Anda di halaman 1dari 90

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN

GANGGUAN SISTEM INTEGUMEN : SCABIES

Oleh Kelompok 7 :

Agus Zulfikri : 821233006

Ari Warisman : 821233012

Heri Iman Santoso : 821233047

Nur Kumalasari : 821233079

Purwari Windi Utami : 821233085

Riadhus Saffia : 821233090

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM PONTIANAK

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karuniaNya penulis
akhirnya dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat waktu. Dan dengan mengucap puji
syukur atas curahan kasih karunia-Nya kepada penulis, terutama ilmu dan akal sehat
sehingga dengan ijin-Nya penulis dapat menyusun dan menyelesaikan makalah yang
berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN SISTEM INTEGUMEN :
SCABIES”. Makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah “KEPERAWATAN
DEWASA”.

Dalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan dari beberapa
pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Bpk. Ns. Uti Rusdian Hidayat, M.Kep, selaku ketua STIKES Yarsi Pontianak.
2. Ibu. Ns. Nur Pratiwi, M.Kep, selaku ketua prodi S1 Keperawatan STIKES Yarsi
Pontianak.
3. Ibu, Ns. Dewin Sapitri, M.Kep Selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Keperawatan
Dewasa.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini penuh
keterbatasan dan masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu, saran yang konstruktif
merupakan bagian yang tak terpisahkan dan senantiasa kami harapkan demi
penyempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi banyak pihak. Allahumma Amin.

Pontianak, September 2023

Kelompok 7

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………….ii

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………..
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Tujuan Penulisan.................................................................................................1
C. Metode Penulisan………………………………………………………………2
D. Ruang Lingkup Penulisan……………………………………………………..2
E. Sistematika Penulisan…………………………………………………………..2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………


A. Konsep Dasar Penyakit.......................................................................................4
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Teoritis………………………………….10

BAB III PEMBAHASAN

A. Hasil Peneltian....................................................................................................16
B. Keterbatasan Peneltian........................................................................................30
C. Implikasi Penelitian.............................................................................................31

BAB IV PENUTUP

A. KESIMPULAN...................................................................................................33
B. SARAN...............................................................................................................34
Referensi
Lampiran SAP
Lampiran Jurnal Penelitian
Daftar Konsul

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Scabies merupakan penyakit infeksi menular pada kulit yang disebabkan oleh
tungau (Sarcoptes scabiei). Infeksi scabies dapat terjadi pada siapa saja. Infeksi ini
dinyatakan sebagai penyakit kulit yang terabaikan menurut World Health
Organizationn (WHO) dan merupakan masalah kesehatan yang signifikan pada banyak
negara berkembang. Infeksi ini harus mendapat penanganan yang cepat dan tepat
untuk menghentikan penyebaran. (WHO, 2020)
Penyakit infeksi kulit merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama di
negara berkembang apalagi pada masyarakat yang tinggal di daerah kumuh dan daerah
pemukiman resntan terjadinya infeksi virus pada kulit salah satunya yaitu
scabies,namun dapat dicegah dengan melakukan edukasi tentang dan perawatan pada
klien yang menderita penyakit kulit seperti scabies. (WHO,2020)
Scabies merupakan masalah kesehatan masyarakat yang umum terjadi di seluruh
dunia dengan estimasi prevalensi sebanyak 300 juta individu yang terserang.
Prevalensi scabies di Indonesia menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia
(Depkes RI) berdasarkan data dari puskesmas seluruh Indonesia tahun 2018 adalah
5,6%- 12,95% dan menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit terbanyak. Faktor
yang mengakibatkan tingginya prevalensi scabies antara lain kelembaban yang tinggi,
rendahnya sanitasi, kepadatan, malnutrisi, higiene personal yang buruk, pengetahuan,
sikap dan perilaku yang kurang mendukung pola hidup sehat. (DEPKES RI, 2018)
Berdasarkan latar belakang diatas tim penulis berharap dapat mengintegrasikan
hasil penelitian ke dalam makalah kami yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada
Klien Dengan Gangguan Sistem Integumen : Scabies” serta bisa memberikan dampak
positif dalam memberikan pelayanan kepada pasien di kemudian hari.

B. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini
a. Tujuan Umum
Makalah ini bertujuan agar setiap orang, khususnya Mahasiswa/i keperawatan
dapat memahami dan mengintegrasikan hasil penelitian ke dalam Asuhan
Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Integumen : Scabies.

1
b. Tujuan Khusus.
Adapun tujuan khusus pembuatan makalah ini antara lain agar :
1) Mahasiswa/i mampu memahami dan menjelaskan konsep penyakit scabies
dimulai dari definisi sampai penatalaksanaanya.
2) Mahasiswa/i mampu memberikan pendidikan kesehatan berhubungan dengan
asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem integumen : scabies.
3) Mahasiswa/I mampu mengintegrasikan hasil dari sebuah penelitian ke dalam
asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem integument : scabies.

C. METODE PENELITIAN
Di dalam penulisan dan penyusunan makalah penulis ini kami menggunakan studi
literaratur yang ada tersedia di dalam text boook dan jurnal kesehatan di situs-situs
yang disediakan internet.

D. RUANG LINGKUP PENULISAN


Di dalam penyusunan dan penulisan makalah ini penulis membatasi masalah pada
kasus Skabies.

E. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika Penulisan pada makalah ini terbagi menjadi 4 bab, yaitu :
1. BAB I Pendahuluan yang terdiri dari :
 Latar Belakang
 Tujuan Penulisan
 Metode Penulisan
 Ruang Lingkup Penulisan
 Sistematika Penulisan

2. BAB II Tinjaun Pustaka, terdiri dari :


 Konsep Dasar Penyakit
 AsKep Teoritis
3. BAB III Pembahasan, terdiri dari :
 Hasil Peneltian

2
 Keterbatasan Peneltian
 Implikasi Penelitian
4. BAB IV Penutup :
 Kesimpulan
 Saran
5. Daftar pustaka
6. Lampiran SAP
7. Lampiran Jurnal
8. Daftar Konsultasi

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR SCABIES


1. Definisi Scabies
Scabies adalah penyakit infeksi menular pada kulit yang disebabkan oleh
tungau (Sarcoptes scabiei). Infeksi scabies dapat terjadi pada siapa saja. Infeksi ini
dinyatakan sebagai penyakit kulit yang terabaikan menurut World Health
Organization (WHO) dan merupakan masalah kesehatan yang signifikan pada
banyak negara berkembang. Infeksi ini harus mendapat penanganan yang cepat
dan tepat untuk menghentikan penyebaran. (WHO, 2020).
Scabies merupakan penyakit infeksi parasit pada kulit yang disebabkan oleh
masuknya organisme dan adanya sensitisasi Sarcoptes Scabei Varian Homonis
yang membuat terowongan pada stratum korneum kulit, terutama pada tempat
predileksi (Maulina, 2016).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa scabies adalah penyakit
infeksi menular pada kulit yang disebabkan oleh tungau (Sarcoptes scabiei).
disebabkan oleh pola dan kebiasaan hidup yang kurang bersih dan benar, salah
satu faktor yang dominan yaitu, penyediaan air yang kurang atau kehidupan
bersama dengan kontak yang relatif erat.

2. Etiologi
Scabies merupakan penyakit infeksi parasit pada kulit yang disebabkan oleh
masuknya organisme dan adanya sensitisasi Sarcoptes Scabei Varian Homonis
yang membuat terowongan pada stratum korneum kulit, terutama pada tempat
predileksi (Maulina, 2016).
Scabies disebabkan oleh tungau Sarcoptes Scabei. Investasi tungau ini
mudah menyebar dari orang ke orang melalui kontak fisik yang dinamakan
Acarus Scabie atau pada manusia disebut Sarcoptes Scabei Varian Homonis.
Sarcoptes scabei termasuk filum arthropoda, kelas arachnida, ordo acarina, family
sarcoptes (Djuanda, 2010).
Secara morfologi tungau ini berbentuk oval dan gepeng, berwarna putih
kotor, transulen dengan bagian punggung lebih lonjong dibadingkan perut, tidak
berwarna, untuk yang betina berukuran 300350 mikron, sedangkan yang jantan

4
berukuran 150-200 mikron. Tungau betina membuat terowongan dibawah lapisan
kulit paling atas dan menimpa telurnya dalam lubang. Beberapa hari kemudian
akan menetas tungau muda (larva), infeksi menyebabkan gatal-gatal hebat,
kemungkinan merupakan suatu reaksi terhadap tungau (Susanto, 2013).

3. Klasifikasi
Klasifikasi scabies menurut Saleha (2016) yaitu :
a. Scabies pada orang bersih merupakan scabies pada orang tingkat kebersihan
yang baik. Rasa gatal biasanya tidak terlalu berat, terdapat lesi berupa papul
dan ditemui juga terowongan namun jumlah yang sedikit.
b. Scabies Bulosa terdapat pada bayi dan biasanya bayi akan mengalami gataal
pada waktu malam hari dan terdapat lesi di sela- sela jari tangan, pergelangan
tangan.
c. Scabies yang ditularkan oleh hewan biasanya terjadi pada manusia yang
biasanya kontak dengan hewan (pengembala, peternak dan yang mempunyai
hewan peliharaan yang kurang dirawat). Gejala yang di timbul biasanya rasa
gatal.
d. Scabies pada orang terbaring ditempat tidur banyak ditemui pada orang yang
menderita penyakit kronik atau lansia yang berbaring di atas tempat tidur
dalam waktu yang lama biasanya menimbulkan lesi yang terbatas.
e. Scabies Incognito sering menimbulkan gejala klinis yang tidak biasa, lesi
yang luas dan pengobatan dengan steroid topical dalam waktu lama dapa
menyebabkan luka tambah parah dikarena respon imun yang berkurang.
f. Scabies Nodular terjadi akibat adanya reaksi hipersensivitas. Are yang sering
terkena adalah genetalia pada pria, lipatan paha dan aksila.
g. Scabies Krustosa ditandai dengan lesi berupa krusta yang luas, skuama
generalisata dan hyperkeratosis yang tebal. Gejala utamanya pada scabies ini
biasanya ringan bahkan tidk sama sekali sehingga penderita tidak merasakan
keluhan apapun.

5
4. Patofisiologi
Menurut Kumala Sari (2013) Scabies dapat menyebabkan gejala transien
pada manusia, tetapi mereka bukan penyebab infestasi persisten. Cara penularan
paling efesien adalah melalui kontak langsung dan lama dengan seorang individu
terinfeksi. Siklus hidup scabies berlangsung 30 hari dan dihabiskan dalam
epidermis manusia. Setelah melakukan populasi, tungau jantan akan mati dan
tungau betina akan membuat liang ke dalam lampisan kulit dan meletakkan total
60-90 telur. Telur menetas membutuhkan 10 hari untuk menjadi larva dan tungau
dewasa.
Scabies kemudian bergerak melalui lapisan atas kulit dengan mengeluarkan
protease yang mendegrasi stratum korneum. Scybala (kotoran) yang tertinggal
saat mereka melakukan perjalanan melalui epidermis, menciptakan kondisi klinis
lesi sebagai liang.
Menurut Majority (2016) scabies adalah penyakit kulit yang disebabkan
oleh penyebaran dan sensitasi tungau. Kudis sarcoptes scabei var hominis nama
lain kudis adalah gudig. Kudis menyebar dengan cepat dalam kontak diri dan
kondisi ramai. Scabies disebabkan oleh tungau gatal dewasa yang menyerang
kulit dari orang dan membentuk terowongan di startum korneum sampai tungau
betina kawin dan bertelur. Tungau kudis tidak dapat menembus jauh ke dalam
startum korneum. Telur scabies menetas menjadi larva dalam waktu sekitar 3-4
hari. Nimfa berubah menjadi tungau dewasa dalam 4-7 hari. Tungau jantan
kemudian mati setelah kawin, tetapi dapat bertahan selama beberapa hari. Untuk
sebagian besar infeksi jumlah tungau gatal betina diperkirakan hanya 10-15, dan
terowongan sulit untuk diidentifikasi. Meskipun siklus hidup tungau skabies
terjadi seluruhnya didalam inang manusia, tungau dapat hidup di tempat tidur,
pakaian, dan permukaan lainnya pada suhu kamar selama 2-3 hari dan mampu
berinteraksi dan menggali lubang. Kudis biasanya dianggap sebagai sebagai
penyakit menular seksual. Jika anda memiliki kudis di rumah anda, itu bisa
menjadi faktor utama dalam mendapatkan kudis pada orang lain dirumah anda.
Tungau gatal (scabies) sangat menular karena sering bersentuhan dengan kulit
dilokasi yang sama. Prevelensi scabies tinggi pada anak-anak yang aktif secara
seksual, remaja, dan dewasa, penghuni panti jompo, pondok pesantren, rumah
yang padat dan tidak sehat, serta orang dengan kekebalan lemah imun dan
pendapatan keluarga rendah. Kelainan klinis pada kulit menyebabkan empat

6
varian utama: scabies nocturnal menyerang sekelompok orang, ditemukannya
terowongan (kunicles) dan adanya kutu-kutu scabies. Protitus noktuna adalah
gatal yang terasa sangat intens di malam hari dan disebabkan oleh aktivitas tungau
yang lembab dan panas. Rasa gatal yang terjadi sering kali mengganggu tidur dan
pasien merasa gelisah. Infeksi pertama berkembang setelah 3-4 minggu dan
berulang kali terkena gatal dalam beberapa jam. Selain tungau spesifik tungau
gatal kudis, manusia juga dapat menginfeksi hewan domestic: anjing, kucing,
babi, kuda, unta, beruang buntut rubah, monyet, dan rubah.

5. Manifestasi Klinis
Ada beberapa gejala klinis dari penyakit Scabies menurut Saleha (2016). Rasa
gatal pada malam hari (Pruritus nokturna) yang disebabkan karena aktivitas
tungau yang lebih tinggi pada suhu lembab.
a. Bintik-bintik yang panas yang menjol berwarna kemerah-merahan.
b. Lesi yang khas dan patognommonik berupa terowongan kecil.
c. Kelainan dapat berupa papula, vesikula, urtika, ekskoriasi dan krusta.
d. Tempat-tempat predileksi terdapat di sela-sela jari tangan, telapak tangan,
ketiak, daerah payudara, perut bagian bawah serta area lipatan kulit. Pada
anak-anak terutama bayi lesi biasa terjadi dikepala bahkan muka.

7
6. Pathway
Majority (2016) :

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan menurut Nurainiwati (2011). Penatalaksanaan secara
umum/nonfarmakologis.
1) Relaksasi progresif

Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan

stress.Teknik relaksasi memberikan individu kontrol diri ketika terjadi

rasa tidak nyaman atau nyeri, sters fisik, dan emosi pada nyeri.

2) Teknik distraksi

Distraksi merupakan metode untuk menghilangkan nyeri dengan cara

8
mengalihkan perhatian pasien pada hal-hal yang lain sehingga pasien akan

lupa terhadap nyeri yang dirasakan. Misalnya dengan mendengarkan

music, menonton televisi, membaca buku atau majalah, atau berbincang-

bincang dengan orang lain

3) Menstimulasi kulit

Misalnya dengan aplikasi panas atau dingin, menggosok daerah nyeri

dengan lembut, serta menggosok punggung. Selain dari itu semua pakaian

dan alat-alat tidur dicuci dan direndam dengan air panas serrta mandi

dengan sabun. Agar tidak terjadi penularan kembali, keluarga atau orang-

orang yang kontak dekat penderita harus dilakukan pemeriksaan dan

apabila juga menderita harus diobati secara bersamaan.

a. Penatalaksanaan Secara Khusus/Therapy Farmakologis


1) Permetrin
Permetrin ini tersedia dalam bentuk krim 5% dan merupakan obat anti

scabies.obat tersebut digunakan diseluruh tubuh, diamkan selama 8-12

jam, lalu cuci, jika tidak kunjung sembuh bisa diulangi setelah 1 minggu.

2) Benzil Benzoat
Benzyl benzoate merupakan obat dalam bentuk emulsi atau lotion dengan

kosentrasi 25-30%.Cara pemakaian gunakan secara local dan letakkan di

kulit selama 24 jam, dengan interval 1 minggu setai 2-3 hari sekali.

Meskipun menyebabkan gatal dan iritasi, namun efektif dan dapat diterima

secara kosmetik.

3) Ivermektin
Ivermektin adalah zat semi sintetik yang diproduksi oleh Streptomyces

Avermitilis adalah berstruktur anti parasit, mirip dengan antibiotic

makrolida dan telah ditemukan sebagai obat antiparasit spectrum luas

9
terhadap bebagai nematode dan artropoda, termasuk kutu, tungau dan kutu

anjing.

B. KONSEP ASKEP TEORITIS

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan yang sistematis


memalu pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan
mengindentifikasi status kesehatan pasien (Nursalam, 2001). Kegiatan yang
dilaksanakan dalam pengkajian adalah pengumpulan data dan merumuskan
prioritas masalah. Pada pengkajian – pengumpulan data yang cermat tentang
pasien, keluarga, didapatkan melalui wawancara, observasi dan pemeriksaan.
a). Biodata
Merupakan data subyektif yang didapat dari pasien terhadap situasi dan
kejadian, informasi tersebut tidak dapat ditentukan oleh tenaga kesehatan
secara independent tetapi melalui suatu sistem interaksi atau komunikasi
seperti:
1) Nama, untuk mengenal dan mengetahui pasien sehingga penulisan nama
harus jelas dan lengkap, bila perlu nama panggilan sehari-hari agar tidak
keliru dalam memberikan pelayanan.
2) Umur; dicatat dalam tahun untuk mengetahui adanya resiko dalam
memberikan dosis obat, sikap yang belum matang, mental dan psikisnya
belum siap.
3) Agama; untuk memberikan motivasi dorongan moril sesuai dengan agama
yang dianut;
4) Suku; untuk mengetahui faktor bawaan atau ras serta pengaruh adat
istiadat atau kebiasaan sehari-hari;
5) Pendidikan; Perlu dinyatakan karena tingkat pendidikan berpengaruh
pada tingkat pemahaman pengetahuan, sehingga perawat dapat
memberikan konseling sesuai dengan pendidikannya;
6) Alamat; Untuk mengetahui tempat tinggal serta mempermudah
pemantauan bila diperlukan melakukan kunjungan rumah, apakah pernah
tinggal di wilayah endemis kusta.

10
7) Pekerjaan; untuk mengetahui status ekonomi keluarga, karena dapat
mempengaruhi pemenuhan gizi pasien tersebut.

b). Riwayat Kesehatan


1) Kesehatan sekarang, biasanya pasien dengan penyakit scabies datang
berobat dengan keluhan terdapat lesi atau luka garukan di bagian kulit
biasanya di punggung dan sekitar ketiak dan merasakan sensasi gatal tak
terhtahankan terutama di saat malam hari dan pasien mulai merasakan
gatal yang memanas dan kemudian menjadi edema karena digaruk yang
diakibatkan rasa gatal yang sangat kuat.
2) Kesehatan masa lalu, apakah pernah menderita penyakit alergi atau gatal-
gatal pada kulit sebelumnya.
3) Riwayat kesehatan keluarga, Scabies merupakan penyakit kulit yang
sifatnya menular dari individu satu kepada yang lainya, disini dikaji
apakah ada anggota keluarga atau orang dekat yang juga menderita
penyakit yang sama.
4) Riwayat psikologi, pasien yang menderita penyakit scabies biasanya
malas untuk bergaul dengan orang-orang sekitar dikarenakan gatal yang
diderita.
5) Pola aktivitas sehari-hari, aktifitas sehari-hari terganggu ,pasien merasa
malas untuk beraktifitas diakrenakan gangguan gatal yang dideritanya.
6) Pola istirahat tidur
7) Pasien dengan scabies mengalamai gangguan pola tidur diakibatkan gatal
yang hebat di malam hari.

c). Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan umum : biasanya pada penderita scabies ini composmetis,


dengan tidak ada pegaruh kelainan pada tinggi badan, tekanan darah,
suhu dan nadi
2) Kepala : pada derah kepala yang terserang penyakit scabies akan
dilakukan pemeriksaan fisk dengan cara inspeksi apakah terdapat tanda
bintik-bintik kemerahan pada kulit, kemudian palpasi pasien untuk

11
meyakini apakah ada gelembung yang berisi air
3) Leher : pada daerah leher yang terserang penyakit scabies akan
dilakukan inspeksi apakah terdapat tanda bintik-bintik kemerahan pada
kulit, kemudian palpasi pasien untuk meyakini apakah ada gelembung
yang berisi air
4) Aksila : pada daerah aksila yang terserang scabies akan dilakukan
inspeksi apakah terdapat tanda bintik-bintik kemerahan pada kulit,
kemudian palpasi pasien untuk meyakini apakah ada gelembung yang
berisi air
5) Ekstermitas atas : pada daerah tangan yang terserang scabies akan
dilakukan inspeksi apakah terdapat tanda bintik-bintik kemerahan pada
kulit, kemudian palpasi pasien untuk meyakini apakah ada gelembung
yang berisi air
6) Abdomen : pada daerah abdomen yang terserang scabies akan dilakukan
inspeksi apakah terdapat tanda bintik-bintik kemerahan pada kulit,
kemudian palpasi pasien untuk meyakini apakah ada gelembung yang
berisi air
7) Ekstermitas bawah : pada daerah kaki yang terserang scabies akan
dilakukan inspeksi apakah terdapat tanda bintik-bintik kemerahan pada
kulit, kemudian palpasi pasien untuk meyakini apakah ada gelembung
yang berisi air
8) Bokong : pada daerah bokong yang terserang scabies akan dilakukan
inspeksi apakah terdapat tanda bintik-bintik kemerahan pada kulit,
kemudian palpasi pasien untuk meyakini apakah ada gelembung yang
berisi air

9) Selangkangan : pada daerah selangkangan yang terserang scabies akan


dilakukan inspeksi apakah terdapat tanda bintik-bintik kemerahan pada
kulit, kemudian palpasi pasien untuk meyakini apakah ada gelembung
yang berisi air

2. Diagnosa Keperawatan

Adapun diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien scabies sesuai

12
pengkajian teoritis diatas diantaranya adalah (SDKI, 2018) :
a. Nyeri b.d agen pencedera fisiologis
b. Gangguan Pola tidur b.d nyeri
c. Resiko Infeksi d.d kerusakan integritas kulit dan efek prosedur infasif
d. Gangguan integritas kulit b.d edema

3. Intervensi Keperawatan

a. Diagnosa 1 : Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis.


Tujuan dan Karakteristik Intervensi rasional
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama….X24 jam
diharapakan nyeri berkurang dengan kriteria hasil Sbb (SLKI, 2018) :
1) Keluhan nyeri menurun
2) Gelisah menghilang
3) Meringis menurun
4) Gatal menghilang
5) Puss atau cairan berrvesikel mengnilang
6) Kulit tidak memerah (kaji TTV)

Intervensi (PPNI, 2018) :


1) Kaji intensitas nyeri pasien dengan skala, dan monitor lokasi nyeri
2) Monitor durasi dan frekuensi nyeri
3) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapy analgesic dan
antibiotik

b. Diagnosa 2 : Gangguan Pola tidur b.d nyeri


Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama…X24 jam,
diharapkan tidur klien tidak terganggu dengan kriteria hasil (PPNI, 2019):
1) Keluhan sulit tidur menurun
2) Keluhan sering terjaga menurun
3) Keluhan tidak puas tidur menurun
4) Keluhan istirahat tidak cukurp menurun

13
Intervensi (PPNI, 2018) :
1) Berikan kenyamanan pada klien ( bersihakan tempat tidur klien)
2) Identifikasi faktor penggangu tidur
3) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetic dan obat tidur
4) Berikan lingkungan yang nyaman dan kurangi kebisingan
5) Ajarkan relaksasi otot autogenik atau cara farmakologis lainya
6) Anjurkan klien menghindari makanan /minuman yang menggangu tidur

c. Diagnosa 3 : Resiko Infeksi d.d kerusakan integritas kulit dan efek prosedur
infasif
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama….x24jam,
diharapkan tidak terjadi resiko infeksi dengan kriteria hasil (PPNI, 2019):
1) Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
2) Menunjukan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
3) Menunjukan perilaku hidup besih dan sehat
4) Mendeskripsikan proses penularan penyakit ,factor yang mempengaruhi
penularan dan penatalaksanaanya
5) Kerusakan kulit menurun
6) Kerusakan jaringan menurun

Intervensi (PPNI, 2018) ;


1) Monitor tanda dan gejala infeksi
2) Monitor kerentanan terhdap infeksi
3) Berikan perawatan pada kulit
4) Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan dan panas
5) Inspeksi kondsi luka
6) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antibiotik
7) Ajarkan cara menghindari atau mengurangi infeksi

d. Diagnosa 4 : Gangguan integritas kulit b.d kurang terpapar informasi tentang


upaya mempertahankan /melinungi integritas kulit.
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama….x24jam diharapkan
lapisan kulit klien terlihat normal, denagn kriteria hasil (PPNI, 2019):

14
1) Integritas kulit yang baik dapat dipertahankan
2) Kerusakan jarinagn menurun
3) Kerusakan kulit menurun
4) Kemerahan menurun
5) Edema menurun
6) Tidak ada luka atau lesi pada kulit

Intervensi (PPNI, 2018):


1) Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
2) Monitor kulit akan adanya kemrahan
3) Anjurkan pasien untuk mandi dengan air hangat dan sabun
4) Anjurkan minum air yang cukup..

4. Implementasi Keperawatan

Dalam proses keperawatan, implementasi merupakan fase tindakan dimana


perawat melaksanakan rencana keperawatan yang telah disusun sebelumnya.
Perawat melakukan aktivitas keperawatan yang dikembangkan dari langkah
perencanaan dan kemudian menyimpulkan langkah implementasi dengan
mencatat aktivitas keperawatan serta respon pasien terhadap tindakan yang
telah diberikan (Berman, 2016).

5. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan


yang menandakan keberhasilan dari suatu diagnosa keperawatan, rencana
keperawatan dan implementasi keperawatan (Andhini, 2017).
Evaluasi terdiri dari evaluasi formatif, menghasilkan informasi untuk umpan
baik selama program berlangsung. Sedangkan evaluasi sumatif dilakukan
setelah program selesai dan mendapatkan informasi tentang efektivitas
pengambilan keputusan.Evaluasi asuhan keperawatan keluarga, di
dokumentasikan dalam SOAP (subjektif, objektif, analysis, planning) (Achjar,
2012).

15
BAB III
PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
I. Jurnal 1 : Pemberian Air Garam Terhadap Kerusakan Integritas Kulit pada
Kelauarga An.H dengan Scabies
Berdasarkan hasil penelitian dari Mila & Kurnia (2023) yang berasal dari jurnal
yang berjudul Pemberian Rendam Air garam terhadap kerusakan integritas kulit
pada keluarga An.H dengan Skabies ( Studi Kasus pada kelaurga di Desa Sungai
batang Ilir Kecamatan Martapura Barat kab.Banjar Provinsi Kalimantan Selatan).
Skabies dapat menimbulkan lesi pada kulit serta gatal-gatal. Oleh karena itu, perlu
penanganan yang lebih komprehensif untuk mengatasi kerusakan kulit yaitu dengan
terapi komplementer berupa pemberian rendam air garam. Dari hasil intervensi
penelitian yang dilakukan ternyata studi kasus yang dilakukan peneliti ini memiliki
dampak yang baik terhadap kerusakan integritas kulit dan jaringan akibat scabies .
Studi kasus pada An. H dengan kerusakan integritas kulit dalam pemberian
intervensi beruparendam air garam yang diberikan 1 kali sehari selama 7 hari
dengan pendekatan pre dan post. Penelitian ini menggunakan desain laporan kasus,
melalui metode pendekatan asuhan keperawatan komprehensif yang meliputi
pengkajian, penegakan diagnosis keperawatan, perencanaan, implementasi
dan evaluasi keperawatan. Studi kasus lakukan pada tanggal 25 mei 2022-31 mei
2022. Studi kasus dilakukan di Desa Sungai Batang Ilir Kecamatan Martapura
Barat Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan, khususnya di wilayah UPT
Puskesmas Martapura Barat kepada An. H (13 tahun) dengan masalah skabies.
Peneliti mendapatkan data-data klien melalui wawancara, observasi dan
pemeriksaan fisik.
Kerusakan integritas kulit dinilai berdasarkan penilaian objektif berdasarkan tingkat

16
keparahan lesi. Hasil pre dan post intervensi menunjukkan adanya pengurangan
tingkat keparahan dan ukuran lesi skabies dari skala 2 menjadi skala 3. Dengan
demikian dapat kami disimpulkan bahwa intervensi rendam air garam yang
dilkukan selama 7 hari memperlihatkan hasil lesi skabies pada kulit klien
berkurang.
Penyakit menular merupakan penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme
seperti virus, bakteri, parasit, ataupun jamur, yang dapat menular atau berpindah ke
orang lain. Penyakit menular dapat ditularkan secara langsung ataupun tidak
langsung. Salah satu penyakit menular yang banyak ditemukan di daerah lahan
basah yaitu Skabies. Penyakit kulit ini sering ditemukan di lingkungan yang
penduduknya sangat padat, kumuh, dan lingkungan dengan tingkat kebersihan yang
rendah ( Wijayanti & Ainiyah, 2019).
Skabies dapat menyerang semua golongan usia dan jenis kelamin, diantaranya pada
anak-anak usia sekolah, remaja maupun orang dewasa, baik pada laki-laki maupun
perempuan (Whocebo & Asnake, 2019). Penyakit skabies dapat ditularkan secara
langsung setelah ada kontak dengan penderita skabies, seperti berjabat tangan dan
beraktivitas bersama dengan sentuhan (Srinivas dkk, 2019). Penularan secara tidak
langsung dapat terjadi ketika memakai pakaian, handuk, tempat tidur dan fasilitas
umum yang di pakai secara bersama-sama (Bear et al, 2020).
Skabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau (kutu kecil) yang
bernama Sarcoptes scabiei varietas hominis dan terdapat 300 juta setiap tahunnya
dengan angka yang beraneka ragam di setiap negara (Hafner, 2009). Jenis penyakit
menular ini merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama di daerah beriklim
tropis dan subtropis. Secara global, kejadian skabies diperkirakan memengaruhi
lebih dari 200 juta orang setiap saat, dengan perkiraan prevalensi pada beberapa
literatur berkisar 0,2% hingga 71% (Anggun dkk, 2020).
Berdasarkan data Depkes RI pada tahun 2015, prevalensi penyakit kulit di seluruh
Indonesia adalah sebesar 8,46%. Prevalensi skabies sekitar 5,6%-12,95% yang
merupakan penyakit ketiga terbesar dari 12 penyakit kulit pada umumnya (8). Data
yang didapatkan dari Provinsi Kalimantan Selatan, penyakit skabies menempati
urutan keenam dari sepuluh penyakit terbanyak. Terdapat 10 penyakit terbanyak di
Wilayah Kerja UPT. Puskesmas Martapura Barat yang mana penyakit kulit atopic
dermatitis dan salah satu didalamnya skabies menduduki Peringkat ke 4 dalam 10
Penyakit Terbanyak dengan jumlah 23 kasus pada Bulan Maret 2022.

17
Penyakit skabies menimbulkan tanda dan gejala,salah satunya adalah gatal. Gatal
dirasakan pada siang dan malam hari. Gatal yang memberat akan menimbulkan
respon penderita untuk menggaruk. Garukkan yang berlebihan akan menimbulkan
iritasi pada kulit. Lesi skabies muncul di kulit menyerupai bulatan seperti jerawat
kecil atau berubah warna, selanjutnya kulit mengeras dengan kerak tebal yang
mengandung ribuan tungau dan telur, dan mudah terkelupas saat disentuh (Affandi,
2019).
Untuk mengobati atau menghilangkan tungau skabies pada penderita harus
meningkatkan kebersihan diri (Affandi & Faisal, 2020).
Ada dua cara penatalaksanaan skabies yaitu farmakologis dan non farmakologis.
Penatalaksanaan farmakologis berupa pemberian obat-obatan dengan berdasarkan
resep yang diberikan oleh dokter. Sedangkan penatalaksanaan non farmakologis
menggunakan tanaman- tanaman yang memiliki khasiat untuk mengatasi lesi dan
gatal ataupun modifikasi gaya hidup.
Salah satu penatalaksanaan secara non farmakologis yaitu adalah penggunaan
rendam air garam. Rendam air garam dengan kandungan NaCl yang tinggi dapat
mempercepat proses penyembuhan luka juga dibuktikan dari beberapa penelitian
lainnya bahwa air laut menunjukan pengaruh dalam peningkatan penyembuhan
luka (Kim et al. 2015)).
Natrium dan Klorida (NaCl) yang terkandung dalam rendam air garam mampu
memberikan efek kesembuhan pada penderita penyakit kulit dengan indikasi
rusaknya jaringan pada kulit. NaCl merupakan isotonik dan juga garam fisiologis
yang baik digunakan untuk pembersih, pembasuh dankompres pada luka (Kim et al,
2015). Natrium klorida (NaCl) dapat berfungsi melindungi granulasi jaringan dalam
kondisi kering, dan menjaga kelembaban sekitar luka. Rendam air garam dengan
kandungan kadar NaCl yang tinggi bisa menjadi alternative pengganti rendam air
garam, karena bisa di buat sendiri di rumah tanpa harus mengambil air dari laut,
terutama untuk masyarakat yang tempat tinggalnya jauh dari laut. Kondisi lembab
yang diciptakan dengan adanya NaCl dalam merawat luka dapat mempercepat
terbentuknya stratum corneum dan angiogenesis untuk proses penyembuhan luka
(Kim et al, 2015). Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk
menjabarkan terkait asuhan keperawatan keluarga pada An. H dengan skabies
melalui pemberian intervensi rendam air garam.
Intervensi utama yang dilakukan adalah pemberian rendam air garam untuk

18
mengatasi skabies. Proses pelaksanaan dilakukan dengan memasukan air hangat
sebanyak 2 liter di baskom tempat merendam dengan suhu kurang lebih 40 C atau
hangat kuku, memasukan garam 20 mg/ 3 sdt lalu aduk hingga garam larut, dan
rendam selama 10 menit lalu keringkan dengan handuk bersih. Lakukan pemberian
rendam air garam selama 7 hari (1 minggu), lakukan dua kali sehari secara berturut-
turut tiap pagi dan sore (pagi jam 10.00, sore jam 16.00) (12).

Tabel Evaluasi Keparahan Lesi Skabies Sebelum (Pre), 7 Hari Intervensi, Dan Sesudah

(Post)Intervensi Menggunakan Pemberian Rendam Air Garam

Hari/Tanggal Tindakan Evaluasi

Selasa, 24 Mei 2022 Pre Intervensi Nampak beberapa lesi sebagian bernanah
karena infeksi di bagian tangan kanan di
sela- sela jari.

Rabu, 25 Mei 2022 Intervensi 1 Nampak beberapa lesi masih bernanah di


sela- sela jari tangan kanan dan telapak
tangan, berwarna kemerahan. Lesi di
bagian kaki juga masih berwarna
kemerahan serta menyebar.
Kamis, 26 Mei 2022 Intervensi 2 Lesi masih bernanah sebagian di sela- sela
jari tangan kanan, berwarna
kemerahan dan menyebar. Masih banyak
lesi yang belum pecah dan berwarna putih.
Lesi di bagian kaki mulai
mengering.
Jumat, 27 Mei 2022 Intervensi 3 Lesi sudah mulai pecah sebagian di sela-
sela jari tangan kanan, berwarna
kemerahan dan menyebar.

19
Hari/Tanggal Tindakan Evaluasi
Sudah banyak lesi yang mulai pecah. Lesi
di bagian kaki mulai mengering.

Sabtu, 28 Mei 2022 Intervensi 4 Nampak nanah pada lesi sudah pecah dan
meninggalkan bekas, banyak lesi mulai
mengelupas dan mengering
membentuk koreng. Lesi di bagian kaki
mulai mengering.
Minggu, 29 Mei 2022 Intervensi 5 Lesi berwarna kemerahan dan
mengelupas, serta nampak mengering di
bagian tangan dan kaki.

Senin, 30 Mei 2022 Intervensi 6 Lesi berwarna kemerahan dan


mengelupas, serta nampak mengering di
bagian tangan dan kaki.

Selasa, 31 Mei Intervensi 7 Lesi berwarna kemerahan dan


mengelupas, serta nampak mengering di
bagian tangan dan kaki.

Rabu, 01 Juni 2022 Post Intervensi Lesi berwarna kemerahan dan


mengelupas, serta nampak mengering di
bagian tangan dan tertinggal bekas luka.
Penyembuhan lesi lebih terlihat.

20
Setelah dilakukan intervensi pemberian rendam air garam didapatkan adanya perubahan

pada lesi yang diderita An. H. Pada hari pertama (Pre) keadaan luka nampak beberapa lesi

sebagian bernanah karena infeksi di bagian tangan kanan di sela- sela jari dan pada hari

ketujuh (Post) keadaan lesi berwarna kemerahan dan mengelupas, serta nampak mengering

di bagian tangan dan tertinggal bekas luka dan penyembuhan lesi lebih terlihat. Meskipun

pemberian rendam air garam dilakukan selama 1 kali dalam sehari, sudah terdapat adanya

perubahan keadaan lesi An. H. Jika pemberian rendam air garam dilakukan dalam 2 kali

sehari mungkin untuk hasil perubahan kesembuhan lesi pada An. H akan kelihatan lebih

maksimal.

Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi diagnosis kerusakan integritas kulit

berhubungan dengan penyakit kulit yang diderita (skabies) adalah dengan pengecekan kulit

dan manajemen pruritus salah satunya pemberian rendam air garam untuk mengatasi

skabies. Perubahan keadaan lesi skabies observasi dan di dokumentasikan setelah pemberian

rendam air garam selama 7 hari (1 minggu) untuk mengetahui adanya perubahan. Sesuai

dengan penelitian oleh Khotimah tahun 2017 yang menyebutkan bahwa ada pengaruh dalam

pemberian rendam air garam untuk mempercepat proses penyembuhan luka scabies (Henri,

2018).

II. Jurnal 2 : Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Tingkat Pengetahuan dan


Efikasi Diri Santriwati dalam Pencegahan Penularan Skabies di Pondok
Pesantren

Skabies menduduki peringkat 6 besar penyakit yang disebabkan oleh parasit epidermis pada kulit

dengan insiden tertinggi di dunia pada tahun 2020. Pendidikan kesehatan adalah upaya

mempengaruhi individu, keluarga maupun masyarakat guna mampu menjalankan perilaku yang

lebih baik, karena memberikan juga meningkatkan pengetahuan, sikap serta keterampilan. Skabies

menduduki peringkat 6 besar penyakit yang disebabkan oleh parasit epidermis pada

kulitdengan insiden tertinggi di dunia, prevalensi terbaru untuk skabies berkisar antara

sekitar 0,2% hingga 71% menurut WHO (World Health Organization) tahun 2020. Skabies

21
dan ektoparasit lainnya tergolong dalam penyakit tropis yang terabaikan, (neglected

tropical diseases/NTDs), Skabies terjadi diperkirakan 150-200 juta orang diseluruh dunia

dengan perkiraan 455 juta kasus per tahun dikutip dari IACS (Alliancefor the Controlof

Scabies) tahun 2020. Wabah skabies baru dilaporkan di rumah sakit, dikarenakan jam kerja

yang panjang dan pergantian tempat tidur yang tinggi di bangsal COVID, dan di dalam

rumah tangga karena kontak dekat dengan kerabat dan orang yang tinggal bersama yang

disebabkan oleh kebijakan 'stay-at-home (Trave et al., 2022).

Prevalensi skabies di Indonesia pada tahun 2018 menurut Departemen Kesehatan Republik

Indonesia(Depkes RI) berdasarkan data puskesmas yang ada di Indonesia berkisar

antara5,6%- 12,95% dan menduduki urutan ketiga dari12 penyakit kulit di Indonesia yang

sering terjadi. Data Dinas Kesehatan kota semarang pada 2018 sekitar 937 kasus, dan

meningkat tahun 2019 sebanyak 2339 kasus. Angka kejadian scabies di Indonesia tidak

menutup fakta bahwa Indonesia belum sepenuhnya terbebas dari penyakit scabies (Husna,

R., Joko, T., & Selatan, 2021). Asuhan keperawatan dengan kasus scabies dimulai dengan

pengakajian, diagnosa yang dapat muncul yaitu defisit pengetahuan(Herdman, 2018).

Tujuan yang diharapkan pasien mampu menyatakan pemahaman tentang penyakit (NOC,

2018). Intervensi yang diberikan dengan memberikan pendidikan kesehatan, diharapkan

dengan melaksanakan pendidikan kesehatan dapat meningkatkan pengetahuan pasien

(Bulechek, G.M, Butcher, H.K., Dochterman, J.M & Wagner, 2016).

Berdasarkan Hasil Penelitian Hasil Penelitian Rahmatyawati, Asniar & Atika, tahun

(2022), didapatkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada sikap santri dalam

pencegahan skabies namun tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada tingkat

pengetahuan, praktik kebiasaan personal hygiene dalam pencegahan scabies.

Pengetahuanmampu mendukung seseorang terhindar dari suatu penyakit, terutama

penyakit menular. Kejadian skabies banyak dijumpai pada kelompok yang hidup dengan

22
kondisi kebersihan diri dan lingkungan di bawah standar. Hal ini mungkin disebabkan oleh

kurangnya pengetahuan tentang skabies, penyebabnya, cara penularan dan pencegahannya

pada kelompok yang kurang pengetahuan tentang skabies dan berisiko terkena skabies

dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang memiliki pengetahuan hidup bersih dan

sehat yang baik. (Husna, dkk, 2021).

Hasil penelitian Riyanto (2015), terhadap 7 pasien scabies, didapatkan 4 responden

memiliki efikasi tinggi dan 3 responden efikasi diri rendah.Penderita kusta yang efikasi

dirinya rendah dapat menghambat dalam proses penyembuhan penyakit karena memiliki

pandangan yang negative mengenai dirinya sertapenyakitmya. Kondisi masalah efikasi

yangterjadi pada santri berupa bentuk ketidakpercayaan diri, rasa gugup dan rasa ragu.

Kewajiban santri bertambah ketika mereka memasuki pondok pesantren dimana sekarang

santri harus menyesuaikan diri terhadap segala aktivitas yang mungkin berbeda dengan

yang biasa dilakukan seperti budaya, kebiasaan serta lingkungan pun akan berbeda.

Kenyataan yang sering terjadi ini seringkali menyebabkan santri mengalami hambatan

dalam melakukan penyesuaian diri. Permasalahan yang banyak dialami oleh santri yaitu

penyesuaian diri secara fisik maupun psikis (Qusuma, 2022).

Pengetahuan berhubungan dengan efikasi diri. Self-efficacy mempengaruhi bagaimana

seseorang merasa, berpikir, memotivasi dan berperilaku. (Putri et al., 2022). Pengetahuan

menjadi salah satu hal yang dikaitkan dengan efikasi diri individu (Desiani et al., 2017).

Hasil penelitian tahun 2021 oleh Hayat, Eka dan Muhammad menyimpulkan bahwa

kegiatan edukasi ini dapat meningkatkan pengetahuan pondok pesantren tentang skabies

untuk mengoptimalkan pencegahan penyebaran skabies, dan disarankan untuk

menggabungkan kegiatan penyuluhan kesehatan dengan kesehatan kepada masyarakat.

Berdasarkan penelitian Riyadi tahun 2017, dalam penelitiannya peningkatan pengetahuan

23
dan efikasi diri sama-sama berpengaruh signifikan terhadap pencegahan pasca promosi

kesehatan, dengan bantuan promosi kesehatan diharapkan dapat meningkatkan

pengetahuan dan efikasi diri.

Kejadian skabies terjadi pada sekelompok orang yang tinggal bersama di suatu fasilitas

tertentu yang cukup besar, seperti pondok pesantren, pantiasuhan, asrama, shelter, rumah

detensi, dan lain- lain. Kepadatan populasi ini memudahkan berkembangnya skabies pada

populasi ini (Dewi & Caesar, 2019). Dampak kesehatan yang muncul secara tidak

langsung dari komplikasi skabies yaitu infeksi bakteri, pada bayi dan anakkecil dapat

menimbulkan komplikasi pada ginjalyaitu glomerunofritis (Widasmara, 2022). Kondisi

kulit ini seringkali menimbulkan rasa tidak nyaman karena lukanya terasa sangat gatal

sehingga membuat penderitanya menggaruk dan menyebabkan peradangan. Pengaruh

scabies terhadap kualitas hidup dapat mempengaruhi setiap orang baik dewasa maupun

anak-anak yaitu malu dengan penyakitnya, menutupi bagian tubuh yang terkontaminasi

skabies, membatasi aktivitasnya, merasa terjebak oleh orang-orang disekitarnya. (Worth et

al., 2012). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pendidikan

kesehatan terhadap tingkat pengetahuan dan efikasi diri santriwati dalam pencegahan

penularan skabies di Pondok Pesantren adapun tujuan khusus untuk mengetahui

karakteristik santriwati seperti usia, dan tingkat pendidikan, paparan informasi sebelumnya

mengenai skabies dan pengalaman. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan santriwati

tentang scabies sebelum dan sesudah dilakukannya peyuluhan scabies. Mengidentifikasi

tingkat efikasi diri santriwati tentang scabies sebelum dan sesudah dilakukannya peyuluhan

scabies. Mengidentifikasi pengaruh pendidikan kesehatan tentang skabies terhadap tingkat

pengetahuan dan efikasi diri santriwati.

Konsep penelitian ini variabel bebasnya adalah pendidikan kesehatan tentang skabies dan

variabel terikatnya adalah tingkat pengetahuan dan efikasi diri. Penelitian ini menggunakan

24
desain penelitian quasi eksperimen dengan pre and post control group design. Teknik

pengambilan sampel menggunakan teknik Simple Random Sampling. Ukuran sampel di

setiap kelompok adalah 25 (25 di kelompok perilaku, 25 di kelompok kontrol). Tempat

belajar di Pesantren Al Musyaffa Kendal dan Pesantren Al Itqon Patebon. Instrumen

penelitian berupa kuesioner skabies yang telah diuji oleh peneliti sebelumnya yang telah

diuji validitas dan reliabilitasnya oleh peneliti sebelumnya, bahwa setiap variabel memiliki

nilai korelasi yang berbeda-beda, dengan nilai yang lebih besar dari korelasi pada tabel

yaitu. 0,273. Untuk setiap variabel hasil uji reliabilitas instrumen pada penelitian ini nilai

cronbach alpha lebih besar dari 0,6. Variabel data tersebut memiliki nilai 0,937 sehingga

dikatakan reliabel. Hasil kuesioner efikasi diri dan uji validitas skala umum yang diuji

validitas dan reliabilitasnya oleh peneliti terdahulu terbukti valid dan reliabel, dan hasil

item instrumen tersebut menunjukkan nilai t > 1,96 dan positif. Alat analisis data

menggunakan uji Wilxocon dan uji Mann-Whitney

Hasil Karakteristik santri

Tabel 1.
Deskripsi usia (n=50)
Karakteri stikUsi a Mean Standar Deviasi Median Min-Max
Kelompok Kontrol 18,96 1,020 19 19-21
Kelompok Edukasi 18,44 0,507 18 18-19

Tabel 2.

Deskriptif Karakteristik pendidikan, paparan informasi sebelumnya dan pengalaman pada

kelompok kontrol dan kelompok edukasi(n=50)

Variabel KelompokKontrol (n=25) KelompokEdukasi (n=25)

f (%) F (%)
Pendidikan
SD 2 (8,0) 0
SMP 8 (32.0) 8 (44,0)

25
SMA 13 (52,0) 17 (56,0)
PerguruanTinggi 2 (8,0) 0
Paparan Informasi Sebelumnya
Pernah 18 (72,0) 10 (40,0)
TidakPernah 7 (28,0) 15 (60,0)
Pengalaman
Ya 21 (84,0) 23 (92,0)
Tidak 4 (8,0) 2 ________(80)________
Karakteristik santri pada kelompokkontrol dan kelompok edukasi berupa usia, pendidikan,

paparan informasi sebelumnya dan pengalaman. Tabel 4.1 menunjukan hasil usia pada

kelompok kontrol responden dengan umur terendahadalah 19 tahun dan 21 tahun,

sedangkan pada kelompok edukasi menunjukkan usia paling rendah adalah 18 tahun dan

paling tinggi 19 tahun. Sesuai dengan tabel 2 hasil pada karakteristik pendidikan, paparan

informasi sebelumnya dan pengalaman pada kelompok kontrol didapatkanmayoritas

tingkat pendidikan pada kelompok ini adalah SMA, sebanyak 13 responden (52%).

Paparan informasi sebelumnya mengenai skabies pada kelompok kontrol mayoritas

responden sudah pernah mendapatkan informasi mengenai skabies, dengan jumlah 18

responden (72%).Karakteristik responden berdasarkan pengalaman, sebagian besar pada

kelompok kontrol sebanyak 21 respoden (84%) pernah mengalami gejala skabies.

Karateristik pada kelompok kontrol didapatkan mayoritas pendidikan pada kelompok ini

juga SMA, sebanyak 17 responden (56%). Paparan informasisebelumnya pada kelompok

inimenujukan lebih banyak responden yangbelum pernah mendapatkan informasi

mengenai skabies dengan jumlah 15 responden (60%). Berdasarkan pengalaman

mengalami gejala skabies mayoritas pada kelompok perlakuan didapatkan 23 responden

(92%) pernah mengalami gejala skabies.

Pengetahuan dan Efikasi Diri Santri

Tabel 3 mayoritas responden pada kelompok kontrol mendapatkan skor pengetahuan

kurang sebanyak 13 responden (52.0%), kemudian saat dilakukan post-test kelompok

26
kontrol responden yang memilikipengetahuan kurang justrybertambah jumlahnya menjadi

15 responden (60.0%). Gambaran rata-rata skor efikasi diri pada kelompok kontrol

menunjukan sebanyak 14 responden (56%) memilki efikasi diri rendah dan saat post-test

pada kelompok ini responden yang mendapatkan skor efikasi rendah juga jumlah nya

bertambah menjadi 16 responden (64%). Tabel4.3 pada kelompok edukasi menunjukkan,

responden pada kelompok ini pada saat pre-test mayoritas memiliki pengetahuandengan

tingkat pengetahuan kurang baik sebanyak 16 (64.0%), setelah diberikan pendidikan

kesehatan tentang skabies dan dilakukanpost-test semua responden mengalami perubahan

pengetahuan menjadi baik sebanyan 25 respoden (100%). Artinya terdapat peningkatan

pengetahuan responden sesudah di berikan pendidikan kesehatan tentang skabies.

Tabel 3.

Gambaran Rata-rata skor pengetahuan dan efikasi diri pada kelompok kontrol dan

kelompokedukasi (n=50)

Kelompok Kontrol(n=25) Kelompok Edukasi(n=25)


Variabel Pre-Test Post-Tes Pre-test Pos-test
f (%) F (%) f (%) f (%)
Pengetahuan
KurangBaik 13 (52,0) 15 (60,0) 16 (36,0) 0
Baik 12 (48,0) 10 (40,0) 9 (64,0) 25 (100)
Efikasi Diri
Rendah 14 (56,0) 16 (64,0) 15 (60,0) 0
Tinggi 11 (44,0) 9 (36,0) 10 (40,0) 25 (100)

Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap Tingkat Pengetahuan dan Efikasi Diri


Santriwati dalam Pencegahan dan Penularan Skabies di Pondok Pesantren pada
Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol
Tabel 4.

Analisis pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan dan efikasi diri di

Pondok Pesantren Al Itqon (Kelompok kontrol) dan Pondok Pesantren Al Musyaffa

27
(kelompok edukasi) (N=50)

Variabel Kontrol Edukasi


T1 T2 p T1 T2 f (% p
f (%) f (%) f (%) )
Pengetahuan 1,000 0,0001
Kurangbaik 13 52,0 15 60,0 16 64,0 0
Baik 12 48,0 10 40,0 9 36,0 25 100
Efikasi Diri 0,190 0,0001
Rendah 14 56,0 16 64,0 15 60,0 0
Tinggi 11 44,0 9 36,0 10 40,0 25 100
Hasil analisis dari Uji Wilcoxon nilai p pada kelompok kontrol didapatkan sebesar 1,000

lebih besar dari nilai a 0,05 (p>0,05), kesimpulannya bahwa tidak ada perbedaan tingkat

pengetahuan yang signifikan pada kelompok kontrol pada pretest dan posttest, sedangkan

nilai p pada kelompok edukasi menunjukan sebesar 0,000 artinya lebih kecildari nilai a

0,05 (p<0,05), dapat disimpulkan adanya perbedaan pengetahuan yang signifikan pada

kelompok perilaku sebelum dan sesudahdiberikan pendidikan kesehatan tentang skabies.

Nilai p<0,05 pada kelompok perlakuan, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan

kesehatan tentangskabies yang disampaikan dan pemberianmodul pembelajaran

memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan pengetahuan responden

kelompok yang diberikan perlakuan. Berdasarkan tabel 4 Analisis tingkatefikasi diri pada

kelompok kontrol dari Uji Wilcoxon didapatkan nilai p pada kelompok kontrol didapatkan

sebesar 0,190 hal ini berarti lebih besar dari nilaia 0,05 (p>0,05), Nilai p>0,05

padakelompok kontrol, menunjukan bahwa tidak terdapat perubahan efikasi diri

yangsignifikan pada kelompok kontrol pada pre-test dan post-test, maka dapat disimpulkan

tidak adanya perbedaan efikasi diri pada kelompok kontrol.Hasil analisis dari Uji Wilcoxon

didapatkan nilai p pada kelompok edukasididapatkan sebesar 0,000 hal ini berarti lebih

kecil dari nilai a 0,05 (p<0,05),maka dapat disimpulkan adanya perbedaan efikasi diri yang

signifikan pada kelompok perilaku sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan

tentang skabies. Dengan nilai p<0,05 pada kelompok perlakuan, dapat ditarik kesimpulan

bahwa pendidikan kesehatan tentang skabies yang disampaikan dan pemberian modul

28
pembelajaran memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan efikasi diri

responden kelompok yang diberikan perlakuan.

Pengaruh Pendidikan Kesehatan tentang Skabies terhadap Tingkat Pengetahuan dan


Efikasi diri
Hasil pada penelitian pada kelompok kontrol menunjukan tingkat pengetahuan dan

efikasidiri tidak terdapat perbedaan ataupunpeningkatan pengetahuan yang signifikan pada

hasil pre-post test. Kelompok edukasi menunjukan terdapat perbedaan yang signifikan

pada tingkat pengetahuan pada hasil pre-post test setelah dilaksanakan pendidikan

kesehatan. Hasil analisa rerata skor pengetahuan dan efikasi diri pada kelompok kontrol

dan kelompok edukasi menunjukan adanya perbedaan yang signifikan pada tingkat

pengetahuan dan efikasi diri, kelompok kontrol yang tidak diberikan intervensi dan

kelompok edukasi yang diberikan intervensi.

Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian milik Liambana, Juliana & Rahim (2021)

yang menunjukan hasil setelah diberikan intervensi, ada peningkatan nilai pengetahuan.

Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian milik Ezdha, dkk (2023) dalam penelitiannya

mengenai pengaruh pendidikan kesehatan skabies terhadap tingkat pengetahuan di suatu

pondok pesantren, dimana adanya perbedaan yang signifikan setelah diberikannya

pendidikan kesehatan. Hasil penelitian milik Maulana(2022) menunjukan sesudah

diberikan intervensi pendidikan kesehatan pada santri adanya peningkatan nilai

pengetahuan. Hasil penelitian mengenai pengaruh pendidikan terhadap efikasi diri milik

Anggraini, Bela & Eliyah (2023) juga menunjukan ada pengaruh terhadap peningkatan

efikasi diri. Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian milik Penyami, Yayi & Sri

(2019) dimana adanya perbedaanskor efikasi diri antara kelompok intervensi yang

diberikan pendidikan kesehatan dan kontrol yang tidak diberikan. Hasil penelitian miliki

Rachmawati, Wenny & Ika (2019) menunjukan adanya perbedaan antara kelompok

29
perlakuan dan kelompok kontrol dengan beda selisih skor efikasi diri setelah diberikan

pendidikan kesehatan.

Pendidikan adalah upaya untuk membawa perubahan perilaku yang meliput Pengetahuan,

sikap dan keterampilan psikomotorik (Ahmad Asyrofi, 2021) Pendidikan kesehatan

merupakan proses yang menjembatani kesenjangan antara pengetahuan kesehatan dan

praktik kesehatan, mendorong masyarakat untuk memperoleh pengetahuan dan menjaga

dirinya lebih sehat dengan menghindari kebiasaan buruk dan mengembangkan kebiasaan

yang bermanfaat bagi kesehatan (Millenia, Ningsih & Lensi, 2022). Pendidikan juga

merupakan sesuatu yang dapat membawa atau memperoleh wawasan seluas-luasnya bagi

seseorang, dan memberikan wawasan dan pengetahuan yang lebih luas dibandingkan

dengan mereka yang berpendidikan lebih rendah (Yuliani, Sastriani, Irfan & Rahmatia,

2023).

Sintesa peneliti, pendidikan kesehatan memiliki pengaruh dalam meningkatkan

pengetahuan dan efikasi diri, bukan hanya pada penelitian ini namun dibuktikan juga

dengan peneliti terdahulu. Pendidikan kesehatan memiliki peran yang besar dalam

peningkatan pengetahuan, efikasi diri, pengambilan keputusan dan pengambilan sikap,

semakin tinggi pengetahuan seeorang tentang skabeis maka skabies dapat dicegah dan

diminimalisir. Pendidikan kesehatan berisi proses kegiatan yang memaparkan informasi

tentang kesehatan yang dimana informasi tersebut mampu meningkatkanpengetahuan dan

efikasi diri, selain itumampu meningkatkan kesadaran mengenai kesehatan karena

seseorang tersebut mampu menangkap informasi dari penglihatan dan juga

pendengarannya sehingga membentuk pengetahuan dan efikasi diri yang baru dan lebih

meningkat. Adanya pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan juga

efikasi diridapat dibandingkan pada kelompok kontrol yang tidak diberikan perlakuan

apapun sehingga tidak adanya pengaruh padakelompok ini. Dilihat perbedaannya pada

30
hasil rerata skor antara kelompok edukasi dankontrol yang menunjukan perbedaan yang

signifikan.

B. KETERBATASAN

1. Keterbatasan penelitian Jurnal I

Berdasarkan hasil penelitian dari Mila & Kurnia (2023) masih terdapat

keterbatasan dalam pelaksanaan penelitian. Keterbatasan dalam pemberian

asuhan keperawatan pada An. H yaitu sulit untuk melakukan intervensi

sebanyak 2 kali dalam 1 hari, dikarenakan rendam air garam dapat

menyebabkan timbulnya perih saat ada lesi yang pecah. Intervensi efektif

dilakukan rutin hanya pada pagi atau siang hari saat An. H pergi sekolah di

siang hari. Peneliti hanya menggunakan 1 subjek penelitian saja, sehingga saat

evaluasi keperawatan mengenai kerusakan integritas kulit hanya berfokus pada

1 orang saja. Padahal dalam proses penyembuhan luka atau lesi tiap kulit

berbeda-beda. Pada artikel penelitian acuan tidak menyebutkan standar

kandungan dari garam yang harus diberikan pada pasien, sehingga disarankan

pada penelitian berikutnya dapat membandingan kandungan NaCl secara pasti

pada air yang digunakan untuk rendaman lesi scabies serta untuk waktu

penelitian, relatif singkat, sehingga disarankan untuk penelitian selanjutnya

mengatur terkait durasi riset sehingga memiliki efek jangka panjang.

2. Keterbatasan penelitian Jurnal II

Berdasarkan hasil peneltian ini bisa dilihat bahwa tidak terlalu banyak

kterbatasan yang menonjol, dimulai dari kerangka konsep sampai tehnik

pengambilan sampel serta instrumen yang dugunakan pun juga sudah lengkap

dan jelas . Namun ada sedikit keterbatasan dalam jurnal penelitian ini yaitu

peneltiian hanya dibatasi untuk santriwati saja, sedangkan penyakit scabies

31
sejatinya tidak hanya menyerang santrriwati saja, tetapi juga santri laki-laki

yang juga tinggal di pondok pesantren.

C. IMPLIKASI

I. Implikasi Jurnal I

Laporan kasus dalam jurnal ini mendeskripsikan hal yang sifatnya positif

dengan intervensi yang telah dilakukan oleh peneliti yaitu pemberian rendam

air garam terhadap kerusakan integritas kulit pada kelaurga An.H dengan

skabies, hal ini bisa menjadi salah satu bahan rujukan bagi perawat maupun

pasien dan keluarga untuk melakukan tindakan penanganan lesi atau luka yang

disebabkan kutu scabies.

II. Implikasi Jurnal II

Penelitian ini mendeskripsikan suatu manfaat dan pengaruh positif yang

signifiakan terhadap pengetahuan dan efikasi diri yang baik dengan melakukan

intervensi melalui pendidikan kesehatan kepada santriwati agar lebih

mengetahui pencegahan penularan penaykit menular scabies di Pondok

Pesantren.

32
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Scabies adalah penyakit infeksi menular pada kulit yang disebabkan oleh

tungau (Sarcoptes scabiei). Infeksi scabies dapat terjadi pada siapa saja. Infeksi ini

dinyatakan sebagai penyakit kulit yang terabaikan menurut World Health Organization

(WHO) dan merupakan masalah kesehatan yang signifikan pada banyak negara

berkembang. Infeksi ini harus mendapat penanganan yang cepat dan tepat untuk

menghentikan penyebaran. (WHO, 2020).

Scabies merupakan penyakit infeksi parasit pada kulit yang disebabkan oleh

masuknya organisme dan adanya sensitisasi Sarcoptes Scabei Varian Homonis yang

membuat terowongan pada stratum korneum kulit, terutama pada tempat predileksi

(Maulina, 2016).

Pada jurnal studi kasus yang pertama Intervensi keperawatan yang dilakukan

untuk mengatasi diagnosis kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penyakit

kulit yang diderita (skabies) adalah dengan pengecekan kulit dan manajemen pruritus

salah satunya pemberian rendam air garam untuk mengatasi skabies. Perubahan

keadaan lesi skabies observasi dan di dokumentasikan setelah pemberian rendam air

33
garam selama 7 hari (1 minggu) untuk mengetahui adanya perubahan. Sesuai dengan

penelitian oleh Khotimah tahun 2017 yang menyebutkan bahwa ada pengaruh dalam

pemberian rendam air garam untuk mempercepat proses penyembuhan luka scabies

(Henri, 2018). Sedangkan pada Jurnal peneltian yang kedua membuktikan bahwa ada

penagaruh dari pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan dan efikasi diri para

santriwati terhadap penayakit scabies di Pondok Pesantren.

B. Saran
Suatu prosedur tindakan perawatan kepada pasien tidak hanya tentang obat
(farmakologis), masih banyak tindakna atau intervemsi keperawatan non farmakologis
yang masih banyak dan bisa dilakukan untuk setiap diagnosa keprawatan yang
muncul pada psien dengan gangguan integumen :scabiaes.
Kami semua mengharapakan laporan kasus askep dengan kerusakan integritas kulit
karenna skabies ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi, acuan, atau
data balik bagi institusi pelayanan kesehatan, pendidikan, maupun dinas kesehatan.
Bagi institusi pendidikan, hasil karya tulis ilmiah Ners ini diharapkan dapat menjadi
data dan informasi terkait pentingnya kompetensi dan keterampilan mahasiswa terkait
prosedur pemberian terapi komplementer berupa rendam air garam untuk mengurangi
tingkat keparahan lesi skabies dan gatal pada klien. Hal ini dimaksudkan agar
mahasiswa memiliki kompetensi yang memadai untuk mengaplikasikan ilmu dan teori
yang didapatkan. Bagi Puskesmas, dapat mengajarkan terapi komplementer berupa
rendam air garam kepada para kader untuk penanganan agar lebih banyak masyarakat
yang menerapkannya karena tergolong mudah untuk dilakukan. Bagi peneliti
selanjutnya, bisa menggunakan seluruh keluarga sebagai subjek penelitian sehingga
saat evaluasi keperawatan mengenai kerusakan integritas kulit tidak hanya berfokus
pada 1 orang saja dan diharapkan pada penelitian berikutnya dapat membandingan
kandungan NaCl secara pasti pada air yang digunakan untuk rendaman lesi scabies.
Selain daripada itu kita bisa kembali mengigat pepatah lama, “Mencegah lebah baik
daridapa mengobati’ yang berararti kita seharusnya melakukan pencegahan terlebih
dahulu,salah satunya dengan cara melakukan pendidikan kesehatan terhadap seluruh
aspek masyarakat, dalam hal ini tidak hanya memfokuskan pada Santriwati di Pondok
Pesantren saja.

34
DAFTAR PUSTAKA

Arisdiani,dkk. (2023). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Tingkat Pengetahuan dan


Efikasi Diri Santriwati Dalam Pencegahan Penularan Skabies di Pondok Pesantren.
http://journal.stikeskendal.ac.id/indek.php/Keperawatan. Diakses pada Desember
2023.

Achjar, K. A. H., 2012. Asuhan Keperawatan Keluarga Bagi Mahasiswa Dan Praktisi
Perawat Perkesmas. Jakarta: CV Sagung Seto.

Akmal ,C,S., Djuanda. Semiarty.,& Gayatri. 2013. Hubungan Pengetahuan dengan


Kejadian Skabies di Pondok Pendidikan Islam Darul Ulum, Palarik Air Pacah,
Kecamatan Koto Tangah Padang 2013. Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2(3)

Andhini, N. F. (2017). Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689 1699.

Berman, A., Snyder, S.J., Frandsen, G. (2016). Kozier & Erb’s Fundamentals of Nursing:
Concepts, Process, and Practice (Tenth Edition). New York: Pearson
Education, Inc.

https://doi.org/10.22219/sm.v7i2.,Jurnal deutsches arzteblatt internationa


WordHealthOrganization

Husna, R., Joko, T., & Selatan, A. (2021). Faktor Risiko Yang Mempengaruhi Kejadian
Skabies Di Indonesia Literatur Review Factors Related To The IncidenceOf

Loetfia,2015 Skabies. In: L Rachmah La, Cahanar Pa, editors. Ilmu Penyakit Kulit.
Jakarta: Hipokrates, 2012: 109-113

Majority. (2016). Scabies. Vol. 5, No. 2, 5.


https://www.hindawi.com/journals/drp/2016/6306404/.

Muttaqin, Arif., dan Kumala Sari. 2013. Asuhan Keperawatan pada scabies Salemba
Medika.

Nisa,N.R. (2019). Penerapan pendidikan kesehatan tentang personal hygiene skabies pada

35
asuhan keperawatan keluarga dalam pemenuhan rasa aman di KP.gunung
Kanyere dan KP.Cisengkol Kecamaytan Tamnsari Kota Tasikmalaya-
(KTI.1411)Doctoral Dissertation,Univeristas Muhammadiyah Tasikmalaya).

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan


Keperawataan , Edisi 1.Jakarta:DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi Kriteria dan Hasil
Keperawatan, Edisi 1.Jakrta: DPP PPNI.

Saleha, (2016)., Karakteristik dan Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penyakit


Skabies di Pesantren Nurul Qarnain Kabupaten Jember.e-JPK. 2016.

Santosa, Budi, 2005-2006. Diagnosa Keperawatan NANDA.Jakarta : Prima Medikal.

Susanto,2014., Skabies dan Faktor-Faktor yang Berhubungan di Pesantren X, Jawa Timur.


eJKI2: 7-12.

Tryharnita, M.N., Rachmawati, K.. Pemberian Rendam Air Garam Terhadap Kerusakan
Integritas Kulit pada Keluarga An.H dengan Skabies (Studi Kasus pada
Keluarga di Desa Sungai Batang Ilir Kecamatan Martapura BaratKabupaten
Banjar Provinsi Kalimantan Selatan. Nerspedia 2023;5(4): 401-408.

WorLd Health Organization.,2020. Global Skabies.//.

36
JURNAL I

Nerspedia
eISSN: 2722-6573; pISSN: 2721-1444

Pemberian Rendam Air Garam Terhadap Kerusakan Integritas Kulit

pada Keluarga An.H dengan Skabies

(Studi Kasus pada Keluarga di Desa Sungai Batang Ilir Kecamatan


Martapura BaratKabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan)
Mila Novaria Tryharnita, Kurnia Rachmawati
Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung Mangkurat
Email korespondensi: kurnia.rachmawati@ulm.ac.id

ABSTRAK
Latar Belakang: Skabies merupakan salah satu penyakit menular yang apabila tidak diatasi akan bertambah
parah salah satunya mengakibatkan kerusakan pada kulit. Skabies dapat menimbulkan lesi pada kulit serta
gatal-gatal. Oleh karena itu, perlu penanganan yang lebih komprehensif untuk mengatasi kerusakan kulit
yaitu dengan terapi komplementer berupa pemberian rendam air garam. Tujuan: Untuk mengetahui
efektivitas pemberian rendam air garam terhadap keparahan lesi pada An. H dengan skabies. Metode: Studi
kasus pada An. H dengan kerusakan integritas kulit dalam pemberian intervensi beruparendam air garam
yang diberikan 1 kali sehari selama 7 hari dengan pendekatan pre dan post. Kerusakan integritas kulit dinilai
berdasarkan penilaian objektif berdasarkan tingkat keparahan lesi. Hasil dan Pembahasan: Hasil pre dan
post intervensi menunjukkan adanya pengurangan tingkat keparahan dan ukuran lesi skabies dari skala 2
menjadi skala 3. Penilaian lesi pada saat pre intervensi yaitu lesi nampakbernanah, kemerahan, banyak lesi
baru, dan menyebar. Setelah diberikan intervensi, penilaian lesi padasaat post intervensi yaitu lesi sudah
mulai mengering, mengelupas, dan sebagian memudar, namun masih ada sedikit kemerahan. Kesimpulan:
Pemberian intervensi rendam air garam yang dilakukan selama 7 hari memperlihatkan hasil lesi skabies pada
kulit klien berkurang.

Kata-Kata Kunci: Lesi, Rendam Air Garam, dan Skabies.

ABSTRACT

37
Background: Scabies is an infectious disease which, if not treated, will get worse, one of which causes
damage to the skin. Scabies can cause skin lesions and itching. Therefore, a more comprehensive treatment
is needed to overcome skin damage and itching caused by complementary therapy in the form of giving salt
water soaks. Objective: To determine the effectiveness of giving salt water soak on the severity of lesions in
An. H with scabies. Methods: Case study on An. H with damage to deep skin integrity giving intervention in
the form of salt water soak which is given once a day for 7 days with pre andpost approach. Impaired skin
integrity was assessed based on an objective assessment of the severity of the lesion . Results and
Discussion: The results of pre and post intervention showed that reduction inthe severity and size of scabies
lesions from a scale of 2 to scale 3. Assessment of lesions at the time of pre-intervention, namely the lesions
appear pus, redness, many new lesions, and spread. After the intervention, The assessment of the lesion at
the time of post-intervention was that the lesion had startedto dry out, peeled off, and partly faded, but there
was still some redness. Conclusion: The salt water bath intervention for 7 days showed that the results of
scabies lesions on the client’s skin were reduced.

Keywords: Lesions, Salt Water Soak, and, Scabies.


Cite this as: Tryharnita, M.N., Rachmawati, K.. Pemberian Rendam Air Garam Terhadap Kerusakan Integritas Kulit
pada Keluarga An.H dengan Skabies (Studi Kasus pada Keluarga di Desa Sungai Batang Ilir Kecamatan Martapura
BaratKabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan. Nerspedia 2023;5(4): 401-408.
2020-2024 merupakan salah satu tahapan PENDAHULUAN yang dirancang sebagai

arahan untuk

Rencana Induk Penelitian Universitas menjadikan Universitas

Lambung

Lambung Mangkurat (RIP ULM) periode

38
Mangkurat sebagai pusat pengembangan langsung. Salah satu penyakit menular yang

lahan basah di Asia Pasifik pada tahun banyak ditemukan di daerah lahan basah

2027. Salah satu misinya yaitu yaitu Skabies. Penyakit kulit ini sering

menyelenggarakan Tridharma perguruan ditemukan di lingkungan yang

tinggi yang berkeadilan, berkesetaraan, penduduknya sangat padat, kumuh, dan

berkualitas, dan relevan dengan lingkungan dengan tingkat kebersihan yang

perkembangan IPTEKs yang berfokus pada rendah (2).

program unggulan pengelolaan lingkungan Skabies dapat menyerang semua golongan

lahan basah (RIP ULM 2020-2024). Lahan usia dan jenis kelamin, diantaranya pada

basah adalah wilayah dengan rawa, gambut anak-anak usia sekolah, remaja maupun

atau perairan, baik alami maupun buatan, orang dewasa, baik pada laki-laki maupun

permanen maupun temporer, dengan air perempuan (3). Penyakit skabies dapat

yang mengalir atau diam, tawar, payau atau ditularkan secara langsung setelah ada

asin, dan termasuk wilayah laut dengan kontak dengan penderita skabies, seperti

kedalam saat pasang surut tidak melebihi 6 berjabat tangan dan beraktivitas bersama

meter. Lingkungan lahan basah berpotensi dengan sentuhan (4). Penularan secara tidak

dalam penyebaran beberapa jenis penyakit langsung dapat terjadi ketika memakai

tidak menular dan penyakit menular (1). pakaian, handuk, tempat tidur dan fasilitas

Penyakit menular merupakan penyakit umum yang di pakai secara bersama-sama

yang disebabkan oleh mikroorganisme (5).

seperti virus, bakteri, parasit, ataupun Skabies merupakan penyakit kulit yang
jamur, yang dapat menular atau berpindah disebabkan oleh tungau (kutu kecil) yang
ke orang lain. Penyakit menular dapat bernama Sarcoptes scabiei varietas hominis
ditularkan secara langsung ataupun tidak dan terdapat 300 juta setiap tahunnya
dengan angka yang beraneka ragam di Terbanyak dengan jumlah 23 kasus pada

setiap negara (6). Jenis penyakit menular Bulan Maret 2022.

ini merupakan masalah kesehatan Hasil wawancara dengan ibu dari An. H

masyarakat terutama di daerah beriklim didapatkan bahwa kemungkinan penyebab

tropis dan subtropis. Secara global, dari timbulnya gatal- gatal pada tangan dan

kejadian skabies diperkirakan memengaruhi kaki dikarenakan air sungai yang

lebih dari 200 juta orang setiap saat, dengan dikarenakan banjir. Data tersebut didukung

perkiraan prevalensi pada beberapa literatur pula dengan keadaan keluarga An. H yang

berkisar 0,2% hingga 71% (7). tinggal di kawasan yang dikelilingi daerah

Berdasarkan data berair, bagian depan rumah terdapat sungai

Depkes RI pada tahun 2015, prevalensi yang biasanya digunakan keluarga an. H

penyakit kulit di seluruh Indonesia adalah untuk mandi, BAB, BAK, dan lainnya.

sebesar 8,46%. Prevalensi skabies sekitar Bagian sekitar rumah pasien juga tampak

5,6%-12,95% yang merupakan penyakit


penuh dengan genangan air. Ibu An. H juga
ketiga terbesar dari 12 penyakit kulit pada
mengatakan biasanya mereka membuang
umumnya (8). Data yang didapatkan dari
sampah ke sungai karena bingung
Provinsi Kalimantan Selatan, penyakit
membuang sampah karena tidak ada
skabies menempati urutan keenam dari
petugas yang mengambil sampah ke rumah.
sepuluh penyakit terbanyak. Terdapat 10
Dimana hal ini yang dapat mempermudah
penyakit terbanyak di Wilayah Kerja UPT.
dalam penyebaran skabies dikarenakan
Puskesmas Martapura Barat yang mana
kebersihan lingkungan yang buruk.
penyakit kulit atopic dermatitis dan salah
Penyakit skabies menimbulkan tanda dan
satu didalamnya skabies menduduki
gejala,salah satunya adalah gatal. Gatal
Peringkat ke 4 dalam 10 Penyakit
dirasakan pada siang dan malam hari. Gatal Salah satu penatalaksanaan secara non

yang memberat akan menimbulkan respon farmakologis yaitu adalah penggunaan

penderita untuk menggaruk. Garukkan yang rendam air garam. Rendam air garam

berlebihan akan menimbulkan iritasi pada dengan kandungan NaCl yang tinggi dapat

kulit. Lesi skabies muncul di kulit mempercepat proses penyembuhan luka

menyerupai bulatan seperti jerawat kecil juga dibuktikan dari beberapa penelitian

atau berubah warna, selanjutnya kulit lainnya bahwa air laut menunjukan

mengeras dengan kerak tebal yang pengaruh dalam peningkatan penyembuhan

mengandung ribuan tungau dan telur, dan

mudah terkelupas saat disentuh (9). Untuk luka(11).

mengobati atau menghilangkan tungau Natrium dan Klorida (NaCl) yang

skabies pada penderita harus meningkatkan terkandung dalam rendam air garam

kebersihan diri (10). Ada dua cara mampu memberikan efek kesembuhan pada

penatalaksanaan skabies yaitu farmakologis penderita penyakit kulit dengan indikasi

dan non farmakologis. Penatalaksanaan rusaknya jaringan pada kulit. NaCl

farmakologis berupa merupakan isotonik dan juga garam

pemberian obat-obatan dengan berdasarkan fisiologis yang baik digunakan untuk

resep yang diberikan oleh Dokter. pembersih, pembasuh dankompres pada

Sedangkan penatalaksanaan non luka

farmakologis menggunakan tanaman- (11). Natrium klorida (NaCl) dapat

tanaman yang memiliki khasiat untuk berfungsi melindungi granulasi jaringan

mengatasi lesi dan gatal ataupun modifikasi dalam kondisi kering, dan menjaga

gaya hidup. kelembaban sekitar luka. Rendam air garam

dengan kandungan kadar NaCl yang tinggi


bisa menjadi alternative pengganti rendam Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan

air garam, karena bisa di buat sendiri di Selatan, khususnya di wilayah UPT

rumah tanpa harus mengambil air dari laut, Puskesmas Martapura Barat kepada An. H

terutama untuk masyarakat yang tempat (13 tahun) dengan masalah skabies. Peneliti

tinggalnya jauh dari laut. Kondisi lembab mendapatkan data-data klien melalui

yang diciptakan dengan adanya NaCl dalam wawancara, observasi dan pemeriksaan

merawat luka dapat mempercepat fisik. Peneliti telah mendapatkan izin dari

terbentuknya stratum corneum dan

angiogenesis untuk proses penyembuhan

luka (11). Berdasarkan latar belakang di

atas, peneliti tertarik untuk menjabarkan

terkait asuhan keperawatan keluarga pada

An. H dengan skabies melalui pemberian

intervensi rendam air garam.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain laporan

kasus, melalui metode pendekatan asuhan

keperawatan komprehensif yang meliputi

pengkajian, penegakan diagnosis

keperawatan, perencanaan, implementasi

dan evaluasi keperawatan. Studi kasus

lakukan pada tanggal 25 mei 2022-31 mei

2022. Studi kasus dilakukan di Desa Sungai

Batang Ilir Kecamatan Martapura Barat


klien dan keluarga untuk melakukan asuhan mg/ 3 sdt lalu aduk hingga garam larut, dan
keperawatan.
rendam selama 10 menit lalu keringkan
Intervensi utama yang dilakukan adalah
dengan handuk bersih. Lakukan pemberian
pemberian rendam air garam untuk
rendam air garam selama 7 hari (1 minggu),
mengatasi skabies. Proses pelaksanaan
lakukan dua kali sehari secara berturut-
dilakukan dengan memasukan air hangat
turut tiap pagi dan sore (pagi jam 10.00,
sebanyak 2 liter di baskom tempat
sore jam 16.00) (12).
merendam dengan suhu kurang lebih 40 C

atau hangat kuku, memasukan garam 20 HASIL DAN PEMBAHASAN


Tabel Evaluasi Keparahan Lesi Skabies Sebelum (Pre), 7 Hari Intervensi, Dan Sesudah

(Post)Intervensi Menggunakan Pemberian Rendam Air Garam

Hari/Tanggal Tindakan Evaluasi

Selasa, 24 Mei 2022 Pre Intervensi Nampak beberapa lesi sebagian bernanah
karena infeksi di bagian tangan kanan di
sela- sela jari.

Rabu, 25 Mei 2022 Intervensi 1 Nampak beberapa lesi masih bernanah di


sela- sela jari tangan kanan dan telapak
tangan, berwarna kemerahan. Lesi di
bagian kaki juga masih berwarna
kemerahan serta menyebar.
Kamis, 26 Mei 2022 Intervensi 2 Lesi masih bernanah sebagian di sela- sela
jari tangan kanan, berwarna
kemerahan dan menyebar. Masih banyak
lesi yang belum pecah dan berwarna putih.
Lesi di bagian kaki mulai
mengering.
Jumat, 27 Mei 2022 Intervensi 3 Lesi sudah mulai pecah sebagian di sela-
sela jari tangan kanan, berwarna
kemerahan dan menyebar.
Hari/Tanggal Tindakan Evaluasi
Sudah banyak lesi yang mulai pecah. Lesi
di bagian kaki mulai mengering.

Sabtu, 28 Mei 2022 Intervensi 4 Nampak nanah pada lesi sudah pecah dan
meninggalkan bekas, banyak lesi mulai
mengelupas dan mengering
membentuk koreng. Lesi di bagian kaki
mulai mengering.
Minggu, 29 Mei 2022 Intervensi 5 Lesi berwarna kemerahan dan
mengelupas, serta nampak mengering di
bagian tangan dan kaki.

Senin, 30 Mei 2022 Intervensi 6 Lesi berwarna kemerahan dan


mengelupas, serta nampak mengering di
bagian tangan dan kaki.

Selasa, 31 Mei Intervensi 7 Lesi berwarna kemerahan dan


mengelupas, serta nampak mengering di
bagian tangan dan kaki.

Rabu, 01 Juni 2022 Post Intervensi Lesi berwarna kemerahan dan


mengelupas, serta nampak mengering di
bagian tangan dan tertinggal bekas luka.
Penyembuhan lesi lebih terlihat.
Intervensi dilakukan pengecekan kulit An. H Pre dan Post diberikan intervensi pemberian

rendam air garamselama 7 hari. Pelaksanaan dilakukan dengan memasukan air hangat

sebanyak 2 liter di baskom tempat merendam dengan suhu kurang lebih 40 C atau hangat kuku,

Memasukan garam 20 mg/ 3 sdt lalu aduk hingga garam larut, dan rendam selama 10 menit

lalu keringkan dengan handuk bersih. Lakukan pemberian rendam air garam selama 7 hari (1

minggu), lakukan dua kali sehari secara berturut- turut tiap pagi dan sore (pagi jam 10.00, sore

jam 16.00). Setelah dilakukan intervensi pemberian rendam air garam didapatkan adanya

perubahan pada lesi yang diderita An. H. Pada hari pertama (Pre) keadaan luka nampak

beberapa lesi sebagian bernanah karena infeksi di bagian tangan kanan di sela- sela jari dan

pada hari ketujuh (Post) keadaan lesi berwarna kemerahan dan mengelupas, serta nampak

mengering di bagian tangan dan tertinggal bekas luka dan penyembuhan lesi lebih terlihat.

Meskipun pemberian rendam air garam dilakukan selama 1 kali dalam sehari, sudah terdapat

adanya perubahan keadaan lesi An. H. Jika pemberian rendam air garam dilakukan dalam 2

kali sehari mungkin untuk hasil perubahan kesembuhan lesi pada An. H akan kelihatan lebih

maksimal.

Hasil pengkajian yang didapatkan melalui wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik

didapatkan data yaitu An. H berusia 13 tahun, beragama islam dan bersuku banjar sehingga

Bahasa sehari yang digunakan adalah Bahasa banjar. Pendidikan kelas 6 SD. Berdasarkan hasil

pengkajian An. H mengeluhkan Saat dilakukan pengkajian An. H memiliki penyakit kulit di

kedua tangan dan kedua kakinya serta terdapat lesi di sela- sela jari tangan dan kaki An. H. An.

H kadang mengeluhkan gatal di siang hari dan semakin berat ketika malam hari. Ibu An. H

mengatakan An H beberapa kali meringis karena merasa sangat gatal dan merasa perih saat

dimalam hari. Terdapat ruam-ruam kemerahan berongga di kedua tangan dan kakiAn. H.

Nampak ada beberapa yang baru tumbuh dan bernanah. Riwayat penyakit terdahulu An H tidak

pernah masuk rumah sakit. Hanya pernah mengeluhkan batuk dan pilek. Berdasarkan hasil

observasi rumah klien non permanen, pencahayaan baik, pengelolaan sampah dilakukan

dengan cara dikumpulkan ditempat sampah dan dibuang kesungai karena tidak ada petugas

yang mengambil sampah kerumah, dan air minum yang digunakan untuk masak dari air galon
dan untuk mandi dari air sungai. Berdasarkan data hasil pengkajian tersebut maka dapat

ditegakkan tiga diagnosis keperawatan yaitu: Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan

kurang informasi dan sumber pengetahuan, Kerusakan integritas kulit pada an. H berhubungan

dengan penyakit kulit yang diderita (skabies), dan Hambatan rasa nyaman pada an. h

berhubungan dengan rasa gatal karena penyakit kulit (scabies).

Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi diagnosis kerusakan integritas kulit

berhubungan dengan penyakit kulit yang diderita (skabies) adalah dengan pengecekan kulit dan

manajemen pruritus salah satunya pemberian rendam air garam untuk mengatasi skabies.

Perubahan keadaan lesi skabies observasi dan di dokumentasikan setelah pemberian rendam air

garam selama 7 hari (1 minggu) untuk mengetahui adanya perubahan. Sesuai dengan penelitian

oleh Khotimah tahun 2017 yang menyebutkan bahwa ada pengaruh dalam pemberian rendam

air garam untuk mempercepat proses penyembuhan luka scabies (12).

KETERBATASAN
Peneliti menyadari bahwa masih terdapat keterbatasan dalam pelaksanaan penelitian.

Keterbatasan dalam pemberian asuhan keperawatan pada An. H yaitu sulit untuk melakukan

intervensi sebanyak 2 kali dalam 1 hari, dikarenakan rendam air garam dapat menyebabkan

timbulnya perih saat ada lesi yang pecah. Intervensi efektif dilakukan rutin hanya pada pagi

atau siang hari saat An. H pergi sekolah di siang hari. Peneliti hanya menggunakan 1 subjek

penelitian saja, sehingga saat evaluasi keperawatan mengenai kerusakan integritas kulit hanya

berfokus pada 1 orang saja. Padahal dalam proses penyembuhan luka atau lesi tiap kulit

berbeda-beda. Pada artikel penelitian acuan tidak menyebutkan standar kandungan dari garam

yang harus diberikan pada pasien, sehingga disarankan pada penelitian berikutnya dapat

membandingan kandungan NaCl secara pasti pada air yang digunakan untuk rendaman lesi

scabies serta untuk waktu penelitian, relatif singkat, sehingga disarankan untuk penelitian

selanjutnya mengatur terkait durasi riset sehingga memiliki efek jangka panjang.

PENUTUP
Hasil asuhan keperawatan keperawatan terhadap An. H dengan kerusakan integritas kulit

karena penyakit skabies diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi, acuan, atau
data balik bagi institusi pelayanan kesehatan, pendidikan, maupun dinas kesehatan. Bagi

institusi pendidikan, hasil karya tulis ilmiah Ners ini diharapkan dapat menjadi data dan

informasi terkait pentingnya kompetensi dan keterampilan mahasiswa terkait prosedur

pemberian terapi komplementer berupa rendam air garam untuk mengurangi tingkat keparahan

lesi skabies dan gatal pada klien. Hal ini dimaksudkan agar mahasiswa memiliki kompetensi

yang memadai untuk mengaplikasikan ilmu dan teori yang didapatkan. Bagi Puskesmas, dapat

mengajarkan terapi komplementer berupa rendam air garam kepada para kader untuk

penanganan skabies di wilayah kerja Puskesmas Martapura Barat agar lebih banyak

masyarakat yang menerapkannya karena tergolong mudah untuk dilakukan. Bagi peneliti

selanjutnya, bisa menggunakan seluruh keluarga sebagai subjek penelitian sehingga saat

evaluasi keperawatan mengenai kerusakan integritas kulit tidak hanya berfokus pada 1 orang

saja dan diharapkan pada penelitian berikutnya dapat membandingan kandungan NaCl secara

pasti pada air yang digunakan untuk rendaman lesi scabies.

REFERENSI
1. Harianto, S. P. and Dewi, B. S. (2017) ‘Biodiversitas Fauna di Kawasan Budidaya Lahan
Basah’, Buku Ajar Biologi Konservasi,pp. 1-218.
2. Wijayanti, L., & Ainiyah, N. (2019). the
Effect of the Skin Personal Hygiene Modules As Health Education Media Against

Knowledge in Prevention of Skabies. Nurse and Health: Jurnal Keperawatan, 8(1), 1.

https://doi.org/10.36720/nhjk.v8i1.54

3. Wochebo, W., Haji, Y., & Asnake, S.


(2019). Scabies outbreak investigation and risk factors in Kechabira district , Southern

Ethiopia : unmatched case control study. BMC Research Notes, 12(305), 12-17.

https://doi.org/10.1186/s13104-yu019- 4317-x

4. Srinivas, S., Herakal, K., Srinivasa


Murthy, K., Suryanarayan, S., Firdaus, & Monthi. (2019). Dermoscopic Study of Scabies

in Children. Indian Journal of Paediatric Dermatology,

20(1),46-51.

https://doi.org/10.4103/ijpd.IJP

5. Bear, U. R., Thayer, Z. M., Croy, C. D.,


Carol, E., Manson, S. M., Health, N., ... Building, H(2020). The impact of individual and
parental American Indian boarding am Community Health school attendance on chronic

physical health of Northern Plains Tribes. Family Comunity Health, 42(1), 1-7.

https://doi.org/10.1097/FCH.000000000 0000205.

6. Hafner, C. (2009) Skabies, Hautarzt. doi: 10.1007/s00105-009-1708-2. Hardy, M.,


Engelman, D. and Steer, A. (2017) ‘Scabies: A clinical update’, Australian Family
Physician, 46(5), pp. 264-268.
7. Anggun Putri Yuniaswan, Dhany Prafita
E, Sinta Murlistyarini, Herwinda Brahmanti, Rivo Yudhinata Brian Nugraha, Dearikha

Karina Mayashinta, Yulia Dwi Setia, Sri Poeranto, T. W. S. (2020) Infestasi Parasit dalam

Dermatologi, Infestasi Parasit dalam Dermatologi. Universitas Brawijaya

Press, 2020.

Availablehttps://books.google.co.id/boo ks?id=0i cAEAAAQBAJ&dq=terapi+nonfarmako

logi+mengurangi+gatal+pada+scabies&l r=&hl=id&source=gbs_navlinks_s

8. Kementerian Kesehatan RI (2017) Profil Kesehatan Indonesia 2017. doi: 10.1002/qj.


9. Affandi, A. A. N. (2019) ‘The Study of Personal Hygiene and The Existence of Sarcoptes
Scabiei in The Sleeping Mats Dust and Its Effects on Scabiesis Incidence Amongst Prisoners at
IIB Class Penitentiary, Jombang District’, Jurnal Kesehatan Lingkungan, 11(3), p. 165. doi:
10.20473/jkl.v11i3.2019.165- 174.
10. Affandi, P. and Faisal (2020) ‘Kendali optimal pada model penyakit scabies’, (1911),pp.
187-196
11. Kim et al, (2015). Bathing Effects of Various Seawaters on Allergic (Atopic) Dermatitis-
Like Skin Lesions Induced)
12. Henri (2018) Scabies, Angewandte Chemie International Edition, 6(11), 951-952.
13. Khotimah, 2017. Rendam Air Garam
Sebagai Media Mempercepat

Penyembuhan Lesi Scabies. Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Pesantren Tinggi Darul

Ulum Jombang
JURNAL II

Jurnal Keperawatan

Volume 15 Nomor 4, Desember 2023


e-ISSN 2549-8118; p-ISSN 2085-1049
http://j ournal. stikeskendal .ac.id/ index.php/Keperawatan

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP TINGKAT


PENGETAHUAN DAN EFIKASI DIRI SANTRIWATI DALAM
PENCEGAHAN PENULARAN SKABIESDI PONDOK PESANTREN

Triana Arisdiani*, Ahmad Asyrofi, Saila Zivana Rosida


Program Studi S1 Keperawatan, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal, Jl. Laut No 31 Kendal Jawa Tengah
51311, Indonesia
*arisdiani86@gmail.com

ABSTRAK
Skabies menduduki peringkat 6 besar penyakit yang disebabkan oleh parasit epidermis pada kulit
dengan insiden tertinggi di dunia pada tahun 2020. Pendidikan kesehatan adalah upaya mempengaruhi
individu, keluarga maupun masyarakat guna mampu menjalankan perilaku yang lebih baik, karena
memberikan juga meningkatkan pengetahuan, sikap serta keterampilan. Tujuan daripenelitian ini adalah
untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan dan efikasi diri
santriwati dalam pencegahan penularan scabies di Pondok Pesantren. Jenis penelitian ini adalah “Quasi
Eksperiment”, dengan rancangan Pretest and Posttest control Group Design. Teknik sampling yang
digunakan adalah Random simple sampling. Instrumen penelitian berupa kuesioner pengetahuan
tentang skabies masing-masing variabel dalam penelitian ini memiliki nilai Cronbach Alpha yang lebih
besar dibandingkan 0,6 dan memiliki nilai sebesar 0,937. Instrumen yang kedua kuesioner general scale
self efficacy dengan hasil seluruhnya memiliki t-value > 1.96 dan bermuatan faktorpositif. Alat analisis
data menggunakan Uji Wilxocon dan Uji Man Whitney. Hasil penelitian ini menggunakan analisis uji
Wilcoxon menunjukan adanya perbedaan pada tingkat pengetahua dan efikasi diri yang signifikan
sebelum dan sesudah dilakukanpendidikan kesehatan dengan nilai p = 0.0001 (p>0,05), dan hasil dari
uji Man Whitney didapatkan adanyaperbedaan tingkat pengetahuan dan efikasi diri pada kelompok
edukasi dan kontrol saat post-test dengan nilai p= 0.0001 (p>0,05). Peneliti menyarankan pihak pondok
pesantren mampu bekerja sama dengan puskesmas setempat untuk mengadakan promosi kesehatan
secara rutin tentang Skabies maupun penyakit menular lainnya.

Kata kunci: efikasi diri; pendidikan kesehatan; pengetahuan; skabies

THE EFFECT OFHEALTHEDUCATION ON THE LEVEL OFKNOWLEDGE


AND SELF-EFFICACY OFSANTRIWATIINPREVENTING SCABIES
TRANSMISSION ATISLAMIC BOARDING SCHOOLS

ABSTRACT
Scabies is ranked as the top 6 diseases caused by epidermal parasites on the skin with the highest
incidence in the world in 2020. Health education is an effort to influence individuals, families and
communities to be able to carry out better behavior, because itprovides knowledge, attitudes and skills.
The purpose of this study was to determine the effect of health education on the level of knowledge and
self-efficacy of female students in preventing scabies transmission in Islamic boarding schools. This
type of research is "Quasi Experiment", with the Pretest and Posttest control Group Design. The
sampling technique used is random simple sampling. The research instrument was a knowledge
questionnaire about scabies. Each variable in this study had a Cronbach Alpha value that was greater
than 0.6 and had a value of0.937. The second instrument is a general scale self-efficacy questionnaire
with all results having a t-value > 1.96 and a positive factor charge. The data analysis tool uses the
Wilxocon Test and the Man Whitney Test. The results of this study using the Wilcoxon test analysis
showed that there were significant differences in the levels of knowledge and self-efficacy before and
after health education with a value of p = 0.0001 (p>0.05), and the results of the Man Whitney test
found that there were differences in levels of knowledge and efficacy themselves in the education and
control groups during the post-test with a value of p = 0.0001 (p> 0.05). The researcher suggests that
the Islamic boarding school is able to work together with the local health center to hold
regular health promotions about scabies and other infectious diseases.

Keywords: health education; knowledge; scabies; self-efficacy

PENDAHULUAN
Skabies menduduki peringkat 6 besar penyakit yang disebabkan oleh parasit
epidermis pada kulitdengan insiden tertinggi di dunia, prevalensi terbaru untuk
skabies berkisar antara sekitar 0,2% hingga 71% menurut WHO (World Health
Organization) tahun 2020. Skabies dan ektoparasit lainnya tergolong dalam
penyakit tropis yang terabaikan, (neglected tropical diseases/NTDs), Skabies
terjadi diperkirakan 150-200 juta orang diseluruh dunia dengan perkiraan 455 juta
kasus per tahun dikutip dari IACS (Alliancefor the Controlof Scabies) tahun 2020.
Wabah skabies baru dilaporkan di rumah sakit, dikarenakan jam kerja yang
panjang dan pergantian tempat tidur yang tinggi di bangsal COVID, dan di dalam
rumah tangga karena kontak dekat dengan kerabat dan orang yang tinggal bersama
yang disebabkan oleh kebijakan 'stay-at-home (Trave et al., 2
022).

Prevalensi skabies di Indonesia pada tahun 2018 menurut Departemen Kesehatan


Republik Indonesia(Depkes RI) berdasarkan data puskesmas yang ada di Indonesia
berkisar antara5,6%- 12,95% dan menduduki urutan ketiga dari12 penyakit kulit di
Indonesia yang sering terjadi. Data Dinas Kesehatan kota semarang pada 2018
sekitar 937 kasus, dan meningkat tahun 2019 sebanyak 2339 kasus. Angka
kejadian scabies di Indonesia tidak menutup fakta bahwa Indonesia belum
sepenuhnya terbebas dari penyakit scabies (Husna, R., Joko, T., & Selatan, 2021).
Asuhan keperawatan dengan kasus scabies dimulai dengan pengakajian, diagnosa
yang dapat muncul yaitu defisit pengetahuan(Herdman, 2018). Tujuan yang
diharapkan pasien mampu menyatakan pemahaman tentang penyakit (NOC, 2018).
Intervensi yang diberikan dengan memberikan pendidikan kesehatan, diharapkan
dengan melaksanakan pendidikan kesehatan dapat meningkatkan pengetahuan
pasien (Bulechek, G.M, Butcher, H.K., Dochterman, J.M & Wagner, 2016).

Hasil Penelitian Rahmatyawati, Asniar & Atika, tahun (2022), didapatkan bahwa
terdapat perbedaan yang signifikan pada sikap santri dalam pencegahan skabies
namun tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada tingkat pengetahuan,
praktik kebiasaan personal hygiene dalam pencegahan scabies. Pengetahuanmampu
mendukung seseorang terhindar dari suatu penyakit, terutama penyakit menular.
Kejadian skabies banyak dijumpai pada kelompok yang hidup dengan kondisi
kebersihan diri dan lingkungan di bawah standar. Hal ini mungkin disebabkan oleh
kurangnya pengetahuan tentang skabies, penyebabnya, cara penularan dan
pencegahannya pada kelompok yang kurang pengetahuan tentang skabies dan
berisiko terkena skabies dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang
memiliki pengetahuan hidup bersih dan sehat yang baik. (Husna, dkk, 2021).

Hasil penelitian Riyanto (2015), terhadap 7 pasien kusta, didapatkan 4 responden


memiliki efikasi tinggi dan 3 responden efikasi diri rendah.Penderita kusta yang
efikasi dirinya rendah dapat menghambat dalam proses penyembuhan penyakit
karena memiliki pandangan yang negative mengenai dirinya sertapenyakitmya.
Kondisi masalah efikasi yangterjadi pada santri berupa bentuk ketidakpercayaan
diri, rasa gugup dan rasa ragu. Kewajiban santri bertambah ketika mereka
memasuki pondok pesantren dimana sekarang santri harus menyesuaikan diri
terhadap segala aktivitas yang mungkin berbeda dengan yang biasa dilakukan
seperti budaya, kebiasaan serta lingkungan pun akan berbeda. Kenyataan yang
sering terjadi ini seringkali menyebabkan santri mengalami hambatan dalam
melakukan penyesuaian diri. Permasalahan yang banyak dialami oleh santri yaitu
penyesuaian diri secara fisik maupun psikis (Qusuma, 2022).

Pengetahuan berhubungan dengan efikasi diri. Self-efficacy mempengaruhi


bagaimana seseorang merasa, berpikir, memotivasi dan berperilaku. (Putri et al.,
2022). Pengetahuan menjadi salah satu hal yang dikaitkan dengan efikasi diri
individu (Desiani et al., 2017). Hasil penelitian tahun 2021 oleh Hayat, Eka dan
Muhammad menyimpulkan bahwa kegiatan edukasi ini dapat meningkatkan
pengetahuan pondok pesantren tentang skabies untuk mengoptimalkan pencegahan
penyebaran skabies, dan disarankan untuk menggabungkan kegiatan penyuluhan
kesehatan dengan kesehatan kepada masyarakat. Berdasarkan penelitian Riyadi
tahun 2017, dalam penelitiannya peningkatan pengetahuan dan efikasi diri sama-
sama berpengaruh signifikan terhadap pencegahan pasca promosi kesehatan,
dengan bantuan promosi kesehatan diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
dan efikasi diri.

Kejadian skabies terjadi pada sekelompok orang yang tinggal bersama di suatu
fasilitas tertentu yang cukup besar, seperti pondok pesantren, pantiasuhan, asrama,
shelter, rumah detensi, dan lain- lain. Kepadatan populasi ini memudahkan
berkembangnya skabies pada populasi ini (Dewi & Caesar, 2019). Dampak
kesehatan yang muncul secara tidak langsung dari komplikasi skabies yaitu infeksi
bakteri, pada bayi dan anakkecil dapat menimbulkan komplikasi pada ginjalyaitu
glomerunofritis (Widasmara, 2022). Kondisi kulit ini seringkali menimbulkan rasa
tidak nyaman karena lukanya terasa sangat gatal sehingga membuat penderitanya
menggaruk dan menyebabkan peradangan. Pengaruh scabies terhadap kualitas
hidup dapat mempengaruhi setiap orang baik dewasa maupun anak-anak yaitu
malu dengan penyakitnya, menutupi bagian tubuh yang terkontaminasi skabies,
membatasi aktivitasnya, merasa terjebak oleh orang-orang disekitarnya. (Worth et
al., 2012). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pendidikan
kesehatan terhadap tingkat pengetahuan dan efikasi diri santriwati dalam
pencegahan penularan skabies di Pondok Pesantren adapun tujuan khusus untuk
mengetahui karakteristik santriwati seperti usia, dan tingkat pendidikan, paparan
informasi sebelumnya mengenai skabies dan pengalaman. Mengidentifikasi tingkat
pengetahuan santriwati tentang scabies sebelum dan sesudah dilakukannya
peyuluhan scabies. Mengidentifikasi tingkat efikasi diri santriwati tentang scabies
sebelum dan sesudah dilakukannya peyuluhan scabies. Mengidentifikasi pengaruh
pendidikan kesehatan tentang skabies terhadap tingkat pengetahuan dan efikasi diri
santriwati.
METODE
Kerangka konsep penelitian ini variabel bebasnya adalah pendidikan kesehatan
tentang skabies dan variabel terikatnya adalah tingkat pengetahuan dan efikasi diri.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian quasi eksperimen dengan pre and
post control group design. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik
Simple Random Sampling. Ukuran sampel di setiap kelompok adalah 25 (25 di
kelompok perilaku, 25 di kelompok kontrol). Tempat belajar di Pesantren Al
Musyaffa Kendal dan Pesantren Al Itqon Patebon. Instrumen penelitian berupa
kuesioner skabies yang telah diuji oleh peneliti sebelumnya yang telah diuji
validitas dan reliabilitasnya oleh peneliti sebelumnya, bahwa setiap variabel
memiliki nilai korelasi yang berbeda-beda, dengan nilai yang lebih besar dari
korelasi pada tabel yaitu. 0,273. Untuk setiap variabel hasil uji reliabilitas
instrumen pada penelitian ini nilai cronbach alpha lebih besar dari 0,6. Variabel
data tersebut memiliki nilai 0,937 sehingga dikatakan reliabel. Hasil kuesioner
efikasi diri dan uji validitas skala umum yang diuji validitas dan reliabilitasnya
oleh peneliti terdahulu terbukti valid dan reliabel, dan hasil item instrumen tersebut
menunjukkan nilai t > 1,96 dan positif. Alat analisis data menggunakan uji
Wilxocon dan uji Mann-Whitney.

HASIL Karakteristik Santri


Tabel 1.
Deskripsi usia (n=50)
Karakteri stikUsi a Mean Standar Deviasi Median Min-Max
Kelompok Kontrol 18,96 1,020 19 19-21
Kelompok Edukasi 18,44 0,507 18 18-19

Tabel 2.
Deskriptif Karakteristik pendidikan, paparan informasi sebelumnya dan
pengalaman pada
kelompok kontrol dan kelompok edukasi(n=50)
Variabel KelompokKontrol (n=25) KelompokEdukasi
(n=25)
F (%) f (%)
Pendidikan
SD 2 (8,0) 0
SMP 8 (32.0) 8 (44,0)
SMA 13 (52,0) 17 (56,0)
PerguruanTinggi 2 (8,0) 0
Paparan Informasi Sebelumnya
Pernah 18 (72,0) 10 (40,0)
TidakPernah 7 (28,0) 15 (60,0)
Pengalaman
Ya 21 (84,0) 23 (92,0)
Tidak 4 (8,0) 2 ________(80)________
Karakteristik santri pada kelompokkontrol dan kelompok edukasi berupa usia,
pendidikan, paparan informasi sebelumnya dan pengalaman. Tabel 4.1 menunjukan
hasil usia pada kelompok kontrol responden dengan umur terendahadalah 19 tahun
dan 21 tahun, sedangkan pada kelompok edukasi menunjukkan usia paling rendah
adalah 18 tahun dan paling tinggi 19 tahun. Sesuai dengan tabel 2 hasil pada
karakteristik pendidikan, paparan informasi sebelumnya dan pengalaman pada
kelompok kontrol didapatkanmayoritas tingkat pendidikan pada kelompok ini
adalah SMA, sebanyak 13 responden (52%). Paparan informasi sebelumnya
mengenai skabies pada kelompok kontrol mayoritas responden sudah pernah
mendapatkan informasi mengenai skabies, dengan jumlah 18 responden
(72%).Karakteristik responden berdasarkan pengalaman, sebagian besar pada
kelompok kontrol sebanyak 21 respoden (84%) pernah mengalami gejala skabies.
Karateristik pada kelompok kontrol didapatkan mayoritas pendidikan pada
kelompok ini juga SMA, sebanyak 17 responden (56%). Paparan
informasisebelumnya pada kelompok inimenujukan lebih banyak responden
yangbelum pernah mendapatkan informasi mengenai skabies dengan jumlah 15
responden (60%). Berdasarkan pengalaman mengalami gejala skabies mayoritas
pada kelompok perlakuan didapatkan 23 responden (92%) pernah mengalami
gejala skabies.

Pengetahuan dan Efikasi Diri Santri


Tabel 3 mayoritas responden pada kelompok kontrol mendapatkan skor
pengetahuan kurang sebanyak 13 responden (52.0%), kemudian saat dilakukan
post-test kelompok kontrol responden yang memilikipengetahuan kurang
justrybertambah jumlahnya menjadi 15 responden (60.0%). Gambaran rata-rata
skor efikasi diri pada kelompok kontrol menunjukan sebanyak 14 responden (56%)
memilki efikasi diri rendah dan saat post-test pada kelompok ini responden yang
mendapatkan skor efikasi rendah juga jumlah nya bertambah menjadi 16 responden
(64%). Tabel 4.3 pada kelompok edukasi menunjukkan, responden pada kelompok
ini pada saat pre-test mayoritas memiliki pengetahuandengan tingkat pengetahuan
kurang baik sebanyak 16 (64.0%), setelah diberikan pendidikan kesehatan tentang
skabies dan dilakukanpost-test semua responden mengalami perubahan
pengetahuan menjadi baik sebanyan 25 respoden (100%). Artinya terdapat
peningkatan pengetahuan responden sesudah di berikan pendidikan kesehatan
tentang skabies.
Tabel 3.
Gambaran Rata-rata skor pengetahuan dan efikasi diri pada kelompok kontrol dan
kelompokedukasi (n=50)
Kelompok Kontrol(n=25) Kelompok Edukasi(n=25)
Variabel Pre-Test Post-Tes Pre-test Pos-test
f f f f
(%) (%) (%) (%)
Pengetahuan
KurangBaik 13 (52,0) 15 (60,0) 16 (36,0) 0
Baik 12 (48,0) 10 (40,0) 9 (64,0) 25 (100)
Efikasi Diri
Rendah 14 (56,0) 16 (64,0) 15 (60,0) 0
Tinggi 11 (44,0) 9 (36,0) 10 (40,0) 25 (100)
Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap Tingkat Pengetahuan dan Efikasi
Diri Santriwati dalam Pencegahan dan Penularan Skabies di Pondok
Pesantren pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol
Tabel 4.
Analisis pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan dan efikasi
diri di Pondok Pesantren Al Itqon (Kelompok kontrol) dan Pondok Pesantren Al
Musyaffa (kelompok edukasi) (N=50)
Variabel Kontrol Edukasi
T1 T2 p T1 (% p
T2 f
f (%) f f (%) )
(%)
Pengetahuan 1,000 0,0001
Kurangbaik 13 52,0 15 60,0 16 64,0 0
Baik 12 48,0 10 40,0 9 36,0 25 100
Efikasi Diri 0,190 0,0001
Rendah 14 56,0 16 64,0 15 60,0 0
Tinggi 11 44,0 9 36,0 10 40,0 25 100
Hasil analisis dari Uji Wilcoxon nilai p pada kelompok kontrol didapatkan sebesar
1,000 lebih besar dari nilai a 0,05 (p>0,05), kesimpulannya bahwa tidak ada
perbedaan
tingkat pengetahuan yang signifikan pada kelompok kontrol pada pretest dan
posttest, sedangkan nilai p pada kelompok edukasi menunjukan sebesar 0,000
artinya lebih kecildari nilai a 0,05 (p<0,05), dapat disimpulkan adanya perbedaan
pengetahuan yang signifikan pada kelompok perilaku sebelum dan
sesudahdiberikan pendidikan kesehatan tentang skabies. Nilai p<0,05 pada
kelompok perlakuan, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan kesehatan
tentangskabies yang disampaikan dan pemberianmodul pembelajaran memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan pengetahuan responden kelompok
yang diberikan perlakuan. Berdasarkan tabel 4 Analisis tingkatefikasi diri pada
kelompok kontrol dari Uji Wilcoxon didapatkan nilai p pada kelompok kontrol
didapatkan sebesar 0,190 hal ini berarti lebih besar dari nilaia 0,05 (p>0,05), Nilai
p>0,05 padakelompok kontrol, menunjukan bahwa tidak terdapat perubahan efikasi
diri yangsignifikan pada kelompok kontrol pada pre-test dan post-test, maka dapat
disimpulkan tidak adanya perbedaan efikasi diri pada kelompok kontrol.Hasil
analisis dari Uji Wilcoxon didapatkan nilai p pada kelompok edukasididapatkan
sebesar 0,000 hal ini berarti lebih kecil dari nilai a 0,05 (p<0,05),maka dapat
disimpulkan adanya perbedaan efikasi diri yang signifikan pada kelompok perilaku
sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan tentang skabies. Dengan nilai
p<0,05 pada kelompok perlakuan, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan
kesehatan tentang skabies yang disampaikan dan pemberian modul pembelajaran
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan efikasi diri responden
kelompok yang diberikan perlakuan.
Perbedaan Pengetahuan dan EfikasiDiri Responden Kelompok Perlakuan dan
Kelompok Kontrol saat Post Test
Tabel 5.
Perbedaan pengetahuan dan efiaksi diri kelompok kontrol dan kelompok edukasi
saat post-
_________________________________test (n=50)
_________________________________
Variabel P
Kelompok Kontrol Kelompok Edukasi
f % f %
Pengetahuan 0,0001
Kurang Baik 15 60,0 0
Baik 10 40,0 25 100
Efikasi Diri 0,0001
Rendah 16 64,0 0
Tinggi 9 36,0 25 100
Tabel 5 hasil analisis dariuji Mann Whitney menunjukan skorpengetahuan saat
post-test antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan menunjukkan nilai p =
0.000 (p<0,05) artinya terdapat perbedaan tingkat pengetahuan yang signifikan
antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol pada saat post-test setelah
dilakukan pendidikan kesehatan pada kelompok edukasi. Tabel 4.5 hasil analisis
dari uji Mann Whitneymenunjukan skor skor efikasi diri post- test antara kelompok
edukasi dankelompok kontrol menunjukkan nilai p = 0.000 (p<0,05) artinya
terdapatperbedaan tingkat pengetahuan yang signifikan antara kelompok edukasi
dan kelompok kontrol setelah dilakukan pendidikan kesehatan pada kelompok
edukasi.
PEMBAHASAN
Karakteristik Santri
Usia santri pada kelompok kontrol maupun edukasi pada penelitian ini rata-rata
usia santri adalah 18 dan 19 tahun. Kategori usia menurut Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, usia 17-25 masuk dalam kategori remaja akhir dimana usia
responden pada penelitian ini mayoritas adalah 19-21 tahun jadi dapat disimpulkan
responden pada penelitian ini termasuk kedalam kategori remaja akhir. Penelitian
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Handayani dan Ikaditya (2019),
berdasarkan kejadian skabies di suatu pondok pesantren kejadian skabies rentan
terjadi pada santri berusia 12-25 tahun, namun penelitian ini tidak sejalan dengan
penelitian milik Harianti, Nuryadi, Oktamara, Tantia, Lestari & Asrizal, (2023)
didapatkan kejadian skabies padapenelitannya terbanyak terjadi pada usia 6-
16tahun.
Usia merupakan umur seseorang sejak saat dilahirkan sampai saat ini. Semakin
cukup umur akan meningkatkan kematangan seseorang dalam berfikir dan bekerja
serta tingkat kepercayaan dirinya (Elsera, C., Agustina, N. W., & Choirunisa,
2022). Berdasarkan penelitian, teori dan temuan penelitian terdahulu, para peneliti
mengklaim bahwa faktor usia memengaruhi pemahaman, pemahaman, dan
pemikiran (Widiastuti, 2021). Seiring bertambahnya usia, pemahaman, pemikiran,
pengetahuan, dan kemampuan Anda untuk mengambil keputusan akan berkembang
(Widiastuti & Ramayanti, 2022).
Karakteristik berdasarkan pendidikanterakhir kedua kelompok responden
mayoritas responden berpendidikan terakhir SMA. Hal ini selaras dengan
penelitian milikEzdha, Abdurrahman, Dwi, dan Umiani (2023) dimana dalam
penelitian pada karakteristik pendidikan menunjukan mayoritas santri
berpendidikan SMA. Menurut Ruasana, Ahmad, Edi, Kharisma &Ida (2023)
Pendidikan yang termasuk dalam pendidikan rendah yaitu tingkat SMP (SD sampai
dengan SMP). Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan, diharapkan
seseorang yang berpendidikan tinggi juga akan memiliki pengetahuan yang lebih
banyak, namun perlu ditekankan bahwa tidak berarti seseorang yang berpendidikan
rendah memiliki pengetahuan yang lemah sama sekali (Muliawati, N. K.,
Puspawati, N. L. P. D., & Dewi, 2022). Individu dengan pendidikan yang lebih
tinggi tinggi memiliki penalaran yang tinggi (Rismalinda, Wulan, Ainun & Yulian,
2022). Seseorang berpendidikan lebih tinggi memiliki pengetahuan yang lebih luas
dibandingkan dengan yang tingkat pendidikanya rendah (Triana Arisdiani, Ahmad
Asyrofi, 2021).
Karakterisik berdasarkan paparan informasi sebelumnya mengenai skabies
menunjukanbahwa mayoritas kelompok kontrol pernah mendapatkan informasi
mengenai skabies , pada kelompok edukasi menunjukkan sebagian besar belum
pernah mendapatkan informasi mengenai skabies, Hasil penelitian milik Fitriyani
(2017) dalam penelitiaanya menunjukan mayoritas pada kelompok kontrol maupun
perlakuan keduanya banyak yang sudah mendapatkan informasi mengenai skabies,
yang diberikan oleh ustadz/ustadzah. Paparan informasi memengaruhi perubahan
sikap, perasaan, dan perilaku yang dihasilkan dari komunikasi. Paparan informasi
dapat membuat orang menerima lebih banyak informasi daripada mereka yang
tidak (Novisari, Djoko & Sri, 2016).
Karakteristik pada penelitian ini berdasarkanpengalaman mengalami gejala gatal di
malam hari menunjukan bahwa mayoritas responden pada penelitian ini mengalami
gejala gatal di malam hari. Responden juga banyak mengatakan mengatakan
pernah mengalami skabies dan sempat sembuh namun kambuh lagi. Hasil peneltian
ini samadengan penelitian milik Wijayanti (2019) yang menunjukan karakteristik
berdasarkan pengalaman pada penelitaanya mayoritas responden mengalami
pengalamanmerasakan gatal dimalam hari sebesar (70%). Pengalaman individu
memungkinkan seseorang untuk mendapatkan pengetahuan baru yang belum
pernah dialami, atau pengalaman masa lalu menjadi bagian dari ingatan seseorang,
memungkinkan mereka untuk menambah lebih banyak pengetahuan (Anwar et al.,
2022).
Sintesa peneliti, pada penelitian ini mayortitas santri adalah remaja
akhirberpendidikan SMA yang belum pernah mendapatkan informasi mengenai
skabies dan juga pernah mengalami gejala skabies. Peneltian ini selaras dengan
peneliti terdahulu, meskipun ada juga yang tidak. Halyang dapat mempengaruhi
kurangnya pengetahuan dan efikasi diri mengenai skabies pada santri adalah karena
usia yang masih muda, tingkat pendidikan, paparan informasi yang didapat belum
banyak juga pengalaman. Usia mempengaruhi pemahaman dan pemikiran, seiring
bertambahnya usia, pemahaman dan pemikiran diterima meningkat. Tingkat
pendidikan juga memiliki peran dalam membentuk pengetahuan karena
mempengaruhi persepsi seseorang, sebab seseorang yang berpendidikan tinggi
cenderung memiliki pemikiran yang luas. Sama halnya dengan kedua hal diatas,
paparan informasi pun dapat mempengaruhi pengetahuan seseorangdimana
seseorang yang mendapatkanpaparan informasi membuat orang menerima lebih
banyak informasi yang memengaruhi perubahan sikap, perasaan, dan perilaku yang
dihasilkan dari komunikasi. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan, sikap
dan efikasi diri yang dibentuk melalui pengalaman diri sendiri ataupun orang lain,
apalagi pengalaman dalam mengalami suatu penyakit seperti skabies.
Tingkat pengetahuan
Gambaran pengetahuan santri mengenai skabies didapatkan pada kelompok
kontrol pada saat pre test dan post-test tidak mengalami peningkatan pengetahuan.
Kelompok kontrol ini tidak diberikanpendidikan kesehatan setelah pre-test, pada
kelompok ini langsung diberikan post- test dengan jarak waktu selama 1 minggu
dimana hasil post-test kategori kurang justru bertambah. Hasil pada kelompok
edukasi mengalami peningkatan pengetahuan pada saat post- test. Kelompok
edukasi ini kelompok yang diberikan pendidikan kesehatan. Post-test pada
kelompok edukasi ini diberikan 1 minggu setelah dilakukannya pendidikan
kesehatan, dan hasil post-test pada kelompok edukasi menunjukan semua santri
masuk kedalam kategori baik.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian milik Atika (2022) dimana dalam
penelitiaanya mengenai skabies pada kedua kelompok padasaatpre-test masuk
kedalam kategori kurang,dan pada kelompok perlakuan yang diberikan intervensi
mengalami peningkatan. Penelitian ini selaras dengan penelitian milikManalu, Seli
& Saumah, 2022) hasil penelitiaanya menunjukan kedua kelompok mayoritas
santri menunjukan pengetahuan kurang saat pre-test, dan pada kelompok intervensi
terjadi peningktan pengetahuan setelah diberikan pendidikan kesehatan. Penelitian
ini juga selaras dengan penelitian milik Setyorini, Rahmiati & Sri (2022) hasil
menunjukan terjadi peningkatan pengetahuan pada kelompok yang diberikan
intervensi. Pengetahuan menjadi salah satuobyek yang berperab penting dalam
terbentuknya perilaku terbuka (over behaviour). Pengetahuan diperoleh setelah
individu melakukan penginderaan terhadap suatu objek, penginderaan yang baik
mampu meningkatkan pemahaman yang baik juga (Harianti et al., 2023).
Sintesa peneliti, mayoritas pengetahuan santri saat pre-test tergolong kategori
kurang bai, karena tidakadanya perlakuan yang didapatkan oleh santri, namum
pada kelompok edukasi yang telah diberikan pendidikan kesehatan yang berisi
pengetahuan mengenai skabies mengalami peningkatan pengetahuan saat
dilakukannya post-test. Berdasarkan hal diatas, pendidikan kesehatan mampu
memberikan efek terhadap pengetahuan seseorang. Perbedaanya dapat dilihat
padahasil post-test kedua kelompok tersebut. Artinya kelompok edukasi yang
mendapatkan perlakuan, mengalamipeningkatan pengetahuan, sehingga
pengetahuan mereka meningkat. Berbeda dengan kelompok kontrol yang tidak ada
peningkatan karena tidak diberikanpendidikan kesehatan.
Efikasi Diri
Gambaran efikasi diri santri saat pre-post test pada kelompok kontrol sebagian
besar menunjukkan efikasi diri rendah. Gambaran pada kelompok edukasi sebelum
dilakukannya pendidikan kesehatan juga mayoritas memiliki tingkat efikasi diri
yang rendah, namun pada kelompok edukasi didapatkan peningkatan setelah
dilakukannyapendidikan kesehatan dengan menunjukan responden mengalami
peningkatan. Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian milik Anggraini & Dewi
(2023) juga menunjukan efikasi diri responden dalam penelitiannya pada saat
sebelum diberikan pendidikan kesehatan mayoritas memilki efikasi diri rendah dan
sedang. Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian milik Viridula dan Siswi
(2022), hasil penelitiaanya mayoritas responden sebelum dilakukannya pendidikan
kesehatan memilki efikasi diri yang rendah. Hasil penelitia milik Irdianty dan Titis
(2022) jugamenunjukan, adanya perbedaan skor efikasi responden sebelum dan
sesudah diberikan pendidikan kesehatan. Efikasi diri seseorang dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin, pengetahuan,
pengalaman, dll (Pefbrianti, D & Fadhilah, M, 2022).
Sintesa penelitian ini, hasil pre-test pada kedua kelompok masuk kedalam kategori
rendah. Faktor yang mempengaruhi karena tidak adanya perlakuan sebelum
dilakukannya pre-test. Kelompok edukasi yang diberikan pendidikan
kesehatanmengalami peningkatan efikasi diri karena adanya perlakuan yang
diberikan pada kelompok ini berupa pendidikan kesehatan yang mampu
mempengaruhi efikasi diri santri. Beda halnya dengan kelompok kontrol yang tidak
mengalami peningkatan karenatidak adanya paparan informasi melaluipromosi
kesehatan.
Pengaruh Pendidikan Kesehatan tentang Skabies terhadap Tingkat
Pengetahuan dan Efikasi diri
Hasil pada penelitian pada kelompok kontrolmenunjukan tingkat pengetahuan dan
efikasidiri tidak terdapat perbedaan ataupunpeningkatan pengetahuan yang
signifikan pada hasil pre-post test. Kelompok edukasi menunjukan terdapat
perbedaan yang signifikan pada tingkat pengetahuan pada hasil pre-post test
setelah dilaksanakan pendidikan kesehatan. Hasil analisa rerata skor pengetahuan
dan efikasi diri pada kelompok kontrol dan kelompok edukasi menunjukan adanya
perbedaan yang signifikan pada tingkat pengetahuan dan efikasi diri, kelompok
kontrol yang tidak diberikan intervensi dan kelompok edukasi yang diberikan
intervensi.
Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian milik Liambana, Juliana & Rahim
(2021) yang menunjukan hasil setelah diberikan intervensi, ada peningkatan nilai
pengetahuan. Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian milik Ezdha, dkk (2023)
dalam penelitiannya mengenai pengaruh pendidikan kesehatan skabies terhadap
tingkat pengetahuan di suatu pondok pesantren, dimana adanya perbedaan yang
signifikan setelah diberikannya pendidikan kesehatan. Hasil penelitian milik
Maulana(2022) menunjukan sesudah diberikan intervensi pendidikan kesehatan
pada santri adanya peningkatan nilai pengetahuan. Hasil penelitian mengenai
pengaruh pendidikan terhadap efikasi diri milik Anggraini, Bela & Eliyah (2023)
juga menunjukan ada pengaruh terhadap peningkatan efikasi diri. Hasil penelitian
ini selaras dengan penelitian milik Penyami, Yayi & Sri (2019) dimana adanya
perbedaanskor efikasi diri antara kelompok intervensi yang diberikan pendidikan
kesehatan dan kontrol yang tidak diberikan. Hasil penelitian miliki Rachmawati,
Wenny & Ika (2019) menunjukan adanya perbedaan antara kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol dengan beda selisih skor efikasi diri setelah diberikan
pendidikan kesehatan.
Pendidikan adalah upaya untuk membawa perubahan perilaku yang meliput
Pengetahuan, sikap dan keterampilan psikomotorik (Ahmad Asyrofi, 2021)
Pendidikan kesehatan merupakan proses yang menjembatani kesenjangan antara
pengetahuan kesehatan dan praktik kesehatan, mendorong masyarakat untuk
memperoleh pengetahuan dan menjaga dirinya lebih sehat dengan menghindari
kebiasaan buruk dan mengembangkan kebiasaan yang bermanfaat bagi kesehatan
(Millenia, Ningsih & Lensi, 2022). Pendidikan juga merupakan sesuatu yang dapat
membawa atau memperoleh wawasan seluas-luasnya bagi seseorang, dan
memberikan wawasan dan pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan
mereka yang berpendidikan lebih rendah (Yuliani, Sastriani, Irfan & Rahmatia,
2023).
Sintesa peneliti, pendidikan kesehatan memiliki pengaruh dalam meningkatkan
pengetahuan dan efikasi diri, bukan hanya pada penelitian ini namun dibuktikan
juga dengan peneliti terdahulu. Pendidikan kesehatan memiliki peran yang besar
dalam peningkatan pengetahuan, efikasi diri, pengambilan keputusan dan
pengambilan sikap, semakin tinggi pengetahuan seeorang tentang skabeis maka
skabies dapat dicegah dan diminimalisir. Pendidikan kesehatan berisi proses
kegiatan yang memaparkan informasi tentang kesehatan yang dimana informasi
tersebut mampu meningkatkanpengetahuan dan efikasi diri, selain itumampu
meningkatkan kesadaran mengenai kesehatan karena seseorang tersebut mampu
menangkap informasi dari penglihatan dan juga pendengarannya sehingga
membentuk pengetahuan dan efikasi diri yang baru dan lebih meningkat. Adanya
pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan juga efikasi diridapat
dibandingkan pada kelompok kontrol yang tidak diberikan perlakuan apapun
sehingga tidak adanya pengaruh padakelompok ini. Dilihat perbedaannya pada
hasil rerata skor antara kelompok edukasi dankontrol yang menunjukan perbedaan
yang signifikan.
SIMPULAN
Ada pengaruh pendidikan kesehatan terhadappengetahuan dan efikasi diri.

DAFTAR PUSTAKA

PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatam Indonesia : Definisi dan Tindakan


Keperawatan Edisi 1 Cetakan II.
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan Edisi 1 Cetakan II.

Anwar, I. M. D., Juniartha, I. G. N., & Suindrayasa, I. M. (2022). Perbandingan


Efektivitas Penggunaan Video Animasi dengan Video Demonstrasi dalam
Meningkatkan
Pengetahuan Bantuan Hidup Dasar Remaja. Jurnal Keperawatan, 14(2), 55-66.
http: //j ournal .stike skendal .ac.id/index.php/Keperawatan
Arisdiani, Triana, Ahmad Asyrofi, Sofiana. (2021). Studi Tingkat Pengetahuan dan
Fasilitas Pembiayaan dengan Tingkat Kepatuhan Pasien Hipertensi dalam
Menjalani Pengobatan. Jurnal Keperawatan,
13, 235-244.
https://doi.org/https://doi.org/https://doi.org/10.32583/
keperawatan.v13i1.1246
Asyrofi, A & Triana, A. (2021). Upaya Peningkatan Kemampuan Perawatan Diri
Klien Diabetes Mellitus. Jurnal Dikemas, 1,
17-22.
http: //j ournal .stikeskendal .ac.id/index.php/dikemas/article/view/ 937
Basuki, I. N. & A. T. (2015). Analisis Statistik dengan SPSS. Danisa Media.
Bulechek, G.M, Butcher, H.K., Dochterman, J.M & Wagner, A. M. (2016).
Nursing Intervension Classification (NIC) (I. N. & R. D. Tumanggor (Ed.);
Ed. 6). Elsevier.
Desiani, S., Nuraeni, A., & Priambodo, A. P. (2017). How Do Knowledge and
Self-Efficacy of Internship Nursing Students in Performing Cardiopulmonary
Resuscitation?. Belitung Nursing Journal, 3(5), 612-620.
https://doi.org/10.33546/bnj.147
Elsera, C., Agustina, N. W., & Choirunisa, A. (2022). Pengetahuan ibu tentang
deteksi dini kanker payudara dengan sadari. Jurnal Keperawatan, 14,
1117-1124.
https://doi.org/https://doi.org/10.32583/kepera watan.v14i4.510
Eva Yuliani, Sastriani, Irfan, R. (2023). Pengaruh Edukasi Gizi 1000 Hpk terhadap
Pengetahuan Ibu dalam Pencegahan Stunting di Wilayah Kabupaten Majene
Eva. Jurnal Keperawatan, 15, 491-498.
Harianti, T., Nuryadi, P. E., Oktarama, A., & Tantia, L. (2023). Karakteristik
pasien skabies di smf ilmu kesehatan kulit dan kelamin rsud mandau
kabupaten bengkalis periode januari 2021- januari 2022. Collaborative
Medical Journal (CMJ), 6(1), 1-8.
Herdman, T. . & S. . (2018). Nanda Internasional Diagnosis Keperawatan:
Definisi dan Klasifikasi 2018-2020 (Edisi 11). EGC.
Heriyanti, E., Arisdiani, T., & Yuni Puji Widyastuti. (2018). Hubungan Tingkat
Pengetahuan Dan Motivasi Dengan Tindakan Pemeriksaan Payudara Sendiri
(Sadari) Pada Remaja Putri. Community of Publishing in Nursing, 6(3),
143-156.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/coping/article/download/53580/31753
Husna, R., Joko, T., & Selatan, A. (2021). Faktor Risiko Yang Mempengaruhi
Kejadian Skabies Di Indonesia: Literatur Review Factors Related To The
Incidence Of Scabies In Indonesia: Literature Review Health penyakit yang
berhubungan dengan air. 11(1).
https://doi.org/https://doi.org/10.47718/jkl.v10i 2.1169
Mading, M., & Bule Sopi, I. I. (2019). Kajian aspek epidemiologi skabies pada
manusia. Jakarta: Loka Penelitian dan Pengembangan Pengendalian
Penyakit Bersumber Binatang Waikabubak.
Muliawati, N. K., Puspawati, N. L. P. D., & Dewi, P. S. M. (2022). Hubungan
Pengetahuan dengan Kepatuhan Masyarakat dalam Adaptasi Kebiasaan Baru
Masa Pandemi Covid-19 di Tempat Kerja. Jurnal
Keperawatan, 14(81), 19-26.
https://doi.org/https7/doi.org/10.32583/kepera watan.v14iS1.3
Pefbrianti, D & Fadhilah, M, R. (2022). Analisis Faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Dermatitis. PrepotifJurnal Kesehatan,
6(2), 1163-1170.
https://doi.org/https7/doi.org/10.31004/prepotif.v6i2.3828
Putri, N. A. S., Suindrayasa, I. M., & Kamayani, M. O. A. (2022). Pengetahuan
Berhubungan Dengan Efikasi Diri Dalam Memberikan Pertolongan Pertama
Kecelakaan Lalu Lintas Pada Remaja. Coping:
Community of Publishing in Nursing,
10(2),
187.
https://doi.org/10.24843/coping.2022.v10.i02.p10
Qusuma, R. (2022). Penerapan Konseling Individu dalam Meningkatkan Efikasi
Diri Santri di Pondok Pesantren Salafyah Al-Hasanah Sajir. Doctoral
dissertation, UIN Sultan Maulana Hasanuddin.
Rusana , Ahmad Rofiq, Edi Sucipto, K. W., & Ida Arian. (2023). Pengaruh
Pendidikan Kesehatan menggunakan Aplikasi Cegah Stunting (Ceting)
terhadap Tingkat Pengetahuan Ibu. Jurnal Keperawatan, 15, 845-852.
Trave, I., Muracchioli, A., Cozzani, E., & Parodi, A. (2022). Scabies revisited in
the COVID- 19 era. Journal of the European Academy of Dermatology and
Venereology, 36(10), e760- e761. https://doi.org/10.1111/jdv.18335
WHO (World Heath Organization). (2020). Scabies and other ectoparasites
[Internet]. http://www.who.int/neglected_d iseases/diseases/ scabies-and-
other-ectoparasites/en/
Widasmara, D. (2022). Konsep Baru Skabies. UB Pres.
Widiastuti, Y. P. (2021). Identifikasi Tingkat Pengetahuan Ibu Menyusui Tentang
Upaya Untuk Meningkatkan Kesehatan Dan Produksi Asi Selama Pandemi.
Jurnal Keperawatan Dan Kesehatan Masyarakat Cendekia Utama,
10(3), 234.
https://doi.org/10.31596/jcu.v10i3.839
Widiastuti, Y. P., & Ramayanti, E. D. (2022). Tingkat pengetahuan ibu menyusui
berpengaruh terhadap upaya untuk meningkatkan produksi ASI selama
pandemi COVID 19. NURSCOPE: Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Ilmiah
Keperawatan, 7(2), 97. https://doi.Org/10.30659/nurscope.7.2.97-106
Riyanto, Yogi. (2015). Efikasi Diri Penderita Kusta Di Poli Rawat Jalan Rumah
Sakit Kusta Sumber Glagah. Efikasi Diri Penderita Kusta Di Poli Rawat
Jalan Rumah Sakit Kusta Sumber Glagah, 7(9), 27-44.
SATUAN ACARA PENYULUHAN

SKABIES

DI SUSUN OLEH KELOMPOK 7:

Agus Zulfikri : 821233006


Ari Warisman : 821233012
Heri Iman Santoso : 821233047
Nur Kumalasari : 821233079
Purwari Windi Utami : 821233085
Riadhus Saffia : 82123309

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM PONTIANAK
2023
SATUAN ACARA PENYULUHAN

Pokok Bahasan : Scabies

Sub Pokok Bahasan : Pemberian Air Garam terhadap Kerusakan Integritas Kulit

Sararan : Keluarga An. H

Hari, Tanggal : Rabu, 25 Mei 2022

Waktu : Pkl 09.00 WIB

Tempat : Rumah Pasien

A. Latar Belakang

Berdasarkan hasil penelitian dari Mila & Kurnia (2023) yang berasal dari

jurnal yang berjudul Pemberian Rendam Air garam terhadap kerusakan

integritas kulit pada keluarga An.H dengan Skabies ( Studi Kasus pada

kelaurga di Desa Sungai Batang Ilir Kecamatan Martapura Barat kab.Banjar

Provinsi Kalimantan Selatan).

Skabies dapat menimbulkan lesi pada kulit serta gatal-gatal. Oleh karena

itu, perlu penanganan yang lebih komprehensif untuk mengatasi kerusakan

kulit yaitu dengan terapi komplementer berupa pemberian rendam air garam.

Dari hasil intervensi penelitian yang dilakukan ternyata studi kasus yang

dilakukan peneliti ini memiliki dampak yang baik terhadap kerusakan

integritas kulit dan jaringan akibat scabies . Studi kasus pada An. H dengan
kerusakan integritas kulit dalam pemberian intervensi beruparendam air garam

yang diberikan 1 kali sehari selama 7 hari dengan pendekatan pre dan post.

Penelitian ini menggunakan desain laporan kasus, melalui metode pendekatan

asuhan keperawatan komprehensif yang meliputi pengkajian, penegakan

diagnosis keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi keperawatan.

Studi kasus lakukan pada tanggal 25 mei 2022-31 mei 2022. Studi kasus

dilakukan di Desa Sungai Batang Ilir Kecamatan Martapura Barat Kabupaten

Banjar Provinsi Kalimantan Selatan, khususnya di wilayah UPT Puskesmas

Martapura Barat kepada An. H (13 tahun) dengan masalah skabies. Peneliti

mendapatkan data-data klien melalui wawancara, observasi dan pemeriksaan

fisik.

Kerusakan integritas kulit dinilai berdasarkan penilaian objektif

berdasarkan tingkat keparahan lesi. Hasil pre dan post intervensi menunjukkan

adanya pengurangan tingkat keparahan dan ukuran lesi skabies dari skala 2

menjadi skala 3. Dengan demikian dapat kami disimpulkan bahwa intervensi

rendam air garam yang dilkukan selama 7 hari memperlihatkan hasil lesi

skabies pada kulit klien berkurang.

Penyakit menular merupakan penyakit yang disebabkan oleh

mikroorganisme seperti virus, bakteri, parasit, ataupun jamur, yang dapat

menular atau berpindah ke orang lain. Penyakit menular dapat ditularkan

secara langsung ataupun tidak langsung. Salah satu penyakit menular yang

banyak ditemukan di daerah lahan basah yaitu Skabies. Penyakit kulit ini

sering ditemukan di lingkungan yang penduduknya sangat padat, kumuh, dan

lingkungan dengan tingkat kebersihan yang rendah ( Wijayanti & Ainiyah,


2019).

Skabies dapat menyerang semua golongan usia dan jenis kelamin,

diantaranya pada anak-anak usia sekolah, remaja maupun orang dewasa, baik

pada laki-laki maupun perempuan (Whocebo & Asnake, 2019). Penyakit

skabies dapat ditularkan secara langsung setelah ada kontak dengan penderita

skabies, seperti berjabat tangan dan beraktivitas bersama dengan sentuhan

(Srinivas dkk, 2019). Penularan secara tidak langsung dapat terjadi ketika

memakai pakaian, handuk, tempat tidur dan fasilitas umum yang di pakai

secara bersama-sama (Bear et al, 2020).

Skabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau

(kutu kecil) yang bernama Sarcoptes scabiei varietas hominis dan terdapat 300

juta setiap tahunnya dengan angka yang beraneka ragam di setiap negara

(Hafner, 2009). Jenis penyakit menular ini merupakan masalah kesehatan

masyarakat terutama di daerah beriklim tropis dan subtropis. Secara global,

kejadian skabies diperkirakan memengaruhi lebih dari 200 juta orang setiap

saat, dengan perkiraan prevalensi pada beberapa literatur berkisar 0,2% hingga

71% (Anggun dkk, 2020).

Berdasarkan data Depkes RI pada tahun 2015, prevalensi penyakit kulit

di seluruh Indonesia adalah sebesar 8,46%. Prevalensi skabies sekitar 5,6%-

12,95% yang merupakan penyakit ketiga terbesar dari 12 penyakit kulit pada

umumnya (8). Data yang didapatkan dari Provinsi Kalimantan Selatan,

penyakit skabies menempati urutan keenam dari sepuluh penyakit terbanyak.

Terdapat 10 penyakit terbanyak di Wilayah Kerja UPT. Puskesmas Martapura

Barat yang mana penyakit kulit atopic dermatitis dan salah satu didalamnya
skabies menduduki Peringkat ke 4 dalam 10 Penyakit Terbanyak dengan

jumlah 23 kasus pada Bulan Maret 2022.

Penyakit skabies menimbulkan tanda dan gejala,salah satunya adalah

gatal. Gatal dirasakan pada siang dan malam hari. Gatal yang memberat akan

menimbulkan respon penderita untuk menggaruk. Garukkan yang berlebihan

akan menimbulkan iritasi pada kulit. Lesi skabies muncul di kulit menyerupai

bulatan seperti jerawat kecil atau berubah warna, selanjutnya kulit mengeras

dengan kerak tebal yang mengandung ribuan tungau dan telur, dan mudah

terkelupas saat disentuh (Affandi, 2019). Untuk mengobati atau

menghilangkan tungau skabies pada penderita harus meningkatkan kebersihan

diri (Affandi & Faisal, 2020).

Ada dua cara penatalaksanaan skabies yaitu farmakologis dan non

farmakologis. Penatalaksanaan farmakologis berupa pemberian obat-obatan

dengan berdasarkan resep yang diberikan oleh dokter. Sedangkan

penatalaksanaan non farmakologis menggunakan tanaman- tanaman yang

memiliki khasiat untuk mengatasi lesi dan gatal ataupun modifikasi gaya

hidup.

Salah satu penatalaksanaan secara non farmakologis yaitu adalah

penggunaan rendam air garam. Rendam air garam dengan kandungan NaCl

yang tinggi dapat mempercepat proses penyembuhan luka juga dibuktikan dari

beberapa penelitian lainnya bahwa air laut menunjukan pengaruh dalam

peningkatan penyembuhan luka (Kim et al. 2015)).

Natrium dan Klorida (NaCl) yang terkandung dalam rendam air garam
mampu memberikan efek kesembuhan pada penderita penyakit kulit dengan

indikasi rusaknya jaringan pada kulit. NaCl merupakan isotonik dan juga

garam fisiologis yang baik digunakan untuk pembersih, pembasuh dankompres

pada luka (Kim et al, 2015). Natrium klorida (NaCl) dapat berfungsi

melindungi granulasi jaringan dalam kondisi kering, dan menjaga kelembaban

sekitar luka. Rendam air garam dengan kandungan kadar NaCl yang tinggi

bisa menjadi alternative pengganti rendam air garam, karena bisa di buat

sendiri di rumah tanpa harus mengambil air dari laut, terutama untuk

masyarakat yang tempat tinggalnya jauh dari laut. Kondisi lembab yang

diciptakan dengan adanya NaCl dalam merawat luka dapat mempercepat

terbentuknya stratum corneum dan angiogenesis untuk proses penyembuhan

luka (Kim et al, 2015). Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik

untuk menjabarkan terkait asuhan keperawatan keluarga pada An. H dengan

skabies melalui pemberian intervensi rendam air garam.

Intervensi utama yang dilakukan adalah pemberian rendam air garam

untuk mengatasi skabies. Proses pelaksanaan dilakukan dengan memasukan air

hangat sebanyak 2 liter di baskom tempat merendam dengan suhu kurang lebih

40 C atau hangat kuku, memasukan garam 20 mg/ 3 sdt lalu aduk hingga

garam larut, dan rendam selama 10 menit lalu keringkan dengan handuk

bersih. Lakukan pemberian rendam air garam selama 7 hari (1 minggu),

lakukan dua kali sehari secara berturut- turut tiap pagi dan sore (pagi jam

10.00, sore jam 16.00) (12).


B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Klien mengetahui Pengaruh Pemberian Air Garam Terhadap Kerusakan

Integritas Kulit

2. Tujuan Khusus.

a. Klien dan keluarga mengetahui tentang scabies

b. Klien dan keluarga mampu melakukan perawatan secara mandiri

pemberian air garam terhadap scabies.

c. Klien dan keluarga mengetahui manfaat pemberian air garam terhadap

kerusakan integritas kulit.

C. Metode Pendidikan Kesehatan.

Metode yang dilakukan pada Pendidikan Kesehatan ini menggunakan Metode

Ceramah dengan bantuan leaflet.

D. Strategi Pelaksanaan

No. Tahap Kegiatan Waktu

1. Orientasi 1. Perkenalan diri


5 menit
2. Menginformasikan tujuan kegiatan.

2. Interaksi 1. Memberikan gambaran, penyebab serta gejala 25 menit

scabies.

2. Memberikan gambaran manfaat pemberian air garam


terhadap kerusakan integritas kulit.

3. Mengajarkan klien cara melakukan perawatan luka

dengan pemberian air garam.

4. Memberikan kesempatan klien untuk memperagakan

dan memberikan feedback terhadap materi yang

sudah dijelaskan.

3. Terminasi 1. Menutup kegiatan pendidikan kesehatan.

2. Kontrak terhadap kegiatan yang akan dilaksanakan

dikemudian hari.

E. Pengaturan Tempat

Kegiatan berlangsung di rumah klien dengan susunan pemberi punyuluh

berdiri di depan klien agar klien dapat menyimak materi tanpa gangguan, dan

pemberi materi dapat melihat klien serta feedback dari klien. Fasilitator berdiri

dibelakang klien sehingga dapat memonitor klien dan membantu peserta jika
ada hal yang dibantu. Bagian Dokumentasi berdiri disebelah kiri agar dapat

mendokumentasikan seluruh kegiatan yang berlangsung.

Penyuluh

Dokumentasi

Klien Klien Klien Klien

Fasilitator

F. Pengorganisasian

1. Ketua Pendidikan Kesehatan

Tugasnya :

a. Membuat rumusan masalah yang akan dilaksanakan.

b. Menyiapkan peralatan yang dibutuhkan

c. Memberikan penyuluhan tentang masalah yang telah dirumuskan.

d. Membuat laporan kegiatan yang telah dilaksanakan.

2. Fasilitator.

Tugasnya :

a. Membantu terlaksananya kegiatan Pendidikan kesehatan.

b. Membantu Klien selama proses kegiatan berlangsung.

3. Dokumentasi
a. Melakukan dokumentasi kegiatan Pendidikan Kesehatan

b. Membantu terlaksananya kegiatan Pendidikan Kesehatan.

G. Evaluasi

Adapun evaluasi yang dapat dicapai setelah kegiatan berlangsung antara lain:

1. Peserta dapat menyebutkan penyebab serta tanda dan gejala Fraktur.

2. Peserta dapat menyebutkan secara sederhana penanganan Fraktur dengan

teknik Mobilisasi dan ambulasi dini.

3. Peserta dapat menggunakan fasilitas kesehatan terdekat dalam rangka

perawatan Post Op Fraktur Ekstremitas.

H. Materi

1. Latar Belakang

Berdasarkan hasil penelitian dari Mila & Kurnia (2023) yang

berasal dari jurnal yang berjudul Pemberian Rendam Air garam terhadap

kerusakan integritas kulit pada keluarga An.H dengan Skabies ( Studi

Kasus pada kelaurga di Desa Sungai Batang Ilir Kecamatan Martapura

Barat kab.Banjar Provinsi Kalimantan Selatan).

Skabies dapat menimbulkan lesi pada kulit serta gatal-gatal.

Oleh karena itu, perlu penanganan yang lebih komprehensif untuk

mengatasi kerusakan kulit yaitu dengan terapi komplementer berupa

pemberian rendam air garam. Dari hasil intervensi penelitian yang

dilakukan ternyata studi kasus yang dilakukan peneliti ini memiliki

dampak yang baik terhadap kerusakan integritas kulit dan jaringan akibat
scabies . Studi kasus pada An. H dengan kerusakan integritas kulit dalam

pemberian intervensi beruparendam air garam yang diberikan 1 kali sehari

selama 7 hari dengan pendekatan pre dan post. Penelitian ini menggunakan

desain laporan kasus, melalui metode pendekatan asuhan keperawatan

komprehensif yang meliputi pengkajian, penegakandiagnosis keperawatan,

perencanaan, implementasi dan evaluasi keperawatan. Studi kasus lakukan

pada tanggal 25 mei 2022-31 mei 2022. Studi kasus dilakukan di Desa

Sungai Batang Ilir Kecamatan Martapura Barat Kabupaten Banjar Provinsi

Kalimantan Selatan, khususnya di wilayah UPT Puskesmas Martapura

Barat kepada An. H (13 tahun) dengan masalah skabies. Peneliti

mendapatkan data-data klien melalui wawancara, observasi dan

pemeriksaan fisik.

Kerusakan integritas kulit dinilai berdasarkan penilaian objektif

berdasarkan tingkat keparahan lesi. Hasil pre dan post intervensi

menunjukkan adanya pengurangan tingkat keparahan dan ukuran lesi

skabies dari skala 2 menjadi skala 3. Dengan demikian dapat kami

disimpulkan bahwa intervensi rendam air garam yang dilkukan selama 7

hari memperlihatkan hasil lesi skabies pada kulit klien berkurang.

Penyakit menular merupakan penyakit yang disebabkan oleh

mikroorganisme seperti virus, bakteri, parasit, ataupun jamur, yang dapat

menular atau berpindah ke orang lain. Penyakit menular dapat ditularkan

secara langsung ataupun tidak langsung. Salah satu penyakit menular yang

banyak ditemukan di daerah lahan basah yaitu Skabies. Penyakit kulit ini

sering ditemukan di lingkungan yang penduduknya sangat padat, kumuh,


dan lingkungan dengan tingkat kebersihan yang rendah ( Wijayanti &

Ainiyah, 2019).

Skabies dapat menyerang semua golongan usia dan jenis kelamin,

diantaranya pada anak-anak usia sekolah, remaja maupun orang dewasa,

baik pada laki-laki maupun perempuan (Whocebo & Asnake, 2019).

Penyakit skabies dapat ditularkan secara langsung setelah ada kontak

dengan penderita skabies, seperti berjabat tangan dan beraktivitas bersama

dengan sentuhan (Srinivas dkk, 2019). Penularan secara tidak langsung

dapat terjadi ketika memakai pakaian, handuk, tempat tidur dan fasilitas

umum yang di pakai secara bersama-sama (Bear et al, 2020).

Skabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh

tungau (kutu kecil) yang bernama Sarcoptes scabiei varietas hominis dan

terdapat 300 juta setiap tahunnya dengan angka yang beraneka ragam di

setiap negara (Hafner, 2009). Jenis penyakit menular ini merupakan

masalah kesehatan masyarakat terutama di daerah beriklim tropis dan

subtropis. Secara global, kejadian skabies diperkirakan memengaruhi lebih

dari 200 juta orang setiap saat, dengan perkiraan prevalensi pada beberapa

literatur berkisar 0,2% hingga 71% (Anggun dkk, 2020).

Berdasarkan data Depkes RI pada tahun 2015, prevalensi penyakit

kulit di seluruh Indonesia adalah sebesar 8,46%. Prevalensi skabies sekitar

5,6%-12,95% yang merupakan penyakit ketiga terbesar dari 12 penyakit

kulit pada umumnya (8). Data yang didapatkan dari Provinsi Kalimantan

Selatan, penyakit skabies menempati urutan keenam dari sepuluh penyakit

terbanyak. Terdapat 10 penyakit terbanyak di Wilayah Kerja UPT.


Puskesmas Martapura Barat yang mana penyakit kulit atopic dermatitis

dan salah satu didalamnya skabies menduduki Peringkat ke 4 dalam 10

Penyakit Terbanyak dengan jumlah 23 kasus pada Bulan Maret 2022.

Penyakit skabies menimbulkan tanda dan gejala,salah satunya

adalah gatal. Gatal dirasakan pada siang dan malam hari. Gatal yang

memberat akan menimbulkan respon penderita untuk menggaruk.

Garukkan yang berlebihan akan menimbulkan iritasi pada kulit. Lesi

skabies muncul di kulit menyerupai bulatan seperti jerawat kecil atau

berubah warna, selanjutnya kulit mengeras dengan kerak tebal yang

mengandung ribuan tungau dan telur, dan mudah terkelupas saat disentuh

(Affandi, 2019). Untuk mengobati atau menghilangkan tungau skabies

pada penderita harus meningkatkan kebersihan diri (Affandi & Faisal,

2020).

Ada dua cara penatalaksanaan skabies yaitu farmakologis dan non

farmakologis. Penatalaksanaan farmakologis berupa pemberian obat-

obatan dengan berdasarkan resep yang diberikan oleh dokter. Sedangkan

penatalaksanaan non farmakologis menggunakan tanaman- tanaman yang

memiliki khasiat untuk mengatasi lesi dan gatal ataupun modifikasi gaya

hidup.

Salah satu penatalaksanaan secara non farmakologis yaitu adalah

penggunaan rendam air garam. Rendam air garam dengan kandungan NaCl

yang tinggi dapat mempercepat proses penyembuhan luka juga dibuktikan

dari beberapa penelitian lainnya bahwa air laut menunjukan pengaruh

dalam peningkatan penyembuhan luka (Kim et al. 2015)).


Natrium dan Klorida (NaCl) yang terkandung dalam rendam air

garam mampu memberikan efek kesembuhan pada penderita penyakit kulit

dengan indikasi rusaknya jaringan pada kulit. NaCl merupakan isotonik

dan juga garam fisiologis yang baik digunakan untuk pembersih, pembasuh

dankompres pada luka (Kim et al, 2015). Natrium klorida (NaCl) dapat

berfungsi melindungi granulasi jaringan dalam kondisi kering, dan

menjaga kelembaban sekitar luka. Rendam air garam dengan kandungan

kadar NaCl yang tinggi bisa menjadi alternative pengganti rendam air

garam, karena bisa di buat sendiri di rumah tanpa harus mengambil air dari

laut, terutama untuk masyarakat yang tempat tinggalnya jauh dari laut.

Kondisi lembab yang diciptakan dengan adanya NaCl dalam merawat luka

dapat mempercepat terbentuknya stratum corneum dan angiogenesis untuk

proses penyembuhan luka (Kim et al, 2015). Berdasarkan latar belakang di

atas, peneliti tertarik untuk menjabarkan terkait asuhan keperawatan

keluarga pada An. H dengan skabies melalui pemberian intervensi rendam

air garam.

Intervensi utama yang dilakukan adalah pemberian rendam air

garam untuk mengatasi skabies. Proses pelaksanaan dilakukan dengan

memasukan air hangat sebanyak 2 liter di baskom tempat merendam

dengan suhu kurang lebih 40 C atau hangat kuku, memasukan garam 20

mg/ 3 sdt lalu aduk hingga garam larut, dan rendam selama 10 menit lalu

keringkan dengan handuk bersih. Lakukan pemberian rendam air garam

selama 7 hari (1 minggu), lakukan dua kali sehari secara berturut- turut tiap

pagi dan sore (pagi jam 10.00, sore jam 16.00) (12).
2. Konsep Dasar Scabies

a. Pengertian.

Scabies merupakan penyakit infeksi parasit pada kulit yang disebabkan

oleh masuknya organisme dan adanya sensitisasi Sarcoptes Scabei

Varian Homonis yang membuat terowongan pada stratum korneum

kulit, terutama pada tempat predileksi (Maulina, 2016).

b. Tanda dan Gejala.

1) Rasa gatal pada malam hari (Pruritus nokturna) yang disebabkan

karena aktivitas tungau yang lebih tinggi pada suhu lembab.

2) Bintik-bintik yang panas yang menjol berwarna kemerah-merahan.

3) Lesi yang khas dan patognommonik berupa terowongan kecil.

4) Kelainan dapat berupa papula, vesikula, urtika, ekskoriasi dan

krusta.

5) Tempat-tempat predileksi terdapat di sela-sela jari tangan, telapak

tangan, ketiak, daerah payudara, perut bagian bawah serta area

lipatan kulit. Pada anak-anak terutama bayi lesi biasa terjadi

dikepala bahkan muka.

3. Pemberian air Garam terhadap scabies.

Salah satu penatalaksanaan secara non farmakologis yaitu adalah

penggunaan rendam air garam. Rendam air garam dengan kandungan NaCl

yang tinggi dapat mempercepat proses penyembuhan luka juga dibuktikan

dari beberapa penelitian lainnya bahwa air laut menunjukan pengaruh

dalam peningkatan penyembuhan luka (Kim et al. 2015)).


Natrium dan Klorida (NaCl) yang terkandung dalam rendam air

garam mampu memberikan efek kesembuhan pada penderita penyakit kulit

dengan indikasi rusaknya jaringan pada kulit. NaCl merupakan isotonik

dan juga garam fisiologis yang baik digunakan untuk pembersih, pembasuh

dankompres pada luka (Kim et al, 2015). Natrium klorida (NaCl) dapat

berfungsi melindungi granulasi jaringan dalam kondisi kering, dan

menjaga kelembaban sekitar luka. Rendam air garam dengan kandungan

kadar NaCl yang tinggi bisa menjadi alternative pengganti rendam air

garam, karena bisa di buat sendiri di rumah tanpa harus mengambil air dari

laut, terutama untuk masyarakat yang tempat tinggalnya jauh dari laut.

Kondisi lembab yang diciptakan dengan adanya NaCl dalam merawat luka

dapat mempercepat terbentuknya stratum corneum dan angiogenesis untuk

proses penyembuhan luka (Kim et al, 2015). Berdasarkan latar belakang di

atas, peneliti tertarik untuk menjabarkan terkait asuhan keperawatan

keluarga pada An. H dengan skabies melalui pemberian intervensi rendam

air garam.

Intervensi utama yang dilakukan adalah pemberian rendam air

garam untuk mengatasi skabies. Proses pelaksanaan dilakukan dengan

memasukan air hangat sebanyak 2 liter di baskom tempat merendam

dengan suhu kurang lebih 40 C atau hangat kuku, memasukan garam 20

mg/ 3 sdt lalu aduk hingga garam larut, dan rendam selama 10 menit lalu

keringkan dengan handuk bersih. Lakukan pemberian rendam air garam

selama 7 hari (1 minggu), lakukan dua kali sehari secara berturut- turut tiap

pagi dan sore (pagi jam 10.00, sore jam 16.00) (12).
NO TANGGAL HASIL KONSULTASI PARAF

LEMBAR KONSUL

Anda mungkin juga menyukai