Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia
Menurut Mukaddimah UDHR atau DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia),
bahwa hak asasi manusia merupakan pengakuan akan martabat yang terpadu dalam diri
setiap orang akan hak-hak yang sama dan tak teralihkan dari semua anggota keluarga manusia
ialah dasar dari kebebasan, keadilan, dan perdamaian dunia.
1
Knut D. Asplunt, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, 2008, hlm. 11
UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, mengartikan hak asasi manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan dan
perlindungan harkat dan martabat manusia. UU RI Nomor 39 Tahun 1999 juga mendefinisikan
kewajiban dasar manusia berupa seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan tidak
memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.
Merujuk kepada beberapa penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa HAM
merupakan hak yang sudah melekat dalam diri setiap insan yang dibawa sejak lahir ke dunia
dan berlaku sepanjang hidupnya serta tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun karena hak
itu sifatnya kodrati yang langsung Allah berikan pada setiap makhluk ciptaanNYA, kemudian
negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhinya. Dan setelah kita
mengetahui apa itu HAM, hendaknya sebagai warga negara Indonesia yang baik kita harus
menjunjung tinggi nilai HAM tanpa adanya perbedaan baik suku, status, keturunan, gender,
golongan dan lain sebagainya.
1. Karakteristik Khusus Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak asasi manusia memiliki karakteristik khusus bila dibandingkan dengan hak orang
lain. Fitur khusus hak asasi manusia sebagai berikut.
Tidak bisa dicabut, yang berarti bahwa hak asasi manusia tidak dapat dihapus atau
kiri.
Tidak dapat dibagi, yang berarti bahwa setiap orang berhak atas semua hak, baik hak-
hak sipil dan politik atau ekonomi, sosial, dan budaya.
Hakiki, yang berarti bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak semua manusia yang
sudah ada sejak lahir.
Universal, yang berarti bahwa hak asasi manusia berlaku untuk semua orang tanpa
memandang status mereka, etnis, jenis kelamin, atau perbedaan lainnya. Kesetaraan
adalah salah satu dari ide-ide hak asasi manusia.
2. Jenis Hak Asasi Manusia (HAM)
Pada dasarnya hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada setiap manusia yang
lahir berlaku sejak awal kehidupan dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Ada
berbagai hak asasi manusia. Secara garis besar, hak asasi manusia dapat diklasifikasikan ke
dalam enam jenis sebagai berikut:
2
Didin Hafidhuddin, Kewajiban Dalam Islam, dalam http://www.republika.co.id/ berita/dunia-islam/
hikmah/11/04/06/lj7j5i-mendahulukan-kewajiban, diakses 15 Februari 2016
membicarakan fasilitas-fasilitas tertentu, yang kadang kala tidak berkaitan secara langsung
dengan pelaksanaan kewajibannya. Perlu disadari bahwa jabatan itu hakikatnya adalah
pemenuhan kewajiban dan bukannya penuntutan atau pemberian fasilitas semata-mata.
Fatwa Musyawarah Nasional VI Majelis Ulama Indonesia No. 6/MUNAS VI/MUI/2000
Tentang Hak-Hak Asasi Manusia juga menegaskan tentang perlunya keseimbangan antara hak
dan kewajiban. Dalam konteks HAM fatwa tersebut menyatakan :
1. Wajib menerima, menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia
yang bersifat universal dengan syarat:
a. Menghargai dan menghormati perbedaan pemahaman, penafsiran serta
pelaksanaannya yang didasarkan oleh perbedaan budaya, kesusilaan, dan
perundang-undangan yang berlaku di negara masing-masing;
b. Pemahaman dan pelaksanaan HAM wajib memperhatikan:
1) Keseimbangan antara hak individu dan kewajiban individu;
2) Keseimbangan antara hak individu dan dan hak masyarakat,
3) Keseimbangan antara hak kebebasan dan tanggung jawab.
3
A. Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum
Hak Asasi Manusia (Hakham), .Bogor: Ghalia Indonesia, 2005, hlm.78-79.
Semua kewajiban itu merupakan amanah yang diemban (33:72), sebagai realisasi dari
perjanjiannya dengan Allah pada awal mula penciptaannya (9:111). Walaupun manusia
mempunyai kewajiban-kewajiban kepada penciptanya, namun kewajiban-kewajiban ini
pada gilirannya menimbulkan segala hak yang berkaitan dengan hubungannya dengan
sesama manusia. Kewajiban bertauhid (mengesakan Allah), misalnya, bila dilaksanakan
dengan benar akan menimbulkan kesadaran akan hak-hak yang berkaitan dengan
hubungan antar sesama manusia, sepeti hak persamaan, hak kebebasan, dan hak
memperoleh keadilan.4
Seorang manusia mengakui hak-hak manusia lain karena hal itu merupakan kewajiban
yang dibebankan kepadanya dalam rangka mematuhi Allah. Karena itu, Islam memandang hak
asasi manusia dengan cara pandang yang berbeda dari Barat, tidak bersifat anthroposentris,
tetapi bersifat theosentris (sadar kepada Allah sebagai pusat kehidupan). Penghargaan kepada
hak asasi manusia, dengan demikian, merupakan bentuk kualitas kesadaran keagamaan,
yaitu kesadaran kepada Allah sebagai pusat kehidupan.5
Falsafah dasar bagi hak asasi manusia dalam Islam terdapat daIam ajarannya yang
utama, yaitu tauhid, kemahaesaan Tuhan. Dalam tauhid terkandung pengertian bahwa yang
ada hanya satu Pencipta bagi alam semesta; alam semesta beserta isinya (manusia, hewan,
tumbuh-tumbuhan dan benda tak bernyawa) berasal dari Yang Maha Esa.Dalam kaitan
dengan hak asasi manusia, ajaran lauhid, dengan demikian, mengandung ide persamaan
dan persaudaraan seluruh manusia (Cf. Q.S. 4:1; dan 49:13). Karena manusia itu bersaudara
dan 51sama derajatnya, manusia tidak boleh diperbudak oleh manusia lain. Manusia dalam
Islam adalah manusia bebas (Q.S. 33:72), bebas dalam kemauan dan perbuatan (Q.S. 76:2-3),
bebas dari tekanan dan paksaan manusia lain, bebas dari eksploitasi manusia lain, bebas
dari pemilikan manusia lain (Q.S. 90:13), dan bahkan bebas dalam beragama (Q.S. 2: 256; dan
10:99) .
Dari ajaran-ajaran dasar tentang persamaan, persaudaraan, dan kebebasan manusia,
timbullah hak-hak asasi manusia yang lain. Karena manusia itu bersaudara (yang
mengimplisitkan adanya kasih sayang) dan memperoleh kebebasan, misalnya, dia secara
individual perlu diberi hak untuk hidup dan memperoleh keamanan (Q.S. 4:29), hak
berkeluarga (Q.S. 4:1 dan 30:21), hak mengecap pendidikan (Q.S. 2:129 dan 3: 164), hak
mendapat pekerjaan, upah yang layak dan memiliki kekayaan (Q.S. 2:188 dan 4:29), hak untuk
bebas bergerak/mobilitas (Q.S. 30:20 dan 67:15), hak berfikir, berbicara, berbeda
pendapat, dan berserikat (Q.S. 3:159; dan 42:38), hak memperoleh jaminan sosial (Q.S. 51:19
dan 90:14-16). Dan secara kolektif, perlu diberi hak untuk bebas menentukan nasib mereka
sendiri (Q.S. 13:11). Lebih lanjut, karena manusia itu bersaudara dan sama derajatnya, dia
secara individual perlu diberi hak memperoleh keadilan di depan hukum dan perlindungan
dari perlakuan yang tidak manusiawi (sewenang-wenang) dalam penyelesaian tertib sosial
(Q.S. 4:58; dan 5:8). Dan secara kolektif, perlu diberi hak untuk bebas dari neokolonialisme
dan segala bentuk diskriminasi (Q.S. 49:13).
4
M.A Fattah Santoso, Islam Dan Hak Asasi Manusia, dalam Fajar Riza Ul Haq dan Endang Tirtana (ed), Islam, HAM,
dan Keindonesiaan, Maarif Institute for Culture and Humanity, 2007, hlm. 49.
5
Ibid, lihat juga Abul A’la Maududi, Hak Asasi manusia dalam Islam, Pustaka Bandung, 1985, hlm. 18-19.
Ajaran Islam tentang hak asasi manusia di atas telah diaktualisasikan dalam
kehidupan bermasyarakat pada zaman Nabi Muhammad SAW dan Khulafa’ur Rasyidin (empat
khalifah pertama) seperti tersirat dalam beberapa Sunnah dan tradisi Sahabat berikut ini.
a. Sebagian dari khutbah Rasulullah SAW di depan umatnya pada peristiwa Haji Wada’:
“.....Hai manusia, sesungguhnya darah dan harta bendamu adalah suci sehingga kamu
menemui Tuhanmu, sebagaimana hari ini, bulan ini, dan negeri ini adalah suci .....
Barang siapa yang telah menerima amanah maka tunaikanlah amanah itu kepada
yang telah mengamanahkannya ..... Kamu mempunyai hak atas diri isteri-isteri
kamu dan isteri-isteri kamu mempunyai hak atas diri kamu ..... Ketahuilah bahwa
semua kaum Muslimin itu bersaudara. Engkau hanya boleh mengambil dari seorang
saudaramu sesuatu yang dengan sukarela diberikannya kepadamu .... Hai
manusia, Tuhan kamu satu, ayahmu pun satu; kamu semua anak Adam, sedang
Adam dari tanah ..... Tidaklah orang Arab lebih tinggi daripada orang non-Arab,
kecuali karena kesalehannya .....” (AK Brohi,1978).
b. Petuah Rasulullah SAW kepada seorang wanita yang datang berkonsultasi kepadanya atas
anjuran Usamah:
“Dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa Usamah suatu saat menganjurkan
kepada seorang wanita untuk datang kepada Nabi. Nabi berkata, ‘beberapa bangsa
sebelum kamu telah dihancurkan karena mereka menjatuhkan hukuman pada
masyarakat kelas bawah tetapi tidak menghukum anggota masyarakat kelas atas
(pada waktu mereka melakukan tindak kejahatan). Demi Tuhan yang ditangan-Nya
terletak kehidupanku, andaikata anak perempuanku Fatimah melakukannya, tentu
saya potong tangannya”.
c. Persetujuan Rasulullah SAW kepada pendapat sahabatnya:
“Dalam peristiwa Perang Badar, Nabi memilih suatu tempat khusus yang dianggapnya
pantas untuk menyerang musuh. Salah seorang sahabatnya, Hubab bin Mandhar,
bertanya kepada Nabi, apakah yang menyebabkannya memilih tempat khusus itu
karena hasil dari wahyu Tuhan. Nabi menjawab tidak. Dengan ucapan itu, Hubab bin
Mandhar lantas mengajukan suatu tempat alternatif untuk memberikan serangan
terhadap musuh, karena menurut anggapannya, tempat itu secara strategis lebib
baik tempatnya. Nabi menyetujuinya.” (A.K. Brohi, 1987).
d. Perjanjian Rasulullah SAW dengan golongan Kristen Najran:
“Dari Muhammad Sang Nabi kepada Abu Harist, uskup Najran, pendeta-pendeta,
rahib-rahib, orang-orang yang hidup di gereja-gereja mereka dan budak-budak
mereka; semuanya akan berada di bawah lindungan Allah dan NabiNya: tidak ada
uskup yang diberhentikan dari keuskupannya, tidak ada rahib yang akan
diberhentikan dari biaranya dan tidak ada pendeta yang akan diberhentikan dari
posnya, dan tidak akan terjadi perubahan dalam hak-hak yang mereka telah nikmati
sejak lama”. (AK Brohi, 1987).
e. Pesan Khalifah Abu Bakar ketika mengirim ekspedisi pertama ke negeri Syam:
“Hendaklah kamu bersikap adil. Jangan patahkan keyakinan yang telah kamu
ikrarkan. Jangan memenggal seseorang pun. Jangan bunuh anak-anak, lelaki-lelaki
dan perempuan-perempuan. Jangan rusakkan atau membakar pohon-pobon
korma, dan jangan tebang pobon-pohon yang menghasilkan buah-buahan. Jangan
bunuh domba-domba, ternak-ternak atau unta-unta, kecuali sekedar untuk dimakan.
Mungkin sekali secara kebetulan kamu akan bersua dengan orang-orang yang telah
mengundurkan diri ke dalam biara-biara, maka biarkanlah mereka dan kegiatan
mereka dalam keadaan yang damai “.
Berdasarkan kajian terhadap ajaran-ajaran Islam tentang hak-hak asasi manusia dan
aktualisasinya pada zaman Nabi dan Khulafa’ur Rasyidin, dapatlah disimpulkan bahwa
prinsip-prinsip dasar yang berkaitan dengan hak asasi manusia, seperti persamaan,
persaudaraan, kebebasan, kemerdekaan, dan penghormatan terhadap sesama dengan jelas
telah dikukuhkan sejak tahap awal Islam, sehingga (menurut pengakuan objektif Jean Claude
Vatin, 1987) “menempatkan dunia Islam beberapa abad di depan Barat”.6
C. Perkembangan HAM secara Nasional dan Internasional
1. Perkembangan HAM Nasional
a. Periode Sebelum Kemerdekaan (1908-1945)
b. Periode Setelah Kemerdekaan
Perdebatan tentang HAM terus berlanjut sampai periode pasca-kemerdekaan
Indonesia: 1945-1950, 1950-1959, 1959-1966, 1966-1998, dan periode HAM Indonesia
kontemporer (pasca-Orde Baru).
1) Periode 1945-1950
Pemikiran HAM pada periode awal pasca-kemerdekaan masih menekankan pada
wacana hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang
didirikan, serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen.
Sepanjang periode ini, wacana HAM bisa dicirikan pada:
a) Bidang sipil dan politik, melalui:
b) Bidang ekonomi, sosial, dan budaya, melalui:
2) Periode 1950-1959
3) Periode 1959-1966
4) Periode 1966-1998
6
M.A Fattah Santoso, Op.Cit. hlm 51-54, lihat juga Syu’bah Asa, HAM Dalam Kajian Khutbah Haji Wada, dalam
Fajar Riza Ul Haq dan Endang Tirtana, Op.Cit, hlm, 17-20