah sakit swasta besar menerapkan tarif pengobatan yang cukup besar
hal tersebut sangatlah sulit dijangkau oleh masyarakat miskin.
Biasanya konfilik SARA muncul karena akibat ketidakpuasan dan kekecewaan atas
kondisi miskin yang tinggi. Hal ini menjadi bukti lain dari kemiskinan yang kita alami. M
Yudhi Haryono menyebut akibat ketiadaan jaminan keadilan”keamanan” dan
perlindungan hukum dari negara,persoalan ekonomi-politik yang obyektif
disublimasikan ke dalam bentrokan identitas yang subjtektif.
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan adalah hubungan yang
kompleks dan kontroversional. Secara umum, pertumbuhan ekonomi adalah prakondisi
bagi pengurangan kemiskinan. Namun ini tidaklah cukup, berbagai studi telah mencoba
menganalisis hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan yang secara
metodologi dapat dikelompokkan menjadi dua (Berardi dan Marzo, 2015).
ANALISIS EMPIRIS
Hasil penelitian ini secara empiris menemukan bahwa tingkat kesenjangan ekonomi di
Provinsi Sulawesi Selatan yang ditunjukan dengan nilai Indeks Wiliamson pada kurun
waktu 2011-2015 memiliki kecenderungan menurun dengan kategori sedang dengan
nilai rata-rata selama 5 tahun sebesar 0,64. Ketimpangan wilayah yang diukur dengan
Indeks Theil, menunjukan kesenjangan antar wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan
berfluktuasi.
2. ANALISA KEMISKINAN DAN KESENJANGAN PENDAPATAN
Antara pertengahan tahun 1960-an sampai tahun 1996, waktu Indonesia berada di bawah
kepemimpinan Pemerintahan Orde Baru Suharto, tingkat kemiskinan di Indonesia menurun
drastis - baik di desa maupun di kota - karena pertumbuhan ekonomi yang kuat dan adanya
program-program penanggulangan kemiskinan yang efisien. Selama pemerintahan Suharto
angka penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan menurun drastis, dari
awalnya sekitar setengah dari jumlah keseluruhan populasi penduduk Indonesia, sampai
hanya sekitar 11 persen saja.
Namun, ketika pada akhir tahun 1990-an Krisis Finansial Asia terjadi, tingkat
kemiskinan di Indonesia melejit tinggi, dari 11 persen menjadi 19.9 persen di akhir
tahun 1998, yang berarti prestasi yang sudah diraih Orde Baru hancur seketika.
201
2013 2014 2016 2017
5
Kemiskinan Relatif
11.5 11.0 11.2 10.7 10.1
(% dari populasi)
Kemiskinan Absolut
28.6 27.7 28.5 27.8 26.6
(dalam jutaan)
Koefisien Gini/
0.41 0.41 0.41 0.40 0.39
Rasio Gini
2007 2008 2009 2010
Kemiskinan Relatif
16.6 15.4 14.2 13.3
(% dari populasi)
Kemiskinan Absolut
37 35 3.25 31.0
(dalam jutaan)
Koefisien Gini/
0.35 0.35 0.37 0.38
Rasio Gini
Tabel di atas menunjukkan penurunan kemiskinan nasional secara perlahan dan konsisten.
Namun, pemerintah Indonesia menggunakan persyaratan yang tidak ketat mengenai definisi
garis kemiskinan, sehingga yang tampak adalah gambaran yang lebih positif dari
kenyataannya. Tahun 2016 pemerintah Indonesia mendefinisikan garis kemiskinan dengan
perdapatan per bulannya (per kapita) sebanyak Rp. 354,386 (atau sekitar USD $25) yang
dengan demikian berarti standar hidup yang sangat rendah, juga buat pengertian orang
Indonesia sendiri.
Namun jika kita menggunakan nilai garis kemiskinan yang digunakan Bank Dunia, yang
mengklasifikasikan persentase penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang
dari USD $1.25 per hari sebagai mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan (dengan kata
lain miskin), maka persentase tabel di atas akan kelihatan tidak akurat karena nilainya
seperti dinaikkan beberapa persen. Lebih lanjut lagi, menurut Bank Dunia, kalau kita
menghitung angka penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $2
per hari angkanya akan meningkat lebih tajam lagi. Ini menunjukkan bahwa sebagian
besar penduduk Indonesia hidup hampir di bawah garis kemiskinan. Laporan lebih anyar lagi
di media di Indonesia menginformasikan bahwa sekitar seperempat jumlah penduduk
Indonesia (sekitar 65 juta jiwa) hidup hanya sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional.
Stabilitas harga makanan (khususnya beras) merupakan hal penting sekali bagi Indonesia
sebagai negara yang penduduknya menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk
membeli beras (dan produk makanan lain). Oleh karena itu, tekanan inflasi pada harga beras
(misalnya karena gagal panen) dapat memiliki konsekuensi serius bagi mereka yang miskin
atau hampir miskin. Bahkan sebagian dari mereka yang hidup sedikit saja di atas garis
kesmiskinan bisa jatuh dalam kemiskinan penuh karena inflasi yang tinggi.
Selain inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga makanan, keputusan pemerintah untuk
mengurangi subsidi (terutama subsidi untuk BBM dan listrik) menyebabkan inflasi yang
tinggi. Misalnya waktu pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan
pemotongan subsidi BBM pada akhir tahun 2005 terjadinya peningkatan signifikan angka
kemiskinan di antara tahun 2005 dan 2006. Harga minyak internasional yang naik membuat
pemerintah terpaksa mengurangi subsidi BBM waktu itu guna meringankan defisit anggaran
pemerintah. Konsekuensinya adalah inflasi dua digit di antara 14 sampai 19 persen (tahun-
ke-tahun) terjadi sampai oktober 2006. Presiden Joko Widodo juga mengurangi subsidi
BBM, baik pada akhir tahun 2014 maupun awal tahun 2015. Namun karena harga minyak
internasional yang lemah pada waktu itu, keputusan ini tidak mengimplikasikan dampak
yang luar biasa pada angka inflasi. Toh, angka inflasi Indonesia naik menjadi di antara 8 - 9
persen (t/t) pada tahun 2014 maka ada peningkatan kemiskinan sedikit di Indonesia di
antara tahun 2014 dan 2015, baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan.
Salah satu karakteristik kemiskinan di Indonesia adalah perbedaan yang begitu besar antara
nilai kemiskinan relatif dan nilai kemiskinan absolut dalam hubungan dengan lokasi
geografis. Jika dalam pengertian absolut lebih dari setengah jumlah total penduduk
Indonesia yang hidup miskin berada di pulau Jawa (yang berlokasi di bagian barat Indonesia
dengan populasi padat), dalam pengertian relatif propinsi-propinsi di Indonesia Timur
menunjukkan nilai kemiskinan yang lebih tinggi. Tabel di bawah ini menunjukkan lima
propinsi di Indonesia dengan angka kemiskinan relatif yang paling tinggi. Semua propinsi ini
berlokasi di luar wilayah Indonesia Barat seperti pulau Jawa, Sumatra dan Bali (yang adalah
wilayah-wilayah yang lebih berkembang dibanding pulau-pulau di bagian timur Indonesia).
Menurut edisi pertama dari Laporan Kemiskinan dan Kesejahteraan Bersama (Poverty and
Shared Prosperity Report) – sebuah paparan baru data terkini dan akurat terkait kemiskinan
dan kesejahteraan bersama di dunia – sekitar 800 juta orang bertahan hanya dengan kurang
dari US$1,9 per hari di tahun 2013. Jumlah tersebut sekitar 100 juta lebih sedikit dibanding
di tahun 2012.
Perbaikan untuk mengentaskan kemiskinan ekstrem lebih banyak didorong oleh kawasan
Asia Timur dan Pasifik, terutama Tiongkok, Indonesia, dan India. Setengah dari penduduk
miskin ekstrem di dunia berasal dari kawasan Afrika Sub-Sahara dan sepertiga-nya lagi di
Asia Selatan.
Di 60 dari 83 negara yang tercakup oleh laporan tersebut, sejak tahun 2008 pendapatan
rata-rata rakyat yang hidup di 40 persen terbawah telah meningkat, walaupun terjadi krisis
keuangan di masa itu. Lebih penting lagi, negara-negara ini mewakili 67 persen dari
penduduk dunia.
Setelah mempelajari sekelompok negara – termasuk Brasil, Kamboja, Mali, Peru dan
Tanzania – yang berhasil mengurangi ketimpangan secara signifikan selama beberapa tahun
terakhir, dan mempelajari berbagai bukti yang tersedia, peneliti Bank Dunia
mengindentifikasi enam strategi yang berpeluang memberi dampak. Strategi tersebut
mengungkap kebijakan yang terbukti telah menambah penghasilan masyarakat miskin,
memperbaiki akses masyarakat terhadap layanan penting, dan memperkuat prospek
pembangunan jangka panjang tanpa merusak pertumbuhan. Kebijakan ini berkinerja baik
ketika didampingi oleh pertumbuhan yang kuat, manajemen makro ekonomi yang baik, dan
pasar tenaga kerja yang dapat menciptakan lapangan kerja dan memungkinkan masyarakat
termiskin untuk memanfaatkan peluang tersebut.