Anda di halaman 1dari 5

PERKEMBANGAN KURIKULUM INDONESIA

Muhammad Nuzulul Muttaqin

KEYWORDS ABSTRAK
Perkembangan, Kurikulum menjadi komponen penting dalam pendidikan, karena
kurikulum, Filosofi Ki mengatur semua proses pendidikan mulai dari perencanaan hingga
Hajar Dewantara evaluasi. Proses pengembangan kurikulum merupakan langkah-langkah
untuk mengembangkan suatu kurikulum, dapat juga diartikan
sebagai langkah-langkah untuk menghasilkan kurikulum atau
menyempurnakan kurikulum yang telah ada. Perkemabangan
kurikulum tidak lepas dari peran folosofi tokoh pendidikan bangsa.
Salah satu tokoh bangsa yang digunakan landasan folosofis adalah Ki
Hajar Dewantara. Kajian ini membahas mengenai proses
pengembangan kurikulum, tahapan-tahapan pengembangan kurikulum,
dan faktor pendukung serta kajian filosodi dari tokoh Ki Hajar
Dewantara. Metode yang digunakan dalam penyusunan artikel ini
adalah library research, dengan menelaah beberapa literatur mengenai
pengembangan kurikulum

1. PENDAHULUAN
Kurikulum menjadi bagian terpenting pendidikan, Searah dengan kemajuan
pendidikan yang terus meningkat pada semua jenis dan jenjang pendidikan di Indonesia.
Secara resmi, kurikulum sejak zaman Belanda sudah diterapkan di sekolah, artinya
kurikulum sudah diterapkan sejak saat penjajahan Belanda (Wahyuni, 2015). Kurikulum
adalah alat yang digunakan untuk menggapai tujuan pendidikan dan sebagai
rujukan didalam pelaksanaan pendidikan. Kurikulum menunjukkan dasar atau
pandangan hidup suatu bangsa. Bentuk kehidupan yang akan digunakan oleh bangsa
tersebut akan ditentukan oleh kurikulum yang digunakan di negara tersebut (Fajri, 2019).
1F

Kurikulum selalu ada perubahan dan penyempurnaan karena banyak faktor yang
mempengaruhinya. Tujuan pendidikan dapat berubah secara menyeluruh jika negara
tersebut sedang mengalami perubahan dari negara dijajah menjadi negara merdeka
(Nasution, 2006) . Perubahan kurikulum adalah bentuk pengaruh dari perubahan undang-
undang tentang sistem pendidikan nasional, misalnya seperti Rencana Pelajaran 1950
merupakan konsekuensi lahirnya UU Nomor 4 Tahun 1950 dan kurikulum 1994
merupakan konsekuensi dari lahirnya UU Nomor 2 Tahun 1989 (Suparlan, 2017).
3F

2. METODE
Dalam penulisan artikel ini, penulis menggunakan metode penelitian sejarah
(Histori), penulis menggunakan metode ini karena dinilai sangat sesuai dengan
kebutuhan penulis. Dimana dalam metode ini penulis melakukan telaah pustaka dalam
bentuk buku dan jurnal-jurnal yang berkaitan dengan topic yang diajukan penulis, fokus
penelitian ditujukan untuk menganalisis secara krisis mengenai perkembangan kurikulum
pendidikan di Indonesia dari masa ke masa
3. PEMBAHASAN
(a) Filosofi Pendidikan Kihajar Dewantara
Terbelenggu dalam pusaran tirani penjajahan Belanda, telah mendorong Ki Hajar
Dewantara untuk memaknai pendidikan secara filosofi sebagai upaya memerdekakan
manusia dalam aspek lahiriah (kemiskinan dan kebodohan), dan batiniah (otonomi
berpikir dan mengambil keputusan,martabat, mentalitas demokratik) (Sugiarta dkk.,
2019). Filosofi pendidikan memberikan kebijakan-kebijakan pendidikan, mengusulkan
cita-cita pendidikan serta memberikan hakikat kehidupan yang baik (Gunawan, 1989)
Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam
kepribadian dan kerohanian (Yanuarti, 2017), baru kemudian menyediakan diri untuk
menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa
dan bangsa (Riyanton, 2016). Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik
pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian
sebagai fasilitator atau pengajar (Indrayani, 2019)
Dengan berbagai ide yang dimiliki Ki Hajar Dewantara, ada satu konsep yang
terlupakan. Ki Hajar pernah melontarkan konsep belajar 3 dinding. Kalau kita mengingat
masa lalu ketika masih di bangku sekolah, bentuk ruang kelas kita rata-rata adalah
persegi empat. Nah, Ki Hajar menyarankan ruang kelas itu hanya dibangun 3 sisi dinding
saja. Ada satu sisi yang terbuka. Konsep ini bukan main-main filosofinya. Dengan ada
satu dinding yang terbuka, maka seolah hendak menegaskan tidak ada batas atau jarak
antara di dalam kelas dengan realita di luar kelas (Irawati et al., 2022).
Dalam berjuang untuk pendidikan bangsa, Ki Hajar Dewantara mempunyai
Semboyan yaitu tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa
memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara
murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada(di depan,
seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan baik) (Febriyanti, 2021).
Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan kita, terutama di sekolah-
sekolah Taman Siswa.
Ki Hajar Dewantara senantiasa melihat manusia lebih pada sisi kehidupan
psikologiknya, karena manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya (Masitoh
dan Cahyani, 2020). Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua
daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja
akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia (Malatuny, 2016) .
Kihajar dewantara mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek
intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya (Asmuni,
tt.)
(b) Perjalanan Kurikulum Pra Kemerdekaan
Kurikulum sekolah selama penjajahan Belanda bertalian erat dengan gereja.
Kepentingan utama VOC mendirikan sekolah ialah agar penganut agama Kristen di
kalangan penduduk pribumi dapat membaca kitab Injil. Pada abad abad ke 17 dan ke 18
segala kegiatan yang menyangkut bidang pendidikan dan pengajaran di negeri Belanda
dilaksanakan oleh lembaga keagamaan (Supardan, 2008). Pemerintah tidak ikut tidak
campur tangan langsung dalam penyelengaraannya sehingga gereja mempunyai
kebebasan yang besar dalam bidang pendidikan. VOC pada waktu menguasai Hindia
Belanda (Indonesia) tidak menghendaki lembaga keagamaan mempunyai wewenang
besar dalam mengatur masyarakat di daerah yang mereka kuasai. Kegiatan gereja
merupakan sebagian saja dari kegiatan VOC yang bertujuan komersial untuk mencari
keuntungan yang sebesar besarnya (Asri, 2017)
Pada masa penjajahan jepang, penggolongan pelayanan pendidikan baik menurut
golongan bangsa maupun menurut status social dihapus (Manurung, 2019). Dengan
demikian, terdapat integrasi terhadap macam macam sekolah yang sejenis. Sejak zaman
Jepang, bahasa Indonesia dan istilah Indonesia mulai dipergunakan di sekolah dan
lembaga pendidikan. Sekolah Rendah, waktu itu diganti nama menjadi Sekolah Rakyat
(Kokumin Gakko). Sekolah Menengah Pertama (Shoto Chu Gakko) dan selanjutnya
Sekolah Menengah Tinggi (Koto Chu Gakko) dengan lama pendidikan tiga tahun untuk
Sekolah Menengah Pertama dan tiga tahun untuk Sekolah Menengah Tinggi (Wahyuni,
2015)
(c) Perjalanan Kurikulum Pasca Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan, tercatat bahwa kurikulum di Indonesia sudah mengalami
pergantian beberapa kali. Mengutip dari buku Perkembangan Kurikulum SMA di
Indonesia dari Kemendikbud, perubahan kurikulum merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari konstelasi politik, sosial, dan budaya bangsa Indonesia yang selalu
berkembang dari satu masa ke masa berikutnya (Alhamuddin, 2014). Berikut
perkembangan kurikulum indonesia pasca kemerdekaan (Manurung, 2019)
1 Rentjana Pelajaran 1947
Kurikulum 1947 juga dikenal dengan istilah Rentjana Pelajaran 1947.
Perubahan arah pendidikan lebih bersifat politis, dari orientasi pendidikan Belanda
ke kepentingan nasional.
2 Rentjana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum 1952 menjadi penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya dan
diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai Tahun 1952. Hal yang paling menonjol
sekaligus menjadi ciri khas kurikulum ini adalah konsep tematik.
3 Rentjana Pendidikan 1964
Isu yang berkembang pada kurikulum ini adalah konsep pembelajaran aktif,
kreatif, dan produktif. Melalui konsep ini, pemerintah menetapkan hari Sabtu adalah
hari krida. Artinya, siswa diberi kebebasan untuk berlatih berbagai kegiatan sesuai
dengan minat bakatnya.
4 Kurikulum 1968
Tujuannya lebih ditekankan untuk mempertinggi mental, moral, budi pekerti,
dan keyakinan beragama. Ciri khusus yang menonjol dari kurikulum 1968
adalah correlated subject curriculum.
5 Kurikulum 1975
Pemerintah kemudian menyempurnakan kurikulum 1968 pada tahun 1975.
Latar belakang kelahirannya akibat dari sejumlah perubahan oleh pembangunan
nasional. Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur
Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI)
6 Kurikulum 1984
Kurikulum ini lahir karena kurikulum 1975 disebut tidak bisa mengejar
kemajuan pesat masyarakat. Ciri khususnya, kurikulum 1984 lebih mengedepankan
keaktifan siswa dalam belajar. Pengembangan proses belajar inilah yang disebut
dengan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).
7 Kurikulum 1994
Pada tahun 1994 pemerintah memperbarui kurikulum sebagai upaya
memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya, terutama Kurikulum 1975 dan 1984.
Beberapa perubahannya, mulai dari perubahan sistem pembagian waktu pelajaran
dari semester ke caturwulan.
8 Kurikulum 2004
Pada tahun 2004 melahirkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sebagai
pengganti Kurikulum 1994, kemudian dikembangkan pula kurikulum yang semula
berbasis materi diubah menjadi berbasis kompetensi
9 Kurikulum 2006
Kurikulum 2006 inilah yang biasa dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) dan diberlakukan sejak Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional yang kemudian dijabarkan dalam Peraturan
Pemerintah No 10 tahun 2003.
10 Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 lebih menekankan pada pendidikan karakter.
Implementasinya, pendidikan karakter diintegrasikan dalam seluruh pembelajaran
pada setiap bidang studi. Selain itu, kurikulum ini menekankan pada pembentukan
sikap spiritual pada Kompetensi Inti 1 (KI 1) dan sikap sosial pada Kompetensi Inti
2 (KI 2). Kurikulum 2013 hingga saat ini masih berlaku dan diterapkan di sekolah-
sekolah Indonesia.
11 Kurikulum merdeka
Untuk mendukung visi pendidikan Indonesia, dan sebagai bagian dari upaya
pemulihan pembelajaran, Kurikulum Merdeka (yang sebelumnya disebut sebagai
kurikulum prototipe) dikembangkan sebagai kerangka kurikulum yang lebih
fleksibel, sekaligus berfokus pada materi esensial dan pengembangan karakter dan
kompetensi peserta didik.
4. KESIMPULAN
Filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara bersendikan pada tiga pilar pemikiran
pendidikan, yakni Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan Tutwuri
handayani, kemudian dijawantahkan dalam sistem among, momong, ngemong dalam proses
pembelajaran.
Bertolak dari filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara maka pendidikan harus
menjamin terjadinya proses transformasi knowledge menuju proses transformasi nilai
(value). Ki hajar dewantara menggunakan konsep tiga dinding kelas, yang mempuyai arti
kelas dalam artian pendidikan harus mempunyai sisi yang terbuka yang artinya tidak ada
sekat antara pendidikan dengan dunia kemasyarakatan yang berkaitan erat dengan nilai luhur
bangsa.
Dalam sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia telah tercatat sebanyak
sebelas kali yaitu sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami
perubahan pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1973, 1975, 1984, 1994, 1999, 2004,
2006 dan 2013. Yang dimana setiap kurikulumnya mempunyai kelebihan dan
kekurangannya. Dan kurikulum ini dapat berubah kapanpun sesuai dengan kebutuhan
pendidikan di Indonesia.

5. DAFTAR PUSTAKA
Alhamuddin, A. (2014). Sejarah Kurikulum Di Indonesia (Studi Analisis Kebijakan Pengembangan
Kurikulum). Nur El-Islam, 1(2), 48–58.
Asmuni, O. (T.T.). Rekonstruksi Pendidikan Indonesia: Berguru Pada Ki Hajar Dewantara.
Asri, M. (2017). Dinamika Kurikulum Di Indonesia. Modeling: Jurnal Program Studi PGMI, 4(2),
192–202.
Fajri, K. N. (2019). Proses Pengembangan Kurikulum. Islamika, 1(2), 35–48.
Febriyanti, N. (2021). Implementasi Konsep Pendidikan Menurut Ki Hajar Dewantara. Jurnal
Pendidikan Tambusai, 5(1), 1631–1637.
Gunawan, K. (1989). Aktualisasi Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Dalam Sistem
Pendidikan Nasional Indonesia Di Gerbang XXI” Dalam Ki Hadjar Dewantara Dalam
Pandangan Para Cantrik Dan Mantriknya. Yogyakarta: MLPTS.
Indrayani, N. (2019). Sistem Among Ki Hajar Dewantara Dalam Era Revolusi Industri 4.0. Seminar
Nasional Sejarah Ke, 4, 384–400.
Malatuny, Y. G. (2016). Pemikiran Tokoh-Tokoh Pendidikan Indonesia, Kontribusi Serta Implikasi
Dalam Pendidikan. Pedagogika: Jurnal Pedagogik Dan Dinamika Pendidikan, 4(2), 87–95.
Manurung, L. (2019). Sejarah Kurikulum Di Indonesia. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 5(2), 88–
95.
Masitoh, S., & Cahyani, F. (2020). Penerapan Sistem Among Dalam Proses Pendidikan Suatu Upaya
Mengembangkan Kompetensi Guru. Kwangsan: Jurnal Teknologi Pendidikan, 8(1), 122–141.
Nasution, S. (2006). Asas-Asas Kurikulum. Cet. Ke-7. Bandung: Bumi Aksara.
Riyanton, M. (2016). Pendidikan Humanisme Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Bahasa
Indonesia. Jurnal Lingua Idea, 6(1).
Sugiarta, I. M., Mardana, I. B. P., & Adiarta, A. (2019). Filsafat Pendidikan Ki Hajar Dewantara
(Tokoh Timur). Jurnal Filsafat Indonesia, 2(3), 124–136.
Supardan, D. (2008). Menyingkap Perkembangan Pendidikan Sejak Masa Kolonial Hingga
Sekarang: Perspektif Pendidikan Kritis. Generasi Kampus, 1(2).
Suparlan, S. (2017). Implementasi Pendekatan Saintifik Kurikulum 2013 Pada Pembelajaran IPA Di
SD/MI Kelas IV. Fondatia, 1(2), 93–115.
Wahyuni, F. (2015). Kurikulum dari masa ke masa (telaah atas pentahapan kurikulum pendidikan di
Indonesia). Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan Dan Keagamaan, 10(2), 231–242.
Yanuarti, E. (2017). Pemikiran pendidikan ki. Hajar dewantara dan relevansinya dengan kurikulum
13. Jurnal Penelitian, 11(2), 237–265.

Anda mungkin juga menyukai