Moderasi Beragama
Moderasi Beragama
Kalau dianalogikan, moderasi adalah ibarat gerak dari pinggir yang selalu
cenderung menuju pusat atau sumbu (centripetal), sedangkan ekstremisme adalah
gerak sebaliknya menjauhi pusat atau sumbu, menuju sisi terluar dan ekstrem
(centrifugal). Ibarat bandul jam, ada gerak yang dinamis, tidak berhenti di satu sisi
luar secara ekstrem, melainkan bergerak menuju ke tengah-tengah
Tentu perlu ada ukuran, batasan, dan indikator untuk menentukan apakah
sebuah cara pandang, sikap, dan perilaku beragama tertentu itu tergolong moderat
atau ekstrem. Moderasi beragama sesungguhnya merupakan kunci terciptanya
toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Pilihan pada
moderasi dengan menolak ekstremisme dan liberalisme dalam beragama adalah
kunci keseimbangan, demi terpeliharanya peradaban dan terciptanya perdamaian.
Dengan cara inilah masing-masing umat beragama dapat memperlakukan orang lain
secara terhormat, menerima perbedaan, serta hidup bersama dalam damai dan
harmoni. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, moderasi beragama bisa
jadi bukan pilihan, melainkan keharusan.
Inti dari moderasi beragama adalah adil dan berimbang dalam memandang,
menyikapi, dan mempraktikkan semua konsep yang berpasangan, misalnya
keseimbangan antara akal dan wahyu, antara jasmani dan rohani, antara hak dan
kewajiban, antara kepentingan individual dan kemaslahatan komunal, antara
keharusan dan kesukarelaan, antara teks agama dan ijtihad tokoh agama, antara
gagasan ideal dan kenyataan, serta keseimbangan antara masa lalu dan masa
depan.
Moderasi bukan hanya diajarkan oleh Islam, tapi juga agama lain. Lebih jauh,
moderasi merupakan kebajikan yang mendorong terciptanya harmoni sosial dan
keseimbangan dalam kehidupan secara personal, keluarga dan masyarakat hingga
hubungan antarmanusia yang lebih luas
Dapat dikatakan bahwa ada tiga syarat terpenuhinya sikap moderat dalam
beragama, yakni: memiliki pengetahuan yang luas, mampu mengendalikan emosi
untuk tidak melebihi batas, dan selalu berhati-hati. Jika disederhanakan, rumusan
tiga syarat moderasi. Kita dapat mengidentifikasi beberapa sifat lain yang harus
dimiliki sebagai prasyarat moderasi beragama, seperti: keharusan memiliki
pengetahuan yang komprehensif terkait ritual ibadah.
Dalam konteks bernegara, prinsip moderasi ini pula yang pada masa awal
kemerdekaan dapat mempersatukan tokoh kemerdekaan yang memiliki ragam isi
kepala, ragam kepentingan politik, serta ragam agama dan kepercayaan. Semuanya
bergerak ke tengah mencari titik temu untuk bersama-sama menerima bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai kesepakatan bersama.
Kerelaan dalam menerima NKRI sebagai bentuk final dalam bernegara dapat
dikategorikan sebagai sikap toleran untuk menerima konsep negara-bangsa.
Kita perlu mengenal dan mengetahui agama-agama yang lain itu, bukan hanya
demi dialog dan hubungan baik antaragama, tetapi juga supaya dengan lebih tepat
mengetahui dan menyadari kekhasan dan jati diri agamanya sendiri.
Indikator moderasi beragama yang akan digunakan adalah empat hal, yaitu: 1)
komitmen kebangsaan; 2) toleransi; 3) anti-kekerasan; dan 4) akomodatif terhadap
kebudayaan lokal. Keempat indikator ini dapat digunakan untuk mengenali seberapa
kuat moderasi beragama yang dipraktikkan oleh seseorang di Indonesia, dan
seberapa besar kerentanan yang dimiliki.
Dalam konteks buku ini, toleransi beragama yang menjadi tekanan adalah
toleransi antaragama dan toleransi intraagama, baik terkait dengan toleransi sosial
maupun politik. Melalui relasi antaragama, kita dapat melihat sikap pada pemeluk
agama lain, kesediaan berdialog, bekerja sama, pendirian tempat ibadah, serta
pengalaman berinteraksi dengan pemeluk agama lain.
Moderasi beragama bertujuan untuk menengahi kedua kutub ekstrem ini, dengan
menekankan pentingnya internalisasi ajaran agama secara substantif di satu sisi,
dan melakukan kontekstualisasi teks agama di sisi lain. Moderasi beragama tidak
hanya bertujuan untuk menengahi mereka yang cenderung memiliki pemahaman
keagamaan yang ultrakonservatif, melainkan juga kelompok yang memiliki cara
pandang, sikap, dan perilaku beragama yang liberal.
ndonesia dikenal sebagai salah satu negara multikultur dan majemuk terbesar di
dunia selain Amerika Serikat dan India. Hal ini dapat dilihat dari kondisi geografis
dan sosiokultural Indonesia yang beragam, kompleks, dan luas. Sedemikian
kompleksnya, para ahli mengaku sangat sulit menggambarkan anatomi Indonesia
secara persis. Kebinekaan bangsa Indonesia dapat dilihat secara horizontal maupun
vertikal.
Ditinjau dari sudut pandang setiap agama yang ada di Indonesia, Pancasila
memang seirama dan selaras dengan tujuan diturunkannya ajaran agama.
Mempertimbangkan hal ini, Indonesia merupakan potret ideal bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara, karena menempatkan relasi agama secara harmonis
dengan negara.
Toleransi dalam konteks ini dapat dirumuskan sebagai satu sikap keterbukaan
untuk mendengar pandangan yang berbeda, toleransi berfungsi secara dua arah
yakni mengemukakan pandangan dan menerima pandangan dalam batas-batas
tertentu namun tidak merusak keyakinan agama masing-masing. Hakikat toleransi
terhadap agama-agama lain merupakan satu prasyarat yang utama bagi
terwujudnya kerukunan nasional.
Selain moderasi beragama, memang ada juga upaya gencar untuk menangkal
radikalisme melalui pendekatan deradikalisasi. Namun, pendekatan ini saja memiliki
kelemahan karena cenderung mengabaikan upaya internalisasi ajaran agama, yang
sesungguhnya merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Seperti telah
dikemukakan, moderasi beragama memiliki dua tujuan: pertama, internalisasi ajaran
agama secara substantif, dan kedua, untuk ikut mengatasi problem kekerasan atas
nama agama.
Berbagai pengalaman empirik Indonesia menunjukkan bahwa ekstremisme dan
kekerasan atas nama agama tidak cukup diatasi dengan gerakan deradikalisasi,
melainkan juga harus sinergi dengan gerakan moderasi.
Hasil survei nasional PPIM UIN Jakarta di tahun 2017 menunjukkan bahwa
internet berpengaruh besar terhadap meningkatnya intoleransi pada generasi
milenial atau generasi Z. Siswa dan mahasiswa yang tidak memiliki akses internet
lebih memiliki sikap moderat dibandingkan mereka yang memiliki akses internet.
Padahal mereka yang memiliki akses internet sangat besar, yaitu sebanyak 84,94%,
sisanya 15,06% siswa/mahasiswa tidak memiliki akses internet. Rupanya generasi
milenial lebih mengandalkan dunia maya sebagai sumber belajar agama. Sebanyak
54,37% siswa dan mahasiswa belajar pengetahuan tentang agama dari internet,
baik itu media sosial, blog, maupun website.
Masalahnya, meskipun konten di media sosial lebih mudah diakses dan disajikan
dalam bentuk yang menarik, namun informasi benar dan salah kian campur aduk tak
terkendali. Selain itu, revolusi digital juga mempengaruhi pola membaca masyarakat.
Masyarakat cenderung menyukai judul berita yang bersifat provokatif dan heboh.
Suka atau tidak suka, era disrupsi digital ini memang mendorong lahirnya
kompleksitas masyarakat dalam beragama. Akibat dangkalnya sumber pengetahuan
agama, ada yang terlalu tekstual dalam memahami ayat-ayat suci disertai fanatisme
berlebihan sehingga mengarah pada ekslusivisme, ekstremisme, bahkan terorisme.
Menteri Agama menjelaskan bahwa salah satu outcome yang ingin diwujudkan
oleh Kementerian Agama melalui visi moderasi beragama adalah kebersamaan dan
pelayanan umat yang paripurna.
Upaya ini tidak mudah, karena terlebih dahulu perlu ada kesepakatan dan
penerimaan bersama atas ide moderasi beragama, khususnya dari otoritas negara,
dan kemudian masyarakat. Integrasi moderasi beragama dalam RPJMN sangat
penting karena dokumen ini berfungsi untuk menjadi pedoman kementerian dan
lembaga dalam menyusun rencana strategis.
Integrasi moderasi beragama dalam RPJMN sangat penting karena dokumen ini
berfungsi untuk menjadi pedoman kementerian atau lembaga dalam menyusun
rencana strategis, bahan penyusunan dan penyesuaian RPJM Daerah, menjadi
pedoman pemerintah dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan
menjadi acuan dasar dalam pemantauan dan evaluasi RPJM Nasional. Selain itu,
RPJMN juga dapat menjadi acuan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pelaksanaan dan pengawasan pembangunan nasional.
Setiap kebijakan yang dikeluarkan atau ditetapkan oleh pemerintah pasti memiliki
tujuan. Demikian halnya dengan moderasi beragama. Tujuan pembuatan kebijakan
publik dalam hal penguatan moderasi beragama pada dasarnya untuk mewujudkan
ketertiban dalam masyarakat beragama, melindungi hak-hak pemeluk agama dalam
menjalankan kebebasan beragama, mewujudkan ketenteraman dan kedamaian
dalam kehidupan keagamaan, serta untuk mewujudkan kesejahteraan umat
beragama.
KESIMPULAN
Dari apa yang telah dipaparkan dalam buku dengan judul “moderasi
beragama” menjelskan bahwa moderasi merupakan jalan tengah yang diambil
untuk dapat mencipakan perdamaian bagi umat manusia. Kemudian dengan
kemunculan sikap liberal dalam beragama tidak jarang memicu reaksi konservatif
yang ekstrem, dengan demikian moderasi beragama diharapkan menjadi solusi atas
problem keagamaan yang ekstrem di kedua kubu yang kita hadapi tersebut.