MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
TENTANG SURAT LAIK OPERASI KAPAL PERIKANAN.
-3-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Surat Laik Operasi Kapal Perikanan, yang selanjutnya
disebut SLO adalah surat keterangan yang
menyatakan bahwa kapal perikanan telah memenuhi
persyaratan administrasi dan kelayakan teknis untuk
melakukan kegiatan perikanan.
2. Surat Izin Penangkapan Ikan, yang selanjutnya
disingkat SIPI adalah izin tertulis yang harus dimiliki
setiap kapal perikanan untuk melakukan kegiatan
penangkapan ikan yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP).
3. Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan, yang selanjutnya
disingkat SIKPI adalah izin tertulis yang harus dimiliki
setiap kapal perikanan untuk melakukan kegiatan
pengangkutan ikan.
4. Surat Keterangan Aktivasi Transmitter yang
selanjutnya disingkat SKAT adalah dokumen tertulis
yang menyatakan bahwa transmiter Sistem
Pemantauan Kapal Perikanan (SPKP) online pada kapal
perikanan tertentu telah dipasang, diaktifkan dan
dapat dipantau pada pusat pemantauan kapal
perikanan.
5. Berita Acara Hasil Pemeriksaan Kapal yang selanjutnya
disingkat BA-HPK adalah formulir yang memuat hasil
pemeriksaan persyaratan administrasi dan kelayakan
teknis kapal perikanan sebagai dasar penerbitan SLO.
6. Kapal Perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung
lain yang dipergunakan untuk melakukan
penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan
ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan,
pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan
penelitian/eksplorasi perikanan.
-4-
BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN
Pasal 2
(1) Maksud ditetapkannya Peraturan Menteri ini adalah
sebagai acuan bagi Pengawas Perikanan, Nakhoda,
Pemilik, Operator Kapal Perikanan dan Penanggung
Jawab Perusahaan Perikanan dalam rangka
penerbitan SLO.
(2) Tujuan ditetapkannya Peraturan Menteri ini agar
kapal perikanan laik operasi dalam melakukan
kegiatan perikanan.
-6-
BAB III
PENERBITAN SLO
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
(1) Setiap kapal perikanan yang akan melakukan
kegiatan perikanan wajib memiliki SLO.
(2) Kewajiban memiliki SLO sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikecualikan bagi kapal perikanan untuk
Nelayan Kecil dan Pembudi Daya Ikan Kecil.
(3) Nelayan Kecil dan Pembudi Daya Ikan Kecil
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan
ketentuan hanya memiliki 1 (satu) unit atau lebih
kapal perikanan dengan ukuran kumulatif paling
besar 10 (sepuluh) GT.
(4) Kapal perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri dari:
a. kapal penangkap ikan;
b. kapal pengangkut ikan;
c. kapal latih perikanan;
d. kapal penelitian/eksplorasi perikanan; dan
e. kapal pendukung operasi pembudidayaan ikan.
(5) SLO sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diterbitkan
oleh Pengawas Perikanan.
Bagian Kedua
Persyaratan Penerbitan SLO
Pasal 4
SLO diterbitkan setelah kapal perikanan memenuhi
persyaratan administrasi dan kelayakan teknis.
Pasal 5
(1) Persyaratan administrasi untuk kapal penangkap
ikan terdiri dari:
a. SIPI asli;
-7-
Pasal 6
(1) Persyaratan administrasi untuk kapal pengangkut
ikan, terdiri dari:
a. SIKPI asli;
b. SKAT asli, untuk kapal pengangkut ikan dengan
ukuran di atas 30 (tiga puluh) GT;
c. surat keterangan lalu lintas ikan dan produk
perikanan atau sertifikat kesehatan ikan dan
produk perikanan domestik untuk kapal
pengangkut ikan antar daerah;
d. kesesuaian jumlah dan jenis ikan yang diangkut
dengan surat keterangan asal ikan untuk antar
daerah, atau surat Pemberitahuan Ekspor Barang
(PEB) untuk kapal pengangkut ikan dengan
tujuan ekspor;
e. sertifikat kesehatan ikan dan produk perikanan
untuk konsumsi manusia untuk kapal
pengangkut ikan tujuan ekspor;
-8-
Pasal 7
(1) Persyaratan administrasi untuk kapal latih perikanan
terdiri dari:
a. sertifikat klasifikasi kapal dan/atau fotokopi
grosse akta kapal; dan
b. surat penugasan pelatihan dari instansi terkait.
(2) Persyaratan kelayakan teknis untuk kapal latih
perikanan yang terdiri dari kesesuaian fisik kapal
penelitian/eksplorasi yang meliputi nama kapal,
tanda selar, dan merek mesin utama dengan sertifikat
klasifikasi kapal dan/atau fotokopi grosse akta kapal.
-9-
Pasal 8
(1) Persyaratan administrasi untuk kapal
penelitian/eksplorasi perikanan terdiri dari:
a. sertifikat klasifikasi kapal dan/atau fotokopi
grosse akta kapal; dan
b. Surat izin penelitian/eksplorasi perikanan.
(2) Persyaratan kelayakan teknis untuk kapal
penelitian/eksplorasi perikanan yang terdiri dari
kesesuaian fisik kapal penelitian/eksplorasi yang
meliputi nama kapal, tanda selar, dan merek mesin
utama dengan sertifikat klasifikasi kapal dan/atau
fotokopi grosse akta kapal.
Pasal 9
(1) Persyaratan administrasi untuk kapal pendukung
operasi pembudidayaan ikan, terdiri dari:
a. SIKPI asli;
b. SKAT asli untuk kapal pendukung operasi
pembudidayaan ikan dengan ukuran di atas 30
(tiga puluh) GT; dan
c. SLO asal untuk kapal pendukung operasi
pembudidayaan ikan yang telah melakukan
kegiatan mendukung operasi pembudidayaan
ikan.
(2) Persyaratan kelayakan teknis untuk kapal pendukung
operasi pembudidayaan ikan, terdiri dari:
a. kesesuaian fisik kapal pendukung operasi
pembudidayaan ikan dengan SIKPI, meliputi
bahan kapal, merek dan nomor seri mesin utama,
tanda selar, dan nama panggilan/call sign;
b. kesesuaian jumlah ikan yang diangkut dengan
kapasitas ruang penyimpanan ikan; dan
c. keberadaan dan keaktifan transmitter SPKP untuk
kapal pendukung operasi pembudidayaan ikan
dengan ukuran di atas 30 (tiga puluh) GT.
- 10 -
Bagian Ketiga
Prosedur
Pasal 10
(1) Nakhoda, pemilik, operator kapal perikanan atau
penanggung jawab perusahaan perikanan yang akan
melakukan kegiatan perikanan wajib melaporkan
rencana keberangkatan kepada Pengawas Perikanan.
(2) Laporan rencana keberangkatan kapal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 1
(satu) hari sebelum keberangkatan kapal perikanan.
Pasal 11
(1) Pengawas Perikanan berdasarkan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
melakukan pemeriksaan persyaratan administrasi
dan kelayakan teknis kapal perikanan.
(2) Hasil pemeriksaan persyaratan administrasi dan
kelayakan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dituangkan dalam BA-HPK.
(3) BA-HPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditandatangani oleh Pengawas Perikanan dan
Nakhoda, pemilik, operator kapal perikanan, atau
penanggung jawab perusahaan perikanan.
(4) Bentuk, dan format BA-HPK sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
Pasal 12
(1) Berdasarkan BA-HPK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2), apabila kapal perikanan telah
memenuhi persyaratan administrasi dan kelayakan
teknis,Pengawas Perikanan menerbitkan SLO.
(2) Bentuk dan format SLO sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang
- 11 -
Pasal 13
Penerbitan SLO Kapal Perikanan tanpa dikenai biaya.
Pasal 14
Pengawas Perikanan tidak menerbitkan SLO apabila kapal
perikanan dalam proses hukum dan/atau diberikan
sanksi administrasi pembekuan atau pencabutan
SIPI/SIKPI terkait pelanggaran dibidang perikanan.
Bagian Keempat
Lokasi Penerbitan SLO
Pasal 15
(1) SLO untuk kapal penangkap ikan, pengangkut ikan,
dan kapal pendukung operasi pembudidayaan ikan
diterbitkan oleh Pengawas Perikanan di pelabuhan
pangkalan atau pelabuhan muat sesuai dengan SIPI
atau SIKPI.
(2) SLO untuk kapal latih perikanan dan kapal
penelitian/eksplorasi perikanan diterbitkan oleh
Pengawas Perikanan di UPT atau Satuan Pengawasan
Sumber Daya Kelautan dan Perikanan terdekat
dimana kapal bersandar
Pasal 16
SLO dapat diterbitkan oleh Pengawas Perikanan di luar
pelabuhan pangkalan dan pelabuhan muat yang tertera
dalam SIPI/SIKPI dalam hal kapal perikanan selesai
melakukan docking yang dibuktikan dengan surat
keterangan selesai docking.
- 12 -
Bagian Kelima
Masa berlaku
Pasal 17
(1) SLO digunakan hanya untuk 1 (satu) kali operasional
kegiatan perikanan.
(2) SLO sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
selama 2 x 24 jam sejak tanggal diterbitkan.
(3) Dalam hal kapal perikanan tidak mengurus Surat
Persetujuan Berlayar dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), SLO
dinyatakan tidak berlaku.
BAB IV
PELAPORAN
Pasal 18
(1) Pengawas Perikanan wajib melaporkan penerbitan
BA-HPK, SLO dan penolakan penerbitan SLO kepada
Kepala Satuan Pengawasan /Kepala UPT.
(2) Kepala Satuan Pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) melakukan rekapitulasi dan kompilasi
pelaporan penerbitan BA-HPK, SLO dan penolakan
penerbitan SLO, serta melaporkannya kepada Kepala
UPT pada tanggal 3 setiap bulannya.
(3) Kepala UPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) melakukan rekapitulasi, kompilasi dan
analisis penerbitan BA-HPK, SLO dan penolakan
penerbitan SLO serta melaporkan kepada Direktur
Jenderal.
(4) Bentuk dan format laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
- 13 -
Pasal 19
(1) Kewajiban memiliki SLO sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) dikecualikan bagi kapal
perikanan yang tidak akan melakukan kegiatan
perikanan yaitu:
a. kapal perikanan yang baru dibeli;
b. kapal perikanan yang selesai dibangun atau
dilakukan modifikasi;
c. kapal perikanan yang akan melakukan docking;
d. kapal perikanan yang berlayar dalam batas
wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan
perikanan;
e. kapal perikanan yang berlayar untuk memberikan
pertolongan kepada kapal lain yang dalam
bahaya;
f. kapal perikanan yang akan melakukan percobaan
berlayar; dan/atau
g. kapal perikanan yang mengalami keadaan darurat
meliputi kapal rusak, cuaca buruk, dan awak
kapal sakit atau meninggal.
(2) Kewajiban memiliki SLO diganti dengan Surat
Keterangan Pengganti SLO yang diterbitkan oleh
Pengawas Perikanan.
(3) Surat Keterangan Pengganti SLO sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diterbitkan berdasarkan
permohonan secara tertulis dari nakhoda kapal
perikanan.
(4) Selain surat permohonan secara tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), untuk kapal perikanan yang
baru dibeli sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dan kapal perikanan yang selesai dibangun
atau dilakukan modifikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b ditambah persyaratan berupa:
a. fotokopi akta jual beli kapal perikanan untuk
kapal perikanan yang baru dibeli; dan
- 14 -
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 45/PERMEN-
KP/2014 tentang Surat Laik Operasi Kapal Perikanan
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1521).
Pasal 21
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 15 -
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Januari 2017
ttd.
SUSI PUDJIASTUTI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Januari 2017
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN,
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BENTUK DAN FORMAT BERITA ACARA HASIL PEMERIKSAAN KAPAL (BA – HPK)
A. Kapal Penangkap Ikan
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
(MINISTRY OF MARINE AFFAIRS AND FISHERIES)
DIREKTORAT JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
(DIRECTORATE GENERAL OF SURVEILLANCE FOR MARINE AND FISHERIES RESOURCES)
Unit Pelaksana Pengawasan
Implementing Unit of Surveillance
BERITA ACARA HASIL PEMERIKSAAN KAPAL PENANGKAP IKAN
(OFFICIAL REPORT FOR DEPARTURE INSPECTION OF FISHING VESSEL)
DI ISI OLEH PENGAWAS PERIKANAN (FILLED BY FISHERIES INSPECTOR)
Sesuai Izin
(Compliance)
Pemeriksaan Dokumen dan Fisik Kapal Penangkap Ikan Data pada Izin Hasil Pemeriksaan
No. (Ya/Tidak)
(Document and Physical Inspection) (Data of License) (Inspection Result)
(Yes/No)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Menyetujui (approval):
Nakhoda/Pemilik/Operator/Penanggung Jawab Pengawas Perikanan,
(Captain/Owner/Operator/Person in Charge) (Fisheries Inspector)
( ……………………………………………………………….. ) ( ……………………………………………………………….. )
Nomor Seri
(Serial Number)
Kode Tahun Nomor Urut
(Code) (Year) (List Number)
B. Kapal Pengangkut Ikan
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
(MINISTRY OF MARINE AFFAIRS AND FISHERIES)
DIREKTORAT JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
(DIRECTORATE GENERAL OF SURVEILLANCE FOR MARINE AND FISHERIES RESOURCES)
Unit Pelaksana Pengawasan
Implementing Unit of Surveillance
BERITA ACARA HASIL PEMERIKSAAN KAPAL PENGANGKUT IKAN PADA SAAT KEBERANGKATAN
(OFFICIAL REPORT FOR DEPARTURE INSPECTION OF CARRIER VESSEL)
DI ISI OLEH PENGAWAS PERIKANAN (FILLED BY FISHERIES INSPECTOR)
Sesuai Izin
(Compliance)
Pemeriksaan Dokumen dan Fisik Kapal Pengangkut Ikan Data pada Izin Hasil Pemeriksaan
No. (Ya/Tidak)
(Document and Physical Inspection) (Data of License) (Inspection Result)
(Yes/No)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Menyetujui (approval):
Nakhoda/Pemilik/Operator/Penanggung Jawab
(Captain/Owner/Operator/ Person in Charge)
( ……………………………………………………………….. )
( ……………………………………………………………….. )
Lembar I (Putih/White) : Pengawas Perikanan (Fisheries Inspector)
Lembar II (Merah/Red) : Direktur Jenderal PSDKP (Director General of Surveillance for Marine and Fisheries Resources)
Lembar III (Kuning/Yellow) : Nakhoda Kapal Pengangkut Ikan (Captain)
Lembar IV (Biru/Blue) : Kepala UPT/Satuan Pengawasan SDKP (Head of Implementing Unit of Surveillance)
Nomor Seri
(Serial Number)
Kode Tahun Nomor Urut
(Code) (Year) (List Number)
C. Kapal Latih Perikanan
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
(MINISTRY OF MARINE AFFAIRS AND FISHERIES)
DIREKTORAT JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
(DIRECTORATE GENERAL OF SURVEILLANCE FOR MARINE AND FISHERIES RESOURCES)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Menyetujui (approval):
Nakhoda/Pemilik/Operator/Penanggung Jawab Pengawas Perikanan,
(Captain/Owner/Operator/Person in Charge) (Fisheries Inspector)
( ……………………………………………………………….. ) ( ……………………………………………………………….. )
Nomor Seri
(Serial Number)
Kode Tahun Nomor Urut
(Code) (Year) (List Number)
D. Kapal Penelitian/Eksplorasi Perikanan
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
(MINISTRY OF MARINE AFFAIRS AND FISHERIES)
DIREKTORAT JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
(DIRECTORATE GENERAL OF SURVEILLANCE FOR MARINE AND FISHERIES RESOURCES)
Unit Pelaksana Pengawasan
Implementing Unit of Surveillance
BERITA ACARA HASIL PEMERIKSAAN KAPAL PENELITIAN/EKSPLORASI PERIKANAN
(OFFICIAL REPORT FOR DEPARTURE INSPECTION OF RESEARCH/EXPLORATION VESSEL)
DI ISI OLEH PENGAWAS PERIKANAN (FILLED BY FISHERIES INSPECTOR)
Sesuai Izin
(Compliance)
Pemeriksaan Dokumen dan Fisik Kapal Penelitian/Eksplorasi Perikanan Data pada Izin Hasil Pemeriksaan
No. (Ya/Tidak)
(Document and Physical Inspection) (Data of License) (Inspection Result)
(Yes/No)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Menyetujui (approval):
Nakhoda/Pemilik/Operator/Penanggung Jawab Pengawas Perikanan,
(Captain/Owner/Operator/Person in Charge) (Fisheries Inspector)
( ……………………………………………………………….. ) ( ……………………………………………………………….. )
Nomor Seri
(Serial Number)
Kode Tahun Nomor Urut
(Code) (Year) (List Number)
E. Kapal Pendukung Operasi Pembudidayaan Ikan
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
(MINISTRY OF MARINE AFFAIRS AND FISHERIES)
DIREKTORAT JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
(DIRECTORATE GENERAL OF SURVEILLANCE FOR MARINE AND FISHERIES RESOURCES)
Unit Pelaksana Pengawasan
Implementing Unit of Surveillance
BERITA ACARA HASIL PEMERIKSAAN KAPAL PENDUKUNG OPERASI PEMBUDIDAYAAN IKAN
(OFFICIAL REPORT FOR DEPARTURE INSPECTION OF SUPPORTING AQUACULTURE FISHING VESSEL)
DI ISI OLEH PENGAWAS PERIKANAN (FILLED BY FISHERIES INSPECTOR)
Sesuai Izin
Pemeriksaan Dokumen dan Fisik Kapal Pendukung Operasi (Compliance)
Data pada Izin Hasil Pemeriksaan
No. Pembudidayaan Ikan (Ya/Tidak)
(Data of License) (Inspection Result)
(Document and Physical Inspection) (Yes/No)
Menyetujui (approval):
Nakhoda/Pemilik/Operator/Penanggung Jawab Pengawas Perikanan,
(Captain/Owner/Operator/ Person in Charge) (Fisheries Inspector)
( ……………………………………………………………….. ) ( ……………………………………………………………….. )
Lembar I (Putih/White) : Pengawas Perikanan (Fisheries Inspector)
Lembar II (Merah/Red) : Direktur Jenderal PSDKP (Director General of Surveillance for Marine and Fisheries Resources)
Lembar III (Kuning/Yellow) : Nakhoda Kapal Pendukung Operasi Pembudidayaan Ikan (Captain)
Lembar IV (Biru/Blue) : Kepala UPT/Satuan Pengawasan SDKP (Head of Implementing Unit of Surveillance)
Nomor Seri
(Serial Number)
Kode Tahun Nomor Urut
(Code) (Year) (List Number)
ttd.
SUSI PUDJIASTUTI
LAMPIRAN II
PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN
PERIKANAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1/PERMEN-KP/2017
TENTANG SURAT LAIK OPERASI KAPAL
PERIKANAN
No Reg : 000000
Jenis Kapal Perikanan : .................... Masa Berlaku Surat Izin Kapal Perikanan ....
Type of Fishing Vessel Expired Date of Fishing License
ttd.
SUSI PUDJIASTUTI
LAMPIRAN III
PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1/PERMEN-KP/2017
TENTANG SURAT LAIK OPERASI KAPAL PERIKANAN
Format Laporan Penerbitan Berita Acara Hasil Pemeriksaan Kapal Perikanan, SLO dan Penolakan Penerbitan SLO
pada UPT/Satuan Pengawasan SDKP ........ Periode Bulan ..... Tahun ......
Jumlah BA-HPK Jumlah SLO yang Persentase Kelaikan Jumlah Penolakan Alasan Penolakan Penerbitan
No. Kapal Perikanan
Keberangkatan Diterbitkan Kapal Perikanan Penerbitan SLO SLO
1 Kapal Penangkap Ikan ….. lembar ….. lembar ( .... %) ... unit kapal Contoh :
KM. Sifulan tidak diterbitkan
SLO karena diberikan sanksi
pembekuan/pencabutan
SIPI-nya oleh Ditjen
Perikanan Tangkap;
........ dan seterusnya
2 Kapal Pengangkut Ikan ….. lembar ….. lembar ( .... %) ... unit kapal
3 Kapal Latih Perikanan ….. lembar ….. lembar ( .... %) ... unit kapal
4 Kapal Penelitian/Eksplorasi ….. lembar ….. lembar ( .... %) ... unit kapal
Perikanan
5 Kapal Pendukung Operasi ….. lembar ….. lembar ( .... %) ... unit kapal
Pembudidayaan Ikan
Jumlah ….. lembar ….. lembar ( .... %) ... unit kapal
(………………………..)
ttd.
SUSI PUDJIASTUTI
LAMPIRAN IV
PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1/PERMEN-KP/2017
TENTANG SURAT LAIK OPERASI KAPAL
PERIKANAN
SURAT KETERANGAN
PENGGANTI SLO KAPAL PERIKANAN
Nomor:
Yang bertandatangan di bawah ini, Pengawas Perikanan pada UPT/Satuan Pengawasan
SDKP ................, menerangkan bahwa :
1. Nama Kapal :
2. Jenis Kapal :
3. Ukuran GT dan Tanda Selar :
4. Nomor dan Masa Berlaku SIPI/SIKPI :
5. Instansi Penerbit SIPI/SIKPI :
6. Nomor dan Masa Berlaku SKAT :
7. Nomor ID Transmitter SPKP :
8. Pelabuhan Pangkalan/Muat :
9. Nama Pemilik/Perusahaan/Operator :
10. Nama Nakhoda :
11. Nomor HPK Keberangkatan/Pelabuhan Asal :
12. Keterangan (pilih salah satu) :
Kapal perikanan yang baru dibeli
Kapal perikanan yang selesai dibangun atau dilakukan modifikasi
Kapal perikanan akan melakukan docking
Kapal perikanan mengalami keadaan darurat, meliputi kapal rusak, cuaca buruk,
atau awak kapal sakit atau meninggal
Kapal perikanan berlayar dalam batas wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan
perikanan
Kapal perikanan berlayar untuk memberikan pertolongan kepada kapal lain yang
dalam bahaya
Kapal perikanan sedang melakukan percobaan berlayar
Pengawas Perikanan
(.............................)
Tembusan:
1. Direktur Jenderal; MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
2. Kepala UPT/Satuan Pengawasan SDKP. REPUBLIK INDONESIA,
Keterangan: ttd.
*) tidak berlaku bagi kapal perikanan yang mengalami
PERATURAN
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5/PERMEN-KP/2019
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 23/PERMEN-
KP/2013 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN
PERIKANAN NOMOR 23/PERMEN-KP/2013 TENTANG
PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 23/PERMEN-KP/2013 tentang Pendaftaran
dan Penandaan Kapal Perikanan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 1072), diubah sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Pendaftaran Kapal Perikanan adalah kegiatan
pencatatan kapal perikanan yang dimuat dalam buku
kapal perikanan.
2. Penandaan Kapal Perikanan adalah kegiatan untuk
memberi tanda atau notasi kapal perikanan.
3. Usaha Perikanan Tangkap adalah usaha perikanan
yang berbasis pada kegiatan penangkapan ikan
dan/atau kegiatan pengangkutan ikan.
4. Orang adalah orang perseorangan atau perusahaan
perikanan.
5. Perusahaan Perikanan adalah perusahaan yang
melakukan usaha di bidang perikanan baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum.
-4-
Pasal 2
(1) Setiap Kapal Perikanan milik Orang Indonesia dan
berbendera Indonesia yang dioperasikan di WPP-NRI
atau Laut Lepas wajib didaftarkan terlebih dahulu
sebagai Kapal Perikanan Indonesia.
(2) Kapal Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi Kapal Penangkap Ikan, Kapal
Pengangkut Ikan, dan kapal pendukung operasi
penangkapan ikan.
Pasal 3
Kewenangan Pendaftaran Kapal Perikanan:
a. Menteri berwenang melakukan Pendaftaran Kapal
Perikanan berukuran diatas 30 (tiga puluh) gros ton,
-6-
Pasal 5
Setiap Orang untuk mendaftarkan Kapal Perikanan milik
Orang Indonesia dan berbendera Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), harus mengajukan
-7-
Pasal 6
(1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5, Direktur Jenderal melakukan
penilaian terhadap kelengkapan persyaratan paling
lama 2 (dua) hari kerja sejak diterimanya
permohonan secara lengkap, yang hasilnya berupa
persetujuan atau penolakan.
(2) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dinyatakan lengkap dan disetujui, paling
lama 5 (lima) hari kerja harus dilakukan
pemeriksaan fisik Kapal Perikanan dan alat
-8-
Pasal 6A
(1) Mekanisme penerbitan Buku Kapal Perikanan
dilakukan melalui laman kapal.kkp.go.id.
(2) Dalam hal pemohon tidak mampu mengakses laman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mekanisme
penerbitan Buku Kapal Perikanan dapat dilakukan
secara manual.
Pasal 10
(1) Perubahan Buku Kapal Perikanan dilakukan apabila
terdapat perubahan, yang meliputi:
a. perubahan identitas pemilik Kapal Perikanan;
b. perubahan identitas Kapal Perikanan;
c. perubahan fisik Kapal Perikanan; dan/atau
d. perubahan kepemilikan.
(2) Perubahan identitas pemilik Kapal Perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi:
a. nama perusahaan;
b. alamat perusahaan/pemilik; dan/atau
c. nama penanggung jawab perusahaan.
(3) Perubahan identitas Kapal Perikanan sebagimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. nama kapal;
b. tipe/jenis kapal;
c. jenis alat penangkapan ikan;
d. mesin utama;
e. jumlah dan kapasitas palkah;
f. tanda pengenal kapal; dan/atau
- 10 -
Pasal 12
(1) Kapal Perikanan yang telah memiliki Buku Kapal
Perikanan yang dikeluarkan oleh provinsi atau
kabupaten/kota dan akan melakukan perpindahan
ke provinsi atau kabupaten/kota lain wajib
melakukan pendaftaran ke provinsi atau
kabupaten/kota yang dituju dengan melampirkan
surat keterangan dari tempat Pendaftaran Kapal
Perikanan sebelumnya.
(2) Dalam hal dilakukan perpindahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), provinsi atau
kabupaten/kota yang dituju menerbitkan Buku
Kapal Perikanan baru.
Pasal 14
(1) Buku Kapal Perikanan dihapus dari Buku Induk
Kapal Perikanan apabila:
a. Kapal Perikanan akan didaftarkan di negara
lain;
b. Kapal Perikanan berganti bendera;
c. tidak dioperasikan lagi sebagai Kapal
Perikanan, karena dialihfungsikan bukan
sebagai Kapal Perikanan;
- 11 -
Pasal 25
(1) Kapal Perikanan berbendera Indonesia yang
dioperasikan di yurisdiksi negara lain wajib
didaftarkan terlebih dahulu sebagai Kapal Perikanan
Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai Pendaftaran Kapal Perikanan
yang dioperasikan di WPP-NRI dan Laut Lepas
berlaku secara mutatis mutandis terhadap
Pendaftaran Kapal Perikanan berbendera Indonesia
yang dioperasikan di yurisdiksi negara lain.
Pasal 26
(1) Pendaftaran Kapal Perikanan terhadap Kapal
Perikanan yang telah memiliki SIPI/SIKPI
dilaksanakan paling lambat sebelum perpanjangan
SIPI/SIKPI.
- 12 -
Pasal 26A
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, terhadap
permohonan baru dan perubahan Buku Kapal Perikanan
yang telah disampaikan dan dinyatakan lengkap
- 13 -
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 14 -
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Januari 2019
SUSI PUDJIASTUTI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 Februari 2019r
201426 Juni 2014
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
Lembar Pengesahan
Pejabat Paraf
Kabag PUU I
DEKLARASI JUANDA: MENUJU KEUTUHAN
WILAYAH TANAH AIR INDONESIA
K
etika Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, yang dimaksud dengan
Indonesia saat itu adalah seluruh wilayah yang sebelumnya merupakan
wilayah Hindia Belanda. Mungkin sebagian kita tidak menyadari bahwa wilayah negara
Indonesia yang baru merdeka itu wilayahnya tidaklah seperti yang kita kenal sekarang ini. Pada
saat baru merdeka itu, wilayah laut Indonesia, sebagai warisan Belanda hanya merupakan jalur
laut selebar 3 mil dari garis pantai pada saat pasang tersurut yang melingkari setiap pulau.
Kalau ditotal luas keseluruhan wilayah laut Indonesia saat itu tidak sampai satu juta km persegi.
Di luar itu, statusnya merupakan perairan internasional atau laut bebas. Jadi dapat dibayangkan
bahwa bagian terbesar Laut Jawa, Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Banda, Laut Arafura
dan lainnya merupakan perairan internasional, dimana kapal-kapal asing dapat berlayar lalu-
lalang dengan bebas. Jadi terkesan secara hukum, unsur laut lebih merupakan pemisah antar
pulau-pulau di Nusantara ini.
Gambar 1. Peta Indonesia saat baru merdeka, wilayah laut teritorial Indonesia
hanya 3 mil dari masing-masing pulau pada saat surut terendah (warna biru).
Selebihnya merupakan Perairan Internasional.
1
Dari penelusuran sejarah dapat dicatat bahwa jalur laut selebar 3 mil dari bibir pantai itu
didasarkan pada kenyataan pada zaman dulu, dimana jarak tembak meriam di zaman itu tidak
sampai jarak 3 mil. Dari segi hukum, ketentuan tentang lebar laut teritorial yang sangat sempit
itu didasarkan pada Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie, 1939 (Ordonansi Laut
Teritorial dan Lingkungan Maritim, 1939), produk hukum zaman Hindia Belanda yang
kemudian diteruskan dan diadopsi oleh Indonesia ketika baru saja merdeka.
Dalam perjalanan sejarah awal Indonesia merdeka, dirasakan bahwa ketentuan hukum
laut yang berlaku saat itu (Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie, 1939) sangatlah
rawan terhadap keamanan dan keutuhan negara Republik Indonesia. Wilayah laut teritorial
Indonesia tidak merupakan wilayah yang utuh, tetapi terpisah-pisah oleh perairan internasioal
atau perairan bebas. Wilayah perairan internasional yang berada di antara pulau-pulau
Nusantara tentu saja sangat rawan karena bebas dilayari atau dimasuki oleh kapal-kapal asing
yang bisa melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat merugikan atau mengancam keamanan dan
kedaulatan negara.
Terjadinya pemberontakan di sejumlah daerah di Indonesia dan konflik politik dengan
Belanda mengenai Irian Barat (Papua) yang belum terselesaikan saat itu menyebabkan masalah
kewilayahan laut ini menjadi sangat genting, karena kapal-kapal perang asing bebas berkeliaran
di antara pulau-pulau Nusantara, sementara Indonesia tidak berkutik mencegahnya karena
kendala hukum dan sarana-prasarana.
Menanggapi situasi kritis itu maka pada tanggal 13 Desember 1957, Perdana Menteri RI
yang ketika itu dijabat oleh Ir. Juanda Kartawijaya mendeklarasikan “Pengumuman Pemerintah
2
mengenai Perairan Negara Republik Indonesia”
yang kelak dikenal sebagai “Deklarasi Juanda”.
Deklarasi itu menyatakan bahwa semua perairan
di sekitar, di antara, dan yang
menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-
pulau yang termasuk daratan Negara Republik
Indonesia, dengan tidak memandang luas atau
lebarnya, adalah bagian dari wilayah Negara
Republik Indonesia dan dengan demikian
merupakan bagian dari perairan nasional yang
berada di bawah kedaulatan mutlak Negara
Gambar 3. Ir. H. Juanda Kartawijaya Republik Indonesia (Gambar 2). Lalu-lintas yang
(1911-1963) damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-
kapal asing dijamin selama dan sekadar tidak
bertentangan dengan dan/ atau mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara
Indonesia. Batas laut teritorial Indonesia yang sebelumnya 3 mil diperlebar menjadi 12 mil
diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau terluar dari
wilayah negara Indonesia pada saat air laut surut. Dengan dikeluarkannya deklarasi tersebut
berarti Ordonansi tahun 1939 yang merupakan warisan kolonial tidak berlaku lagi. Deklarasi
Juanda itu kemudian disahkan melalui UU No. 4/PRP/Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.
Dengan demikian luas wilayah laut Indonesia bertambah lebih luas dengan sangat signifikan
hingga menjadi sekitar 3,1 juta km persegi.
3
Deklarasi Juanda itu serta merta mendapat tentangan dan protes dari beberapa negara
yang merasa kepentingan maritimnya terganggu. Nota protes diplomatik dari negara-negara
maritim besar sepeti Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda, Perancis dan New Zealand
mengalir melalui Departemen Luar Negeri RI. Namun Indonesia dengan mengerahkan para
ahli hukum lautnya dan lewat diplomasi di berbagai forum internasional terus
memperjuangkan ketetapan tentang wilayah hukum laut yang baru, yang telah memberi wajah
baru geopolitik Indonesia.
Perjuangan untuk mendapatkan pengakuan internasional terus diupayakan dengan gigih
dan tentu saja tidak mudah. Paling tidak, diperlukan waktu sekitar 25 tahun bagi para ahli
hukum laut dan para diplomat professional Indonesia untuk menyakinkan dunia internasional
tentang konsep Wawasan Nusantara yang memandang darat dan laut kepulauan merupakan
suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Pada Pertemuan Konvensi Hukum Laut PBB ke-3 United
Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tanggal 10 Desember 1982, konsep
Wawasan Nusantara akhirnya diakui dunia sebagai The Archipelagic Nation Concept. Di situ
ditetapkan laut teritorial negara kepulauan adalah selebar 12 mil dari garis dasar (base line)
terluar pulau-pulau dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) selebar 200 mil dari dari garis dasar.
Boleh dikatakan ini merupakan prestasi luar biasa. Bayangkan, luas laut Indonesia yang
sebelumnya tidak sampai satu juta km persegi, namun melalui UNCLOS 1982 luasnya
bertambah menjadi 5,8 juta km persegi yang terdiri dari laut teritorial dan perairan pedalaman
seluas 3,1 juta km persegi dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 juta km persegi.
UNCLOS 1982 ini kemudian diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 17 tahun 1983.
Tetapi keberhasilan itu harus ditindak-lanjuti dengan berbagai pekerjaan rumah yang
banyak dan tidak mudah, misalnya diperlukan banyak survei-survei hidrografi dan oseanografi
guna menetapkan titik-titik pangkal, peta-peta garis pangkal, peta-peta Alur Laut Kepulauan
Indonesia (ALKI) dan peta-peta ZEE Indonesia. Selain itu persinggungan perbatasan dengan
negara tetangga juga pelu dirundingkan dan diselesaikan.
Bagaimanapun dapat kita saksikan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia,
Deklarasi Juanda 13 Desember 1957 telah membuka jalan untuk berkembangnya konsep
Wawasan Nusantara yang menyatukan tanah (daratan) dan air (laut) menjadi suatu kesatuan
yang utuh tak terpisahkan. Di kemudian hari, Presiden RI Megawati Sukarnoputri melalui
Keppres No. 126/th 2001 menetapkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara.
----
Anugerah Nontji
11/12/2017
4
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) telah diterima baik oleh
Konperensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Ketiga di
New York pada tanggal 30 April 1982 dan telah ditandatangani oleh
Negara Republik Indonesia bersama-sama seratus delapan belas
penandatangan lain di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember
1982;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
Mengesahkan United Nations Convention the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa tentang Hukum Laut), yang salinan naskah aslinya dalam bahasa inggeris dilampirkan
pada Undang-undang ini.
Pasal 2
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1985
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
TTD
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1985
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
TTD
SUDHARMONO, S.H.
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 1985
TENTANG
PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION
ON THE LAW OF THE SEA
(KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG
HUKUM LAUT)
I. UMUM
Bagi Bangsa dan Negara Republik Indonesia, Konvensi ini mempunyai arti yang penting
karena untuk pertama kalinya asas Negara Kepulauan yang selama dua puluh lima tahun
secara terus menerus diperjuangkan oleh Indonesia, telah berhasil memperoleh
pengakuan resmi masyarakat internasional. Pengakuan resmi asas Negara Kepulauan ini
merupakan hal yang penting dalam rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah sesuai
dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, dan Wawasan Nusantara sebagaimana
termaktub dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara, yang menjadi dasar perwujudan bagi kepulauan Indonesia sebagai satu
kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan.
Yang dimaksud dengan "Negara Kepulauan" menurut Konvensi ini adalah suatu negara
yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat mencakup
pulau-pulau lain.
Konvensi menentukan pula bahwa gugusan kepulauan berarti suatu gugusan pulau-pulau
termasuk bagian pulau, perairan diantara gugusan pulau-pulau tersebut dan lain-lain
wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga gugusan
pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya tersebut merupakan suatu kesatuan
geografi dan politik yang hakiki, atau secara historis telah dianggap sebagai satu kesatuan
demikian.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-2-
Dengan diakuinya asas Negara Kepulauan, maka perairan yang dahulu merupakan
bagian dari Laut Lepas kini menjadi "perairan kepulauan" yang berarti menjadi wilayah
perairan Republik Indonesia.
Kapal asing dan pesawat udara asing menikmati hak lintas alur laut kepulauan melalui alur
laut dan rute penerbangan tersebut untuk transit dari suatu bagian Laut Lepas atau Zona
Ekonomi Eksklusif ke bagian lain dari Laut Lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif. Alur laut
kepulauan dan rute penerbangan tersebut ditetapkan dengan menarik garis poros. Kapal
dan pesawat udara asing yang melakukan lintas transit melalui alur laut dan rute
penerbangan tersebut tidak boleh berlayar atau terbang melampaui 25 mil laut sisi kiri dan
sisi kanan garis poros tersebut.
Sekalipun kapal dan pesawat udara asing menikmati hak lintas alur laut kepulauan melalui
alur laut dan rute penerbangan tersebut, namun hal ini di bidang lain daripada pelayaran
dan penerbangan tidak boleh mengurangi kedaulatan Negara Kepulauan atas air serta
ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya dan sumber kekayaan di
dalamnya.
Dengan demikian hak lintas alur laut kepulauan melalui rute penerbangan yang diatur
dalam Konvensi ini hanyalah mencakup hak lintas penerbangan melewati udara di atas
alur laut tanpa mempengaruhi kedaulatan negara untuk mengatur penerbangan di atas
wilayahnya sesuai dengan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil ataupun
kedaulatan negara kepulauan atas wilayah udara lainnya di atas perairan Nusantara.
yang sah tersebut tidak boleh dialihkan kepada atau dibagi dengan negara ketiga atau
warganegaranya.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut ini mengatur pula rejim-rejim
hukum sebagai berikut:
b. Zona Tambahan
Jika dalam Konvensi Jenewa 1958 lebar Zona Tambahan pada lebar Laut
Teritorial diukur, maka Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 kini menentukan
bahwa, dengan ditentukannya lebar Laut Teritorial maksimal 12 mil laut, lebar
Zona Tambahan adalah maksimal 24 mil laut diukur dari garis dasar laut
Teritorial.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-4-
Masalah Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebihi 200 mil laut tersebut
erat kaitannya dengan masalah penetapan lebar Laut Teritorial maksimal 12 mil laut,
karena :
a. beberapa negara pantai, yang menganut lebar Laut Teritorial 200 mil laut, baru
dapat menerima penetapan lebar Laut Teritorial maksimal 12 mil laut dengan
adanya rejim Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebihi 200 mil laut.
b. pada sisi lain :
1). negara-negara tanpa pantai dan negara-negara yang secara geografis tidak
beruntung baru dapat menerima penetapan lebar Laut Teritorial maksimal
12 mil laut dan Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebihi 200
mil laut dengan ketentuan bahwa mereka memperoleh kesempatan untuk
turut serta memanfaatkan surplus dari jumlah tangkapan yang
diperbolehkan.
2). mereka mempunyai hak transit ke dan dari laut melalui wilayah negara
pantai/negara transit.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-5-
c. negara-negara maritim baru dapat menerima rejim Zona Ekonomi Eksklusif jika
negara pantai tetap menghormati kebebasan palayaran/penerbangan melalui
Zona Ekonomi Eksklusif.
4. Landas Kontinen
Berbeda dengan Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen yang menetapkan
lebar Landas Kontinen berdasarkan pada kriteria kedalaman atau kriteria kemampuan
eksploitasi, maka Konvensi 1982 ini mendasarkannya pada berbagai kriteria :
a. jarak sampai 200 mil laut jika tepian luar kontinen tidak mencapai jarak 200 mil
laut tersebut;
b. kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga tepian luar kontinen
yang lebarnya tidak boleh melebihi 350 mil laut yang diukur dari garis dasar Laut
Teritorial jika di luar 200 mil laut masih terdapat daerah dasar laut yang
merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan dan jika memenuhi kriteria
kedalaman sedimentasi yang ditetapkan dalam konvensi; atau
c. tidak boleh melebihi l00 mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2500 meter.
Kriteria kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga tepian luar kontinen
yang ditentukan dalam Konvensi ini pada akhirnya dapat diterima negara-negara
bukan negara pantai, khususnya negara-negara tanpa pantai atau negara-negara
yang geografis tidak beruntung setelah Konvensi juga menentukan bahwa negara
pantai mempunyai kewajiban untuk memberikan pembayaran atau kontribusi dalam
natura yang berkenaan dengan eksploitasi sumber kekayaan non-hayati Landas
Kontinen di luar 200 mil laut. Pembayaran atau kontribusi tersebut harus dilakukan
melaui Otorita Dasar Laut Internasional yang akan membagikannya kepada negara
peserta Konvensi didasarkan pada kriteria pembagian yang adil dengan
memperhatikan kepentingan serta kebutuhan negara-negara berkembang, khususnya
negara-negara yang perkembangannya masih paling rendah dan negara-negara
tanpa pantai.
Sekalipun Landas Kontinen pada mulanya termasuk dalam rejim Zona Ekonomi
Eksklusif, namun dalam Konvensi ini Landas Kontinen diatur dalam Bab tersendiri. Hal
ini berkaitan dengan diterimanya kriteria kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga
pinggiran luar tepian kontinen, yang memungkinkan lebar landas Kontinen melebihi
lebar Zona Ekonomi Eksklusif.
5. Laut Lepas
Berbeda dengan Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas yang menetapkan Laut
Lepas dimulai dari batas terluar Laut Teritorial, Konvensi ini menetapkan bahwa Laut
Lepas tidak mencakup Zona Ekonomi Eksklusif, laut teritorial perairan pedalaman dan
perairan kepulauan.
Kecuali perbedaan-perbedaan tersebut di atas, pada dasarnya tidak terdapat
perbedaan antara Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas dan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut mengenai hak-hak dan kebebasan-
kebebasan di Laut Lepas.
Kebebasan-kebebasan tersebut harus dilaksanakan oleh setiap negara dengan
mengindahkan hak negara lain dalam melaksanakan kebebasan di Laut Lepas. Di
samping mengatur hak-hak kebebasan-kebebasan di Laut Lepas, Konvensi ini juga
mengatur masalah konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di Laut
Lepas yang dahulu diatur dalam Konvensi Jenewa 1958 tentang Perikanan dan
konservasi sumber kekayaan hayati di Laut Lepas.
6. Rejim Pulau
Rejim Pulau diatur dalam Bab tersendiri dalam Konvensi ini yang dihubungkan dengan
masalah Laut Teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen.
Konvensi menentukan bahwa pulau/karang mempunyai Laut Teritorial, Zona Ekonomi
Eksklusif dan Landas Kontinen dengan ketentuan bahwa pulau/karang yang tidak
dapat mendukung habitat manusia atau kehidupan ekonominya sendiri, tidak
mempunyai Zona Ekonomi Eksklusif atau Landas Kontinen sendiri dan hanya berhak
mempunyai Laut Teritorial saja.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-6-
8. Rejim akses negara tidak berpantai ke dan dari laut serta kebebasan transit
Jika dalam Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas masalah hak akses negara
tanpa pantai diatur dalam salah satu pasal, Konvensi ini mengatur masalah rejim
akses negara tanpa pantai ke dan dari laut serta kebebasan transit melalui negara
transit secara lebih terperinci dalam satu Bab tersendiri.
Rejim ini berkaitan dengan hak negara-negara tersebut untuk ikut memanfaatkan
sumber kekayaan alam yang terkandung dalam Zona Ekonomi Eksklusif dan Kawasan
dasar laut internasional.
Sesuai ketentuan-ketentuan dalam Konvensi, pelaksanaan hak akses negara tidak
berpantai serta kebebasan transit melalui wilayah negara transit dan di Zona Ekonomi
Eksklusif perlu diatur dengan perjanjian bilateral subregional dan regional.
dan penerapan Konvensi dapat diajukan untuk diselesaikan oleh salah satu dari ke
empat macam lembaga penyelesaian sengketa tersebut di atas, kecuali sengketa
mengenai penafsiran dan penerapan Bab XI Konvensi mengenai Kawasan Dasar Laut
Internasional beserta lampiran-lampiran Konvensi yang bertalian dengan masalah
Kawasan Dasar Laut Internasional, yang merupakan yurisdiksi mutlak Kamar
Sengketa Dasar Laut. Sejalan dengan masalah persiapan pembentukan organ-organ
Otorita Dasar Laut Internasional, maka pembentukan Pengadilan-Internasional untuk
Hukum Laut beserta Kamar-kamar di dalamnya harus dipersiapkan pula oleh Komisi
Persiapan sesuai dengan ketentuan Resolusi I yang diambil oleh Konperensi PBB
tentang Hukum Laut Ketiga, agar dapat segera berfungsi setelah Konvensi mulai
berlaku.
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
TENTANG
KELAUTAN
Mengingat : Pasal 20, Pasal 22D ayat (1), Pasal 25A, dan Pasal 33 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
Dengan …
-2-
dan
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
5. Negara …
-3-
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Pasal 3
d. memanfaatkan …
-5-
BAB III
RUANG LINGKUP
Pasal 4
f. pertahanan …
-6-
BAB IV
WILAYAH LAUT
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
Pasal 6
(3) Pengelolaan …
-7-
Bagian Kedua
Wilayah Perairan dan Wilayah Yurisdiksi
Pasal 7
Pasal 8
(2) Di Zona …
-8-
Pasal 9
Bagian Ketiga
Laut Lepas dan
Kawasan Dasar Laut Internasional
Pasal 10
(2) Kawasan …
-9-
Pasal 11
Pasal 12
BAB V …
- 10 -
BAB V
PEMBANGUNAN KELAUTAN
Pasal 13
BAB VI …
- 11 -
BAB VI
PENGELOLAAN KELAUTAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 14
Pasal 15
(3) Basis …
- 12 -
Bagian Kedua
Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan
Paragraf 1
Perikanan
Pasal 16
Pasal 17
c. melakukan …
- 13 -
Pasal 18
Pasal 19
Paragraf 2
Energi dan Sumber Daya Mineral
Pasal 20
Pasal 21
Paragraf 3 …
- 14 -
Paragraf 3
Sumber Daya Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil
Pasal 22
Paragraf 4 …
- 15 -
Paragraf 4
Sumber Daya Alam Nonkonvensional
Pasal 23
Pasal 24
Bagian Ketiga
Pengusahaan Sumber Daya Kelautan
Paragraf 1
Industri Kelautan
Pasal 25
(3) Pengelolaan …
- 16 -
Pasal 26
Pasal 27
(2) Dalam …
- 17 -
Paragraf 2
Wisata Bahari
Pasal 28
(3) Pengembangan …
- 18 -
Paragraf 3
Perhubungan Laut
Pasal 29
Pasal 30 …
- 19 -
Pasal 30
Pasal 31
Paragraf 4
Bangunan Laut
Pasal 32
(4) Pendirian …
- 20 -
Pasal 33
BAB VII
PENGEMBANGAN KELAUTAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 34
Bagian Kedua
Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pasal 35
(2) Penyelenggaraan …
- 21 -
Pasal 36
(4) Ketentuan …
- 22 -
Bagian Ketiga
Riset Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pasal 37
Pasal 38
Pasal 39 …
- 23 -
Pasal 39
Bagian Keempat
Sistem Informasi dan Data Kelautan
Pasal 40
(4) Sistem …
- 24 -
Bagian Kelima
Kerja Sama Kelautan
Pasal 41
BAB VIII …
- 25 -
BAB VIII
PENGELOLAAN RUANG LAUT
DAN PELINDUNGAN LINGKUNGAN LAUT
Bagian Kesatu
Pengelolaan Ruang Laut
Pasal 42
Pasal 43
(3) Perencanaan …
- 26 -
Pasal 44
Pasal 45
Pasal 46 …
- 27 -
Pasal 46
Pasal 47
Pasal 48
Pasal 49 …
- 28 -
Pasal 49
Bagian Kedua
Pelindungan Lingkungan Laut
Pasal 50
Pasal 51
(5) Kebijakan …
- 29 -
Pasal 52
Pasal 53
c. rob;
d. angin topan; dan
e. serangan hewan secara musiman.
(3) Bencana Kelautan yang disebabkan oleh pencemaran
lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dapat berupa:
a. fenomena pasang merah (red tide);
b. pencemaran minyak;
c. pencemaran logam berat;
d. dispersi thermal; dan
e. radiasi nuklir.
(4) Bencana Kelautan yang disebabkan oleh pemanasan
global sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat
berupa:
a. kenaikan suhu;
b. kenaikan muka air Laut; dan/atau
c. el nino dan la nina.
Pasal 54
d. pengembangan …
- 31 -
Pasal 55
Pasal 56
Pasal 57
BAB IX …
- 32 -
BAB IX
PERTAHANAN, KEAMANAN, PENEGAKAN HUKUM,
DAN KESELAMATAN DI LAUT
Pasal 58
Pasal 59
Pasal 60 …
- 33 -
Pasal 60
Pasal 61
Pasal 62
Pasal 63 …
- 34 -
Pasal 63
Pasal 64
Pasal 65
Pasal 66
Pasal 67 …
- 35 -
Pasal 67
Pasal 68
BAB X
TATA KELOLA DAN KELEMBAGAAN LAUT
Pasal 69
BAB XI …
- 36 -
BAB XI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 70
BAB XII …
- 37 -
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 71
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 72
Pasal 73
Pasal 74
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar …
- 38 -
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 17 Oktober 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
ATAS
TENTANG
KELAUTAN
I. UMUM
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan
potensid an kekayaan alam yang berlimpah sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa memiliki makna yang sangat penting bagi bangsa Indonesia
sebagai ruang hidup (lebenstraum) dan ruang juang serta media pemersatu
yang menghubungkan pulau-pulau dalam satu kesatuan ideologi, politik,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan dalam suatu wadah
ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dua pertiga dari wilayah Indonesia merupakan Laut dan merupakan
salah satu negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia.
Di samping itu, secara geografis Indonesia terletak diantara dua benua,
yaitu Benua Asia dan Benua Australia dan dua Samudera, yaitu Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik yang merupakan kawasan paling dinamis
dalam percaturan, baik secara ekonomis maupun politik. Letak geografis
yang strategis tersebut menjadikan Indonesia memiliki keunggulan serta
sekaligus ketergantungan yang tinggi terhadap bidang Kelautan.
Di samping keunggulan yang bersifat komparatif berdasarkan letak
geografis, potensi sumber daya alam di wilayah Laut mengandung sumber
daya hayati ataupun nonhayati yang sangat bermanfaat bagi
kelangsungan hidup masyarakat. Potensi tersebut dapat diperoleh dari
dasar Laut dan tanah di bawahnya, kolom air dan permukaan Laut,
termasuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sangat logis jika ekonomi
Kelautan dijadikan tumpuan bagi pembangunan ekonomi nasional. Oleh
karena itu, Laut Indonesia harus dikelola, dijaga, dimanfaatkan, dan
dilestarikan oleh masyarakat Indonesia sesuai dengan yang diamanatkan
dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Selain kekayaan yang ada, keunggulan komparatif yang dimiliki
perlu dijabarkan menjadi kekayaan yang komparatif.
Dalam …
-2-
Perjuangan …
-3-
Pembangunan …
-4-
Pasal 2 …
-5-
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “keberlanjutan” adalah pemanfaatan
sumber daya kelautan yang tidak melampaui daya dukung dan
memiliki kemampuan mempertahankan kebutuhan generasi yang
akan datang.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “konsistensi” adalah konsistensi dari
berbagai instansi dan lapisan pemerintahan dari perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalian untuk melaksanakan
program pengelolaan Sumber Daya Kelautan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “keterpaduan” adalah integrasi kebijakan
Kelautan melalui perencanaan berbagai sektor pemerintahan secara
horizontal dan secara vertikal antara Pemerintah dan Pemerintah
Daerah.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kepastian hukum” adalah seluruh
pengelolaan dan pemanfaatan Kelautan yang didasarkan pada
ketentuan hukum.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “kemitraan” adalah kesepakatan kerja sama
antarpihak yang berkepentingan berkaitan dengan pengelolaan
Sumber Daya Kelautan.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “pemerataan” adalah pemanfaatan potensi
Sumber Daya Kelautan yang dilakukan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dan kesejahteraan masyarakat.
Huruf g
Peran serta masyarakat dimaksudkan agar masyarakat mempunyai
peran dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
pengendalian dalam penyelenggaraan Kelautan.
Huruf h…
-6-
Huruf h
Yang dimaksud dengan “keterbukaan” adalah adanya keterbukaan
bagi masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur,
dan tidak diskriminatif mengenai penyelenggaraan Kelautan dari
tahap perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian
dengan tetap memperhatikan pelindungan atas hak asasi pribadi,
golongan, dan rahasia negara.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “desentralisasi” adalah pelimpahan sebagian
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah kepada
gubernur sebagai wakil Pemerintah, kepada instansi vertikal di
wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota
sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “akuntabilitas” adalah penyelenggaraan
Kelautan dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Huruf k
Yang dimaksud dengan “keadilan” adalah materi muatan Undang-
Undang ini harus mencerminkan hak dan kewajiban secara
proporsional bagi setiap warga negara.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7 …
-7-
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perairan pedalaman” adalah semua
perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah
pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua bagian
dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis
penutup.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “perairan kepulauan” adalah semua
perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal
kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jarak dari
pantai.
Huruf c
Yang dimaksud dengan“laut teritorial” adalah jalur laut selebar
12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal
Kepulauan Indonesia.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “zona tambahan” adalah zona yang
lebarnya tidak melebihi 24 (dua puluh empat) mil laut yang
diukur dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial
diukur.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia”
adalah suatu area di luar dan berdampingan dengan laut
teritorial Indonesia sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang yang mengatur mengenai perairan Indonesia dengan
batas terluar 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari
mana lebar laut teritorial diukur.
Huruf c
Landas Kontinen meliputi dasar Laut dan tanah dibawahnya
dari area di bawah permukaan Laut yang terletak di luar laut
teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan
hingga pinggiran luar tepi kontinen atau hingga suatu jarak
200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar
laut teritorial diukur; dalam hal pinggiran luar tepi kontinen
tidak mencapai jarak tersebut hingga paling jauh 350 (tiga
ratus lima puluh) mil laut atau sampai dengan jarak 100
(seratus) mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2.500 (dua
ribu lima ratus) meter.
Ayat (3) …
-8-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “siaran gelap” adalah transmisi suara
radio atau siaran televisi dari kapal atau instalasi di laut lepas
yang ditujukan untuk penerimaan oleh umum yang
bertentangan dengan peraturan internasional, tetapi tidak
termasuk di dalamnya transmisi permintaan pertolongan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pengejaran seketika di laut lepas dilakukan terhadap kapal
asing atau salah satu dari sekocinya yang diduga melakukan
pelanggaran hukum sebagai kelanjutan pengejaran yang
dilakukan secara tidak terputus dari perairan pedalaman,
perairan kepulauan, laut teritorial, atau Zona Tambahan
Indonesia.
Huruf e …
-9-
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “ekonomi biru” adalah sebuah pendekatan
untuk meningkatkan Pengelolaan Kelautan berkelanjutan serta
konservasi Laut dan sumber daya pesisir beserta ekosistemnya
dalam rangka mewujudkan pertumbuhan ekonomi dengan prinsip-
prinsip antara lain keterlibatan masyarakat, efisiensi sumber daya,
meminimalkan limbah, dan nilai tambah ganda (multiple revenue).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17…
- 10 -
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “sumber daya hayati” meliputi ikan,
terumbu karang, padang lamun, mangrove, dan biota Laut lain.
Yang dimaksud dengan “sumber daya nonhayati” meliputi pasir, air
Laut, dan mineral dasar Laut.
Yang dimaksud dengan “sumber daya buatan” meliputi
infrastruktur Laut yang terkait dengan Kelautan dan perikanan.
Yang dimaksud dengan “jasa lingkungan” berupa keindahan alam,
permukaan dasar Laut tempat instalasi bawah air yang terkait
dengan Kelautan dan perikanan, serta energi gelombang Laut.
Pasal 23 …
- 11 -
Pasal 23
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sumber daya alam nonkonvensional”
adalah sumber daya alam yang belum dimanfaatkan secara optimal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “industri bioteknologi” adalah seperangkat
teknologi yang mengadaptasi dan memodifikasi organisme biologis,
proses, produk, dan sistem yang ditemukan di alam untuk tujuan
memproduksi barang dan jasa.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 12 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “jasa konstruksi” meliputi layanan jasa
konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa
pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi
pengawasan konstruksi.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 13 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kapal generasi mutakhir” adalah kapal
yang dirancang bangun dengan mempergunakan teknologi maju,
ramah lingkungan, dan memiliki tingkat keselamatan yang tinggi
dalam pengoperasiannya.
Yang dimaksud dengan “pelabuhan hub” adalah pelabuhan utama
primer yang berfungsi melayani kegiatan dan alih muatan angkutan
Laut nasional dan internasional dalam jumlah besar dan jangkauan
pelayaran yang sangat luas serta merupakan simpul dalam jaringan
transportasi Laut internasional.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “bangunan dan instalasi di Laut” adalah
setiap konstruksi, baik yang berada di atas dan/atau di bawah
permukaan Laut, yang menempel pada daratan, maupun yang tidak
menempel pada daratan, antara lain konstruksi reklamasi,
prasarana pariwisata kelautan, dan prasarana perhubungan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “mempertimbangkan kelestarian sumber
daya pesisir, Laut, dan pulau-pulau kecil” antara lain pelindungan
terhadap erosi pantai dan pelindungan terhadap ekosistem pesisir
dan Laut.
Ayat (5) …
- 14 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Pengembangan sistem penelitian, pengembangan, serta penerapan
ilmu pengetahuan dan teknologi Kelautan, termasuk di dalamnya
biofarmakologi Kelautan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40 …
- 15 -
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “data spasial” merupakan data yang
berkaitan dengan lokasi keruangan yang umumnya berbentuk
peta.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Perencanaan ruang Laut merupakan suatu proses untuk
menghasilkan rencana tata ruang Laut dan/atau rencana zonasi
untuk menentukan struktur ruang Laut dan pola ruang Laut.
Struktur ruang Laut merupakan susunan pusat pertumbuhan
Kelautan dan sistem jaringan prasarana dan sarana Laut yang
berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat
yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.
Pola …
- 16 -
Pasal 44 …
- 17 -
Pasal 44
Ayat (1)
Huruf a
Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata
ruang dan/atau rencana zonasi dilakukan penetapan pola ruang
Laut ke dalam kawasan pemanfaatan umum, kawasan
konservasi, kawasan strategis nasional tertentu, dan alur laut.
Huruf b
Perumusan program sektoral merupakan penjabaran
pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya yang dilakukan
secara bertahap sesuai dengan jangka waktu indikasi program
utama pemanfaatan ruang yang termuat dalam rencana tata
ruang dan/atau zonasi.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Tindakan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan terhadap
pengelolaan ruang Laut merupakan kegiatan mengamati dengan
cermat, menilai tingkat pencapaian rencana secara objektif, dan
memberikan informasi hasil evaluasi secara terbuka.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “izin lokasi” meliputi izin yang diberikan
untuk memanfaatkan ruang dari sebagian perairan Laut yang
mencakup permukaan Laut dan kolom air sampai dengan
permukaan dasar Laut pada batas keluasan tertentu.
Ayat (2) …
- 18 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Huruf a
Konservasi Laut dilakukan untuk melindungi, melestarikan, dan
memanfaatkan sumber daya Laut, termasuk ekosistem, jenis, dan
genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan
kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas nilai keanekaragaman sumber daya Laut. Upaya konservasi
Laut termasuk pelindungan dan pelestarian biota Laut yang
memiliki daya jelajah dan ruaya jauh seperti reptil (berbagai jenis
penyu Laut) dan mamalia Laut (paus dan dugong) serta dalam
rangka pelindungan situs budaya dan fitur geomorfologi Laut seperti
gunung Laut.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pengendalian Pencemaran Laut” adalah
kegiatan yang meliputi pencegahan, penanggulangan, dan
pemulihan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “penanggulangan bencana” adalah
serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan
pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Huruf d …
- 19 -
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kerusakan” adalah perubahan langsung
dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau
hayati lingkungan Laut yang berdampak merugikan bagi sumber
daya Laut, kesehatan manusia, dan kegiatan Kelautan lainnya.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “fenomena pasang merah (red tide)”
adalah sebuah fenomena alam air Laut yang berubah warna
yang disebabkan oleh fitoplankton sehingga menyebabkan
kematian massal biota Laut, perubahan struktur komunitas
ekosistem perairan, serta keracunan yang bisa menyebabkan
kematian pada manusia karena fitoplankton mengeluarkan
racun.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “dispersi thermal” adalah sebaran
panas di Laut.
Huruf e …
- 20 -
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63 …
- 21 -
Pasal 63
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “menyerahkan kapal ke instansi terkait
yang berwenang” dapat dilaksanakan penyerahan di Laut atau
di pelabuhan terdekat.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pegawai tetap” adalah pegawai yang berasal
dari internal Badan Keamanan Laut.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pegawai perbantuan” adalah pegawai yang
berasal dari instansi penegak hukum yang diperbantukan di Badan
Keamanan Laut.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68 …
- 22 -
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.