Anda di halaman 1dari 111

PERATURAN

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 1/PERMEN-KP/2017
TENTANG
SURAT LAIK OPERASI KAPAL PERIKANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai tindak lanjut Pasal 44 ayat (3) Undang-


Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan, telah ditetapkan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor 45/PERMEN-KP/2014
tentang Surat Laik Operasi Kapal Perikanan;
b. bahwa dalam rangka menyesuaikan perkembangan
dengan peraturan di bidang usaha perikanan, serta
meningkatkan kepatuhan pelaku usaha dalam
melakukan kegiatan perikanan, perlu meninjau
kembali Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor 45/PERMEN-KP/2014 tentang Surat Laik
Operasi Kapal Perikanan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan tentang Surat Laik Operasi Kapal
Perikanan;
-2-

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang


Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5073);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi
Daya Ikan, dan Petambak Garam (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5870);
3. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang
Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8);
4. Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2015 tentang
Kementerian Kelautan dan Perikanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 111);
5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
23/PERMEN-KP/2015 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1227);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
TENTANG SURAT LAIK OPERASI KAPAL PERIKANAN.
-3-

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Surat Laik Operasi Kapal Perikanan, yang selanjutnya
disebut SLO adalah surat keterangan yang
menyatakan bahwa kapal perikanan telah memenuhi
persyaratan administrasi dan kelayakan teknis untuk
melakukan kegiatan perikanan.
2. Surat Izin Penangkapan Ikan, yang selanjutnya
disingkat SIPI adalah izin tertulis yang harus dimiliki
setiap kapal perikanan untuk melakukan kegiatan
penangkapan ikan yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP).
3. Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan, yang selanjutnya
disingkat SIKPI adalah izin tertulis yang harus dimiliki
setiap kapal perikanan untuk melakukan kegiatan
pengangkutan ikan.
4. Surat Keterangan Aktivasi Transmitter yang
selanjutnya disingkat SKAT adalah dokumen tertulis
yang menyatakan bahwa transmiter Sistem
Pemantauan Kapal Perikanan (SPKP) online pada kapal
perikanan tertentu telah dipasang, diaktifkan dan
dapat dipantau pada pusat pemantauan kapal
perikanan.
5. Berita Acara Hasil Pemeriksaan Kapal yang selanjutnya
disingkat BA-HPK adalah formulir yang memuat hasil
pemeriksaan persyaratan administrasi dan kelayakan
teknis kapal perikanan sebagai dasar penerbitan SLO.
6. Kapal Perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung
lain yang dipergunakan untuk melakukan
penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan
ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan,
pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan
penelitian/eksplorasi perikanan.
-4-

7. Kapal Penangkap Ikan adalah kapal yang digunakan


untuk menangkap ikan, termasuk menampung,
menyimpan, mendinginkan, dan/atau mengawetkan
ikan.
8. Kapal Pengangkut Ikan adalah kapal yang memiliki
palkah dan/atau secara khusus digunakan untuk
mengangkut, memuat, menampung, mengumpulkan,
menyimpan, mendinginkan, dan/atau mengawetkan
ikan.
9. Pengawas Perikanan adalah pegawai negeri sipil yang
mempunyai tugas mengawasi tertib pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perikanan.
10. Pelabuhan Perikanan adalah tempat yang terdiri atas
daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas
tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan
kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan
sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh,
dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan
fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan
penunjang perikanan.
11. Pelabuhan Pangkalan adalah pelabuhan perikanan
atau pelabuhan umum sebagai tempat kapal perikanan
bersandar, berlabuh, bongkar muat ikan, dan/atau
mengisi perbekalan yang dilengkapi dengan fasilitas
keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang
perikanan.
12. Pelabuhan Muat adalah pelabuhan perikanan atau
pelabuhan umumsebagai tempat kapal perikanan
untuk memuat ikan dan mengisi perbekalan atau
keperluan operasional lainnya.
13. Nakhoda Kapal Perikanan adalah salah seorang dari
awak kapal perikanan yang menjadi pimpinan tertinggi
di kapal perikanan yang mempunyai wewenang dan
tanggung jawab tertentu sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
-5-

14. Nelayan Kecil adalah Nelayan yang melakukan


Penangkapan Ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, baik yang tidak menggunakan kapal
penangkap Ikan maupun yang menggunakan kapal
penangkap Ikan berukuran paling besar 10 (sepuluh)
gros ton (GT).
15. Pembudi Daya Ikan Kecil adalah Pembudi Daya Ikan
yang melakukan Pembudidayaan Ikan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
16. Unit Pelaksana Teknis Pengawasan Sumber Daya
Kelautan dan Perikanan yang selanjutnya disebut UPT
adalah unit kerja yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal.
17. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan di bidang perikanan.
18. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang
melaksanakan tugas teknis di bidang pengawasan
sumber daya kelautan dan perikanan.

BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN

Pasal 2
(1) Maksud ditetapkannya Peraturan Menteri ini adalah
sebagai acuan bagi Pengawas Perikanan, Nakhoda,
Pemilik, Operator Kapal Perikanan dan Penanggung
Jawab Perusahaan Perikanan dalam rangka
penerbitan SLO.
(2) Tujuan ditetapkannya Peraturan Menteri ini agar
kapal perikanan laik operasi dalam melakukan
kegiatan perikanan.
-6-

BAB III
PENERBITAN SLO

Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
(1) Setiap kapal perikanan yang akan melakukan
kegiatan perikanan wajib memiliki SLO.
(2) Kewajiban memiliki SLO sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikecualikan bagi kapal perikanan untuk
Nelayan Kecil dan Pembudi Daya Ikan Kecil.
(3) Nelayan Kecil dan Pembudi Daya Ikan Kecil
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan
ketentuan hanya memiliki 1 (satu) unit atau lebih
kapal perikanan dengan ukuran kumulatif paling
besar 10 (sepuluh) GT.
(4) Kapal perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri dari:
a. kapal penangkap ikan;
b. kapal pengangkut ikan;
c. kapal latih perikanan;
d. kapal penelitian/eksplorasi perikanan; dan
e. kapal pendukung operasi pembudidayaan ikan.
(5) SLO sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diterbitkan
oleh Pengawas Perikanan.

Bagian Kedua
Persyaratan Penerbitan SLO

Pasal 4
SLO diterbitkan setelah kapal perikanan memenuhi
persyaratan administrasi dan kelayakan teknis.

Pasal 5
(1) Persyaratan administrasi untuk kapal penangkap
ikan terdiri dari:
a. SIPI asli;
-7-

b. SKAT asli, untuk kapal penangkap ikan dengan


ukuran di atas 30 (tiga puluh) GT;
c. SLO asal, untuk kapal penangkap ikan yang telah
melakukan kegiatan penangkapan ikan;dan
d. kesesuaian pelabuhan pangkalan dan muat
dengan SIPI.
(2) Persyaratan kelayakan teknis untuk kapal penangkap
ikan,terdiri dari:
a. kesesuaian fisik kapal penangkap ikan dengan
SIPI yang meliputi bahan kapal, merek dan nomor
seri mesin utama, tanda selar, dan nama
panggilan/call sign;
b. kesesuaian jenis dan ukuran alat penangkapan
ikan dengan SIPI; dan
c. keberadaan dan keaktifan transmitter SPKP,
untuk kapal penangkap ikan dengan ukuran di
atas 30 (tiga puluh) GT.

Pasal 6
(1) Persyaratan administrasi untuk kapal pengangkut
ikan, terdiri dari:
a. SIKPI asli;
b. SKAT asli, untuk kapal pengangkut ikan dengan
ukuran di atas 30 (tiga puluh) GT;
c. surat keterangan lalu lintas ikan dan produk
perikanan atau sertifikat kesehatan ikan dan
produk perikanan domestik untuk kapal
pengangkut ikan antar daerah;
d. kesesuaian jumlah dan jenis ikan yang diangkut
dengan surat keterangan asal ikan untuk antar
daerah, atau surat Pemberitahuan Ekspor Barang
(PEB) untuk kapal pengangkut ikan dengan
tujuan ekspor;
e. sertifikat kesehatan ikan dan produk perikanan
untuk konsumsi manusia untuk kapal
pengangkut ikan tujuan ekspor;
-8-

f. kesesuaian pelabuhan pangkalan dan muat


dengan SIKPI; dan
g. surat keterangan asal ikan hidup untuk kapal
pengangkut ikan hidup.
(2) Persyaratan kelayakan teknis untuk kapal
pengangkut ikan, terdiri dari:
a. kesesuaian fisik kapal pengangkut ikan dengan
SIKPI yang meliputibahan kapal, merek dan
nomor seri mesin utama, tanda selar, dan nama
panggilan/call sign;
b. kesesuaian jumlah ikan yang diangkut dengan
kapasitas ruang penyimpanan ikan;
c. keberadaan dan keaktifan transmitter SPKP untuk
kapal pengangkut ikan dengan ukuran di atas 30
(tiga puluh) GT;
d. keberadaan dan keaktifan closed circuit television
(CCTV) untuk kapal pengangkut ikan hidup
dengan ukuran di atas 30 (tiga puluh) GT; dan
e. keberadaan dan keaktifan kamera elektronik
pemantau (CCTV) untuk kapal pengangkut ikan
dengan ukuran di atas 30 (tiga puluh) GT yang
melakukan alih muatan ikan untuk kapal
pengangkut ikan.

Pasal 7
(1) Persyaratan administrasi untuk kapal latih perikanan
terdiri dari:
a. sertifikat klasifikasi kapal dan/atau fotokopi
grosse akta kapal; dan
b. surat penugasan pelatihan dari instansi terkait.
(2) Persyaratan kelayakan teknis untuk kapal latih
perikanan yang terdiri dari kesesuaian fisik kapal
penelitian/eksplorasi yang meliputi nama kapal,
tanda selar, dan merek mesin utama dengan sertifikat
klasifikasi kapal dan/atau fotokopi grosse akta kapal.
-9-

Pasal 8
(1) Persyaratan administrasi untuk kapal
penelitian/eksplorasi perikanan terdiri dari:
a. sertifikat klasifikasi kapal dan/atau fotokopi
grosse akta kapal; dan
b. Surat izin penelitian/eksplorasi perikanan.
(2) Persyaratan kelayakan teknis untuk kapal
penelitian/eksplorasi perikanan yang terdiri dari
kesesuaian fisik kapal penelitian/eksplorasi yang
meliputi nama kapal, tanda selar, dan merek mesin
utama dengan sertifikat klasifikasi kapal dan/atau
fotokopi grosse akta kapal.

Pasal 9
(1) Persyaratan administrasi untuk kapal pendukung
operasi pembudidayaan ikan, terdiri dari:
a. SIKPI asli;
b. SKAT asli untuk kapal pendukung operasi
pembudidayaan ikan dengan ukuran di atas 30
(tiga puluh) GT; dan
c. SLO asal untuk kapal pendukung operasi
pembudidayaan ikan yang telah melakukan
kegiatan mendukung operasi pembudidayaan
ikan.
(2) Persyaratan kelayakan teknis untuk kapal pendukung
operasi pembudidayaan ikan, terdiri dari:
a. kesesuaian fisik kapal pendukung operasi
pembudidayaan ikan dengan SIKPI, meliputi
bahan kapal, merek dan nomor seri mesin utama,
tanda selar, dan nama panggilan/call sign;
b. kesesuaian jumlah ikan yang diangkut dengan
kapasitas ruang penyimpanan ikan; dan
c. keberadaan dan keaktifan transmitter SPKP untuk
kapal pendukung operasi pembudidayaan ikan
dengan ukuran di atas 30 (tiga puluh) GT.
- 10 -

Bagian Ketiga
Prosedur

Pasal 10
(1) Nakhoda, pemilik, operator kapal perikanan atau
penanggung jawab perusahaan perikanan yang akan
melakukan kegiatan perikanan wajib melaporkan
rencana keberangkatan kepada Pengawas Perikanan.
(2) Laporan rencana keberangkatan kapal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 1
(satu) hari sebelum keberangkatan kapal perikanan.

Pasal 11
(1) Pengawas Perikanan berdasarkan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
melakukan pemeriksaan persyaratan administrasi
dan kelayakan teknis kapal perikanan.
(2) Hasil pemeriksaan persyaratan administrasi dan
kelayakan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dituangkan dalam BA-HPK.
(3) BA-HPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditandatangani oleh Pengawas Perikanan dan
Nakhoda, pemilik, operator kapal perikanan, atau
penanggung jawab perusahaan perikanan.
(4) Bentuk, dan format BA-HPK sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.

Pasal 12
(1) Berdasarkan BA-HPK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2), apabila kapal perikanan telah
memenuhi persyaratan administrasi dan kelayakan
teknis,Pengawas Perikanan menerbitkan SLO.
(2) Bentuk dan format SLO sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang
- 11 -

merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan


Menteri ini.

Pasal 13
Penerbitan SLO Kapal Perikanan tanpa dikenai biaya.

Pasal 14
Pengawas Perikanan tidak menerbitkan SLO apabila kapal
perikanan dalam proses hukum dan/atau diberikan
sanksi administrasi pembekuan atau pencabutan
SIPI/SIKPI terkait pelanggaran dibidang perikanan.

Bagian Keempat
Lokasi Penerbitan SLO

Pasal 15
(1) SLO untuk kapal penangkap ikan, pengangkut ikan,
dan kapal pendukung operasi pembudidayaan ikan
diterbitkan oleh Pengawas Perikanan di pelabuhan
pangkalan atau pelabuhan muat sesuai dengan SIPI
atau SIKPI.
(2) SLO untuk kapal latih perikanan dan kapal
penelitian/eksplorasi perikanan diterbitkan oleh
Pengawas Perikanan di UPT atau Satuan Pengawasan
Sumber Daya Kelautan dan Perikanan terdekat
dimana kapal bersandar

Pasal 16
SLO dapat diterbitkan oleh Pengawas Perikanan di luar
pelabuhan pangkalan dan pelabuhan muat yang tertera
dalam SIPI/SIKPI dalam hal kapal perikanan selesai
melakukan docking yang dibuktikan dengan surat
keterangan selesai docking.
- 12 -

Bagian Kelima
Masa berlaku

Pasal 17
(1) SLO digunakan hanya untuk 1 (satu) kali operasional
kegiatan perikanan.
(2) SLO sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
selama 2 x 24 jam sejak tanggal diterbitkan.
(3) Dalam hal kapal perikanan tidak mengurus Surat
Persetujuan Berlayar dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), SLO
dinyatakan tidak berlaku.

BAB IV
PELAPORAN

Pasal 18
(1) Pengawas Perikanan wajib melaporkan penerbitan
BA-HPK, SLO dan penolakan penerbitan SLO kepada
Kepala Satuan Pengawasan /Kepala UPT.
(2) Kepala Satuan Pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) melakukan rekapitulasi dan kompilasi
pelaporan penerbitan BA-HPK, SLO dan penolakan
penerbitan SLO, serta melaporkannya kepada Kepala
UPT pada tanggal 3 setiap bulannya.
(3) Kepala UPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) melakukan rekapitulasi, kompilasi dan
analisis penerbitan BA-HPK, SLO dan penolakan
penerbitan SLO serta melaporkan kepada Direktur
Jenderal.
(4) Bentuk dan format laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
- 13 -

Pasal 19
(1) Kewajiban memiliki SLO sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) dikecualikan bagi kapal
perikanan yang tidak akan melakukan kegiatan
perikanan yaitu:
a. kapal perikanan yang baru dibeli;
b. kapal perikanan yang selesai dibangun atau
dilakukan modifikasi;
c. kapal perikanan yang akan melakukan docking;
d. kapal perikanan yang berlayar dalam batas
wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan
perikanan;
e. kapal perikanan yang berlayar untuk memberikan
pertolongan kepada kapal lain yang dalam
bahaya;
f. kapal perikanan yang akan melakukan percobaan
berlayar; dan/atau
g. kapal perikanan yang mengalami keadaan darurat
meliputi kapal rusak, cuaca buruk, dan awak
kapal sakit atau meninggal.
(2) Kewajiban memiliki SLO diganti dengan Surat
Keterangan Pengganti SLO yang diterbitkan oleh
Pengawas Perikanan.
(3) Surat Keterangan Pengganti SLO sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diterbitkan berdasarkan
permohonan secara tertulis dari nakhoda kapal
perikanan.
(4) Selain surat permohonan secara tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), untuk kapal perikanan yang
baru dibeli sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dan kapal perikanan yang selesai dibangun
atau dilakukan modifikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b ditambah persyaratan berupa:
a. fotokopi akta jual beli kapal perikanan untuk
kapal perikanan yang baru dibeli; dan
- 14 -

b. fotokopi surat keterangan dari galangan untuk


kapal perikanan yang selesai dibangun atau
dilakukan modifikasi.
(5) Bentuk dan format surat keterangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), tercantum dalam Lampiran
IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.

BAB V
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 20
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 45/PERMEN-
KP/2014 tentang Surat Laik Operasi Kapal Perikanan
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1521).

Pasal 21
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 15 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Januari 2017

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN


REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SUSI PUDJIASTUTI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Januari 2017

DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN,
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 152


LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1/PERMEN-KP/2017
TENTANG SURAT LAIK OPERASI KAPAL
PERIKANAN

BENTUK DAN FORMAT BERITA ACARA HASIL PEMERIKSAAN KAPAL (BA – HPK)
A. Kapal Penangkap Ikan
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
(MINISTRY OF MARINE AFFAIRS AND FISHERIES)
DIREKTORAT JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
(DIRECTORATE GENERAL OF SURVEILLANCE FOR MARINE AND FISHERIES RESOURCES)
Unit Pelaksana Pengawasan
Implementing Unit of Surveillance
BERITA ACARA HASIL PEMERIKSAAN KAPAL PENANGKAP IKAN
(OFFICIAL REPORT FOR DEPARTURE INSPECTION OF FISHING VESSEL)
DI ISI OLEH PENGAWAS PERIKANAN (FILLED BY FISHERIES INSPECTOR)
Sesuai Izin
(Compliance)
Pemeriksaan Dokumen dan Fisik Kapal Penangkap Ikan Data pada Izin Hasil Pemeriksaan
No. (Ya/Tidak)
(Document and Physical Inspection) (Data of License) (Inspection Result)
(Yes/No)

1 Nama Kapal Penangkap Ikan (Vessel Name)


2 Nama Perusahaan/Pemilik (Company/Owner)
3 Tempat dan Tanda Selar (Place and Number of Vessel Registration)
4 Nama Panggilan Kapal Penangkap Ikan (Call Sign)
5 Nama Nakhoda (Captain)
6 Bendera Kapal (Nationality of Fishing Vessel)
7 Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) a. Nomor (Number)
(Fishing License) b. Masa Berlaku (Expired)
8 Nomor ID Transmitter SPKP (VMS Transmitter ID Number)
9 Surat Keterangan Aktivasi Transmitter a. Nomor (Number)
(VMS Activation Certificate Number) b. Masa Berlaku (Expired)
10 Pelabuhan (Port) Pangkalan (Base Port)
11 Mesin Utama (Main Engine) a. Merek (Merk)
b. Nomor Seri
(Serial Number)
c. Kekuatan/DK
(Horse Power /HP)
12 Daerah Penangkapan Ikan (Fishing Ground)
13 Jenis Alat Penangkapan Ikan (Fishing Gear)
14 Komponen Alat Penangkapan Ikan (Fishing Gear Component)
a.
b.
c.
d.
e.
Analisa Hasil Pemeriksaan :
(Inspection Analysis)

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tempat dan Tanggal Pemeriksaan :


(Place and Date of Inspection)

Menyetujui (approval):
Nakhoda/Pemilik/Operator/Penanggung Jawab Pengawas Perikanan,
(Captain/Owner/Operator/Person in Charge) (Fisheries Inspector)

( ……………………………………………………………….. ) ( ……………………………………………………………….. )

Lembar I (Putih/White) : Pengawas Perikanan (Fisheries Inspector)


Lembar II (Merah/Red) : Direktur Jenderal PSDKP (Director General of Surveillance for Marine and Fisheries Resources)
Lembar III (Kuning/Yellow) : Nakhoda Kapal Penangkap Ikan (Captain)
Lembar IV (Biru/Blue) : Kepala UPT/Satuan Pengawasan SDKP (Head of Implementing Unit of Surveillance)

Nomor Seri
(Serial Number)
Kode Tahun Nomor Urut
(Code) (Year) (List Number)
B. Kapal Pengangkut Ikan
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
(MINISTRY OF MARINE AFFAIRS AND FISHERIES)
DIREKTORAT JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
(DIRECTORATE GENERAL OF SURVEILLANCE FOR MARINE AND FISHERIES RESOURCES)
Unit Pelaksana Pengawasan
Implementing Unit of Surveillance
BERITA ACARA HASIL PEMERIKSAAN KAPAL PENGANGKUT IKAN PADA SAAT KEBERANGKATAN
(OFFICIAL REPORT FOR DEPARTURE INSPECTION OF CARRIER VESSEL)
DI ISI OLEH PENGAWAS PERIKANAN (FILLED BY FISHERIES INSPECTOR)
Sesuai Izin
(Compliance)
Pemeriksaan Dokumen dan Fisik Kapal Pengangkut Ikan Data pada Izin Hasil Pemeriksaan
No. (Ya/Tidak)
(Document and Physical Inspection) (Data of License) (Inspection Result)
(Yes/No)

1 Nama Kapal Pengangkut Ikan (Carrier Vessel Name)


2 Nama Perusahaan/Pemilik/Agen (Company/Owner/Agen)
3 Tempat dan Tanda Selar (Place and Number of Carrier Vessel Registration)
4 Nama Panggilan Kapal Pengangkut Ikan (Call Sign)
5 Nama Nakhoda (Captain)
6 Bendera Kapal (Nationality of Carrier Vessel)
7 Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) a. Nomor (Number)
(Carrier Vessel License) b. Masa Berlaku (Expired)
8 Nomor ID Transmitter SPKP (VMS Transmitter ID Number)
9 Surat Keterangan Aktivasi Transmitter a. Nomor (Number)
(VMS Activation Certificate Number) b. Masa Berlaku (Expired)
10 Pelabuhan a. Pangkalan (Port Base)
(Port) b. Muat/Cek Poin
(Loading/Unloading/
Transit/Entry-Out Port)
11 Mesin Utama a. Merek (Merk)
(Main Engine) b. Nomor Seri (Serial Number)
c. Kekuatan/DK
(Horse Power /HP)
12 Closed Circuit Television (CCTV)/Kamera elektronik pemantau*)
13 Surat keterangan asal ikan hidup untuk kapal pengangkut ikan hidup
14 Sertifikat Kesehatan Ikan (Health Certificate)
15 Surat Keterangan Lalu Lintas Ikan dan Produk Perikanan
(Certificate for Distributiion of Fish and Fisheries Product)
16 Surat Pemberitahuan Ekspor Barang/PEB
(Certificate for Export Product Notification)
17 Jenis dan Jumlah Ikan Dalam Palkah/Number of Catch on Hold
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Analisa Hasil Pemeriksaan :
(Inspection Analysis)

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tempat dan Tanggal Pemeriksaan :


(Place and Date of Inspection)
Keterangan:
*) - CCTV berlaku untuk kapal pengangkut ikan hidup; dan
- Kamera elektronik pemantau untuk kapal pengangkut ikan yang melakukan alih muatan
Pengawas Perikanan,
(Fisheries Inspector)

Menyetujui (approval):
Nakhoda/Pemilik/Operator/Penanggung Jawab
(Captain/Owner/Operator/ Person in Charge)
( ……………………………………………………………….. )

( ……………………………………………………………….. )
Lembar I (Putih/White) : Pengawas Perikanan (Fisheries Inspector)
Lembar II (Merah/Red) : Direktur Jenderal PSDKP (Director General of Surveillance for Marine and Fisheries Resources)
Lembar III (Kuning/Yellow) : Nakhoda Kapal Pengangkut Ikan (Captain)
Lembar IV (Biru/Blue) : Kepala UPT/Satuan Pengawasan SDKP (Head of Implementing Unit of Surveillance)

Nomor Seri
(Serial Number)
Kode Tahun Nomor Urut
(Code) (Year) (List Number)
C. Kapal Latih Perikanan
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
(MINISTRY OF MARINE AFFAIRS AND FISHERIES)
DIREKTORAT JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
(DIRECTORATE GENERAL OF SURVEILLANCE FOR MARINE AND FISHERIES RESOURCES)

Unit Pelaksana Pengawasan


Implementing Unit of Surveillance
BERITA ACARA HASIL PEMERIKSAAN KAPAL LATIH PERIKANAN
(OFFICIAL REPORT FOR DEPARTURE INSPECTION OF TRAINING VESSEL)
DI ISI OLEH PENGAWAS PERIKANAN (FILLED BY FISHERIES INSPECTOR)
Sesuai Izin
(Compliance)
Pemeriksaan Dokumen dan Fisik Kapal Latih Perikanan Data pada Izin Hasil Pemeriksaan
No. (Ya/Tidak)
(Document and Physical Inspection) (Data of License) (Inspection Result)
(Yes/No)

1 Nama Kapal Latih Perikanan (Training Vessel Name)


2 Nama Institusi/Lembaga (Institution)
Tempat dan Tanda Selar (Place and Number of Training Vessel
3
Registration)
5 Nama Nakhoda (Captain)
6 Bendera Kapal (Nationality of Training Vessel)
7 Pelabuhan (Port) Pangkalan (Base Port)
8 Mesin Utama Merek (Merk)
(Main Engine)
9 Lokasi Pelatihan (Training Area)
Analisa Hasil Pemeriksaan :
(Inspection Analysis)

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tempat dan Tanggal Pemeriksaan :


(Place and Date of Inspection)

Menyetujui (approval):
Nakhoda/Pemilik/Operator/Penanggung Jawab Pengawas Perikanan,
(Captain/Owner/Operator/Person in Charge) (Fisheries Inspector)

( ……………………………………………………………….. ) ( ……………………………………………………………….. )

Lembar I (Putih/White) : Pengawas Perikanan (Fisheries Inspector)


Lembar II (Merah/Red) : Direktur Jenderal PSDKP (Director General of Surveillance for Marine and Fisheries Resources)
Lembar III (Kuning/Yellow) : Nakhoda Kapal Latih Perikanan (Captain)
Lembar IV (Biru/Blue) : Kepala UPT/Satuan Pengawasan SDKP (Head of Implementing Unit of Surveillance)

Nomor Seri
(Serial Number)
Kode Tahun Nomor Urut
(Code) (Year) (List Number)
D. Kapal Penelitian/Eksplorasi Perikanan
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
(MINISTRY OF MARINE AFFAIRS AND FISHERIES)
DIREKTORAT JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
(DIRECTORATE GENERAL OF SURVEILLANCE FOR MARINE AND FISHERIES RESOURCES)
Unit Pelaksana Pengawasan
Implementing Unit of Surveillance
BERITA ACARA HASIL PEMERIKSAAN KAPAL PENELITIAN/EKSPLORASI PERIKANAN
(OFFICIAL REPORT FOR DEPARTURE INSPECTION OF RESEARCH/EXPLORATION VESSEL)
DI ISI OLEH PENGAWAS PERIKANAN (FILLED BY FISHERIES INSPECTOR)
Sesuai Izin
(Compliance)
Pemeriksaan Dokumen dan Fisik Kapal Penelitian/Eksplorasi Perikanan Data pada Izin Hasil Pemeriksaan
No. (Ya/Tidak)
(Document and Physical Inspection) (Data of License) (Inspection Result)
(Yes/No)

Nama Kapal Penelitian/Eksplorasi Perikanan (Research/Exploration Vessel


1
Name)
2 Nama Institusi/Lembaga (Institution)
Tempat dan Tanda Selar (Place and Number of Research/Exploration
3
Vessel Registration)
5 Nama Nakhoda (Captain)
6 Bendera Kapal (Nationality of Research/Exploration Vessel)
8 Surat Izin Penelitian/Eksplorasi a. Nomor (Number)
(Research/Exploration Permit) b. Masa Berlaku (Expired)
11 Pelabuhan (Port) Pangkalan (Base Port)
12 Mesin Utama Merek (Merk)
(Main Engine)
13 Lokasi Penelitian (Research Area)
Analisa Hasil Pemeriksaan :
(Inspection Analysis)

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tempat dan Tanggal Pemeriksaan :


(Place and Date of Inspection)

Menyetujui (approval):
Nakhoda/Pemilik/Operator/Penanggung Jawab Pengawas Perikanan,
(Captain/Owner/Operator/Person in Charge) (Fisheries Inspector)

( ……………………………………………………………….. ) ( ……………………………………………………………….. )

Lembar I (Putih/White) : Pengawas Perikanan (Fisheries Inspector)


Lembar II (Merah/Red) : Direktur Jenderal PSDKP (Director General of Surveillance for Marine and Fisheries Resources)
Lembar III (Kuning/Yellow) : Nakhoda Kapal Penelitian/Eksplorasi Perikanan (Captain)
Lembar IV (Biru/Blue) : Kepala UPT/Satuan Pengawasan SDKP (Head of Implementing Unit of Surveillance)

Nomor Seri
(Serial Number)
Kode Tahun Nomor Urut
(Code) (Year) (List Number)
E. Kapal Pendukung Operasi Pembudidayaan Ikan
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
(MINISTRY OF MARINE AFFAIRS AND FISHERIES)
DIREKTORAT JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
(DIRECTORATE GENERAL OF SURVEILLANCE FOR MARINE AND FISHERIES RESOURCES)
Unit Pelaksana Pengawasan
Implementing Unit of Surveillance
BERITA ACARA HASIL PEMERIKSAAN KAPAL PENDUKUNG OPERASI PEMBUDIDAYAAN IKAN
(OFFICIAL REPORT FOR DEPARTURE INSPECTION OF SUPPORTING AQUACULTURE FISHING VESSEL)
DI ISI OLEH PENGAWAS PERIKANAN (FILLED BY FISHERIES INSPECTOR)
Sesuai Izin
Pemeriksaan Dokumen dan Fisik Kapal Pendukung Operasi (Compliance)
Data pada Izin Hasil Pemeriksaan
No. Pembudidayaan Ikan (Ya/Tidak)
(Data of License) (Inspection Result)
(Document and Physical Inspection) (Yes/No)

Nama Kapal Pendukung Operasi Pembudidayaan Ikan (Supporting Aquaculture


1
Fishing Vessel Name)
2 Nama Perusahaan/Pemilik/Agen (Company/Owner/Agen)
Tempat dan Tanda Selar (Place and Number of Supporting Aquaculture
3
Fishing Vessel Registration)
4 Nama Panggilan Kapal Pendukung Operasi Pembudidayaan Ikan (Call Sign)
5 Nama Nakhoda (Captain)
Asal Kapal Pendukung Operasi Pembudidayaan Ikan (Origin of Supporting
6
Aquaculture Fishing Vessel)
7 Negara Asal (Nationality of Supporting Aquaculture Fishing Vessel)
8 Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) a. Nomor (Number)
(Carrier Vessel License) b. Masa Berlaku (Expired)
9 Nomor ID Transmitter SPKP (VMS Transmitter ID Number)
10 Surat Keterangan Aktivasi Transmitter a. Nomor (Number)
(VMS Activation Certificate Number) b. Masa Berlaku (Expired)
11 Pelabuhan a. Pangkalan (Port Base)
(Port) b. Muat/Cek Poin
(Loading/Unloading/
Transit/Entry-Out Port)
12 Mesin Utama a. Merek (Merk)
(Main Engine) b. Nomor Seri
(Serial Number)
c. Kekuatan/DK
(Horse Power /HP)
13 Sertifikat Kesehatan Ikan (Health Certificate)
14 Surat Keterangan Lalu Lintas Ikan dan Produk Perikanan
(Certificate for Distributiion of Fish and Fisheries Product)
15 Surat Pemberitahuan Ekspor Barang/PEB
(Certificate for Export Product Notification)
16 Jenis dan Jumlah Ikan Dalam Palkah/Number of Catch on Hold
a.
b.
c.
Analisa Hasil Pemeriksaan :
(Inspection Analysis)

Tempat dan Tanggal Pemeriksaan :


(Place and Date of Inspection)

Menyetujui (approval):
Nakhoda/Pemilik/Operator/Penanggung Jawab Pengawas Perikanan,
(Captain/Owner/Operator/ Person in Charge) (Fisheries Inspector)

( ……………………………………………………………….. ) ( ……………………………………………………………….. )
Lembar I (Putih/White) : Pengawas Perikanan (Fisheries Inspector)
Lembar II (Merah/Red) : Direktur Jenderal PSDKP (Director General of Surveillance for Marine and Fisheries Resources)
Lembar III (Kuning/Yellow) : Nakhoda Kapal Pendukung Operasi Pembudidayaan Ikan (Captain)
Lembar IV (Biru/Blue) : Kepala UPT/Satuan Pengawasan SDKP (Head of Implementing Unit of Surveillance)

Nomor Seri
(Serial Number)
Kode Tahun Nomor Urut
(Code) (Year) (List Number)

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN


REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SUSI PUDJIASTUTI
LAMPIRAN II
PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN
PERIKANAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1/PERMEN-KP/2017
TENTANG SURAT LAIK OPERASI KAPAL
PERIKANAN

SURAT LAIK OPERASI KAPAL PERIKANAN

No Reg : 000000

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN


REPUBLIK INDONESIA
MINISTRY OF MARINE AFFAIRS AND FISHERIES
THE REPUBLIC OF INDONESIA

SURAT LAIK OPERASI KAPAL PERIKANAN


LEGAL OPERATIONAL LETTER OF FISHING VESSEL
No : ....................................................

Diterbitkan berdasarkan Pasal 43 UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan


sebagaimana telah diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009
Issued Under Fisheries Act No.31, 2004 as revised by Act No.45, 2009 in articles 43

Nama Kapal Perikanan : .................... Nomor Surat Izin Kapal Perikanan:........


Name of Fishing Vessel Number of Fishing License

Jenis Kapal Perikanan : .................... Masa Berlaku Surat Izin Kapal Perikanan ....
Type of Fishing Vessel Expired Date of Fishing License

Nama Perusahaan/Pemilik .................. Alat Tangkap .............


Name of Company/Owner Fishing Gear

Tonase Kotor .............GT Nomor Hasil Pemeriksaan Kapal .......


Gross Tonage The Result of Vessel Inspection Number

Bendera.......................................... Tujuan .................................................


Nationality Destination

Dengan ini Kapal Perikanan tersebut dinyatakan laik untuk beroperasi


Above mentioned fisheries vessel is declared legal to operation

Diterbitkan di* .......................... PENGAWAS PERIKANAN


Issued at Fisheries Inspector
Pada Tanggal .............................
Date
Jam ............................................ (Nama Lengkap/ Full Name)
Time

*) diisi dengan nama UPT/Satuan Pengawasan SDKP.

Lembar I : Untuk Nakhoda Kapal Perikanan


Lembar II : Untuk Syahbandar
Lembar III : Untuk Pengawas Perikanan
Lembar IV : Untuk Kepala UPT/Satuan Pengawasan SDKP
Lembar V : Direktur Jenderal PSDKP
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SUSI PUDJIASTUTI
LAMPIRAN III
PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1/PERMEN-KP/2017
TENTANG SURAT LAIK OPERASI KAPAL PERIKANAN

KOP UPT PSDKP

Format Laporan Penerbitan Berita Acara Hasil Pemeriksaan Kapal Perikanan, SLO dan Penolakan Penerbitan SLO
pada UPT/Satuan Pengawasan SDKP ........ Periode Bulan ..... Tahun ......

Jumlah BA-HPK Jumlah SLO yang Persentase Kelaikan Jumlah Penolakan Alasan Penolakan Penerbitan
No. Kapal Perikanan
Keberangkatan Diterbitkan Kapal Perikanan Penerbitan SLO SLO
1 Kapal Penangkap Ikan ….. lembar ….. lembar ( .... %) ... unit kapal Contoh :
KM. Sifulan tidak diterbitkan
SLO karena diberikan sanksi
pembekuan/pencabutan
SIPI-nya oleh Ditjen
Perikanan Tangkap;
........ dan seterusnya
2 Kapal Pengangkut Ikan ….. lembar ….. lembar ( .... %) ... unit kapal
3 Kapal Latih Perikanan ….. lembar ….. lembar ( .... %) ... unit kapal
4 Kapal Penelitian/Eksplorasi ….. lembar ….. lembar ( .... %) ... unit kapal
Perikanan
5 Kapal Pendukung Operasi ….. lembar ….. lembar ( .... %) ... unit kapal
Pembudidayaan Ikan
Jumlah ….. lembar ….. lembar ( .... %) ... unit kapal

Keterangan: Kepala UPT/Satuan


Pengawas Perikanan menyampaikan : Pengawasan SDKP
- Softcopy data nomor registrasi BA-HPK dan SLO yang diterbitkan;
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
- Salinan/fotocopy SIPI/SIKPI kapal perikanan yang tidak diterbitkan SLO.
REPUBLIK INDONESIA,

(………………………..)
ttd.

SUSI PUDJIASTUTI
LAMPIRAN IV
PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1/PERMEN-KP/2017
TENTANG SURAT LAIK OPERASI KAPAL
PERIKANAN

KOP UPT/SATUAN PENGAWASAN SDKP

SURAT KETERANGAN
PENGGANTI SLO KAPAL PERIKANAN
Nomor:
Yang bertandatangan di bawah ini, Pengawas Perikanan pada UPT/Satuan Pengawasan
SDKP ................, menerangkan bahwa :
1. Nama Kapal :
2. Jenis Kapal :
3. Ukuran GT dan Tanda Selar :
4. Nomor dan Masa Berlaku SIPI/SIKPI :
5. Instansi Penerbit SIPI/SIKPI :
6. Nomor dan Masa Berlaku SKAT :
7. Nomor ID Transmitter SPKP :
8. Pelabuhan Pangkalan/Muat :
9. Nama Pemilik/Perusahaan/Operator :
10. Nama Nakhoda :
11. Nomor HPK Keberangkatan/Pelabuhan Asal :
12. Keterangan (pilih salah satu) :
 Kapal perikanan yang baru dibeli
 Kapal perikanan yang selesai dibangun atau dilakukan modifikasi
 Kapal perikanan akan melakukan docking
 Kapal perikanan mengalami keadaan darurat, meliputi kapal rusak, cuaca buruk,
atau awak kapal sakit atau meninggal
 Kapal perikanan berlayar dalam batas wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan
perikanan
 Kapal perikanan berlayar untuk memberikan pertolongan kepada kapal lain yang
dalam bahaya
 Kapal perikanan sedang melakukan percobaan berlayar

Berdasarkan ketentuan Pasal 19 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor


1/PERMEN-KP/2017 Tentang Surat Laik Operasi Kapal Perikanan, kapal perikanan tersebut
di atas diberikan Surat Keterangan Pengganti SLO Kapal Perikanan, dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. Tidak akan melakukan kegiatan perikanan selama dalam pelayaran *);
2. Alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan wajib diikat rapi atau
disimpan di dalam palka*);
3. Wajib mengaktifkan transmitter SPKP yang dapat dipantau secara online selama dalam
pelayaran;
4. Melaporkan kedatangan kepada Pengawas Perikanan di UPT PSDKP terdekat pada
kesempatan pertama; dan/atau
5. Bersedia diberikan sanksi hukum/pidana sesuai ketentuan yang berlaku, apabila
melakukan pelanggaran.
Demikian Surat Keterangan ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Pengawas Perikanan

(.............................)
Tembusan:
1. Direktur Jenderal; MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
2. Kepala UPT/Satuan Pengawasan SDKP. REPUBLIK INDONESIA,

Keterangan: ttd.
*) tidak berlaku bagi kapal perikanan yang mengalami

keadaan darurat meliputi kapal rusak, cuaca buruk, dan


awak kapal sakit atau meninggal.
SUSI PUDJIASTUTI
RANCANGAN

PERATURAN
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5/PERMEN-KP/2019
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 23/PERMEN-
KP/2013 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka peningkatan pelayanan dan tertib


pendaftaran dan penandaan kapal perikanan, perlu
dilakukan perubahan terhadap tata cara pendaftaran dan
penandaan kapal perikanan sebagaimana telah diatur
dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
23/PERMEN-KP/2013 tentang Pendaftaran dan
Penandaan Kapal Perikanan;
a. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
23/PERMEN-KP/2013 tentang Pendaftaran dan
Penandaan Kapal Perikanan;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang


Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik
-2-

Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah


dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5073);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5679);
3. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang
Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8);
4. Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2015 tentang
Kementerian Kelautan dan Perikanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 111),
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden
Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2015 tentang
Kementerian Kelautan dan Perikanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 5);
5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
23/PERMEN-KP/2013 tentang Pendaftaran dan
Penandaan Kapal Perikanan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 1072);
6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
6/PERMEN-KP/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Kelautan dan Perikanan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 220),
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor 7/PERMEN-KP/2018
-3-

tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan


Perikanan Nomor 6/PERMEN-KP/2017 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kelautan dan
Perikanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 617);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN
PERIKANAN NOMOR 23/PERMEN-KP/2013 TENTANG
PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN.

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 23/PERMEN-KP/2013 tentang Pendaftaran
dan Penandaan Kapal Perikanan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 1072), diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 angka 14, angka 16, dan angka 17


diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Pendaftaran Kapal Perikanan adalah kegiatan
pencatatan kapal perikanan yang dimuat dalam buku
kapal perikanan.
2. Penandaan Kapal Perikanan adalah kegiatan untuk
memberi tanda atau notasi kapal perikanan.
3. Usaha Perikanan Tangkap adalah usaha perikanan
yang berbasis pada kegiatan penangkapan ikan
dan/atau kegiatan pengangkutan ikan.
4. Orang adalah orang perseorangan atau perusahaan
perikanan.
5. Perusahaan Perikanan adalah perusahaan yang
melakukan usaha di bidang perikanan baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum.
-4-

6. Kapal Perikanan adalah kapal, perahu, atau alat


apung lain yang dipergunakan untuk melakukan
penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan
ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan,
pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/
eksplorasi perikanan.
7. Kapal Penangkap Ikan adalah kapal yang secara
khusus dipergunakan untuk menangkap ikan
termasuk menampung, menyimpan, mendinginkan
dan/atau mengawetkan.
8. Kapal Pengangkut Ikan adalah kapal yang secara
khusus dipergunakan untuk mengangkut ikan
termasuk memuat, menampung, menyimpan,
mendinginkan, dan/ atau mengawetkan.
9. Buku Kapal Perikanan adalah buku yang memuat
informasi yang berisi identitas pemilik dan identitas
Kapal Perikanan serta perubahan–perubahan yang
terjadi terhadap identitas pemilik dan identitas Kapal
Perikanan.
10. Buku Induk Kapal Perikanan adalah buku yang
memuat informasi Kapal Perikanan yang telah
didaftarkan.
11. Surat Izin Usaha Perikanan yang selanjutnya disebut
SIUP adalah izin tertulis yang harus dimiliki
Perusahaan Perikanan untuk melakukan usaha
perikanan dengan menggunakan sarana produksi
yang tercantum dalam izin tersebut.
12. Surat Izin Penangkapan Ikan yang selanjutnya disebut
SIPI adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap
Kapal Perikanan untuk melakukan penangkapan ikan
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
SIUP.
13. Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan yang selanjutnya
disebut SIKPI adalah izin tertulis yang harus dimiliki
setiap Kapal Perikanan untuk melakukan
pengangkutan ikan.
-5-

14. Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik


Indonesia yang selanjutnya disingkat WPP-NRI adalah
wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan
ikan yang meliputi perairan Indonesia, zona ekonomi
eksklusif Indonesia, sungai, danau, waduk, rawa dan
genangan air lainnya yang dapat diusahakan.
15. Laut Lepas adalah bagian dari laut yang tidak
termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,
laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan
Indonesia, dan perairan pedalaman Indonesia.
16. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kelautan dan
perikanan.
17. Direktur Jenderal adalah direktur jenderal yang
melaksanakan tugas teknis di bidang perikanan
tangkap.

2. Ketentuan ayat (1) Pasal 2 diubah, sehingga Pasal 2


berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2
(1) Setiap Kapal Perikanan milik Orang Indonesia dan
berbendera Indonesia yang dioperasikan di WPP-NRI
atau Laut Lepas wajib didaftarkan terlebih dahulu
sebagai Kapal Perikanan Indonesia.
(2) Kapal Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi Kapal Penangkap Ikan, Kapal
Pengangkut Ikan, dan kapal pendukung operasi
penangkapan ikan.

3. Ketentuan Pasal 3 diubah, sehingga Pasal 3 berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 3
Kewenangan Pendaftaran Kapal Perikanan:
a. Menteri berwenang melakukan Pendaftaran Kapal
Perikanan berukuran diatas 30 (tiga puluh) gros ton,
-6-

dioperasikan di WPP-NRI atau Laut Lepas,


berbendera Indonesia dan dimiliki Orang Indonesia,
yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Direktur
Jenderal;
b. gubernur berwenang melakukan Pendaftaran Kapal
Perikanan berukuran
1) diatas 10 (sepuluh) gros ton sampai dengan 30
(tiga puluh) gros ton, dioperasikan pada wilayah
pengelolaan perikanan yang menjadi
kewenangannya, berbendera Indonesia dan
dimiliki Orang yang berdomisili di wilayah
administrasi provinsi tersebut; dan
2) sampai dengan 10 (sepuluh) gros ton yang
beroperasi di laut, sungai, danau, waduk, rawa,
dan genangan air lainnya yang dapat
diusahakan lintas kabupaten/kota dalam 1
(satu) daerah provinsi pada wilayah pengelolaan
perikanan yang menjadi kewenangannya,
berbendera Indonesia dan dimiliki Orang yang
berdomisili di wilayah administrasi provinsi
tersebut;
c. bupati/wali kota berwenang melakukan Pendaftaran
Kapal Perikanan berukuran sampai dengan 10
(sepuluh) gros ton beroperasi di sungai, danau,
waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat
diusahakan dalam 1 (satu) daerah kabupaten/kota,
berbendera Indonesia dan dimiliki Orang yang
berdomisili di wilayah administrasi kabupaten/kota
tersebut.

4. Ketentuan Pasal 5 diubah, sehingga Pasal 5 berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 5
Setiap Orang untuk mendaftarkan Kapal Perikanan milik
Orang Indonesia dan berbendera Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), harus mengajukan
-7-

permohonan kepada Direktur Jenderal, disertai dengan


persyaratan:
a. fotokopi SIUP;
b. fotokopi bukti kepemilikan kapal (grosse akte);
c. rekomendasi dari direktur jenderal yang
melaksanakan tugas teknis di bidang perikanan
budidaya, untuk Kapal Pengangkut Ikan hasil
pembudidayaan;
d. fotokopi kartu tanda penduduk pemilik
kapal/penanggung jawab perusahaan;
e. fotokopi surat ukur kapal;
f. fotokopi surat tanda kebangsaan kapal;
g. fotokopi sertifikat kelaikan dan pengawakan kapal
untuk Kapal Penangkap Ikan atau fotokopi sertifikat
keselamatan untuk Kapal Pengangkut Ikan;
h. foto kapal berwarna keseluruhan tampak samping
dengan ukuran 5 x 10 cm sebanyak 2 lembar,
dengan ketentuan foto kapal sendiri tanpa ada kapal
lain dan tampak jelas nama kapal; dan
i. surat pernyataan bermeterai cukup yang
menyatakan bertanggung jawab atas kebenaran data
dan informasi yang disampaikan.

5. Ketentuan ayat (3) Pasal 6 diubah, sehingga Pasal 6


berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6
(1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5, Direktur Jenderal melakukan
penilaian terhadap kelengkapan persyaratan paling
lama 2 (dua) hari kerja sejak diterimanya
permohonan secara lengkap, yang hasilnya berupa
persetujuan atau penolakan.
(2) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dinyatakan lengkap dan disetujui, paling
lama 5 (lima) hari kerja harus dilakukan
pemeriksaan fisik Kapal Perikanan dan alat
-8-

penangkapan ikan oleh petugas pemeriksa fisik


Kapal Perikanan.
(3) Pemeriksaan fisik Kapal Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus mengacu pada grosse
akte, surat ukur, surat tanda kebangsaaan kapal,
sertifikat kelaikan dan pengawakan kapal untuk
Kapal Penangkap Ikan atau sertifikat keselamatan
untuk Kapal Pengangkut Ikan, dan pemeriksaan
fisik alat penangkapan ikan mengacu pada
spesifikasi teknis alat penangkapan ikan.
(4) Dalam hal hasil pemeriksaan fisik Kapal Perikanan
dan alat penangkapan ikan telah sesuai, petugas
pemeriksa fisik Kapal Perikanan paling lama 3 (tiga)
hari kerja menerbitkan rekomendasi kepada
Direktur Jenderal bahwa hasil pemeriksaan fisik
Kapal Perikanan dan alat penangkapan ikan sudah
sesuai.
(5) Dalam hal hasil pemeriksaan fisik Kapal Perikanan
dan alat penangkapan ikan tidak sesuai, petugas
pemeriksa fisik Kapal Perikanan paling lama 3 (tiga)
hari kerja menerbitkan rekomendasi kepada
Direktur Jenderal bahwa hasil pemeriksaan fisik
Kapal Perikanan dan alat penangkapan ikan tidak
sesuai.
(6) Direktur Jenderal menerbitkan Buku Kapal
Perikanan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak
diterimanya rekomendasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (4).
(7) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditolak dan hasil pemeriksaan fisik Kapal
Perikanan dan alat penangkapan ikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) tidak sesuai, Direktur
Jenderal menyampaikan penolakan kepada
pemohon paling lama 3 (tiga) hari kerja disertai
alasan dan berkas permohonan menjadi milik
Direktorat Jenderal.
-9-

6. Diantara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) pasal,


yakni Pasal 6A, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6A
(1) Mekanisme penerbitan Buku Kapal Perikanan
dilakukan melalui laman kapal.kkp.go.id.
(2) Dalam hal pemohon tidak mampu mengakses laman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mekanisme
penerbitan Buku Kapal Perikanan dapat dilakukan
secara manual.

7. Ketentuan ayat (1) Pasal 10 diubah dan ditambah 1 (satu)


ayat, yakni ayat (4), sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 10
(1) Perubahan Buku Kapal Perikanan dilakukan apabila
terdapat perubahan, yang meliputi:
a. perubahan identitas pemilik Kapal Perikanan;
b. perubahan identitas Kapal Perikanan;
c. perubahan fisik Kapal Perikanan; dan/atau
d. perubahan kepemilikan.
(2) Perubahan identitas pemilik Kapal Perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi:
a. nama perusahaan;
b. alamat perusahaan/pemilik; dan/atau
c. nama penanggung jawab perusahaan.
(3) Perubahan identitas Kapal Perikanan sebagimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. nama kapal;
b. tipe/jenis kapal;
c. jenis alat penangkapan ikan;
d. mesin utama;
e. jumlah dan kapasitas palkah;
f. tanda pengenal kapal; dan/atau
- 10 -

g. tonnage kapal, yaitu gross tonnage dan/atau


net tonnage.
(4) Perubahan fisik Kapal Perikanan sebagimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi:
a. perubahan bangunan; dan/atau
b. warna kapal.

8. Ketentuan Pasal 12 diubah, sehingga Pasal 12 berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 12
(1) Kapal Perikanan yang telah memiliki Buku Kapal
Perikanan yang dikeluarkan oleh provinsi atau
kabupaten/kota dan akan melakukan perpindahan
ke provinsi atau kabupaten/kota lain wajib
melakukan pendaftaran ke provinsi atau
kabupaten/kota yang dituju dengan melampirkan
surat keterangan dari tempat Pendaftaran Kapal
Perikanan sebelumnya.
(2) Dalam hal dilakukan perpindahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), provinsi atau
kabupaten/kota yang dituju menerbitkan Buku
Kapal Perikanan baru.

9. Ketentuan Pasal 14 diubah, sehingga Pasal 14 berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 14
(1) Buku Kapal Perikanan dihapus dari Buku Induk
Kapal Perikanan apabila:
a. Kapal Perikanan akan didaftarkan di negara
lain;
b. Kapal Perikanan berganti bendera;
c. tidak dioperasikan lagi sebagai Kapal
Perikanan, karena dialihfungsikan bukan
sebagai Kapal Perikanan;
- 11 -

d. tidak dapat dioperasikan lagi sebagai Kapal


Perikanan karena tenggelam, kandas, atau
terbakar;
e. Kapal Perikanan hilang;
f. Kapal Perikanan ditutuh (scrapping);
g. terdapat peralihan kewenangan Pendaftaran
Kapal Perikanan; dan/atau
h. Buku Kapal Perikanan dicabut.
(2) Penghapusan Buku Kapal Perikanan dari Buku
Induk Kapal Perikanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan berdasarkan laporan dari pemilik
kapal/penanggung jawab perusahaan dengan
menyerahkan Buku Kapal Perikanan, kecuali untuk
Buku Kapal Perikanan yang dicabut.

10. Ketentuan Pasal 25 diubah, sehingga Pasal 25 berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 25
(1) Kapal Perikanan berbendera Indonesia yang
dioperasikan di yurisdiksi negara lain wajib
didaftarkan terlebih dahulu sebagai Kapal Perikanan
Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai Pendaftaran Kapal Perikanan
yang dioperasikan di WPP-NRI dan Laut Lepas
berlaku secara mutatis mutandis terhadap
Pendaftaran Kapal Perikanan berbendera Indonesia
yang dioperasikan di yurisdiksi negara lain.

11. Ketentuan ayat (2) Pasal 26 diubah, sehingga Pasal 26


berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26
(1) Pendaftaran Kapal Perikanan terhadap Kapal
Perikanan yang telah memiliki SIPI/SIKPI
dilaksanakan paling lambat sebelum perpanjangan
SIPI/SIKPI.
- 12 -

(2) Setiap Orang yang mengoperasikan Kapal Perikanan


berbendera Indonesia di WPP-NRI atau Laut Lepas
yang telah memiliki SIPI/SIKPI harus mengajukan
permohonan Pendaftaran Kapal Perikanan kepada
Direktur Jenderal, dengan melampirkan:
a. fotokopi SIUP;
b. fotokopi SIPI atau SIKPI;
c. fotokopi bukti kepemilikan kapal, berupa grosse
akte;
d. fotokopi kartu tanda penduduk pemilik
kapal/penanggung jawab perusahaan;
e. fotokopi surat ukur kapal;
f. fotokopi sertifikat kelaikan dan pengawakan
kapal untuk Kapal Penangkap Ikan atau
fotokopi sertifikat keselamatan untuk Kapal
Pengangkut Ikan;
g. foto kapal berwarna keseluruhan tampak
samping dengan ukuran 5 x 10 cm sebanyak 2
lembar, dengan ketentuan foto kapal sendiri
tanpa ada kapal lain dan tampak jelas nama
kapal; dan
h. surat pernyataan bermeterai cukup yang
menyatakan bertanggung jawab atas kebenaran
data dan informasi yang disampaikan.
(3) Ketentuan mengenai tata cara Pendaftaran Kapal
Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
berlaku secara mutatis mutandis terhadap tata cara
Pendaftaran Kapal Perikanan yang telah memiliki
SIPI atau SIKPI.

12. Diantara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 pasal, yakni


Pasal 26A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26A
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, terhadap
permohonan baru dan perubahan Buku Kapal Perikanan
yang telah disampaikan dan dinyatakan lengkap
- 13 -

sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri ini, diproses


berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Momor 23/PERMEN-KP/2013 tentang Pendaftaran dan
Penandaan Kapal Perikanan.

Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 14 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Januari 2019

LEMBAR PERSETUJUAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN


NO. JABATAN PARAF REPUBLIK INDONESIA,
1. Sekretaris Jenderal
2. Dirjen Perikanan Tangkap
ttd.
3. Karo Hukum dan Organisasi

SUSI PUDJIASTUTI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 Februari 2019r
201426 Juni 2014
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 173

Lembar Pengesahan
Pejabat Paraf
Kabag PUU I
DEKLARASI JUANDA: MENUJU KEUTUHAN
WILAYAH TANAH AIR INDONESIA

K
etika Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, yang dimaksud dengan
Indonesia saat itu adalah seluruh wilayah yang sebelumnya merupakan
wilayah Hindia Belanda. Mungkin sebagian kita tidak menyadari bahwa wilayah negara
Indonesia yang baru merdeka itu wilayahnya tidaklah seperti yang kita kenal sekarang ini. Pada
saat baru merdeka itu, wilayah laut Indonesia, sebagai warisan Belanda hanya merupakan jalur
laut selebar 3 mil dari garis pantai pada saat pasang tersurut yang melingkari setiap pulau.
Kalau ditotal luas keseluruhan wilayah laut Indonesia saat itu tidak sampai satu juta km persegi.
Di luar itu, statusnya merupakan perairan internasional atau laut bebas. Jadi dapat dibayangkan
bahwa bagian terbesar Laut Jawa, Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Banda, Laut Arafura
dan lainnya merupakan perairan internasional, dimana kapal-kapal asing dapat berlayar lalu-
lalang dengan bebas. Jadi terkesan secara hukum, unsur laut lebih merupakan pemisah antar
pulau-pulau di Nusantara ini.

Gambar 1. Peta Indonesia saat baru merdeka, wilayah laut teritorial Indonesia
hanya 3 mil dari masing-masing pulau pada saat surut terendah (warna biru).
Selebihnya merupakan Perairan Internasional.

1
Dari penelusuran sejarah dapat dicatat bahwa jalur laut selebar 3 mil dari bibir pantai itu
didasarkan pada kenyataan pada zaman dulu, dimana jarak tembak meriam di zaman itu tidak
sampai jarak 3 mil. Dari segi hukum, ketentuan tentang lebar laut teritorial yang sangat sempit
itu didasarkan pada Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie, 1939 (Ordonansi Laut
Teritorial dan Lingkungan Maritim, 1939), produk hukum zaman Hindia Belanda yang
kemudian diteruskan dan diadopsi oleh Indonesia ketika baru saja merdeka.
Dalam perjalanan sejarah awal Indonesia merdeka, dirasakan bahwa ketentuan hukum
laut yang berlaku saat itu (Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie, 1939) sangatlah
rawan terhadap keamanan dan keutuhan negara Republik Indonesia. Wilayah laut teritorial
Indonesia tidak merupakan wilayah yang utuh, tetapi terpisah-pisah oleh perairan internasioal
atau perairan bebas. Wilayah perairan internasional yang berada di antara pulau-pulau
Nusantara tentu saja sangat rawan karena bebas dilayari atau dimasuki oleh kapal-kapal asing
yang bisa melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat merugikan atau mengancam keamanan dan
kedaulatan negara.
Terjadinya pemberontakan di sejumlah daerah di Indonesia dan konflik politik dengan
Belanda mengenai Irian Barat (Papua) yang belum terselesaikan saat itu menyebabkan masalah
kewilayahan laut ini menjadi sangat genting, karena kapal-kapal perang asing bebas berkeliaran
di antara pulau-pulau Nusantara, sementara Indonesia tidak berkutik mencegahnya karena
kendala hukum dan sarana-prasarana.

Gambar 2. Peta Indonesia setelah Deklarasi Juanda, tahun 1957.

Menanggapi situasi kritis itu maka pada tanggal 13 Desember 1957, Perdana Menteri RI
yang ketika itu dijabat oleh Ir. Juanda Kartawijaya mendeklarasikan “Pengumuman Pemerintah

2
mengenai Perairan Negara Republik Indonesia”
yang kelak dikenal sebagai “Deklarasi Juanda”.
Deklarasi itu menyatakan bahwa semua perairan
di sekitar, di antara, dan yang
menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-
pulau yang termasuk daratan Negara Republik
Indonesia, dengan tidak memandang luas atau
lebarnya, adalah bagian dari wilayah Negara
Republik Indonesia dan dengan demikian
merupakan bagian dari perairan nasional yang
berada di bawah kedaulatan mutlak Negara

Gambar 3. Ir. H. Juanda Kartawijaya Republik Indonesia (Gambar 2). Lalu-lintas yang
(1911-1963) damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-
kapal asing dijamin selama dan sekadar tidak
bertentangan dengan dan/ atau mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara
Indonesia. Batas laut teritorial Indonesia yang sebelumnya 3 mil diperlebar menjadi 12 mil
diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau terluar dari
wilayah negara Indonesia pada saat air laut surut. Dengan dikeluarkannya deklarasi tersebut
berarti Ordonansi tahun 1939 yang merupakan warisan kolonial tidak berlaku lagi. Deklarasi
Juanda itu kemudian disahkan melalui UU No. 4/PRP/Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.
Dengan demikian luas wilayah laut Indonesia bertambah lebih luas dengan sangat signifikan
hingga menjadi sekitar 3,1 juta km persegi.

Gambar 4. Peta Indonesia sesuai dengan UNCLOS (United Nation


Convention on the Law of the Sea) 1982.

3
Deklarasi Juanda itu serta merta mendapat tentangan dan protes dari beberapa negara
yang merasa kepentingan maritimnya terganggu. Nota protes diplomatik dari negara-negara
maritim besar sepeti Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda, Perancis dan New Zealand
mengalir melalui Departemen Luar Negeri RI. Namun Indonesia dengan mengerahkan para
ahli hukum lautnya dan lewat diplomasi di berbagai forum internasional terus
memperjuangkan ketetapan tentang wilayah hukum laut yang baru, yang telah memberi wajah
baru geopolitik Indonesia.
Perjuangan untuk mendapatkan pengakuan internasional terus diupayakan dengan gigih
dan tentu saja tidak mudah. Paling tidak, diperlukan waktu sekitar 25 tahun bagi para ahli
hukum laut dan para diplomat professional Indonesia untuk menyakinkan dunia internasional
tentang konsep Wawasan Nusantara yang memandang darat dan laut kepulauan merupakan
suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Pada Pertemuan Konvensi Hukum Laut PBB ke-3 United
Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tanggal 10 Desember 1982, konsep
Wawasan Nusantara akhirnya diakui dunia sebagai The Archipelagic Nation Concept. Di situ
ditetapkan laut teritorial negara kepulauan adalah selebar 12 mil dari garis dasar (base line)
terluar pulau-pulau dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) selebar 200 mil dari dari garis dasar.
Boleh dikatakan ini merupakan prestasi luar biasa. Bayangkan, luas laut Indonesia yang
sebelumnya tidak sampai satu juta km persegi, namun melalui UNCLOS 1982 luasnya
bertambah menjadi 5,8 juta km persegi yang terdiri dari laut teritorial dan perairan pedalaman
seluas 3,1 juta km persegi dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 juta km persegi.
UNCLOS 1982 ini kemudian diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 17 tahun 1983.
Tetapi keberhasilan itu harus ditindak-lanjuti dengan berbagai pekerjaan rumah yang
banyak dan tidak mudah, misalnya diperlukan banyak survei-survei hidrografi dan oseanografi
guna menetapkan titik-titik pangkal, peta-peta garis pangkal, peta-peta Alur Laut Kepulauan
Indonesia (ALKI) dan peta-peta ZEE Indonesia. Selain itu persinggungan perbatasan dengan
negara tetangga juga pelu dirundingkan dan diselesaikan.
Bagaimanapun dapat kita saksikan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia,
Deklarasi Juanda 13 Desember 1957 telah membuka jalan untuk berkembangnya konsep
Wawasan Nusantara yang menyatukan tanah (daratan) dan air (laut) menjadi suatu kesatuan
yang utuh tak terpisahkan. Di kemudian hari, Presiden RI Megawati Sukarnoputri melalui
Keppres No. 126/th 2001 menetapkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara.
----
Anugerah Nontji
11/12/2017

4
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 17 TAHUN 1985
TENTANG
PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA
(KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang : a. bahwa United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) telah diterima baik oleh
Konperensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Ketiga di
New York pada tanggal 30 April 1982 dan telah ditandatangani oleh
Negara Republik Indonesia bersama-sama seratus delapan belas
penandatangan lain di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember
1982;

b. bahwa United Nations Convention on the Law of the Sea sebagaimana


dimaksud pada huruf a di atas mengatur rejim-rejim hukum laut, termasuk
rejim hukum Negara Kepulauan secara menyeluruh dan dalam satu paket;

c. bahwa rejim hukum Negara Kepulauan mempunyai arti dan peranan


penting untuk memantapkan kedudukan Indonesia sebagai Negara
Kepulauan dalam rangka implementasi Wawasan Nusantara sesuai
amanat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas dipandang perlu untuk


mengesahkan United Nations Convention on the Law of the Sea tersebut
dengan Undang-undang;

Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945;

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS


CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (KONVENSI PERSERIKATAN
BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT).

Pasal 1

Mengesahkan United Nations Convention the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa tentang Hukum Laut), yang salinan naskah aslinya dalam bahasa inggeris dilampirkan
pada Undang-undang ini.

Pasal 2

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-2-

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan


penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1985
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
TTD
SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1985
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
TTD
SUDHARMONO, S.H.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1985 NOMOR 76


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 1985
TENTANG
PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION
ON THE LAW OF THE SEA
(KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG
HUKUM LAUT)

I. UMUM

Usaha masyarakat internasional untuk mengatur masalah kelautan melalui Konperensi


Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut yang Ketiga telah berhasil
mewujudkan United Nations Convention on the Law of the Sea (konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) yang telah ditandatangani oleh 117 (seratus tujuh
belas) negara peserta termasuk Indonesia dan 2 satuan bukan negara di Montego Bay,
Jamaica, pada tanggal 10 Desember 1982.

Dibandingkan dengan Konvensi-konvensi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut, Konvensi


Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tersebut mengatur rejim-rejim hukum
laut secara lengkap dan menyeluruh, yang rejim-rejimnya satu sama lainnya tidak dapat
dipisahkan.
Ditinjau dari isinya, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tersebut :
a. Sebagian merupakan kodifikasi ketentuan-ketentuan hukum laut yang sudah ada,
misalnya kebebasan-kebebasan di Laut Lepas dan hak lintas damai di Laut Teritorial;
b. Sebagian merupakan pengembangan hukum laut yang sudah ada, misalnya
ketentuan mengenai lebar Laut Teritorial menjadi maksimum 12 mil laut dan kriteria
Landas Kontinen.
Menurut Konvensi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut kriteria bagi penentuan lebar
landas kontinen adalah kedalaman air dua ratus meter atau kriteria kemampuan
eksploitasi. Kini dasarnya adalah kriteria kelanjutan alamiah wilayah daratan sesuatu
Negara hingga pinggiran luar tepian kontinennya (Natural prolongation of its land
territory to the outer edge of the continental margin) atau kriteria jarak 200 mil laut,
dihitung dari garis dasar untuk mengukur lebar laut Teritorial jika pinggiran luar tepian
kontinen tidak mencapai jarak 200 mil laut tersebut;
c. Sebagian melahirkan rejim-rejim hukum baru, seperti asas Negara Kepulauan, Zona
Ekonomi Eksklusif dan penambangan di Dasar Laut Internasional.

Bagi Bangsa dan Negara Republik Indonesia, Konvensi ini mempunyai arti yang penting
karena untuk pertama kalinya asas Negara Kepulauan yang selama dua puluh lima tahun
secara terus menerus diperjuangkan oleh Indonesia, telah berhasil memperoleh
pengakuan resmi masyarakat internasional. Pengakuan resmi asas Negara Kepulauan ini
merupakan hal yang penting dalam rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah sesuai
dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, dan Wawasan Nusantara sebagaimana
termaktub dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara, yang menjadi dasar perwujudan bagi kepulauan Indonesia sebagai satu
kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan.

Yang dimaksud dengan "Negara Kepulauan" menurut Konvensi ini adalah suatu negara
yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat mencakup
pulau-pulau lain.

Konvensi menentukan pula bahwa gugusan kepulauan berarti suatu gugusan pulau-pulau
termasuk bagian pulau, perairan diantara gugusan pulau-pulau tersebut dan lain-lain
wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga gugusan
pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya tersebut merupakan suatu kesatuan
geografi dan politik yang hakiki, atau secara historis telah dianggap sebagai satu kesatuan
demikian.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-2-

Negara Kepulauan dapat menarik garis dasar/pangkal lurus kepulauan yang


menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar kepulauan itu,
dengan ketentuan bahwa :
a. di dalam garis dasar/pangkal demikian termasuk pulau-pulau utama dan suatu daerah
dimana perbandingan antara daerah perairan dan daerah daratan, termasuk atol,
adalah antara satu berbanding satu (1 : 1) dan sembilan berbanding satu (9 : 1);
b. panjang garis dasar/pangkal demikian tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali bahwa
hingga 3 % dari jumlah seluruh garis dasar/pangkal yang mengelilingi setiap
kepulauan dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga pada suatu kepanjangan
maksimum 125 mil laut;
c. penarikan garis dasar/pangkal demikian tidak boleh menyimpang dari konfigurasi
umum Negara Kepulauan.

Negara Kepulauan berkewajiban menetapkan garis-garis dasar/ pangkal kepulauan pada


peta dengan skala yang cukup untuk menetapkan posisinya. Peta atau daftar koordinat
geografi demikian harus diumumkan sebagaimana mestinya dan satu salinan dari setiap
peta atau daftar demikian harus didepositkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa.

Dengan diakuinya asas Negara Kepulauan, maka perairan yang dahulu merupakan
bagian dari Laut Lepas kini menjadi "perairan kepulauan" yang berarti menjadi wilayah
perairan Republik Indonesia.

Disamping ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksudkan di muka, syarat-syarat yang


penting bagi pengakuan internasional atas asas Negara Kepulauan adalah ketentuan-
ketentuan sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Dalam "perairan kepulauan" berlaku hak lintas damai (right of innocent passage) bagi
kapal-kapal negara lain. Namun demikian Negara Kepulauan dapat menangguhkan untuk
sementara waktu hak lintas damai tersebut pada bagian-bagian tertentu dari "perairan
kepulauannya" apabila di anggap perlu untuk melindungi kepentingan keamanannya.
Negara Kepulauan dapat menetapkan alur laut kepulauan dan rute penerbangan di atas
alur laut tersebut.

Kapal asing dan pesawat udara asing menikmati hak lintas alur laut kepulauan melalui alur
laut dan rute penerbangan tersebut untuk transit dari suatu bagian Laut Lepas atau Zona
Ekonomi Eksklusif ke bagian lain dari Laut Lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif. Alur laut
kepulauan dan rute penerbangan tersebut ditetapkan dengan menarik garis poros. Kapal
dan pesawat udara asing yang melakukan lintas transit melalui alur laut dan rute
penerbangan tersebut tidak boleh berlayar atau terbang melampaui 25 mil laut sisi kiri dan
sisi kanan garis poros tersebut.

Sekalipun kapal dan pesawat udara asing menikmati hak lintas alur laut kepulauan melalui
alur laut dan rute penerbangan tersebut, namun hal ini di bidang lain daripada pelayaran
dan penerbangan tidak boleh mengurangi kedaulatan Negara Kepulauan atas air serta
ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya dan sumber kekayaan di
dalamnya.

Dengan demikian hak lintas alur laut kepulauan melalui rute penerbangan yang diatur
dalam Konvensi ini hanyalah mencakup hak lintas penerbangan melewati udara di atas
alur laut tanpa mempengaruhi kedaulatan negara untuk mengatur penerbangan di atas
wilayahnya sesuai dengan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil ataupun
kedaulatan negara kepulauan atas wilayah udara lainnya di atas perairan Nusantara.

Sesuai dengan ketentuan Konvensi, disamping harus menghormati perjanjian-perjanjian


internasional yang sudah ada, Negara Kepulauan berkewajiban pula menghormati hak-
hak tradisional penangkapan ikan dan kegiatan lain yang sah dari negara-negara tetangga
yang langsung berdampingan, serta kabel laut yang telah ada di bagian tertentu perairan
kepulauan yang dahulunya merupakan Laut Lepas. Hak-hak tradisional dan kegiatan lain
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-3-

yang sah tersebut tidak boleh dialihkan kepada atau dibagi dengan negara ketiga atau
warganegaranya.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut ini mengatur pula rejim-rejim
hukum sebagai berikut:

1. Laut Teritorial dan Zona Tambahan


a. Laut Teritorial
Konperensi-konperensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang
pertama (1958) dan kedua (1960) di Jenewa tidak dapat memecahkan masalah
lebar Laut Teritorial karena pada waktu itu praktek negara menunjukkan
keanekaragaman dalam masalah lebar Laut Teritorial, yaitu dari 3 mil laut hingga
200 mil laut.
Konperensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Ketiga pada
akhirnya berhasil menentukan lebar Laut Teritorial maksimal 12 mil laut sebagai
bagian dari keseluruhan paket rejim-rejim hukum laut, khususnya :
1). zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebihi 200 mil laut dihitung
dari garis dasar/pangkal darimana lebar Laut Teritorial diukur dimana
berlaku kebebasan pelayaran;
2). kebebasan transit kapal-kapal asing melalui Selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional;
3). hak akses negara tanpa pantai ke dan dari laut dan kebebebasan transit;
4). tetap dihormati hak lintas laut damai melalui Laut Teritorial.

Rejim Laut Teritorial memuat ketentuan sebagai berikut :


1). Negara pantai mempunyai kedaulatan penuh atas Laut Teritorial, ruang
udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya.
2). Dalam Laut Teritorial berlaku hak lintas laut damai bagi kendaraan-
kendaraan air asing. Kendaraan air asing yang menyelenggarakan lintas
laut damai di Laut Teritorial tidak boleh melakukan ancaman atau
penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau
kemerdekaan politik negara pantai serta tidak boleh melakukan kegiatan
survey atau penelitian, mengganggu sistem komunikasi, melakukan
pencemaran dan melakukan kegiatan lain yang tidak ada hubungan
langsung dengan lintas laut damai. Pelayaran lintas laut damai tersebut
harus dilakukan secara terus menerus, langsung serta secepatnya,
sedangkan berhenti dan membuang jangkar hanya dapat dilakukan bagi
keperluan navigasi yang normal atau kerena keadaan memaksa (force
majeure) atau dalam keadaan bahaya atau untuk tujuan memberikan
bantuan pada orang, kapal atau pesawat udara yang berada dalam
keadaan bahaya.
3). Negara pantai berhak membuat peraturan tentang lintas laut damai yang
berkenaan dengan keselamatan pelayaran dan pengaturan lintas laut,
perlindungan alat bantuan serta fasilitas navigasi, perlindungan kabel dan
pipa bawah laut, konservasi kekayaan alam hayati, pencegahan terhadap
pelanggaran atas peraturan perikanan, pelestarian lingkungan hidup dan
pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran, penelitian
ilmiah kelautan dan survei hidrografi dan pencegahan pelanggaran
peraturan bea cukai, fiskal, imigrasi dan kesehatan.

b. Zona Tambahan
Jika dalam Konvensi Jenewa 1958 lebar Zona Tambahan pada lebar Laut
Teritorial diukur, maka Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 kini menentukan
bahwa, dengan ditentukannya lebar Laut Teritorial maksimal 12 mil laut, lebar
Zona Tambahan adalah maksimal 24 mil laut diukur dari garis dasar laut
Teritorial.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-4-

Di Zona Tambahan negara pantai dapat melaksanakan pengawasan dan


pengendalian yang perlu, untuk :
1). mencegah pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangannya di
bidang bea cukai, fiskal, keimigrasian dan kesehatan yang berlaku di
wilayah darat dan Laut Teritorial negara pantai;
2). menindak pelanggaran-pelanggaran atas peraturan perundang-undangan
tersebut yang dilakukan di wilayah darat dan Laut Teritorial negara pantai.

2. Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional


Penetapan lebar Laut Teritorial maksimal 12 mil laut membawa akibat bahwa perairan
dalam Selat yang semula merupakan bagian dari Laut Lepas berubah menjadi bagian
dari Laut Teritorial negara-negara selat yang mengelilinginya.
Berhubungan dengan itu, tetap terjaminnya fungsi Selat sebagai jalur pelayaran
internasional merupakan syarat bagi diterimanya penetapan lebar Laut Teritorial
maksimal 12 mil laut. Oleh karena itu, dengan tidak mengurangi pelaksanaan
kedaulatan dan yurisdiksi negara-negara pantai dibidang lain daripada lintas laut dan
lintas udara, kendaraan air asing dan pesawat udara asing mempunyai hak lintas
laut/udara melalui suatu selat yang digunakan untuk pelayaran internasional.
Negara-negara selat, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan Konvensi, dapat
membuat peraturan perundang-undangan mengenai lintas laut transit melalui selat
tersebut yang bertalian dengan :
a. keselamatan pelayaran dan pengaturan lintas laut;
b. pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran;
c. pencegahan penangkapan ikan, termasuk penyimpanan alat penangkapan ikan
dalam palka;
d. memuat atau membongkar komoditi, mata uang atau orang-orang, bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi dan kesehatan.

3. Zona Ekonomi Eksklusif


Di Zona Ekonomi Eksklusif, negara pantai mempunyai:
a. hak berdaulat untuk tujuan eksploirasi, eksploitasi, pengelolaan dan konservasi
sumber kekayaan alam baik hayati maupun non hayati di ruang air dan kegiatan-
kegiatan lainnya untuk eksploirasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut seperti
pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin;
b. yurisdiksi yang berkaitan dengan pembuatan dan penggunaan pulau-pulau
buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya, penelitian ilmiah dan
perlindungan serta pelestarian lingkungan laut;
c. kewajiban untuk menghormati kebebasan pelayaran dan penerbangan
internasional, pemasangan kabel atau pipa bawah laut menurut prinsip hukum
internasional yang berlaku di Zona Ekonomi Eksklusif;
d. kewajiban untuk memberikan kesempatan terutama kepada negara tidak
berpantai atau negara yang secara geografis tidak beruntung untuk turut serta
memanfaatkan surplus dari jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan.

Masalah Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebihi 200 mil laut tersebut
erat kaitannya dengan masalah penetapan lebar Laut Teritorial maksimal 12 mil laut,
karena :
a. beberapa negara pantai, yang menganut lebar Laut Teritorial 200 mil laut, baru
dapat menerima penetapan lebar Laut Teritorial maksimal 12 mil laut dengan
adanya rejim Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebihi 200 mil laut.
b. pada sisi lain :
1). negara-negara tanpa pantai dan negara-negara yang secara geografis tidak
beruntung baru dapat menerima penetapan lebar Laut Teritorial maksimal
12 mil laut dan Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebihi 200
mil laut dengan ketentuan bahwa mereka memperoleh kesempatan untuk
turut serta memanfaatkan surplus dari jumlah tangkapan yang
diperbolehkan.
2). mereka mempunyai hak transit ke dan dari laut melalui wilayah negara
pantai/negara transit.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-5-

c. negara-negara maritim baru dapat menerima rejim Zona Ekonomi Eksklusif jika
negara pantai tetap menghormati kebebasan palayaran/penerbangan melalui
Zona Ekonomi Eksklusif.

4. Landas Kontinen
Berbeda dengan Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen yang menetapkan
lebar Landas Kontinen berdasarkan pada kriteria kedalaman atau kriteria kemampuan
eksploitasi, maka Konvensi 1982 ini mendasarkannya pada berbagai kriteria :
a. jarak sampai 200 mil laut jika tepian luar kontinen tidak mencapai jarak 200 mil
laut tersebut;
b. kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga tepian luar kontinen
yang lebarnya tidak boleh melebihi 350 mil laut yang diukur dari garis dasar Laut
Teritorial jika di luar 200 mil laut masih terdapat daerah dasar laut yang
merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan dan jika memenuhi kriteria
kedalaman sedimentasi yang ditetapkan dalam konvensi; atau
c. tidak boleh melebihi l00 mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2500 meter.

Kriteria kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga tepian luar kontinen
yang ditentukan dalam Konvensi ini pada akhirnya dapat diterima negara-negara
bukan negara pantai, khususnya negara-negara tanpa pantai atau negara-negara
yang geografis tidak beruntung setelah Konvensi juga menentukan bahwa negara
pantai mempunyai kewajiban untuk memberikan pembayaran atau kontribusi dalam
natura yang berkenaan dengan eksploitasi sumber kekayaan non-hayati Landas
Kontinen di luar 200 mil laut. Pembayaran atau kontribusi tersebut harus dilakukan
melaui Otorita Dasar Laut Internasional yang akan membagikannya kepada negara
peserta Konvensi didasarkan pada kriteria pembagian yang adil dengan
memperhatikan kepentingan serta kebutuhan negara-negara berkembang, khususnya
negara-negara yang perkembangannya masih paling rendah dan negara-negara
tanpa pantai.
Sekalipun Landas Kontinen pada mulanya termasuk dalam rejim Zona Ekonomi
Eksklusif, namun dalam Konvensi ini Landas Kontinen diatur dalam Bab tersendiri. Hal
ini berkaitan dengan diterimanya kriteria kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga
pinggiran luar tepian kontinen, yang memungkinkan lebar landas Kontinen melebihi
lebar Zona Ekonomi Eksklusif.

5. Laut Lepas
Berbeda dengan Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas yang menetapkan Laut
Lepas dimulai dari batas terluar Laut Teritorial, Konvensi ini menetapkan bahwa Laut
Lepas tidak mencakup Zona Ekonomi Eksklusif, laut teritorial perairan pedalaman dan
perairan kepulauan.
Kecuali perbedaan-perbedaan tersebut di atas, pada dasarnya tidak terdapat
perbedaan antara Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas dan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut mengenai hak-hak dan kebebasan-
kebebasan di Laut Lepas.
Kebebasan-kebebasan tersebut harus dilaksanakan oleh setiap negara dengan
mengindahkan hak negara lain dalam melaksanakan kebebasan di Laut Lepas. Di
samping mengatur hak-hak kebebasan-kebebasan di Laut Lepas, Konvensi ini juga
mengatur masalah konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di Laut
Lepas yang dahulu diatur dalam Konvensi Jenewa 1958 tentang Perikanan dan
konservasi sumber kekayaan hayati di Laut Lepas.

6. Rejim Pulau
Rejim Pulau diatur dalam Bab tersendiri dalam Konvensi ini yang dihubungkan dengan
masalah Laut Teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen.
Konvensi menentukan bahwa pulau/karang mempunyai Laut Teritorial, Zona Ekonomi
Eksklusif dan Landas Kontinen dengan ketentuan bahwa pulau/karang yang tidak
dapat mendukung habitat manusia atau kehidupan ekonominya sendiri, tidak
mempunyai Zona Ekonomi Eksklusif atau Landas Kontinen sendiri dan hanya berhak
mempunyai Laut Teritorial saja.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-6-

7. Rejim Laut tertutup/setengah tertutup


Penetapan lebar Laut Teritorial maksimal 12 mil laut dan Zona Ekonomi Eksklusif
yang lebarnya tidak melebihi 200 mil diukur dari garis dasar Laut Teritorial,
mengakibatkan bahwa perairan Laut tertutup/setengah tertutup yang dahulunya
merupakan Laut Lepas menjadi Laut Teritorial atau Zona Ekonomi Eksklusif negara-
negara di sekitar atau berbatasan dengan laut tertutup/setengah tertutup tersebut.
Rejim laut tertutup/setengah tertutup diatur dalam satu Bab tersendiri dalam Konvensi
ini.
Konvensi menganjurkan antara lain agar negara-negara yang berbatasan dengan Laut
tertutup/setengah tertutup mengadakan kerjasama mengenai pengelolaan, konservasi
sumber kekayaan alam hayati dan perlindungan serta pelestarian lingkungan laut
tersebut.

8. Rejim akses negara tidak berpantai ke dan dari laut serta kebebasan transit
Jika dalam Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas masalah hak akses negara
tanpa pantai diatur dalam salah satu pasal, Konvensi ini mengatur masalah rejim
akses negara tanpa pantai ke dan dari laut serta kebebasan transit melalui negara
transit secara lebih terperinci dalam satu Bab tersendiri.
Rejim ini berkaitan dengan hak negara-negara tersebut untuk ikut memanfaatkan
sumber kekayaan alam yang terkandung dalam Zona Ekonomi Eksklusif dan Kawasan
dasar laut internasional.
Sesuai ketentuan-ketentuan dalam Konvensi, pelaksanaan hak akses negara tidak
berpantai serta kebebasan transit melalui wilayah negara transit dan di Zona Ekonomi
Eksklusif perlu diatur dengan perjanjian bilateral subregional dan regional.

9. Kawasan Dasar laut Internasional


Kawasan Dasar Laut Internasional adalah dasar laut/ samudera yang terletak di luar
Landas Kontinen dan berada di bawah Laut Lepas (lihat juga uraian dalam butir 4 dan
butir 5).
Konvensi menetapkan bahwa Kawasan Dasar Laut Internasional dan kekayaan alam
yang terkandung di dasar laut dan tanah dibawahnya merupakan warisan bersama
umat manusia.
Tidak ada satu negarapun boleh menuntut atau melaksanakan kedaulatan atau hak
berdaulat atas bagian dari Kawasan Dasar Laut Internasional atau kekayaan alam
yang terdapat di dalamnya.
Demikian pula tidak satu negarapun atau badan hukum atau orang boleh
melaksanakan pemilikan atas salah satu bagian dari kawasan tersebut semua
kegiatan di Kawasan Dasar Laut Internasional dilaksanakan untuk kepentingan umat
manusia secara keseluruhan, maka pengelolaannya dilaksanakan oleh suatu badan
internasional, yaitu Otorita Dasar Laut Internasional (International Seabed Authority).
Adapun pengelolaannya didasarkan pada suatu sistem, yaitu sistem paralel, yakni
selama Perusahaan (Enterprise) sebagai wahana otorita belum dapat beroperasi
secara penuh, negara-negara peserta Konvensi termasuk perusahaan negara dan
swastanya dapat melakukan penambangan di Kawasan Dasar Laut Internasional
tersebut berdasarkan suatu hubungan kerja atau asosiasi dengan Otorita. Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut ketiga dengan suatu resolusi yaitu
Resolusi I, menetapkan pula pembentukan Komisi Persiapan (Preparatory
Commission) yang tugasnya adalah untuk mempersiapkan antara lain pembentukan
Otorita Dasar Laut Internasional dan Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut.

10. Perlindungan dan pemeliharaan lingkungan Laut


Walaupun perlahan-lahan akan tetapi pada akhirnya tumbuh kesadaran bahwa,
sekalipun laut itu sangat luas tetapi sumber-sumber kekayaan yang terkandung di
dalamnya tidak tanpa batas kelestarian. Penangkapan hidup jenis ikan selalu
mengandung sesuatu resiko bahwa kelangsungan hidup jenis ikan tersebut dapat
terancam dengan kepunahan.
Pengembangan teknologi di bidang perikanan, yang memungkinkan penangkapan
ikan dalam skala besar, dapat mengakibatkan tidak hanya kepunahan jenis-jenis ikan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-7-

akan tetapi juga kemunduran besar bagi perusahaan-perusahaan yang tergantung


dari penangkapan jenis jenis ikan tersebut.
Di samping itu tumbuh kesadaran, dalam arti keresahan, megenai kelestarian
lingkungan hidup, yang pada akhirnya menggerakkan Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk menyelenggarakan Koperensi mengenai Lingkungan Hidup di Stockholm dalam
tahun 1972 Pembuangan limbah secara tidak terkendali ke dalam lautan membawa
akibat kerusakan yang parah pada lingkungan laut.
Demikian pula, pencemaran yang diakibatkan oleh kecelakaan tangker-tangker
raksasa, seperti Torrey Canyon dalam tahun 1967 dan Amoco Caditz dalam tahun
1978, membawa kerusakan yang sangat parah pada lingkungan hidup.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan sebagaimana tersebut di atas, Konvensi
menentukan bahwa setiap negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan
melestarikan lingkungan laut. Di samping itu Konvensi juga menentukan bahwa setiap
negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber-sumber kekayaan
alamnya sesuai dengan kewajibannya untuk melindungi dan melestarikan lingkungan
laut.

11. Penelitian ilmiah kelautan


Konvensi menentukan bahwa kedaulatan negara pantai mencakup pula pengaturan
penelitian ilmiah kelautan di Laut Teritorial atau Perairan Kepulauan. Hal tersebut
berarti bahwa setiap penelitian ilmiah kelautan yang dilaksanakan dalam Laut
Teritorial/Perairan Kepulauan hanya dapat dilaksanakan dengan seizin negara pantai.
Konvensi menetapkan pula bahwa negara pantai mempunyai yurisdiksi untuk
penelitian ilmiah kelautan di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen.
Penelitian ilmiah oleh negara asing atau organisasi internasional sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Konvensi
supaya diizinkan oleh negara pantai. Untuk penelitian ilmiah kelautan yang dilakukan
di Laut Lapas berlaku kebebasan penelitian dengan ketentuan bahwa penelitian ilmiah
yang dilakukan di Landas Kontinen tunduk pada rejim penelitian Landas Kontinen.
Demikian juga bagi penelitian ilmiah di Kawasan Dasar Laut Internasional berlaku
prinsip kebebasan penelitian ilmiah yang tunduk pada rejim Kawasan Dasar Laut
Internasional.

12. Pengembangan dan Alih Teknologi


a. Negara-negara, secara langsung atau melalui organisasi internasional yang
berwenang, harus mengadakan kerjasama sesuai dengan kemampuan masing-
masing untuk secara aktif memajukan pengembangan dan pengalihan ilmu
pengetahuan dan teknologi kelautan;
b. Semua negara wajib memajukan pengembangan kemampuan ilmiah dan
teknologi kelautan negara-negara yang memerlukan bantuan teknik dalam bidang
tersebut, khususnya negara-negara berkembang, termasuk negara-negara tanpa
pantai dan yang secara geografis tidak beruntung, yang memerlukan bantuan di
bidang eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber-sumber
kekayaan laut, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, penelitian ilmiah
kelautan, dengan tujuan untuk mempercepat pembangunan sosial dan ekonomi
negara- negara berkembang.

13. Penyelesaian Sengketa


Konvensi menentukan bahwa setiap Negara Peserta Konvensi harus menyelesaikan
suatu sengketa mengenai penafsiran dan penerapan Konvensi melalui jalan damai
sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 3 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Konvensi ini mengatur sistem penyelesaian sengketa, dimana negara-negara peserta
berkewajiban untuk tunduk pada salah satu daripada lembaga penyelesaian sengketa
sebagai berikut : Mahkamah Internasional (I.C.J.), Pengadilan Internasional untuk
Hukum Laut, Arbitrasi Umum atau Arbitrasi Khusus.
Konvensi 1982 ini membentuk Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut sebagai
mahkamah tetap (standing tribunal) dan Arbitrasi Umum serta Arbitrasi Khusus
sebagai mahkamah ad hoc (ad hoc Tribunal). Setiap sengketa mengenai penafsiran
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-8-

dan penerapan Konvensi dapat diajukan untuk diselesaikan oleh salah satu dari ke
empat macam lembaga penyelesaian sengketa tersebut di atas, kecuali sengketa
mengenai penafsiran dan penerapan Bab XI Konvensi mengenai Kawasan Dasar Laut
Internasional beserta lampiran-lampiran Konvensi yang bertalian dengan masalah
Kawasan Dasar Laut Internasional, yang merupakan yurisdiksi mutlak Kamar
Sengketa Dasar Laut. Sejalan dengan masalah persiapan pembentukan organ-organ
Otorita Dasar Laut Internasional, maka pembentukan Pengadilan-Internasional untuk
Hukum Laut beserta Kamar-kamar di dalamnya harus dipersiapkan pula oleh Komisi
Persiapan sesuai dengan ketentuan Resolusi I yang diambil oleh Konperensi PBB
tentang Hukum Laut Ketiga, agar dapat segera berfungsi setelah Konvensi mulai
berlaku.

14. Ketentuan Penutup


Sebagaimana lazimnya, konvensi memuat ketentuan-ketentuan penutup yang
mengatur masalah-masalah prosedural seperti penandatanganan, pengesahan dan
konfirmasi formal, aksesi dan berlakunya Konvensi, amandemen, depositori dan lain-
lainnya. Beberapa ketentuan penutup yang penting yang terdapat pada Konvensi ini
antara lain adalah :
a. Konvensi mulai berlaku 12 bulan setelah tercapai pengesahan oleh 60 negara;
b. Konvensi ini menggantikan (prevail) Konvensi-konvensi Jenewa 1958 mengenai
Hukum Laut bagi para pihaknya;
c. Konvensi ini tidak membenarkan negara-negara mengadakan pensyaratan
(reservation) terhadap ketentuan-ketentuan dalam Konvensi pada waktu
mengesahkan karena seluruh ketentuan Konvensi ini merupakan satu paket yang
ketentuan-ketentuannya sangat erat hubungannya satu dengan yang lain, dan
oleh karena itu hanya dapat disahkan sebagai satu kebulatan yang utuh.

II. Pasal DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1985 NOMOR 3319


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 32 TAHUN 2014

TENTANG

KELAUTAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai


negara kepulauan memiliki sumber daya alam yang
melimpah yang merupakan rahmat dan karunia Tuhan
Yang Maha Esa bagi seluruh bangsa dan negara
Indonesia yang harus dikelola secara berkelanjutan untuk
memajukan kesejahteraan umum sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa wilayah laut sebagai bagian terbesar dari wilayah
Indonesia yang memiliki posisi dan nilai strategis dari
berbagai aspek kehidupan yang mencakup politik,
ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan
merupakan modal dasar pembangunan nasional;
c. bahwa pengelolaan sumber daya kelautan dilakukan
melalui sebuah kerangka hukum untuk memberikan
kepastian hukum dan manfaat bagi seluruh masyarakat
sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Kelautan;

Mengingat : Pasal 20, Pasal 22D ayat (1), Pasal 25A, dan Pasal 33 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;

Dengan …
-2-

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KELAUTAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:


1. Laut adalah ruang perairan di muka bumi yang
menghubungkan daratan dengan daratan dan bentuk-
bentuk alamiah lainnya, yang merupakan kesatuan
geografis dan ekologis beserta segenap unsur terkait, dan
yang batas dan sistemnya ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan dan hukum internasional.
2. Kelautan adalah hal yang berhubungan dengan Laut
dan/atau kegiatan di wilayah Laut yang meliputi dasar
Laut dan tanah di bawahnya, kolom air dan permukaan
Laut, termasuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
3. Pulau adalah wilayah daratan yang terbentuk secara
alamiah yang dikelilingi air dan berada di atas
permukaan air pada waktu air pasang.
4. Kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk
bagian pulau dan perairan di antara pulau-pulau
tersebut, dan lain-lain wujud alamiah yang
hubungannya satu sama lain demikian erat sehingga
pulau-pulau, perairan, dan wujud alamiah lainnya itu
merupakan satu kesatuan geografi, ekonomi,
pertahanan, dan keamanan serta politik yang hakiki atau
yang secara historis dianggap sebagai demikian.

5. Negara …
-3-

5. Negara Kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri


atas satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup
pulau-pulau lain.
6. Pembangunan Kelautan adalah pembangunan yang
memberi arahan dalam pendayagunaan sumber daya
Kelautan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi,
pemerataan kesejahteraan, dan keterpeliharaan daya
dukung ekosistem pesisir dan Laut.
7. Sumber Daya Kelautan adalah sumber daya Laut, baik
yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat
diperbaharui yang memiliki keunggulan komparatif dan
kompetitif serta dapat dipertahankan dalam jangka
panjang.
8. Pengelolaan Kelautan adalah penyelenggaraan kegiatan,
penyediaan, pengusahaan, dan pemanfaatan Sumber
Daya Kelautan serta konservasi Laut.
9. Pengelolaan Ruang Laut adalah perencanaan,
pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian ruang
Laut.
10. Pelindungan Lingkungan Laut adalah upaya sistematis
dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan Sumber
Daya Kelautan dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan di Laut yang meliputi
konservasi Laut, pengendalian pencemaran Laut,
penanggulangan bencana Kelautan, pencegahan dan
penanggulangan pencemaran, serta kerusakan dan
bencana.
11. Pencemaran Laut adalah masuk atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke
dalam lingkungan Laut oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu lingkungan Laut yang telah
ditetapkan.
12. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
13. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
14. Menteri …
-4-

14. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan


pemerintahan di bidang Kelautan.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Penyelenggaraan Kelautan dilaksanakan berdasarkan asas:


a. keberlanjutan;
b. konsistensi;
c. keterpaduan;
d. kepastian hukum;
e. kemitraan;
f. pemerataan;
g. peran serta masyarakat;
h. keterbukaan;
i. desentralisasi;
j. akuntabilitas; dan
k. keadilan.

Pasal 3

Penyelenggaraan Kelautan bertujuan untuk:


a. menegaskan Indonesia sebagai negara kepulauan berciri
nusantara dan maritim;
b. mendayagunakan Sumber Daya Kelautan dan/atau
kegiatan di wilayah Laut sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan hukum laut
internasional demi tercapainya kemakmuran bangsa dan
negara;
c. mewujudkan Laut yang lestari serta aman sebagai ruang
hidup dan ruang juang bangsa Indonesia;

d. memanfaatkan …
-5-

d. memanfaatkan Sumber Daya Kelautan secara


berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan
bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kepentingan
generasi mendatang;
e. memajukan budaya dan pengetahuan Kelautan bagi
masyarakat;
f. mengembangkan sumber daya manusia di bidang
Kelautan yang profesional, beretika, berdedikasi, dan
mampu mengedepankan kepentingan nasional dalam
mendukung Pembangunan Kelautan secara optimal dan
terpadu;
g. memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi seluruh
masyarakat sebagai negara kepulauan; dan
h. mengembangkan peran Negara Kesatuan Republik
Indonesia dalam percaturan Kelautan global sesuai
dengan hukum laut internasional untuk kepentingan
bangsa dan negara.

BAB III
RUANG LINGKUP

Pasal 4

(1) Ruang lingkup Undang-Undang ini meliputi pengaturan


penyelenggaraan Kelautan Indonesia secara terpadu dan
berkelanjutan untuk mengembangkan kemakmuran
negara.
(2) Penyelenggaraan Kelautan Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. wilayah Laut;
b. Pembangunan Kelautan;
c. Pengelolaan Kelautan;
d. pengembangan Kelautan;
e. pengelolaan ruang Laut dan pelindungan lingkungan
Laut;

f. pertahanan …
-6-

f. pertahanan, keamanan, penegakan hukum, dan


keselamatan di Laut; dan
g. tata kelola dan kelembagaan.

BAB IV
WILAYAH LAUT

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 5

(1) Indonesia merupakan negara kepulauan yang seluruhnya


terdiri atas kepulauan-kepulauan dan mencakup pulau-
pulau besar dan kecil yang merupakan satu kesatuan
wilayah, politik, ekonomi, sosial budaya, dan historis
yang batas-batas wilayahnya ditarik dari garis pangkal
kepulauan.
(2) Kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan meliputi
wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan
kepulauan, dan laut teritorial, termasuk ruang udara di
atasnya serta dasar Laut dan tanah di bawahnya,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
(3) Kedaulatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) tunduk pada ketentuan peraturan perundang-
undangan, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum Laut Tahun 1982, dan hukum
internasional yang terkait.

Pasal 6

(1) Wilayah Laut terdiri atas wilayah perairan dan wilayah


yurisdiksi serta laut lepas dan kawasan dasar laut
internasional.
(2) Negara Kesatuan Republik Indonesia berhak melakukan
pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam dan
lingkungan Laut di wilayah Laut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).

(3) Pengelolaan …
-7-

(3) Pengelolaan dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan hukum
internasional.

Bagian Kedua
Wilayah Perairan dan Wilayah Yurisdiksi

Pasal 7

(1) Wilayah perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6


ayat (1) meliputi:
a. perairan pedalaman;
b. perairan kepulauan; dan
c. laut teritorial.
(2) Wilayah yurisdiksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) meliputi:
a. Zona Tambahan;
b. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; dan
c. Landas Kontinen.
(3) Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki:
a. kedaulatan pada perairan pedalaman, perairan
Kepulauan, dan laut teritorial;
b. yurisdiksi tertentu pada Zona Tambahan; dan
c. hak berdaulat pada Zona Ekonomi Eksklusif dan
Landas Kontinen.
(4) Kedaulatan, yurisdiksi tertentu, dan hak berdaulat
di dalam wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
dan hukum internasional.

Pasal 8

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia berhak menetapkan


Zona Tambahan Indonesia hingga jarak 24 mil laut dari
garis pangkal.

(2) Di Zona …
-8-

(2) Di Zona Tambahan Indonesia berhak untuk:


a. mencegah pelanggaran ketentuan peraturan
perundang-undangan tentang bea cukai, fiskal,
imigrasi, atau saniter di dalam wilayah atau laut
teritorialnya; dan
b. menghukum pelanggaran terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a yang dilakukan di dalam
wilayah atau laut teritorialnya.
(3) Penetapan dan pengelolaan Zona Tambahan Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 9

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia berhak untuk


mengklaim Landas Kontinen di luar 200 mil laut dari
garis pangkal.
(2) Batas Landas Kontinen di luar 200 mil laut dari garis
pangkal harus disampaikan dan dimintakan rekomendasi
kepada Komisi Batas-Batas Landas Kontinen
Perserikatan Bangsa-Bangsa sebelum ditetapkan sebagai
Landas Kontinen Indonesia oleh Pemerintah.
(3) Landas Kontinen di luar 200 mil laut yang telah
ditetapkan harus dikelola sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan hukum laut
internasional.

Bagian Ketiga
Laut Lepas dan
Kawasan Dasar Laut Internasional

Pasal 10

(1) Laut lepas merupakan bagian dari Laut yang tidak


termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif, laut teritorial,
perairan kepulauan, dan perairan pedalaman.

(2) Kawasan …
-9-

(2) Kawasan Dasar Laut Internasional merupakan dasar


Laut serta tanah di bawahnya yang terletak di luar batas-
batas yurisdiksi nasional.

Pasal 11

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia berhak melakukan


konservasi dan pengelolaan sumber daya hayati di laut
lepas.
(2) Di laut lepas Pemerintah wajib:
a. memberantas kejahatan internasional;
b. memberantas siaran gelap;
c. melindungi kapal nasional, baik di bidang teknis,
administratif, maupun sosial;
d. melakukan pengejaran seketika;
e. mencegah dan menanggulangi Pencemaran Laut
dengan bekerja sama dengan negara atau lembaga
internasional terkait; dan
f. berpartisipasi dalam pengelolaan perikanan melalui
forum pengelolaan perikanan regional dan
internasional.
(3) Pemberantasan kejahatan internasional di laut lepas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan
melalui kerja sama dengan negara lain.
(4) Konservasi dan pengelolaan sumber daya hayati
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
dan hukum internasional.

Pasal 12

(1) Di Kawasan Dasar Laut Internasional sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), Pemerintah berwenang
membuat perjanjian atau bekerja sama dengan lembaga
internasional terkait.
(2) Perjanjian atau kerja sama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan hukum laut internasional.

BAB V …
- 10 -

BAB V
PEMBANGUNAN KELAUTAN

Pasal 13

(1) Pembangunan Kelautan dilaksanakan sebagai bagian


dari pembangunan nasional untuk mewujudkan
Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju,
kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional.
(2) Pembangunan Kelautan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diselenggarakan melalui perumusan dan
pelaksanaan kebijakan:
a. pengelolaan Sumber Daya Kelautan;
b. pengembangan sumber daya manusia;
c. pertahanan, keamanan, penegakan hukum, dan
keselamatan di laut;
d. tata kelola dan kelembagaan;
e. peningkatan kesejahteraan;
f. ekonomi kelautan;
g. pengelolaan ruang Laut dan pelindungan lingkungan
Laut; dan
h. budaya bahari.
(3) Proses penyusunan kebijakan Pembangunan Kelautan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sebagai berikut:
a. Pemerintah menetapkan kebijakan Pembangunan
Kelautan terpadu jangka panjang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. Pemerintah menetapkan kebijakan Pembangunan
Kelautan terpadu jangka menengah dan jangka
pendek; dan
c. Kebijakan Pembangunan Kelautan dijabarkan
ke dalam program setiap sektor dalam rencana
pembangunan dan pengelolaan Sumber Daya
Kelautan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan
Pembangunan Kelautan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VI …
- 11 -

BAB VI
PENGELOLAAN KELAUTAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 14

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan


kewenangannya melakukan Pengelolaan Kelautan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui
pemanfaatan dan pengusahaan Sumber Daya Kelautan
dengan menggunakan prinsip ekonomi biru.
(2) Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat meliputi:
a. perikanan;
b. energi dan sumber daya mineral;
c. sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil; dan
d. sumber daya nonkonvensional.
(3) Pengusahaan Sumber Daya Kelautan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. industri Kelautan;
b. wisata bahari;
c. perhubungan Laut; dan
d. bangunan Laut.

Pasal 15

(1) Dalam rangka pemanfaatan dan pengusahaan Sumber


Daya Kelautan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14,
Pemerintah menetapkan kebijakan ekonomi Kelautan.
(2) Kebijakan ekonomi Kelautan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bertujuan untuk menjadikan Kelautan
sebagai basis pembangunan ekonomi.

(3) Basis …
- 12 -

(3) Basis pembangunan ekonomi sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) dilaksanakan melalui penciptaan usaha
yang sehat dan peningkatan kesejahteraan rakyat,
terutama masyarakat pesisir dengan mengembangkan
kegiatan ekonomi produktif, mandiri, dan mengutamakan
kepentingan nasional.
(4) Untuk menjadikan Kelautan sebagai basis pembangunan
ekonomi bangsa sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pemerintah wajib menyertakan luas wilayah laut sebagai
dasar pengalokasian anggaran Pembangunan Kelautan.
(5) Anggaran Pembangunan Kelautan berasal dari anggaran
pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran
pendapatan dan belanja daerah.

Bagian Kedua
Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan

Paragraf 1
Perikanan

Pasal 16

Pemerintah mengatur pengelolaan sumber daya ikan di


wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi serta menjalankan
pengaturan sumber daya ikan di Laut lepas berdasarkan
kerja sama dengan negara lain dan hukum internasional.

Pasal 17

(1) Pemerintah mengoordinasikan pengelolaan sumber daya


ikan serta memfasilitasi terwujudnya industri perikanan.
(2) Dalam memfasilitasi terwujudnya industri perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
bertanggung jawab:
a. menjaga kelestarian sumber daya ikan;
b. menjamin iklim usaha yang kondusif bagi
pembangunan perikanan; dan

c. melakukan …
- 13 -

c. melakukan perluasan kesempatan kerja dalam


rangka meningkatkan taraf hidup nelayan dan
pembudidaya ikan.

Pasal 18

Untuk kepentingan distribusi hasil perikanan, Pemerintah


mengatur sistem logistik ikan nasional.

Pasal 19

(1) Dalam rangka peningkatan usaha perikanan, pihak


perbankan bertanggung jawab dalam pendanaan
suprastruktur usaha perikanan.
(2) Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam undang-undang tersendiri.

Paragraf 2
Energi dan Sumber Daya Mineral

Pasal 20

(1) Pemerintah mengembangkan dan memanfaatkan energi


terbarukan yang berasal dari Laut dan ditetapkan dalam
kebijakan energi nasional.
(2) Pemerintah memfasilitasi pengembangan dan
pemanfaatan energi terbarukan yang berasal dari Laut di
daerah dengan memperhatikan potensi daerah.

Pasal 21

(1) Pemerintah mengatur dan menjamin pemanfaatan


sumber daya mineral yang berasal dari Laut, dasar Laut,
dan tanah dibawahnya untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
(2) Pengaturan pemanfaatan sumber daya mineral
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dan hukum
internasional.

Paragraf 3 …
- 14 -

Paragraf 3
Sumber Daya Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil

Pasal 22

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan


kewenangannya bertanggung jawab mengelola dan
memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau
kecil.
(2) Pengelolaan dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bertujuan:
a. melindungi, mengonservasi, merehabilitasi,
memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir
dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara
berkelanjutan;
b. menciptakan keharmonisan dan sinergi antara
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam
pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau
kecil;
c. memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga
pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat
dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-
pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan,
dan berkelanjutan; dan
d. meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya
masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam
pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau
kecil.
(3) Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir dan
pulau-pulau kecil yang meliputi sumber daya hayati,
sumber daya nonhayati, sumber daya buatan, dan jasa
lingkungan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Paragraf 4 …
- 15 -

Paragraf 4
Sumber Daya Alam Nonkonvensional

Pasal 23

(1) Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam


nonkonvensional Kelautan dilakukan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
(2) Pengelolaan dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan dengan berdasarkan pada
prinsip pelestarian lingkungan.

Pasal 24

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat


bertanggung jawab melaksanakan pelindungan,
pemanfaatan, dan pengembangan sumber daya
nonkonvensional di bidang Kelautan.
(2) Pelindungan, pemanfaatan, dan pengembangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan hukum laut internasional.

Bagian Ketiga
Pengusahaan Sumber Daya Kelautan

Paragraf 1
Industri Kelautan

Pasal 25

(1) Pengusahaan Sumber Daya Kelautan yang dilakukan


melalui pengelolaan dan pengembangan industri
Kelautan merupakan bagian yang integral dari kebijakan
pengelolaan dan pengembangan industri nasional.
(2) Industri Kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi industri bioteknologi, industri maritim, dan jasa
maritim.

(3) Pengelolaan …
- 16 -

(3) Pengelolaan dan pengembangan industri Kelautan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi prasarana
dan sarana, riset ilmu pengetahuan dan teknologi,
inovasi, sumber daya manusia, serta industri kreatif dan
pembiayaan.
(4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya wajib melakukan pembinaan terhadap
peningkatan kualitas dan kuantitas pendukung industri
Kelautan berskala usaha mikro kecil menengah dalam
rangka menunjang ekonomi rakyat.

Pasal 26

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab


mengembangkan dan meningkatkan industri bioteknologi
Kelautan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2).
(2) Industri bioteknologi Kelautan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan memanfaatkan potensi
keanekaragaman hayati.
(3) Industri bioteknologi Kelautan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bertujuan untuk:
a. mencegah punahnya biota Laut akibat eksplorasi
berlebih;
b. menghasilkan berbagai produk baru yang mempunyai
nilai tambah;
c. mengurangi ketergantungan impor dengan
memproduksi berbagai produk substitusi impor;
d. mengembangkan teknologi ramah lingkungan pada
setiap industri bioteknologi Kelautan; dan
e. mengembangkan sistem pengelolaan sumber daya
Laut secara berkesinambungan.

Pasal 27

(1) Industri maritim dan jasa maritim sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dilaksanakan
berdasarkan pada kebijakan Pembangunan Kelautan.

(2) Dalam …
- 17 -

(2) Dalam rangka keberlanjutan industri maritim dan jasa


maritim untuk kesejahteraan rakyat, digunakan
kebijakan ekonomi Kelautan.
(3) Industri maritim sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa:
a. galangan kapal;
b. pengadaaan dan pembuatan suku cadang;
c. peralatan kapal; dan/atau
d. perawatan kapal.
(4) Jasa maritim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa:
a. pendidikan dan pelatihan;
b. pengangkatan benda berharga asal muatan kapal
tenggelam;
c. pengerukan dan pembersihan alur pelayaran;
d. reklamasi;
e. pencarian dan pertolongan;
f. remediasi lingkungan;
g. jasa konstruksi; dan/atau
h. angkutan sungai, danau, penyeberangan, dan
antarpulau.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai industri maritim dan
jasa maritim diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 2
Wisata Bahari

Pasal 28

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan


kewenangannya memfasilitasi pengembangan potensi
wisata bahari dengan mengacu pada kebijakan
pengembangan pariwisata nasional.
(2) Keberlanjutan wisata bahari sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditujukan untuk kesejahteraan rakyat.

(3) Pengembangan …
- 18 -

(3) Pengembangan wisata bahari dilaksanakan dengan


mempertimbangkan aspek kepentingan masyarakat lokal
dan kearifan lokal serta harus memperhatikan kawasan
konservasi perairan.
(4) Pengembangan dan peningkatan wisata bahari
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Paragraf 3
Perhubungan Laut

Pasal 29

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan


kewenangannya mengembangkan potensi dan
meningkatkan peran perhubungan laut.
(2) Dalam pengembangan potensi dan peningkatan peran
perhubungan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah mengembangkan dan menetapkan tatanan
kepelabuhanan dan sistem pelabuhan yang andal.
(3) Tatanan kepelabuhanan yang andal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) meliputi penentuan lokasi
pelabuhan lautdalam yang dapat melayani kapal generasi
mutakhir dan penetapan pelabuhan hub.
(4) Sistem pelabuhan yang andal sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) bercirikan:
a. efisien dan berstandar internasional;
b. bebas monopoli;
c. mendukung konektivitas antarpulau, termasuk
antara pulau-pulau kecil terluar dengan pulau
induknya;
d. ketersediaan fasilitas kepelabuhanan di pulau-pulau
kecil terluar;
e. ketersediaan fasilitas kepelabuhanan, termasuk
fasilitas lingkungan dan pencegahan pencemaran
lingkungan; dan
f. keterpaduan antara terminal dan kapal.

Pasal 30 …
- 19 -

Pasal 30

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan


kewenangannya wajib mengembangkan dan
meningkatkan penggunaan angkutan perairan dalam
rangka konektivitas antarwilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
(2) Dalam rangka pengembangan dan peningkatan angkutan
perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah melaksanakan kebijakan pengembangan
armada nasional.
(3) Pemerintah mengatur kebijakan sumber pembiayaan dan
perpajakan yang berpihak pada kemudahan
pengembangan sarana prasarana perhubungan laut serta
infrastruktur dan suprastruktur kepelabuhanan.
(4) Pemerintah memfasilitasi sumber pembiayaan usaha
perhubungan laut melalui kebijakan perbankan nasional.

Pasal 31

Pengembangan potensi perhubungan laut sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30 dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 4
Bangunan Laut

Pasal 32

(1) Dalam rangka keselamatan pelayaran semua bentuk


bangunan dan instalasi di Laut tidak mengganggu, baik
Alur Pelayaran maupun Alur Laut Kepulauan Indonesia.
(2) Area operasi dari bangunan dan instalasi di Laut tidak
melebihi daerah keselamatan yang telah ditentukan.
(3) Penggunaan area operasional dari bangunan dan
instalasi di Laut yang melebihi daerah keselamatan yang
telah ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus mendapatkan izin dari pihak yang berwenang.

(4) Pendirian …
- 20 -

(4) Pendirian dan/atau penempatan bangunan Laut wajib


mempertimbangkan kelestarian sumber daya pesisir dan
pulau-pulau kecil.
(5) Ketentuan mengenai kriteria, persyaratan, dan
mekanisme pendirian dan/atau penempatan bangunan
di Laut diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 33

Pemerintah bertanggung jawab melakukan pengawasan


terhadap aktivitas pembongkaran bangunan dan instalasi di
Laut yang sudah tidak berfungsi.

BAB VII
PENGEMBANGAN KELAUTAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 34

Pengembangan Kelautan meliputi:


a. pengembangan sumber daya manusia;
b. riset ilmu pengetahuan dan teknologi;
c. sistem informasi dan data Kelautan; dan
d. kerja sama Kelautan.

Bagian Kedua
Pengembangan Sumber Daya Manusia

Pasal 35

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan


kewenangannya bertanggung jawab menyelenggarakan
pengembangan sumber daya manusia melalui
pendidikan.

(2) Penyelenggaraan …
- 21 -

(2) Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan berbagai pihak,
baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat
internasional yang berbasis kompetensi pada bidang
Kelautan.
(3) Penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 36

(1) Dalam pengembangan sumber daya manusia


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pemerintah
menetapkan kebijakan pengembangan sumber daya
manusia dan kebijakan budaya bahari.
(2) Kebijakan pengembangan sumber daya manusia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. peningkatan jasa di bidang Kelautan yang diimbangi
dengan ketersediaan lapangan kerja;
b. pengembangan standar kompetensi sumber daya
manusia di bidang Kelautan;
c. peningkatan dan penguatan peranan ilmu
pengetahuan dan teknologi, riset, dan pengembangan
sistem informasi Kelautan;
d. peningkatan gizi masyarakat Kelautan; dan
e. peningkatan pelindungan ketenagakerjaan.
(3) Kebijakan budaya bahari sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui:
a. peningkatan pendidikan dan penyadaran masyarakat
tentang Kelautan yang diwujudkan melalui semua
jalur, jenis, dan jenjang pendidikan;
b. identifikasi dan inventarisasi nilai budaya dan sistem
sosial Kelautan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagai bagian dari sistem kebudayaan
nasional; dan
c. pengembangan teknologi dengan tetap
mempertimbangkan kearifan lokal.

(4) Ketentuan …
- 22 -

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan budaya


bahari sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Riset Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Pasal 37

(1) Untuk meningkatkan kualitas perencanaan


Pembangunan Kelautan, Pemerintah dan Pemerintah
Daerah mengembangkan sistem penelitian,
pengembangan, serta penerapan ilmu pengetahuan dan
teknologi Kelautan yang merupakan bagian integral dari
sistem nasional penelitian pengembangan penerapan
teknologi.
(2) Dalam mengembangkan sistem penelitian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah memfasilitasi
pendanaan, pengadaan, perbaikan, penambahan sarana
dan prasarana, serta perizinan untuk penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Kelautan, baik secara mandiri maupun kerja sama lintas
sektor dan antarnegara.
(3) Sistem penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak termasuk penelitian yang bersifat komersial.
(4) Pelaksanaan sistem penelitian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 38

(1) Pemerintah bekerja sama dengan Pemerintah Daerah


membentuk pusat fasilitas Kelautan yang meliputi
fasilitas pendidikan, pelatihan, dan penelitian yang
dilengkapi dengan prasarana kapal latih dan kapal
penelitian serta tenaga fungsional peneliti.
(2) Ketentuan mengenai pembentukan pusat fasilitas
Kelautan serta tugas, kewenangannya, dan
pembiayaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 39 …
- 23 -

Pasal 39

(1) Pemerintah mengatur pelaksanaan penelitian ilmiah


Kelautan dalam rangka kerja sama penelitian dengan
pihak asing.
(2) Hasil pelaksanaan kerja sama penelitian dengan pihak
asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilaporkan kepada Pemerintah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat
Sistem Informasi dan Data Kelautan

Pasal 40

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menghimpun,


menyusun, mengelola, memelihara, dan mengembangkan
sistem informasi dan data Kelautan dari berbagai sumber
bagi kepentingan Pembangunan Kelautan nasional
berdasarkan prinsip keterbukaan informasi publik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Sistem informasi dan data Kelautan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi 3 (tiga) kategori:
a. hasil penelitian ilmiah Kelautan yang berupa data
numerik beserta analisisnya;
b. hasil penelitian yang berupa data spasial beserta
analisisnya; dan
c. pengelolaan Sumber Daya Kelautan, konservasi
perairan, dan pengembangan teknologi Kelautan.
(3) Sistem informasi dan data Kelautan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dan data terkait sistem
keamanan laut disimpan, dikelola, dimutakhirkan,
dikoordinasikan, dan diintegrasikan oleh
kementerian/lembaga yang ditunjuk sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Sistem …
- 24 -

(4) Sistem informasi dan data Kelautan hasil penelitian


berupa data yang perlu dibuat peta sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c disimpan,
dikelola, dimutakhirkan, serta dikoordinasikan oleh
lembaga penelitian negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Bagian Kelima
Kerja Sama Kelautan

Pasal 41

(1) Kerja sama di bidang Kelautan dapat dilaksanakan pada


tingkat nasional dan internasional dengan
mengutamakan kepentingan nasional bagi kemandirian
bangsa.
(2) Kerja sama pada tingkat nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan dalam rangka sinergi:
a. antarsektor;
b. antara pusat dan daerah;
c. antarpemerintah daerah; dan
d. antarpemangku kepentingan.
(3) Kerja sama bidang Kelautan pada tingkat internasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
secara bilateral, regional, atau multilateral.
(4) Kerja sama pada tingkat internasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum
laut internasional.
(5) Pemerintah mendorong aktivitas eksplorasi,
pemanfaatan, dan pengelolaan Sumber Daya Kelautan di
laut lepas sesuai dengan ketentuan hukum laut
internasional.

BAB VIII …
- 25 -

BAB VIII
PENGELOLAAN RUANG LAUT
DAN PELINDUNGAN LINGKUNGAN LAUT

Bagian Kesatu
Pengelolaan Ruang Laut

Pasal 42

(1) Pengelolaan ruang Laut dilakukan untuk:


a. melindungi sumber daya dan lingkungan dengan
berdasar pada daya dukung lingkungan dan kearifan
lokal;
b. memanfaatkan potensi sumber daya dan/atau
kegiatan di wilayah Laut yang berskala nasional dan
internasional; dan
c. mengembangkan kawasan potensial menjadi pusat
kegiatan produksi, distribusi, dan jasa.
(2) Pengelolaan ruang Laut meliputi perencanaan,
pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian.
(3) Pengelolaan ruang Laut sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan dengan berdasarkan karakteristik
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara
kepulauan dan mempertimbangkan potensi sumber daya
dan lingkungan Kelautan.

Pasal 43

(1) Perencanaan ruang Laut sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 42 ayat (2) meliputi:
a. perencanaan tata ruang Laut nasional;
b. perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil; dan
c. perencanaan zonasi kawasan Laut.
(2) Perencanaan tata ruang Laut nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan proses
perencanaan untuk menghasilkan rencana tata ruang
Laut nasional.

(3) Perencanaan …
- 26 -

(3) Perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau


kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Perencanaan zonasi kawasan Laut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan perencanaan
untuk menghasilkan rencana zonasi kawasan strategis
nasional, rencana zonasi kawasan strategis nasional
tertentu, dan rencana zonasi kawasan antarwilayah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan ruang Laut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 44

(1) Pemanfaatan ruang Laut sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 42 ayat (2) dilakukan melalui:
a. perumusan kebijakan strategis operasionalisasi
rencana tata ruang Laut nasional dan rencana zonasi
kawasan Laut;
b. perumusan program sektoral dalam rangka
perwujudan rencana tata ruang Laut nasional dan
rencana zonasi kawasan Laut; dan
c. pelaksanaan program strategis dan sektoral dalam
rangka mewujudkan rencana tata ruang Laut
nasional dan zonasi kawasan Laut.
(2) Pemanfaatan ruang Laut di wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 45

(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat


(2) dilakukan melalui tindakan pemantauan, evaluasi,
dan pelaporan.
(2) Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 46 …
- 27 -

Pasal 46

Pengendalian pemanfaatan ruang Laut sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) dilakukan melalui
perizinan, pemberian insentif, dan pengenaan sanksi.

Pasal 47

(1) Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut


secara menetap di wilayah perairan dan wilayah
yurisdiksi wajib memiliki izin lokasi.
(2) Izin lokasi yang berada di wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut
secara menetap di wilayah perairan dan wilayah
yurisdiksi yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan
dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penutupan lokasi;
d. pencabutan izin;
e. pembatalan izin; dan/atau
f. denda administratif.
(4) Ketentuan mengenai izin lokasi di Laut yang berada di
wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan tata cara pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 48

Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut


sesuai dengan rencana zonasi dapat diberi insentif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 49 …
- 28 -

Pasal 49

Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut


secara menetap yang tidak memiliki izin lokasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).

Bagian Kedua
Pelindungan Lingkungan Laut

Pasal 50

Pemerintah melakukan upaya pelindungan lingkungan Laut


melalui:
a. konservasi Laut;
b. pengendalian Pencemaran Laut;
c. penanggulangan bencana Kelautan; dan
d. pencegahan dan penanggulangan pencemaran,
kerusakan, dan bencana.

Pasal 51

(1) Pemerintah menetapkan kebijakan konservasi Laut


sebagai bagian yang integral dengan Pelindungan
Lingkungan Laut.
(2) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya memiliki hak pengelolaan atas kawasan
konservasi Laut sebagai bagian dari pelaksanaan
kebijakan Pelindungan Lingkungan Laut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Kebijakan konservasi Laut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilaksanakan secara lintas sektor dan
lintas kawasan untuk mendukung Pelindungan
Lingkungan Laut.
(4) Setiap sektor yang melaksanakan pembangunan di
wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi harus
memperhatikan kawasan konservasi.

(5) Kebijakan …
- 29 -

(5) Kebijakan dan pengelolaan konservasi Laut dilaksanakan


sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 52

(1) Pencemaran Laut meliputi:


a. pencemaran yang berasal dari daratan;
b. pencemaran yang berasal dari kegiatan di Laut; dan
c. pencemaran yang berasal dari kegiatan dari udara.
(2) Pencemaran Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat terjadi:
a. di wilayah perairan atau wilayah yurisdiksi;
b. dari luar wilayah perairan atau dari luar wilayah
yurisdiksi; atau
c. dari dalam wilayah perairan atau wilayah yurisdiksi
ke luar wilayah yurisdiksi Indonesia.
(3) Proses penyelesaian sengketa dan penerapan sanksi
Pencemaran Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dilaksanakan berdasarkan prinsip pencemar
membayar dan prinsip kehati-hatian.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses penyelesaian dan
sanksi terhadap Pencemaran Laut dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 53

(1) Bencana Kelautan dapat berupa bencana yang


disebabkan:
a. fenomena alam;
b. pencemaran lingkungan; dan/atau
c. pemanasan global.
(2) Bencana Kelautan yang disebabkan oleh fenomena alam
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat
berupa:
a. gempa bumi;
b. tsunami;
c. rob …
- 30 -

c. rob;
d. angin topan; dan
e. serangan hewan secara musiman.
(3) Bencana Kelautan yang disebabkan oleh pencemaran
lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dapat berupa:
a. fenomena pasang merah (red tide);
b. pencemaran minyak;
c. pencemaran logam berat;
d. dispersi thermal; dan
e. radiasi nuklir.
(4) Bencana Kelautan yang disebabkan oleh pemanasan
global sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat
berupa:
a. kenaikan suhu;
b. kenaikan muka air Laut; dan/atau
c. el nino dan la nina.

Pasal 54

(1) Dalam mengantisipasi Pencemaran Laut dan bencana


Kelautan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan
Pasal 53, Pemerintah menetapkan kebijakan
penanggulangan dampak Pencemaran Laut dan bencana
Kelautan.
(2) Kebijakan penanggulangan dampak Pencemaran Laut
dan bencana Kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan melalui:
a. pengembangan sistem mitigasi bencana;
b. pengembangan sistem peringatan dini (early warning
system);
c. pengembangan perencanaan nasional tanggap
darurat tumpahan minyak di Laut;

d. pengembangan …
- 31 -

d. pengembangan sistem pengendalian pencemaran Laut


dan kerusakan ekosistem Laut; dan
e. pengendalian dampak sisa-sisa bangunan di Laut dan
aktivitas di Laut.

Pasal 55

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib


menyelenggarakan sistem pencegahan dan
penanggulangan pencemaran dan kerusakan lingkungan
Laut.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah
wajib menyelenggarakan sistem pencegahan dan
penanggulangan bencana Kelautan sebagai bagian
yang terintegrasi dengan sistem pencegahan dan
penanggulangan bencana nasional.

Pasal 56

(1) Pemerintah bertanggung jawab dalam melindungi dan


melestarikan lingkungan Laut.
(2) Pelindungan dan pelestarian lingkungan Laut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
pencegahan, pengurangan, dan pengendalian lingkungan
Laut dari setiap Pencemaran Laut serta penanganan
kerusakan lingkungan Laut.
(3) Pemerintah bekerja sama, baik bilateral, regional,
maupun multilateral dalam melaksanakan pencegahan,
pengurangan, dan pengendalian sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).

Pasal 57

Pelindungan dan pelestarian lingkungan Laut sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 56 dilaksanakan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum laut
internasional.

BAB IX …
- 32 -

BAB IX
PERTAHANAN, KEAMANAN, PENEGAKAN HUKUM,
DAN KESELAMATAN DI LAUT

Pasal 58

(1) Untuk mengelola kedaulatan negara, mempertahankan


keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap
keutuhan bangsa dan negara di wilayah Laut, dibentuk
sistem pertahanan laut.
(2) Sistem pertahanan laut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diselenggarakan oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia.
(3) Sistem pertahanan laut sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 59

(1) Penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia,


dasar Laut, dan tanah di bawahnya, termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas
pelanggarannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan hukum
internasional.
(2) Yurisdiksi dalam penegakan kedaulatan dan hukum
terhadap kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial
dan perairan kepulauan Indonesia dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
hukum internasional.
(3) Dalam rangka penegakan hukum di wilayah perairan dan
wilayah yurisdiksi, khususnya dalam melaksanakan
patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan
dan wilayah yurisdiksi Indonesia, dibentuk Badan
Keamanan Laut.

Pasal 60 …
- 33 -

Pasal 60

Badan Keamanan Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal


59 ayat (3) merupakan lembaga pemerintah nonkementerian
yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab
langsung kepada Presiden melalui menteri yang
mengoordinasikannya.

Pasal 61

Badan Keamanan Laut mempunyai tugas melakukan patroli


keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia
dan wilayah yurisdiksi Indonesia.

Pasal 62

Dalam melaksanakan tugas, Badan Keamanan Laut


menyelenggarakan fungsi:
a. menyusun kebijakan nasional di bidang keamanan dan
keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah
yurisdiksi Indonesia;
b. menyelenggarakan sistem peringatan dini keamanan dan
keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah
yurisdiksi Indonesia;
c. melaksanakan penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan
penindakan pelanggaran hukum di wilayah perairan
Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia;
d. menyinergikan dan memonitor pelaksanaan patroli
perairan oleh instansi terkait;
e. memberikan dukungan teknis dan operasional kepada
instansi terkait;
f. memberikan bantuan pencarian dan pertolongan di
wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi
Indonesia; dan
g. melaksanakan tugas lain dalam sistem pertahanan
nasional.

Pasal 63 …
- 34 -

Pasal 63

(1) Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 61 dan Pasal 62, Badan
Keamanan Laut berwenang:
a. melakukan pengejaran seketika;
b. memberhentikan, memeriksa, menangkap, membawa,
dan menyerahkan kapal ke instansi terkait yang
berwenang untuk pelaksanaan proses hukum lebih
lanjut; dan
c. mengintegrasikan sistem informasi keamanan dan
keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan
wilayah yurisdiksi Indonesia.
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan secara terintegrasi dan terpadu dalam satu
kesatuan komando dan kendali.

Pasal 64

Kebijakan nasional di bidang keamanan dan keselamatan di


wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf a ditetapkan
oleh Presiden.

Pasal 65

(1) Badan Keamanan Laut dipimpin oleh seorang kepala dan


dibantu oleh sekretaris utama dan beberapa deputi.
(2) Kepala Badan Keamanan Laut dijabat oleh personal dari
instansi penegak hukum yang memiliki kekuatan armada
patroli.
(3) Kepala Badan Keamanan Laut diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden.

Pasal 66

Personal Badan Keamanan Laut terdiri atas:


a. pegawai tetap; dan
b. pegawai perbantuan.

Pasal 67 …
- 35 -

Pasal 67

Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur organisasi, tata


kerja, dan personal Badan Keamanan Laut diatur dengan
Peraturan Presiden.

Pasal 68

Peraturan Presiden tentang struktur organisasi, tata kerja,


dan personal Badan Keamanan Laut harus sudah ditetapkan
dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak Undang-
Undang ini ditetapkan.

BAB X
TATA KELOLA DAN KELEMBAGAAN LAUT

Pasal 69

(1) Pemerintah menetapkan kebijakan tata kelola dan


kelembagaan Laut.
(2) Kebijakan tata kelola dan kelembagaan Laut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rencana
pembangunan sistem hukum dan tata pemerintahan
serta sistem perencanaan, koordinasi, pemonitoran, dan
evaluasi Pembangunan Kelautan yang efektif dan efisien.
(3) Dalam menyusun kebijakan tata kelola dan kelembagaan
Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
melakukan penataan hukum laut dalam suatu sistem
hukum nasional, baik melalui aspek publik maupun
aspek perdata dengan memperhatikan hukum
internasional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan tata kelola
dan kelembagaan Laut sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB XI …
- 36 -

BAB XI
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 70

(1) Penyelenggaraan Pembangunan Kelautan dilakukan oleh


Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan melibatkan
peran serta masyarakat.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok,
organisasi profesi, badan usaha, atau organisasi
kemasyarakatan lain sesuai dengan prinsip keterbukaan
dan kemitraan.
(3) Peran serta masyarakat dalam Pembangunan Kelautan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
partisipasi dalam:
a. penyusunan kebijakan Pembangunan Kelautan;
b. Pengelolaan Kelautan;
c. pengembangan Kelautan; dan
d. memberikan masukan dalam kegiatan evaluasi dan
pengawasan.
(4) Peran serta masyarakat selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dapat dilakukan melalui partisipasi dalam:
a. melestarikan nilai budaya dan wawasan bahari serta
merevitalisasi hukum adat dan kearifan lokal di
bidang Kelautan; atau
b. pelindungan dan sosialisasi peninggalan budaya
bawah air melalui usaha preservasi, restorasi, dan
konservasi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara
peran serta masyarakat dalam Pembangunan Kelautan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

BAB XII …
- 37 -

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 71

(1) Badan Koordinasi Keamanan Laut tetap menjalankan


tugas dan fungsinya sampai dengan terbentuknya Badan
Keamanan Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
ayat (3).
(2) Sebelum terbentuknya Badan Keamanan Laut, kegiatan
dan program kerja yang dilaksanakan oleh Badan
Koordinasi Keamanan Laut disesuaikan dengan Undang-
Undang ini.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 72

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan


mengenai pembentukan badan koordinasi sebagaimana
diatur dalam Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647) dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 73

Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah


ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya
undang-undang ini.

Pasal 74
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

Agar …
- 38 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 17 Oktober 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 294


PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 32 TAHUN 2014

TENTANG

KELAUTAN

I. UMUM
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan
potensid an kekayaan alam yang berlimpah sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa memiliki makna yang sangat penting bagi bangsa Indonesia
sebagai ruang hidup (lebenstraum) dan ruang juang serta media pemersatu
yang menghubungkan pulau-pulau dalam satu kesatuan ideologi, politik,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan dalam suatu wadah
ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dua pertiga dari wilayah Indonesia merupakan Laut dan merupakan
salah satu negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia.
Di samping itu, secara geografis Indonesia terletak diantara dua benua,
yaitu Benua Asia dan Benua Australia dan dua Samudera, yaitu Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik yang merupakan kawasan paling dinamis
dalam percaturan, baik secara ekonomis maupun politik. Letak geografis
yang strategis tersebut menjadikan Indonesia memiliki keunggulan serta
sekaligus ketergantungan yang tinggi terhadap bidang Kelautan.
Di samping keunggulan yang bersifat komparatif berdasarkan letak
geografis, potensi sumber daya alam di wilayah Laut mengandung sumber
daya hayati ataupun nonhayati yang sangat bermanfaat bagi
kelangsungan hidup masyarakat. Potensi tersebut dapat diperoleh dari
dasar Laut dan tanah di bawahnya, kolom air dan permukaan Laut,
termasuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sangat logis jika ekonomi
Kelautan dijadikan tumpuan bagi pembangunan ekonomi nasional. Oleh
karena itu, Laut Indonesia harus dikelola, dijaga, dimanfaatkan, dan
dilestarikan oleh masyarakat Indonesia sesuai dengan yang diamanatkan
dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Selain kekayaan yang ada, keunggulan komparatif yang dimiliki
perlu dijabarkan menjadi kekayaan yang komparatif.

Dalam …
-2-

Dalam perjalanannya negara Indonesia mengalami 3 (tiga) momen


yang menjadi pilar dalam memperkukuh keberadaan Indonesia menjadi
suatu negara yang merdeka dan negara yang didasarkan atas Kepulauan
sehingga diakui oleh dunia, yaitu:
1. Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang menyatakan
kesatuan kejiwaan kebangsaan Indonesia.
2. Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 yang
menyatakan bahwa rakyat Indonesia telah menjadi satu bangsa yang
ingin hidup dalam satu kesatuan kenegaraan; dan
3. Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957 yang menyatakan bahwa
Indonesia mulai memperjuangkan kesatuan kewilayahan dan
pengakuan secara de jure yang tertuang dalam Konvensi Perserikatan
Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut 1982 (United Nations Convention
on the Law of the Sea/UNCLOS 1982) dan yang diratifikasi oleh
Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985.
Pada saat Republik Indonesia diproklamasikan berdasarkan
Peraturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,
lebar laut teritorial berdasarkan Teritoriale Zee en Maritime Kringen
Ordonantie (TZMKO) Tahun 1939 adalah bahwa lebar laut teritorial
Indonesia hanya meliputi jalur-jalur Laut yang mengelilingi setiap pulau
atau bagian pulau Indonesia yang lebarnya hanya 3 mil laut. Hal itu
berarti bahwa diantara pulau-pulau Jawa dan Kalimantan serta antara
Nusa Tenggara dan Sulawesi terdapat laut lepas. Pada saat kemerdekaan
batas wilayah Indonesia tidak jelas karena Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 tidak menunjuk wilayah negara Indonesia
secara nyata. Wilayah negara Indonesia pada saat diproklamasikan
menjadi negara yang merdeka dan berdaulat dalam wilayah negara bekas
jajahan atau kekuasaan Hindia Belanda. Hal itu sejalan dengan prinsip
hukum internasional uti posidetis juris. Selain itu, Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mengatur kedudukan laut
teritorial.
Kondisi kewilayahan seperti tertuang dalam TZMKO tahun 1939
dinilai kurang menguntungkan serta menyulitkan Indonesia dalam segi
pertahanan. Oleh sebab itu, dilakukan upaya untuk mewujudkan
kesatuan wilayah kepulauan nusantara yang merupakan kesatuan dari
wilayah darat, Laut, termasuk dasar Laut di bawahnya, udara di atasnya,
dan seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya merupakan suatu
kesatuan kewilayahan.

Perjuangan …
-3-

Perjuangan untuk mewujudkan kesatuan wilayah tersebut ditenggarai


dengan Deklarasi Djuanda yang berdasarkan pertimbangan politis,
geografis, ekonomis, pertahanan, dan keamanan. Di dalam Deklarasi
Djuanda, Indonesia menyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di
antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau
yang termasuk daratan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak
memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada
wilayah daratan Indonesia dan merupakan bagian dari perairan nasional
yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Indonesia.
Untuk memperjuangkan wilayah Indonesia sesuai dengan Deklarasi
Djuanda, dalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum
Laut yang pertama tahun 1958 di Jenewa, delegasi Indonesia untuk
pertama kalinya mencetuskan gagasan konsepsi negara kepulauan.
Deklarasi Djuanda dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 4/Prp
Tahun 1960 tentang Wilayah Perairan yang menetapkan laut teritorial
Indonesia selebar 12 mil laut dari garis pangkal kepulauan Indonesia.
Selain itu, disebutkan pula bahwa perairan yang terletak di sisi dalam
garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-
pulau dalam negara kepulauan Indonesia merupakan perairan pedalaman
tempat Indonesia memiliki kedaulatan mutlak.
Perjuangan delegasi Indonesia dalam rangka pengakuan konsep
negara kepulauan terus dilakukan di Konferensi Perserikatan Bangsa
Bangsa tentang Hukum Laut yang kedua dan ketiga. Akhirnya, pada
sidang kedua belas Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hukum Laut Ketiga, naskah Konvensi ditandatangani oleh 119 negara dan
resmi menjadi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut
1982 yang terdiri atas 17 Bab dan 320 Pasal. Konvensi tersebut mengakui
konsep hukum negara kepulauan dan menetapkan bahwa negara
kepulauan berhak untuk menarik garis pangkal kepulauan untuk
mengukur laut teritorial, zona tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif, dan
landas kontinen, sedangkan perairan yang berada di sisi darat garis
pangkal diakui sebagai perairan pedalaman dan perairan lainnya yang
berada di antara pulau-pulau yang berada di sisi dalam garis pangkal
diakui sebagai perairan kepulauan. Akan tetapi, pelaksanaan kedaulatan
di perairan kepulauan dalam UNCLOS 1982 menghormati hak negara lain
atas Hak Lintas Alur Laut Kepulauan.
Penambahan luas perairan Indonesia sangatlah signifikan dan harus
dilihat bukan saja sebagai aset nasional, melainkan juga merupakan
tantangan nyata bahwa wilayah Laut harus dikelola, dijaga, dan
diamankan bagi kepentingan bangsa Indonesia.

Pembangunan …
-4-

Pembangunan Kelautan hingga saat ini masih menghadapi berbagai


kendala di dalam pelaksanaannya. Hal tersebut disebabkan belum adanya
undang-undang yang secara komprehensif mengatur keterpaduan
berbagai kepentingan sektor di wilayah Laut. Kendala tersebut dapat
ditemukan, baik pada lingkup perencanaan, pemanfaatan, serta
pengawasan dan pengendalian.
Oleh sebab itu, perlu pengaturan mengenai Kelautan yang bertujuan
menegaskan Indonesia sebagai negara kepulauan berciri nusantara dan
maritim; mendayagunakan Sumber Daya Kelautan dan/atau kegiatan di
wilayah Laut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
dan hukum laut internasional demi tercapainya kemakmuran bangsa
dan negara; mewujudkan Laut yang lestari serta aman sebagai ruang
hidup dan ruang juang bangsa Indonesia; memanfaatkan Sumber Daya
Kelautan secara berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan
bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kepentingan generasi
mendatang; memajukan budaya dan pengetahuan Kelautan bagi
masyarakat; mengembangkan sumber daya manusia di bidang Kelautan
yang profesional, beretika, berdedikasi, dan mampu mengedepankan
kepentingan nasional dalam mendukung Pembangunan Kelautan secara
optimal dan terpadu;memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi
seluruh masyarakat sebagai negara kepulauan; dan mengembangkan
peran Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam percaturan Kelautan
global sesuai dengan hukum laut internasional untuk kepentingan bangsa
dan negara.
Penyelenggaraan Kelautan juga dilaksanakan berdasarkan asas
keberlanjutan, konsistensi, keterpaduan, kepastian hukum, kemitraan,
pemerataan, peran serta masyarakat, keterbukaan, desentralisasi,
akuntabilitas, dan keadilan. Lingkup pengaturan dalam penyelenggaraan
Kelautan meliputi wilayah Laut, Pembangunan Kelautan, Pengelolaan
Kelautan, pengembangan Kelautan, pengelolaan ruang Laut dan
pelindungan lingkungan Laut, pertahanan, keamanan, penegakan hukum,
keselamatan di Laut, tata kelola dan kelembagaan, serta peran serta
masyarakat.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2 …
-5-

Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “keberlanjutan” adalah pemanfaatan
sumber daya kelautan yang tidak melampaui daya dukung dan
memiliki kemampuan mempertahankan kebutuhan generasi yang
akan datang.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “konsistensi” adalah konsistensi dari
berbagai instansi dan lapisan pemerintahan dari perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalian untuk melaksanakan
program pengelolaan Sumber Daya Kelautan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “keterpaduan” adalah integrasi kebijakan
Kelautan melalui perencanaan berbagai sektor pemerintahan secara
horizontal dan secara vertikal antara Pemerintah dan Pemerintah
Daerah.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kepastian hukum” adalah seluruh
pengelolaan dan pemanfaatan Kelautan yang didasarkan pada
ketentuan hukum.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “kemitraan” adalah kesepakatan kerja sama
antarpihak yang berkepentingan berkaitan dengan pengelolaan
Sumber Daya Kelautan.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “pemerataan” adalah pemanfaatan potensi
Sumber Daya Kelautan yang dilakukan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dan kesejahteraan masyarakat.
Huruf g
Peran serta masyarakat dimaksudkan agar masyarakat mempunyai
peran dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
pengendalian dalam penyelenggaraan Kelautan.

Huruf h…
-6-

Huruf h
Yang dimaksud dengan “keterbukaan” adalah adanya keterbukaan
bagi masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur,
dan tidak diskriminatif mengenai penyelenggaraan Kelautan dari
tahap perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian
dengan tetap memperhatikan pelindungan atas hak asasi pribadi,
golongan, dan rahasia negara.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “desentralisasi” adalah pelimpahan sebagian
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah kepada
gubernur sebagai wakil Pemerintah, kepada instansi vertikal di
wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota
sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “akuntabilitas” adalah penyelenggaraan
Kelautan dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Huruf k
Yang dimaksud dengan “keadilan” adalah materi muatan Undang-
Undang ini harus mencerminkan hak dan kewajiban secara
proporsional bagi setiap warga negara.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7 …
-7-

Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perairan pedalaman” adalah semua
perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah
pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua bagian
dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis
penutup.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “perairan kepulauan” adalah semua
perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal
kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jarak dari
pantai.
Huruf c
Yang dimaksud dengan“laut teritorial” adalah jalur laut selebar
12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal
Kepulauan Indonesia.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “zona tambahan” adalah zona yang
lebarnya tidak melebihi 24 (dua puluh empat) mil laut yang
diukur dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial
diukur.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia”
adalah suatu area di luar dan berdampingan dengan laut
teritorial Indonesia sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang yang mengatur mengenai perairan Indonesia dengan
batas terluar 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari
mana lebar laut teritorial diukur.
Huruf c
Landas Kontinen meliputi dasar Laut dan tanah dibawahnya
dari area di bawah permukaan Laut yang terletak di luar laut
teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan
hingga pinggiran luar tepi kontinen atau hingga suatu jarak
200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar
laut teritorial diukur; dalam hal pinggiran luar tepi kontinen
tidak mencapai jarak tersebut hingga paling jauh 350 (tiga
ratus lima puluh) mil laut atau sampai dengan jarak 100
(seratus) mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2.500 (dua
ribu lima ratus) meter.
Ayat (3) …
-8-

Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal10
Cukup jelas.

Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “siaran gelap” adalah transmisi suara
radio atau siaran televisi dari kapal atau instalasi di laut lepas
yang ditujukan untuk penerimaan oleh umum yang
bertentangan dengan peraturan internasional, tetapi tidak
termasuk di dalamnya transmisi permintaan pertolongan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pengejaran seketika di laut lepas dilakukan terhadap kapal
asing atau salah satu dari sekocinya yang diduga melakukan
pelanggaran hukum sebagai kelanjutan pengejaran yang
dilakukan secara tidak terputus dari perairan pedalaman,
perairan kepulauan, laut teritorial, atau Zona Tambahan
Indonesia.
Huruf e …
-9-

Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “ekonomi biru” adalah sebuah pendekatan
untuk meningkatkan Pengelolaan Kelautan berkelanjutan serta
konservasi Laut dan sumber daya pesisir beserta ekosistemnya
dalam rangka mewujudkan pertumbuhan ekonomi dengan prinsip-
prinsip antara lain keterlibatan masyarakat, efisiensi sumber daya,
meminimalkan limbah, dan nilai tambah ganda (multiple revenue).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17…
- 10 -

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “sumber daya hayati” meliputi ikan,
terumbu karang, padang lamun, mangrove, dan biota Laut lain.
Yang dimaksud dengan “sumber daya nonhayati” meliputi pasir, air
Laut, dan mineral dasar Laut.
Yang dimaksud dengan “sumber daya buatan” meliputi
infrastruktur Laut yang terkait dengan Kelautan dan perikanan.
Yang dimaksud dengan “jasa lingkungan” berupa keindahan alam,
permukaan dasar Laut tempat instalasi bawah air yang terkait
dengan Kelautan dan perikanan, serta energi gelombang Laut.

Pasal 23 …
- 11 -

Pasal 23
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sumber daya alam nonkonvensional”
adalah sumber daya alam yang belum dimanfaatkan secara optimal.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “industri bioteknologi” adalah seperangkat
teknologi yang mengadaptasi dan memodifikasi organisme biologis,
proses, produk, dan sistem yang ditemukan di alam untuk tujuan
memproduksi barang dan jasa.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3) …
- 12 -

Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “jasa konstruksi” meliputi layanan jasa
konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa
pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi
pengawasan konstruksi.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2) …
- 13 -

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kapal generasi mutakhir” adalah kapal
yang dirancang bangun dengan mempergunakan teknologi maju,
ramah lingkungan, dan memiliki tingkat keselamatan yang tinggi
dalam pengoperasiannya.
Yang dimaksud dengan “pelabuhan hub” adalah pelabuhan utama
primer yang berfungsi melayani kegiatan dan alih muatan angkutan
Laut nasional dan internasional dalam jumlah besar dan jangkauan
pelayaran yang sangat luas serta merupakan simpul dalam jaringan
transportasi Laut internasional.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “bangunan dan instalasi di Laut” adalah
setiap konstruksi, baik yang berada di atas dan/atau di bawah
permukaan Laut, yang menempel pada daratan, maupun yang tidak
menempel pada daratan, antara lain konstruksi reklamasi,
prasarana pariwisata kelautan, dan prasarana perhubungan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “mempertimbangkan kelestarian sumber
daya pesisir, Laut, dan pulau-pulau kecil” antara lain pelindungan
terhadap erosi pantai dan pelindungan terhadap ekosistem pesisir
dan Laut.
Ayat (5) …
- 14 -

Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35
Cukup jelas.

Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37
Ayat (1)
Pengembangan sistem penelitian, pengembangan, serta penerapan
ilmu pengetahuan dan teknologi Kelautan, termasuk di dalamnya
biofarmakologi Kelautan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40 …
- 15 -

Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “data spasial” merupakan data yang
berkaitan dengan lokasi keruangan yang umumnya berbentuk
peta.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.

Pasal 43
Ayat (1)
Perencanaan ruang Laut merupakan suatu proses untuk
menghasilkan rencana tata ruang Laut dan/atau rencana zonasi
untuk menentukan struktur ruang Laut dan pola ruang Laut.
Struktur ruang Laut merupakan susunan pusat pertumbuhan
Kelautan dan sistem jaringan prasarana dan sarana Laut yang
berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat
yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.

Pola …
- 16 -

Pola ruang Laut meliputi kawasan pemanfaatan umum, kawasan


konservasi, alur laut, dan kawasan strategis nasional tertentu.
Perencanaan ruang Laut dipergunakan untuk menentukan kawasan
yang dipergunakan untuk kepentingan ekonomi, sosial budaya,
misalnya, kegiatan perikanan, prasarana perhubungan Laut,
industri maritim, pariwisata, permukiman, dan pertambangan;
untuk melindungi kelestarian sumber daya Kelautan; serta untuk
menentukan perairan yang dimanfaatkan untuk alur pelayaran,
pipa/kabel bawah Laut, dan migrasi biota Laut.
Huruf a
Perencanaan tata ruang laut nasional mencakup wilayah
perairan dan wilayah yurisdiksi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Rencana zonasi kawasan strategis nasional (KSN) merupakan
rencana yang disusun untuk menentukan arahan pemanfaatan
ruang kawasan strategis nasional.
Rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu (KSNT)
merupakan rencana yang disusun untuk menentukan arahan
pemanfaatan ruang di kawasan strategis nasional tertentu.
Yang dimaksud dengan “kawasan antarwilayah” antara lain
meliputi:
a. teluk misalnya Teluk Tomini, Teluk Bone, dan Teluk
Cendrawasih;
b. selat misalnya Selat Makassar, Selat Sunda, dan Selat Karimata;
dan
c. Laut misalnya Laut Jawa, Laut Arafura, dan Laut Sawu.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 44 …
- 17 -

Pasal 44
Ayat (1)
Huruf a
Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata
ruang dan/atau rencana zonasi dilakukan penetapan pola ruang
Laut ke dalam kawasan pemanfaatan umum, kawasan
konservasi, kawasan strategis nasional tertentu, dan alur laut.
Huruf b
Perumusan program sektoral merupakan penjabaran
pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya yang dilakukan
secara bertahap sesuai dengan jangka waktu indikasi program
utama pemanfaatan ruang yang termuat dalam rencana tata
ruang dan/atau zonasi.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 45
Ayat (1)
Tindakan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan terhadap
pengelolaan ruang Laut merupakan kegiatan mengamati dengan
cermat, menilai tingkat pencapaian rencana secara objektif, dan
memberikan informasi hasil evaluasi secara terbuka.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “izin lokasi” meliputi izin yang diberikan
untuk memanfaatkan ruang dari sebagian perairan Laut yang
mencakup permukaan Laut dan kolom air sampai dengan
permukaan dasar Laut pada batas keluasan tertentu.

Ayat (2) …
- 18 -

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 49
Cukup jelas.

Pasal 50
Huruf a
Konservasi Laut dilakukan untuk melindungi, melestarikan, dan
memanfaatkan sumber daya Laut, termasuk ekosistem, jenis, dan
genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan
kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas nilai keanekaragaman sumber daya Laut. Upaya konservasi
Laut termasuk pelindungan dan pelestarian biota Laut yang
memiliki daya jelajah dan ruaya jauh seperti reptil (berbagai jenis
penyu Laut) dan mamalia Laut (paus dan dugong) serta dalam
rangka pelindungan situs budaya dan fitur geomorfologi Laut seperti
gunung Laut.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pengendalian Pencemaran Laut” adalah
kegiatan yang meliputi pencegahan, penanggulangan, dan
pemulihan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “penanggulangan bencana” adalah
serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan
pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.

Huruf d …
- 19 -

Huruf d
Yang dimaksud dengan “kerusakan” adalah perubahan langsung
dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau
hayati lingkungan Laut yang berdampak merugikan bagi sumber
daya Laut, kesehatan manusia, dan kegiatan Kelautan lainnya.

Pasal 51
Cukup jelas.

Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “fenomena pasang merah (red tide)”
adalah sebuah fenomena alam air Laut yang berubah warna
yang disebabkan oleh fitoplankton sehingga menyebabkan
kematian massal biota Laut, perubahan struktur komunitas
ekosistem perairan, serta keracunan yang bisa menyebabkan
kematian pada manusia karena fitoplankton mengeluarkan
racun.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “dispersi thermal” adalah sebaran
panas di Laut.

Huruf e …
- 20 -

Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 54
Cukup jelas.

Pasal 55
Cukup jelas.

Pasal 56
Cukup jelas.

Pasal 57
Cukup jelas.

Pasal 58
Cukup jelas.

Pasal 59
Cukup jelas.

Pasal 60
Cukup jelas.

Pasal 61
Cukup jelas.

Pasal 62
Cukup jelas.

Pasal 63 …
- 21 -

Pasal 63
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “menyerahkan kapal ke instansi terkait
yang berwenang” dapat dilaksanakan penyerahan di Laut atau
di pelabuhan terdekat.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 64
Cukup jelas.

Pasal 65
Cukup jelas.

Pasal 66
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pegawai tetap” adalah pegawai yang berasal
dari internal Badan Keamanan Laut.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pegawai perbantuan” adalah pegawai yang
berasal dari instansi penegak hukum yang diperbantukan di Badan
Keamanan Laut.

Pasal 67
Cukup jelas.

Pasal 68 …
- 22 -

Pasal 68
Cukup jelas.

Pasal 69
Cukup jelas.

Pasal 70
Cukup jelas.

Pasal 71
Cukup jelas.

Pasal 72
Cukup jelas.

Pasal 73
Cukup jelas.

Pasal 74
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5603

Anda mungkin juga menyukai