Anda di halaman 1dari 26

Makalah Hukum Perikatan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia hidup dan berkembang dalam suatu susunan masyarakat sosial yang
mana di dalamnya terdapat saling ketergantungan satu sama lain, seorang manusia tidak
akan dapat hidup sendiri dan akan selalu membutuhkan orang yang lain untuk
mendampingi hidupnya.
Berbicara mengenai kehidupan masyarakat tentu tidak terlepas dari yang namanya
kehidupan sosial, dalam struktur kehidupan bermasyarakat tentu terdapat berbagai hal
yang dianggap sebagai pengatur yang bersifat kekal, mengikat dan memiliki sanksi yang
tegas bagi para pelanggarnya. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai hukum. Hukum yang
kini akan kita bahas merupakan hukum yang mengatur segala bentuk tindakan antar
perseorangan atau antar sesama manusia, hukum ini dapat kita sebut sebagai hukum
perdata.
Dalam hukum perdata ini banyak sekali hal yang dapat menjadi cangkupannya,
salah satunya adalah perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan
harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu
dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini
merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum
lain yang menimbulkan perikatan.
Di dalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang
bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimana pun, baik itu yang diatur
dengan undang-undang atau tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak,
dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum,
sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang. Di dalam perikatan ada perikatan
untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan
untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak
melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk
tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah
disepakati dalam perjanjian.
Dalam perikatan terdapat beberapa pokok bahasan diantaranya: Ketentuan Umum
Perikatan, Prestasi dan Wanprestasi, Jenis-Jenis Perikatan, Perbuatan Melawan Hukum,
Perwakilan Sukarela, Pembayaran Tanpa Utang dan Hapusnya Perikatan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yang
menjadi dasar pembahasan materi kami, diantaranya :
1. Apa yang dimaksud dengan ketentuan umum dalam perikatan ?
2. Apa saja jenis-jenis dari perikatan itu ?
3. Bagaimana cara menghapuskan perikatan ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perikatan,
2. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai jenis-jenis perikatan,
3. Untuk mengetahui bagaimana cara untuk menghapuskan perikatan.
D. Manfaat Penulisan
1. Sebagai tambahan pengetahuan bagi penulis maupun pembaca,
2. Membuka wawasan tentang perikatan dan bagian-bagian yang lainnya termasuk jenis-
jenis maupun cara penghapusannya,
3. Memberikan fakta dan gambaran yang relevan mengenai hukum perikatan.
E. Sistematika Penulisan
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Manfaat Penulisan
E. Sistematika Penulisan
BAB II KAJIAN TEORI
A. Ketentuan Umum Perikatan
B. Prestasi dan Wanprestasi
C. Jenis-Jenis Perikatan
D. Perbuatan Melawan Hukum
E. Perwakilan Sukarela
F. Pembayaran Tanpa Utang
G. Hapusnya Perikatan
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
ISI
A. PERIKATAN
1. Ketentuan Umum Perikatan
Perikatan adalah terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda verbintenis.
Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain. Hal
yang mengikat itu adalah peristiwa hukum yang dapat berupa :
a. Perbuatan, misalnya jual beli, utang-piutang, hibah.
b. Kejadian, misalnya kelahiran, kematian,
c. Keadaan, misalnya rumah susun
Peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum antara pihak yang satu
dengan pihak lainnya. Dalam hubungan tersebut, setiap pihak memiliki hak dan
kewajiban timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu
terhadap pihak lainnya dan pihak lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, juga sebaliknya.
Dalam hubungan utang-piutang, pihak berutang disebut debitor, sedangkan pihak yang
memberi utang disebut kreditor. Dalam hubungan jual-beli, pihak pembeli berposisi
sebagai debitor, sedangkan pihak penjual sebagai kreditor. Dalam perjanjian hibah, pihak
pemberi hibah berposisi sebagai debitor, sedangkan pihak penerima hibah sebagai
kreditor.
2. Pengaturan Perikatan
Perikatan diatur dalam Buku KUH Perdata. Perikatan adalah hubungan hukum
yang terjadi karena perjanjian dan Undang-Undang. Aturan mengenai perikatan meliputi
bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum meliputi aturan yang tercantum dalam
Bab I, Bab II, Bab III (Pasal 1352 dan 1353), dan Bab IV KUH Perdata yang belaku bagi
perikatan umum. Adapun bagian khusus meliputi Bab III (kecuali Pasal 1352 dan 1353)
dan Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata yang berlaku bagi perjanjian-
perjanjian tertentu saja, yang sudah ditentukan namanya dalam bab-bab bersangkutan.
Pengaturan nama didasarkan pada “sistem terbuka”, maksudnya setiap orang
boleh mengadakan perikatan apa saja, baik yang sudah ditentukan namanya maupun yang
belum ditentukan namanya dalam Undang-Undang. Sistem terbuka dibatasi oleh tiga hal,
yaitu :
a. Tidak dilarang Undang-Undang
b. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum
c. Tidak bertentangan dengan kesusilaan
Sesuai dengan penggunaan sistem terbuka, maka pasal 1233 KUH Perdata
menetukan bahwa perikatan dapat terjadi, baik karena perjanijian maupun karena
Undang-Undang. Dengan kata lain, sumber peikatan adalah Undang-Undang dan
perikatan. Dalam pasal 1352 KUH Perdata, perikatan yang terjadi karena Undang-
Undang dirinci menjadi dua, yaitu perikatan yang terjadi semata-mata karena ditentukan
dalam Undang-Undang dan perikatan yang terjadi karena perbuatana orang. Perikatan
yang terjadi karena perbuatan orang, dalam pasal 1353 KUH Perdata dirinci lagi menjadi
perbuatan menurut hukum (rechmatig daad) dan perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad).
3. Unsur-Unsur Perikatan
a. Subjek perikatan
Subjek perikatan disebut juga pelaku perikatan. Perikatan yang dimaksud meliputi
perikatan yang terjadi karena perjanjian dan karena ketentuan Undang-Undang. Pelaku
perikatan terdiri atas manusia pribadi dan dapat juga badan hukum atau persekutuan.
Setiap pelaku perikatan yang mengadakan perikatan harus:
1) Ada kebebasan menyatakan kehendaknya sendiri
2) Tidak ada paksaan dari pihak manapun
3) Tidak ada penipuan dari salah satu pihak, dan
4) Tidak ada kekhilafan pihak-pihak yang bersangkutan

b. Wenang berbuat
Setiap pihak dalam dalam perikatan harus wenang berbuat menurut hukum dalam
mencapai persetujuan kehendak (ijab kabul). Persetujuan kehendak adalah pernyataan
saling memberi dan menerima secara riil dalam bentuk tindakan nyata, pihak yang satu
menyatakan memberi sesuatau kepada yang dan menerima seseuatu dari pihak lain.
Dengan kata lain, persetujuan kehendak (ijab kabul) adalah pernyataan saling memberi
dan menerima secara riil yang mengikat kedua pihak. Setiap hak dalam perikatan harus
memenuhi syarat-syarat wenang berbuat menurut hukum yang ditentukan oleh undang-
undang sebagai berikut:
1) Sudah dewasa, artinya sudah berumur 21 tahun penuh
2) Walaupun belum dewasa, tetapi sudah pernah menikah
3) Dalam keadaan sehat akal (tidak gila)
4) Tidak berada dibawah pengampuan
5) Memiliki surat kuasa jika mewakili pihak lain
Perstujuan pihak merupakan perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak untuk
saling memenuhi kewajiban dan saling memperoleh hak dalam setiap perikatan.
Persetujuan kehendak juga menetukan saat kedua pihak mengakhiri perikatan karena
tujuan pihak sudah tercapai. Oleh sebab itu, dapat dinyatakan bahwa perikatan menurut
sistem hukum prdata, baru dalam taraf menimbulkan kewajiban dan hak pihak-pihak,
sedangkan persetujuan kehendak adalah pelaksanaan atau realisasi kewajiban dan pihak-
pihak sehingga kedua belah pihak memperoleh hak masing-masing.
Bagaimana jika halnya salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sehingga
pihak lainnya tidak memperoleh hak dalam perikatan ? dalam hal ini dapat dikatakan
bahwa pihak yang tidak memenuhi kewajibannya itu telah melakukan wanprestasi yang
merugikan pihak lain. Dengan kata lain, perjanjian tersebut dilanggar oleh salah satu
pihak.
c. Objek perikatan
Objek perikatan dalam hukum perdata selalu berupa benda. Benda adalah setiap
barang dan hak halal yang dapat dimiliki dan dinikmati orang. Dapat dimilik dan
dinikmati orang maksudnya memberi manfaat atau mendatangkan keuntungan secara
halal bagi orang yang memilikinya.
Benda objek perikatan dapat berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak.
Benda bergerak adalah benda yang dapat diangkat dan dipindahkan, seperti motor, mobil,
hewan ternak. Sedangkan benda tidak bergerak adalah benda yang tidak dapat
dipindahkan dan diangkat, seperti rumah, gedung. Apabila benda dijadikan objek
perikatan, benda tersebut harus memenuhi syarat seperti yang ditetapkan oleh undang-
undang. Syarat-syarat tersebut adalah :
1) Benda dalam perdagangan
2) Benda tertentu atau tidak dapat ditentukan
3) Benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud
4) Benda tersebut tidak dilarang oleh Undang-Undang atau benda halal
5) Benda tersebut ada pemiliknya dan dalam pengawasan pemiliknya
6) Benda tersebut dapat diserahkan oleh pemiliknya
7) Benda itu dalam penguasaan pihak lain berdasar alas hak sah
d. Tujuan perikatan
Tujuan pihak-pihak mengadakan perikatan adalah terpenuhinya prestasi bagi
kedua belah pihak. Prestasi yang dimaksud harus halal, artinya tidak dilarang Undang-
Undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan
kesusilaan masyarakat. Prestasi tersebut dapat berbentuk kewajiban memberikan sesuatu,
kewajiban melakukan sesuatu (jasa), atau kewajiban tidak melakukan sesuatu (Pasal 1234
KUH Perdata).
4. Ketentuan Umum dan Khusus
Dalam penerapannya, ketentuan umum dalam Bab I-IV Buku III KUH Perdata
diberlakukan untuk semua perikatan, baik yang sudah diatur dalam Bab III (kecuali Pasal
1352 dan 1353) dan Bab V-XVIII maupun yang diatur dalam KUHD. Menurut ketentuan
Pasal 1319 KUH Perdata bahwa: “semua perjanjian yang mempunyai nama tertentu
maupun yang tidak mempunyai nama tertentu, tunduk pada ketentuan umum yang dimuat
dalam bab ini dan bab yang lalu”. Yang dimaksud dengan “bab ini dan bab yang lalu”
dalam pasal ini adalah bab Bab II tentang perikatan yang timbul dari pejanjian dan Bab I
tentang perikatan pada umumnya.
Penerapan ketentuan umum terhadap hal-hal yang diatur secara khusus, dalam
ilmu hukum dikenal dengan adagium iex specialis deroget legi generali. Artinya,
ketentuan hukum khusus yang dimenangkan dari ketentuan hukum umum. Maknanya
jika mengenai suatu hal sudah diatur secara khusus, ketentuan umum yang mengatur hal
yang sama tidak perlu diberlakukan lagi. Jika suatu hal belum diatur secara khusus,
ketentuan umum yang mengatur hal yang sama diberlakukan.
B. PRESTASI DAN WANPRESTASI
1. Prestasi
Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitor dalam setiap perikatan.
Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi
selalu disertai jaminan harta kekayaan debitor. Dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPdt
dinyatakan bahwa harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak,
baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan utangnya
terhadap kreditor. Namun, jaminan umum ini dapat dibatasi dengan jaminan khusus
berupa benda tertentu yang ditetapkan dalam perjanjian antara pihak-pihak.
Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPdt, selalu ada tiga kemungkinan wujud
prestasi, yaitu:
a. Memberikan sesuatu, misalnya, menyerahkan benda, membayar harga benda,
dan memberikan hibah penelitian.
b. Melakukan sesuatu, misalnya, membuatkan pagar pekarangan rumah, mengangkut
barang tertentu, dan menyimpan rahasia perusahaan.
c. Tidak melakukan sesuatu, misalnya, tidak melakukan persaingan curang, tidak
melakukan dumping, dan tidak menggunakan merek orang lain.
Pasal 1235 ayat (1) KUHPdt menjelaskan pengertian memberikan sesuatu, yaitu
menyerahkan penguasaan nyata atas suatu benda dari debitor kepada kreditor atau
sebaliknya, misalnya, dalam jual beli, sewa menyewa, perjanjian gadai, dan utang
piutang. Dalam perikatan yang objeknya “melakukan sesuatu”, debitor wajib melakukan
perbuatan tertentu yang telah ditetapkan dalam perikatan, misalnya, melakukan perbuatan
membongkar tembok, mengosongkan rumah, dan membangun gedung. Dalam
melakukan perbuatan tersebbut, debitor arus mematuhi semua ketentuan dalam perikatan.
Debitor bertanggung jawab atas perbuatannya yang tidak sesuai dengan ketentuan
perikatan. Dalam perikatan yang objeknya “tidak melakukan sesuatu”, debitor tidak
melakukan perbuatan yang telah disepakati dalam perikatan, misalnya, tidak membuat
tembok rumah yang tinggi sehingga menghalangi pemandangan tetangganya. Apabila
debitor melakukan pembuatan tembok yang berlawanan dengan perikatan ini, dia
bertanggung jawab karena melanggar perjanjian dan harus membongkar tembok atau
membayar ganti kerugian kepada tetangganya.
Sebagian besar perikatan yang dialami dalam masyarakat terjadi karena
perjanjian. Karena itu, Undang-Undang mengatur bahwa perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak yang membuatnya (Pasal 1338
ayat (1) KUHPdt). Artinya, jika salah satu pihak tidak bersedia memenuhi prestasinya,
kewajiban berprestasi itu dapat dipaksakan.
Jika pihak yang satu tidak memenuhi prestasinya, pihak yang lainnya berhak
mengajukan gugatan ke muka pengadilan dan pengadilan akan memaksakan pemenuhan
prestasi tersebut dengan menyita dan melelang harta kekayaannya sejumlah yang wajib
dipenuhinya kepada pihak lain. Perjanjian yang diakui dan diberi akibat hukum itu adalah
perjanjian yang tidak dilarang Undang-Undang serta tidak bertentangan dengan
ketertiban umum dan kesusilaan masyarakat. Karena itu, ada tiga sumber perikatan, yaitu
perjanjian, Undang-Undang, serta ketertiban umum dan kesusilaan.
2. Sifat Prestasi
Sifat-sifat prestasi yang perlu diketahui oleh debitor adalah:
a. Prestasi harus sudah tertentu atau dapat ditentukan. Sifat ini memungkinkan debitor
memenuhi perikatan. Jika prestasi itu tidak tertentu atau tidak dapat ditentukan,
mengakibatkan perikatan itu batal (nietig).
b. Prestasi itu harus mungkin. Artinya, prestasi itu dapat dipenuhi oleh debitor secara wajar
dengan segala upayanya. Jika tidak demikian, perikatan itu dapat dibatalkan
(vernietigbaar)
c. Prestasi itu harus dibolehkan (halal). Artinya, tidak dilarang oleh Undang-Undang, tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan
masyarakat. Jika prestasi tidak halal, perikatan itu batal (nietig)
d. Prestasi itu harus ada manfaat bagi kreditor. Artinya, kreditor dapat menggunakan,
menikmati, dan mengambil hasilnya. Jika tidak demikian, perikatan itu dapat dibatalkan
(vernietigbaar)
e. Prestasi itu terdiri atas satu perbuatan atau serentetan perbuatan. Jika prestasi berupa satu
kali perbuatan dilakukan lebih dari satu kali, dapat mengakibatkan pembatalan perikatan
(vernietigbaar). Satu kali perbuatan itu maksudnya pemenuhan mengakhiri perikatan,
sedangkan lebih dari satu kali perbuatan maksudnya pemenuhan yang terakhir
mengakhiri perikatan.
3. Wanprestasi
Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam
perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitor karena dua kemungkinan alasan,
yaitu:
a. Karena kesalahan debitor, baik karena kesengajaan maupun kelalaian dan
b. Karena keadaan memaksa (force majeure, diluar kemampuan debitor.Jadi, debitor tidak
bersalah.
Untuk menentukan apakah seorang debitor bersalah melakukan wanprestasi, perlu
ditentukan dalam keadaan bagaimana debitor diakatakan sengaja atau lalai tidak
memenuhi prestasi. Dalam hal ini, ada tiga keadaan, yaitu:
a. Debitor tidak memnuhi prestasi sama sekali;
b. Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak baika atau keliru; dan
c. Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.
Untuk mengetahui sejak kapan debitor dalam keadaan wanprestasi, perlu
diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan jangka waktu pelaksanaan
pemenuhan prestasi atau tidak? Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan
prestasi tidak ditentukan, perlu memperingatkan debitor supaya dia memenuhi prestasi.
Dalam hal telah ditentukan tenggang waktunya, menurut ketentuan Pasal 1238 KUHPdt
debitor dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam
perikatan.
Bagaimana cara memperingatkan debitor supaya dia memenuhi prestasinya?
Debitor perlu diberi peringatan tertulis, yang isinya menyatakan bahwa debitor wajib
memenuhi prestasi dalam waktu yang ditentukan. Jika dalam waktu itu debitor tidak
memenuhinya, debitor dinyatakan telah lalai atau wanprestasi.
Peringatan tertulis dapat dilakukan secara resmi dan dapat juga secara tidak resmi.
Peringatan tertulis secara resmi dilakukan melalui pengadilan negeri yang berwenang,
yang disebut sommatie. Kemudian, pengadilan negeri dengan perantaraan juru sita
menyampaikan surat peringatan tersebut kepada debitor yang disertai berita acara
penyampaiannya. Peringatan tertulis tidak resmi, misalnya, melalui surat tercatat,
telegram, faksimile, atau disampaikan senidri oleh kreditor kepada debitor dengan tanda
terima. Surat peringatan ini disebut ingebreke stelling.
Akibat hukum bagi debitor yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman
atau sanksi hukum berikut ini:
a. Debitor diwajibkan membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditor (Pasal 1243
KUHPdt).
b. Apabila perikatan itutimbal balik, kreditor dapat menuntut pemutusan atau pembatalan
perikatan melalui pengadilan (Pasal 1266 KUHPdt)
c. Perikatan untuk memberikan sesuatu, risiko beralih kepada debitor sejak terjadi
wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2) KUHPdt)
d. Debitor diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan atau pembatalan
disertai pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPdt)
e. Debitor wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka pengadilan negeri dan
debitor dinyatakan bersalah
4. Keadaan Memaksa
Keadaan memaksa (force majeure) adalah keadaan tidak dipenuhinya prestasi
oleh debitor karena terjadi peristiwa yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga
akan terjadi ketika membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa debitor tidak dapat
disalahkan karena keadaan ini timbul di luar kemauan dan kemampuan debitor. Unsur-
unsur keadaan memaksa adalah sebagai berikut:
a. Tidak dipenuhi prestasi karena terjadi peristiwa yang membinasakan atau
memusnahkan benda objek perikatan; atau
b. Tidak dipenuhi prestasi karena terjadi peristiwa yang menghalangi perbuatandebitor
untuk berprestasi
c. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat
perikatan
Keadaan memaksa yang memenuhi unsur (a) dan (c), maka keadaan memaksa itu
disebut “keadaan memaksa objektif”. Vollmar menyebutnya absolute
overmacht.Dasarnya adalah ketidakmungkinan (impossinillity) memenuhi prestasi karena
bendanya lenyap/musnah. Dalam hal keadaan memaksa yang memenuhi unsure (b) dan
(c) keadaan memaksa ini disebut “keadaan memaksa subjektif”, Vollmar
menyebutnya relative overmacht. Dasarnya adalah kesulitan memenuhi prestasi karena
ada peristiwa yang menghalangi debitor untuk berbuat.
Perbedaan antara ”perikatan batal” dan “perikatan gugur” terletak pada ada
tidaknya objek perikatan dan objek tersebut harus mungkin dipenuhi. Pada perikatan
batal, objek perikatan tidak ada karena musnah sehingga tidak mungkin dipenuhi oleh
debitor (sifat prestasi). Pada perikatan gugur, objek perikatan ada sehingga mungkin
dipenuhi dengan segala macam upaya debitor, tetapi tidak mempunyai arti lagi bagi
kreditor. Jika prestasi betul-betul dipenuhi oleh debitor, tetapi kreditor tidak menerima
(menolak) karena tidak ada manfaatnya lagi, perikatan dapat dibatalkan
(vernietigbaar).Persamaannya adalah pada perikatan batal dan perikatan gugur keduanya
itu tidak mencapai tujuan.
Pembentuk Undang-Undang tidak mengatur keadaan memaksa secara umum
dalam KUHPdt. Akan tetapi, secara khusus diatur untuk perjanjian-perjanjian tertentu
saja, misalnya pada:
a. Perjanjian hibah (Pasal 1237 KUHPdt);
b. Perjanjian jual beli (Pasal 1460 KUHPdt);
c. Perjanjian tukar-menukar (Pasal 1545 KUHPdt); dan
d. Perjanjian sewa-menyewa (Pasal 1553 KUHPdt).
Oleh karena itu pihak-pihak bebas memperjanjikan tanggung jawab itu dalam
perjanjian yang mereka buat apabila terjadi keadaan memaksa. Risiko keadaan memaksa
pada perjanjian hibah ditanggung oleh kreditor (Pasal 1237 KUHPdt). Risiko keadaan
memaksa pada perjanjian jual beli ditanggung oleh kedua belah pihak, penjual dan
pembeli, (surat edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1963
mengenai Pasal 1460 KUHPdt). Risiko keadaan memaksa pada perjanjian tukar menukar
ditanggung oleh pemiliknya (Pasal 1545 KUHPdt).
Adapun risiko keadaan memaksa pada perjanjian sewa menyewa ditanggung oleh
pemilik benda (Pasal 1553 KUHPdt). Menurut Pasal1243 KUHPdt, ganti kerugian karena
tidak dipenuhinya suatu perikatan, baru diwajibkan jika debitor setelah dinyatakan lalai
memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya; atau seseuatu yang harus diberikan atau
dikerjakannyam, hanya dapat diberikan atau dikerjakan dalam tenggang waktu yang telah
dilewatinya.
Yang dimaksud dengan “kerugian” dalam pasal diatas adalah kerugian yang
timbul karena debitor melakukan wanpresatsi (lalai memenuhi perikatan). Kerugian
tersebut wajib diganti oleh debitor terhitung sejak dia dinyatakan lalai. Ganti kerugian itu
terdiri atas tiga unsure, yaitu:
a. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan, misalnya ongkos cetak, biaya materai, dan
biaya iklan
b. Kerugian sesungguhnya karen kerusakan, kehilangan benda milik kreditor akibat
kelalaian debitor, misalnya, busuknya buah-buahan Karen terlambat melakukan
penyerahan
c. Bunga atau keuntungan yang diharapkan, misalnya bunga yang berjalan selama
piutang terlambat dilunasi
5. Ganti Kerugian
Ganti kerugian hanya berupa uang bukan barang, kecuali jika diperjanjikan lain.
Untuk melindungi debitor dari tuntutan sewenang-wenang dari pihak kreditor, Undang-
Undang memberikan pembatasan terhadap ganti kerugian yang wajib dibayar oleh
debitor sebagai akibat dari kelalainnya (wanprestasi). Kerugian yang harus diabayar oleh
debitor hanya meliputi:
a. Kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan
b. Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi (kelalaian) debitor
c. Bunga dalam hal terlambat membayar sejumlah utang.
C. JENIS-JENIS PERIKATAN
1. Perikatan Bersyarat
Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis) adalah perikatan yang
digantungkan pada syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan
belum pasti terjadi, baik dalam menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga terjadi
peristiwa maupun dengan membatalkan perikatan karena terjadi atau tidak terjadi
peristiwa (Pasal 1253 KUHP dt). Perikatan bersyarat di bagi tiga yaitu :
a. Perikatan dengan syarat tangguh
Apabila syarat peristiwa itu terjadi, maka perikatan di laksanakan (Pasal 1263
KUHP dt). Misalnya Oki setuju apabila Ramdan adiknya mendiami pavilium rumahnya
setelah menikah. Nah, nikah adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti
terjadi. Sifatnya menangguhkan pelaksanaan perikatan. Jika ramdan menikah, maka Oki
wajib menyerahkan pavilium rumahnya untuk didiami oleh Ramdan.
b. Perikatan dengan syarat batal
Disini justru perikatan yang sudah ada akan berakhir apabila peristiwa yang
dimaksudkan itu terjadi (Pasal 1265 KUHP dt). Misalnya, Arlita setuju apabila Regi
kakaknya mendiami rumah Arlita selama dia tugas di Perancis dengan syarat bahwa
Regi harus mengosongkan rumah tersebut apabila Arlita selesai studi dan kembali ke
tanah air. Di sini syarat “ selesai dan kembali ke tanah air ” masih akan terjadi dan belom
pasti terjadi. Akan tetapi, jika syarat tersebut terjadim perikatan akan berakhir dalam arti
batal.
c. Perikatan dengan ketetapan waktu
Syarat ketetapan waktu adalah pelaksaan perikatan itu digantungkan pada waktu
yang di tetapkan. Misalnya Anis berjanji kepada Yesi bahwa ia akan membayar utangnya
dengan hasil panen sawahnya yang sedang menguning pada tanggal 1 agustus 2014.
Dalam hal ini hasil panen yang sedang menguning sudah pasti karena dalam waktu dekat,
Anis akan panen sawah sehingga pembayaran utang pada tanggal 1 agustus 2014 sudah
dipastikan.
2. Perikatan Manasuka ( Boleh Pilih)
Pada perikatan manasuka, objek prestasi ada dua macam benda. Dikatakan
perikatan mansuka karena, debitor boleh memenuhi prestasi dengan memilih salah satu
dari dua benda yang dijadikan objek perikatan. Namun, debitor tidak dapat memaksa
kreditor untuk menerima sebagian benda yang satu dan benda sebagian benda yang
lainnya. Jika debitor telah memenuhi salah satu dari dua benda yang ditentukan dalam
perikatan, dia dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak memilih prestasi itu ada pada
debitor jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada kreditor (Pasal 1272 dan 1273
KUHP dt).
Misalnya, Rima memesan barang elektronik berupa radio tape
recorder ataustereo tape recorder di sebuah toko barang elektronik dengan harga yang
sama, yakni Rp 2.500.000,00. Dalam hal ini, pedagang tersebut dapat memilih yaitu
menyerahkan radio tape recorder atau stereo tape recorder. Akan tetapi, jika
diperjanjikan bahwa Rima (Pemesan) yang menentukan pilihan, pedagang
memberitahukan kepada Rima bahwa barang pesanan sudah tiba, silahkan memilih salah
satu dari benda objek perikatan tersebut. Jika Rima telah memilih dan menerima satu dari
dua benda itu, peerikatan berakhir.
3. Perikatan Fakultatif
Perikatan Fakultatif yaitu perikatan dimana debitor wajib memenuhi suatu
prestasi tertentu atau prestasi lain yang tertentu pula. Dalam perikatan ini hanya ada satu
objek. Apabila debitor tidak memenuhi prestasi itu, dia dapat mengganti prestasi lain.
Misalnya, Agung berjanji kepada Rian untuk meminjamkan mobilnya guna
melaksanakan penelitian. Jika Agung tidak meminjamkan Karena rusak, dia dapat
mengganti dengan sejumlah uang transport untuk melaksanakan penelitiannya.
4. Perikatan Tanggung-Menanggung
Pada perikatan tanggung-menanggung dapat terjadi seorang debitor berhadapan
dengan beberapa orang kreditor atau seorang kreditor berhadapan dengan beberapa orang
debitor. Apabila kredior terdiri atas beberapa orang, ini disebut tanggung-menanggung
aktif. Dalam hal ini, setiap kreditor, berhak atas pemenuhan prestasi seluruh hutang. Jika
prestasi tersebut sudah dipenuhi, debitor dibebaskan dari utangnya dan perikatan hapus
(Pasal 1278 KUHP dt).
Jika pihak debitor terdiri atas beberapa orang, ini disebut tanggung menanggung
pasif, setiap debitor wajib memenuhi prestasi seluruh utang dan dan jika sudah dipenuhi
oleh seorang debitor saja, membebaskan debitor –debitor lain dari tuntutan kreditor dan
perikatannya hapus (Pasal 1280 KUHP dt)
Berdasarkan observasi, perikatan yang banyak terjadi dalam praktiknya adalah
perikatan tanggung-menanggung pasif yaitu :
a. Wasiat
Apabila pewaris memberikan tugas untuk melaksanakan hibah wasiat kepada ahli
warisnya secara tanggung-menanggung.

b. Ketentuan Undang-Undang
Dalam hal ini undang-undang menetapkan secara tegas perikatan tanggung
menanggung dalam perjanjian khusus.
Perikatan tanggung menanggung secara tegas diatur dengan perjanjian khusus,
yaitu sebagai berikut ;
a. Persekutuan firma (Pasal 18 KUHD)
Setiap sekutu bertanggung jawab secara tanggung-menanggung untuk seluruhnya
atas semua perikatan.
b. Peminjaman benda (Pasal 1749 KUHPdt)
Jika bebereapa orang bersama-sama menerima benda karena peminjaman, meka
masing-masing untuk seluruhnya bertanggung jawab terhadap orang yang memberikan
pinjaman benda itu.
c. Pemberian kuasa (Pasal 1181 KUHPdt)
Seorang penerima kuasa diangkat oleh beberapa orang untuk mewakili dalam
suatu urusan yang menjadi urusan mereka bersama. Mereka bertanggung jawab untuk
seleruhnya terhadap penerima kuasa mengenai segala akibat pemberian kekuasaan.
d. Jaminan orang (borgtoch,pasal 1836 KUHPdt)
Jika beberapa orang telah mengikatkan diri sebagai penjamin sebagai seorang
debitor yang sama untuk utang yang sama, mereka itu untuik masing-masing terikat
untuk seluruh utang.
5. Perikatan Dapat Dibagi Dan Tidak Dapat Dibagi
Suatu perikatan dikatakan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi jika benda yang
menjadi objek perikatan dapat atau tidak dapat dibagi menurut imbangan, lagi pula
pembagian itu tidak boleh mengurangi hakikat dari prestasi tersebut. Jadi, sifat dapat atau
tidak dapat dibagi itu berdasarkan pada :
a. Sifat benda yang menjadi objek perikatan.
b. Maksud perikatannya, apakah itu dapat atau tidak dapat dibagi.
Perikatan dapat atau tidak dapat dibagi bisa terjadi jika salah satu pihak
meninggal dunia sehingga akan timbul maslah apakah pemenuhan prestasi dapat dibagi
atau tidak antara para ahli waris almahrum itu. Hal tersebut bergantung pada benda yang
menjadi objek perikatan yang penyerahannya atau pelaksanaannya dapat dibagi atau
tidak, baik secara nyata maupun secara perhitungan ( Pasal 1296 KUHPdt).
Akibat hukum perikatan dapat atau tidak dapat dibagi adalah bahwa perikatan
yang tidak dapat dibagi, setiap kreditor berhak menuntut seluruh prestasi kepada setiap
debitor dan setiap debitor wajib memenuhi prestasi tersebut seluruhnya. Dengan
dipenuhinya prestasi oleh seorang debitor , membebaskan debitor lainnya dan perikatan
menjadi hapus. Pada perikatan yang dapat dibagi, setiap kreditor hanya dapat menuntut
suatu bagian prestasi menurut perimbangannya, sedangkan setiap debitor hanya wajib
memenuhi prestasi untuk bagiananya saja menurut perimbangan.
6. Perikatan dengan Ancaman Hukuman
Perikatan ini memuat suatu ancaman hukuman terhadap debitor apabila dia lalai
memenihi prestasinya. Ancaman hukuman ini bermaksut untuk memberikan suatu
kepastian atas pelaksanaan isi perikatan, seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian
yang dibuat oleh pihak-pihak. Disamping itu, juga sebagai upaya untuk menetapkan
jumlah ganti keruguan jika memang terjadi wanprestasi. Hukuman itu merupakan
pendorong debitor untuk memenuhi kewajiban berprestasi dan untuk membebaskan
kreditor dari pembuktian tentang besarnya ganti kerugian yang telah di deritanya.
Misalnya, dalam perjanjian dengan ancaman hukuman, apabila seorang
pemborong harus menyelesaikan pekerjaan bangunan dalam waktu tiga puluh hari tidak
menyelesaikan pekerjaannya, dia dikenakan denda satu juta rupiah setiap hari terkampat
itu. Dalam hal ini, jika pemborong itu melalaikan kewajibannya, berarti dia wajib
membayar denda satu juta rupiah sebagai ganti kerugian untuk setiap hari terlambat.
7. Perikatan Wajar
Undang-undang tidak menentukan apa yang dimaksud dengan perikatan wajar
(natuurlijke verbintenis, natural obligation). Dalam undang-undang hanya dijumpai Pasal
1359 ayat (2) KUHPdt. Karena itu, tidak ada kesepakatan antara para penulis hukum
mengenai sifat dan akibat hukum dari perikatan wajar, kecuali mengenai satu hal, yaitu
sifat tidak ada gugatan hukum guna memaksa pemenuhannya. Kata wajar adalah
terjemaahan dari kata aslinya dalam bahasa Belanda “natuurlijk” oleh Prof. Koesoemadi
Poedjosewojo dalam kuliah hukum perdata pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta.
Perikatan wajar bersumber dari Undang-Undang dan kesusilaan seta kepatutan
(Moral and equity). Bersumber pada Undang-Undang, artinya keberadaan perikatan
wajar karena ditentukasn oleh Undang-Undang. Jika Undang-Undang tidak menentukan,
tidak ada perikatan wajar. Bersumber dari kesusilaan dan kepatutan, artinya keberadaan
perikatan wajar karena adanya belas kasihan, rasa kemanusiaan, dan kerelaaan hati yang
iklas dari pihak debitor. Hal ini sesuai benar dengan sila kedua pancasila dan dasar
Negara Republik Indonesia.
Ada contoh-contoh yang berasal dari ketentuan undang-undang adalah seperti
berikut ini :
a. Pinjaman yang tidak diminta bunganya
Jika bunganya dibayar, tidak dapat dituntut pengembaliannya (Pasal 1766
KUHPdt)
b. Perjudian dan pertaruhan
Undang-Undang tidak memberikan tuntutan hukum atas suatu utang yang terjadi
karena perjudian karena perjudian pertaruhan ( Pasal 1788 KUHPdt).
c. Lampau waktu
Segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun perorangan hapus
karena kadaluarsa (lampau waktu) dengan lewatnya tenggang waktu tiga puluh hari
tahun.
d. Kepailitan yang di atur dalam undang-undang kepailitan.

D. PERBUATAN MELAWAN HUKUM


1. Konsep Perbuatan Melawan Hukum
Untuk mengetahui konsep “perbuatan melawan hukum” (onrechtmatige daad),
perlu dibaca Pasal 1365 KUHPdt yang sama rumusannya dengan pasal 1401 BW Belanda
yang menentukan sebagai berikut:
“Setiap perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang
lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menimbulkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.”
Berdasar pada rumusan pasal ini, dapat dipahami bahwa suatu perbuatan
dinyatakan melawan hukum apabila memenuhi empat unsur berikut:
a. Perbuatan itu harus melawan hukum (onrechtmatig);
b. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian;
c. Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan; dan
d. Antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan kausal.
Salah satu saja dari unsur-unsur di atas ini tidak terpenuhi, perbuatan itu tidak
dapat digolongkan perbuatan melawan hukum.

a. Perbuatan (daad)
Kata “perbuatan” meliputi perbuatan positif dan perbuatan negative. Perbuatan
positif adalah perbuatan yang benar-benar dikerjakan diatur dalam Pasal 1365 KUHPdt
atau Pasal 1401 BW Belanda. Perbuatan negatif adalah perbuatan yang benar-benar tidak
dikerjakan, diatur dalam Pasal 1366 KUHPdt. Oleh karena itu, perbuatan positif
dikerjakan oleh orang yang benar-benar berbuat, sedangkan perbuatan negatif tidak
dikerjakan saama sekali oleh orang yang bersangkutan. Pelanggaran perbuatan dalam dua
pasal tersebut mempunyai akibat hukum sama, yaitu mengganti kerugian.
Rumusan perbuatan positif dalam Pasal 1365 KUHPdt dan perbuatan negatif
dalam Pasal 1366 KUHPdt hanya digunakan sebelum ada Putusan Hoge Raad
Nederlands 31 Januari 1919 karena pada waktu itu pengertian “melawan hukum” hanya
bagi perbuatan positif, dalam arti sempit. Setelah keluar Putusan Hoge Raad 31 Januari
1919, pengertian “melawan hukum” diperluas, mencakup juga perbuatan negatif, tidak
berbuat.
Dengan demikian, pengertian “perbuatan melawan hukum” Pasal 1365 KUHPdt
diperluas mencakup juga perbuatan negatif Pasal 1366 KUHPdt, yaitu berbuat atau tidak
berbuat. Jadi, perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPdt adalah berbuat atau
tidak berbuat yang merugikan orang lain. Berbuat, contohnya merusak barang milik
orang lain. Tidak berbuat, contohnya tidak mengerjakan pekerjaan borongan yang telah
disanggupi. Kedua perbuatan tersebut menimbulkan akibat hukum sama, yaitu merugikan
orang lain. Contoh lain, membakar kebun tetangga atau membiarkan bayi tidak diberi
susu. Kedua perbuatan itu berakibat merugikan orang lain.

b. Melawan hukum (onrechtmatig)


Sejak tahun 1890 para penulis hukum telah menganut paham yang luas tentang
pengertian melawan hukum, sedangkan dunia peradilan (Mahkamah Agung) masih
menganut paham yang sempit. Hal itu dapat diketahui dari Putusan Hoge Raad
Nederlands sebelum tahun1919, yang merumuskan:
“Perbuatan melawan hukum adalah suatu perbuatan yang melanggar hak orang
lain atau jika orang berbuat bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.”
Dalam rumusan ini, yang perlu dipertimbangkan hanya hak dan kewajiban hukum
berdasar pada undang-undang (wet). Jadi, perbuatan itu harus melanggar hak orang lain
atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang diberikan undang-undang
(wet). Dengan demikian, melanggar hukum (onrechtmatig) sama dengan melanggar
undang-undang (onwetmatig). Melalui tafsiran sempit ini banyak kepentingan
masyarakat dirugikan, tetapi tidak dapat menuntut apa-apa.

2. Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Pribadi


Apabila perbuatan melawan hukum ditujukan kepada diri pribadi orang lain,
perbuatan melawan hukum dapat menimbulkan kerugian fisik ataupun kerugian nama
baik (martabat). Kerugian fisik, misalnya, luka, cedera, dan cacat tubuh. Kerugian nama
baik, misalnya, dijauhi teman dalam pergaulan, hilang kewibawaan karena tidak
dihormati orang lagi, atau putus hubungan baik karena difitnah pihak lain.
Apabila seseorang mengalami luka atau cacat pada salah satu anggota badan
disebabkan oleh kesengajaan atau kelalaian orang lain, undang-undang memberikan hak
kepada korban untuk memperoleh penggantian kerugian, biaya pengobatan, dan
perawatan. Ganti kerugian itu dinilai menurut kedudukan dan kemampuan serta keadaan
kedua belah pihak. Ukuran ini pada umumnya berlaku untuk menilai kerugian yang
timbul dari suatu kekerasan atau kejahatan terhadap diri pribadi seseorang, misalnya,
ditabrak kendaraan bermotor yang mengakibatkan luka parah atau cacat (Pasal 1371
KUHPdt).
Penghinaan adalah perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan, yang dapat
dimasukkan perbuatan melawan hukum pencemaran nama baik seseorang. Oleh karena
itu, dapat dituntut berdasar pada Pasal 1365 KUHPdt. Penghinaan itu menimbulkan
kerugian terhadap nama baik, martabat, harga diri, dan kedudukan dalam masyarakat.
Menurut ketentuan Pasal 1372 KUHPdt, gugatan berdasar pada penghinaan bertujuan
untuk memperoleh ganti kerugian serta pemulihan nama baik. Dalam mempertimbangkan
berat ringan ganti kerugian yang dituntut, pengadilan harus mempertimbangkan berat
ringan penghinaan, kedudukan, jabatan, keadaan, dan kemampuan pihak-pihak.
3. Implementasi Pasal 1365 KUHPdt
a. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
Mahkamah Agung RI dalam putusan perkara perdata ternyata mengikuti juga
konsep perbuatan melawan hukum dalam arti luas. Perbuatan melawan norma kesusilaan
dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang merugikan diri atau nama baik orang
lain dapat dituntut secara hukum berdasar pada Pasal 1365 KUHPdt. Hal ini dapat dikaji
melalui Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 3191K/Pdt/1984 tanggal 8 Februari
1986 antara Masudiati (penggugat) melawan I Gusti Lanang Rejeb (tergugat). Dalam
perkara tersebut, setelah penggugat dibawa lari oleh tergugat, tergugat telah berjanji akan
menikahi penggugat, baik menjadi istrinya secara adat maupun secara agama dalam
tenggang waktu empat bulan.
Ternyata, walaupun penggugat telah mendesak pihak tergugat, tergugat tidak mau
juga menikahi penggugat hingga berlangsung sampai 1 tahun 4 bulan mereka hidup
bersama. Selama hidup bersama itu, penggugatlah yang menanggung biaya penghidupan
keluarga (tergugat, anak, dan orang tua tergugat). Karena tergugat tidak memenuhi
perjanjian untuk menikahi penggugat, penggugat merasa bahwa perbuatan tergugat telah
merugikan nama baik atau kehormatannya sehingga penggugat menuntut ganti kerugian
berdasar pada Pasal 1365 KUHPdt sejumlah uang Rp5.000.000,00 sebagai pemulihan
nama baik atau kehormatan penggugat.
Dalam putusannya tanggal 1 Maret 1984 Nomor 073/PN-Mtr/Pdt.1983,
Pengadilan Negeri Mataram (Lombok), antara lain, telah memutuskan:
Mengabulkan gugatan penggugat sebagian. Menyatakan tergugat bersalah
melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak menepati janjinya untuk menikahi
penggugat. Menghukum tergugat untuk membayar ganti kerugian sebagai pemulihan
nama baik atau kehormatan penggugat sejumlah Rp2.500.000,00.
Karena merasa tidak puas, tergugat mengajukan permohonan banding ke
Pengadilan Tinggi Mataram dengan permohonan agar membatalkan Putusan Pengadilan
Negeri Mataram taggal 1 Maret 1984 Nomor 65/Pdt/1984/PT-Mtr, Pengadilan Tinggi
Maratam, antara lain, memutuskan:
Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Mataram tanggal 1 Maret 1984 Nomor
073/PN-Mtr/Pdt/1983 dan dengan mengadili sendiri menolak gugatan terbanding
seluruhnya.
Karena dalam putusan tingkat banding diperlakukan tidak adil, penggugat
terbanding mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung RI, antara lain,
menyatakan bahwa dari surat bukti yang diajukan pemohon kasasi sebagai petunjuk
terbukti bahwa termohon kasasi telah selalu menyebut pemohon kasasi sebagai istrinya
sehingga dapat disimpulkan bahwa termohon kasasi berkeinginan untuk mengawininya.
Dengan tidak dipenuhinya janji untuk mengawini pemohon kasasi, termohon
kasasi telah melanggar norma kesusilaan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat
dan perbuatan termohon kasasi itu adalah suatu perbuatan melawan hukum sehingga
menimbulkan kerugian terhadap nama baik atau kehormatan pemohon kasasi. Maka
termohon kasasi wajib memberi ganti kerugian seperti tertera dalam amar putusan.
Dalam putusannya tanggal 8 Februari 1986 Nomor 3191K/Pdt/1984 Mahkamah
Agung RI, antara lain, memutuskan:
Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Mataram tanggal 26 Juli 1984 Nomor
65/Pdt/1984/PT-Mtr yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Mataram tanggal 1
Maret 1984 Nomor 073/PN-Mtr/Pdt/1983. Mengadili sendiri mengabulkan gugatan
penggugat sebagian. Menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Menghukum tergugat untuk membayar ganti kerugian sebagai pemulihan nama baik atau
kehormatan penggugat sejumlah Rp2.500.000,00.
Dalam hubungannya dengan Yurisprudensi yang telah diuraikan di atas, Z.
Asikin Kusumah Atmadja seorang hakim agung pada waktu itu menyatakan bahwa
untuk pertama kalinya hal tidak menepati perjanjian untuk melakukan pernikahan
diselesaikan menurut hukum perdata. Sebelumnya selalu diselesaikan menurut hukum
pidana yang selalu tidak memberikan penyelesaian tuntas. Menurut doktrin, perbuatan
melawan hukum termasuk perikatan yang bersumber pada undang-undang. Namun, jenis
lain adalah perbuatan melwan hukum termasuk perikatan yang termasuk perikatan yang
bersumber pada perjanjian seperti pada kasus yang diuraikan di atas.
Oleh karena itu, beliau menyatakan bahwa dalam memutus perkara yang
berkaitan dengan perjanjian untuk melangsungkan pernikahan, seyogianya diperhatikan
apakah hal tersebut harus dibuktikan secara jelas sudah ditentukan untuk menikah secara
resmi, misalnya, sudah ditentukan hari dan tanggal, jangka waktu pernikahan akan
dilangsungkan, atau dengan penyebutan dalam setiap peristiwa bahwa wanita yang
dibawanya itu adalah istrinya karena sudah hidup bersama.
Selanjutnya Z. Asikin Kusumah Atmadja menyatakan:
“Apabila salah satu pihak tidak datang pada hari yang sudah ditentukan atau
hingga lampau tenggang waktu yang diperjanjikan tidak mau melangsungkan pernikahan,
dalam hal ini perbuatannya merupakan perbuatan melawan hukum.”
Dalam kasus di atas, majelis hakim berpendapat, pihak wanita sesuai dengan
bukti-bukti yang cukup mempunyai alasan untuk mempercayai janji pernikahan dari
pihak pria meskipun lembaga hidup bersama belum diakui di Indonesia. Namun, pada
pihak lainnya hakim wajib menjaga agar pihak yang dinyatakan sebagai pihak yang
lemah (tidak selalu pihak wanita) dilindungi terhadap “keisengan” pihak lainnya.
b. Pelaku perbuatan melawan hukum
Kembali kepada Pasal 1365 KUHPdt, setiap perbuatan melawan hukum yang
mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya
menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Siapa yang dimaksud dengan
orang yang bersalah menimbulkan kerugian dalam konteks Pasal 1365 KUHPdt itu?
Orang bersalah dimaksud adalah pelaku perbuatan melanggar hukum, tidak hanya
bertanggung jawab karena perbuatannya sendiri, tetapi juga bertanggung jawab karena
perbuatan orang lain yang berada dibawah kekuasaan atau tanggung jawabnya, serta
karena barang yang berada dibawah pengawasannya (Pasal 1367 KUHPdt).
Pelaku perbuatan melawan hukum dapat berupa manusia pribadi ataupun badan
hukum. Ketentuan Pasal 1367 KUHPdt memberikan rincian orang yang mempunyai
kekuasaan atau tanggung jawab atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh
orang lain seperti diuraikan berikut ini:
a. Orang tua atau wali terhadap anak yang belum dewasa.
b. Majikan terhadap orang yang diangkat sebagai bawahannya.
c. Guru terhadap murid selama berada dibawah pengawasannya.
d. kepala tukang selama mereka dibawah pengawasannya.
Namun mereka ini dianggap tidak bertanggung jawab atas perbuatan yang
dilakukan oleh orang yang berada dibawah kekuasaan atau pengawasannya jika dapat
membuktikan bahwa mereka tidak mungkin dapat mencegah perbuatan demikian itu.
Siapa yang bertanggung jawab terhadap akibat perbuatan melawan hukum anak yang
belum dewasa? Menurut ketentuan Pasal 1367 jo. KUHPdt, orang tua atau wali anak
yang bersangkutan bertaggung jawab mengganti kerugian kepada pihak yang dirugikan.
4. Perbuatan Melawan Hukum oleh Badan Hukum
Dilihat dari cara pembentukannya, badan hukum dibedakan antara badan hukum
perdata dan badan hukum publik. Badan hukum perdata dibentuk berdasar pada hukum
perdata, sedangkan pengesahannya dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini adalah
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal yang disahkan itu adalah akta pendirian
yang memuat anggaran dasar badan hukum. Badan hukum perdata ini antara lain,
perseroan terbatas, yayasan, dan koperasi.
Badan hukum publik adalah badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah
berdasar pada hukum publik, yaitu undang-undang atau peraturan pemerintah. Badan
hukum publik merupakan badan kenegaraan, misalnya Negara Republik Indonesia,
Provinsi (Daerah Tingkat I), Kabupaten/Kota (Daerah Tingkat II), Lembaga Tinggi
Negara, Departemen Pemerintahan, dan Badan Usaha Milik Negara. Badan hukum
publik dibentuk berdasar pada peraturan perundang-undangan untuk menyelenggarakan
kepentingan umum, baik kenegaraan maupun kemasyarakatan. Jika badan hukum publik
melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige overheidsdaad), dapat digugat
berdasar pada Pasal 1365 KUHPdt.
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa badan hukum publik dalam
menjalankan kekuasaannya mungkin merugikan orang lain dengan alasan menjalankn
undang-undang. Oleh karena itu, perlu dibedakan antara kebijaksanaan dan pelanggaran
undang-undang. Dalam hal ini pengadilan yang akan menentukannya. Jika perbuatan
yang dilakukan itu merupakan kebijaksanaan penguasa (pemerintah), hal ini bukan lagi
wewenang pengadilan perdata karena sudah masuk ranah politik.
Dulu orang pernah menyangsikan apakah badan hukum itu dapat melakukan
perbuatan melawan hukum. Alasannya karena badan hukum tidak dapat melakukan
kesalahan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan seperti halnya manusia pribadi. Akan
tetapi, badan hukum bertindak dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan orang-orang
yang menjadi alat perlengkapannya (orgaan). Alat perlengkapan (orgaan) terdiri atas
manusia pribadi. Masalahnya adalah bagaimana cara membedakan antara manusia
pribadi yang mewakili badan hukum dan manusia pribadi yang mewakili dirinya sendiri.
Bagaimana cara mempertanggungjawabkan badan hukum itu dalam lalu lintas hukum
jika dia melakukan perbuatan melawan hukum.
Untuk memecahkan masalah tersebut, terlebih dahulu perlu dikemukakan
berbagai teori mengenai badan hukum. Ada tiga macam teori mengenai badan hukum,
yaitu:
a. Fictie theorie (teori anggapan);
b. Orgaan theorie (teori perlengkapan);
c. Yuridische realiteits theorie (teori kenyataan yuridis).
Ketiga macam teori tesebut akan dijelaskan satu per satu berikut ini :
a. Fictie theorie (teori anggapan)
Menurut teori fiksi yang dipelopori oleh von Savigny, badan hukum itu dianggap
sebagai badan pribadi yang bersifat fiktif, terpisah dari manusia pribadi yang menjadi
pengurusnya. Oleh karena itu, perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurusnya tidak
dapat dikatakan sebagai perbuatan badan hukum, tetapi perbuatan orang lain yang
dipertanggungjawabkan kepada badan hukum itu.
Atas dasar ini, badan hukum itu tidak berbuat secara langsung, tetapi melalui
perbuatan orang lain, yaitu pengurusnya. Pengurus tersebut adalah orang yang bertindak
atas kuasa dari badan hukum. Jadi, perbuatan pengurus dipertanggungjawabkan kepada
badan hukum. Segala perbuatan yang dilakukan oleh pengurus, pengurus bertindak untuk
dan atas nama badan hukum yang sifatnya fiktif.
Berdasar pada teori fiksi ini, badan hukum yang melakukan perbuatan melawan
hukum dapat digugat tidak berdasar pada Pasal 1365 KUHPdt, tetapi berdasar pada
Pasal1367 KUHPdt. Jika mengikuti teori fiksi ini, orang dihadapkan pada keadaan yang
bertentangan dengan kenyataan. Kenyataan bahwa semua orang yang melakukan
perbuatan hukum dapat digugat melalui Pasal 1365 KUHPdt.

b. Orgaan theorie (teori perlengkapan)


Menurut teori perlengkapan yang dipelopori von Glerke, badan hukum itu sama
dengan manusia pribadi, dapat melakukan perbuatan hukum. Jika badan hukum
melakukan perbuatan melawan hukum, badan hukum itu dapat dipertanggungjawabkan.
Bertindaknya badan hukum itu melalui perlengkapan (orgaan). Oleh karena itu, badan
hukum melalui perlengkapannya secara langsung bertanggung jawab atas semua
perbuatan hukum yang dilakukannya.
Berdasar pada teori ini, badan hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum
dapat digugat melalui Pasan 1365 KUHPdt. Akan tetapi, terhadap bawahan perlengkapan
badan hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum, dapat dipertanggungjawabkan
melalui Pasal 1367 KUHPdt.

c. Juridische realiteit theorie (teori kenyataan yuridis)


Menurut teori relitas/kenyataan yuridis ini, badan hukum itu adalah kenyataan
yuridis yang dibentuk dan diakui sama seperti manusia pribadi. jadi, badan hukum itu
dapat dipertanggungjawabkan dalam setiap perbuatan hukum yang diatur dalam undang-
undang. Jika badan hukum melakukan perbuatan melawan hukum, dia dapat digugat
berdasar pada Pasal 1365 KUHPdt.
Badan hukum bertanggung jawab secara langsung terhadap setiap perbuatan
melawan hukum yang dilakukannya. Setiap badan hukum memiliki organ badan hukum
yang bertindak atas nama dan untuk kepentingan badan hukum sesuai dengan ketentuan
undang-undang dan yang dicantumkan dalam anggaran dasar pendirian badan hukum.
Jika organ yang mewakili badan hukum itu sudah ditentukan dalam undang-
undang dan dituangkan dalam anggaran dasar badan hukum, ini namanya bukn lagi teori,
melainkan sudah merupakan aturan hukum yang bersifat memaksa. Jadi tidak diikuti,
berarti melanggar hukum (undang-undang). Jadi, tidak dapat disebut teori yang berlaku
secara umum tidak terikat dengan situasi dan kondisi setempat. Ketentuan undang-
undang (termasuk anggaran dasar) hanya berlaku pada situasi dan kondisi tertentu dan
terikat pada stu badan tertentu.
E. PERWAKILAN SUKARELA
1. Konsep Perwakilan Sukarela
Menurut ketentuan Pasal 1354 KUH Perdata, jika seseorang dengan sukarela
tanpa mendapat perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa
pengetahuan orang lain itu, secara diam-diam dia mengikatkan dirinya untuk meneruskan
dan menyelesaikan urusan tersebut, sampai orang yang diwakili kepentingannya itu dapat
mengerjakan sendiri urusannya.
Figur hukum yang diatur dalam Pasal 1354 KUH Perdata ini disebut perwakilan
sukarela (zaakwaameming). Penyelenggaraan urusan itu bersifat sukarela tanpa kuasa
dari pihak berkepentingan. Urusan itu dilakukan secara sukarela dengan tujuan agar
memperoleh kemanfaatan bagi pihak yang berkepentingan dan perbuatan tersebut diakui
serta dibenarkan oleh undang-undang. Oleh karena itu, ketentuan undang-undang tersebut
menciptakan perikatan. Jadi, yang meciptakan perikatan itu bukanlah perbuatan orang,
melainkan ketentuan undang-undang itu sendiri.
2. Unsur-unsur perwakilan sukarela
Berdasarkan ketentuan Pasal 1354 KUH Perdata terdapat beberapa unsur-unsur
konsep perwakilan sukarela, diantaranya:
a. Sukarela
Perbuatan yang dilakukan dengan sukarela yang artinya, kesadaran sendiri tanpa
mengharapkan suatu apapun sebagai imbalannya.
b. Tanpa Kuasa
Perbuatan yang dilakukan tanpa mendapatkan perintah (kuasa). Artinya, pihak
wakil sukarela itu bertindak atas inisiatif sendiri tanpa adanya pesan, perintah ataupun
kuasa dari pihak yang berkepentingan baik itu lisan ataupun secara tertulis.
c. Mewakili urusan orang lain
Perbuatan dilakukan mewakili urusan orang lain. Artinya pihak wakil sukarela
bertindak untuk kepentingan orang lain bukan kepentingan pribadinya. Urusan yang
diwakilinya dapat berupa perbuatan hukum atau yang lainnya.
d. Dengan atau tanpa pengetahuan
Perbuatan dilakukan dengan atau tanpa pengetahuan orang itu. Artinya, orang
yang berkepentingan itu tidak mengetahui bahwa kepentingannya diurus oleh orang lain.
e. Meneruskan dan menyelesaikan
Wakil sukarela wajib meneruskan dan menyelesaikan urusan itu. Artinya, sekali
wakil sukarela mengurus urusan kepentingan orang lain, dia wajib meneruskan sampai
urusannya selesai sehingga orang yang diurus dapat menikmati manfaatnya atau dapat
mengurus sendiri segala sesuatu mengenai urusannya itu.
f. Bertindak menurut hukum
Wakil sukarela harus bertindak menurut hukum. Artinya, dalam mengurus
kepentingan orang lain itu harus dilakukan berdasar pada kewajiban undang-undang atau
bertindak tidak bertentangan dengan kehendak pihak yang berkepentingan itu.

2. Kewajiban dan Hak Wakil Sukarela


Perikatan itu bersumber dari Undang-Undang, maka kewajiban dan Hak Wakil
Sukarela juga ditetapkan dalam Undang-Undang. Kewajiban dan Hak tersebut adalah
wakil sukarela wajib mengerjakan segala sesuatu yang termasuk urusan yang diwakilinya
itu sampai selesai dengan memberikan pertanggungjawabannya. Wakil sukarela
mengurus kepentingan itu, menanggung segala beban biaya atau ongkos pengurusan
kepentingan tersebut. Wakil sukarela yang mengurus kepentingan itu berhak memperoleh
penggantian dari pihak yang berkepentingan atas segala pengeluaran perikatannya yang
dibuat secara pribadi yang bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan (Pasal 1357 KUH
Perdata).

3. Kewajiban dan Hak Pihak Berkepentingan


Pihak berkepentingan wajib memenuhi perikatan yang dibuat oleh wakil sukarela
atas namanya, membayar ganti kerugian atau pengeluaran yang telah dipenuhi oleh wakil
sikarela (Pasal 1357 KUH Perdata). Pihak berkepentingan berhak atas keringanan
pembayaran penggantian atau pengeluaran yang disebabkan oleh kesalahan/kelalaian
wakil sukarela mengurus kepentingan berdasar pada pertimbangan peengadilan (Pasal
1357 ayat (2) KUH Perdata). Pihak berkepentingan berhak meminta pertanggungjawaban
atas pengurusan kepentingan itu.
Dalam perikatan perwakilan tidak mengenal yang namanya upah, karena ini
bersifaat sukarela. Undang-undang menentukan bahwa wakil sukarela yang mengurus
kepentingan orang lain tanpa perintah, tidk berhak atas upah (Pasal 1358 KUH Perdata).
Perikatan wakil sukarela sesuai dengan falsafah dasar negara Indonesia Pancasila.
Perikatan jenis ini perlu dioper dalam hukum perdata nasional.
Ada beberapa perbedaan antara perikatan pemberian kuasa (lastgeving) dengan
perikatan perwakilan sukarela (zaakwaarneming), yaitu sebagai berikut :
a. Pada perwakilan sukarela, perikatan terjadi karena undang-undang, sedangakan pada
pemberian kuasa, perikatan terjadi karena perjanjian.
b. Pada perwakilan sukarela, perikatan tidak berhenti jika pihak yang berkepentingan
meninggal dunia, sedangkan pada pemberian kuasa, perikatan berhenti jika pemberi
kuasa meninggal.
c. Pada perwakilan sukarela, tidak dikenal upah karena dilakukan dengan sukarela,
sedangkan pada pemberian kuasa, penerima kuasa berhak atas upah karena diperjanjikan.
F. PEMBAYARAN TAK TERUTANG (onverschulddigde betaling)
Seseorang yang membayar tanpa adanya utang, berhak menuntut kembali apa
yang telah dibayarkan. Dan yang menerima tanpa hak berkewajiban untuk
mengembalikan. Hal ini sejalan dengan apa yang ada dalam Pasal 1359 KUH Perdata
bahwa setiap pembayaran yang ditujukan untuk melunasi suatu hutang tetapi ternyata
tidak ada hutang, pembayaran yang telah dilakukan itu dapat dituntut kembali.
Pembayaran yang dilakukan itu bukanlah bersifat sukarela namun karena merasa ada
kewajiban yang harus dipenuhi yaitu utang. Kekeliruan bukanlah syarat untuk menuntut
pengembalian pembayaran yang tidak terutang. Oleh karena itu seseorang yang dengan
sadar membayar tanpa adanya utang berhak menuntut pengembalian. Jika seseorang
karena kekhilafan mengira bahwa ia berutang dan telah membayar utang tersebut, dapat
menuntut kembali apa yang ia telah bayarkan. Hak untuk menuntut kepada kreditur
hilang, jika surat pengakuan utang telah dimusnahkan setelah terjadinya pembayaran.
Sekalipun demikian orang yang telah membayar berhak untuk menuntut
pengembaliannya dari orang yang sebenarnya berutang (Pasal 1361 KUH Perdata).
Menurut Pasal 1362 KUH Perdata bahwa barang siapa dengan itikad buruk
menerima sesuatu pembayaran tanpa hak harus mengembalikan hasil dan bunganya.
Selain itu harus pula membayar ganti rugi jika nilai barangnya menjadi berkurang. Jika
barangnya musnah di luar kesalahannya ia harus mengganti harga barangnya beserta
biaya, kerugian dan bunga kecuali jika ia dapat membuktikan bahwa barangnya tetap
akan musnah sekalipun berada pada pihak yang berhak.
Barang siapa dengan itikad baik menerima pembayaran yang tidak terutang dan
telah menjual barang tersebut maka ia hanya wajib membayar kembali harganya. Jika ia
dengan itikad baik menghadiahkan barangnya kepada orang lain maka ia tidak wajib
mengembalikan apapun. Dalam perikatan pembayaran tanpa utang, tuntutan kembali
atas pembayaran yang telah dilakukan itu disebut conditio indebiti. Tuntutan semacam ini
dapat dilakukn terhadap badan-badan pemerintah, misalnya pembayaran pajak yang
kemudian ternyata tidak ada pajak, maka bisa dilakukan meminta kembali pembayaran
tersebut.
G. HAPUSNYA PERIKATAN
Menurut Ketentuan pasal 1381 KUH Perdata, ada sepuluh cara hapusnya
perikatan. Kespeluh cara tersebut diuraikan satu demi satu berikut ini :
1. Pembayaran
Yang dimaksud dengan pembayaran dalam hal ini tidak hanya meliputi
penyerahan sejumlah uang, tetapi juga penyerahan suatu benda. Dalam hal objek
perikatan adalah pembayaran uang dan penyerahan benda secara timbal balik, perikatan
baru berakhir setelah pembayaran uang dan penyerahan benda.
2. Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Penitipan
Jika debitor telah melakukan penawaran pembayaran dengan perantaraan notaries,
kemudian kreditor menolak penawaran tersebut, atas penolakan kreditor itu kemudian
debitor menitipkan pembayaran itu kepada panitera pengadilan negeri untuk disimpan.
Dengan demikian, perikatan menjadi hapus ( Pasal 1404 KUH Perdata ). Supaya
penawaran pembayaran itu sah perlu dipenuhi syarat-syarat :
a. Dilakukan kepada kreditor atau kuasanya;
b. Dilakukan oleh debitor yang wenang membayar;
c. Mengenai semua uang pokok, bunga, dan biaya yang telah ditetapkan;
d. Waktu yang ditetapkan telah tiba;
e. Syarat dimana utang dibuat telah terpenuhi;
f. Penawaran pembayaran dilakukan di tempat yang telah ditetapkan atau ditempat yang
telah disetujui; dan
g. Penawaran pembayaran dilakukan oleh notaries atau juru sita disertai oleh dua orang
saksi.
3. Pembaruan Utang ( Novasi )
Pembaruan utang terjadi dengan cara mengganti utang lama dengan utang baru,
debitor lama dengan debitor baru. Dalam hal utang lama diganti dengan utang baru,
terjadilah penggantian objek perikatan, yang disebut “ Novasi Objektif”. Disini utang
lama lenyap. Dalam hal terjadi penggantian orangnya (subyeknya), maka jika debitornya
yang diganti, pembaruan ini disebut “Novasi Subjektif Pasif” jika kreditornya yang
diganti, pembaruan ini disebut “novasi subjektif aktif”. Dalam hal ini utang lama lenyap.
4. Perjumpaan Utang (kompensasi)
Dikatakan ada penjumpaan utang apabila utang piutang debitor dan kreditor
secara timbale balik dilakukan perhitungan. Dengan perhitungan itu utang piutang lama
lenyap. Supaya utang itu dapat diperjumpakan perlu dipenuhi syarat-syarat :
a. Berupa sejumlah uang atau benda yang dapat dihabiskan dari jenis dan kualitas yang
sama;
b. Utang itu harus sudah dapat ditagih; dan
c. Utang itu seketika dapat ditentukan atau ditetapkan jumlahnnya (pasal 1427 KUH
Perdata)
Setiap utang apapun sebabbnya dapat diperjumpakan, kecuali dalam hal berikut
ini :
a. Apabila dituntut pengembalian suatu benda yang secara melawan hukum dirampas dari
pemiliknya, misalnya karena pencurian;
b. Apabila dituntut pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan;
c. Terhadap suatu utang yang bersumber pada tunjangan napkah yang telah dinyatakan
tidak dapat disita (Pasal 1429 KUH Perdata) ;
d. Utang-utang Negara berupa pajak tidak mungkin dilakukan perjumpaan utang
(yurisprudensi); dan
e. Utang utang yang timbul dari perikatan wajar tidak mungkin dilakukan perjumpaan
hutang (yurisprudensi).
5. Pencampuran Utang
Menurut ketentuan Pasal 1436 KUH Perdata, Pencampuran utang itu terjadi
apabila kedudukan kreditor dan debitor itu menjadi satu tangan. Pencampuran utang
tersebut terjadi demi hukum. Pada pencampuran hutang ini utang piutang menjadi lenyap.
6. Pembebasan Utang
Pembebasan utang dapat terjadi apabila kreditor dengan tegas menyatakan tidak
menghendaki lagi prestasi dari debitor dan melepaskan haknya atas pembayaran atau
pemenuhan perikatan dengan pembebasan ini perikatan menjadi lenyap atau hapus.
Menurut ketentuan pasal 1438 KUH Perdata, pembebasan suatu hutang tidak
boleh didasarkan pada persangkaan, tetapi harus di buktikan. Pasal 1439 KUH Perdata
menyatakan bahwa pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditor kepada
debitor merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
7. Musnahnya benda yang terutang
Menurut ketentuan pasal 1444 KUH Perdata, apabila benda tertentu yang menjadi
objek perikatan itu musnah, tidak dapat lagi diperdangkan, atau hilang bukan karena
kesalahan debitor, dan sebelum dia lalai , menyerahkannya pada waktu yang telah
ditentukan; perikatan menjadi hapus (lenyap) akan tetapi, bagi mereka yang memperoleh
benda itu secara tidak sah, misalnya, kerena pencurian, maka musnah atau hilangnya
benda itu tidak membebaskan debitor (orang yang mencuri itu) untuk mengganti
harganya.
Meskipun debitor lalai menyerahkna benda itu dia juga akan bebas dari perikatan
itu apabila dapat membuktikan bahwa musnah atau hilangnya benda itu disebabkan oleh
suatu keadaan di luar kekuasaannya dan benda itu juga akan mengalami peristiwa yang
sama measkipun sudah berada di tangn kreditor.
8. Karena pembatalan
Menurut ketentuan pasala 1320 KUH Perdata, apabila suatu perikatan tidak
memenuhi syarat-syarat subjektif. Artinya, salah satu pihak belum dewasa atau tidak
wenang melakukan perbuatan hukum, maka perikatan itu tidak batal, tetapi “dapat
dibatalkan” (vernietigbaar, voidable). Perikatan yang tidak memenuhi syarat subjektif
dapat dimintakan pembatalannya kepada pengadilan negeri melalui dua cara, yaitu :
a. Dengan cara aktif
Yaitu menuntut pembatalan melalui pengadilan negeri dengan cara mengajukan
gugatan.
b. Dengan cara pembelaan
Yaitu menunggu sampai digugat di muka pengadilan negeri untuk memenuhi
perikatan dan baru diajukan alasan tentang kekurangan perikatan itu.
Untuk pembatalan secara aktif, Undang-undang memberikan pembatasan waktu,
yaitu lima tahun (pasal 1445 KUH Perdata), sedangkan untuk pembatalan sebagai
pembelaan tidak diadakan pembatasan waktu.
9. Berlaku Syarat Batal
Syarat batal yang dimaksud disini adalah ketentuan isis perikatan yang disetujui
oleh kedua pihak, syarat tersebut apabila dipenuhi mengakibatkan perikatan itu
batal(nietig, void) sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut “syarat batal”.
Syarat batal pada asasnya selalu berlaki surut, yaitu sejak perikatan itu dibuat. Perikatan
yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perkatan.
10. Lampau Waktu (Daluarsa)
Menurut ketentuan pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah alat untuk
memperolah sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu
waktu tertentu dan syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang. Atas dasar
ketentuan pasal tersebut dapat diketahui ada dua macam lampau waktu yaitu :
a. Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas suatu benda disebut acquisitieve
verjaring.
b. Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan
disebut extinctieve verjaring.
Menurut ketentuan pasal 1963 KUH Perdata, untuk memperoleh hak milik atas
suatu benda berdasar pada daluarsa (lampau waktu) harus dipenuhi unsur-unsur adanya
iktkad baik; ada alas hak yang sah; menguasai benda it uterus-menerus selama dua puluh
tahu tanpa ada yang mengggugat, jika tanpa alas hak, menguasai benda itu secara terus-
menerus selama 30 tahun tanpa ada yang mengugat.
Pasal 1967 KUH perdata menentukan bahwa segala tuntutan, baik yang bersifat
kebendaan maupun yang bersifat perorangan hapus karena daluarsa, dengan lewat waktu
30 tahun. Sedangkan orang yang menunujukkan adanya daluarsa itu tidak usah
menunjukkan alas hak dan tidak dapat diajukan terhadapnya tangkisan yang berdasar
pada iktikad buruk.
Benda bergerak yang bukan bunga atau piuatang yang bukan atas tunjuk (niet aan
toonder), siapa yang menguaisainya dianggap sebagai pemiliknya. Walaupun demikian,
jika ada orang yang kehilangan atau kecurian suatu benda, dalam jangka waktu 3 tahun
terhitung sejak hari hilangnya atau dicurigainya benda itu, dia dapat menuntut kembali
bendanya yang hilang atau dicuri itu sebagai miliknya dari tangan siapapun yang
menuasainya. Pemegang benda terakhir dapat menuntut pada orang terakhir yang
menyerahkan atau menjual kepadanya suatu ganti kerugian (pasal 1977 KUH Perdata).
Daluarsa tidak berjalan atau tertangguh dalam hal-hal seperti tersebut berikut ini:
a. Terhadap anak yang belum dewasa, orang di bawah pengampuan;
b. Terhadap istri selam perkawinan (ketentuan ini tidak berlaku lagi)
c. Terhadap piutang yang digantungkan pada suatu syarat selama syarat itu tidak terpenuhi;
dan
d. Terhadap seorang ahli waris yang telah menerima suatu warisan dengan hak istimewa
untuk membuat pendaftaran harta peninggalan mengenai hutang-piutangnya (pasal 1987-
1991 KUH Perdata).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitor dalam setiap perikatan.
Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi
selalu disertai jaminan harta kekayaan debitor. Dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPdt
dinyatakan bahwa harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak,
baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan utangnya
terhadap kreditor.
2. Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perikatan.
Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitor karena dua kemungkinan alasan
3. Keadaan memaksa (force majeure) adalah keadaan tidak dipenuhinya prestasi oleh
debitor karena terjadi peristiwa yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan
terjadi ketika membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa ebitor tidak dapat disalahkan
karena keadaan ini timbul di luar kemauan dan kemampuan debitor.
4. Ganti kerugian hanya berupa uang bukan barang, kecuali jika diperjanjikan lain.
Untuk melindungi debitor dari tuntutan sewenang-wenang dari pihak kreditor, Undang-
Undang memberikan pembatasan terhadap ganti kerugian yang wajib dibayar oleh
debitor sebagai akibat dari kelalainnya (wanprestasi)
5. Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis) adalah perikatan yang digantungkan
pada syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti
terjadi, baik dalam menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga terjadi peristiwa
maupun dengan membatalkan perikatan karena terjadi atau tidak terjadi peristiwa (Pasal
1253 KUHP dt).
6. Figur hukum yang diatur dalam Pasal 1354 KUH Perdata ini disebut perwakilan
sukarela (zaakwaameming). Penyelenggaraan urusan itu bersifat sukarela tanpa kuasa
dari pihak berkepentingan. Urusan itu dilakukan secara sukarela dengan tujuan agar
memperoleh kemanfaatan bagi pihak yang berkepentingan dan perbuatan tersebut diakui
serta dibenarkan oleh undang-undang. Oleh karena itu, ketentuan undang-undang tersebut
menciptakan perikatan. Jadi, yang meciptakan perikatan itu bukanlah perbuatan orang,
melainkan ketentuan undang-undang itu sendiri.
7. Menurut Ketentuan pasal 1381 KUH Perdata, ada sepuluh cara hapusnya perikatan.
Yaitu : pembayaran, penawaran, pembayaran tunai diikuti penitipan, pembayaran utang,
perjumpaan utang, pencampuran utang, pembebasan utang, musnahnya benda yang
terutang, karena pembatalan, berlaku syarat batal dan lampau batas.
B. Saran
Dari penjelasan yang telah kami paparkan sebelumnya terdapat sebuah kelebihan
dan kekurangannya masing-masing, namun untuk meningkatkan pemaparan di atas
adapun saran-saran untuk menunjang sebuah peningkatan dari materi maupun
penerapannya.
1. Alangkah baiknya jika hukum perikatan ini tidak hanya dijadikan sebagai materi yang
membantu proses pemahaman mahasiswa saja namun dapat digunakan langsung atau
dipraktekan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari atau dalam proses
pembelajaran.
2. Sebaiknya pemerintah dan masyakarat dapat membangun kerja sama yang baik dalam
mengarahkan proses berlangsungnya perikatan yang ada di dalam kehidupan sehari-hari.
3. Alangkah baiknya jika setiap individu dapat menerapkan dan mengerti benar mengenai
materi yang sudah kami paparkan di atas.

DAFTAR PUSTAKA

Djamali, Abdul. 1983. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT Raja Gravindo Persada.
Setiawan. 1977. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Bina Cipta.
Tirtodiningrat. 1966. Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Jakarta: Gunung Sahari 84.
Abdul Kadir, Muhammad. 1990. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti.
Subekti. 1954. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT Interma

Anda mungkin juga menyukai