Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

AKHLAK TERPUJI

Disusun Oleh

SULISTIA HARLIANI
NIM : 123107141

Dosen Pengampu:
MUHARI SYAHLAILI SARAGIH, S.Pd, M.Pd
NIDN :

PRODI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SUMATERA UTARA
T.A. 2023-2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi
hidayah, kekuatan, kesehatan dan ketabahan kepada saya sehingga saya dapat
menyusun makalah ini, yang berjudul Akhlak Terpuji. Sebagai mana akhlak yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sejak kecil, beliau dari sejak kecil sudah
memiliki akhlak terpuji. Penyusunan makalah ini terselesaikan atas dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang telah membantu terselesaikannya penyusunan makalah ini. Walaupun kami telah
menyusun makalah ini dengan upaya yang sungguh-sungguh, karena berbagai
keterbatasan kami, makalah ini masih memiliki sejumlah kekurangan. Sehubungan
dengan hal tersebut, saya mohon maaf atas kekurangan dalam pembuatan makalah ini.

Medan, 26 Oktober 2023

Sulistia Harliani

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................................i
DAFTAR ISI ......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................1
A. Latar Belakang ................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..........................................................................................1
C. Tujuan Makalah ..............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................2
A. Pengertian Akhlak ...........................................................................................2
B. Akhlak Kepada Guru atau dosen ..................................................................2
C. Akhlak Menghormati Ilmu .............................................................................5
D. Akhlak Dalam Majelis.....................................................................................12
E. Akhlak Tidak Menyeka Pembicaraan ...........................................................13
BAB III PENUTUP ...........................................................................................................15
Kesimpulan .............................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Akhlak merupakan sesuatu yang sangat penting bagi umat Islam, karena diutusnya
Rasulullah saw di muka bumi ini tidak lain adalah untuk menyempurnakan umatnya, dan
salah satu akhlak yang terbaik adalah akhlak Rasulullah, karena Al Qur’an adalah salah
satu cerminan akhlak Rasulullah saw. Jadi kita sebagai umat Islam sangat dianjurkan
untuk berakhlak sesuai apa yang di contohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat
serta generasi penerusnya, berdasarkan pemahaman yang lurus/ benar. Baik di lingkungan
masyarakat, keluarga, dan kampus. Mengingat dewasa ini telah terjadi
degradasi/menurunnya moral umat manusia yang sepertinya tidak enggan lagi melakukan
perbuatan/ perilaku dan penampilan yang tidak mencerminkan akhlak terpuji, khususnya
akhlak di kampus. Oleh sebab itu, diperlukan pemahaman-pemahaman akhlak di kampus
menurut agama, etika, dan budaya yang bertujuan untuk membentengi atau langkah
pencegahan mahasiswa/ mahasiswi Islam agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan atau
penampilan yang tidak mencerminkan akhlakul karimah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana akhlak menghormati guru atau dosen ?
2. Bagaimana akhlak menghormati ilmu ?
3. Bagaimana akhlak dalam majelis ?
4. Bagaimana akhlak agar tidak menyeka pembicaraan ?

C. Tujuan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah, untuk memenuhi tugas Keaswajaan, selain itu juga
untuk menambah wawasan penulis serta pembaca lebih mendalam lagi tentang bagaimana
akhlak kepada guru atau dosen ,akhlak menghormati ilmu,akhlak dalam majelis,akhlak
tidak menyeka pembicaraan.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Akhlak

Secara etimologi kata akhlak berasal dari bahasa Arab Akhlaq (ْ‫)اَ ْخلَ ْق‬
atau Khuluq (‫) ُخلُق‬. Kata Khuluq mempunyai bermacam-macam arti, tergantung pada
mashdar yang digunakan. Dalam bahasan kali ini diartikan sebagai budi pekerti, perangai,
tingkah laku, atau tabi’at. Oleh karena itu, Al khuluq itu sifatnya diciptakan oleh si pelaku
itu sendiri, dan ini bisa bernilai baik (ahsan) dan buruk (qabih) tergantung pada sifat
perbuatan itu. Kemudian Al Khuluq itu bisa dianggap baik dengan syarat memenuhi
aturan-aturan agama. Sifat Al Khuluq itu tidak hanya mengacu pada pola hubungan
kepada Allah, namun juga mengacu pada pola hubungan dengan sesama manusia serta
makhluk lainnya.
Sedangkan pengertian akhlak secara terminologi (istilah) adalah suatu sifat yag tertanam
dalam jiwa yang dari padanya tergantung perbuatan-perbuatan dengan mudah dan
gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Ahlak merupakan manifestasi
iman, Islam, dan Ihsan yag merupakan refleksi sifat dan jiwa secara spontan yang terpola
pada diri seseorang sehingga dapat melahirkan perilaku secara konsisten dan tidak
tergantung pada pertimbangan berdasar interes tertentu.

B. Akhlak Kepada Guru atau dosen

Guru adalah orang tua kedua, yaitu orang yang mendidik murid-muridnya untuk menjadi
lebih baik sebagaimana yang diridhoi Alloh ‘azza wa jalla. Sebagaimana wajib hukumnya
mematuhi kedua orang tua, maka wajib pula mematuhi perintah para guru selama perintah
tersebut tidak bertentangan dengan syari’at agama.
Di antara akhlaq kepada guru yaitu :
Memuliakan, tidak menghina atau mencaci-maki guru, sebagaimana sabda Rosululloh
saw:
·‫يرنَا‬ َ ِ‫ْسْ ِمنَّاْ َم ْنْلَ ْمْيُ َوقِّرْ ْ َْكب‬
َ ‫يرنَاْ َوْيَرْ َح ْم‬
َ ‫ْص ِغ‬ َ ‫ْْْْْْْْْلَي‬
“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak memuliakan orang yang lebih tua dan
tidak menyayangi orang yang lebih muda.” ( HSR. Ahmad dan At-Tirmidzi )

2
Ø Datang ke tempat belajar dengan ikhlas dan penuh semangat, sebagaimana sabda
Rosululloh saw :
·‫َّْللاُْلَهُْبِ ِهْطَ ِريقًاْإِلَىْا ْل َجنَّ ِْة‬
َّ ‫ْْْْْْْْْ َم ْنْ َسلَكَْطَ ِريقًاْيَ ْلتَ ِمسُ ْفِي ِهْ ِع ْل ًماْ َسهَّ َل‬
“Barangsiapa menempuh jalan dalam rangka menuntut ilmu padanya, Alloh mudahkan
baginya dengannya jalan menuju syurga.” ( HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, At-
Tirmidzi dan Ibnu Majah )
Ø Datang ke tempat belajar dengan penampilan yang rapi, sebagaimana sabda Rosululloh
saw :
َْ ‫ْج ِميلٌْي ُِحبُّ ْا ْل َج َم‬
·‫ال‬ َ َّ ‫ْْْْْْْْْإِ َّن‬
َ ‫َّْللا‬
“Sesungguhnya Alloh itu indah dan suka kepada keindahan.”( HR. Ahmad, Muslim dan
Al-Hakim )
Ø Diam memperhatikan ketika guru sedang menjelaskan, sebagaimana hadits Abu Sa’id
Al-Khudri ra :
·‫وس ِه ْمْالطَّي َْْر‬
ِ ‫تْالنَّاسُ ْ َكأ َ َّنْ َعلَىْ ُر ُء‬
َ ‫ْْْْْْْْْ َوْ َس َك‬
“Orang-orang pun diam seakan-akan ada burung di atas kepala mereka.” ( HR. Al-
Bukhori )
Ø Bertanya kepada guru bila ada sesuatu yang belum dia mengerti dengan cara baik.
Alloh berfirman :
·َْ‫ْْْْْْْْْفَاسْأَلُوْ اْأَ ْه َلْال ِّذ ْك ِرْإِ ْنْ ُك ْنتُ ْمْالَْتَ ْعلَ ُموْ ن‬
“Bertanyalah kepada ahli dzikr ( yakni para ulama ) bila kamu tidak tahu.”( Qs. An-Nahl :
43 dan Al-Anbiya’ : 7 )
Rosululloh saw bersabda :
·ُْ‫ْْْْْْْْْأَالَْ َسأَلُوْ اْإِ ْذْلَ ْمْ َي ْعلَ ُمواْفَإِنَّ َماْ ِشفَا ُءْا ْل ِع ِّيْالسُّؤَال‬
“Mengapa mereka tidak bertanya ketika tidak tahu ? Bukankah obat dari ketidaktahuan
adalah bertanya ?” ( HSR. Abu Dawud )
Ø Dan menghindari pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada faedahnya, sekedar mengolok-
olok atau yang dilatarbelakangi oleh niat yang buruk, oleh karena itu Alloh berfirman :
·‫ْْْْْْْْْيَاْأَيُّهَاْالَّ ِذ ْينَ ْآ َمنُوْ اْالَْْتَسْأَلُوْ اْع َْنْأَ ْشيَا َءْإِ ْنْتُ ْبدَْلَ ُك ْمْتَس ُْؤ ُك ْْم‬
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan sesuatu yang bila
dijawab niscaya akan menyusahkan kalian.” ( Qs. Al-Maidah : 101 )
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
·ِْ‫ْْْْْْْْْإِ َّنْأَ ْعظَ َمْا ْل ُم ْسلِ ِم ْينَ ْجُرْ ًماْ َم ْنْ َسأ َ َلْع َْنْ َش ْي ٍءْلَ ْمْيُ َح َّر ْمْفَ ُح ِّر َمْ ِم ْنْأَجْ ِلْ َمسْأَلَتِه‬

3
“Sesungguhnya orang muslim yang paling besar dosanya adalah orang yang bertanya
tentang sesuatu yang tidak diharamkan, lantas menjadi diharamkan lantaran
pertanyaannya itu.” ( HR. Ahmad, Al-Bukhori dan Muslim )
Ø Ketika bertanya mestinya dilakukan dengan cara dan bahasa yang bagus.
Berkata Imam Maimun bin Mihron : “Pertanyaan yang bagus menunjukkan separuh dari
kefahaman.” ( AR. Al-Khothib Al-Baghdadi dalam Al-Jami’ )
Ø Menegur guru bila melakukan kesalahan dengan cara yang penuh hormat, sebagaimana
sabda Rosululloh :
·‫َْلِلْ َوْلِ ِكتَا ِب ِهْ َوْلِ َرسُولِ ِهْ َوْألَئِ َّم ِةْا ْل ُم ْسلِْ ِمينَ ْ َوْعَا َّمتِ ِه ْْم‬
ِ َّ ِ ‫ال‬
َ َ‫ْلِ َم ْنْ؟ْق‬:ْ‫ْقُ ْلنَا‬,ُْ‫ص ْي َحة‬
ِ َّ‫ْْْْْْْْْال ِّديْنُ ْالن‬
“Agama adalah nasihat.” Kami ( Shahabat ) bertanya : “Untuk siapa ?” Beliau menjawab :
“Untuk menta’ati Alloh, melaksanakan Kitab-Nya, mengikuti Rosul-Nya untuk para
pemimpin kaum muslimin dan untuk orang-orang umum.” ( HR. Ahmad, Muslim, Abu
Dawud, At-Tirmidzi dll )

Ingatlah,bahwasannya guru ketika mendidik kamu sangat sulit diantaranya : Mendidik


akhlak kalian, mengajarkan ilmu yang bermanfaat dan memberikan nasihat yang baik,
kesemuanya itu agar kamu bahagia seperti orang tua membahagiakan anaknya dan
mengharapkan masa depan kalian berpendidikan.
Kemudian apabila kamu ingin menyenangkan guru kamu maka tetapkanlah kewajibanmu
diantaranya :
1. Untuk hadir setiap hari dan jangan sampai terlambat kecuali ada alasan yang
membenarkan
2. Dahulukan masuk ke kelas.
3. Faham dalam segala pelajaran.
4. Menghafalkan dan menela’ah atau mempelajari kembali pelajaran.
5. Menjaga kebersihan di buku kalian dan diperalatan sekolah kalian.
6. Patuh terhadap perintah guru.
7. Jangan sampai marah ketika gurumu mendidik kalian karena mendidik kamu suatu
kewajiban dan hendaklah bersyukur dan tidak sombong.
8. Mendo’akannya.

4
C. Akhlak Menghormati Ilmu

Akhlak seorang muslim dapat dicerminkan dari perilaku, sebagai insan penuntut ilmu.
Apapun yang perbuatan selama masih dalam norma yang benar maka akan menampakkan
akhlak yang baik. Ilmu yang dimiliki seseorang dapat mencerminkan akhlaknya. Ilmu
mengandung tatanan-tatanan yang sistematis dan mampu membentuk watak seseorang.
Seperti apa ilmu yang dimiliki seseorang maka seperti itulah kira-kira cerminan akhlaknya.
Insan muslim yang berilmu pasti akan memperlihatkan bentuk tingkah laku dan perkataan
yang dapat diterima oleh akal sehat dan mencerminkan kesopanan serta pribadi yang baik.
Misalnya adalah sikap disiplin, rajin, ramah, sopan, penyayang, suka menolong, hal-hal
tersebut merupakan sikap seorang yang memiliki akhlak baik dan berilmu.
Akhlak menuntut ilmu adalah modal yang paling utama yang harus dimiliki seorang
penuntut ilmu, karena ilmu tanpa akhlak tidak akan bermanfaat. Dan ilmu yang tidak disertai
jiwa yang bersih dan suci akan menjadi hujjah keburukan atas pemiliknya pada hari kiamat.
Seorang penuntut ilmu dalam kegiatan belajarnya harus memiliki niat yang ikhlas dan hanya
untuk Allah Swt, mencari keridhoan-Nya, berhias diri dengan adab-adab Islami dan berakhlak
dengan akhlak Nabi Saw.
“Harta akan sirna dalam waktu dekat, namun ilmu akan abadi tak bisa disirnakan”
(Syaikh Imam Az-Zarnuji)
Siapa yang tidak ingin menjadi orang yang pintar dan berilmu? Bisa memiliki pengetahuan,
bisa tahu tentang banyak hal, bisa memahami apa yang dikatakan oleh orang lain, dan
berbagai bentuk pengetahuan dan keterampilan. Sejatinya setiap orang punya keinginan dapat
memiliki kemampuan, keterampilan, dan pengetahuan. Terlebih bagi umat Islam, di mana
banyak sekali disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits mengenai keutamaan orang yang
memiliki pengetahuan, orang yang berilmu. Salah satu keutamaannya adalah bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengangkat derajat orang yang berilmu. Sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surat Al Mujadalah berikut ini:
ٰ ٰ ‫َّْللاُ ْلَ ُك ْۚ ْم ْ َواِ َذاْقِ ْي َل ْا ْن ُش ُزوْ اْفَا ْن ُش ُزوْ اْيَرْ فَ ِع‬
ْ‫َّْللاُ ْاْلَّ ِذ ْينَ ْٰا َمنُوْ اْ ِم ْن ُك ْم‬ ٰٰ ‫ح‬ ِ ِ‫ٰيٰٓاَيُّهَاْالَّ ِذ ْينَ ْٰا َمنُ ْٰٓواْاِ َذاْقِي َْل ْلَ ُك ْم ْتَفَ َّسحُوْ اْفِىْا ْل َم ٰجل‬
ِ ‫س ْفَا ْف َسحُوْ اْيَ ْف َس‬
١١ْ–ٌْ‫َّللاُْ ِب َماْتَ ْع َملُوْ نَ ْ َخبِ ْير‬ ٰ ٰ ‫ْو‬
َ ‫ت‬ ٍ ٍۗ ‫واْال ِع ْل َمْد ََر ٰج‬
ْ ُ‫َوالَّ ِذ ْينَ ْاُوْ ت‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di
dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan
mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi

5
ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha teliti apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mujadalah
[22]: 11).
Betapa pentingnya menuntut ilmu bagi individu, terutama bagi muslim, sampai-sampai
Rasulullah shollahu’alaihi wassalam menegaskan:
َ ‫طَلَبُ ْا ْل ِع ْل ِمْ َف ِري‬
ْ‫ْضةٌْ َعلَىْ ُكلِّْ ُم ْس ِل ٍم‬
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi seorang muslim” (HR. Ibnu Majah)
Dalam konteks kewajiban menuntut ilmu ini, Syaikh Imam Az-Zarnuji menjelaskan bahwa
setiap muslim dan muslimah tidak berkewajiban mempelajari semua ilmu, namun
berkewajiban mempelajari ilmu yang dibutuhkan saat itu. Dan ditambahkan pula bahwa ilmu
yang paling utama adalah ilmu yang dibutuhkan saat itu, dan sebaik-baik amal adalah
menjaga (amal) yang dituntut saat itu (Az-Zarnuji, 2019). Dengan demikian, kita tidak dapat
menafikan bahwa belajar dan menuntut ilmu adalah suatu hal yang penting bagi tiap muslim.
Dengan ilmu, hal tersebut menjadi salah satu amalan manusia yang tidak akan terputus
sekalipun manusia itu meninggal. Sebagaimana sabda Rasulullah shollahu’alaihi wassalam:
ُ ‫حْيَ ْدعُوْلَ ْه‬ َ ‫اريَ ٍةْأَوْ ْ ِع ْل ٍمْي ُ ْنتَفَ ُْعْبِ ِهْأَوْ ْ َولَ ٍد‬
ٍ ِ‫ْصال‬ َ ْ‫اتْا ِإل ْن َسانُ ْا ْنقَطَ َعْ َع ْنهُْ َع َملُهُْإِالَّْ ِم ْنْثَالَثَ ٍةْإِالَّْ ِم ْن‬
َ ‫ص َدقَ ٍة‬
ِ ‫ْج‬ َ ‫إِ َذاْ َم‬
“Jika seorang manusia mati, maka terputuslah darinya semua amalnya kecuali dari tiga hal;
dari sedekah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak shalih yang
mendoakannya.” (HR. Muslim).
Dan dengan ilmu, sejatinya manusia dapat mencapai apa yang diinginkan di dunia maupun di
akhirat, seperti yang disabdakan Rasulullah shollahu’alaihi wassalam:
‫ْ َو َم ْنْأَ َرا َدهُ َماْفَ َعلَْْي ِهْباِل ِع ْل ِْم‬،‫َْاآلخ َر َهْفَ َعلَ ْي ِهْ ِبا ْل ِع ْل ِم‬
ِ ‫ْ َو َم ْنْأَ َراد‬،‫َم ْنْأَ َرادَْال ُّد ْنيَاْفَ َعلَ ْي ِهْبِاْل ِع ْل ِم‬
“Barangsiapa yang hendak menginginkan dunia, maka hendaklah ia menguasai ilmu.
Barangsiapa menginginkan akhirat hendaklah ia menguasai ilmu, dan barangsiapa yang
menginginkan keduanya (dunia dan akhirat) hendaklah ia menguasai ilmu,” (HR Ahmad).
Dengan banyaknya keutamaan menuntut ilmu (berilmu) yang disebutkan dalam Al-
Qur’an dan Hadits, menunjukkan bahwa agama Islam memberikan perhatian penuh pada ilmu
dan bagaimana muslim seharusnya menuntut ilmu. Seperti yang disampaikan oleh Saihu
(2020), bahwa salah satu ciri yang membedakan Islam dengan agama lainnya adalah pada
penekanannya terhadap ilmu. Dalam Islam, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan
manusia unggul dari makhluk-makhluk lain dengan tujuan menjalankan fungsi kekhalifahan.
Ditambahkan oleh Saihu (2010), bahwasanya Al-Qur’an dan hadits
Rasulullah shollahu’alaihi wassalam mengajak kaum muslim untuk mencari dan
mendapatkan ilmu dan kearifan.

6
Kini kita tahu pentingnya menuntut ilmu. Lantas, apa yang perlu kita lakukan dalam
menuntut ilmu? Apakah kemudian sekedar kita hadir ke majelis ilmu dan menyimak apa yang
disampaikan oleh guru? Atau ditambah dengan mencatat materi yang dijelaskan guru?
Banyak hal yang perlu kita persiapkan dan perhatikan saat kita menuntut ilmu, tidak sekedar
kita hadir secara fisik dalam forum ilmu dan mendengarkan apa yang dijelaskan oleh guru.
Salah satu hal yang penting untuk diperhatikan dalam menuntut ilmu adalah adab menuntut
ilmu (adab sebelum ilmu).
Syaikh Az-Zarnuji memaparkan, bahwa beliau telah melihat banyak penuntut ilmu
pada zaman sekarang yang bersungguh-sungguh, namun tidak sampai kepada ilmu, tidak
dapat mengambil manfaat dari ilmu tersebut, dan tidak dapat mengamalkan ilmu yang telah
dipelajari. Beliau menambahkan, bahwa hal tersebut disebabkan karena penuntut ilmu keliru
dalam menempuh jalan untuk mencari ilmu dan meninggalkan syarat-syaratnya, di mana
siapa yang salah jalan maka akan tersesat dan tidak akan meraih tujuan, entah sedikit maupun
banyak. Oleh karena itulah, penting bagi para penuntut ilmu untuk memperhatikan cara dalam
menuntut ilmu yang baik, bagaimana pentingnya adab sebelum menuntut ilmu (Az-Zarnuji,
2019).
Az-Zarnuji (2019) menjelaskan, bahwa syarat utama dalam menuntut ilmu diantaranya
berkaitan dengan niat, memilih guru, dan menghormati ilmu. Seringkali kita sudah banyak
mendengar bagaimana kita seharusnya menghormati orang lain, tetapi bagaimana dengan
menghormati ilmu? Bagaimana cara kita dalam menghormati ilmu?
Hakekatnya, ilmu itu adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan demikian, jika kita
melakukan segala upaya untuk menghormati ilmu, itu artinya kita telah mengagungkan Dzat
yang Maha memiliki ilmu. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surat Ali
Imran ayat 7:
ُْ ‫تٍْْۗفَا َ َّماْالَّ ِذ ْينَ ْفِ ْي ْقُلُوْ بِ ِه ْم ْ َز ْي ٌغ ْفَيَتَّبِعُوْ نَ ْ َماْتَ َشابَهَ ْ ِمنْه‬ ٌ ‫ْوا ُ َخ ُر ْ ُمتَ ٰشبِ ٰه‬
َ ‫ب‬ِ ‫ت ْه َُّن ْا ُ ُّْم ْ ْال ِك ٰت‬
ٌ ٰ‫ت ْ ُّم ْح َكم‬ ٌ ‫ب ْ ِم ْنه ُْٰا ٰي‬
َ ‫ْال ِك ٰت‬ ْ َ‫ي ْاَ ْن َز َل ْ َعلَ ْيك‬ ْٰٓ ‫ه َُو ْالَّ ِذ‬
ْ‫ال ْاُولُوا‬ ِ ‫َّاس ُخوْ نَ ْفِىْا ْل ِعْْل ِم ْيَقُوْ لُوْ نَْ ْ ٰا َمنَّاْ ِبه ْ ُك ٌّل ْ ِّم ْن‬
ٰٓ َّ ِ‫ْع ْن ِد ْ َربِّنَاْْْۚ َو َماْيَ َّذ َّك ُر ْا‬ ِ ‫َّْللاُْۘ َوالر‬ ٰ ٰ ‫ا ْبتِ َغ ۤا َء ْا ْلفِ ْتنَةِ ْ َوا ْبتِ َغ ۤا َء ْتَأْ ِو ْيلِ ْۚه ْ َو َماْيَ ْعلَ ُم ْتَأْ ِو ْيلَهٰٓ ْاِ َّال‬
٧ْ–ْ‫ب‬ ِ ‫اال ْلبَا‬ َْ
“Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada
ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat.
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang
mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada
yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata,

7
“Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang
dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.” (QS. Ali Imran [3]: 7).
Itulah yang kemudian dikatakan oleh Syaikh Az-Zarnuji bahwa adab yang utama
dalam menuntut ilmu adalah takzim terhadap ilmu, memuliakan ilmu, menghormati ilmu.
Takzim ini merupakan nilai adab yang tertinggi. Seseorang tidak akan mendapatkan
keberkahan ilmu, dan tidak dapat mengambil manfaat dari ilmu itu, kecuali dia takzim dan
hormat kepada ilmu itu sendiri, termasuk di dalamnya adalah memuliakan dan menghormati
para ulama (guru) (Az-Zarnuji, 2019). Rasulullah shollahu’alaihi wassalam bersabda:
ْ‫ْولَيَلَوْ اْلِ ُم َعلِّ ِم ْي ُك ْم‬ َ ‫تَ َعلَّ ُموْ ا َو َعلِّ ُموْ ا َوتَ َو‬
َ ‫اضعُوْ الِ ُم َعلِّ ِميْ ُك ْم‬
“Belajarlah kamu semua, dan mengajarlah kamu semua, dan hormatilah guru-gurumu, serta
berlaku baiklah terhadap orang yang mengajarkanmu.” (HR Tabrani)
Jika penulis boleh merujuk pada apa yang pernah disampaikan oleh seorang ustadz dalam
suatu kajian, disebutkan bahwa dalam konteks menghormati ilmu ini, ada tiga hal yang
penting untuk diperhatikan dalam menghormati ilmu, yakni (Sholihun, 2020):
1. Hormat itu lebih baik dari taat.
Orang melakukan penghormatan bukan karena objeknya, namun karena siapa yang
memerintahkan. Dalam konteks belajar, siapa atau apa yang perlu kita hormati? Kedudukan
ilmu itu sendiri yang perlu kita hormati. Bagaimana dengan guru kita? Harus kita muliakan
kedudukannya sebagai guru, ustadz kedudukannya sebagai ustadz, ulama kedudukannya
sebagai ulama. Kedudukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kehidupan kita, maka apapun
perintah-Nya, apapun larangan-Nya, maka akan kita hormati. Bagian dari penghormatan itu
adalah ketaatan. Tetapi jika taat belum tentu hormat.Sebab kehormatan itulah, orang itu akan
tercapai apa yang diinginkan.
Orang yang menuntut ilmu itu tidak akan sampai pada apa yang dimaksudkan kecuali dia
menghormati ilmu dan kedudukannya sebagai ilmu pengetahuan, serta menghormati guru dan
kedudukannya sebagai guru. Jangan sampai kita menjadi orang yang kufur, yang meremehkan
perintah dan meninggalkan penghormatan.
1. Diantara bentuk menghormati atau memuliakan ilmu adalah memuliakan ustadz atau
memuliakan guru. Dalam hal ini, ada beberapa cara untuk memuliakan guru, antara lain:
1. Tidak berjalan di depannya.
2. Tidak menempati tempat duduknya (termasuk mejanya).
3. Tidak memulai berbicara di sisi guru kecuali mendapatkan izinnya.

8
4. Tidak banyak bicara di sisi guru (tidak memperbanyak ngobrol, terlebih lagi jika itu
obrolan-obrolan yang tidak penting).
5. Tidak bertanya sesuatu kepada guru, saat guru sedang kelelahan. Karena itu bisa menjadi
sebab, memunculkan kebosanan, bisa dari guru, bisa juga dari orang lain.
6. Menjaga waktu, mengikuti waktu yang diberikan guru. sepatutnya ketika majelis taklim
sudah dimulai, ya ditunggu saja sampai guru atau ustadznya datang, dan tidak perlu
memaksa atau memburu.
7. Seorang murid tidak mengetuk pintu, namun justru murid itu harus bersabar sampai guru
itu menemuinya.
8. Memuliakan putra-putrinya dan orang-orang yang memiliki hubungan dengan gurunya.
Dalam mempelajari ilmu, salah satu yang penting adalah keberkahan ilmu, yakni
bertambahnya kebaikan (ziyaadatul khoiir). Jika apa yang dipelajari itu berkah, jika interaksi
dalam proses pembelajaran itu diberkahi Allah, insya Allah akan menjadi ilmu yang
bermanfaat. Dan ilmu yang bermanfaat, akan menjadi amalan yang tidak terputus meski
manusia itu telah meninggal. Salah satu cara untuk mencapai keberkahan ilmu adalah dengan
memuliakan ilmu. Dan diantara bentuk memuliakan ilmu adalah dengan memuliakan guru.
Ali radhiyallahu anhu pernah berkata, “Aku adalah hamba sahaya bagi orang yang
mengajariku satu huruf, jika mau ia boleh menjualku, dan jika mau ia membebaskanku”.
Rasulullah shollahu’alaihi wassalam bersabda:
ُ ‫ضعُوْ اْلِ َم ْنْتَتَ َعلٰ ُموانَ ْ ِمنْ ْه‬ َ ‫تَ َعلٰ ُمواال ِْع ْل َمْ َوتَ َعلٰ ُموْ اْلِ ْل ِع ْل ِمْال ٰس ِك ْينَةَْ َوا ْل َوقَاْ َر‬
َ ‫ْوتَ َوا‬
“Belajarlah kalian ilmu untuk ketentraman dan ketenangan serta rendah hatilah pada orang
yang kamu belajar darinya” (HR. Ath-Thabrani).
Syaikh Az-Zarnuji menjelaskan, bahwa seorang penuntut ilmu harus mencari rida gurunya,
menjauhi kemurkaannya, melaksanakan perintahnya selama bukan maksiat. Maka jika
seorang guru tersakiti oleh muridnya, maka murid akan terhalang dalam mendapatkan
keberkahan ilmu, dan ia tidak dapat mengambil manfaat dari ilmu itu kecuali hanya sedikit.
Seperti sebuah syair yang dikutip oleh Syaikh Az-Zarnuji seperti berikut (Az-Zarnuji, 2019):
“Sesungguhnya guru dan dokter itu, tidak akan memberikan nasihat jika tidak dihormati.
Tahanlah sakitmu jika kamu kasar terhadap dokter. Dan nikmatilah kebodohanmu jika kamu
kasar terhadap gurumu”
Masya Allah. Betapa pentingnya kita sebagai penuntut ilmu, sebagai pembelajar, untuk
senantiasa memuliakan guru-guru kita dan tidak menyakiti hati guru-guru kita, karena di
situlah ada keberkahan atas ilmu yang sedang kita pelajari. Tidak hanya itu saja, dalam

9
konteks menghormati dan memuliakan ilmu, ada beberapa hal yang patut diperhatikan oleh
penuntut ilmu, agar keberkahan atas ilmu dapat kita peroleh, yaitu (Az-Zarnuji, 2019):
 Memuliakan kitab
Murid atau pelajar hendaknya tidak mengambil dan memegang kitab kecuali dalam keadaan
suci. Ditambahkan oleh Saihu (2020), bahwa demikian juga dalam konteks belajar,
hendaknya ketika kita akan memulai belajar juga dalam keadaan suci. Untuk itu, sebelum
pelajar memulai belajar (dalam konteks apapun), sepatutnya dia tidak mengambil kitab
kecuali dia dalam keadaan suci (dari hadas kecil maupun besar). Hal ini dikarenakan ilmu
adalah cahaya, dan wudhu juga cahaya, sehingga cahaya ilmu akan bertambah terangnya
karena bersuci (berwudhu). Keberkahan ilmu akan semakin bertambah dengan kita berwudhu.
Ilmu itu adalah cahaya dari Allah, dan Allah berkehendak untuk menjatuhkan cahaya ilmu itu
kepada seseorang yang dalam kondisi bersih. Bersih niatnya, bersih dirinya dari hadas,
bahkan hatinya juga harus bersih. Maka kesucian itu akan memperkuat pemahaman atas ilmu
dan memperkuat rahmat Allah terhadap ilmu pengetahuan yang terlimpah kepada seseorang
(Sholihun, 2020).
1. Tidak menjulurkan kaki ke arah kitab. Jika kitab ada di depannya, maka kakinya tidak
diarahkan ke kitab.
2. Tidak meletakkan sesuatu yang lain di atas kitab. Tidak meletakkan buku (terlebih lagi
buku-buku agama) sembarangan, karena hal tersebut bagian dari adab.
Dalam hal menyusun buku, yang paling atas adalah buku/kitab tafsir (diletakkan paling atas
karena itu adalah kalamullah). Apalagi Al-Qur’an, tidak boleh meletakkan sembarangan. Baru
kemudian diikuti oleh buku-buku yang lain (Sholihun, 2020). Mengapa penting kitab itu
ditata, dipotong-potong menjadi segi empat, itu tentu akan memudahkan seseorang untuk
mengangkat kitab, menata kitab, dan mengulanginya.
 Mencatat dan memperbagus tulisan saat mencatat.
Diantara memuliakan ilmu adalah memperbagus ketika menulis. Berlatih supaya bagus
tulisannya, jelas, dan dapat terbaca. Dan jangan menulis itu acak-acakan dan meninggalkan
catatan-catatan di pinggir.
Catatan yang dibuat atas ilmu dapat menjadi amal jariyah. Maka mengapa penting untuk
membuat catatan yang bagus dan rapi dalam dokumentasi yang baik. Semisal dibundel dalam
satu buku yang rapi. Dan dalam mencatat kajian agama, jangan dijadikan satu dengan catatan
yang lain-lain dalam satu buku. Tulis dalam buku terpisah dan tersendiri (Sholihun, 2020).

10
Pelajar juga dapat menulis catatan dengan warna apa saja, kecuali warna merah dan warna
kuning yang menyala, karena kedua warna itu sering digunakan oleh orang kafir.
 Memuliakan dan menghormati kawan dan siapapun yang belajar darinya.
Pelajar perlu mengedepankan sikap keempatian, kepedulian, dan kasih sayang di antara
manusia. Hindari sifat iri dengki kepada teman atau sahabat dalam menuntut ilmu. Allah
berkenan mengistimewakan kepada siapapun yang Dia kehendaki dalam proses belajar,
penting untuk ada mahabbah (cinta), cinta yang dibangun karena Allah (Sholihun, 2020).
 Menyimak semua ilmu dan hikmah dengan penuh pengagungan dan
penghormatan.
Sepatutnya bagi yang mempelajari ilmu, ketika kita sedang belajar, dan guru sedang
menyampaikan materi kepada kita, maka kita wajib mendengarkan ilmu itu dengan penuh
penghormatan, khidmat, dan takzim, sekalipun materi tersebut sudah sering kita dapatkan,
diulang-ulang, bahkan sampai berkali-kali. Kecenderungan orang, akan meremehkan ilmu,
ketika dia sudah mendengarnya berulang kali. Dan hal ini dapat menjadi sebab terhalangnya
keberkahan sebuah ilmu. Ketika kita meremehkan ilmu, itu artinya sama dengan meremehkan
Dzat yang memiliki ilmu (Sholihun, 2020).
 Tidak memilih sendiri jenis ilmu yang akan dipelajari.
Penting bagi pelajar untuk memperhatikan aspek kemampuan dalam mempelajari ilmu. Jika
seseorang itu masih pemula dalam bab atau bidang tersebut, maka sepatutnya murid/pelajar
menyerahkan sepenuhnya kepada guru harus mempelajari dari mana dulu dan urut-urutannya.
Mulai belajar dari sesuatu yang kecil, terus menerus akan semakin meningkat, sehingga pada
akhirnya sampai pada tahapan dia dapat memilih ilmu apa yang akan dia pelajari (Sholihun,
2020).
 Tidak duduk terlalu dekat dengan guru.
Poinnya adalah ketakziman. Jika antara guru dan murid terlalu dekat, maka dikhawatirkan
akan mengurangi ketakziman seorang murid terhadap guru, tidak memandang adab dalam
berinteraksi dengan guru. Dikhawatirkan juga menjadi sebab kecemburuan pada murid yang
lainnya, menjadikan sombong dan ujub pada diri murid tersebut. Demikian pula sebaliknya,
jika terlalu jauh jaraknya, guru akan tidak menganggap seorang murid seperti anaknya,
sehingga dapat mengurangi kemungkinan adanya hubungan emosional antara guru dengan
murid (Sholihun, 2020).

11
D. Akhlak Dalam Majelis
Suasana belajar dalam kelas adalah salah satu bentuk majelis ilmu yang sangat
berharga dalam kehidupan kaum muslimin. Bagaimanakah adab dalam majelis yang Islami?
Mengetahui adab-adab dalam majelis adalah suatu keutamaan tersendiri karena Allah SWT
berfirman:
ً ُ‫ْوا ْلفُؤَ ادَْ ُك ُّلْأُولَ ِئكَْ َكانَ ْ َع ْنهُْ َم ْسئ‬
ْ‫وال‬ َ ‫ْسْ َلكَْ ِب ِهْ ِع ْل ٌمْإِ َّنْال َّس ْم َعْ َوا ْل َب‬
َ ‫ص َر‬ َ ‫َو َالْتَ ْقفُ ْ َماْلَي‬
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.” (QS Al Israa’ 17 : 36).
Rasulullah juga bersabda:
‫طلبْالعلمْفريضةْعلىْكلْمسلم‬
“Menuntut ilmu wajib bagi tiap Muslim”.

Berikut ini adalah adab-adab dalam bermajelis:


1. Mengucapkan salam kepada ahli majelis jika ia hendak masuk dan duduk pada majelis
tersebut, hendaknya ia mengikuti majelis tersebut hingga selesai. Jika ia hendak
meninggalkan majelis tersebut, ia harus meminta izin kepada ahli majelis lalu
mengucapkan salam.
2. Menjawab salam ketika seseorang masuk ke majelis atau meninggalkan majelis.
3. Duduk dengan tenang dan sopan, tidak banyak bergerak dan duduk pada tempatnya.
4. Tidak bermain-main dengan cincin, anggota badan, banyak menguap, memasukkan
tangan ke hidung, dan sikap-sikap lainnya yang menunjukkan ketidakhormatan kepada
majelis.
5. Tidak terlalu banyak berbicara sia-sia, bersenda gurau ataupun berbantah-bantahan yang
sia-sia. Bicara yang perlu dan penting saja, tanpa perlu berputar-putar dan berbasa-basi ke
sana ke mari.
6. Mendengarkan orang lain berbicara hingga selesai dan tidak memotong pembicaraannya.
7. Tidak berbicara dua orang saja dengan berbisik-bisik (rahasia) tanpa melibatkan ahli
majelis lainnya.
8. Tidak berbicara dengan meremehkan dan tidak menghormati ahli majelis lain, tidak
merasa paling benar (ujub) dan sombong ketika berbicara.
9. Disunnahkan membuka majelis dengan khutbatul hajah (tahmid, tasyahud)
10. Disunnahkan menutup majelis dengan do’a kafaratul majelis.
‫ْ سبحانكْاللهمْوبحمدكْأشهدْانْالْإلهْإالْأنتْأستغفركْوآتوبْإليك‬
12
Artinya : “Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada
sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu
dan bertaubat kepada-Mu.” (HR. Turmudzi, Shahih). Diriwayatkan pula oleh Turmudzi,
ketika Nabi ditanya tentang do’a tersebut, beliau menjawab, untuk melunturkan dosa
selama di majelis.

E. Akhlak Tidak Menyeka Pembicaraan


Bagian dari adab berbicara adalah tidak memotong atau menyeka pembicaraan orang
lain tanpa ada alasan yang bisa dibenarkan. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allamah
Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam kitab beliau berjudul Risâlatul Mu‘âwanah wal
Mudhâharah wal Muwâzarah (Dar Al-Hawi, 1994, hal. 83) sebagai berikut:
ْ‫ْواحذرْالمداخلةْفي‬،‫واصغْإلىْحديثْمنْحدثكْوالْتقطعنْعلىْأحدْكالمهْإالْإنْكانْمنْالكالمْالذيْيسخطَّْللاْكالغيبة‬
ْ‫ْوإذاْحدثكْإنسانْبكالمْأوْحكى ْلك‬،‫ْوالْتظهرْلمنْحدثكْحديثا ً ْتعرفهْأنكْتعرفه؛ْفإنْذلكْمماْيوحشْالجليس‬،‫الكالم‬
‫ْفإنْتعلقْذلكْبأمرْالدينْفعرفهْالصوابْبرفق‬،‫حكايةْعلىْغيرْالوجهْالمنقو لْفالْتقلْلهْليسْكماْتقولْولكنهْكذاْوكذا‬.
Artinya,”Dengarkan orang lain yang berbicara kepadamu, dan jangan sekali-kali kamu putus
pembicaraan itu, kecuali mengandung ucapan yang mendatangkan murka Allah,
seperti ghibah (menggunjing), misalnya. Apabila seseorang sedang membicarakan sesuatu
padamu, sedangkan engkau telah mengetahuinya sebelumnya, ,jangan tunjukkan bahwa
engkau telah mengetahuinya. Yang demikian itu dapat membuatnya tersinggung. Ketika
seseorang berbicara kepadamu tentang hal yang tidak sebenarnya, janganlah engkau
mengatakan padanya: ’Berita itu tidak seperti yang engkau katakan, tetapi “begini”... dan
“begini”... Dan jika berita itu berkaitan dengan masalah keagamaan, tunjukkan kepadanya
bagaimana sebenarnya secara halus sehingga tidak menyinggung perasaannya.”
Dari kutipan di atas dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, memotong pembicaraan seseorang yang sedang berbicara kepada kita tidak
dibenarkan. Setiap orang memilki hak untuk didengarkan sehingga hak dia untuk berbicara
tidak bisa dipangkas begitu saja tanpa ada alasan yang bisa dibenarkan secara syar’i seperti
menggunjing. Menggunjing dilarang di dalam ajaran Islam. Al-Qur’an mengibaratkan
menggunjing orang lain sebagai memakan bangkai saudaranya sendiri yang telah mati
sebagaimana disebutkan dalam penggalan Surat al-Hujurat, ayat 12, berikut ini:
.ُ ‫ضاْْْۚأَيُ ِحبُّ ْأَ َح ُد ُكمْأَ ْن ْيَأ ُك َل ْلَحْ َم ْأَ ِخ ْيهِ ْ َميْتًاْفَ َك ِر ْهتُ ُموْ ْه‬ ُ ‫ َو َال ْْتَ َج َّسسُوْ اْ َو َال ْيَ ْغتَبْ ْبَ ْع‬Artinya,”Janganlah kamu
ً ‫ض ُك ُمْبَ ْع‬
mencari kesalahan orang lain dan jangan di antara kalian menggunjing sebagian yang lain.
Apakah di antara kalian suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? tentu kalian akan
merasa jijik.”
13
Namun demikian, memotong pembicaraan orang lain bisa saja diperbolehkan
meskipun ia tidak menggunjing asalkan sebelumnya sudah mengajukan izin dan diberikan.
Sebagai contoh, seorang murid bermaksud menyela pembicaraan guru karena ada sesuatu
yang ingin ditanyakan dengan sebelumnya memohon maaf. Jika guru memberikan ijin, maka
apa yang dilakukan murid tersebut tidak salah.
Kedua, kita hendaknya tidak menghentikan pembicaraan seseorang hanya karena kita
sudah tahu apa yang akan dia ceritakan. Misalnya seseorang bercerita tentang megahnya
bangunan Masjid Istiqlal di Jakarta. Kita tidak berminat mendengarkan cerita itu karena kita
sendiri sudah pernah berkunjung ke sana. Lalu kita memintanya berhenti bercerita tentang
Masjid Istiqlal. Sikap demikian tidak baik atau tercela karena bisa membuat orang yang
bercerita itu menjadi malu dan bahkan mungkin tersinggung. Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam bersabda:
‫ْعلىْنفسك‬
ِ ‫ْت‬ ِ ‫ْللناسْأَن‬
َ ‫ْفقدْأ ْل َغي‬،ْ‫صتواْوْهمْيتكلَّمون‬ ِ َ ‫إذاْق‬
‫لت‬
Artinya,“Jika engkau mengatakan ‘diamlah!’ kepada orang-orang ketika mereka tengah
berbicara, sungguh engkau mencela dirimu sendiri” (HR. Ahmad).
Oleh karena itu, kita perlu mengembangkan toleransi dan apresiasi terhadap orang lain
dengan membiarkannya bercerita sesuai dengan apa yang dia ketahui. Jangan-jangan apa yang
kita ketahui tentang Masjid Istiqlal di Jakarta sudah berbeda keadaannya dengan apa yang dia
ceritakan. Justru di sinilah kita bisa memberikan tanggapan tentang masjid terbesar se Asia
Tenggara itu sesuai yang kita ketahui sehingga memunculkan diskusi menarik bagi kedua
belah pihak.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Akhlak merupakan sesuatu yang sangat penting bagi umat Islam, karena diutusnya
Rasulullah saw di muka bumi ini tidak lain adalah untuk menyempurnakan umatnya, dan
salah satu akhlak yang terbaik adalah akhlak Rasulullah, karena Al Qur’an adalah salah
satu cerminan akhlak Rasulullah saw. Jadi kita sebagai umat Islam sangat dianjurkan
untuk berakhlak sesuai apa yang di contohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat
serta generasi penerusnya, berdasarkan pemahaman yang lurus/ benar. Baik di lingkungna
masyarakat, keluarga, dan kampus.
Akhlak terpuji ialah sikap atau perilaku baik dari segi ucapan ataupun perbuatan yang
sesuai dengan tuntunan ajaran islam dan norma- norma aturan yang berlaku 1. Adapun
indikator dari akhlak terpuji sebagai berikut: a. Perbuatan yang diperintahkan oleh ajaran
Allah dan Rasulullah SAW.
Orang yang berperilaku terpuji akan dicintai Allah SWT dan disayangi sesama manusia.
Setiap orang harus berperilaku terpuji, supaya bahagia di dunia dan akhirat. Orang yang
berperilaku terpuji dan berakhlak baik dalam pergaulan sehari-hari akan senantiasa
dicintai oleh sesama.
Jadi dari penjabaran yang telah kita uraikan dalam materi diatas, dapat
kita berikan kesimpulan akhlak tersebut merupakan sutu bentuk atau cerminan yang
tertatanam dalam diri seseorang dan hal tersebut terealisasi dalam kehidupannya
sehari hari.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Mustofa H. 1997. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia


2. Nata, Abuddin. 2010 .Akhlak Tasawuf. Jakarta : Rajawali Pers
3. Abarokah, Nazzahao. “Akhlak terhadap orang tua dan guru”, Blog Nazzahao
Abaroka. Nazzhao Abarokah http://abarokah51.blogspot.co.id/2012/11/ akhlak-
terhadap-orang-tua-dan-guru_439.html (1 November 2012).
4. Az-Zarnuji, I. (2019). Ta’limul Muta’allim: Pentingnya adab sebelum ilmu. Cetakan
ketujuh. Penerjemah: Abdurrahman Azzam. Solo: Penerbit Aqwam.
5. Saihu. (2020). Etika menuntut ilmu menurut kitab Ta’lim Muta’alim. Al Amin Jurnal
Kajian Ilmu dan Budaya Islam, 3(1), 99-112.
6. Sholihun, M.A. (2020). Materi kajian kitab Ta’lim Muta’allim Syaikh Az Zarnuji.
Dirangkum mandiri oleh penulis.
7. Syeikh Ibrahim Jalhum. 2003. Pelita As-SunnahPetunjuk Jalan Bagi Kaum Muslimin.
Bandung.Pustaka Setia

Anda mungkin juga menyukai