Anda di halaman 1dari 24

TUGAS KULIAH M1

TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBERDAYA LAHAN


BERBAGAI ISU KONSERVASI SUMBERDAYA LAHAN DI KAWASAN
PEGUNUNGAN/PERBUKITAN

Disusun Oleh :
Nama : Muhammad Yusuf Budi Prakoso
NIM : 225040200111233
Kelas : Agroekoteknologi Q
Dosen Pengampu : Istika Nita, SP., MP

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2024

1
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ....................................................................................................................i


DAFTAR ISI .............................................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................................................3
1.1 Latar Belakang .........................................................................................................3
1.2 Dampak Degradasi Lahan .......................................................................................6
BAB II. ANALISIS MASALAH DEGRADASI LAHAN .................................................................9
BAB III. TEKNOLOGI KONSERVASI TANAH DAN AIR (KTA) YANG TEPAT SASARAN DAN
REKOMENDASI PENYELESAIAN SOSIAL, EKONOMI, DAN KELEMBAGAANNYA . 14
BAB IV. STRATEGI MANAJEMEN KAWASAN PEGUNUNGAN/PERBUKITAN ....................... 19
BAB V. PENUTUP ................................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 23

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang penting bagi kelangsungan
hidup makhluk hidup di permukaan bumi serta ekosistemnya. Namun beberapa akhir ini,
kita dihadapi oleh banyak tantangan serius terkait semakin menipisnya sumberdaya lahan
dan degradasi lahan yang semakin meluas oleh manusia. Populasi manusia yang
semakin bertambah cepat serta urbanisasi yang tak terbendung menyebabkan
peningkatan permintaan akan lahan untuk pemukiman, pertanian, dan industri.
Pemanfaatan lahan seperti deforestasi ataupun penggundulan hutan juga memberikan
dampak signifikan terhadap degradasi lahan, ditambah lagi perubahan iklim yang terjadi
akhir-akhir ini turut serta berkontribusi pada perubahan pola curah hujan dan suhu yang
pastinya juga berpotensi memperburuk kondisi lahan.
Degradasi lahan merujuk pada kehilangan fungsi tanah sebagai sumber air dan
nutrisi bagi tanaman, tempat pertautan akar tanaman, dan tempat penambahan air dan
unsur hara (Yulian & Maulani, 2019). Lahan yang mengalami degradasi sering dijuluki
sebagai lahan tidak produktif, lahan kritis, atau lahan tidur yang dibiarkan terbengkalai dan
umumnya ditumbuhi semak belukar. Faktor-faktor yang menyebabkan degradasi lahan
mencakup kehilangan unsur hara dan bahan organik di zona perakaran, akumulasi garam
atau senyawa beracun bagi tanaman di zona perakaran, penumpukan air (water logging),
dan erosi (Wahyunto & Dariah, 2014). Aliran permukaan juga menjadi pemicu utama
terjadinya erosi, yang pada akhirnya menyebabkan degradasi lahan. Degradasi lahan
tidak hanya mengancam produktivitas pertanian, tetapi juga mengakibatkan hilangnya
keanekaragaman hayati, erosi tanah, dan bahkan berpotensi menyebabkan konflik sosial
akibat persaingan untuk lahan yang semakin terbatas (Sutrisno & Heryani, 2013). Oleh
karena itu, perlindungan dan pengelolaan sumberdaya lahan yang berkelanjutan menjadi
krusial untuk menjaga keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan manusia di masa
depan.
Degradasi lahan berupa hutan dapat dianggap hasil dari aktivitas manusia yang
berlebihan dalam memanfaatkan hutan tanpa adanya tanggung jawab dari pihak yang
terlibat. Salah satu faktor kerusakan utama pada hutan terjadi karena pemanfaatan hutan
yang bersifat eksploitatif. Berbagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap hutan
perlu meningkatkan pengawasannya terhadap keberlanjutan hutan guna memastikan
pemanfaatannya secara bijaksana. Pemerintah pun juga turut memiliki peran penting
dalam menanggapi eksploitasi hutan yang dapat menyebabkan degradasi, terutama oleh
investor pembangunan yang tidak bertanggung jawab. Pentingnya penanganan segera
terhadap masalah degradasi hutan sangat diperlukan karena hutan merupakan penopang
keseimbangan lingkungan yang sangat penting.
Berbagai kasus degradasi sumberdaya alam disebabkan beberapa faktor,
seperti kerusakan tanah akibat erosi, pencemaran air, udara, ataupun tanah, menurunnya
kesuburan tanah, dan sebagainya. Adapun berbagai contoh kasus yang terjadi seperti
degradasi lahan yang diakibatkan oleh produksi biomassa untuk pembangunan pertanian
berkelanjutan yang terdapat di Probolinggo. Kabupaten Probolinggo sendiri merupakan
kabupaten yang memiliki sumberdaya tanah yang terbatas dengan luas sawah, tegal,
perkebunan dan hutan sebesar 1346,38 km2, yang terdiri dari 24 kecamatan, 5 kelurahan,
dan 325 desa dengan 70% masyarakatnya tinggal di desa dengan mata pencaharian dari
sektor pertanian (Prasetyo et al., 2023). Menurut Balai Lingkungan Hidup (BLH)
Kabupaten Probolinggo pada tahun 2018, wilayah tersebut tersebut mengalami degradasi
lahan yang diakibatkan oleh alih fungsi lahan menjadi lahan budidaya di lahan yang

3
curam serta tata guna lahan yang kurang tepat oleh warga sekitar ataupun pemiliik
budidaya lahan yang ada di wilayah tersebut. Hal tersebut tentu menyebabkan erosi,
pendangkalan sungai, dan juga sedimentasi di wilayah tersebut. Dampak dari degradasi
lahan tersebut menyebakan banjir pada wilayah hilir, lahan yang semakin kritis, serta
tanah mengalami degradasi kesuburan tanah, ditambah lagi bahwa para petani di
Kabupaten Probolinggo hanya mengandalkan penggunaan pupuk dan pestisida kimia
selama puluhan tahun (Baswarsiati et al., 2019). Hal tersebut menimbulkan permasalahan
seperti banyaknya petani yang mengeluh akan hasil produksi pertaniannya yang setiap
tahun terus mengalami penurunan yang menyebabkan minimnya pendapatan petani.
Contoh lain dari degradasi lahan seperti yang terjadi di Hutan Cagar Alam
Pegunungan Muria. Pegunungan Muria sendiri merupakan kawasan pegunungan yang
terletak di semenanjung utara Pulau Jawa yang terdiri dari 3 wilayah kabupaten, yaitu
Kabupaten Jepara, Kabupaten Kudus, dan juga Kabupaten Pati. Dilansir dari Situs Berita
Lingkungan Mongabay pada 3 Maret 2023 yang berjudul “Nasib Macan Tutul Kala Hutan
Muria Terambah”, Pegunungan Muria memiliki hutan lindung seluas 5.079 hektar, hutan
produksi seluas 3.110 hektar, dan hutan produksi terbatas seluas 3.065 hektar yang
tersebar di 3 wilayah Kabupaten Jepara, Kudus, dan Pati. Kondisi tanah di kawasan
pegunungan Muria mengalami degradasi lahan yang menyebabkan lahan kritis, dimana
hal tersebut disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri seperti tidak sesuainya penggunaan
lahan dengan kemampuan lahan sehingga menyebabkan kerusakan fisik, kimia, ataupun
biologis dari tanah tersebut (Sridjojo, 2017). Hal tersebut juga di dukung dengan curah
hujan yang tinggi didaerah pegunungan dengan tingkat topografi yang cukup terjal dan
vegetasi yang kurang untuk menutup erosi tersebut (Hendy & Zed, 2015). Tidak hanya itu,
penggunaan lahan pada Hutan Cagar Alam Muria sendiri didominasi oleh perkebunan
kopi yang tentunya mengganggu fauna yang tinggal didaerah hutan tersebut. Hal tersebut
menyebabkan habitat fauna seperti Macan Tutul yang ada didaerah tersebut turut turun
ke pemukiman warga hingga menyerang ternak warga didaerah tersebut.
Contoh degradasi lahan selanjutnya yaitu terjadi di wilayah lereng Pegunungan
Cyclops, Papua. Dilansir dari situs Pesona Indonesia pada 9 Juli 2019 yang berjudul
“Pegungungan Cyclops, Sumber Kehidupan Jayapura), Pegunungan Cyclops atau biasa
disebut dengan Pegunugan Dobonsolo sendiri merupakan pegunungan yang terdiri dari 6
gunung dengan beberapa puncak tertinggi, yaitu pada Gunung Dafonsoro (1.580 mdpl),
Gunung Butefon (1.450 mdpl), Gunung Robhong (1.970 mdpl), Gunung Helufoi (1.960
mdpl), Gunung Rafeni (1.700 mdpl), dan Gunung Adumama (1.560 mdpl) yang terbentang
dari barat ke timur dengan panjang 36 kilometer. Meskipun merupakan salah satu
kawasan cagar alam, pembukaan lahan di daerah tersebut masih marak terjadi bahkan
saat ini telah terbuka ratusan hektar perkebunan milik masyarakat ataupun milik
perusahaan yang dilakukan dengan cara penebangan hutan hingga luas hutan semakin
berkurang. Pada tanggal 16 Maret 2019, wilayah hilir di Kota Sentani yang berhadapan
langsung dengan Pegunungan Cyclops untuk pertama kalinya mengalami bencana banjir
bandang paling parah dari sebelumnya yang diperkirakan pernah terjadi beberapa puluh
tahun sebelumnya akibat perambahan hutan di daerah hulu tersebut. Hal ini
menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat, dimana rumah dan harta
benda hilang sebagai dampak dari banjir bandang tersebut.
Adapun contoh lain dari degradasi lahan yaitu seperti terjadi di Maluku.
Berdasarkan data BPS pada tahun 2013, wilayah Kota Ambon sebagian besar terdiri dari
daerah berbukit yang berlereng terjal seluas ±186,90 km2 atau 73% dan daerah dataran
dengan kemiringan seluas ± 55 km2 atau 17% dari total luas wilayah daratan. Namun
sayangnya, lahan kritis di wilayah Kota Ambon semakin tinggi. Menurut BPDASHL WBM
pada tahun 2019, menunjukkan bahwa luas lahan kritis di wilayah Kota Ambon pada
tahun 2018 mencapai 28.463 hektar yang terdiri dari lahan sangat kritis 5.644 ha, kritis

4
870 ha, potensial kritis 4.144 ha, agak kritis 14.598 ha, dan tidak kritis 3.207 ha. Hal
tersebut disebabkan karena degradasi lahan yang dikaitkan dengan aktivitas
penebangan, ladang berpindah-pindah, konversi lahan dari hutan menjadi perkebunan
monokultur, serta pemanfaatan lahan lainnya yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Hal
tersebut juga didukung dengan pertumbuhan penduduk yang ada di Kota Ambon semakin
cepat sehingga menyebabkan pertumbuhan kawasan pemukiman dan lahan pertanian
yang semakin merajalela khususnya di daerah perbukitan dengan daerah yang memiliki
kontur topografi yang sedikit curam hingga curam cenderung mengalami penurunan
kualitas lahan DAS. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Talakua & Osok (2019),
menunjukkan bahwa penurunan tersebut dapat disambungkan dengan meningkatnya
tingkat erosi yang disebabkan oleh ekspansi wilayah perkotaan dan ketidakoptimalan
tutupan lahan di wilayah perbukitan di DAS Pulau Ambon dan Pulau Seram.
Tidak hanya itu, contoh lainnya seperti yang terjadi di Malang, di mana sejumlah
besar lahan pertanian di lereng perbukitan dialihfungsikan menjadi perumahan, tentu saja
hal tersebut mengakibatkan penurunan tingkat infiltrasi air dan potensi terjadinya banjir.
Daerah yang telah ditetapkan sebagai lahan pertanian yang dilindungi seharusnya tidak
boleh dialihfungsikan. Namun sayangnya, Kota Malang tidak memiliki kebijakan tersebut
sehingga lahan yang seharusnya dilindungi juga tidak ada. Akibatnya, masyarakat
menjadi pihak yang merugi dalam kasus ini (Oktavia, 2016).

No. Kasus Lokasi Para Pihak yang Terlibat


1. Degradasi Lahan akibat Produksi Probolinggo, Jawa Timur. Para pemilik budidaya lahan
Biomassa untuk Pembangunan pangan, hortikultura, dan
Pertanian Berkelanjutan perkebunan serta warga di
sekitar wilayah tersebut, dan
Peneliti dari Departemen
Agribisnis, Fakultas Pertanian,
Universitas Brawijaya.
2. Degradasi Lahan pada Kawasan Pegunungan Muria, Jawa Tengah Para pemilik lahan budidaya di
Cagar Alam Pegunungan Muria sekitar wilayah tersebut, dan
yang menyebabkan Peneliti dari Program Studi
Terganggunya Habitat Fauna di Agroekoteknologi, Fakultas
daerah tersebut Pertanian, Universitas Muria
Kudus.
3. Degradasi Lahan akibat Pegunungan Cycloop Para pemilik lahan budidaya di
Penebangan Hutan di Kawasan (Dobonsolo), Papua sekitar wilayah tersebut,
Cagar Alam Pegunungan Cyclops penduduk kota Sentani
termasuk para migran yang
bertempat tinggal di lereng
pegunungan Cycloop, Peneliti
dari Program Studi PKLH-UNJ
Jakarta.
4. Degradasi Lahan yang Ambon, Maluku Para pemilik lahan budidaya di
disebabkan karena Pemanfaatan sekitar wilayah tersebut,
Lahan Hutan menjadi Area penduduk kota Ambon, serta
Industri Perkebunan dan Peneliti dari Program Studi
Pemukiman Warga di sekitar Pengelolaan Lahan Universitas
Area Perbukitan Sehingga Pattimura Ambon.
menyebabkan disfungsional DAS.
5. Degradasi Lahan yang Malang, Jawa Timur Para masyarakat yang tinggal di

5
disebabkan karena alih fungsi perumahan dan Pengelola
lahan menjadi daerah perumahan perumahan di kawasan tersebut
penduduk yang menyebabkan
banjir

1.2 Dampak Degradasi Lahan


Dampak degradasi lahan merupakan isu yang semakin mendapat perhatian
global karena konsekuensinya yang serius terhadap berbagai aspek kehidupan manusia
dan lingkungan. Dampak degradasi lahan, atau kerusakan lahan, menjadi faktor utama
yang mengakibatkan penurunan produktivitas suatu wilayah, dimana dampak negatif ini
dapat merugikan dari segi aspek biofisik/ekologis, sosial-ekonomi, serta pembangunan di
daerah hulu ataupun daerah hilir yang berpotensi mengancam kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, diperlukan upaya maksimal untuk mengendalikan akar masalah yang
mendasari degradasi lahan tersebut. Pada dampak buruk aspek sosial dan ekonomi,
disebabkan oleh keterbatasan lahan seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang
besar. Praktek pengelolaan lahan yang tidak berkelanjutan memperburuk degradasi
lahan, meningkatkan tingkat kemiskinan, dan menciptakan spiral negatif.
Dampak degradasi lahan dapat dilihat dari aspek ekologi dan biofisik, dimana
degradasi lahan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Pembukaan tutupan lahan
yang merupakan salah satu faktor penyebab degradasi lahan dapat meningkatkan risiko
erosi di daerah hulu ataupun hilir yang dapat memengaruhi kesuburan tanah,
kelembaban, suhu, dan aerasi tanah, dan mempengaruhi nilai guna lahan terhadap
produksi. Seperti halnya pada kasus-kasus yang telah diuraikan tersebut, degradasi lahan
yang terjadi di Probolinggo menyebabkan erosi, pendangkalan sungai, dan juga
sendimentasi di wilayah tersebut yang menyebabkan banjir pada daerah hilir, lahan yang
semakin kritis, serta tanah mengalami degradasi kesuburan yang menyebabkan produksi
pertanian semakin menurun. Hal yang sama juga terjadi pada kasus yang terjadi di
Pegunungan Muria, degradasi lahan yang disebabkan oleh penggunaan lahan yang
berlebih seperti alih fungsi lahan perkebunan kopi menyebabkan lahan kritis yang
menyebabkan kondisi tanah mengalami kerusakan secara fisik, biologi, ataupun secara
kimiawi, serta membuat habitat fauna dalam hutan tersebut terancam.
Pada kasus yang terjadi di Pegunungan Cyclops Papua, dimana dampak dari
degradasi lahan tersebut menyebabkan bencana banjir bandang di wilayah hilir Kota
Sentani, tentunya hal tersebut membuat kerugian yang besar bagi masyarakat karena
rumah dan harta benda di wilayah terdampak hilang diterjang banjir. Sama halnya pada
kasus yang terjadi di Pegunungan Cyclops, degradasi lahan yang melanda Kota Ambon
juga menyebabkan beberapa bencana di daerah hilir seperti banjir dan juga tanah
longsor, hingga menyebabkan fungsi hidrologis dari beberapa DAS di Kota Ambon tidak
berfungsi dengan baik. Hal tersebut dapat terjadi karena disebabkan oleh aktivitas
manusia yang merusak di daerah hulu seperti penebangan hutan, ladang berpindah,
konversi lahan hutan berubah menjadi perkebunan monokultur, dan sebagainya. Tentu
saja pada keseluruhan kasus yang telah diuraikan diatas perlu mendapatkan perhatian
lebih serius oleh para pihak-pihak yang terlibat karena dampak yang ditimbulkan juga
menyebabkan kerugian yang tidak sedikit. Berikut adalah dampak dari berbagai kasus
degradasi lahan dan hutan di kawasan pegunungan yang disajikan dalam tabel berikut.

6
No. Kasus Dampak Degradasi Lahan dan Hutan di Kawasan Pegunungan/Perbukitan
Hulu (Insitu) Hilir (Offside) Pembangunan
Biofisik/ Sosial- Biofisik/ Sosial-
Ekologis Ekonomi Ekologis Ekonomi
1. Degradasi Erosi, Lahan Menurunnya Erosi, Kerugian Terracing, teknik
Lahan akibat Kritis, pendapatan Pendangkalan akibat banjir contur plowing dan
Produksi Degradasi petani akibat Sungai, sistem irigasi yang
Biomassa untuk kesuburan produksi Banjir, Lahan efisien
Pembangunan tanah, dan pertanian Kritis,
Pertanian Sedimentasi yang Sedimentasi
Berkelanjutan semakin
menurun
2. Degradasi Lahan Kritis Kerugian Erosi, Lahan Kerugian dari Terracing,
Lahan pada warga karena kritis, beberapa Penggunaan Check
Kawasan Cagar turunnya Sedimentasi bencana dams
Alam Macan Tutul yang terjadi
Pegunungan ke seperti banjir
Muria yang pemukiman dan tanah
menyebabkan hingga longsor
Terganggunya memangsa
Habitat Fauna di ternak warga
daerah tersebut
3. Degradasi Erosi, Lahan Menurunnya Erosi, Kerugian Terracing,
Lahan akibat Kritis, pendapatan Pendangkalan akibat banjir Infrastruktur
Penebangan Degradasi petani akibat Sungai, Pengendali air
Hutan di kesuburan produksi Banjir, Lahan
Kawasan Cagar tanah, dan pertanian Kritis,
Alam SedimentasI yang Sedimentasi
Pegunungan semakin
Cyclops menurun
4. Degradasi Penurunan Menurunnya Erosi, Kerugian dari Terracing,
Lahan yang kualitas pendapatan Sedimentasi, beberapa Penggunaan Check
disebabkan lahan DAS, petani akibat Banjir, Tanah bencana dams, dan sistem
karena Penurunan produksi longsor yang terjadi irigasi
Pemanfaatan tingkat pertanian seperti banjir
Lahan Hutan kesuburan yang dan tanah
menjadi Area tanah semakin longsor
Industri menurun
Perkebunan dan
Pemukiman
Warga di sekitar
Area Perbukitan
Sehingga
menyebabkan
disfungsional
DAS.
5. Degradasi Erosi, Lahan Kerugian Erosi, Banjir, Kerugian Sistem drainase,
Lahan yang Kritis, akibat banjir Lahan Kritis, akibat banjir Daerah resapan air
disebabkan Degradasi Sedimentasi
karena alih kesuburan

7
fungsi lahan tanah, dan
menjadi daerah Sedimentasi
perumahan
penduduk yang
menyebabkan
banjir

8
BAB II
ANALISIS MASALAH DEGRADASI LAHAN

Menurut Utomo (2013), terdapat beberapa faktor yang menyebabkan degradasi


lahan di Indonesia dapat terjadi, beberapa hal yang sering menjadi penyebab degradasi
lahan di beberapa kasus yaitu beralihnya fungsi lahan hutan di daerah hulu menjadi
kawasan perkebunan, industri maupun kawasan pemukiman. Beralihnya fungsi lahan
menjadi beberapa kawasan tersebut menyebabkan kerusakan sifat tanah dari aspek
fisika, kimia, dan biologis (Lukito et al., 2013). Pada kerusakan tanah pada aspek kimia
dan fisika, pada umumnya disebabkan karena pencemaran yang berasal pemberian
pupuk kimia maupun pestisida anorganik dari lahan produksi pertanian, dimana dampak
dari pencemaran tersebut berupa tekstur tanah yang semakin keras, tanah yang semakin
masam, hingga tingkat kesuburan tanah yang rendah (Prasetyo et al., 2023). Menurut
Tumewu et al., (2015), indikator kerusakan sifat biologi tanah dapat dilihat dari bagaimana
kemampuan tanah dalam menyediakan air dan juga unsur hara untuk pertumbuhan dan
juga perkembangan tanaman, dengan begitu pencemaran biologis dapat menyebabkan
berkurangnya kandungan mikroorganisme yang ada di dalam tanah.
Berdasarkan pada jurnal yang berjudul “Persepsi Stakeholder Hasil Pengujian
Sifat Biologi Tanah Produksi Biomassa untuk Pembangunan Pertanian Berkelanjutan di
Kabupaten Probolinggo” oleh Prasetyo et al., (2013), dapat diketahui bahwa para petani
di daerah lereng dalam kasus degradasi lahan yang terjadi di Probolinggo tersebut tidak
pernah menggunakan pupuk organik yang berasal dari bahan organik seperti sisa
tanaman ataupun pupuk kandang. Hal tersebut tentu saja memperparah degradasi lahan
karena tanah pada lahan tersebut mengalami degradasi kesuburan tanah sehingga akan
menyebabkan produksi pertanian semakin menurun. Penggunaan pupuk kimia dan
pestisida kimia yang berlebihan juga dapat menurunkan kualitas air tanah serta
menimbulkan terjangkitnya penyakit akibat pencemaran air pada aliran permukaan seperti
sungai, danau, ataupun waduk (Arif, 2015).

Gambar 1. Penggunaan Lahan untuk Pertanian di Lereng Gunung Bromo, Probolinggo


(Gupta, 2023)

Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan perkebunan di kawasan lereng ataupun
pegunungan dapat menyebabkan erosi. Menurut Rusdi et al., (2013), terdapat beberapa
faktor penyebab terjadinya erosi seperti bagaimana tindakan pengelolaan lahan, pola

9
penggunaan lahan, dan juga nilai erodibilitas. Buruknya pengelolaan lahan seperti
pembukaan lahan yang berlebih untuk lahan perkebunan dapat menyebabkan terjadinya
bencana seperti banjir ataupun tanah longsor. Pada umumnya, banjir dapat disebabkan
oleh dua faktor, yaitu faktor alam dan faktor manusia (Romarak et al., 2021). Faktor alam
yang menjadi penyebab banjir melibatkan curah hujan yang berlebihan, berkurangnya
kemampuan daerah hulu untuk meresap air, dan pendangkalan sungai akibat erosi.
Semua faktor ini tidak dapat dilepaskan dari peran penting hutan sebagai regulator siklus
air. Penutupan hutan memiliki dampak signifikan terhadap fenomena iklim, di mana hutan
berfungsi sebagai pengatur tata air. Hutan memainkan peran penting dalam mengontrol
aliran air, di mana sebagian besar hujan diserap sebagai air tanah dan kemudian
dilepaskan saat musim kemarau. Proses ini juga mendukung metabolisme tanaman. Oleh
karena itu, penurunan transpirasi tanaman akibat penebangan hutan dapat menyebabkan
peningkatan debit sungai di wilayah aliran sungai yang mengalami deforestasi (Darmawan
et al., 2015).
Berdasarkan pada jurnal yang berjudul “Dampak Penebangan Hutan Terhadap
Bencana Banjir di Kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop” oleh Romarak et al.,
(2021), pembukaan lahan yang dijadikan perkebunan liar oleh penduduk lokal yang
semakin meluas dan sering berpindah tempat telah mengakibatkan penurunan luas
hutan. Keadaan tersebut semakin memburuk karena adanya aktivitas penebangan hutan
ilegal yang dilakukan oleh masyarakat lokal asal Pegunungan Tengah Papua serta
masyarakat setempat dari waktu ke waktu. Dampak dari degradasi hutan ini
menyebabkan terjadinya banjir bandang pada tanggal 16 Maret 2019 di wilayah Kota
Sentani yang secara langsung berhadapan dengan Pegunungan Cyclops untuk pertama
kalinya. Banjir bandang tersebut mengakibatkan kerugian signifikan bagi masyarakat,
termasuk kehilangan rumah, harta benda yang terbawa oleh banjir, dan hilangnya nyawa
manusia akibat keganasan banjir tanpa pandang bulu. Selain itu, terdapat juga kerugian
materi seperti kendaraan warga dan banyaknya hewan ternak yang mati. Dampak
bencana banjir ini lebih besar dibandingkan dengan banjir sebelumnya yang diperkirakan
terjadi beberapa puluh tahun sebelumnya. Selain mengakibatkan kerugian pada nyawa
manusia, bencana banjir ini juga merusak beberapa jembatan di dalam kota Sentani.
Pembukaan lahan di wilayah hulu tersebut menyebabkan bencana banjir bandang yang
disebabkan oleh sungai-sungai yang melintasi kota Sentani dipenuhi oleh material seperti
kayu serta sedimentasi sehingga air sungai tersebut meluap ketika intensitas hujan yang
cukup tinggi. Hal tersebut juga sama seperti pada kasus yang ada di Ambon, dimana
degradasi lahan yang memicu banjir disebabkan oleh aktivitas penebangan, ladang
berpindah, konversi hutan yang menjadi perkebunan monokultur, serta pemanfaatan
lainnya.

10
Gambar 2. Banjir Bandang di Kota Sentani (CNN Indonesia, 2019)

Degradasi lahan di daerah pegunungan tidak hanya merusak tanah, namun juga
dapat merusak ekosistem yang ada di wilayah tersebut. Degradasi lahan yang
disebabkan oleh alih fungsi lahan pertanian berdampak pada lingkungan dan ekosistem.
Lahan pertanian yang produktif memiliki fungsi penting dalam menjaga keseimbangan
ekologi dan mempertahankan keanekaragaman hayati. Ketika lahan pertanian
dialihfungsikan menjadi perumahan, habitat alami untuk flora dan fauna dapat terganggu,
terjadinya fragmentasi habitat, dan berkurangnya keanekaragaman hayati (Zuhri, 2018).
Seperti pada kasus yang terjadi di Pegunungan Muria, dimana alih fungsi lahan dari hutan
menjadi perkebunan kopi membuat habitat pada satwa seperti macan tutul semakin
menyempit sehingga menyebabkan macan tutul turun ke pemukiman untuk memangsa
ternak warga.

Gambar 3. Penangkapan Harimau oleh Warga ketika masuk ke daerah pemukiman di Pegunungan
Muria (InfoplusID, 2022)

Tidak hanya dijadikan lahan pertanian, alih fungsi lahan di daerah pegunungan juga
dapat dijadikan sebagai rumah para penduduk, seperti pada kasus yang terjadi di Malang.
Hal tersebut juga turut berdampak pada daerah hilir, dimana hutan di area perbukitan
dialihfungsikan menjadi perumahan penduduk. Pembangunan kawasan perumahan di
daerah pegunungan ataupun perbukitan saat ini marak terjadi dikala lahan pemukiman
penduduk semakin menyempit. Hal tersebut diupayakan dalam memenuhi salah satu
kebutuhan pokok manusia sebagaimana yang telah ada dalam UUD 1945. Tanah yang
beralih fungsi seiring bertambahnya populasi manusia menimbulkan permasalahan yang
kompleks dan tentunya sangat serius (Handayani et al., 2014). Seperti halnya yang terjadi
di Malang, dimana maraknya alih fungsi lahan di daerah perbukitan menjadi wilayah

11
perumahan membuat resapan air semakin rendah yang akhirnya menyebabkan banjir
ketika intensitas curah hujan yang tinggi.

Gambar 4. Banjir Bandang yang terjadi di Kabupaten Malang (Satrio, 2022)

Tanah merupakan sumber daya alam yang esensial dalam menunjang


kehidupan manusia. Fungsionalitas lahan mencakup perannya sebagai tempat
permukiman, area pertanian, serta penyedia berbagai mineral yang mendukung
peningkatan kualitas hidup manusia. Meskipun demikian, realitasnya menunjukkan bahwa
lahan tidak selalu memberikan kontribusi positif terhadap manusia, tumbuhan, dan fauna.
Faktor penyebab utama dari ketidakmampuan lahan ini untuk memberikan manfaat yang
optimal adalah penurunan kualitasnya, yang umumnya dikenal sebagai degradasi fungsi
lahan. Penyebab atau permasalahan yang mengakibatkan penurunan daya dukung lahan
dapat berasal dari faktor alam, campur tangan manusia, atau kombinasi keduanya yang
saling berinteraksi.
Degradasi lahan merupakan fenomena kompleks yang dapat terjadi sebagai
hasil dari berbagai faktor yang saling berinteraksi. Salah satu penyebab utama degradasi
lahan adalah aktivitas manusia yang tidak berkelanjutan, seperti konversi lahan pertanian
menjadi perumahan atau kegiatan industri yang merusak struktur tanah. Selain itu, praktik
pertanian yang tidak berwawasan lingkungan, seperti penggunaan pestisida dan pupuk
kimia berlebihan, dapat menyebabkan degradasi tanah. Faktor alam juga turut
berkontribusi, seperti erosi tanah akibat curah hujan yang tinggi atau perubahan iklim
yang ekstrim. Penyebab lainnya termasuk deforestasi yang merusak ekosistem,
penggalian tanah yang tidak terkendali, dan pengelolaan lahan yang tidak berkelanjutan.
Pentingnya pemahaman terhadap faktor-faktor ini dalam menyusun kebijakan dan praktik
pengelolaan lahan yang berkelanjutan tidak dapat diabaikan. Perlunya pendekatan holistik
yang menggabungkan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi menjadi kunci dalam upaya
pencegahan dan rehabilitasi degradasi lahan. Melibatkan masyarakat lokal,
melaksanakan praktik pertanian berkelanjutan, dan menjaga kelestarian ekosistem adalah
langkah-langkah krusial untuk mengatasi dan mencegah degradasi lahan secara efektif.

No. Kasus Masalah yang Penyebab Masalah Alternatif Solusi


Terjadi
1. Degradasi Lahan akibat Menurunnya Penggunaan pupuk Mengurangi penggunaan
Produksi Biomassa produktivitas tanah anorganik dan pestisida pupuk dan pestisida kimia
untuk Pembangunan serta produksi kimia secara terus dan beralih pada pupuk
Pertanian Berkelanjutan pertanian dan juga menerus oleh para organik dan introduksi
terjadinya erosi petani di daerah lereng terkait teknologi konsevasi
tersebut lahan sesuai dengan sosial-
budaya petani di wilayah

12
tersebut
2. Degradasi Lahan pada Menurunnya Pengalihan fungsi Dilakukannya perencanaan
Kawasan Cagar Alam produktivitas tanah lahan menjadi areal tata ruang kembali,
Pegunungan Muria yang dan terganggunya perkebunan kopi Melakukan rehabilitasi
menyebabkan habitat fauna di lahan dan juga reboisasi,
Terganggunya Habitat wilayah tersebut serta mengembangkan
Fauna di daerah tersebut koridor hijau untuk
menghubungkan berbagai
habitat satwa yang
memungkinkan satwa
berpindah dari satu area ke
area yang lainnya tanpa
terhalang lahan perkebunan
3. Degradasi Lahan akibat Banjir Bandang Pengalihan fungsi Dilakukannya konservasi
Penebangan Hutan di dengan intensitas lahan menjadi kawasan hutan dan vegetasi dengan
Kawasan Cagar Alam yang cukup besar perkebunan lokal, memulihkan tutupan
Pegunungan Cyclops menimpa kota ditambahnya vegetasi alami,
Sentani penebangan hutan Perencanaan tata ruang
ilegal di kawasan cagar dengan menetapkan zona-
alam Pegunungan zona kritis, Menerapkan
Cyclops teknik-teknik konservasi
tanah serta penyuluhan
kepada warga lokal yang
tinggal di daerah hulu
sesuai dengan sosial-
budaya mereka
4. Degradasi Lahan yang Disfungsional DAS Pemanfaatan Lahan Dilakukannya konservasi
disebabkan karena Hutan menjadi Area hutan dan vegetasi dengan
Pemanfaatan Lahan Industri Perkebunan memulihkan tutupan
Hutan menjadi Area dan Pemukiman Warga vegetasi alami,
Industri Perkebunan dan di sekitar Area Perencanaan tata ruang
Pemukiman Warga di Perbukitan dengan menetapkan zona-
sekitar Area Perbukitan zona kritis, Menerapkan
Sehingga menyebabkan teknik-teknik konservasi
disfungsional DAS. tanah serta penyuluhan
kepada warga lokal yang
tinggal di daerah hulu
5. Degradasi Lahan yang Banjir bandang yang Alih fungsi lahan Dilakukannya konservasi
disebabkan karena alih melanda Kabupaten menjadi daerah hutan dan vegetasi dengan
fungsi lahan menjadi Malang perumahan penduduk memulihkan tutupan
daerah perumahan vegetasi alami,
penduduk yang Perencanaan tata ruang
menyebabkan banjir dengan menetapkan zona-
zona kritis.

13
BAB III
TEKNOLOGI KONSERVASI TANAH DAN AIR (KTA) YANG TEPAT SASARAN DAN
REKOMENDASI PENYELESAIAN SOSIAL, EKONOMI, DAN KELEMBAGAANNYA

Konservasi tanah dan air atau yang umumnya dikenal sebagai upaya pengawetan
tanah merupakan inisiatif yang bertujuan untuk memelihara serta meningkatkan
produktivitas tanah sekaligus menjaga kuantitas dan kualitas air (Rahyani & Rahmadi,
2017). Dalam arti lain, konservasi tanah mencakup usaha untuk mencegah kerusakan
tanah akibat erosi dan memulihkan tanah yang telah rusak oleh erosi. Konservasi air pada
dasarnya merupakan optimalisasi penggunaan air yang jatuh ke tanah untuk keperluan
pertanian dengan efisiensi tinggi, termasuk pengaturan aliran air dengan cara
menyebabkan air meresap ke dalam tanah. Tujuannya adalah agar pada musim hujan
dapat dihindari terjadinya banjir, sementara pada musim kemarau, pasokan air untuk
kebutuhan hidup tetap tersedia. Ketika terjadi penurunan tingkat produktivitas tanah,
terutama disebabkan oleh erosi, maka kualitas air khususnya air sungai yang digunakan
untuk irigasi dan keperluan manusia dapat mengalami pencemaran sehingga pasokan air
bersih semakin menurun. Adanya dampak dari aktivitas manusia dalam meningkatkan laju
erosi, seperti penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya atau
pengelolaan lahan tanpa penerapan tindakan konservasi tanah dan air, memiliki potensi
untuk memprediksi laju erosi tanah. Hal tersebut menjadi hal dasar yang penting untuk
manajemen lahan yang bertujuan memaksimalkan produktivitas lahan, namun tetap
memperhatikan keberlanjutan sumberdaya lahan. Oleh karena itu, diperlukan
penggunaan teknologi konservasi tanah dan air yang tepat sasaran sebagai bagian dari
strategi manajemen lahan yang efektif.
Teknologi konservasi air sendiri dibuat untuk dapat meningkatkan infiltrasi air ke
dalam tanah dan mengisi kantong-kantong air di daerah cekungan, dan juga mengurangi
kehilangan air melalui proses evaporasi. Menurut Subagyono (2008), Upaya konservasi
air dapat diwujudkan melalui penerapan teknik pemanenan air dan juga teknologi
pengelolaan kelengasan tanah. Implementasi teknologi panen air bertujuan untuk
mengurangi volume air aliran permukaan sekaligus meningkatkan penyimpanan air tanah
dan ketersediaan air bagi tanaman. Dengan demikian, pengelolaan lahan kering tidak
hanya bergantung pada air hujan, melainkan dapat dioptimalkan dengan memanfaatkan
sumber air permukaan dan air tanah secara bersamaan. Menurut Roni (2015), konservasi
tanah juga bertujuan untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi, memperbaiki tanah
yang rusak, dan menetapkan kelas kemampuan tanah dan tindakan-tindakan atau
perlakuan agar tanah tersebut dapat dipergunakan untuk waktu yang tidak terbatas
(berkelanjutan). Selanjutnya dikemukakan bahwa pengawetan air pada prinsipnya adalah
penggunaan air yang jatuh ke tanah seefisien mungkin, dan pengaturan waktu aliran
sehingga tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim
kemarau.
Berdasarkan pada kasus yang terjadi di Probolinggo, Penanganan degradasi
lahan memerlukan implementasi teknologi konservasi tanah dan air yang efektif. Dalam
konteks vegetatif, penggunaan tanaman penutup tanah dan agroforestri menjadi strategi
penting untuk memperkuat struktur tanah, meningkatkan retensi air, dan mengurangi
erosi. Selain itu, penerapan praktek konservasi mekanis seperti terracing, dan
penggunaan teknik contur plowing dapat signifikan mengurangi dampak negatif produksi

14
biomassa terhadap kualitas tanah (Wahyudi, 2014). Integrasi teknologi ini, bersamaan
dengan praktik pertanian yang berkelanjutan, dapat membangun sistem pertanian yang
tahan terhadap degradasi lahan, menyediakan solusi inovatif dalam rangka mendukung
keberlanjutan dan produktivitas pertanian. Pentingnya penerapan teknologi konservasi
tanah dan air menjadi semakin jelas dalam konteks pertanian berbasis biomassa.
Melibatkan elemen vegetatif seperti tanaman penutup tanah dan agroforestri, serta
memadukannya dengan teknologi konservasi mekanis seperti terracing dan pengendalian
erosi, memberikan pendekatan holistik untuk meningkatkan produktivitas lahan dan
mencegah degradasi. Selain memberikan manfaat langsung dalam menjaga struktur
tanah dan memitigasi erosi, penggunaan teknologi sensor untuk pemantauan real-time
juga dapat meningkatkan efisiensi manajemen lahan. Dengan demikian, integrasi solusi
konservasi tanah dan air yang berbasis vegetatif dan mekanis dapat menjadi landasan
untuk mencapai pertanian berkelanjutan dan mengurangi dampak negatif produksi
biomassa terhadap lingkungan. Dalam aspek sosial-ekonomi-kelembagaan, solusi sosial
juga menjadi kunci untuk menciptakan kesadaran dan partisipasi masyarakat. Program
edukasi dan pelibatan komunitas lokal perlu diperkuat untuk meningkatkan pemahaman
akan pentingnya konservasi tanah dan air. Keterlibatan petani dalam perencanaan dan
implementasi teknologi konservasi dapat ditingkatkan melalui pelatihan dan kampanye
penyuluhan. Pembentukan kelompok-kelompok petani atau koperasi dapat mendukung
pertukaran pengetahuan dan pengalaman antarpetani, menciptakan solidaritas untuk
mencapai tujuan konservasi bersama.
Dalam mengatasi kasus degradasi lahan yang terjadi di Pegunugan Muria
degradasi lahan yang dipicu oleh alih fungsi lahan menjadi areal perkebunan yang
mengancam habitat satwa, pendekatan holistik teknologi konservasi tanah dan air
menjadi imperatif. Teknologi konservasi vegetatif dapat diimplementasikan melalui
rehabilitasi vegetasi alami atau penanaman tanaman penutup tanah untuk memperkuat
struktur tanah dan mencegah erosi. Selain itu, teknologi mekanis seperti penerapan teknik
terracing, penggunaan check dams, dan sistem irigasi yang efisien dapat meminimalkan
dampak degradasi lahan. Pada solusi sosial-ekonomi-kelembagaan menjadi kunci untuk
mencapai keberlanjutan jangka panjang. Pelibatan komunitas lokal dalam perencanaan
dan implementasi praktik konservasi dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya
menjaga keberlanjutan habitat satwa. Pemberian insentif ekonomi, seperti subsidi atau
pengembangan pasar produk berkelanjutan, dapat mendorong petani untuk beralih ke
praktik konservasi. Penguatan kelembagaan, melalui pembentukan peraturan dan
lembaga pemantauan, akan menciptakan kerangka kerja yang mendukung implementasi
teknologi konservasi secara berkelanjutan. Dengan demikian, integrasi teknologi
konservasi tanah dan air secara menyeluruh, bersama dengan solusi sosial-ekonomi-
kelembagaan, dapat memberikan solusi komprehensif untuk menjaga keberlanjutan
ekosistem dan habitat satwa di tengah tantangan alih fungsi lahan.
Dalam mengatasi degradasi lahan yang muncul akibat alih fungsi lahan menjadi
areal pertanian warga di Pegunungan Cyclops dan juga seperti kasus yang terjadi di Kota
Ambon, perlu disusun suatu strategi holistik berbasis teknologi konservasi tanah dan air.
Penerapan teknologi konservasi vegetatif dapat dilakukan melalui rehabilitasi vegetasi
alami atau penanaman tanaman penutup tanah guna meningkatkan retensi air dan
mencegah erosi. Selain itu, teknologi mekanis, seperti penerapan metode terracing dan
pembangunan infrastruktur pengendali air, dapat membantu menanggulangi banjir
bandang yang terjadi di Kota Sentani ataupun disfungsional DAS yang terjadi di kota

15
Ambon. Pendekatan sosial-ekonomi-kelembagaan juga menjadi krusial dalam konteks ini.
Pelibatan aktif masyarakat setempat dalam perencanaan dan implementasi praktik
konservasi dapat meningkatkan kesadaran akan dampak alih fungsi lahan. Insentif
ekonomi, seperti program subsidi atau pemberian alternatif mata pencaharian yang
berkelanjutan, dapat mendorong adopsi teknologi konservasi oleh para petani. Penguatan
kelembagaan, melalui pembentukan peraturan dan lembaga pemantauan, dapat
membantu menciptakan kerangka kerja yang mendukung upaya konservasi tanah dan air
secara berkelanjutan, sehingga mengurangi risiko banjir bandang di wilayah Kota Sentani
dan mengatasi disfungsional DAS yang ada di kota Ambon.
Penanganan degradasi lahan akibat alih fungsi lahan menjadi daerah perumahan
penduduk yang menyebabkan banjir di Kabupaten Malang juga turut memerlukan
pendekatan holistik melalui penerapan teknologi konservasi tanah dan air. Solusi vegetatif
dapat diwujudkan melalui penanaman tanaman penutup tanah atau rehabilitasi vegetasi
alami untuk meningkatkan daya serap air tanah dan mengurangi aliran permukaan.
Teknologi konservasi mekanis seperti pembangunan sistem drainase yang efisien dan
pembuatan area resapan air dapat membantu mengendalikan air hujan dan mencegah
banjir. Pendekatan sosial-ekonomi-kelembagaan sangat penting dalam mengatasi akar
permasalahan ini. Pelibatan masyarakat lokal dalam perencanaan dan implementasi
teknologi konservasi dapat ditingkatkan melalui program pelatihan dan pendidikan.
Insentif ekonomi, seperti program insentif pajak atau bantuan finansial, dapat mendorong
pemilik tanah untuk menerapkan teknologi konservasi. Penguatan kelembagaan, melalui
pembentukan peraturan yang mendukung dan partisipasi aktif pemerintah daerah, akan
membentuk landasan yang kuat untuk pengelolaan berkelanjutan dan pencegahan banjir
di Kabupaten Malang.

No. Kasus Solusi Rekomendasi Teknologi KTA Rekomendasi


Vegetatif Mekanis/ Penyelesaian Sosial,
Sipil Teknis Ekonomi,
Kelembagaannya
1. Degradasi Lahan Mengurangi Pemberian Terracing, Diberikannya program
akibat Produksi penggunaan tanaman penutup Penggunaan edukasi dan kelibatan
Biomassa untuk pupuk dan tanah, dan teknik contur komunitas lokal (para
Pembangunan pestisida kimia agroforestri plowing, dan petani), Pembentukan
Pertanian dan beralih pada Penggunaan kelompok Petani
Berkelanjutan pupuk organik teknologi sensor ataupun koperasi
dan introduksi untuk sebagai media
terkait teknologi pemantauan pertukaran
konsevasi lahan secara langsung pengetahuan dan
sesuai dengan pengalaman antar
sosial-budaya petani
petani di wilayah
tersebut
2. Degradasi Lahan Dilakukannya Rehabilitasi Terracing, Pelibatan komunitas
pada Kawasan perencanaan vegetasi alami Penggunaan lokal dalam
Cagar Alam tata ruang seperti Check dams, dan perencanaan dan
Pegunungan kembali, penanaman sistem irigasi implementasi praktik
Muria yang Melakukan tanaman penutup yang efisien konservasi dapat
menyebabkan rehabilitasi lahan tanah meningkatkan
Terganggunya dan juga kesadaran akan

16
Habitat Fauna di reboisasi, serta pentingnya menjaga
daerah tersebut mengembangkan keberlanjutan habitat
koridor hijau satwa, Pemberian
untuk insentif ekonomi, seperti
menghubungkan subsidi atau
berbagai habitat pengembangan pasar
satwa yang produk berkelanjutan,
memungkinkan dapat mendorong petani
satwa berpindah untuk beralih ke praktik
dari satu area ke konservasi, serta
area yang pembentukan peraturan
lainnya tanpa dan lembaga
terhalang lahan pemantauan
perkebunan
3. Degradasi Lahan Dilakukannya Pemberian Terracing, Perencanaan
akibat konservasi hutan tanaman penutup Pembangunan implementasi praktik
Penebangan dan vegetasi tanah untuk Infrastruktur konservasi oleh
Hutan di dengan mencegah erosi Pengendali air masyarakat untuk
Kawasan Cagar memulihkan dan untuk meningkatkan
Alam tutupan vegetasi meningkatkan meminimalisir kesadaran, pemberian
Pegunungan alami, retensi air banjir bandang program subsidi, serta
Cyclops Perencanaan pembentukan peraturan
tata ruang dan lembaga
dengan pemantauan.
menetapkan
zona-zona kritis,
Menerapkan
teknik-teknik
konservasi tanah
serta penyuluhan
kepada warga
lokal yang tinggal
di daerah hulu
sesuai dengan
sosial-budaya
mereka
4. Degradasi Lahan Dilakukannya Pemberian Terracing, Adanya program
yang disebabkan konservasi hutan tanaman penutup Penggunaan penyuluhan dan
karena dan vegetasi tanah untuk Check dams, dan pelatihan oleh warga
Pemanfaatan dengan mencegah erosi sistem irigasi setempat, pembentukan
Lahan Hutan memulihkan dan yang efisien peraturan dan lembaga
menjadi Area tutupan vegetasi meningkatkan pemantauan, serta
Industri alami, retensi air membuat kerangka
Perkebunan dan Perencanaan kerja yang mendukung
Pemukiman tata ruang implementasi KTA
Warga di sekitar dengan secara berkelanjutan
Area Perbukitan menetapkan
Sehingga zona-zona kritis,
menyebabkan Menerapkan
disfungsional teknik-teknik
DAS. konservasi tanah

17
serta penyuluhan
kepada warga
lokal yang tinggal
di daerah hulu
5. Degradasi Lahan Dilakukannya Pemberian Pembangunan Adanya program
yang disebabkan konservasi hutan tanaman penutup sistem drainase penyuluhan dan
karena alih dan vegetasi tanah untuk yang efisien, pelatihan oleh warga
fungsi lahan dengan meningkatkan Pembuatan setempat, pembentukan
menjadi daerah memulihkan daya serap air daerah resapan peraturan dan lembaga
perumahan tutupan vegetasi dan mengurangi air untuk pemantauan, serta
penduduk yang alami, aliran permukaan mengendalikan peran pemerintah
menyebabkan Perencanaan air hujan daerah untuk
banjir tata ruang pengelolaan
dengan berkelanjutan
menetapkan pencegahan banjir di
zona-zona kritis. Kabupaten Malang

18
BAB IV
STRATEGI MANAGEMEN KAWASAN PEGUNUNGAN/PERBUKITAN

Lahan yang berada di kawasan pegunungan memiliki besar sebagai area


pertanian yang produktif, dimana telah menjadi tempat tinggal jutaan petani selama
berabad-abad. Para petani ini telah menggarap lahan pegunungan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari dan mendukung ekonomi keluarga dengan menanam berbagai
jenis tanaman, terutama hortikultura, perkebunan, dan tanaman pangan. Sayangnya,
dalam beberapa waktu terakhir, sering terjadi longsor di kawasan pegunungan yang
menyebabkan kerugian jiwa dan harta benda. Erosi juga sering terjadi, menyebabkan
degradasi lahan, pendangkalan sungai, dan gangguan pada sistem hidrologi Daerah
Aliran Sungai (DAS), yang berkontribusi terhadap banjir dan kekeringan di bagian hilir.
Fenomena ini disebabkan oleh pemanfaatan kawasan melebihi kapasitas daya dukung
lahan dan tanpa memperhatikan aspek keberlanjutannya.

Gambar 5. Erosi yang menyebabkan Tanah Longsor

Kawasan pegunungan yang merupakan bagian hulu DAS memiliki peran penting
dalam hidrologis, yaitu sebagai penyangga tata air di daerah hilir. Oleh karena itu,
pengelolaan yang bijak di daerah hulu memiliki dampak positif terhadap keberlanjutan
sumber daya lahan dan lingkungan di hilir. Penerapan konsep Pertanian yang Baik (Good
Agricultural Practices) di kawasan pegunungan memiliki peranan penting dalam
memberdayakan ekonomi masyarakat setempat, menjaga keasrian pedesaan,
menciptakan lapangan kerja, dan melestarikan lingkungan melalui fungsi penahan air
hujan, pengendalian erosi, daur ulang sampah organik, dan produksi oksigen yang
esensial bagi kehidupan. Meskipun pertanian di lahan pegunungan kerap dianggap
sebagai penyebab erosi dan longsor karena praktik pengelolaan yang tidak sesuai,
langkah-langkah manajemen yang optimal diperlukan untuk memastikan bahwa lahan
pegunungan memberikan manfaat ekonomi dan lingkungan yang maksimal bagi
masyarakat luas. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah melakukan
berbagai penelitian terkait teknologi budidaya di lahan pegunungan, namun masih perlu
upaya untuk memperkenalkan dan mengadopsi hasil penelitian ini oleh masyarakat. Oleh
karena itu, strategi manajemen yang efektif dan tepat perlu diterapkan dalam pengelolaan
kawasan pegunungan atau perbukitan.
Menurut Setiawan (2018), upaya perbaikan lahan harus diinisiasi oleh pemerintah
daerah dan melibatkan petani sebagai pemilik lahan. Keterlibatan petani secara langsung

19
diharapkan dapat memberikan pengalaman dan pemahaman yang lebih mendalam
tentang pentingnya menjaga dan memelihara lingkungan. Hal ini bertujuan untuk
menghentikan atau setidaknya memperlambat proses degradasi lahan. Amalia (2017)
juga menekankan bahwa strategi manajemen yang efektif harus mencakup tahap
perencanaan (planning) yang matang. Perencanaan ini melibatkan pemikiran tentang
penggunaan sumber daya yang dimiliki dan menetapkan tujuan yang akan dicapai.
Perencanaan menjadi langkah penting karena tanpa adanya perencanaan, fungsi-fungsi
manajemen lainnya sulit untuk berjalan. Selanjutnya, tahap pengorganisasian (organizing)
diperlukan untuk memecah kegiatan besar menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih terinci.
Pengorganisasian mencakup penentuan aspek yang perlu diperbaiki, pihak yang terlibat,
dan strategi pelaksanaannya. Tahap terakhir adalah directing atau pengarahan, di mana
upaya dilakukan agar semua pihak terlibat dapat bersama-sama mengendalikan
kerusakan yang terjadi, sekaligus berkontribusi dalam pelestarian dan perlindungan
sumber daya pertanian yang masih tersisa.

Gambar 6. Penyuluhan atau Pengarahan kepada Warga lokal

Dalam menghadapi degradasi lahan akibat pembangunan pertanian berkelanjutan


diperlukan strategi manajemen kawasan pegunungan yang terintegrasi dan berkelanjutan.
Pendekatan ini mencakup penerapan teknik pertanian konservasi, seperti pengolahan
tanah minimal dan rotasi tanaman, serta adopsi metode agroforestri untuk memperkuat
struktur tanah dan meningkatkan produktivitas. Rehabilitasi lahan terdegradasi dilakukan
melalui penanaman tanaman penutup tanah dan tumbuhan keras guna memperbaiki
struktur tanah serta mengurangi erosi. Pengelolaan air yang efisien, termasuk penerapan
teknologi irigasi hemat air, juga menjadi fokus strategi untuk memenuhi kebutuhan
pertanian tanpa mengorbankan keseimbangan lingkungan.
Dalam menghadapi kompleksitas degradasi lahan di kawasan pegunungan atau
perbukitan, yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti pembangunan pertanian
berkelanjutan, perkebunan, alih fungsi lahan menjadi lahan warga, dan perumahan
penduduk yang dapat menyebabkan banjir bandang serta disfungsional Daerah Aliran
Sungai (DAS), diperlukan suatu pendekatan manajemen kawasan. Strategi perencanaan
terpadu menjadi landasan utama, dengan mempertimbangkan dampak dari aktivitas-
aktivitas tersebut terhadap ekosistem. Penerapan teknologi konservasi tanah dan air,
termasuk sistem irigasi hemat air dan penanaman tanaman penutup tanah, menjadi
strategi praktis untuk memitigasi erosi dan menjaga keseimbangan tanah. Selain itu,
perlindungan habitat satwa melalui zonasi dan kebijakan perlindungan menjadi aspek
penting dalam manajemen kawasan ini. Penguatan pertanian berkelanjutan juga menjadi

20
fokus, dengan insentif ekonomi untuk mendorong praktik ramah lingkungan. Keterlibatan
aktif masyarakat lokal melalui partisipasi dalam pengambilan keputusan dan program
edukasi lingkungan diharapkan dapat meningkatkan kesadaran tentang dampak alih
fungsi lahan. Penguatan kelembagaan dan implementasi peraturan yang ketat menjadi
langkah esensial untuk memastikan efektivitas strategi manajemen kawasan pegunungan
yang berkelanjutan.

21
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis terhadap isu-isu yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa degradasi lahan merupakan hasil dari berbagai faktor. Di kawasan pegunungan
atau perbukitan, faktor utama yang menyebabkan degradasi adalah erosi tanah oleh air,
yang mengakibatkan erosi lapisan atas tanah yang kaya akan bahan organik,
menyebabkan penurunan kesuburan tanah. Upaya konservasi tanah diperlukan untuk
mempertahankan atau meningkatkan produktivitas lahan, termasuk pembangunan
bangunan teknik sipil dan tanaman vegetatif, guna mencegah kerusakan tanah dan
penurunan daya guna lahan.

5.2 Saran
Dalam penanganan isu degradasi lahan, diperlukan manajemen sumber daya
lahan yang tepat, melibatkan berbagai pihak terkait agar pelaksanaannya dapat berjalan
dengan efisien. Oleh karena itu, saran yang diberikan mencakup harapan agar
masyarakat, pemerintah, dan stakeholder terlibat selalu memperhatikan kelestarian
lingkungan saat melaksanakan proyek. Pemerintah juga diharapkan lebih tegas dalam
memberikan konsekuensi kepada pelaku yang melanggar peraturan demi menjaga
keberlanjutan lingkungan.

22
DAFTAR PUSTAKA

Arif, A. (2015). Pengaruh bahan kimia terhadap penggunaan pestisida lingkungan. Jurnal
Farmasi UIN Alauddin Makassar, 3(4), 134-143.
Astra, I. M., Purwanto, A., & Nadiro, N. (2021). Dampak Penebangan Hutan Terhadap
Bencana Banjir Di Kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop. Community
Development Journal: Jurnal Pengabdian Masyarakat, 2(2), 446-452.
Baswarsiati, B., & Tafakresnanto, C. (2019). Kajian penerapan good agricultural
practices (GAP) bawang merah di Nganjuk Dan Probolinggo. Agrika, 13(2), 147–
161.
Hendy, H dan Zed, N. 2015. Pemetaan Parameter Lahan Kritis Guna Mendukung
Rehabilitasi Hutan dan Lahan untuk Kelestarian Lingkungan dan Ketahanan
Pangan dengan Menggunakan Pendekatan Spasial Temporal di Kawasan Muria,
makalah Seminar Nasional di Universitas Wahid Hasyim, Semarang
Darmawan, K., Hani'ah, & Suprayogi, A. 2017. Analisis Tingkat Kerawanan Banjir Di
Kabupaten Sampang Menggunakan Metode Overlay Dengan Scoring
Berbasis Seitem Informasi Geografis. Jurnal Hutan Lestari. 3(2), 217-226.
Lukito, M., & Rohmatiah, A. (2013). Estimasi biomassa dan karbon tanaman jati umur 5
tahun (kasus kawasan hutan tanaman Jati Unggul Nusantara (JUN) Desa Krowe,
Kecamatan Lembeyan Kabupaten Magetan). Agritek, 14(1), 1–23.
Oktavia. Yanto, Muhammad. 2018. Erosi Sungai Menjadi Kendala Penanganan Jalan
Longsor
Lumbir [online]. https://radarbanyumas.co.id/erosi-sungai-menjadi-kendalapenanganan
jalan-longsor-lumbir/. Diakses pada 28 Agustus 2019
Prasetyo, H., Kusuma, Z., & Yuniawati, E. D. 2023. Persepsi Stakeholder Hasil Pengujian
Sifat Biologi Tanah Produksi Biomassa untuk Pembangunan Pertanian
Berkelanjutan di Kabupaten Probolinggo. Jurnal Folium. 7(1), 46-60.
Rayhani, R. N., & Rahmadi, A. (2017). Konservasi tanah dan air pada tanah terdegredasi
di lahan Kampus II UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Digilib.
Roni, G.K. 2015. Bahan Ajar Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Fakultas Peternakan,
Universitas Udayana.
Rusdi, Rusli, A., dan Karim, A., 2013. Degradasi Lahan Akibat Erosi Pada Areal Pertanian
diKecamatan Lembah Seulawah Kabupaten Aceh Besar.
Sridjojo, H. H. H. (2017, October). Rehabilitasi Lahan Kritis pada Kawasan Pegunungan
Muria dengan Pendekatan Teknologi Agroforestri Berbasis Masyarakat. In
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN ENTREPRENEURSHIP IV TAHUN 2017.
Subagyono, Kasdi, Umi Haryati, dan Sidik Hadi Tala’ohu. 2008. Teknologi Konservasi Air
pada Pertanian Lahan Kering [online].
http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/dokumentasi/buku/lahankering/berlere
ng7.pdf. Diakses pada 18 Februari 2024
Sutrisno, N., & Heryani, N. 2013. Teknologi Konservasi Tanah dan Air untuk Mencegah
Degradasi Lahan Pertanian Berlereng.
Talakua, S.M. dan R.M. Osok. 2017. Pengembangan Model Penilaian Degradasi Lahan
Berdasarkan Pendekatan Field Assessment. Ambon: Pattimura University Press.
ISBN: 978-602-50112-2-1.
Wahyudi, W. (2014). Teknik Konservasi Tanah serta Implementasinya pada Lahan
Terdegradasi dalam Kawasan Hutan. Jurnal Sains & Teknologi Lingkungan, 6(2),
71-85.

23
Wahyunto, W., & Dariah, A. (2014). Degradasi Lahan di Indonesia: Kondisi Existing,
Karakteristik, dan Penyeragaman Definisi Mendukung Gerakan Menuju Satu
Peta.
Yulian, J., & Maulani, A. 2019. Kemiskinan akibat degradasi lahan di Indonesia (Poverty
resulting from land degradation in Indonesia). Agroteknology.

24

Anda mungkin juga menyukai