Makalah Hukum Perikatan
Makalah Hukum Perikatan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia hidup dan berkembang dalam suatu susunan masyarakat sosial yang
mana di dalamnya terdapat saling ketergantungan satu sama lain, seorang manusia tidak
akan dapat hidup sendiri dan akan selalu membutuhkan orang yang lain untuk
mendampingi hidupnya.
Berbicara mengenai kehidupan masyarakat tentu tidak terlepas dari yang namanya
kehidupan sosial, dalam struktur kehidupan bermasyarakat tentu terdapat berbagai hal
yang dianggap sebagai pengatur yang bersifat kekal, mengikat dan memiliki sanksi yang
tegas bagi para pelanggarnya. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai hukum. Hukum yang
kini akan kita bahas merupakan hukum yang mengatur segala bentuk tindakan antar
perseorangan atau antar sesama manusia, hukum ini dapat kita sebut sebagai hukum
perdata.
Dalam hukum perdata ini banyak sekali hal yang dapat menjadi cangkupannya,
salah satunya adalah perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan
harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu
dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini
merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum
lain yang menimbulkan perikatan.
Di dalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang
bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimana pun, baik itu yang diatur
dengan undang-undang atau tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak,
dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum,
sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang. Di dalam perikatan ada perikatan
untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan
untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak
melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk
tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah
disepakati dalam perjanjian.
Dalam perikatan terdapat beberapa pokok bahasan diantaranya: Ketentuan Umum
Perikatan, Prestasi dan Wanprestasi, Jenis-Jenis Perikatan, Perbuatan Melawan Hukum,
Perwakilan Sukarela, Pembayaran Tanpa Utang dan Hapusnya Perikatan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yang
menjadi dasar pembahasan materi kami, diantaranya :
1. Apa yang dimaksud dengan ketentuan umum dalam perikatan ?
2. Apa saja jenis-jenis dari perikatan itu ?
3. Bagaimana cara menghapuskan perikatan ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perikatan,
2. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai jenis-jenis perikatan,
3. Untuk mengetahui bagaimana cara untuk menghapuskan perikatan.
D. Manfaat Penulisan
1. Sebagai tambahan pengetahuan bagi penulis maupun pembaca,
2. Membuka wawasan tentang perikatan dan bagian-bagian yang lainnya termasuk jenis-
jenis maupun cara penghapusannya,
3. Memberikan fakta dan gambaran yang relevan mengenai hukum perikatan.
E. Sistematika Penulisan
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Manfaat Penulisan
E. Sistematika Penulisan
BAB II KAJIAN TEORI
A. Ketentuan Umum Perikatan
B. Prestasi dan Wanprestasi
C. Jenis-Jenis Perikatan
D. Perbuatan Melawan Hukum
E. Perwakilan Sukarela
F. Pembayaran Tanpa Utang
G. Hapusnya Perikatan
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
ISI
A. PERIKATAN
1. Ketentuan Umum Perikatan
Perikatan adalah terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda verbintenis.
Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain. Hal
yang mengikat itu adalah peristiwa hukum yang dapat berupa :
a. Perbuatan, misalnya jual beli, utang-piutang, hibah.
b. Kejadian, misalnya kelahiran, kematian,
c. Keadaan, misalnya rumah susun
Peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum antara pihak yang satu
dengan pihak lainnya. Dalam hubungan tersebut, setiap pihak memiliki hak dan
kewajiban timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu
terhadap pihak lainnya dan pihak lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, juga sebaliknya.
Dalam hubungan utang-piutang, pihak berutang disebut debitor, sedangkan pihak yang
memberi utang disebut kreditor. Dalam hubungan jual-beli, pihak pembeli berposisi
sebagai debitor, sedangkan pihak penjual sebagai kreditor. Dalam perjanjian hibah, pihak
pemberi hibah berposisi sebagai debitor, sedangkan pihak penerima hibah sebagai
kreditor.
2. Pengaturan Perikatan
Perikatan diatur dalam Buku KUH Perdata. Perikatan adalah hubungan hukum
yang terjadi karena perjanjian dan Undang-Undang. Aturan mengenai perikatan meliputi
bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum meliputi aturan yang tercantum dalam
Bab I, Bab II, Bab III (Pasal 1352 dan 1353), dan Bab IV KUH Perdata yang belaku bagi
perikatan umum. Adapun bagian khusus meliputi Bab III (kecuali Pasal 1352 dan 1353)
dan Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata yang berlaku bagi perjanjian-
perjanjian tertentu saja, yang sudah ditentukan namanya dalam bab-bab bersangkutan.
Pengaturan nama didasarkan pada “sistem terbuka”, maksudnya setiap orang
boleh mengadakan perikatan apa saja, baik yang sudah ditentukan namanya maupun yang
belum ditentukan namanya dalam Undang-Undang. Sistem terbuka dibatasi oleh tiga hal,
yaitu :
a. Tidak dilarang Undang-Undang
b. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum
c. Tidak bertentangan dengan kesusilaan
Sesuai dengan penggunaan sistem terbuka, maka pasal 1233 KUH Perdata
menetukan bahwa perikatan dapat terjadi, baik karena perjanijian maupun karena
Undang-Undang. Dengan kata lain, sumber peikatan adalah Undang-Undang dan
perikatan. Dalam pasal 1352 KUH Perdata, perikatan yang terjadi karena Undang-
Undang dirinci menjadi dua, yaitu perikatan yang terjadi semata-mata karena ditentukan
dalam Undang-Undang dan perikatan yang terjadi karena perbuatana orang. Perikatan
yang terjadi karena perbuatan orang, dalam pasal 1353 KUH Perdata dirinci lagi menjadi
perbuatan menurut hukum (rechmatig daad) dan perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad).
3. Unsur-Unsur Perikatan
a. Subjek perikatan
Subjek perikatan disebut juga pelaku perikatan. Perikatan yang dimaksud meliputi
perikatan yang terjadi karena perjanjian dan karena ketentuan Undang-Undang. Pelaku
perikatan terdiri atas manusia pribadi dan dapat juga badan hukum atau persekutuan.
Setiap pelaku perikatan yang mengadakan perikatan harus:
1) Ada kebebasan menyatakan kehendaknya sendiri
2) Tidak ada paksaan dari pihak manapun
3) Tidak ada penipuan dari salah satu pihak, dan
4) Tidak ada kekhilafan pihak-pihak yang bersangkutan
b. Wenang berbuat
Setiap pihak dalam dalam perikatan harus wenang berbuat menurut hukum dalam
mencapai persetujuan kehendak (ijab kabul). Persetujuan kehendak adalah pernyataan
saling memberi dan menerima secara riil dalam bentuk tindakan nyata, pihak yang satu
menyatakan memberi sesuatau kepada yang dan menerima seseuatu dari pihak lain.
Dengan kata lain, persetujuan kehendak (ijab kabul) adalah pernyataan saling memberi
dan menerima secara riil yang mengikat kedua pihak. Setiap hak dalam perikatan harus
memenuhi syarat-syarat wenang berbuat menurut hukum yang ditentukan oleh undang-
undang sebagai berikut:
1) Sudah dewasa, artinya sudah berumur 21 tahun penuh
2) Walaupun belum dewasa, tetapi sudah pernah menikah
3) Dalam keadaan sehat akal (tidak gila)
4) Tidak berada dibawah pengampuan
5) Memiliki surat kuasa jika mewakili pihak lain
Perstujuan pihak merupakan perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak untuk
saling memenuhi kewajiban dan saling memperoleh hak dalam setiap perikatan.
Persetujuan kehendak juga menetukan saat kedua pihak mengakhiri perikatan karena
tujuan pihak sudah tercapai. Oleh sebab itu, dapat dinyatakan bahwa perikatan menurut
sistem hukum prdata, baru dalam taraf menimbulkan kewajiban dan hak pihak-pihak,
sedangkan persetujuan kehendak adalah pelaksanaan atau realisasi kewajiban dan pihak-
pihak sehingga kedua belah pihak memperoleh hak masing-masing.
Bagaimana jika halnya salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sehingga
pihak lainnya tidak memperoleh hak dalam perikatan ? dalam hal ini dapat dikatakan
bahwa pihak yang tidak memenuhi kewajibannya itu telah melakukan wanprestasi yang
merugikan pihak lain. Dengan kata lain, perjanjian tersebut dilanggar oleh salah satu
pihak.
c. Objek perikatan
Objek perikatan dalam hukum perdata selalu berupa benda. Benda adalah setiap
barang dan hak halal yang dapat dimiliki dan dinikmati orang. Dapat dimilik dan
dinikmati orang maksudnya memberi manfaat atau mendatangkan keuntungan secara
halal bagi orang yang memilikinya.
Benda objek perikatan dapat berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak.
Benda bergerak adalah benda yang dapat diangkat dan dipindahkan, seperti motor, mobil,
hewan ternak. Sedangkan benda tidak bergerak adalah benda yang tidak dapat
dipindahkan dan diangkat, seperti rumah, gedung. Apabila benda dijadikan objek
perikatan, benda tersebut harus memenuhi syarat seperti yang ditetapkan oleh undang-
undang. Syarat-syarat tersebut adalah :
1) Benda dalam perdagangan
2) Benda tertentu atau tidak dapat ditentukan
3) Benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud
4) Benda tersebut tidak dilarang oleh Undang-Undang atau benda halal
5) Benda tersebut ada pemiliknya dan dalam pengawasan pemiliknya
6) Benda tersebut dapat diserahkan oleh pemiliknya
7) Benda itu dalam penguasaan pihak lain berdasar alas hak sah
d. Tujuan perikatan
Tujuan pihak-pihak mengadakan perikatan adalah terpenuhinya prestasi bagi
kedua belah pihak. Prestasi yang dimaksud harus halal, artinya tidak dilarang Undang-
Undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan
kesusilaan masyarakat. Prestasi tersebut dapat berbentuk kewajiban memberikan sesuatu,
kewajiban melakukan sesuatu (jasa), atau kewajiban tidak melakukan sesuatu (Pasal 1234
KUH Perdata).
4. Ketentuan Umum dan Khusus
Dalam penerapannya, ketentuan umum dalam Bab I-IV Buku III KUH Perdata
diberlakukan untuk semua perikatan, baik yang sudah diatur dalam Bab III (kecuali Pasal
1352 dan 1353) dan Bab V-XVIII maupun yang diatur dalam KUHD. Menurut ketentuan
Pasal 1319 KUH Perdata bahwa: “semua perjanjian yang mempunyai nama tertentu
maupun yang tidak mempunyai nama tertentu, tunduk pada ketentuan umum yang dimuat
dalam bab ini dan bab yang lalu”. Yang dimaksud dengan “bab ini dan bab yang lalu”
dalam pasal ini adalah bab Bab II tentang perikatan yang timbul dari pejanjian dan Bab I
tentang perikatan pada umumnya.
Penerapan ketentuan umum terhadap hal-hal yang diatur secara khusus, dalam
ilmu hukum dikenal dengan adagium iex specialis deroget legi generali. Artinya,
ketentuan hukum khusus yang dimenangkan dari ketentuan hukum umum. Maknanya
jika mengenai suatu hal sudah diatur secara khusus, ketentuan umum yang mengatur hal
yang sama tidak perlu diberlakukan lagi. Jika suatu hal belum diatur secara khusus,
ketentuan umum yang mengatur hal yang sama diberlakukan.
B. PRESTASI DAN WANPRESTASI
1. Prestasi
Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitor dalam setiap perikatan.
Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi
selalu disertai jaminan harta kekayaan debitor. Dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPdt
dinyatakan bahwa harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak,
baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan utangnya
terhadap kreditor. Namun, jaminan umum ini dapat dibatasi dengan jaminan khusus
berupa benda tertentu yang ditetapkan dalam perjanjian antara pihak-pihak.
Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPdt, selalu ada tiga kemungkinan wujud
prestasi, yaitu:
a. Memberikan sesuatu, misalnya, menyerahkan benda, membayar harga benda,
dan memberikan hibah penelitian.
b. Melakukan sesuatu, misalnya, membuatkan pagar pekarangan rumah, mengangkut
barang tertentu, dan menyimpan rahasia perusahaan.
c. Tidak melakukan sesuatu, misalnya, tidak melakukan persaingan curang, tidak
melakukan dumping, dan tidak menggunakan merek orang lain.
Pasal 1235 ayat (1) KUHPdt menjelaskan pengertian memberikan sesuatu, yaitu
menyerahkan penguasaan nyata atas suatu benda dari debitor kepada kreditor atau
sebaliknya, misalnya, dalam jual beli, sewa menyewa, perjanjian gadai, dan utang
piutang. Dalam perikatan yang objeknya “melakukan sesuatu”, debitor wajib melakukan
perbuatan tertentu yang telah ditetapkan dalam perikatan, misalnya, melakukan perbuatan
membongkar tembok, mengosongkan rumah, dan membangun gedung. Dalam
melakukan perbuatan tersebbut, debitor arus mematuhi semua ketentuan dalam perikatan.
Debitor bertanggung jawab atas perbuatannya yang tidak sesuai dengan ketentuan
perikatan. Dalam perikatan yang objeknya “tidak melakukan sesuatu”, debitor tidak
melakukan perbuatan yang telah disepakati dalam perikatan, misalnya, tidak membuat
tembok rumah yang tinggi sehingga menghalangi pemandangan tetangganya. Apabila
debitor melakukan pembuatan tembok yang berlawanan dengan perikatan ini, dia
bertanggung jawab karena melanggar perjanjian dan harus membongkar tembok atau
membayar ganti kerugian kepada tetangganya.
Sebagian besar perikatan yang dialami dalam masyarakat terjadi karena
perjanjian. Karena itu, Undang-Undang mengatur bahwa perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak yang membuatnya (Pasal 1338
ayat (1) KUHPdt). Artinya, jika salah satu pihak tidak bersedia memenuhi prestasinya,
kewajiban berprestasi itu dapat dipaksakan.
Jika pihak yang satu tidak memenuhi prestasinya, pihak yang lainnya berhak
mengajukan gugatan ke muka pengadilan dan pengadilan akan memaksakan pemenuhan
prestasi tersebut dengan menyita dan melelang harta kekayaannya sejumlah yang wajib
dipenuhinya kepada pihak lain. Perjanjian yang diakui dan diberi akibat hukum itu adalah
perjanjian yang tidak dilarang Undang-Undang serta tidak bertentangan dengan
ketertiban umum dan kesusilaan masyarakat. Karena itu, ada tiga sumber perikatan, yaitu
perjanjian, Undang-Undang, serta ketertiban umum dan kesusilaan.
2. Sifat Prestasi
Sifat-sifat prestasi yang perlu diketahui oleh debitor adalah:
a. Prestasi harus sudah tertentu atau dapat ditentukan. Sifat ini memungkinkan debitor
memenuhi perikatan. Jika prestasi itu tidak tertentu atau tidak dapat ditentukan,
mengakibatkan perikatan itu batal (nietig).
b. Prestasi itu harus mungkin. Artinya, prestasi itu dapat dipenuhi oleh debitor secara wajar
dengan segala upayanya. Jika tidak demikian, perikatan itu dapat dibatalkan
(vernietigbaar)
c. Prestasi itu harus dibolehkan (halal). Artinya, tidak dilarang oleh Undang-Undang, tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan
masyarakat. Jika prestasi tidak halal, perikatan itu batal (nietig)
d. Prestasi itu harus ada manfaat bagi kreditor. Artinya, kreditor dapat menggunakan,
menikmati, dan mengambil hasilnya. Jika tidak demikian, perikatan itu dapat dibatalkan
(vernietigbaar)
e. Prestasi itu terdiri atas satu perbuatan atau serentetan perbuatan. Jika prestasi berupa satu
kali perbuatan dilakukan lebih dari satu kali, dapat mengakibatkan pembatalan perikatan
(vernietigbaar). Satu kali perbuatan itu maksudnya pemenuhan mengakhiri perikatan,
sedangkan lebih dari satu kali perbuatan maksudnya pemenuhan yang terakhir
mengakhiri perikatan.
3. Wanprestasi
Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam
perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitor karena dua kemungkinan alasan,
yaitu:
a. Karena kesalahan debitor, baik karena kesengajaan maupun kelalaian dan
b. Karena keadaan memaksa (force majeure, diluar kemampuan debitor.Jadi, debitor tidak
bersalah.
Untuk menentukan apakah seorang debitor bersalah melakukan wanprestasi, perlu
ditentukan dalam keadaan bagaimana debitor diakatakan sengaja atau lalai tidak
memenuhi prestasi. Dalam hal ini, ada tiga keadaan, yaitu:
a. Debitor tidak memnuhi prestasi sama sekali;
b. Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak baika atau keliru; dan
c. Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.
Untuk mengetahui sejak kapan debitor dalam keadaan wanprestasi, perlu
diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan jangka waktu pelaksanaan
pemenuhan prestasi atau tidak? Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan
prestasi tidak ditentukan, perlu memperingatkan debitor supaya dia memenuhi prestasi.
Dalam hal telah ditentukan tenggang waktunya, menurut ketentuan Pasal 1238 KUHPdt
debitor dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam
perikatan.
Bagaimana cara memperingatkan debitor supaya dia memenuhi prestasinya?
Debitor perlu diberi peringatan tertulis, yang isinya menyatakan bahwa debitor wajib
memenuhi prestasi dalam waktu yang ditentukan. Jika dalam waktu itu debitor tidak
memenuhinya, debitor dinyatakan telah lalai atau wanprestasi.
Peringatan tertulis dapat dilakukan secara resmi dan dapat juga secara tidak resmi.
Peringatan tertulis secara resmi dilakukan melalui pengadilan negeri yang berwenang,
yang disebut sommatie. Kemudian, pengadilan negeri dengan perantaraan juru sita
menyampaikan surat peringatan tersebut kepada debitor yang disertai berita acara
penyampaiannya. Peringatan tertulis tidak resmi, misalnya, melalui surat tercatat,
telegram, faksimile, atau disampaikan senidri oleh kreditor kepada debitor dengan tanda
terima. Surat peringatan ini disebut ingebreke stelling.
Akibat hukum bagi debitor yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman
atau sanksi hukum berikut ini:
a. Debitor diwajibkan membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditor (Pasal 1243
KUHPdt).
b. Apabila perikatan itutimbal balik, kreditor dapat menuntut pemutusan atau pembatalan
perikatan melalui pengadilan (Pasal 1266 KUHPdt)
c. Perikatan untuk memberikan sesuatu, risiko beralih kepada debitor sejak terjadi
wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2) KUHPdt)
d. Debitor diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan atau pembatalan
disertai pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPdt)
e. Debitor wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka pengadilan negeri dan
debitor dinyatakan bersalah
4. Keadaan Memaksa
Keadaan memaksa (force majeure) adalah keadaan tidak dipenuhinya prestasi
oleh debitor karena terjadi peristiwa yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga
akan terjadi ketika membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa debitor tidak dapat
disalahkan karena keadaan ini timbul di luar kemauan dan kemampuan debitor. Unsur-
unsur keadaan memaksa adalah sebagai berikut:
a. Tidak dipenuhi prestasi karena terjadi peristiwa yang membinasakan atau
memusnahkan benda objek perikatan; atau
b. Tidak dipenuhi prestasi karena terjadi peristiwa yang menghalangi perbuatandebitor
untuk berprestasi
c. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat
perikatan
Keadaan memaksa yang memenuhi unsur (a) dan (c), maka keadaan memaksa itu
disebut “keadaan memaksa objektif”. Vollmar menyebutnya absolute
overmacht.Dasarnya adalah ketidakmungkinan (impossinillity) memenuhi prestasi karena
bendanya lenyap/musnah. Dalam hal keadaan memaksa yang memenuhi unsure (b) dan
(c) keadaan memaksa ini disebut “keadaan memaksa subjektif”, Vollmar
menyebutnya relative overmacht. Dasarnya adalah kesulitan memenuhi prestasi karena
ada peristiwa yang menghalangi debitor untuk berbuat.
Perbedaan antara ”perikatan batal” dan “perikatan gugur” terletak pada ada
tidaknya objek perikatan dan objek tersebut harus mungkin dipenuhi. Pada perikatan
batal, objek perikatan tidak ada karena musnah sehingga tidak mungkin dipenuhi oleh
debitor (sifat prestasi). Pada perikatan gugur, objek perikatan ada sehingga mungkin
dipenuhi dengan segala macam upaya debitor, tetapi tidak mempunyai arti lagi bagi
kreditor. Jika prestasi betul-betul dipenuhi oleh debitor, tetapi kreditor tidak menerima
(menolak) karena tidak ada manfaatnya lagi, perikatan dapat dibatalkan
(vernietigbaar).Persamaannya adalah pada perikatan batal dan perikatan gugur keduanya
itu tidak mencapai tujuan.
Pembentuk Undang-Undang tidak mengatur keadaan memaksa secara umum
dalam KUHPdt. Akan tetapi, secara khusus diatur untuk perjanjian-perjanjian tertentu
saja, misalnya pada:
a. Perjanjian hibah (Pasal 1237 KUHPdt);
b. Perjanjian jual beli (Pasal 1460 KUHPdt);
c. Perjanjian tukar-menukar (Pasal 1545 KUHPdt); dan
d. Perjanjian sewa-menyewa (Pasal 1553 KUHPdt).
Oleh karena itu pihak-pihak bebas memperjanjikan tanggung jawab itu dalam
perjanjian yang mereka buat apabila terjadi keadaan memaksa. Risiko keadaan memaksa
pada perjanjian hibah ditanggung oleh kreditor (Pasal 1237 KUHPdt). Risiko keadaan
memaksa pada perjanjian jual beli ditanggung oleh kedua belah pihak, penjual dan
pembeli, (surat edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1963
mengenai Pasal 1460 KUHPdt). Risiko keadaan memaksa pada perjanjian tukar menukar
ditanggung oleh pemiliknya (Pasal 1545 KUHPdt).
Adapun risiko keadaan memaksa pada perjanjian sewa menyewa ditanggung oleh
pemilik benda (Pasal 1553 KUHPdt). Menurut Pasal1243 KUHPdt, ganti kerugian karena
tidak dipenuhinya suatu perikatan, baru diwajibkan jika debitor setelah dinyatakan lalai
memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya; atau seseuatu yang harus diberikan atau
dikerjakannyam, hanya dapat diberikan atau dikerjakan dalam tenggang waktu yang telah
dilewatinya.
Yang dimaksud dengan “kerugian” dalam pasal diatas adalah kerugian yang
timbul karena debitor melakukan wanpresatsi (lalai memenuhi perikatan). Kerugian
tersebut wajib diganti oleh debitor terhitung sejak dia dinyatakan lalai. Ganti kerugian itu
terdiri atas tiga unsure, yaitu:
a. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan, misalnya ongkos cetak, biaya materai, dan
biaya iklan
b. Kerugian sesungguhnya karen kerusakan, kehilangan benda milik kreditor akibat
kelalaian debitor, misalnya, busuknya buah-buahan Karen terlambat melakukan
penyerahan
c. Bunga atau keuntungan yang diharapkan, misalnya bunga yang berjalan selama
piutang terlambat dilunasi
5. Ganti Kerugian
Ganti kerugian hanya berupa uang bukan barang, kecuali jika diperjanjikan lain.
Untuk melindungi debitor dari tuntutan sewenang-wenang dari pihak kreditor, Undang-
Undang memberikan pembatasan terhadap ganti kerugian yang wajib dibayar oleh
debitor sebagai akibat dari kelalainnya (wanprestasi). Kerugian yang harus diabayar oleh
debitor hanya meliputi:
a. Kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan
b. Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi (kelalaian) debitor
c. Bunga dalam hal terlambat membayar sejumlah utang.
C. JENIS-JENIS PERIKATAN
1. Perikatan Bersyarat
Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis) adalah perikatan yang
digantungkan pada syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan
belum pasti terjadi, baik dalam menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga terjadi
peristiwa maupun dengan membatalkan perikatan karena terjadi atau tidak terjadi
peristiwa (Pasal 1253 KUHP dt). Perikatan bersyarat di bagi tiga yaitu :
a. Perikatan dengan syarat tangguh
Apabila syarat peristiwa itu terjadi, maka perikatan di laksanakan (Pasal 1263
KUHP dt). Misalnya Oki setuju apabila Ramdan adiknya mendiami pavilium rumahnya
setelah menikah. Nah, nikah adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti
terjadi. Sifatnya menangguhkan pelaksanaan perikatan. Jika ramdan menikah, maka Oki
wajib menyerahkan pavilium rumahnya untuk didiami oleh Ramdan.
b. Perikatan dengan syarat batal
Disini justru perikatan yang sudah ada akan berakhir apabila peristiwa yang
dimaksudkan itu terjadi (Pasal 1265 KUHP dt). Misalnya, Arlita setuju apabila Regi
kakaknya mendiami rumah Arlita selama dia tugas di Perancis dengan syarat bahwa
Regi harus mengosongkan rumah tersebut apabila Arlita selesai studi dan kembali ke
tanah air. Di sini syarat “ selesai dan kembali ke tanah air ” masih akan terjadi dan belom
pasti terjadi. Akan tetapi, jika syarat tersebut terjadim perikatan akan berakhir dalam arti
batal.
c. Perikatan dengan ketetapan waktu
Syarat ketetapan waktu adalah pelaksaan perikatan itu digantungkan pada waktu
yang di tetapkan. Misalnya Anis berjanji kepada Yesi bahwa ia akan membayar utangnya
dengan hasil panen sawahnya yang sedang menguning pada tanggal 1 agustus 2014.
Dalam hal ini hasil panen yang sedang menguning sudah pasti karena dalam waktu dekat,
Anis akan panen sawah sehingga pembayaran utang pada tanggal 1 agustus 2014 sudah
dipastikan.
2. Perikatan Manasuka ( Boleh Pilih)
Pada perikatan manasuka, objek prestasi ada dua macam benda. Dikatakan
perikatan mansuka karena, debitor boleh memenuhi prestasi dengan memilih salah satu
dari dua benda yang dijadikan objek perikatan. Namun, debitor tidak dapat memaksa
kreditor untuk menerima sebagian benda yang satu dan benda sebagian benda yang
lainnya. Jika debitor telah memenuhi salah satu dari dua benda yang ditentukan dalam
perikatan, dia dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak memilih prestasi itu ada pada
debitor jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada kreditor (Pasal 1272 dan 1273
KUHP dt).
Misalnya, Rima memesan barang elektronik berupa radio tape
recorder ataustereo tape recorder di sebuah toko barang elektronik dengan harga yang
sama, yakni Rp 2.500.000,00. Dalam hal ini, pedagang tersebut dapat memilih yaitu
menyerahkan radio tape recorder atau stereo tape recorder. Akan tetapi, jika
diperjanjikan bahwa Rima (Pemesan) yang menentukan pilihan, pedagang
memberitahukan kepada Rima bahwa barang pesanan sudah tiba, silahkan memilih salah
satu dari benda objek perikatan tersebut. Jika Rima telah memilih dan menerima satu dari
dua benda itu, peerikatan berakhir.
3. Perikatan Fakultatif
Perikatan Fakultatif yaitu perikatan dimana debitor wajib memenuhi suatu
prestasi tertentu atau prestasi lain yang tertentu pula. Dalam perikatan ini hanya ada satu
objek. Apabila debitor tidak memenuhi prestasi itu, dia dapat mengganti prestasi lain.
Misalnya, Agung berjanji kepada Rian untuk meminjamkan mobilnya guna
melaksanakan penelitian. Jika Agung tidak meminjamkan Karena rusak, dia dapat
mengganti dengan sejumlah uang transport untuk melaksanakan penelitiannya.
4. Perikatan Tanggung-Menanggung
Pada perikatan tanggung-menanggung dapat terjadi seorang debitor berhadapan
dengan beberapa orang kreditor atau seorang kreditor berhadapan dengan beberapa orang
debitor. Apabila kredior terdiri atas beberapa orang, ini disebut tanggung-menanggung
aktif. Dalam hal ini, setiap kreditor, berhak atas pemenuhan prestasi seluruh hutang. Jika
prestasi tersebut sudah dipenuhi, debitor dibebaskan dari utangnya dan perikatan hapus
(Pasal 1278 KUHP dt).
Jika pihak debitor terdiri atas beberapa orang, ini disebut tanggung menanggung
pasif, setiap debitor wajib memenuhi prestasi seluruh utang dan dan jika sudah dipenuhi
oleh seorang debitor saja, membebaskan debitor –debitor lain dari tuntutan kreditor dan
perikatannya hapus (Pasal 1280 KUHP dt)
Berdasarkan observasi, perikatan yang banyak terjadi dalam praktiknya adalah
perikatan tanggung-menanggung pasif yaitu :
a. Wasiat
Apabila pewaris memberikan tugas untuk melaksanakan hibah wasiat kepada ahli
warisnya secara tanggung-menanggung.
b. Ketentuan Undang-Undang
Dalam hal ini undang-undang menetapkan secara tegas perikatan tanggung
menanggung dalam perjanjian khusus.
Perikatan tanggung menanggung secara tegas diatur dengan perjanjian khusus,
yaitu sebagai berikut ;
a. Persekutuan firma (Pasal 18 KUHD)
Setiap sekutu bertanggung jawab secara tanggung-menanggung untuk seluruhnya
atas semua perikatan.
b. Peminjaman benda (Pasal 1749 KUHPdt)
Jika bebereapa orang bersama-sama menerima benda karena peminjaman, meka
masing-masing untuk seluruhnya bertanggung jawab terhadap orang yang memberikan
pinjaman benda itu.
c. Pemberian kuasa (Pasal 1181 KUHPdt)
Seorang penerima kuasa diangkat oleh beberapa orang untuk mewakili dalam
suatu urusan yang menjadi urusan mereka bersama. Mereka bertanggung jawab untuk
seleruhnya terhadap penerima kuasa mengenai segala akibat pemberian kekuasaan.
d. Jaminan orang (borgtoch,pasal 1836 KUHPdt)
Jika beberapa orang telah mengikatkan diri sebagai penjamin sebagai seorang
debitor yang sama untuk utang yang sama, mereka itu untuik masing-masing terikat
untuk seluruh utang.
5. Perikatan Dapat Dibagi Dan Tidak Dapat Dibagi
Suatu perikatan dikatakan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi jika benda yang
menjadi objek perikatan dapat atau tidak dapat dibagi menurut imbangan, lagi pula
pembagian itu tidak boleh mengurangi hakikat dari prestasi tersebut. Jadi, sifat dapat atau
tidak dapat dibagi itu berdasarkan pada :
a. Sifat benda yang menjadi objek perikatan.
b. Maksud perikatannya, apakah itu dapat atau tidak dapat dibagi.
Perikatan dapat atau tidak dapat dibagi bisa terjadi jika salah satu pihak
meninggal dunia sehingga akan timbul maslah apakah pemenuhan prestasi dapat dibagi
atau tidak antara para ahli waris almahrum itu. Hal tersebut bergantung pada benda yang
menjadi objek perikatan yang penyerahannya atau pelaksanaannya dapat dibagi atau
tidak, baik secara nyata maupun secara perhitungan ( Pasal 1296 KUHPdt).
Akibat hukum perikatan dapat atau tidak dapat dibagi adalah bahwa perikatan
yang tidak dapat dibagi, setiap kreditor berhak menuntut seluruh prestasi kepada setiap
debitor dan setiap debitor wajib memenuhi prestasi tersebut seluruhnya. Dengan
dipenuhinya prestasi oleh seorang debitor , membebaskan debitor lainnya dan perikatan
menjadi hapus. Pada perikatan yang dapat dibagi, setiap kreditor hanya dapat menuntut
suatu bagian prestasi menurut perimbangannya, sedangkan setiap debitor hanya wajib
memenuhi prestasi untuk bagiananya saja menurut perimbangan.
6. Perikatan dengan Ancaman Hukuman
Perikatan ini memuat suatu ancaman hukuman terhadap debitor apabila dia lalai
memenihi prestasinya. Ancaman hukuman ini bermaksut untuk memberikan suatu
kepastian atas pelaksanaan isi perikatan, seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian
yang dibuat oleh pihak-pihak. Disamping itu, juga sebagai upaya untuk menetapkan
jumlah ganti keruguan jika memang terjadi wanprestasi. Hukuman itu merupakan
pendorong debitor untuk memenuhi kewajiban berprestasi dan untuk membebaskan
kreditor dari pembuktian tentang besarnya ganti kerugian yang telah di deritanya.
Misalnya, dalam perjanjian dengan ancaman hukuman, apabila seorang
pemborong harus menyelesaikan pekerjaan bangunan dalam waktu tiga puluh hari tidak
menyelesaikan pekerjaannya, dia dikenakan denda satu juta rupiah setiap hari terkampat
itu. Dalam hal ini, jika pemborong itu melalaikan kewajibannya, berarti dia wajib
membayar denda satu juta rupiah sebagai ganti kerugian untuk setiap hari terlambat.
7. Perikatan Wajar
Undang-undang tidak menentukan apa yang dimaksud dengan perikatan wajar
(natuurlijke verbintenis, natural obligation). Dalam undang-undang hanya dijumpai Pasal
1359 ayat (2) KUHPdt. Karena itu, tidak ada kesepakatan antara para penulis hukum
mengenai sifat dan akibat hukum dari perikatan wajar, kecuali mengenai satu hal, yaitu
sifat tidak ada gugatan hukum guna memaksa pemenuhannya. Kata wajar adalah
terjemaahan dari kata aslinya dalam bahasa Belanda “natuurlijk” oleh Prof. Koesoemadi
Poedjosewojo dalam kuliah hukum perdata pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta.
Perikatan wajar bersumber dari Undang-Undang dan kesusilaan seta kepatutan
(Moral and equity). Bersumber pada Undang-Undang, artinya keberadaan perikatan
wajar karena ditentukasn oleh Undang-Undang. Jika Undang-Undang tidak menentukan,
tidak ada perikatan wajar. Bersumber dari kesusilaan dan kepatutan, artinya keberadaan
perikatan wajar karena adanya belas kasihan, rasa kemanusiaan, dan kerelaaan hati yang
iklas dari pihak debitor. Hal ini sesuai benar dengan sila kedua pancasila dan dasar
Negara Republik Indonesia.
Ada contoh-contoh yang berasal dari ketentuan undang-undang adalah seperti
berikut ini :
a. Pinjaman yang tidak diminta bunganya
Jika bunganya dibayar, tidak dapat dituntut pengembaliannya (Pasal 1766
KUHPdt)
b. Perjudian dan pertaruhan
Undang-Undang tidak memberikan tuntutan hukum atas suatu utang yang terjadi
karena perjudian karena perjudian pertaruhan ( Pasal 1788 KUHPdt).
c. Lampau waktu
Segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun perorangan hapus
karena kadaluarsa (lampau waktu) dengan lewatnya tenggang waktu tiga puluh hari
tahun.
d. Kepailitan yang di atur dalam undang-undang kepailitan.
a. Perbuatan (daad)
Kata “perbuatan” meliputi perbuatan positif dan perbuatan negative. Perbuatan
positif adalah perbuatan yang benar-benar dikerjakan diatur dalam Pasal 1365 KUHPdt
atau Pasal 1401 BW Belanda. Perbuatan negatif adalah perbuatan yang benar-benar tidak
dikerjakan, diatur dalam Pasal 1366 KUHPdt. Oleh karena itu, perbuatan positif
dikerjakan oleh orang yang benar-benar berbuat, sedangkan perbuatan negatif tidak
dikerjakan saama sekali oleh orang yang bersangkutan. Pelanggaran perbuatan dalam dua
pasal tersebut mempunyai akibat hukum sama, yaitu mengganti kerugian.
Rumusan perbuatan positif dalam Pasal 1365 KUHPdt dan perbuatan negatif
dalam Pasal 1366 KUHPdt hanya digunakan sebelum ada Putusan Hoge Raad
Nederlands 31 Januari 1919 karena pada waktu itu pengertian “melawan hukum” hanya
bagi perbuatan positif, dalam arti sempit. Setelah keluar Putusan Hoge Raad 31 Januari
1919, pengertian “melawan hukum” diperluas, mencakup juga perbuatan negatif, tidak
berbuat.
Dengan demikian, pengertian “perbuatan melawan hukum” Pasal 1365 KUHPdt
diperluas mencakup juga perbuatan negatif Pasal 1366 KUHPdt, yaitu berbuat atau tidak
berbuat. Jadi, perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPdt adalah berbuat atau
tidak berbuat yang merugikan orang lain. Berbuat, contohnya merusak barang milik
orang lain. Tidak berbuat, contohnya tidak mengerjakan pekerjaan borongan yang telah
disanggupi. Kedua perbuatan tersebut menimbulkan akibat hukum sama, yaitu merugikan
orang lain. Contoh lain, membakar kebun tetangga atau membiarkan bayi tidak diberi
susu. Kedua perbuatan itu berakibat merugikan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Djamali, Abdul. 1983. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT Raja Gravindo Persada.
Setiawan. 1977. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Bina Cipta.
Tirtodiningrat. 1966. Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Jakarta: Gunung Sahari 84.
Abdul Kadir, Muhammad. 1990. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti.
Subekti. 1954. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT Interma