Anda di halaman 1dari 18

MODUL PERKULIAHAN

HUKUM
BISNIS
Perlindungan Konsumen

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

09
Fakultas Ekonomi dan Akuntansi D3 Rina. Tresnawati, S.E., M.M.
Bisnis

Abstract Kompetensi
Perlindungan Konsumen adalah Mahasiswa dapat menerapkan
keseluruhan asas-asas dan kaidah- pengertian dan pengaturan
kaidah hukum yang mengatur perlindungan konsumen,
hubungan dan masalah antara menganalisa klausula baku dalam
berbagai pihak satu sama lain perjanjian, mengidentifikasi hak
berkaitan dengan barang dan/atau dan kewajiban konsumen & pelaku
jasa konsumen di dalam pergaulan usaha, menganalisa Perbuatan yang
hidup. Klausula perjanjian telah dilarang bagi pelaku usaha berupa
dituangkan atau dicantumkan larangan, menganalisa penegakkan
terlebih dahulu secara sepihak oleh hukum konsumen, Menganalisa
pengusaha dalam bentuk blanko. batasan-batasan profesi dalam
Setiap konsumen dan pelaku usaha kegiatan usaha.
memiliki kewajiban dan hak nya
masing – masing. Perbuatan yang
dilarang bagi pelaku usaha
tercantum dalam Pasal 8 sampai
dengan Pasal 17 Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999.

‘20 Hukum Bisnis


2 Rina Tresnawati, S.E.,M.M.
Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
Pengertian dan Pengaturan Perlindungan Konsumen
Perlindungan Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang
mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang
dan/atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup (Shidarta, 2000:9).
Sedangkan menurut Sidobalok (2014:39), Hukum perlindungan konsumen adalah
keseluruhan peraturan dan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen
dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dan mengatur
upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan
konsumen.
Pengaturan Perlindungan konsumen tercantum dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 (UUPK 8/1999) tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen. Dalam hukum perlindungan ini selain mengatur perlindungan
terhadap konsumen, hukum ini juga mengatur hak dan kewajiban konsumen, hak dan
kewajiban produsen/pelaku usaha, serta cara-cara mempertahankan hak dan menjalankan
kewajiban itu.
Hukum perlindungan konsumen dibuat awalnya di Indonesia oleh Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia ( YLKI ). Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan Badan Pembinaan
Hukum Nasional membuat Rancangan Undang – Undang tentang Perlindungan Konsumen
pada 1990. Rancangan ini juga akhirnya didukung oleh Departemen Perdagangan karena
desakan yang diterima dari International Monetary Fund. Dari dukungan itulah, lahirlah
Undang – Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berlaku sejak
20 April 2000.

Tujuan Perlindungan Konsumen adalah untuk memberikan kepastian dan keseimbangan


hukum antara produsen dan konsumen sehingga terwujud suatu perekonomian yang sehat dan
dinamis sehingga terjadi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Tujuan perlindungan konsumen diatur dalam dalam Pasal 3 UUPK 8/1999, yaitu
sebagai berikut:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi
diri.
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari
ekses negatif pemakaian dan/atau jasa.

‘20 Hukum Bisnis


3 Rina Tresnawati, S.E.,M.M.
Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut
hak-haknya sebagai konsumen.
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

Selain tujuan, dalam menegakkan hukum perlindungan diperlukan juga pemberlakuan


asas-asas yang berfungsi sebagai landasan penempatan hukum. Asas perlindungan konsumen
diatur dalam Pasal 2 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
a. Asas Manfaat
Segala upaya yang dilakukan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan. Dengan kata lain, tidak boleh hanya salah satu pihak saja yang
memperoleh manfaat, sedangkan pihak lain mendapatkan kerugian.
b. Asas Keadilan
Dalam hal ini, tidak selamanya sengketa konsumen di akibatkan oleh kesalahan
pelaku usaha saja, tetapi bisa juga di akibatkan oleh kesalahan konsumen yang
terkadang tidak tahu akan kewajibannya. Konsumen dan produsen/pelaku usaha dapat
berlaku adil melalui perolehan hak dan kewajiban secara seimbang.
c. Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara hak dan
kewajiban para pelaku usaha dan konsumen. Menghendaki konsumen,
produsen/pelaku usaha dan pmerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari
pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen.
d. Asas Keamanan dan Keselamatan
Asas ini bertujuan untuk memberikan adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan
memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya bahwa
produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta
bendanya.
e. Asas Kepastian Hukum
Asas ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum agar pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan menjalankan apa yang menjadi hak dan kewajibannya.
Tanpa harus membebankan tanggung jawab kepada salah satu pihak, serta negara
menjamin kepastian hukum.

‘20 Hukum Bisnis


4 Rina Tresnawati, S.E.,M.M.
Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan
perlindungan adalah:
o Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal
33.
o Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara
Republik Indonesia No. 3821
o Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
o Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian
Sengketa
o Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
o Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001
Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas
Indag Prop/Kab/Kota
o Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795
/DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen

Pencantuman Klausa Baku Dalam Perjanjian


Dalam suatu perjanjian, konsumen pasti dihadapkan dengan yang namanya standar
kontrak. Standar kontrak adalah suatu perjanjian yang dibuat secara sepihak sebelum
ditandatangani perjanjian. Perjanjian yang terdapat standarnya biasa dibuat oleh penjual. Syarat
– syarat yang tertera dalam surat tersebut berlaku bagi setiap orang yang bersedia mengikatkan
dirinya dalam perjanjian tersebut.
Klausula perjanjian telah dituangkan atau dicantumkan terlebih dahulu secara sepihak
oleh pengusaha dalam bentuk blanko. Apabila konsumen bersedia menerima segala syarat yang
telah ditentukan oleh pemberi jasa, maka konsumen tinggal membubuhkan tandatangan.
Pengusaha tidak memberikan kesempatan kepada konsumen untuk mendiskusikan klausula
perjanjian yang telah dibentuk oleh pengusaha. Klasusla baku bersifat mengikat dan wajib
dipenuhi oleh konsumen sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Adanya keputusan sepihak dalam hal ini membuat pihak konsumen tidak bisa berbuat
apa – apa. Maka dari itu, dalam hal ini terjadi adanya ketidakseimbangan antara pengusaha

‘20 Hukum Bisnis


5 Rina Tresnawati, S.E.,M.M.
Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
dengan konsumen dalam membuat perjanjian. Saat lahirnya UU No. 8 Tahun 1999,
pencantuman klasula baku dalam dokumen atau perjanjian mulai dibatasi yang bertujuan untuk
menenmpatkan kedudukan konsumen dengan pelaku usaha setara.
Pasal ini juga menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa
yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku
pada setiap dokumen dan perjanjian apabila :
1. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
2. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen;
3. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
4. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
5. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa
yang dibeli oleh konsumen;
6. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
7. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku
usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli
oleh konsumen secara angsuran.
Sebagai konsekuensinya setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha
pada perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud diatas dinyatakan batal demi
hukum. Oleh karena itu, pelaku usaha diwajibkan untuk menyesuaikan klausula baku yang
dibuatnya dengan peraturan yang ada agar tidak bertentangan dengan undang – undang.

Contoh Klausa Baku :


Kuitansi atau / faktur pembelian barang, yang menyatakan :

“Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” ;

“Barang tidak diambil dalam waktu 2 minggu dalam nota penjualan kami batalkan”

‘20 Hukum Bisnis


6 Rina Tresnawati, S.E.,M.M.
Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
Ketentuan klausa baku menurut UU Perlindungan Konsumen :

Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen


menetapkan bahwa Klausula Baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian
dilarang bagi pelaku usaha, apabila :

1) Menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;


2) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen;
3) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan
atas barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
4) Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran;
5) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa
yang dibeli konsumen;
6) Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
7) Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan atau lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak
oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8) Menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli
oleh konsumen secara angsuran;

Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha

Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena


itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan
perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang abstrak.
Dengan kata lain sesungguhnya perlindungan konsumen identik dengan perlindungan yang
diberikan hukum tentang hak-hak konsumen. Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar
konsumen, yaitu:

‘20 Hukum Bisnis


7 Rina Tresnawati, S.E.,M.M.
Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
a. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety)
b. Hak untuk mendapatkan informasi ( the right to be informed)
c. Hak untuk memilih (the right To choose)
d. Hak untuk didengar (the right to be heard)
Langkah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen harus diawali dengan
upaya untuk memahami hak-hak pokok konsumen, yang dapat dijadikan sebagai landasan
perjuangan untuk mewujudkan hak-hak nya tersebut.
Hak konsumen sebagaimana tertuang dalam pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 adalah
sebagai berikut:
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai konsidi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Selain memperoleh hak tersebut, sebagai penyeimbang konsumen juga diwajibkan


untuk:
1. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

‘20 Hukum Bisnis


8 Rina Tresnawati, S.E.,M.M.
Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai
keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, kepada para pelaku usaha
diberikan hak sebagaimana diataur dalam pasal 6 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen sebagai berikut:
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi
dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad
tidak baik;
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Selanjutnya, sebagai konsekuensi dari hak konsumen yang telah disebutkan pada uraian
terdahulu, maka kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajiban- kewajiban sebagaimana
diatur dalam pasal 7 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Kosumen adalah sebagai
berikut:
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

‘20 Hukum Bisnis


9 Rina Tresnawati, S.E.,M.M.
Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha Berupa Larangan

Dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 mengatur
perbuatan hukum yang dilarang bagi pelaku usaha adalah larangan dalam
memproduksi/memperdagangkan, larangan dalam menawarkan / mempromosikan
/mengiklankan, larangan penjualan secara obral/lelang, dan larangan dalam
ketentuan periklanan.

Pasal 8
1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang:
• Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
• Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
• Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya;
• Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut,
• Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,
atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan
barang dan/atau jasa tersebut;
• Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan
atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
• Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut;
• Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
“halal” yang dicantumkan dalam label;
• Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama
barang, ukuran, berat / isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain
untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;

‘20 Hukum Bisnis


10 Rina Tresnawati, S.E.,M.M.
Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
• Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang, rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang
dimaksud.
3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak,
cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa rnemberikan informasi secara
lengkap dan benar.
4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2 dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.
Pasal 9
1. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
• Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus,
standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau
guna tertentu;
• Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
• Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor
persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau
aksesori tertentu;
• Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor,
persetujuan atau afiliasi;
• Barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
• Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
• Barang tersebut rnerupakan kelengkapan dari barang tertentu;
• Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
• Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
• Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman tidak berbahaya, tidak
mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
• Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
2. Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilarang untuk
diperdagangkan.

‘20 Hukum Bisnis


11 Rina Tresnawati, S.E.,M.M.
Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
3. pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat 1 dilarang melanjutkan
penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.

Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat
pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
1. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
2. Kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
3. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
4. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
5. Bahwa penggunaan barang dan/atau jasa.

Pasal 11
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang,
dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan:
1. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu
tertentu;
2. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat
tersembunyi;
3. Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk
menjual barang lain;
4. Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan
maksud menjual barang yang lain;
5. Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan
maksud menjual jasa yang lain;
6. Menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.

Pasal 12
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku
usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang
ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.

‘20 Hukum Bisnis


12 Rina Tresnawati, S.E.,M.M.
Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
Pasal 13
1. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu
barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang
dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau
memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
2. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat
tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan
cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.

Pasal 14
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang, ditujukan untuk
diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk:
1. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
2. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa;
3. Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
4. Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan;

Pasal 15
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara
pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap
konsumen.

Pasal 16
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:
1. Tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang
dijanjikan;
2. Tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.

Pasal 17
1. Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:

‘20 Hukum Bisnis


13 Rina Tresnawati, S.E.,M.M.
Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
• Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga
barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
• Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
• Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau
jasa;
• Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
• Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau
persetujuan yang bersangkutan;
• Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
periklanan.
2. Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar
ketentuan pada ayat 1.

Penegakan Hukum Konsumen

Perlindungan konsumen di negara Indonesia masih merupakan hal yang kurang


mendapat perhatian. Oleh karena itu, dalam mengantisipasi produk-produk barang atau jasa
yang merugikan atau mencelakakan konsumen, sebagian negara disertai perdagangan bebas
telah mengintroduksi doktrin product liability dalam tata hukumnya, seperti halnya dinegara
Jepang, Undang-Undang No. 85 Tahun 1994 tentang Product Liability mencantumkan empat
kategori atau kelompok produsen, yaitu pembuat barang, importir, orang yang menuliskan
namanya dalam produk sebagai produsen atau importer, seseorang yang menempatkan
namanya pada produk. Penerapan doktrin strict product liability, diperoleh kesimpulan bahwa
distributor produk dapat dimintakan pertanggung jawaban atas kerugian yang diderita
konsumen walaupun distributor tersebut bukan produsen yang membuat barang, tetapi hanya
karena mengemas kembali produk tersebut dan tidak memberikan instruksi atau petunjuk
penggunaan bagi konsumen untuk menggunakan produk tersebut dengan aman. Realitas
penegakan hukum menunjukkan bahwa secara sadar atau tidak disadari hukum melegitimasi
ketidakadilan sosial ekonomi, misalkan struktur hukum sangat memungkinkan pengusaha/ atau
produsen menindas konsumen sebagai salah satu pelaku ekonomi.
Melalui doktrin tersebut, telah terjadi deregulasi doktrin perbuatan melawan hukum
(Pasal 1365 KUHPerdata ) yang menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian, mengganti kerugian tersebut. Untuk dapat dikatakan sebagai Perbuatan Melawan
Hukum berdasar Pasal 1365 KUHPerdata, suatu perbuatan harus memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut : a) Adanya perbuatan melawan hukum; b) Adanya unsur kesalahan; c)Adanya

‘20 Hukum Bisnis


14 Rina Tresnawati, S.E.,M.M.
Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
kerugian; d) Adanya hubungan sebab akibat yang menunjukkan bahwa adanya kerugian
disebabkan oleh kesalahan seseorang.
Adanya unsur melawan hukum dimana suatu perbuatan melawan hukum memenuhi
unsur-unsur berikut : (1) Bertentangan dengan hak orang lain; (2) Bertentangan dengan
kewajiban hukumnya sendiri; (3) Bertentangan dengan kesusilaan; (4) Bertentangan dengan
keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda.
Unsur-unsur ini pada dasarnya bersifat alternatif, artinya untuk memenuhi bahwa suatu
perbuatan melawan hukum, tidak harus dipenuhi semua unsur tersebut. Jika suatu perbuatan
sudah memenuhi salah satu unsur saja, maka perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai
perbuatan melawan hukum. Dalam perkara ini, perbuatan melawan hukum yang dilakukan para
tergugat adalah yang bertentangan dengan hak orang lain dan kewajiban hukumnya sendiri.
Sehingga semakin menyeimbangkan kedudukan dan peran konsumen terhadap
pengusaha, sekalipun salah satu asas negara hukum telah menegaskan bahwa setiap orang
memiliki kedudukan yang sama/seimbang dimata hukum. Dalam hubungannya dengan
perdagangan bebas, bila kita tidak mampu menangkap atau menjabarkan pesan-pesan
“tersembunyi” dari era perdagangan bebas, maka cepat atau lambat konsumen Indonesia akan
mengalami/menghadapi persoalan yang makin kompleks dalam mengkonsumsi produk barang
dan jasa yang semakin beraneka ragam.
Terminologi product liability masih tergolong baru dalam doktrin ilmu hukum di
Indonesia. Ada yang menterjemahkannya sebagai “Tanggung gugat produk” dan ada pula yang
menterjemahkannya sebagai “Tanggung jawab produk”. Guna memudahkan pembahasan,
penulis akan lebih banyak menggunakan istilah aslinya tanpa mengurangi makna atau
substansinya. Berikut ini dikutipkan beberapa pengertian atau rumusannya menurut Black’s
Law Dictionary product liability refers to the legal liability of manufacturers and sellers to
compensate buyers, users and even bystanders, for damages or injuries suffered because of
defects in good purchased. A tort which makes a manufacturer liable if his product has a
defective condition that makes it unreasonably dangerous to the user or consumer.
Sedangkan pengertian Produktenaansprakelikeheid adalah tanggung jawab pemilik
pabrik untuk barang-barang yang dihasilkannya, misal yang berhubungan dengan kesehatan
pembeli, pemakai (konsumen) atau keamanan produk. Ius Constituendum diberikan pengertian
sebagai kaidah hukum yang dicita-citakan berlaku di suatu negara . Dalam konteks tulisan
sederhana ini, doktrin product liability diharapkan dapat diintroduksi dalam doktrin perbuatan
melawan hukum (tort) sebagaimana diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Tanggung jawab produk adalah istilah yang dialih bahasakan dari product liability,
berbeda dengan ajaran pertanggung jawaban hukum pada umumnya dimana tanggung jawab
produk disebabkan oleh keadaan tertentu produk (cacat atau membahayakan orang lain) adalah
tanggung jawab mutlak produsen yang disebut dengan strict liability.
Dengan diterapkannya tanggung jawab mutlak ini, produsen telah dianggap bersalah
atas terjadinya kerugian kepada konsumen akibat produk cacat bersangkutan, kecuali apabila
ia (produsen) dapat membuktikan sebaliknya bahwa kerugian itu bukan disebabkan oleh
produsen. Pada umumnya ganti rugi karena adanya cacat barang itu sendiri adalah tanggung
jawab penjual. Hal ini berarti kerugian pada barang yang dibeli, konsumen dapat mengajukan
tuntutan berdasarkan adanya kewajiban produsen untuk menjamin kualitas suatu produk.

‘20 Hukum Bisnis


15 Rina Tresnawati, S.E.,M.M.
Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
Tuntutan ini dapat berupa pengembalian barang sambil menuntut kembali harga pembelian,
atau penukaran barang yang baik mutunya.
Tuntutan ganti rugi dapat ditujukan kepada produsen dan juga kepada penjual sebagai
pihak yang menyediakan jasa untuk menyalurkan barang/produk dari produsen kepada pihak
penjual (penyalur) berkewajiban menjamin kualitas produk yang mereka pasarkan. Yang
dimaksud dengan jaminan atas kualitas produk ini adalah suatu jaminan atau garansi bahwa
barang-barang yang dibeli akan sesuai dengan standar kualitas produk tertentu. Jika standar ini
tidak terpenuhi maka pembeli atau konsumen dapat memperoleh ganti rugi dari pihak
produsen/penjual. Pasal 1504 KUPerdata mewajibkan penjual untuk menjamin cacat yang
tersembunyi yang terdapat pada barang yang dijualnya. Cacat itu mesti cacat yang sungguh-
sungguh bersifat sedemikian rupa yang menyebabkan barang itu tidak dapat dipergunakan
dengan sempurna, sesuai dengan keperluan yang semestinya dihayati oleh benda sendiri. Atau
cacat itu mengakibatkan berkurangnya manfaat benda tersebut dari tujuan pemakaian yang
semestinya. Mengenai masalah apakah penjual mengetahui atau tidak akan adanya cacat
tersebut tidak menjadi persoalan (Pasal 1506 KUHPerdata) baik dia mengetahui atau tidak
penjual harus menjamin atas segala cacat yang tersembunyi pada barang yang dijualnya.
Menurut Prof. Subekti dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata : perkataan
tersembunyi ini harus diartikan bahwa adanya cacat tersebut tidak mudah dilihat oleh seseorang
pembeli yang terlampau teliti, sebab adalah mungkin sekali bahwa orang yang sangat teliti
akan menemukan adanya cacat tersebut. Terhadap cacat yang mudah dilihat dan sepatutnya
pembeli dapat melihat tanpa susah payah, maka terhadap cacat yang sedemikian penjual tidak
bertanggung jawab. Karena terhadap cacat yang demikian harus menjadi tanggung jawab
konsumen (pembeli). Disinilah berlaku prinsip bahwa pembeli bertanggung jawab sendiri atas
cacat yang secara normal patut diketahui dan mudah dilihat. Dengan demikian suatu cacat yang
objektif mudah dilihat secara normal tanpa memerlukan pemeriksaan yang seksama dari ahli,
adalah cacat yang tersembunyi.
Terhadap adanya cacat-cacat yang tersembunyi pada barang yang dibeli, pembeli
(konsumen) dapat mengajukan tuntutan atau aksi pembatalan jual beli, dengan ketentuan
tersebut dimajukan dalam waktu singkat, dengan perincian sebagaimana yang ditentukan Pasal
1508 KUHPerdata : 1) Kalau cacat tersebut dari semula diketahui oleh pihak penjual, maka
penjual wajib mengembalikan harga penjualan kepada pembeli dan ditambah dengan
pembayaran ganti rugi yang terdiri dari ongkos, kerugian dan bunga; 2) Kalau cacat ini benar-
benar memang tidak diketahui oleh penjual, maka penjual hanya berkewajiban mengembalikan
harga penjualan serta biaya-biaya (ongkos yang dikeluarkan pembeli waktu pembelian dan
penyerahan barang); 3) Kalau barang yang dibeli musnah sebagai akibat yang ditimbulkan oleh
cacat yang tersembunyi, maka penjual tetap wajib mengembalikan harga penjualan kepada
pembeli.
Terkecuali apabila penjual telah meminta diperjanjikan tidak menanggung sesuatu
apapun dalam hal adanya cacat tersembunyi pada barang yang dijualnya (Pasal 1506), maka
hal itu berarti bahwa adanya cacat tersembunyi pada barang yang dibeli menjadi resiko pembeli
sendiri. Misalnya pada penjualan barang-barang yang menurut sifatnya mudah rusak, seperti
penjualan barang pecah belah (gelas, piring dan sebagainya), apabila penjualan tersebut dalam
jumlah yang besar, maka apabila penjual telah meminta diperjanjikan tidak menanggung suatu
apapun dalam hal adanya cacat tersembunyi pada barang yang dijualnya, dan pihak pembeli

‘20 Hukum Bisnis


16 Rina Tresnawati, S.E.,M.M.
Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
telah menyanggupinya, maka hal ini berarti bahwa adanya cacat tersembunyi pada barang yang
dibeli menjadi resiko pembeli sendiri.
Klausula itu memang diperbolehkan oleh ketentuan dalam Pasal 1493 KUHPerdata
yang menyatakan : Kedua belah pihak diperbolehkan dengan persetujuan-persetujuan
istimewa, memperluas atau mengurangi kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh undang-
undang ini; bahwa mereka diperbolehkan mengadakan persetujuan/perjanjian bahwa si penjual
tidak akan diwajibkan menanggung sesuai apapun. Dalam hal adanya jaminan kecocokan atau
kelayakan, maka biasanya dituntut agar barang itu : a. Sama dengan barang yang pada
umumnya disebut sebagai barang itu (sama dengan barang-barang sejenisnya); b. Mempunyai
kualitas biasa kecuali dinyatakan tidak; c. Layak dipakai untuk keperluan biasa; dan d. Harus
dibungkus dan diberi lebel yang memadai. Barang itu harus sesuai dengan keterangan yang
terdapat pada pembungkus atau lebelnya.
Pertanggung jawaban yang ditentukan dalam Pasal 1367 ayat (1) ini mewajibkan
produsen sebagai pihak yang menghasilkan produk untuk menanggung segala kerugian yang
mungkin akan disebabkan oleh keadaan barang yang dihasilkan. Produsen menurut hukum
bertanggung jawab dan berkewajiban mengadakan pengawasan terhadap produk yang
dihasilkannya. Pengawasan ini harus selalu dilakukan secara teliti dan menurut keahlian. Kalau
tidak selaku pihak yang menghasilkan produk dapat dianggap lalai, dan kelalaian ini kalau
kemudian menyebabkan sakit, cidera atau mati/meninggalnya konsumen pemakai produk yang
dihasilkannya, maka produsen harus mempertanggung jawabkannya.
Sekiranya inilah yang dimaksud oleh Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan,
bahwa seseorang dapat dipertanggung jawabkan atas suatu kerugian yang disebabkan oleh
barang-barang yang berada dibawah pengawasannya. Oleh karena itu, konsumen selaku
Penggugat harus dapat membuktikan bahwa produsen telah melakukan perbuatan yang
melanggar hukum dan itu atas dasar kesalahan produsen sebagai pihak yang menghasilkan
produk tersebut. Dalam hal ini ditekankan adalah kesalahan produsen. Bahwa Pasal 1365 BW
tidak membedakan hal kesengajaan dari hal kurang berhati-hati melainkan hanya mengatakan,
bahwa harus ada kesalahan dipihak pembuat perbuatan melanggar hukum agar sipembuat itu
dapat diwajibkan menanggung/membayar ganti kerugian.
Menurut Prof. Wirjono dalam hukum Perdata BW tidak perlu dihiraukan apa ada
kesengajaan atau kurang berhati-hati. Dalam hukum pembuktian dikenal suatu prinsip yang
disebut prinsip bewijsleer atau ajaran pembuktian yang menyatakan bahwa barangsiapa yang
mendalilkan itu kewajiban untuk membuktikan dalil dan peristiwa dimaksud. Terutama dalam
kasus tentang barang yang diproduksi secara massal, maka konsumen selaku penggugat
membuktikan bahwa produk yang dimaksud dibeli produsen tersebut, siapa yang bertanggung
gugat atas tindakan yang lalai tersebut, serta tindakan itu merupakan tindakan yang melanggar
hukum dan ada unsur kesalahan serta adanya hubungan sebab akibat yang menimbulkan
kerugian dimaksud.
Jadi terhadap kasus tanggung gugat produsen atas produk yang menyebabkan sakit,
cidera atau mati/meninggalnya konsumen pemakai produk tersebut memerlukan adanya
pembuktian yang dimaksud. Pekerjaan pembuktian ini bukanlah suatu pekerjaan yang mudah,
apalagi bagi seorang konsumen yang awam hukum. Membuktikan bahwa meninggalnya atau
menjadi sakitnya seseorang karena suatu makanan misalnya, memerlukan pemeriksaan

‘20 Hukum Bisnis


17 Rina Tresnawati, S.E.,M.M.
Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
laboratorium. Ini tentunya memakan biaya, waktu dan tenaga yang tidak sedikit, oleh karena
itu pembuktian ini sama sekali tidak mudah atau sederhana.

Daftar Pustaka

Nurani, Nina. 2009. Hukum Bisnis Suatu Pengantar. Bandung: CV. Insan Mandiri, Cetakan
IV.
https://id.wikipedia.org/wiki/Perlindungan_konsumen
https://id.wikipedia.org/wiki/Klausula_Baku
https://irmadevita.com/amp/2012/klausula-baku-vs-perlindungan-terhadap-konsumen/
https://www.jurnalhukum.com/pengertian-konsumen/
https://www.jurnalhukum.com/pengertian-pelaku-usaha/
http://lembagaperlindungankonsumenmedan.blogspot.com/p/blog-page_11.html
https://ferli1982.wordpress.com/2012/05/21/perlindungan-konsumen-dalam-aspek-
penegakan-hukum-menurut-undang-undang-nomor-8-tahun-1999/

‘20 Hukum Bisnis


18 Rina Tresnawati, S.E.,M.M.
Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id

Anda mungkin juga menyukai