Anda di halaman 1dari 8

NAMA : ENGGITA ANGGRAENI OKTA

NIM : 2199016350

MATA KULIAH : HUKUM LINGKUNGAN

KELAS :C

A. EKOLOGI DAN EKOSISTEM

1. Judul Jurnal : “Pengembangan Variabel-Variabel Indeks Kepekaan Ekologi (IKE) Bagi


Pengendalian Tumpahan Minyak di Ekosistem Mangrove”
Tumpahan minyak dapat menimbulkan dampak pencemaran yang serius terhadap
lingkungan pesisir, baik lingkungan perairan maupun daratan. Tumpahan minyak yang
memasuki ekosistem mangrove dapat menyebabkan ekosistem mangrove mengalami
gangguan. Gangguan tersebut dapat berupa kematian flora dan fauna dalam jumlah besar,
atau kerusakan kecil pada ekosistem mangrove. Pencemaran minyak dapat menyebabkan
kematian mangrove dan biota perairan di dalamnya serta kerusakan habitat beserta
segenap fungsi ekologis dan sistem penunjang kehidupan yang ada di kawasan mangrove.
Sifat peka atau tidak peka ekosistem mangrove terhadap tumpahan minyak dapat
diukur dalam sebuah indeks. Indeks kepekaan Ekologi (IKE) ekosistem mangrove
terhadap tumpahan minyak adalah sebuah pendekatan yang betujuan untuk mengetahui
gambaran respon ekosistem mangrove secara ekologis terhadap tumpahan minyak. Indeks
kepekaan ekologi (IKE) berguna dalam pengendalian pencemaran minyak, yaitu melalui
pendeteksian wilayah yang akan terkena pengaruh buruk tumpahan minyak dan wilayah
yang dapat diproteksi dari pencemaran minyak.
Salah satu kriteria variabel indeks yang baik adalah variabel harus bersifat obyektif.
Suatu Variabel IKE ekosistem mangrove disebut bersifat obyektif apabila variabel tersebut
dipilih karena memiliki alasan yang kuat, sehingga relevan sebagai variabel kepekaan
ekologi mangrove. Relevansi tersebut dapat dilihat dari keterkaitan variabel tersebut
dengan kepekaan mangrove terhadap tumpahan minyak.
Pada penelitian teridentifikasi sebanyak 26 variabel terpilih layak menjadi variabel
indeks kepekaan ekologi (IKE) ekosistem mangrove terhadap tumpahan minyak, karena
secara ilmiah valid dan mendapat persetujuan pakar internasional. Variabel-variabel
tersebut mampu mewakili kompleksitas karakteristik ekosistem mangrove, hal itu
tergambar dari 6 karakteristik ekosistem mangrove yang tercermin dalam 6 kelompok
variabel. Variabel nurshery habitat, keberadaan spawning ground, tipologi mangrove, dan
umur flora mangrove merupakan variabel yang memiliki nilai rangking tertinggi.
Sedangkan variabel keberadaan flora invasif adalah variabel yang memiliki nilai rangking
terendah. Sebaran indeks kepekaan ekologi (IKE) mangrove di pesisir Kabupaten
Indramayu meliputi cukup peka sampai peka, dengan sebagian besar stasiun memiliki
indeks kepekaan yang tergolong peka.

Link Jurnal : http://ejournal-balitbang.kkp.go.id/index.php/jkn/article/view/6064


2. Judul Jurnal : “Ekologi Kepiting Bakau (Scylla serrata Forskal) dalam Ekosistem
Mangrove di Pulau Enggano Provinsi Bengkulu”
Semakin pesatnya pembangunan di segala bidang yang banyak menimbulkan
persoalan-persoalan baru, maka terjadi tarik menarik antar kepentingan pelestarian
sumberdaya alam di satu sisi dan eksploitasi sumberdaya alam untuk memenuhi sektor
ekonomi di sisi lainnya. Disisi lain kerusakan-kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh
adanya kegiatan industri serta ekploitasi sumberdaya hayati menggambarkan tentang
konsep penanganan pembangunan yang selaras antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian
lingkungan disisi lain.
Saat ini tidak hanya wilayah pesisir saja bisa memenuhi kebutuhan pada akhirnya
tujuan pembangunan dapat terwujud, melainkan pengembangan pulau-pulau kecil juga
merupakan arah kebijakan baru, ini bertepatan dengan lahirnya Departemen Kelautan dan
Perikanan dengan direktorat khusus menangani masalah pembangunan pulau-pulau kecil,
Indonesia memiliki pulau-pulau kecil sebanyak 17.508 buah pulau, dengan kekayaan
sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang sangat potensial untuk pembangunan
ekonomi, dari jumlah tersebut baru 5.700 pulau yang memiliki nama. Kawasan pulaupulau
kecil ini memiliki potensi pembangunan yang cukup besar karena didukung oleh adanya
ekosistem dengan produktivitas hayati tinggi seperti terumbu karang, padang lamun,
rumput laut dan hutan mangrove.
Pulau Enggano merupakan salah satu kawasan pulau-pulau kecil yang terletak di zona
perairan Samudera Hindia, yang merupakan bagian dari Kabupaten Bengkulu Utara
Provinsi Bengkulu dengan luas wilayah ± 402 km2 dan dihuni 2.346 jiwa penduduk, atau
tingkat kepadatan 5,86 jiwa/km2, (Bappeda Bengkulu, 2004). Pulau ini merupakan sebuah
Kecamatan yang masih terisolir dan tertinggal jauh dengan wilayah lainnya di Provinsi
Bengkulu, sehingga dalam rentan waktu sampai saat ini, boleh dikatakan berada pada
posisi “marjinal”. Adanya kesenjangan pengembangan dan pembangunan yang cukup
besar ini, mengakibatkan lambannya pertumbuhan diberbagai aspek kehidupan, seperti
fasilitas fisik, sosial, ekonomi dan budaya. Sehingga pada kenyataannya, kondisi Pulau
Enggano yang letaknya terpencil ini tetap miskin dan terbelakang.
Pulau Enggano memiliki ekosistem hutan mangrove yang relatif masih utuh karena
belum banyak intervensi dari luar. Ekosistem hutan mangrove memiliki peranan dan
fungsi yang sangat penting sebagai penyangga kehidupan, termasuk kehidupan
masyarakat. Secara langsung dan tidak langsung manfaat ini telah dirasakan oleh
masyarakat sebagai sumber lahan untuk mencari ikan, udang dan kepiting, juga untuk
tempat budidaya perikanan. Disamping itu ekosistem mangrove merupakan salah satu
sumberdaya wilayah pesisir yang kaya akan nutrisi bagi keberlanjutan kehidupan biota
laut serta berperan dalam sistem rantai makanan di pesisir dan laut. Pulau Enggano ini
sudah menjadi sumber penangkapan kepiting bakau yang dijadikan mata pencaharian
selain untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Pulau Enggano, juga diperuntukan
guna memenuhi permintaan pasar dibeberapa Kota lain selain Kota Bengkulu sendiri.
Penurunan biodiversitas sumberdaya ekosisitem, salah satunya adalah dengan adanya
mekanisme penangkapan yang tidak mengindahkan nilai kelestarian keragaman spesies
yang dimanfaatkan. Apabila tidak dilakukan pengelolaan sumberdaya hayati ini
dikuatirkan terjadinya degradasi populasi akibat meningkatnya penangkapan. Pengelolaan
ini tidak akan berhasil baik tanpa didasari ketersediaan data akurat tentang ekologi
populasi.
Sampai saat ini penjelasan tentang ekologi populasi kepiting bakau (Scylla serrata
Forskal) yang ada di Pulau Enggano belum diketahui secara lengkap. Dengan demikian
diperlukan upaya-upaya untuk mencapai kearah kondisi kuantitas dan kualitas sumberdaya
yang dapat dilakukan dengan menerapkan suatu sistem pegelolaan pemanfaatan yang tidak
melebihi kemampuan kawasan, tidak melebihi titik potensi lestari suatu kawasan
(maksimum sustainable yield) , upaya peningkatan kesadaran dan pendidikan
keterampilan bagi nelayan, serta diperlukan suatu kajian yang sekaligus menganalisis
kelimpahan dan pola distribusi kepiting bakau (Scylla serrata Forskal) dalam ekosistem
mangrove yang nantinya dapat dijadikan dasar pengelolaan sumberdaya hayati Pulau
Enggano tersebut.
Hal yang menjadi prioritas utama untuk mempertahankan keberadaan hutan mangrove
adalah dengan mentaati peraturan adat yang ada, meningkatkan pengetahuan bagi
masyarakat Kepulauan Enggano akan pentingnya melestarikan hutan mangrove serta
mempertahankan kualitas lingkungan yang juga dapat mempengaruhi tumbuh dan
berkembangnya setiap jenis tanaman mangrove. Sedangkan untuk kelestarian kepiting
bakau (Scylla serrata Forskal) adanya pembatasan ukuran kepiting yang boleh ditangkap
yaitu kepiting dengan ukuran yang benar-benar ekonomis, tidak matang gonad serta tidak
melakukan aktivitas penangkapan kepiting bakau di laut.

Link Jurnal : http://eprints.undip.ac.id/15728/


3. Judul Jurnal : “Nilai Ekologi Ekosistem Hutan Mangrove”
Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau
muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Ekosistem hutan mangrove
bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan kompleks karena
ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat
berbagaisatwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya termasuk
tanah perkembangan muda (saline young soil) yang mempunyai kandungan liat
yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang tinggi.
Saat ini luas hutan mangrove di dunia adalah sekitar 17 juta ha (ISME,
1991), yang mana sekitar 3,7 juta ha (22% IURS areal) terdapat di
Indonesia. Akibat pesatnya laju aktivitas pembangunan di berbagai sektor dan laju
pertambahan penduduk, terutama di negara-negara sedang berkembang di
daerah tropika, di masa datang luas hutan mangrove diduga akan semakin menyusut.
Hutan Mangrove mempunyai peranan nilai ekologis yang sangat penting
dalam mendukung konservasi laut dan pembangunan wilayah pesisir. Oleh karena itu,
kegiatan rehabilitasi menjadi sangat prioritas sebelum dampak negatif dari
hilangnya mangrove ini meluas dan tidak dapat diatasi (tsunami, abrasi, intrusi,
pencemaran, dan penyebaran penyakit).
Untuk menjamin kelestarian produksi dan fungsi ekologi ekosistem hutan
mangrove, rangkaian penelitian ekologi hutan mangrove sangat diperlukan karena
data ekologi merupakan data dasar untuk pengelolaan sumberdaya secara lestari. Hal ini
di sebabkan karena tanpa pengetahuan ekologi, aksi-aksi pengelolaan sumberdaya
tidak hanya terbatas, tetapi juga kurang efisien dan efektif. Oleh karena itu untuk
kepentingan pengelolaan sumberdaya mangrove yang berkelanjutan, suatu program
penelitian ekologi hutan mangrove yang bersifat komprehensif sangat diperlukan.
Dalam merehabilitasi mangrove seluas 18.405 ha areal mangrove disuatu daerah
yang diperlukan adalah master planyang disusun berdasarkan data obyektif kondisi
biofisik dan sosial. Untuk keperluan ini, Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam
dapat memberikan kontribusi dalam penyusunan master plan dan studi kelayakannya.
Dalam hal rehabilitasi mangrove, ketentuan green belt perlu dipenuhi agar ekosistem
mangrove yang terbangun dapat memberikan fungsinya secara optimal (mengantisipasi
bencana tsunami, peningkatan produktivitas ikan tangkapan serta penyerapan polutan
perairan).
Link Jurnal : http://jurnalfkip.unram.ac.id/index.php/JBT/article/view/389
4. Judul Jurnal : “Struktur Komunitas Makroalga sebagai Indikator Ekologi Ekosistem
Perairan pada Kawasan Konservasi Laut Daerah di Gili Sulat Lombok Timur”
Perairan Indonesia dengan luas wilayah laut5,8 km2 memiliki potensi kekayaan laut
yang sangat besar untuk dimanfaatkan. Salah satu yang sering ditemukan adalah
makroalga. Makroalga atau yang lebih dikenal dengan rumput laut (seaweed)
merupakan Protista menyerupai tumbuhan yang hidupnya melekat atau menancap
pada substrat dasar perairan. Makroalga adalah salah satu sumber daya alam yang
memiliki nilai ekonomis tinggi. Keragaman makroalga kawasan daerah tropis sangat
tinggi, tidak terkecuali di daerah intertidal Gili Sulat. Keberadaan komuditas ini di
Gili Sulat belum banyak diketahui.
Potensi besar yang dimiliki Gili Sulat menjadikan pulau ini salah satu lokasi yang
banyak dilakukan penelitian diantaranya, Komunitas Plankton Pada Perairan Habitat
Mangrove, Potensi Vegetasi dan Arthropoda di Kawasan Mangrove Gili Sulat,
Keanekaragaman Jenis Burung di Kawasan Mangrove Gili Sulat, dan Kekhasan Morfologi
Spesies Mangrove Di Gili Sulat.
Secara ekologis, kompleksitas yang dibentuk oleh komunitas Sargassum memiliki
fungsi yang sama dengan terumbu karang, padang lamun, dan mangrove yaitu sebagai
daerah asuhan (nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground), tempat
memijah (spawning ground) dan meletakkan telur bagi berbagai macam biota laut
seperti ikan dan cumi-cumi. Keberadaan komunitas Sargassum ini dapat pula
meredam kecepatan arus sehingga berperan penting dalam penyelamatan pantai. Selain
itu komunitas Sargasum dapat berperan untuk meningkatkan nilai biodiversity dan
peran ini sangat penting seperti peran ekologi lamun. Namun demikian, keberadaan
makroalga dari aspek ekologi sebagai komponen biotik pada ekosistem perairan,
khususnya pada kawasan konservasi laut daerah Gili Sulatbelum ada penelitiannya.
Kekayaan spesies makroalga di kawasan perairan Gili Sulat terdiri dari 11 spesies,
7 spesies dari kelas Chlorophyceae dan 4 spesies dari kelas Phaeophyceae. Halimeda
opuntia adalah spesies dengan kepadatan tertinggi sebesar 18.519 rumpun/ha. Indeks
keanekargaman spesies berkisar antara 1,00-1,59 dan termasuk dalam kategori
keanekaragaman sedang. Indeks keseragaman spesies pada stasiun 1 dan 2 termasuk
kategori sedang dengan nilai 0,53 dan 0,65. Sedangkan pada stasiun 3 termasuk
keseragaman tinggi dengan nilai 0,82 dan tidak ada spesies yang mendominasi di lokasi
penelitian.
Link Jurnal : http://jurnalfkip.unram.ac.id/index.php/JBT/article/view/1690
5. Judul Jurnal : “Peranan ekologis spons terhadap ekosistem terumbu karang”
Spons adalah biota bentik yang banyak ditemukan pada semua ekosistem air laut
dan tawar. Di ekosistem air laut, spons paling banyak ditemukan di habitat terumbu
karang. Adapun di ekosistem air tawar, spons masih dapat ditemukan di daerah aliran
sungai ataupun di danau-danau dengan kelimpahan dan diversitas yang rendah.
Keberadaannya yang bersifat cosmopolitan perlu diketahui peranannya dengan baik
sehingga dapat menjadi bahan masukan dalam pengelolaan ekosistem.
Fungsi ekologi spons di ekosistem terumbu karang dapat dikaitkan dengan faktor
abiotik dan biotik. Faktor abiotik berkaitan dengan siklus nutrient, bioreosi dan
konsolidasi substrat dan bioindikator pencemaran. Sedangkan faktor biotik berkaitan
dengan kemampuan spons sebagai inang, umpan dan pelindung serta kompetisi dengan
biota bentik lainnya.
Sebagai inang, spons juga memberikan perlindungan terhadap biota yang
berasosiasi. Sebagai contoh, kematian Bivalvia akibat pemangsa alaminya (bintang laut)
ditemukan menurun ketika Bivalvia (Arca noae) ditumbuhi spons encrusting
(Crambe crambe) yang menghasilkan metabolit sekunder yang mampu mengusir
predator bivalvia.
Spons juga mempunyai peranan yang penting dalam siklus silikat (Si) karena spons
mampu mengakumulasi silikat sebagai bahan komponen penyusun skeletonnya.
Spons mempunyai peranan yang positif dalam membangun terumbu yaitu salah
satunya dengan menggabungkan patahan-patahan karang (rubble) sehingga menjadi
lebih stabil dan memungkinkan untuk ditempati oleh larva karang untuk menempel.
Spons sebagai salah satu penyumbang biodiversitas tertinggi di ekosistem terumbu
karang. Meskipun demikian, kompleknya asosiasi menyebabkan banyak sifat asosiasi
belum dapat diketahui dengan jelas. Spons memproduksi banyak jenis metabolit
sekunder yang dapat menjadi media interaksi spons dengan organisme lain.
Spons dikenal sebagai salah satu kompetitor utama karang batu di ekosistem
terumbu karang. Fenomena ini lebih jelas terlihat di daerah temperate dimana musim-
musim tertentu memacu pertumbuhan spons.
Selain itu spons menjadi penopang biodiversitas yang sangat efektif, yaitu
kemampuannya berasosiasi dengan biota yang sangat beragam. Kelimpahan spons di
suatu ekosistem terumbu karang perlu dimonitor perkembangannya mengingat fungsi
ekologis dari terumbu karang kian menurun akibat faktor manusia ataupun karena
faktor alam.

Link Jurnal : http://oseana.lipi.go.id/oseana/article/view/15

Anda mungkin juga menyukai