Makalah Mulki
Makalah Mulki
Disusun Oleh:
MULKI MARLIN
XII – TBSM 1
Mulki Marlin
i
DAFTART ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Riwayat Keluarga Bung Tomo................................................................2
B. Karier dalam Kehidupan Bung Tomo......................................................3
C. Gelar Pahlawan Nasional.........................................................................7
A. Latar Belakang
Sutomo atau lebih dikenal dengan sapaan akrab rakyat sebagai Bung
Tomo merupakan seorang pahlawan yang dikenal karena peranannya dalam
Pertempuran 10 November 1945. Saat itu, rakyat Surabaya berjuang melawan
Belanda yang membonceng Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Sutomo mampu mengobarkan semangat para pejuang demi
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sosoknya lekat sebagai seorang
patriot yang selalu berani melawan penjajah. Dia berjuang di jalur agitasi dan
propaganda.
Pidatonya berhasil mengobarkan semangat para pemuda dan santri
agar berjibaku di medan laga Surabaya. Dia juga berperan dalam pelucutan
senjata Jepang, lalu mengirimkan sebagian besar senjata itu ke Jakarta.
BAB II
ii
PEMBAHASAN
iii
B. Karier dalam Kehidupan Bung Tomo
1. Karier Masa Muda
Anggota Gerakan Kepanduan Bangsa Indonesia Kelas I (yang pertama
untuk Jawa Timur, sedangkan yang kedua untuk seluruh Indonesia);
Sekretaris Partai Indonesia Raya (Parindra) Ranting Anak Cabang di
Tembok Duku, Surabaya sekitar tahun 1937;
Wartawan lepas Harian Soeara Oemoem di Surabaya tahun 1937;
Redaktur Mingguan Pembela Rakyat di Surabaya tahun 1938;
Ketua kelompok sandiwara Pemuda Indonesia Raya di Surabaya tahun
1939;
Wartawan dan penulis pojok Harian Ekspres di Surabaya tahun 1939;
Pembantu koresponden Majalah Poestaka Timoer Jogjakarta untuk
Surabaya di bawah asuhan Anjar Asmara tahun 1940;
Wakil pemimpin redaksi Kantor Berita Domei bagian bahasa Indonesia
untuk seluruh Jawa Timur di Surabaya tahun 1942–1945;
Pemimpin redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya tahun 1945.
2. Karier pada Masa Revolusi Fisik 1945–1949
Ketua Umum Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) sejak 12
Oktober 1945–Juni 1947 (dilebur di dalam Tentara Nasional Indonesia);
Anggota Dewan Penasihat Panglima Besar Jenderal Sudirman;
Ketua Badan Koordinasi Produksi Senjata di seluruh Jawa dan Madura;
Dilantik oleh Presiden Soekarno sebagai anggota pucuk pimpinan Tentara
Nasional Indonesia (TNI), bersama dengan Jenderal Sudirman, Letnan
Jenderal Oerip Soemohardjo, Komodor Soerjadarma, dan Laksamana
Nazir. Dia diberikan pangkat Mayor Jenderal TNI Angkatan Darat dengan
tugas mengkoordinasikan angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan
udara di bidang informasi dan perlengkapan perang;
Anggota Staf Gabungan Angkatan Perang Republik Indonesia;
Ketua Panitia Angkatan Darat yang membawahi bidang kereta api dan bus
antarkota, dengan tugas mengkoordinasikan semua alat angkutan darat di
wilayah Republik Indonesia (RI) dan bertanggung jawab langsung kepada
Panglima Besar TNI;
iv
Membuat siaran pengumuman panggilan masuk kemiliteran RI yang
pertama.
Peran Sentral Bung Tomo
v
Namun, ternyata terjadi insiden pada hari yang sama dan
menyebabkan komandan pasukan Sekutu di Jawa Timur, yakni Brigadir
Jenderal Aubertin Mallaby, tewas. Posisi Mallaby kemudian digantikan oleh
Mayor Jenderal Robert Mansergh dari Komandan Divisi 5 Inggris.
Pada 9 November 1945, Mansergh mengeluarkan ultimatum kepada
rakyat Surabaya. Isi dari ultimatum tersebut antara lain:
Seluruh pemimpin Indonesia di Surabaya harus melaporkan diri;
Seluruh senjata yang dimiliki oleh pihak Indonesia di Surabaya harus
diserahkan kepada Inggris;
Para pemimpin Indonesia di Surabaya harus bersedia menandatangani
pernyataan menyerah tanpa syarat.
Namun, peringatan itu tidak disambut baik oleh para pejuang dan
segenap lapisan masyarakat. Keeseokan harinya, tanggal 10 November 1945
pukul 06.00 WIB, tidak ada seorang pun dari pihak Indonesia yang datang
untuk menyerahkan diri.
Hal tersebut tentunya menyulut amarah dari pihak Sekutu, yang
kemudian membombardir Surabaya. Perang besar tidak dapat dihindari yang
dikenal dengan Pertempuran 10 November 1945. Kota Surabaya hancur
dibombardir oleh pasukan gabungan Inggris dan Belanda. Korban jiwa pun
berjatuhan.
Namun, pertempuran tersebut dikenang sebagai simbol perlawanan
rakyat Indonesia melawan pendudukan pasukan asing. Peristiwa inilah yang
menjadi tanggal diperingatinya Hari Pahlawan setiap 10 November.
Pertempuran Surabaya yang berlangsung sejak akhir Oktober hingga
akhir November 1945 tidak diragukan lagi merupakan salah satu pertempuran
besar dalam sejarah Indonesia modern. Pertempuran itu melibatkan gabungan
antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan milisi rakyat di satu sisi dan
pasukan Inggris dan Gurkha di sisi lainnya.
Salah satu elemen penting di balik kegigihan pejuang dan masyarakat
Surabaya dalam bertahan adalah kuatnya semangat dan keyakinan mereka
untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ini dibentuk oleh mereka
yang mampu mengajak dan memobilisasi massa.
vi
Peran para pemimpin perjuangan rakyat di Surabaya dapat dilihat
melalui pidato-pidatonya sangat persuasif untuk menggerakkan massa. Dari
pihak pemerintah RI di Surabaya ada Residen Sudirman dan Gubernur Surio,
sedangkan dari tengah masyarakat muncul satu sosok sentral, yakni seorang
mantan jurnalis bernama Soetomo, yang akrab disapa Bung Tomo.
Banyak masyarakat yang percaya bahwa Pertempuran 10 November
1945 adalah ikon revolusi kemerdekaaan Indonesia, sedangkan Bung Tomo
adalah ikon dari Pertempuran 10 November 1945.
“Allahu akbar! Merdeka!” adalah kata-kata penutup pidatonya yang
masih sering dikenang orang.
Para pemuda Indonesia yang bekerja di radio Jepang yang berada di
Surabaya mengambil alih fasilitas radio tidak lama setelah kemerdekaan
diproklamasikan. Salah satu kelompok yang berpartisipasi adalah Pimpinan
Pemberontakan Rakyat Indonesia (PPRI), yang dipimpin oleh Bung Tomo.
PPRI berkeinginan untuk menyiarkan “toentoetan kita, rakjat
Indonesia, teroetama oentoek melaksanakan Perdamaian Doenia, jang kini
sedang diganggoe oleh N.I.C.A dan komplotnja”. PPRI mempunyai sebuah
“revolutie-zender” (pemancar revolusi) yang dinamai Radio Pemberontakan.
PPRI juga meminta sokongan dari dunia internasional. Untuk
menjangkau audiens asing, PPRI meminta masyarakat Indonesia yang bisa
berbahasa asing mendaftar menjadi anggota PPRI.
Siaran Radio Pemberontakan Bung Tomo menjangkau hingga ke luar
Indonesia, termasuk Thailand dan Australia. Siaran-siaran ini berhasil
mendorong dunia internasional untuk menekan Belanda dan Inggris untuk
mengendurkan serangannya, bahkan mendatangkan berbagai bentuk bantuan
bagi rakyat Surabaya.
Pemuda dan santri merupakan salah satu target utama Bung Tomo.
Ketika pertempuran Surabaya pecah, dia meminta agar para pemuda
Surabaya tidak meninggalkan kota itu. Dia juga meminta tambahan pasukan
untuk Surabaya.
vii
Permintaannya terjawab karena tak lama berselang markas besar TKR
di Yogyakarta mengirim seorang komandan dan lebih dari dua puluh kadet
untuk membantu para pejuang di Surabaya.
Radio Pemberontakan Bung Tomo juga meminta dukungan medis
untuk para korban pertempuran Surabaya. Seruan di udara ini ini disambut
para simpatisan Republik lainnya dalam bentuk ratusan perawat yang datang
dengan sukarela dan sejumlah dokter. Demikian pula ketika penyiarnya
meminta disuplai dengan makanan, dalam waktu singkat datanglah bantuan
makanan.
Bung Tomo berhasil mempersuasi massa lantaran dia paham cara
mengajak masyarakat Surabaya berpartisipasi dalam pertempuran. Sikap
egaliternya atau “kepemimpinan tanpa hierarki”, retorika khas Surabaya, dan
seruan takbirnya mampu menangkap aspirasi dan semangat massa, khususnya
pemuda, kelompok Islam, dan kalangan bawah.
Tidak mengherankan jika dalam Pertempuran 10 November 1945 itu
juga dikenal dengan julukan jihad fi sabilillah. Semangat juang rakyat
Indonesia telah menggelora dengan adanya fatwa dari Bung Tomo itu.
Pidatonya sering dibuka dengan nada musik “Tiger Shark”. Ini
mungkin ditujukan untuk menarik minat para pemuda terdidik Surabaya yang
akrab dengan budaya pop Barat.
Selain pekik “merdeka”, penutup pidatonya adalah takbir. Hal itu
menunjukkan bahwasanya dia memandang perang tersebut memiliki makna
spiritual, media untuk menarik atensi kalangan muslim di seantero Jawa
Timur.
Bung Tomo “bukan seorang yang fanatik agama”, tetapi pada saat
yang sama “menganggap Islam sangat penting”. Dia memang bukan tentara
yang memanggul senjata guna melawan musuh. Namun, sumbangan
terbesarnya kepada Indonesia selama pertempuran di Surabaya justru lebih
terlihat sebagai propagandis di studio radionya, dibandingkan dengan di
berperang di jalan.
Antara tahun 1950–1956, Bung Tomo masuk dalam Kabinet Perdana
Menteri Burhanuddin Harahap sebagai Menteri Negara Urusan Bekas
viii
Pejuang Bersenjata/Veteran, merangkap Menteri Sosial (Ad Interim).
Bung Tomo kemudian menjadi anggota anggota Konstituante
mewakili Partai Rakyat Indonesia sejak 1956. Dia menjadi wakil rakyat
hingga badan tersebut dibubarkan Soekarno lewat Dekrit Presiden 1959.
Sutomo memprotes keras kebijakan Soekarno tersebut, termasuk
membawanya ke pengadilan, meskipun akhirnya kalah. Akibatnya, perlahan
dia menarik diri dari dunia politik dan pemerintahan.
Pada awal Orde Baru, Bung Tomo kembali muncul sebagai tokoh
yang awalnya mendukung Soeharto. Namun, sejak awal 1970-an, dia mulai
banyak mengkritik program-program dari Soeharto, termasuk salah satunya
proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Akibatnya, dia ditangkap
dan dipenjara selama setahun pada 11 April 1978 atas tuduhan melakukan
aksi subversif.
Setelah keluar dari penjara, Bung Tomo tampaknya tidak lagi
berminat untuk bersikap vokal kepada pemerintah dan memilih
memanfaatkan waktu bersama keluarga untuk mendidik kelima anaknya.
ix
Pengangkatan ini didasari oleh desakan dari berbagai pihak, termasuk GP
Ansor dan Fraksi Partai Golkar DPR.
Usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Bung Tomo pernah
disampaikan kepada pemerintah, tetapi tidak mendapat persetujuan. Namun,
keluarga besar Bung Tomo di sisi lain juga tidak pernah mempermasalahkan
gelar tersebut.
x
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
xi