Anda di halaman 1dari 8

Malam semakin larut, udara dingin berhembus kencang, membuat siapapun tak betah berlama-lama

di luar ruangan kecuali seorang gadis berjubah hitam panjang yang masih tetap berdiri mengamati
langit malam yang cerah bertabur bintang, dirinya enggan beranjak dari sana walau udara terasa
semakin menusuk.

Matanya masih terus menatap bintang-bintang di atas sana, berharap bahwa salah satu dari mereka
mampu mengabulkan impiannya, melemparkannya kembali ke memori indah masa kecilnya.

Saat ia masih memiliki keluarga yang utuh dan sempurna. Saat ia tak mengerti apapun selain
kebahagiaan.

Lama tenggelam dalam lautan memori, cairan bening mulai terbentuk di pelupuk matanya,
berlomba-lomba untuk dapat meluncur keluar dari kaleidoskop yang indah itu.

Namun, dengan secepat kilat, ia menggelengkan kepalanya kencang-kencang, mengatur wajahnya


kembali menjadi dingin dan keras seperti biasanya, menolak fakta bahwa ia baru saja hampir
menangisi kenangannya.

Karena ia telah berjanji pada dirinya sendiri bahwa tak akan ada lagi air mata yang menetes setelah
hari itu. Apapun yang terjadi, ia akan tetap kuat, ia akan tetap bangkit dan tumbuh menjadi
perempuan yang dingin.

Biarkan dunia mengenalnya sebagai ratu yang kejam tak berperasaan, karena sungguh ia tak ingin
mengulangi kesalahan masa lalu keluarganya.

Ingat, Ratu sejati tumbuh diatas kegagalan dan ia tak membutuhkan kehadiran seorang Raja
disisinya.

∞∞∞∞∞∞∞

Matahari bersinar lembut, cahayanya memasuki istana secara perlahan, menerangi sebuah kamar
besar di pojok lantai paling atas, membuat sang ratu muda yang masih bergelut dalam mimpi
terpaksa membuka mata indahnya.

Ia sesekali menggerak-gerakan tubuhnya ke kanan dan kiri, berusaha mendapatkan kembali rasa
kantuknya.

Namun, nihil ia justru merasakan udara yang semakin hangat membuatnya terpaksa bangun dari
tidur lelapnya.
Menyadari bahwa matahari semakin meninggi dan sebentar lagi udara akan semakin panas, ia
langsung berlari melesat keluar dari kamar tidurnya menuju salah satu ruangan di sebelah kiri tangga
menuju loteng, ruangan favoritnya selama ini. Ruangan yang menjadi tempat persembunyiannya
sehari-hari.

Mungkin jika dilihat dari luar yang kau temukan hanyalah sebuah ruangan tua dengan pintu berkarat
dan jamur di sekelilingnya, Namun siapa sangka jika di dalamnya tersimpan banyak benda-benda
berharga peninggalan orangtuanya dulu terutama mendiang ibunya.

Ia memang sengaja mendesainnya seperti itu agar tak ada yang mengetahui bahwa disitulah selama
ini sang Ratu menghabiskan waktunya. Sedikit berjaga-jaga dari ancaman mata-mata musuh yang
mungkin masih haus akan darahnya.

Langkah kakinya memelan seiring dengan tangan pucatnya memutar kenop pintu yang telah lapuk
itu dan menimbulkan sedikit bunyi-bunyian kala digerakan.

Matanya menelusuri ke sekiling ruangan, Setelah memastikan bahwa semuanya masih aman dan
sesuai dengan keadaan seharusnya, ia lantas mendudukan dirinya di salah satu kursi kayu dengan
meja rias beserta cermin besar di hadapannya.

Pintunya mengayun tertutup dengan sendirinya, seperti biasa ia mulai menjalankan rutinitasnya
dimulai dari melakukan beberapa hal inti.

Matanya memejam sempurna, bibirnya komat-kamit melafalkan sesuatu dengan begitu serius serta
tangannya ia bentuk membuat kepalan yang disembunyikan di antara kedua kakinya.

Matanya terus memejam, bibirnya semakin cepat bergerak-gerak melafalkan beberapa untaian kata,
kepalan tangannya juga semakin mengerat seiring berjalannya waktu, namun kali ini ditambah
kerutan di sekitar matanya yang semakin lama juga semakin dalam hingga keluarlah asap hitam
pekat dengan jumlah besar dari balik cermin besar kuno yang ada di depannya.

Ritual ini sudah ia jalani sejak berusia 9 tahun silam, saat dirinya pertama kali mengetahui bahwa
ada sesuatu yang istimewa mengalir di dalam darahnya yang tentunya membuat ia sedikit kesusahan
pada awalnya.

Saat mencari tahu tentang kondisi yang dialaminya ia justru menemukan sebuah catatan usang yang
ternyata di tulis oleh seorang pendahulunya, tak ada nama penulis yang tertera disana, tak ada
tanggal ataupun tahun juga yang dapat dijadikan petunjuk waktu.
Tapi dilihat dari kertasnya yang sudah menguning namun masih lembut seperti kulit dan bentuk
tulisannya yang melingkar-lingkar panjang dengan goresan tinta yang tebal, maka dapat diperkirakan
bahwa tulisan ini mungkin ditulis sejak beratus-ratus tahun silam sebelum kelahirannya.

Setelah itu, ia mulai mencoba memahami dan mengikuti setiap petunjuk yang tertera disana, bahkan
melakukan hal-hal tersulit yang belum pernah ia lakukan seperti mengiris kulit tepat di atas aliran
nadi hingga darahnya mengalir keluar lalu ditampung di sebuah wadah terbuka untuk didiamkan
selama semalaman di bawah sinar bulan purnama darah hingga darahnya itu berubah kehitaman
saat pagi hari

Atau saat ia disuruh untuk berburu seekor rubah kecil yang memiliki bulu keemasan saat bulan mati
atau langit dalam keadaan tergelap dan dia harus mendapatkan rubah itu tanpa bantuan
pencahayaan apapun, batasnya adalah sebelum terbit matahari.

Dia berhasil melakukan itu semua, Ia berhasil menjalani semua permintaan yang tertulis, sejak saat
itu sesuatu yang istimewa dalam dirinya perlahan normal dan Kembali seperti biasa walau untuk
menjaganya tetap stabil, ia harus melakukan ritual kecil tiap paginya seperti yang barusan ia lakukan.

Dengan perlahan, ia mulai mengulurkan tangan pucatnya ke dalam cermin yang telah mengeluarkan
asap hitam pekat tadi, tak lama seluruh tubuhnya seperti ditutupi oleh asap hitam pekat sebelum
sepenuhnya menghilang dari ruangan itu dengan cermin yang Kembali menjadi seperti biasanya, tak
ada asap ataupun sesuatu yang aneh dari ruangan itu seakan semuanya berlaku sewajarnya dan
tidak ada sesuatu spesial yang barusan terjadi di sana.

∞∞∞∞∞∞∞

Seorang perempuan berambut hitam panjang dengan jubah hitam yang terulur hingga ke tumitnya
keluar dari sebuah pintu berwarna perak melingkar dengan aksen ukiran kuno di pinggirnya serta
sebuah lambing lingkaran besar dengan pola rumit di tengah-tengahnya.

Pintu itu menghilang tiba-tiba saat tubuhnya telah keluar sempurna dari sana, seperti sudah biasa,
perempuan ini lantas menengok ke sekelilingnya sebelum arah pandangnya mengarah ke sebuah
bangunan berlantai marmer dengan kubah bulat yang meninggi di bagian puncaknya serta beberapa
buku-buku yang tertumpuk di sisinya.

Ia lantas menarik sudut bibirnya ke atas melengkung membuat senyuman manis yang nyaris tak
pernah ia tunjukan kepada seorangpun di dunia ini kecuali keluarganya saat mereka masih ada,
selebihnya tak ada satupun yang tahu bahwa perempuan yang tiap hari selalu tampil dengan wajah
dingin itu ternyata memiliki senyuman semanis bidadari.

Perlahan, ia melangkahkan kaki jenjangnya menuju bangunan berkubah yang sedari tadi ia tatap
dengan senyuman yang juga belum luntur dari wajah cantiknya, ia berjalan perlahan dengan sangat
hati-hati seakan masih ingin menjaga image keanggunannya sebagai seorang ratu bahkan di tempat
yang mana tak ada seorang pun di dalamnya kecuali dirinya sendiri.

Kini, ia sudah berada tengah-tengah bangunan itu bersandar pada salah satu pilar besar yang
Nampak masih sangat terawat walau mungkin usianya sudah ratusan tahun dengan kaki yang
diluruskan dan sebuah buku tebal di pangkuannya. Tak lama sekelompok burung-burung kecil
berwarna-warni terbang mendekat lalu hinggap melingkar di sekeliling tubuh sang Ratu.

Sang Ratu muda lantas mengangkat wajahnya memandang sekelilingnya yang kini telah dipenuhi
oleh sekelompok burung-burung kecil dengan warna-warni yang menarik.

Ia lalu Kembali tersenyum sebelum raut wajahnya menyadari ada sesuatu yang salah, memandang
sekeliling sekali lagi dengan lebih teliti dengan kening berkerut tak percaya sampai tiba-tiba
datanglah seekor burung berwarna biru kehijau-hijauan dengan corak hitam di bagian ekornya yang
langsung mendarat sempurna di atas buku yang berada di pangkuannya sambil memutar-mutarkan
kepalanya.

Wajahnya Kembali cerah seakan baru saja menemukan sesuatu yang amat berharga

"Astaga, aku sudah mengkhawatirkanmu, kupikir kau tidak datang hari ini" Ucapnya lembut sambil
mengelus-elus punggung burung itu dengan tangan halusnya.

Sedangkan burung yang ada dihadapannya hanya Kembali memutar-mutarkan kepalanya pelan
seraya mematuk-matuk tangan sang Ratu dengan paruh kecilnya.

Melihat tingkah lakunya yang menggemaskan, ia hanya terkekeh pelan sambil menikmati suasana
tenang khas taman yang masih sangat asri dengan tangannya yang masih setia mengelus punggung
Bob -burung yang berwarna biru kehijauan tadi- dengan lembut.

Sang Ratu masih terus menikmati pemandangan yang begitu menakjubkan sambil sesekali
tersenyum kala semilir angin menerpa wajahnya dan menerbangkan beberapa helai rambutnya.
Tempat ini sungguh cantik, mungkin kau tak akan pernah membayangkan kalau akan ada tempat
seindah dan senyaman ini di dunia yang fana.

Matahari yang bersinar lembut menembus dahan-dahan pohon besar, serta langit biru yang jernih
dengan awan-awan tipis yang menghiasinya. Pohon-pohon yang rindang dengan angin yang
berhembus perlahan menerbangkan dedaunan, suara gemericik air dari sebuah mata air mengalir
membentuk sungai kecil yang letaknya tak jauh dari tempat mereka berada sekarang atau kicauan
burung-burung yang saling bersahutan membuatmu merasa seperti ada di sebuah dunia yang lain,
bukan dunia yang selama ini kau tempati dengan segala kerusakan dan keburukan yang ada
didalamnya.

"Tempat ini sungguh indah.. dan nyaman" Gumam Ratu itu pelan, yang langsung dibalas anggukan
kepala oleh Bob yang masih berada nyaman di dalam tangannya

"Andai aku masih bisa berada disini sampai malam tiba" Lanjutnya lagi dengan nada kecewa yang
membuat Bob langsung terbangun dari posisinya dan langsung mematuk pelan pipinya, Mencoba
untuk menghibur sang Ratu.

Sedangkan sang Ratu hanya terkekeh pelan melihat tingkah laku burung itu yang kelewat
menggemaskan

"Terimakasih sudah menghiburku Bob, aku mencintaimu sungguh"

Ratu muda itu berkata dengan tulus sambil melarikan jemari lentiknya untuk kembali mendekap
tubuh burung kecil itu sedangkan Bob hanya memejamkan mata menikmati sentuhan lembut yang
diberikan sang Ratu.

∞∞∞∞∞∞∞

Hari semakin larut, langit mulai menampilkan warna jingga yang lembut. Pertanda bahwa sudah
saatnya bagi sang Ratu untuk Kembali, walau hatinya masih menginginkan berada disini selama
mungkin. Tapi apa boleh buat, ia harus tetap Kembali sebelum matahari sepenuhnya tenggelam.
Atau nyawanya yang akan menjadi taruhannya.

Ia perlahan bangkit, sedikit merapikan beberapa bagian jubahnya yang terlipat atau terkena kotoran.
Bersiap untuk Kembali memasuki pintu rahasia tersebut sebelum sebuah suara kicauan burung dari
belakangnya terdengar sangat kencang.

Merasa terpanggil, ia lantas menoleh ke belakang dan terlihatlah seekor burung besar berwarna
hitam terbang cepat ke arahnya, setelah tepat berada di atas kepalanya, burung itu menjatuhkan
sebuah kotak berwarna hitam dengan pita emas yang mengikat di setiap dindingnya.
Mengerutkan kening heran, ia mulai mengamati sekeliling kotak itu membolak baliknya berharap
dapat menemukan sebuah petunjuk asal usul kotak misterius tersebut. Sedangkan burung hitam tadi
sudah terbang melesat setelah menjatuhkan kotak itu.

Ia memutuskan untuk membukanya nanti setelah tiba di istana, mengingat jatah waktunya berada
disini hanya tinggal sesaat lagi, sebelum sebuah makar para arwah akan datang menghampirinya dan
membuatnya harus mengucapkan salam perpisahan.

Bibir tipisnya mulai berkomat-kamit melafalkan beberapa kalimat-kalimat tertentu setelahnya


sebuah pintu dengan kepulan asap hitam tebal muncul di hadapannya, Ia lantas bergegas
memasukinya secepat mungkin sebelum sesuatu yang tak diinginkan terjadi, setidaknya sebelum ia
menuntaskan dendamnya.

Setelah mengalami perjalanannya yang cukup menyakitkan, ia keluar dari cermin tua itu dengan
sedikit lemas, melihat ke sekeliling ruangannya dan memeriksa bahwa semuanya masih aman
seperti saat ia meninggalkannya tadi pagi.

Ia lantas beranjak keluar menuju kamar tidurnya, kini langit sudah sepenuhnya dalam kondisi gelap,
itu tandanya bahwa ia sudah bisa berada di dalam kamarnya tanpa harus melindungi tubuhnya
dengan berbagai macam perlindungan yang cukup menyiksa.

Setelah menghabiskan waktu yang cukup lama di kamar mandi dengan satu kolam air besar berisi
beberapa bunga kesukaannya, Ia melangkah keluar dengan berbalut sebuah gaun tidur hitam yang
nyaman dan perasaan yang jauh lebih segar daripada sebelumnya, setidaknya wewangian dari
bunga-bunga tadi dapat sedikit meredakan efek dari memori buruk yang selalu ditimbulkan setiap
keluar dari cermin tua itu.

Beberapa kejadian menyakitkan terlintas di pikirannya membuatnya refleks menggeleng-gelengkan


kepalanya, tak ingin kepalanya dikuasai oleh ingatan-ingatan yang menyiksa tersebut. Mengabaikan
pikiran buruk yang terus menghantuinya, ia berniat untuk mengalihkan fokusnya dengan membuka
kotak yang didapatkannya saat masih berada di Kyphos tadi.

Membawanya ke pangkuan dengan lembut dan membukanya perlahan dengan penuh waspada,
sedikit mengantisipasi jika di dalamnya ada benda-benda berbahaya, ia bisa langsung
memusnahkannya saat itu juga.

Namun, yang ia temui justru hanyalah sebuah buku tua bersampul coklat gelap dengan namanya
yang terukir sempurna di atasnya. Namanya tertulis dengan benar tanpa ada salah sedikitpun,
pasalnya banyak orang yang kesulitan menulis namanya dengan benar bahkan dirinya sendiri
terkadang mendapatkan kesalahan saat menulis namanya yang cukup asing.

Ukiran itu berwana emas mencolok dengan simbol-simbol kecil di sekelilingnya seakan membingkai
namanya dengan sempurna, tak dapat ia pungkiri bahwa jantungnya berdegub kencang karena
terkejut sekaligus kagum melihat semua keindahan itu.

Tangannya tergerak untuk membuka buku itu dan sebuah kalung rantai berwarna perak dengan
bandul hitam oval seketika terjatuh ke pangkuannya. Ia merasakan gemerincing dari kalung tersebut
saat menyentuhnya.

Matanya berbinar kala menyadari betapa indahnya kalung itu, jemarinya langsung tergerak untuk
memakaikan kalung itu di leher jenjangnya.
Sesaat kemudian, ia merasakan sebuah cekikan dan goresan benda tajam di lehernya, sontak ia
mengaduh kesakitan sambal meraba-raaba lehernya yang kini sudah terlibat sempurna oleh ikatan
yang sangat kuat dari kalung tadi.

Oh betapa bodohnya ia, tak memikirkan hal-hal negative yang mungkin saja terjadi setelah memakai
kalung ini, justru langsung mencobanya secepat mungkin karena tersihir dengan keindahannya. Ia
Kembali mencoba untuk melepaskan kalung ini, namun nihil, semakin lama kalung itu semakin kuat
mengikat, bahkan kini ia sudah hampir tak bisa benafas.

Sekuat apapun ia mencoba melepaskan belitan kalung tersebut, usahanya tetap sia-sia. Kini ia sudah
terduduk lemas dengan tangan yang terkulai di sekeliling lehernya. Mungkin sebentar lagi ia akan
menyusul orangtua dan semua keluarganya karen perbuatan gegabahnya tadi. Batinnya lesu
mengingat bahwa ia belum merealisasikan mimpi-mimpinya selama ini.

Saat ia sudah pasrah dengan bagaimana kelanjutan nyawanya, ikatan kalung itu perlahan memudar
dan lepas dengan sendirinya. Sontak ia membulatkan mata kaget saat menyadari bahwa lehernya
sama sekali tak merasa sakit ataupun berdarah setelah lepas dari belitan itu.

Masih dengan sedikit rasa lemas, ia berjalan menghampiri buku tua itu, entah kenapa hatinya seakan
menyuruh untuk secepatnya membaca buku itu walau otaknya berulang kali melarang karena takut
bahwa itu dapat mencelakainya seperti kalaung tadi. Namun, berulang kali juga hatinya Kembali
meyakinkan otaknya bahwa semua akan baik-baik saja setelah membaca buku itu.

Menguatkan tekadnya, ia mulai membuka lembar pertama dari buku itu dan menemukan sebuah
daftar isi dengan kata-kata yang bahkan tak ia kenali. Namun, tangannya tergerak otomatis untuk
membuka sebuah halaman tepat di tengah-tengah buku, seakan menyuruhnya untuk membaca
kalimat-kalimat yang tertera disana.

Matanya bergerak menelusuri tiap-tiap kata yang tertulis, itu semua memang ditulis bukan dengan
bahasanya, namun otaknya seakan langsung mengerti tiap-tiap kata yang dibacanya dan mampu
mencerna semua itu dengan baik, tanpa ia ketahui Bahasa apakah yang sedang ia baca.

Hingga matanya menangkap sebuah kalimat yang mungkin sangat ia butuhkan sekarang..

‘Kau akan mendapatkan sebuah kalung tepat di malam kesembilan puluh lima dari ulang tahun ke-16
mu. Sebelum menggunakannya, ucapkan beberapa kalimat petuah yang dilampirkan dibawah ini,
supaya ia dapat mengenali siapa dirimu. Jangan langsung asal menggunakannya tanpa melakukan
apa yang diperintahkan, atau nyawamu bisa terancam. Karena ia akan langsung membunuh siapa
saja yang mencoba menggunakannya kecuali pemiliknya sendiri. Hanya ada satu kalung seperti itu di
dunia ini, jadi jagalah sebaik mungkin. Karena itu merupakan salah satu warisan dari leluhurmu”

Keningnya mengerenyit membaca rentetan kalimat itu, sedetik kemudian ia baru paham mengapa
kalung tadi hampir membunuhnya, ternyata ada beberapa hal khusus yang harus dilakukan untuk
menjinakan kalung istimewa itu. Dan terjawab sudah semua rasa penasarannya hari ini.

Tinggal satu pertanyaan yang tersisa di benaknya. ‘Apakah ibunya juga menggunakan kalung ini
dulu? Atau hanya ia yang mendapatkannya? Mengingat bahwa hanya diirnya yang terlahir
istimewa, tidak dengan ibunya, bahkan neneknya’.

Menaikan bahunya acuh tanda tak peduli atas pertanyaan yang baru saja berkelebat di pikirannya. Ia
lebih tertarik untuk langsung mencoba menjinakan kalung tadi dan langsung menggunakannya
setelah itu.
Tangannya terulur untuk menyentuh kalung perak itu, dan mulutnya langsung terucap mengikuti
kalimat-kalimat yang sudah diterangkan di dalam buku itu. Bibirnya masih terus bergerak
mengulang-ulang kalimat tadi sampai tangannya genggamannya terasa sejuk dan nyaman.

Ia lantas membuka mata dan melihat bahwa kalung tadi berubah warna menjadi tampak lebih
bercahaya. Merasa bahwa perintahnya sudah berhasil terjalani, ia mulai memakaikan kalung it uke
lehernya dengan hati-hati. Sesaat kemudian ia merasakan sensasi nyaman dan tenang bersamaan
dengan melekatnya kalung itu sempurna di lehernya.

Ia baru saja memutuskan untuk merebahkan dirinya di atas tempat tidur sebelum terdengar sebuah
suara yang cukup gaduh dari arah belakang istana, membuatnya mengerenyitkan dahinya heran.
Siapa pula yang akan berkunjung kesini, mengetahui bahwa tak ada yang tinggal disini setelah
kejadian memilukan tersebut beberapa tahun silam, bahkan semua rakyatnya ikut pergi dari
wilayahnya.

Seketika badannya langsung menegak dan memasang wajah penuh waspada, kakinya bergerak
otomatis menuju sebuah lemari penyimpanan di ujung ruangan, dengan cekatan ia langsung
mengambil pedang Panjang yang sudah sedikit kusam dengan beberaoa corak yang memudar di
bagian atasnya.

Pandangan matanya menajam, kaki-kaki panjangnya bergerak menyusuri sepanjang Lorong istana
yang gelap gulita, hanya diterangi oleh cahaya obor di beberapa titik.

Suara itu terdengar lagi, ia memfokuskan telinganya untuk dapat menelusuri letak sumber suara
tersebut. Dan benar, dugaannya tidak salah, suara itu terdengar dari arah belakang istana.

Ia mempercepat langkahnya, menuruni anak tangga dengan sedikit tergesa-gesa, tibalah ia di


halaman belakang istana. Dengan pedang yang terhunus serta sebuah obor di kedua tangannya, ia
terus mencari keberadaan sang penyusup.

Hingga matanya menangkap ada sebuah pergerakan di balik pohon besar dekat gerbang belakang
istana. Ia mulai melangkah perlahan, berniat untuk membuat sang penyusup sama sekali tak sadar
akan kehadirannya.

Berjalan perlahan menghampiri orang tersebut dari arah belakang, ia justru menemukan seseorang
yang sedang duduk bersandar pada sebuah pohon dengan beberapa kantong kulit tergeletak di
depannya.

Tak ingin dikelabui oleh penampilan menyedihkan orang tersebut. Pedangnya seketika terayun ke
depan, membuat seseorang yang sedang beristirahat tadi lantas menoleh ke arahnya. Ujung
pedangnya sedikit menyentuh kulit lehernya, membuat orang itu meneguk ludahnya pelan.

Sedangkan matanya sudah menatap tajam menusuk tepat ke mata orang asing itu. Ia
menghembuskan nafas keras sebelum bertanya dengan suara dingin mencekamnya.

“Siapa kau?!”

Anda mungkin juga menyukai