Pengendalian Tumpahan Minyak di Ekosistem Mangrove” Tumpahan minyak dapat menimbulkan dampak pencemaran yang serius terhadap lingkungan pesisir, baik lingkungan perairan maupun daratan. Tumpahan minyak yang memasuki ekosistem mangrove dapat menyebabkan ekosistem mangrove mengalami gangguan. Gangguan tersebut dapat berupa kematian flora dan fauna dalam jumlah besar, atau kerusakan kecil pada ekosistem mangrove. Pencemaran minyak dapat menyebabkan kematian mangrove dan biota perairan di dalamnya serta kerusakan habitat beserta segenap fungsi ekologis dan sistem penunjang kehidupan yang ada di kawasan mangrove. Sifat peka atau tidak peka ekosistem mangrove terhadap tumpahan minyak dapat diukur dalam sebuah indeks. Indeks kepekaan Ekologi (IKE) ekosistem mangrove terhadap tumpahan minyak adalah sebuah pendekatan yang betujuan untuk mengetahui gambaran respon ekosistem mangrove secara ekologis terhadap tumpahan minyak. Indeks kepekaan ekologi (IKE) berguna dalam pengendalian pencemaran minyak, yaitu melalui pendeteksian wilayah yang akan terkena pengaruh buruk tumpahan minyak dan wilayah yang dapat diproteksi dari pencemaran minyak. Salah satu kriteria variabel indeks yang baik adalah variabel harus bersifat obyektif. Suatu Variabel IKE ekosistem mangrove disebut bersifat obyektif apabila variabel tersebut dipilih karena memiliki alasan yang kuat, sehingga relevan sebagai variabel kepekaan ekologi mangrove. Relevansi tersebut dapat dilihat dari keterkaitan variabel tersebut dengan kepekaan mangrove terhadap tumpahan minyak. Pada penelitian teridentifikasi sebanyak 26 variabel terpilih layak menjadi variabel indeks kepekaan ekologi (IKE) ekosistem mangrove terhadap tumpahan minyak, karena secara ilmiah valid dan mendapat persetujuan pakar internasional. Variabel-variabel tersebut mampu mewakili kompleksitas karakteristik ekosistem mangrove, hal itu tergambar dari 6 karakteristik ekosistem mangrove yang tercermin dalam 6 kelompok variabel. Variabel nurshery habitat, keberadaan spawning ground, tipologi mangrove, dan umur flora mangrove merupakan variabel yang memiliki nilai rangking tertinggi. Sedangkan variabel keberadaan flora invasif adalah variabel yang memiliki nilai rangking terendah. Sebaran indeks kepekaan ekologi (IKE) mangrove di pesisir Kabupaten Indramayu meliputi cukup peka sampai peka, dengan sebagian besar stasiun memiliki indeks kepekaan yang tergolong peka.
Link Jurnal : http://ejournal-balitbang.kkp.go.id/index.php/jkn/article/view/6064
2. Judul Jurnal : “Ekologi Kepiting Bakau (Scylla serrata Forskal) dalam Ekosistem Mangrove di Pulau Enggano Provinsi Bengkulu” Semakin pesatnya pembangunan di segala bidang yang banyak menimbulkan persoalan-persoalan baru, maka terjadi tarik menarik antar kepentingan pelestarian sumberdaya alam di satu sisi dan eksploitasi sumberdaya alam untuk memenuhi sektor ekonomi di sisi lainnya. Disisi lain kerusakan-kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh adanya kegiatan industri serta ekploitasi sumberdaya hayati menggambarkan tentang konsep penanganan pembangunan yang selaras antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan disisi lain. Saat ini tidak hanya wilayah pesisir saja bisa memenuhi kebutuhan pada akhirnya tujuan pembangunan dapat terwujud, melainkan pengembangan pulau-pulau kecil juga merupakan arah kebijakan baru, ini bertepatan dengan lahirnya Departemen Kelautan dan Perikanan dengan direktorat khusus menangani masalah pembangunan pulau-pulau kecil, Indonesia memiliki pulau-pulau kecil sebanyak 17.508 buah pulau, dengan kekayaan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang sangat potensial untuk pembangunan ekonomi, dari jumlah tersebut baru 5.700 pulau yang memiliki nama. Kawasan pulaupulau kecil ini memiliki potensi pembangunan yang cukup besar karena didukung oleh adanya ekosistem dengan produktivitas hayati tinggi seperti terumbu karang, padang lamun, rumput laut dan hutan mangrove. Pulau Enggano merupakan salah satu kawasan pulau-pulau kecil yang terletak di zona perairan Samudera Hindia, yang merupakan bagian dari Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu dengan luas wilayah ± 402 km2 dan dihuni 2.346 jiwa penduduk, atau tingkat kepadatan 5,86 jiwa/km2, (Bappeda Bengkulu, 2004). Pulau ini merupakan sebuah Kecamatan yang masih terisolir dan tertinggal jauh dengan wilayah lainnya di Provinsi Bengkulu, sehingga dalam rentan waktu sampai saat ini, boleh dikatakan berada pada posisi “marjinal”. Adanya kesenjangan pengembangan dan pembangunan yang cukup besar ini, mengakibatkan lambannya pertumbuhan diberbagai aspek kehidupan, seperti fasilitas fisik, sosial, ekonomi dan budaya. Sehingga pada kenyataannya, kondisi Pulau Enggano yang letaknya terpencil ini tetap miskin dan terbelakang. Pulau Enggano memiliki ekosistem hutan mangrove yang relatif masih utuh karena belum banyak intervensi dari luar. Ekosistem hutan mangrove memiliki peranan dan fungsi yang sangat penting sebagai penyangga kehidupan, termasuk kehidupan masyarakat. Secara langsung dan tidak langsung manfaat ini telah dirasakan oleh masyarakat sebagai sumber lahan untuk mencari ikan, udang dan kepiting, juga untuk tempat budidaya perikanan. Disamping itu ekosistem mangrove merupakan salah satu sumberdaya wilayah pesisir yang kaya akan nutrisi bagi keberlanjutan kehidupan biota laut serta berperan dalam sistem rantai makanan di pesisir dan laut. Pulau Enggano ini sudah menjadi sumber penangkapan kepiting bakau yang dijadikan mata pencaharian selain untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Pulau Enggano, juga diperuntukan guna memenuhi permintaan pasar dibeberapa Kota lain selain Kota Bengkulu sendiri. Penurunan biodiversitas sumberdaya ekosisitem, salah satunya adalah dengan adanya mekanisme penangkapan yang tidak mengindahkan nilai kelestarian keragaman spesies yang dimanfaatkan. Apabila tidak dilakukan pengelolaan sumberdaya hayati ini dikuatirkan terjadinya degradasi populasi akibat meningkatnya penangkapan. Pengelolaan ini tidak akan berhasil baik tanpa didasari ketersediaan data akurat tentang ekologi populasi. Sampai saat ini penjelasan tentang ekologi populasi kepiting bakau (Scylla serrata Forskal) yang ada di Pulau Enggano belum diketahui secara lengkap. Dengan demikian diperlukan upaya-upaya untuk mencapai kearah kondisi kuantitas dan kualitas sumberdaya yang dapat dilakukan dengan menerapkan suatu sistem pegelolaan pemanfaatan yang tidak melebihi kemampuan kawasan, tidak melebihi titik potensi lestari suatu kawasan (maksimum sustainable yield) , upaya peningkatan kesadaran dan pendidikan keterampilan bagi nelayan, serta diperlukan suatu kajian yang sekaligus menganalisis kelimpahan dan pola distribusi kepiting bakau (Scylla serrata Forskal) dalam ekosistem mangrove yang nantinya dapat dijadikan dasar pengelolaan sumberdaya hayati Pulau Enggano tersebut. Hal yang menjadi prioritas utama untuk mempertahankan keberadaan hutan mangrove adalah dengan mentaati peraturan adat yang ada, meningkatkan pengetahuan bagi masyarakat Kepulauan Enggano akan pentingnya melestarikan hutan mangrove serta mempertahankan kualitas lingkungan yang juga dapat mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya setiap jenis tanaman mangrove. Sedangkan untuk kelestarian kepiting bakau (Scylla serrata Forskal) adanya pembatasan ukuran kepiting yang boleh ditangkap yaitu kepiting dengan ukuran yang benar-benar ekonomis, tidak matang gonad serta tidak melakukan aktivitas penangkapan kepiting bakau di laut.
Link Jurnal : http://eprints.undip.ac.id/15728/
3. Judul Jurnal : “Nilai Ekologi Ekosistem Hutan Mangrove” Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagaisatwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline young soil) yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Saat ini luas hutan mangrove di dunia adalah sekitar 17 juta ha (ISME, 1991), yang mana sekitar 3,7 juta ha (22% IURS areal) terdapat di Indonesia. Akibat pesatnya laju aktivitas pembangunan di berbagai sektor dan laju pertambahan penduduk, terutama di negara-negara sedang berkembang di daerah tropika, di masa datang luas hutan mangrove diduga akan semakin menyusut. Hutan Mangrove mempunyai peranan nilai ekologis yang sangat penting dalam mendukung konservasi laut dan pembangunan wilayah pesisir. Oleh karena itu, kegiatan rehabilitasi menjadi sangat prioritas sebelum dampak negatif dari hilangnya mangrove ini meluas dan tidak dapat diatasi (tsunami, abrasi, intrusi, pencemaran, dan penyebaran penyakit). Untuk menjamin kelestarian produksi dan fungsi ekologi ekosistem hutan mangrove, rangkaian penelitian ekologi hutan mangrove sangat diperlukan karena data ekologi merupakan data dasar untuk pengelolaan sumberdaya secara lestari. Hal ini di sebabkan karena tanpa pengetahuan ekologi, aksi-aksi pengelolaan sumberdaya tidak hanya terbatas, tetapi juga kurang efisien dan efektif. Oleh karena itu untuk kepentingan pengelolaan sumberdaya mangrove yang berkelanjutan, suatu program penelitian ekologi hutan mangrove yang bersifat komprehensif sangat diperlukan. Dalam merehabilitasi mangrove seluas 18.405 ha areal mangrove disuatu daerah yang diperlukan adalah master planyang disusun berdasarkan data obyektif kondisi biofisik dan sosial. Untuk keperluan ini, Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam dapat memberikan kontribusi dalam penyusunan master plan dan studi kelayakannya. Dalam hal rehabilitasi mangrove, ketentuan green belt perlu dipenuhi agar ekosistem mangrove yang terbangun dapat memberikan fungsinya secara optimal (mengantisipasi bencana tsunami, peningkatan produktivitas ikan tangkapan serta penyerapan polutan perairan). Link Jurnal : http://jurnalfkip.unram.ac.id/index.php/JBT/article/view/389 4. Judul Jurnal : “Struktur Komunitas Makroalga sebagai Indikator Ekologi Ekosistem Perairan pada Kawasan Konservasi Laut Daerah di Gili Sulat Lombok Timur” Perairan Indonesia dengan luas wilayah laut5,8 km2 memiliki potensi kekayaan laut yang sangat besar untuk dimanfaatkan. Salah satu yang sering ditemukan adalah makroalga. Makroalga atau yang lebih dikenal dengan rumput laut (seaweed) merupakan Protista menyerupai tumbuhan yang hidupnya melekat atau menancap pada substrat dasar perairan. Makroalga adalah salah satu sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Keragaman makroalga kawasan daerah tropis sangat tinggi, tidak terkecuali di daerah intertidal Gili Sulat. Keberadaan komuditas ini di Gili Sulat belum banyak diketahui. Potensi besar yang dimiliki Gili Sulat menjadikan pulau ini salah satu lokasi yang banyak dilakukan penelitian diantaranya, Komunitas Plankton Pada Perairan Habitat Mangrove, Potensi Vegetasi dan Arthropoda di Kawasan Mangrove Gili Sulat, Keanekaragaman Jenis Burung di Kawasan Mangrove Gili Sulat, dan Kekhasan Morfologi Spesies Mangrove Di Gili Sulat. Secara ekologis, kompleksitas yang dibentuk oleh komunitas Sargassum memiliki fungsi yang sama dengan terumbu karang, padang lamun, dan mangrove yaitu sebagai daerah asuhan (nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground) dan meletakkan telur bagi berbagai macam biota laut seperti ikan dan cumi-cumi. Keberadaan komunitas Sargassum ini dapat pula meredam kecepatan arus sehingga berperan penting dalam penyelamatan pantai. Selain itu komunitas Sargasum dapat berperan untuk meningkatkan nilai biodiversity dan peran ini sangat penting seperti peran ekologi lamun. Namun demikian, keberadaan makroalga dari aspek ekologi sebagai komponen biotik pada ekosistem perairan, khususnya pada kawasan konservasi laut daerah Gili Sulatbelum ada penelitiannya. Kekayaan spesies makroalga di kawasan perairan Gili Sulat terdiri dari 11 spesies, 7 spesies dari kelas Chlorophyceae dan 4 spesies dari kelas Phaeophyceae. Halimeda opuntia adalah spesies dengan kepadatan tertinggi sebesar 18.519 rumpun/ha. Indeks keanekargaman spesies berkisar antara 1,00-1,59 dan termasuk dalam kategori keanekaragaman sedang. Indeks keseragaman spesies pada stasiun 1 dan 2 termasuk kategori sedang dengan nilai 0,53 dan 0,65. Sedangkan pada stasiun 3 termasuk keseragaman tinggi dengan nilai 0,82 dan tidak ada spesies yang mendominasi di lokasi penelitian. Link Jurnal : http://jurnalfkip.unram.ac.id/index.php/JBT/article/view/1690 5. Judul Jurnal : “Peranan ekologis spons terhadap ekosistem terumbu karang” Spons adalah biota bentik yang banyak ditemukan pada semua ekosistem air laut dan tawar. Di ekosistem air laut, spons paling banyak ditemukan di habitat terumbu karang. Adapun di ekosistem air tawar, spons masih dapat ditemukan di daerah aliran sungai ataupun di danau-danau dengan kelimpahan dan diversitas yang rendah. Keberadaannya yang bersifat cosmopolitan perlu diketahui peranannya dengan baik sehingga dapat menjadi bahan masukan dalam pengelolaan ekosistem. Fungsi ekologi spons di ekosistem terumbu karang dapat dikaitkan dengan faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik berkaitan dengan siklus nutrient, bioreosi dan konsolidasi substrat dan bioindikator pencemaran. Sedangkan faktor biotik berkaitan dengan kemampuan spons sebagai inang, umpan dan pelindung serta kompetisi dengan biota bentik lainnya. Sebagai inang, spons juga memberikan perlindungan terhadap biota yang berasosiasi. Sebagai contoh, kematian Bivalvia akibat pemangsa alaminya (bintang laut) ditemukan menurun ketika Bivalvia (Arca noae) ditumbuhi spons encrusting (Crambe crambe) yang menghasilkan metabolit sekunder yang mampu mengusir predator bivalvia. Spons juga mempunyai peranan yang penting dalam siklus silikat (Si) karena spons mampu mengakumulasi silikat sebagai bahan komponen penyusun skeletonnya. Spons mempunyai peranan yang positif dalam membangun terumbu yaitu salah satunya dengan menggabungkan patahan-patahan karang (rubble) sehingga menjadi lebih stabil dan memungkinkan untuk ditempati oleh larva karang untuk menempel. Spons sebagai salah satu penyumbang biodiversitas tertinggi di ekosistem terumbu karang. Meskipun demikian, kompleknya asosiasi menyebabkan banyak sifat asosiasi belum dapat diketahui dengan jelas. Spons memproduksi banyak jenis metabolit sekunder yang dapat menjadi media interaksi spons dengan organisme lain. Spons dikenal sebagai salah satu kompetitor utama karang batu di ekosistem terumbu karang. Fenomena ini lebih jelas terlihat di daerah temperate dimana musim- musim tertentu memacu pertumbuhan spons. Selain itu spons menjadi penopang biodiversitas yang sangat efektif, yaitu kemampuannya berasosiasi dengan biota yang sangat beragam. Kelimpahan spons di suatu ekosistem terumbu karang perlu dimonitor perkembangannya mengingat fungsi ekologis dari terumbu karang kian menurun akibat faktor manusia ataupun karena faktor alam.
Link Jurnal : http://oseana.lipi.go.id/oseana/article/view/15