Anda di halaman 1dari 13

Seorang anak kecil perempuan berambut cokelat bergelombang tengah bermain sendirian di taman

dekat rumahnya, sedari tadi ia hanya melempar batu-batuan kecil lalu kembali terduduk di atas
tanah.

Wajahnya terlihat muram, hingga sore tiba, ia tak kunjung beranjak dari taman tersebut.

Hari semakin larut, sang Mentari sebentar lagi akan tenggelam Kembali ke tempatnya, tak ada lagi
orang yang berlalu Lalang, semua sibuk dengan waktu istirahat mereka di rumah masing-masing.

Namun, gadis kecil ini masih setia duduk di taman yang sepi dengan langit yang kian menggelap, tak
lama kemudian terlihat mobil sedan berwarna biru tua dari arah kejauhan.

Tak disangka, gadis kecil ini langsung lari sekencang mungkin demi menyambut kedatangan sedan
tua berwarna biru itu, ia bahkan sudah berdiri di samping sedan itu sebelum pintunya terbuka.

Sesaat kemudian pintu mobil terbuka dan seorang anak laki-laki berambut hitam terlihat dari dalam.
Namun, belum sempat ia berdiri dengan tegap, tubuhnya langsung ditubruk kuat oleh sang gadis
cilik, membuatnya terhuyung Kembali duduk.

Sang anak laki-laki ini hanya tersenyum lembut lalu mengusap-usap pelan bahu sang gadis yang
mulai bergetar karena menangis.

Sedangkan gadis cilik itu masih terus memeluk erat-erat tubuh anak laki-laki di hadapannya ini
seakan memberi tahu dunia bahwa anak lelaki yang sedang dipeluknya ini adalah miliknya
sepenuhnya.

“Kau bohong, Kau bilang bahwa tak akan pernah meninggalkanku, tetapi kemarin kau pergi
meninggalkanku” Gadis kecil itu berkata sesenggukan dengan mata sembab dan wajah yang masih
memerah menahan tangis.

“Umm, maafkan aku” Sang lelaki hanya bergumam meminta maaf, karena ia tak tahu apalagi yang
harus dia ucapkan kepada gadis di hadapannya ini.

“Berjanjilah padaku bahwa kau tak akan pernah meninggalkanku lagi” Ucap si gadis kecil ini dengan
menyodorkan kelingking kecilnya.

“Ya, aku berjanji” Balas si anak lelaki dengan menautkan kelingking kecil mereka membentuk simpul
yang kuat.

Melihat itu, gadis kecil tadi berhenti menangis, dia lantas tersenyum Bahagia lalu mengecup pelan
pipi anak lelaki di hadapannya sebelum berlari memasuki rumahnya yang bersebelahan dengan
rumah si lelaki.

Sepele memang, hanya sebuah janji kecil yang sederhana di kelingking, namun sebenarnya itu
semua tak bisa dianggap remeh dengan berlalu begitu saja.

Tentu saja semua janji akan ada konsekuensinya, tak bisa dipungkiri bahwa janji yang satu ini lebih
sakral dari janji-janji yang lain bahkan dari janji-janji tertulisnya orang dewasa.

Seorang gadis cilik berambut cokelat bergelombang dengan bando kelinci berwarna pink yang
menghias di atas kepalanya berjalan perlahan memasuki Gedung bercat abu-abu yang tampak
sederhana jika dilihat dari luar namun megah dan nyaman di dalamnya. Itu merupakan tempatnya
bersekolah sejak Preschool hingga saat ini, Elementary school.

Ia berjalan santai dengan sesekali bersenandung riang dan menyapa orang-orang yang ia temui
sepanjang jalan.

Menebar senyum kepada dunia seakan tak pernah ada beban yang menghinggapinya seberat itu
untuk usianya yang masih terlalu dini, bahkan bagi orang dewasa saja mungkin itu masih terasa
menyakitkan apalagi bagi seorang gadis kecil yang masih lugu sepertinya.

Namun, semua itu berhasil ia tutupi dengan sebaik mungkin, entah karena ia belum sepenuhnya
mengerti tentang keadaan yang mengalaminya atau memang ia yang mampu menyembunyikan
semua beban itu.

Mendudukan dirinya di salah satu kursi paling pojok ruangan, ia lalu mengeluarkan sarapannya dan
memakannya perlahan dengan tenang, sebelum kedatangan gadis kecil berambut coklat Panjang
yang langsung menduduki kursi disamping gadis pirang tadi dengan keras membuat Helliothope-
nama gadis kecil berambut cokelat tadi- menjengit sedikit.

“Hey, pelan-pelan bisa kan? Sandwich ku hampir jatuh tadi” Gadis cokelat bernama Heliothrope itu
memberengut kesal

“Ups, maaf. Aku tak bermaksud, hanya terlalu bersemangat untuk menyambut hari, bukan begitu
Hels?” Ucap gadis berambut hitam tadi tanpa rasa bersalah sama sekali

Mengabaikannya, gadis cokelat ini Kembali menyelesaikan sarapannya yang tertunda

“Hels astaga.. Aku sedang berbicara denganmu lho” Gadis berambut hitam di sampingnya mencebik
kesal karena merasa diacuhkan

“Ada apa sih Zou?” Ucap gadis cokelat ini setelah menuntaskan sarapannya

“Sudah, tak jadi”

Mengedikan bahu acuh, Helley lalu mengeluarkan alat alat tulisnya dan mulai menggambar-gambar
sederhana di buku tulisnya sambil menunggu bel masuk.

∞∞∞∞∞

Bel masuk berbunyi, semua murid sudah bersiap-siap untuk duduk dengan rapi dan tenang,
menunggu kedatangan guru ke kelas mereka. Karena disini, semua guru akan diacak setiap harinya
supaya dapat saling mengenal tiap murid dan mengetahui suasana tiap kelas.

Mungkin mereka memang masih kecil. Namun, semua itu sudah dibiasakan sejak mereka pertama
kali masuk. Agar nanti tidak terlalu kaget saat memasuki sekolah sungguhan yang ternyata sangat
berbeda dengan masa-masa bersekolah di Preschool. Jadilah mereka sudah terbentuk hingga saat ini
seperti yang diterapkan sejak Preschool dulu.

Tak lama, pintu berbahan alumunium itu terbuka perlahan, dan masuklah seorang wanita paruh
baya berambut pirang tua dengan pembawaannya yang tegas

Sontak, seisi kelas menjadi hening, hanya terdengar pekikan tertahan dari beberapa murid dan
helaan nafas kecewa begitu mengetahui bahwa guru yang mengajar mereka hari ini bukanlah guru
yang mereka harapkan.

Tak ada yang berani berbicara hingga wanita tadi telah duduk sempurna di tempatnya

“GOOD MORNING TEACHER”


Seisi kelas kompak mengucapkan salam pembukaan bagi guru mereka

“Good morning student” Sang guru menjawab dengan nada datarnya yang merupakan khas dari
guru tersebut

“Baik, bisa kita mulai pelajaran hari ini. Kemarin sudah ditugaskan oleh Ms. Zavharina untuk
membuat teks biodata kalian masing-masing, benar?”

Tanyanya tanpa repot-repot mengalihkan tatapannya kepada murid-murid

Seisi kelas masih hening, entah karena apa mereka belum juga ada yang bersuara menanggapi
pertanyaan sang guru hingga Mrs. Puvilioph -guru yang sedang mengajar mereka hari itu-
mengulang Kembali pertanyaannya dengan suara yang lebih tinggi

Akhirnya ada seorang gadis kecil yang takut takut mengangkat tangan mungilnya ke udara,
menyadari tatapan tajam sang guru, ia akhirnya urung. Namun, terlambat ekor mata sang guru
sudah terlanjur menangkap pergerakan tangan si anak. Ia lantas bertanya datar cenderung acuh

“Ada apa?” Tatapannya sudah teralihkan Kembali ke laptop hitam di depannya

“Umm, saya.. eh, ingin menyerahkan tugas saya Madam..” Ucap gadis itu takut-takut dengan suara
yang pelan tak yakin

Sang guru hanya menaikan satu alisnya, seakan mengerti gadis cilik tadi lantas Kembali mengulangi
perkataannya dengan lebih jelas. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa masih ada nada keraguan yang
jelas terselip di suara imutnya.

“Sini, coba berikan tugasmu” Guru tersebut mengulurkan tangan untuk meminta tugas si gadis cilik
itu

Ia lalu menyerahkan tugasnya dengan pelan-pelan sedikit ragu membuat guru itu berdecak kesal,
Tak sabar sang guru lantas menarik paksa buku gadis itu dengan agak kasar membuat sang gadis
sedikit terhuyung ke belakang, untung saja di belakangnya ada meja murid yang mampu menahan
tubuh gadis cilik itu.

Guru itu lalu membacanya sekilas sebelum Kembali memanggil sang gadis yang bahkan baru saja
mendudukan dirinya Kembali di tempatnya.

“Helliothrope Aislinn Lawliet” Sang guru memanggil Kembali gadis tadi

“Berdiri, Maju kedepan dan bacakan biodata mu di depan teman-teman” Perintahnya lagi

Helley pun bangkit dari duduknya setelah menoleh ke kanan kiri berniat ingin meminta bantuan,
sedangkan teman-temannya hanya meringis dan memberikannya tatapan iba

“Bacakan dengan jelas!” Titah sang guru saat ia telah sempurna berdiri di depan

Ia mulai membacakan biodatanya satu persatu sesuai urutan yang sudah ia tulis, hingga sampai di
sebuah kolom yang ia tak mampu untuk mengucapkannya. Matanya mulai berair dan satu tetes air
mata bebas meluncur jatuh ke pipi mulusnya tanpa bisa ia tahan.

Cukup lama ia terdiam untuk mengontrol Kembali perasaannya, bagaimanapun ia tak pernah
dibenarkan untuk menangis, sendirian saja tak boleh apalagi di depan orang. Setidaknya itulah yang
diajarkan orang yang telah mengasuhnya selama ini.

“Nama orangtua= A-aku tidak tahu”

Ucapnya tak yakin dan dengan cepat mengalihkan pada kolom berikutnya berharap bahwa sang guru
tidak menyadari ada sesuatu yang ia sembunyikan.
Namun sayang, telinga gurunya terlanjur menangkap ada sesuatu yang salah, yang tidak biasa

“Bisa kau ulangi bagian tadi?” Guru tersebut akhirnya membuka suaranya setelah geram saat
menyadari bahwa Helley masih saja terus melanjutkan kolom-kolom selanjutnya dan bersikap
seakan-akan semuanya berjalan dengan semestinya.

Helley hanya menggigit bibir bawahnya gugup sambal berusaha mengontrol air matanya, kala
mengetahui bahwa gurunya menyadari seuatu itu

Ia lantas menoleh dan memasang wajah berpura-pura tidak mengerti maksud sang guru, sedangkan
teman-temannya sudah menatapnya was-was seakan tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Dan benar, tepat seperti yang sudah di perkiraan, guru tersebut lantas bangkit dari duduknya dan
berjalan dengan perlahan mendekati Halley yang masih terdiam membeku dengan bola mata yang
bergerak-gerak gelisah.

Ia lalu mengulangi sekali lagi perintahnya dengan nada yang lebih tinggi disertai tatapan tajam yang
menusuk

“Ulangi bagian tadi!”

“Umm, bagian mana madam?” Dengan bodohnya ia justru bertanya yang sudah pasti jawabannya
adalah amarah dari sang guru

“KAU!!, coba sini kulihat kertasmu” Guru itu membentak dengan nada keras sambal merebut paksa
kertas berukuran Panjang terlipat yang sedang di genggam erat-erat oleh Helley, membuat seisi
kelas terkesiap kaget, pasalnya mereka tak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya bahkan oleh
guru tergalak sesekolah pun alias guru ini, guru yang sedang mengajar mereka.

Namun entah kenapa, sejak awal guru satu ini tampak sangat tak menyukai Helley, Ia langsung
membuang muka begitu melihat wajah imut Helley atau bertemu di Lorong sekolah, dan bahkan tak
pernah menatap wajah gadis kecil itu lebih dari 5 detik. Entah apa yang terjadi.

“BAGAIMANA BISA KAU TAK MENGETAHUI SIAPA ORANGTUAMU SENDIRI?!” LANTAS SIAPA YANG
MEMBUATMU LAHIR KE DUNIA INI SIAPA?!”

Tangan sang guru refleks terangkat hendak menampar wajah imut Helley yang sudah dipenuhi air
mata sejak awal ia dimarahi sebelum sebuah suara anak laki-laki kecil terdengar

“Madamm…!!”

“Bukankah telah diajarkan kepada kami untuk tidak berbuat kekerasan, tetapi kenapa Madam
sendiri yang melakukannya, padahal Helley sama sekali tak bersalah, dia baik lho Madam” Ucap anak
laki-laki kecil itu dengan lancarnya seakan tak mengetahui bahwa imbasnya jug akan sangat besar
bagi guru tersebut

Sang guru seperti tersentak, lalu kemudian dengan perlahan ia menurunkan tangannya yang sudah
siap untuk menampar tadi

Seisi kelas sudah bersiap bahwa akan ada kemarahan lagi mengingat perbuatan guru itu digagalkan
oleh seorang anak laki-laki tadi

Namun, mereka semua salah besar, lelehan air mata justru terlihat terjun dari mata sang guru
sebelum ia berlari secepat kilat keluar dari kelas menyisakan anak-anak murid yang masih diam
membeku terlalu sulit menerima fakta bahwa yang mereka dapatkan bukanlah kemarahan
melainkan tangisan dan kepergian sang guru.
Anak lelaki kecil tadi sudah Kembali ke tempat duduknya setelah mengusap bahu Helley lembut yang
tentunya dibalas oleh Helley sebuah pelukan dan senyuman terimakasih walau mulut kecilnya belum
dapat mengucapkan kalimat ‘Terima Kasih’ karena masih terlalu berat baginya Kembali sadar setelah
kejadian yang hampir menimpanya barusan.

∞∞∞∞∞∞∞∞

Seorang anak laki-laki keluar dari kelasnya dengan terburu-buru, kekhawatiran tergambar jelas di
setiap inci wajahnya. Ia berlari secepat mungkin menerobos kerumunan murid-murid yang sedang
bersantai di pinggir koridor sekolah.

Waktu istirahat tersisa lima belas menit lagi, ia harus bisa menerobos lalu Lalang siswa-siswa yang
sudah memadati setiap akses jalan di sekolahnya.

Ia memang terlambat, tidak seharusnya keluar dari kelas saat sudah berlalu setengah jam dari awal
waktu istirahat, kalau sudah begini jangan berharap banyak untuk dapat melewati para siswa
dengan cepat.

Itu semua karena tugas matematika sialan yang baru diberikan gurunya lima menit sebelum bel
istirahat berbunyi. Untung saja, ia termasuk murid yang cukup pandai sehingga dapat menyelesaikan
enam puluh soal yang diberikan hanya dalam waktu kurang dari tiga puluh menit.

Ia terus melangkah secepat yang ia bisa, sesekali menabrak siswa-siswa yang berlawanan arah
dengannya. Masa bodo, yang ada dipikirannya saat ini adalah, kemana Helley? Apa dia baik-baik
saja?

Tidak biasanya gadis kecil berambut cokelat itu tidak menghampiri dan menunggu di depan kelasnya
setiap istirahat, mengingat kelasnya merupakan salah satu kelas favorit yang paling sering terlambat
saat istirahat atau pulang sekolah.

Setelah melalui beberapa Lorong Panjang dengan jarak yang lumayan jauh, ia sampai di depan
sebuah kelas yang dicari-carinya sejak tadi. Anehnya, pintu kelas itu tertutup, juga tidak ada suara
dari dalam kelas, hanya beberapa sayup-sayup sunyi yang mampu tertangkap indra pendengarannya
dari balik pintu aluminium itu.

Keningnya mengerut heran, sebenarnya ada apa sih? Biasanya kelas Helley merupakan salah satu
kelas yang nyaris tak pernah sepi kapanpun ia datang. Bahkan pagi ahri pun kelas ini sudah cukup
ramai layaknya pasar yang sedang diserbu para ibu-ibu pencari harga termurah.

Tangannya terulur untuk mengetuk pintu tersebut, biasanya ia akan langsung masuk tanpa berbasa-
basi terlebih dahulu. Namun, melihat keadaan yang cukup aneh hari ini, membuatnya harus urung
diri untuk bersikap sebagaimana biasanya.

Sesaat kemudian, pintu terbuka perlahan, terlihat seorang anak perempuan kecil berkulit tan
dengan rambut bergelombang tersenyum ke arahnya. Ia menebak pernah melihat gadis kecil ini.
Tentu pernah, beberapa kali ia kesini, mungkin ia sering melihat gadis ini tanpa ia sadari.

Ia berdehem pelan menatap gadis kecil di hadapannya ini yang sudah memasang tatapan bertanya
kepadanya

“Bisa kau panggilkan Helley? Aku ingin bertemu dengannya” Ia bertanya dengan nada tak yakin,
pasalnya, biasanya jika ia sudah berdiri di depan pintu kelasnya, Helley akan langsung berlari keluar
dari dalam dan memeluknya erat. Namun kali ini, matanya bahkan tak berhasil menangkap
keberadaan sosok gadis kecil periang itu.

Tak sesuai dugaan, gadis kecil dihadapannya itu justru menggelengkan kepalanya pelan
“Helley sedang tak ingin ditemui oleh siapapun hari ini. Ia bilang, ia sedang ingin sendiri”

Keningnya berkerut dalam dengan ekspresi wajahnya yang tidak bisa dibilang normal, tangannya
refleks tergerak untuk menahan pintu di depannya sebelum Kembali tertutup sempurna.

“Hei, Tunggu sebentar. Katakan pada helley bahwa yang ingin menemuinya kali ini adalah aku,
kujamin ia tak akan menolak”

Namun, terlambat pintu sudah tertutup. Dan kemungkinan besar perkataannya tadi tak diindahkan
oleh gadis cilik itu.

Ia masih setia menunggu di depan kelas itu hingga tersisa lima menit lagi dari waktu istirahat,
bahkan ia belum sempat menyantap bekal yang dibuatkan ibunya. Hatinya masih berharap bahwa
gadis kecil pirang itu mau menemuinya, dan memastikan bahwa ia baik-baik saja.

Terkesan berlebihan memang terlebih di usia mereka yang masih cukup belia, namun apa boleh buat
kekhawatirannya terhadap Helley melebihi apapun, karena ia selalu menganggap bahwa Helley
adalah adik kecil perempuannya yang harus ia jaga dan segala hal yang berkaitan dengannya adalah
tanggung jawabnya.

Ia sungguh mencintai gadis itu seperti ia mencintai ibunya, dia gadis kecil periang yang lucu dan
mampu menghibur setiap orang dengan tingkah polosnya. Sekali lagi, karena dia sudah merasa
bahwa ia adalah satu-satunya kakak laki-laki bagi Helley.

Waktu istirahat tinggal tersisa dua menit, tak ada lagi waktu yang tersisa baginya untuk menunggu
kehadiran Helley, mau tak mau ia harus berlari Kembali menuju kelasnya yang terletak cukup jauh
dengan haru melewati beberapa Lorong Panjang, yang kini sudah terlihat lengang.

Tentu semua murid sudah berada did alam kelasnya masing-masing, jika mereka tak ingin
mendapatkan hukuman hanya karena terlambat Kembali ke kelas saat jam istirahat berakhir.

Mungkin gadis cilik tadi benar, Helley sedang sama sekali tak ingin bertemu siapapun sekarang ini,
aneh memang, mengingat bahwa selama ini gadis itu tak pernah sampai separah ini.

Apapun yang terjadi, justru ia akan langsung berlari menghampirinya dan memeluknya seerat
mungkin sebelum menceritakan semua masalah yang mengganggunya.

Tapi sepertinya kali ini, apa yang terjadi kali ini sangatlah fatal sampai sampai membuatnya menutup
diri dari orang-orang, bahkan dirinya.

Dengan perasaan yang masih was-was ia menghembuskan nafas kasar sembari merapal doa dalam
hati supaya guru matematikanya belum memasuki kelas yang mana itu artinya ia dapat selamat dari
ancaman membersihkan beberapa sudut sekolah seperti taman, lapangan dan kamar mandi.

Ia bahkan bergidik sendiri kala membayangkan betapa lelahnya membersihkan itu semua sendirian
dengan penjaga sekolah berwajah galak yang mengawasinya begitu ketat.

Seperti kejadian dua tahun yang lalu, saat ia dan Helley berbincang di taman dekat air mancur
belakang sekolah selama waktu istirahat sambil menikmati kue bolu yang dibuatkan oleh ibunya.
Mereka terus berbincang hingga lupa waktu dan baru tersadar saat sudah terlambat sepuluh menit.

Sialnya lagi, mereka harus tertangkap basah saat sedang bersembunyi di balik lemari Gedung
penyimpanan alat-alat olahraga itu saat seorang guru olahraga memasuki Gudang itu untuk
mengambil beberapa bola Volly yang akan digunakan untuk keperluan Latihan siswa-siswanya.
Dan berakhir dengan ia dan Helley yang membersihkan beberapa bagian sekolah secara terpisah,
mereka baru diperbolehkan pulang sore hari, saat semuanya sudah selesai diperiksa oleh penjaga
sekolah dengan hasil yang memuaskan.

Menghela nafas lega, saat dirinya sudah berhasil mendudukan diri dengan santai di atas bangkunya
dengan kursi guru yang masih kosong, itu tandanya ia tak akan terkena hukuman menyiksa lagi kali
ini hanya karena menunggu kesempatan untuk dapat bertemu Helley.

Mengingat itu ia Kembali bertanya-tanya heran dan semakin yakin bahwa gadis itu tidak sedang
baik-baik saja.

Pintu terbuka dengan sedikit keras, seorang guru berkepala botak dengan perawakan tinggi tegap
memasuki kelas, tak lupa sebuah penggaris besar dan beberapa buah buku yang terselip di
tangannya. Melihat itu, ia sedikit bergidik membayangkan bahwa penggaris besar itu sudah
beberapa kali menyapa kuncup-kuncup jarinya.

Terkadang ia berfikir, kenapa ia bisa berada di sebuah sekolah yang sangat sadis seperti ini, apalagi
dengan semua peraturan dan hukuman yang tertera. Oh sungguh, dan lagi ia harus bertahan disini
hingga lulus dari Senior High School, tentu saja itu semua harus membutuhkan waktu bertahun-
tahun lagi untuknya agar dapat keluar dari sekolah terkutuk ini.

Pernah suatu Ketika, ia mengadukan betapa menyiksanya semua peraturan sekolah ini kepada
ibunya, namun tanggapan ibunya selalu sama, itu adalah sekolah terbaik yang ada di negara kita, ibu
membayarkanmu uang bulanan yang cukup mahal dan Helley juga tentunya.

Mungkin sekarang kau marah-marah tidak suka pada ibu yang telah memilihkanmu sekolah itu,
namun Ketika besar nanti kau akan berterimakasih pada ibu setelah melihat kesuksesan masa
depanmu di depan mata.

Ia mendengus, masa bodo dengan masa depan, siapa peduli. Ia lebih memilih untuk menjadi seorang
pianis dengan bakatnya dalam bermain piano yang cukup membuat beberapa orang berdecak
kagum saat melihat kepiawaiannya menghasilkan alunan-alunan melodi yang menenangkan.

Angin bertiup kencang, menerbangkan daun-daun kering yang berguguran menghiasi jalanan kota
sore itu yang tampak sepi dari aktivitas manusia.

Suasana semakin hening seiring tenggelamnya matahari, ditambah beberapa butir air hujan yang kini
telah turun perlahan membasahi bumi dan juga angin yang bertiup semakin kencang, cukup untuk
membuat seorang gadis kecil berambut cokelat yang sedang duduk sendirian di bangku taman kota
itu mencoba merapatkan jaket tipis yang tak bisa dikatakan menutupi tubuhnya dengan sempurna.

Bibir pucatnya bergetar cepat dengan tangan mungilnya yang berusaha memeluk dirinya sendiri
untuk mengurangi rasa dingin yang ia rasakan. Namun nihil, semua itu seakan sia-sia, udara dingin
mulai merambat ke seluruh tubuhnya seiring dengan air hujan yang turun semakin deras,

Tubuhnya mulai menggigil kedinginan dengan gigi-giginya yang bergemeletuk hebat, tentu saja
tubuh mungilnya itu tak akan sanggup melawan dinginnya angin malam ini ditambah hujan yang
mengguyur deras tubuhnya sukses membuatnya basah kuyup.

Namun dirinya tetap enggan untuk beranjak pergi, mungkin ia masih membutuhkan waktunya
sendiri walau dengan keadaan yang menyiksa seperti ini.

Sungguh, ia tak sanggup untuk Kembali pulang dan bertemu dengan kerabat ayahnya yang bahkan
memperlakukannya melebihi memperlakukan pembantu dan semua itu hanya akan semakin
menghancurkan mentalnya, walau ia tahu bahwa Ketika nanti ia pulang pun akan dihujani berbagai
macam pertanyaan yang terkesan mengintimidasi dengan hasil akhirnya adalah dia harus Kembali
menjalani hukuman kurungan selama sebulan lebih hanya di dalam kamarnya.

Tak boleh keluar sama sekali, itulah hukumannya, bahkan makan pun hanya ia dapatkan jika ada
yang mengantarkannya ke kamar, itupun kalau mereka ingat bahwa masih ada seseorang yang
belum makan dirumah saat itu.

Jika tidak, mereka tak akan merasa bersalah hanya karena gadis itu meninggal mengenaskan karena
kelaparan. Sungguh miris.

Entah bagaimana reaksi orangtuanya diatas sana kala mengetahui anak gadis semata wayangnya
disiksa sedemikian rupa oleh orang terdekat ayahnya sendiri yang katanya sangat ia percayai dengan
baik untuk merawat gadis kecil itu sepeninggal kedua orangtuanya. Mungkin mereka akan ditimpa
beribu penyesalan.

Namun, takdir tetaplah takdir. Tak akan pernah ada yang bisa merubah sedikitpun apa yang telah
tertulis. Dengan begitulah kehidupan berjalan.

Derasnya air hujan dan guntur yang beberapa kali terdengar memekakan telinga mampu untuk
menyamarkan isakan kencangnya dan juga tetesan air mata yang terus berjatuhan membasahi
pipinya.

Terdengar sayup-sayup suara seseorang berteriak memanggil namanya di antara sela-sela suara
hujan yang mulai mereda.

Wajahnya masih tertutupi oleh tangan mungilnya dengan isakan yang semakin mereda sampai tiba-
tiba seseorang merangkulnya dari samping dengan erat.

Ia cukup terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba, namun tak ingin membalikan tubuhnya
sampai orang itu Kembali bersuara

“Helley, Astaga!”

“Sudah kuduga kau akan ada disini, Berapa kali ku bilang untuk jangan menyiksa dirimu sendiri, ada
aku yang akan selalu ada untukmu, Hels” Ucapnya penuh kekhawatiran

Namun Helley masih diam membisu sama sekali tak berniat untuk merespon kata-kata yang
dilontarkan orang yang memeluknya tadi.

“Helley, kau mendengarku?”

Merasa tak mendapat jawaban, seseorang tadi Kembali bersuara dengan sedikit mengguncang-
guncang Pundak Helley yang masih bergetar dan sedikit memaksa Helley untuk menatap wajahnya.

Nihil, sama sekali tak ada reaksi yang diberikan oleh gadis itu, ia masih tetap terdiam dengan sesekali
menahan isakan kecilnya.

“Yasudah, ku antar kau pulang ya?” Ucapnya lembut seraya mencoba untuk membuat Helley
terbangun

Helley tak kunjung menjawab ajakan seseorang yang memeluknya tadi, Namun ia juga tak melawan
saat laki-laki itu menarik tubuhnya untuk bangkit. Ia mulai berjalan mengikuti arahan laki-laki di
hadapannya itu dengan tangan lelaki tersebut yang terus merangkul pundaknya.

“Kau, pasti tak akan mau kalau ku antar pulang ke rumah paman gila mu itu kan? Berarti malam ini
kau tinggal di rumahku saja dulu sampai kau siap untuk Kembali ke pelukan mereka. Ya?”

Lagi-lagi Helley masih terdiam, melirik ke arah lelaki itupun tidak


“Kau tak menjawab, ku anggap itu sebagai persetujuan” Ucap lelaki itu lagi dengan nada final

Sepanjang perjalanan, keheningan tercipta di antara mereka tanpa ada satupun yang mencoba
untuk membuka suara. Hanya suara rintikan hujan yang jatuh menghantam jalanan atau Langkah
kaki mereka yang menimbulkan bunyi-bunyian saat menginjak genangan-genangan yang tercipta
setelah hujan.

Lelaki itu tampak ingin mengucapkan sesuatu namun Kembali ia urungkan saat melihat wajah
sembab gadis di sampingnya dengan jejak air mata yang sudah mulai mengering.

Ia membiarkan sang gadis Kembali menetralkan perasaannya dan mengatur emosinya dengan
ketenangan tanpa ada satupun pertanyaan yang mengganggunya.

Begitulah caranya selama ini kala menghadapi Helley yang sedang larut dalam masalah, kalau ia
sudah siap pun, gadis itu sendiri yang akan bercerita padanya semuanya dari awal tanpa ada satupun
bagian yang terlewat.

Mereka sudah saling mempercayai, bahkan dari usia mereka masih balita. Selalu ada bagi satu sama
lain merupakan janji mereka sejak dulu. Such a beautiful friendship.

Mereka sampai di depan sebuah rumah bergaya klasik yang berukuran tidak terlalu besar namun
tetap terlihat nyaman. Seorang ibu paruh baya langsung berlari tergopoh-gopoh menghampiri
mereka dengan dua buah handuk besar berwarna putih bersih di tangannya.

Sang ibu lantas menghampiri Helley dan membimbingnya masuk ke dalam rumah setelah
melemparkan dengan cepat satu handuk lagi untuk anaknya sendiri. Gigilan Helley perlahan mereda
setelah tubuhnya sempurna terbungkus oleh handuk besar itu.

“Mandilah, lalu setelah itu kamu bisa beristirahat di kamarmu ya?”

Perintah sang ibu dengan lembut, jujur jika diperhatikan seperti ini Helley merasa seperti
mempunyai seorang ibu yang begitu mempedulikan kondisinya.

Lantas ia hanya mengangguk pelan sambal bergumam kecil “Terimakasih”

Sang ibu hanya mengangguk dengan senyuman tulus yang masih terhias di bibirnya, dan
mengawasinya hingga gadis itu benar-benar sudah masuk ke kamar mandi.

Setelah memastikan bahwa Helley sudah memasuki kamar mandi yang telah disiapkannya dengan
satu bak berisi susu hangat, Ibu itu Kembali ke bawah untuk mengecek keadaan putranya yang
sempat ia abaikan tadi.

Matanya mencari ke sekeliling saat tak berhasil menemukan sosok anak lelakinya yang paling kecil
itu. Kini giliran pita suaranya yang bekerja, memanggil anak lelakinya.

“Eckard? Kau dimana, sayang?”

Hening tak ada jawaban, maka sang ibu memutuskan beranjak ke dapur untuk membuatkan dua
gelas susu hangat dan mengambil beberapa camilan untuk anaknya dan juga untuk Helley.

Sang ibu Kembali menuju ruang keluarga rumah mereka dengan nampan berisi dua buah gelas susu
hangat dan camilan-camilan ringan diatasnya.

Sesaat kemudian sang ibu samar-samar mendengar pintu yang terbuka. Anak laki-lakinya keluar dari
sana dengan wajah yang lebih cerah.

“Kau sudah mandi?”


Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban dan berjalan mendekat, kemudian duduk di
sisinya setelah mencium kedua pipi ibunya.

“Minumlah, ibu sudah membuatkan susu hangat untukmu dan juga—Helley, astaga kemana dia?
Belum selesai mandi juga kah?”

“Biarkan bu, mungkin ia sudah berada di kamarnya, kau tahu? Dia sedang butuh waktu sendiri
sampai rela hujan-hujanan tadi di taman” Tangan sang ibu sudah terlebih dulu di tahan oleh Eckard
sebelum ibunya itu mengacaukan masa tenang Helley.

Ia tentu tak ingin selama berada di rumahnya Helley justru merasa tak nyaman akibar perlakuan
ibunya yang bisa dibilah khawatir berlebihan.

Untungnya sang ibu ingin mengerti dengan Kembali mendudukan dirinya di samping anaknya tanpa
berniat menyusul Helley.

“Ya, kau benar. Biarkan ia sendiri” Sang ibu lantas tersenyum dan menatap dengan tatapan yang
sulit diartikan pada anak lelaki kesayangannya tersebut. Sedangkan yang ditatap malah
menampilkan wajah heran

“Kenapa ibu menatapku seperti itu?”

“Kau sangat mengenalnya, sepertinya” Ucap sang ibu masih dengan senyuman misteriusnya

Eckard hanya mengedikkan bahu sebelum ikut tersenyum Bersama ibunya

“Kami tumbuh Bersama sejak 9 tahun lalu bu, kalau kau lupa”

Angin malam perlahan menembus memasuki gaun tidurnya yang tipis, samar-samar terdengar suara
binatang-binatang malam yang bersautan dalam sunyi, Helley menghirup nafasnya dalam-dalam
saat merasakan ketenangan yang saat ini sedang ia butuhkan.

Matanya memejam kala ia merasakan terpaan angin dingin di sekitar wajahnya. Bibirnya terangkat
untuk membuat senyuman tipis yang sedari kemarin tak ia tampilkan.

Ia selalu menyukai malam, bagaimanapun rupanya, walau orang terkesan menganggap malam
adalah saat-saat paling mengerikan, ia justru memberikan predikat bahwa malam adalah waktu
terbaik bagi dirinya sendiri.

Begitupun dengan hujan, orang selalu berkata bahwa hujan adalah saat terburuk karena bersamaan
dengan turunnya hujan, memori-memori acak pun terputar dengan sendirinya di dalam benak
mereka masing-masing, itu yang membuat Sebagian orang menganggap bahwa turunnya hujan
adalah sebuah kesialan atau sesuatu yang tidak diharapkan.

Namun, baginya hujan merupakan peristiwa alam terindah yang pernah terjadi, dimana guyuran
hangatnya selalu mampu untuk menyamarkan setiap air mata yang menetes dari kedua matanya.

Ingatannya Kembali terputar pada kejadian kemarin siang, dimana itu bukanlah kali pertama ia
mendapat perlakuan kasar dari guru tersebut. Berulang kali ia selalu dicerca, dihardik bahkan sang
guru tak segan segan untuk bermain fisik dengannya tanpa ia ketahui apa yang salah dengan dirinya
sehingga membuatnya mendapat perlakuan beda dari teman-temannya yang lain.

Menjadi sebatangkara di dunia ini tentu bukanlah keinginannya, ia juga ingin merasakan kasih
sayang seorang ibu, kepedulian dari seorang ayah dan hangatnya kebersamaan dengan keluarga.
Namun, apadaya semua ini adalah takdirnya tanpa bisa diubah sedikitpun.

Lalu kenapa guru tersebut selalu menyalahkannya seakan ia yang menginginkan semua ini terjadi.
Sungguh Helley tak pernah mengerti apa yang ada difikiran sang guru.
Ia masih terdiam dengan jemari yang mencengkram erat pagar pembatas balkon kamar tidurnya.
Sebagian besar dari dirinya merasa bersalah belum memberitahu kejadian yang dialaminya kemarin
siang pada Eckard bahkan mendiami lelaki tersebut sejak kemarin siang.

Ia sangat beruntung Tuhan telah mengirimkan kehadiran Eckard dalam hidupnya sebagai seorang
sahabat sekaligus kakak angkatnya yang sangat bertanggung jawab atas keadaan dirinya. Dengan
kehadiran Eckard, ia merasa seperti dicintai, mendapatkan kasih sayang dan kehadirannya di dunia
ini seakan paling berharga.

Malam semakin larut, bahkan kini sudah menjelang pagi, ia memutuskan untuk Kembali tidur
sebelum besok pagi ia akan sakit karena kekuranagan tidur dan itu akan semakin membuat repot
Eckard dan juga ibunya yang sudah sangat berbaik hati padanya. Ia sungguh tak ingin kehadirannya
menjadi bala bagi orang-orang tersayangnya.

Menggulingkan tubuh ke kanan dan ke kiri, ia sama sekali tak kunjung mendapatkan rasa kantuknya.
Berbagai posisi serta cara ampuh untuk menjemput kantuk sudah ia lakukan, namun sia-sia,
matanya sama sekali tak bisa terpejam sedikitpun.

Mendengus kesal, ia bangkit dengan wajah cemberut, melangkah keluar dari kamarnya menuju
kamar Eckard. Toh mereka sudah sering tidur Bersama sejak kecil. Kalau Helley terbangun di malam
hari dan tidak bisa tidur lagi, ia pasti akan selalu menghampiri Eckard, lalu Eckard akan memeluknya
sampai pagi. Selalu begitu.

Pelukan Eckard selalu menjadi tempat ternyaman baginya dalam segala hal, tak akan pernah ada
yang memberikannya kenyamanan seperti yang sudah Eckard berikan selama ini.

Beringsut memasuki kamar Eckard, Helley bergerak mendekat ke arah Eckard yang kini sedang
terlelap tanpa berniat mengusiknya sedikitpun. Baru saja ia ingin memposisikan dirinya di samping
lelaki tersebut saat sebuah tangan bergerak dengan cepat mencekal erat pergelangan tangannya
membuatnya sedikit meringis.

Tak lama Eckard bangkit sambil mengerjap-erjapkan matanya, lelaki itu lantas buru-buru melepaskan
cekalannya kala menyadari sosok di depannya adalah Helley yang saat ini sedang meringis akibat
perbuatannya.

“Eh Helley, maaf. Aku tak tahu itu kau”

“Tak apa, aku hanya tak bisa tidur”

“Kemarilah” Eckard menepuk samping tempat tidurnya pelan

Helley lantas beringsut naik ke atas ranjang, Ia bergerak sedikit mendekat ke arah Eckard dan
memposisikan kepalanya tepat di bawah cekukan leher Eckard. Ia menoleh sesaat ke arah Eckard

“Peluk”

Lelaki itu mengangguk pelan sebelum tangannya mulai melingkar sempurna mengelilingi perut
Helley dengan lembut

“As you wish, Princess”

Sesaat kemudian, ia mulai terlelap sebelum samar-samar terdengar suara Eckard yang lembut tepat
di samping telinganya seiring dengan usapan Eckard di atas kepalanya dan ditutup dengan sebuah
kecupan lembut mendarat di atas kening mulusnya.

“Tidurlah, aku akan selalu ada disini untukmu”

∞∞∞∞∞∞
Helley membuka matanya perlahan, ia mengerutkan keningnya kala menyadari tempat tidur di
sampingnya sudah dalam keadaan kosong dan terasa dingin saat diraba. Itu berarti Eckard telah
bangun lebih dulu jauh sebelum dirinya terbangun.

Ia mendengus kesal, lagi-lagi Eckard meninggalkannya, padahal lelaki itu sangat tahu bahwa ia benci
bangun tidur sendirian dipagi hari saat mereka sedang tidur Bersama malamnya.

Mengabaikan perkara moodnya, ia hendak bangkit menuju kamar mandi untuk sekedar mencuci
mulutnya dan membasuh sederhana wajahnya. ‘Mungkin segarnya air mampu sedikit memperbaiki
kerusakan moodku’ pikirnya.

Namun, sebelum ia bahkan dapat merealisasikan niatnya, ia justru dikejutkan oleh pintu di depannya
yang dibuka dengan kasar, bahkan ia melihat engsel-engsel pintu itu seperti ingin terlepas saking
kencangnya.

Sesaat kemudian, ia melihat Eckard berdiri di depan pintu yang masih mengayun-ayun pelan dengan
sebuah nampan berisi satu porsi makanan di tangannya.

Melihat Helley yang sudah terbangun dari tidurnya, Eckard lantas berlari secepat mungkin menuju
Helley sebelum merengkuhnya dalam pelukan yang sangat erat. Meninggalkan pintu yang masih
terbuka lebar di belakangnya dan nampan berisi makanan yang tergeletak asal di atas nakas.

Eckard masih memeluk Helley seerat mungkin walau sudah beberapa kali gadis itu meronta-ronta
meminta dilepaskan. Namun, bukan Eckard namanya jika tidak keras kepala, ia tidak akan
melepaskan atau menghentikan sesuatu yang diinginkannya atau sedang dilakukannya sampai ia
sendiri yang akan menghentikannya.

“LEPAS ECKARDD!!” Helley mencoba bersuara sekeras mungkin yang sekarang justru terdengar
seperti bentakan di telinga Eckard, membuat lelaki itu memasang wajah terkejut sebelum
menundukan kepalanya.

“Umm, Sorry. Aku mengkhawatirkanmu sejak kemarin”

Tatapan Helley melembut seketika, ia merasa bersalah telah membentak Eckard tadi, tapi salah
siapa tidak membiarkan Helley bernafas. Lagipula ia belum mencuci muka dan menggosok giginya
setelah bangun tidur tadi.

Helley menghembuskan nafas pelan sebelum berkata pelan

“Biarkan aku membersihkan tubuhku dulu”

Eckard hanya mengangguk pelan sambil terus memperhatikan Helley yang kini sudah berjalan
menuju kamar mandi.

Eckard Kembali bangkit untuk menutup pintu lalu membuka tirai yang masih tertutup rapat sejak
semalam. Terakhir ia mengambil nampan berisi sarapan yang sempat ia letakan dengan sangat asal
tadi, padahal itu adalah sarapan untuk Helley dari ibunya.

Syukurlah semuanya masih baik-baik saja, tidak terlalu parah, hanya beberapa makanan yang
berpindah tempat dan susu yang sedikit muncrat ke luar cangkir.

Namun, semua itu bisa ia selesaikan hanya dengan sebuah tisu yang untungnya selalu tersedia di
dalam laci lemari kamarnya. Berjaga-jaga karena ia termasuk anak yang sedikit ceroboh, begitu kata
ibunya.

Cukup lama Helley berada di dalam kamar mandi dengan air terus menyala, tak bisa dipungkiri
bahwa Eckard masih sangat khawatir dengan keadaan gadis itu apalagi setelah kejadian kemarin
yang bahkan Eckard sama sekali belum tahu apa yang terjadi sesungguhnya. Ia hanya mengira-ngira
apa yang terjadi tanpa benar-benar mengetahuinya.

Mendengus kesal pada dirinya sendiri karena telah mengacaukan mood Helley akibat pelukan
eratnya tadi pagi padahal harusnya ia bisa lebih menahan diri lagi saat melihat Helley.

Salahkan gadis itu yang terlalu manis dan polos membuat Eckard seringkali tak bisa mengontrol
dirinya untuk tidak memeluk Helley tiap kali mereka bertemu. Dan semua itu akan baik-baik saja jika
dalam kondisi normal, tapi tidak untuk saat-saat seperti ini.

Anda mungkin juga menyukai