Anda di halaman 1dari 8

HAK ASASI MANUSIA

A. Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)


Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia
manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat
atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya
sebagai manusia. Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap
mempunyai hak-hak tersebut. Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut.
Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable).
Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau betapapun
bengisnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu
tetap memiliki hak-hak tersebut. Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai
makhluk insani.1
Sehubungan dengan pengertian tentang HAM dibawah ini akan dijelaskan pengertian
HAM dari beberapa para ahli dibidangnya, yaitu antara lain:
 John Locke, Hak Asasi Manusia adalah hak yang dibawa sejak lahir yang secara kodrati
melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat (bersifat mutlak).
 Menurut Prof. Koentjoro Poerbo Pranoto(1976), hak asasi manusia adalah hak yang
bersifat asasi. Artinya, hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak
dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga bersifat suci.
 Menurut John Locke, hak adalah hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai
sesuatu yang alami. Artinya, hak asasi manusia yang dimiliki oleh manusia sifatnya
tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya, sehingga besifat suci.
 Menurut G.J. Wolhots, hak-hak asasi manusia adalah sejulah hak yang melekat dan
berakar pada tabiat setiap pribadi manusia, bersifat kemanusiaan
 Jan Materson, anggota Komisi Hak Asasi Manusia PBB, merumuskan pengertian HAM
dalam “human right could be generally defines as those right which are inherent in
our nature and without which we cannot live as human being” yang artinya HAM
adalah hak-hak yang secara secara inheren melekat dalam diri manusia, dan tanpa
hak itu manusia tidaka dapat hidup sebagai manusia
 Menurut Prof. Darji Darmodiharjo, S. H. mengatakan : hak–hak asasi manusia adalah
dasar atau hak – hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugrah tuhan
yang maha esa. Hak – hak asasi itu menjadi dasr dari hak dan kewajiban – kewajiban
yang lain.

Menurut Mukaddimah UDHR atau DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia),
bahwa hak asasi manusia merupakan pengakuan akan martabat yang terpadu dalam diri
setiap orang akan hak-hak yang sama dan tak teralihkan dari semua anggota keluarga manusia
ialah dasar dari kebebasan, keadilan, dan perdamaian dunia.

1
Knut D. Asplunt, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, 2008, hlm. 11
UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, mengartikan hak asasi manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan dan
perlindungan harkat dan martabat manusia. UU RI Nomor 39 Tahun 1999 juga mendefinisikan
kewajiban dasar manusia berupa seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan tidak
memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.
Merujuk kepada beberapa penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa HAM
merupakan hak yang sudah melekat dalam diri setiap insan yang dibawa sejak lahir ke dunia
dan berlaku sepanjang hidupnya serta tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun karena hak
itu sifatnya kodrati yang langsung Allah berikan pada setiap makhluk ciptaanNYA, kemudian
negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhinya. Dan setelah kita
mengetahui apa itu HAM, hendaknya sebagai warga negara Indonesia yang baik kita harus
menjunjung tinggi nilai HAM tanpa adanya perbedaan baik suku, status, keturunan, gender,
golongan dan lain sebagainya.
1. Karakteristik Khusus Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak asasi manusia memiliki karakteristik khusus bila dibandingkan dengan hak orang
lain. Fitur khusus hak asasi manusia sebagai berikut.
 Tidak bisa dicabut, yang berarti bahwa hak asasi manusia tidak dapat dihapus atau
kiri.
 Tidak dapat dibagi, yang berarti bahwa setiap orang berhak atas semua hak, baik hak-
hak sipil dan politik atau ekonomi, sosial, dan budaya.
 Hakiki, yang berarti bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak semua manusia yang
sudah ada sejak lahir.
 Universal, yang berarti bahwa hak asasi manusia berlaku untuk semua orang tanpa
memandang status mereka, etnis, jenis kelamin, atau perbedaan lainnya. Kesetaraan
adalah salah satu dari ide-ide hak asasi manusia.
2. Jenis Hak Asasi Manusia (HAM)
Pada dasarnya hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada setiap manusia yang
lahir berlaku sejak awal kehidupan dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Ada
berbagai hak asasi manusia. Secara garis besar, hak asasi manusia dapat diklasifikasikan ke
dalam enam jenis sebagai berikut:

a. Hak Pribadi (Personal Rights)


 Hak yang berhubungan dengan kehidupan pribadi manusia. Contoh hak-hak pribadi
adalah sebagai berikut.
 Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian, dan berpindah-pindah tempat.
 Hak atau kebebasan berekspresi.
 Hak kebebasan memilih dan aktif dalam organisasi atau asosiasi.
 Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, praktek agama dan kepercayaan yang
diyakini masing-masing.
b. Hak Politik (Political Rights)
 Hak yang berhubungan dengan kehidupan politik. Contoh hak politik adalah sebagai
berikut.
 Hak untuk memilih dalam pemilu.
 Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan pemerintahan.
 Hak untuk membuat dan mendirikan partai politik dan organisasi politik lainnya.
 Hak untuk membuat dan mengajukan permohonan diajukan.
c. Hak Hukum (Legal Equality Rights)
 Hak persamaan di depan hukum dan pemerintahan, yaitu hak yang berhubungan
dengan kehidupan dan supremasi hukum. Contoh hukum hak asasi manusia sebagai
berikut.
 Hak untuk perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
 Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil.
 Hak untuk menerima layanan dan perlindungan hukum.
d. Hak Ekonomi (Property Rigths)
 Hak yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi. Contoh hak-hak ekonomi adalah
sebagai berikut.
 Hak kebebasan kegiatan membeli dan menjual .
 Hak kebebasan kontrak yang ditandatangani.
 Hak kebebasan mengadakan sewa dan utang.
 Hak kebebasan untuk memiliki sesuatu.
 Hak untuk memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak.
e. Hak Keadilan (Procedural Rights)
 Hak untuk diperlakukan sama dalam proses pengadilan. Contoh hak peradilan adalah
sebagai berikut.
 Hak untuk pembelaan hukum di pengadilan.
 Hak untuk persamaan perlakuan pencarian, penangkapan, penahanan, dan
penyelidikan di depan hukum.
f. Hak Sosial dan Budaya (Social Culture Rights)
 Hak yang berhubungan dengan kehidupan sosial. Contoh budaya sosial adalah
sebagai berikut.
 Hak untuk menentukan, memilih, dan mendapatkan pendidikan.
 Hak untuk pendidikan.
 Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat mereka.

B. Ajaran Islam tentang HAM


1. Kewajiban dalam Islam
Pembicaraan tentang hak asasi manusia, pada umumnya orang akan berbicara pada
hak, padahal sesungguhnya hak bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, dia selalu terkorelasi
dengan kewajiban. Islam mengajarkan pengutamaan kewajiban yang kemudian baru diikuti
oleh hak, ketika berhadapan dengan melakukan kewajiban berdasarkan syariat islam, maka
hak dengan sendirinya akan didapatkan oleh manusia, dan ada mekanisme Allah yang bekerja
disana. Sehubungan dengan kewajiban ini dapat ditemukan dalam Al Quran yang artinya
sebagai berikut:
"Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik
dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari
apa yang telah mereka kerjakan." (QS an-Nahl [16]: 97).
Firman Allah SWT di atas menggambarkan secara jelas bahwa Islam adalah ajaran
yang mengutamakan dan mendahulukan pelaksanaan dan pemenuhan kewajiban. Barulah
kemudian menerima dan mendapatkan haknya sebagai balasan dari amal perbuatannya
tersebut. Dan, bukan sebaliknya.2
Sebagai contoh, seorang mahasiswa dalam proses belajar di Perguruan Tinggi akan
mendapatkan nhaknya ketika dia sudah menjalankan semua kewajiban yang sudah ditentukan
oleh Perguruan Tinggi tersebut, seorang mahasiswa yang mengikuti semua kewajiban
perkuliahan, tentu dia akan mendapatkan haknya untuk ikut ujian. Setiap orang yang
melaksanakan kewajiban, cepat atau lambat, baik langsung maupun tidak langsung, pasti
akan mendapatkan haknya. Tetapi, tidak setiap orang yang menuntut hak dapat
melaksanakan kewajibannya dengan baik. Allah SWT berfirman dalam ayat yang lain, yaitu QS
an-Najm [53] ayat 39, "Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya."
Seorang pemimpin pun memiliki kewajiban untuk berlaku adil dan berpihak kepada
masyarakat dan rakyatnya sehingga masyarakat terlindungi dan tersejahterakan dengan baik.
Bukan sebaliknya, hidup dengan fasilitas yang berlebih-lebihan, tetapi tidak dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat. Kisah kepemimpinan para khalifah setelah wafatnya Rasulullah
SAW dan juga Khalifah Umar bin Abdul Azis, mencerminkan bahwa mereka adalah pemimpin
yang melaksanakan kewajiban secara maksimal. Mereka sama sekali tidak pernah menuntut
haknya sehingga rakyatnya sangat tunduk dan patuh serta merasa bahagia dengan
kepemimpinan mereka.
Di tengah-tengah keinginan yang kuat dari setiap orang untuk mendapatkan jabatan,
upaya menyadarkan pada tugas dan tanggung jawab jauh lebih penting daripada

2
Didin Hafidhuddin, Kewajiban Dalam Islam, dalam http://www.republika.co.id/ berita/dunia-islam/
hikmah/11/04/06/lj7j5i-mendahulukan-kewajiban, diakses 15 Februari 2016
membicarakan fasilitas-fasilitas tertentu, yang kadang kala tidak berkaitan secara langsung
dengan pelaksanaan kewajibannya. Perlu disadari bahwa jabatan itu hakikatnya adalah
pemenuhan kewajiban dan bukannya penuntutan atau pemberian fasilitas semata-mata.
Fatwa Musyawarah Nasional VI Majelis Ulama Indonesia No. 6/MUNAS VI/MUI/2000
Tentang Hak-Hak Asasi Manusia juga menegaskan tentang perlunya keseimbangan antara hak
dan kewajiban. Dalam konteks HAM fatwa tersebut menyatakan :
1. Wajib menerima, menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia
yang bersifat universal dengan syarat:
a. Menghargai dan menghormati perbedaan pemahaman, penafsiran serta
pelaksanaannya yang didasarkan oleh perbedaan budaya, kesusilaan, dan
perundang-undangan yang berlaku di negara masing-masing;
b. Pemahaman dan pelaksanaan HAM wajib memperhatikan:
1) Keseimbangan antara hak individu dan kewajiban individu;
2) Keseimbangan antara hak individu dan dan hak masyarakat,
3) Keseimbangan antara hak kebebasan dan tanggung jawab.

2. HAM dan Islam


Hak Asasi Manusia (HAM), dipercaya memiliki nilai universal. Nilai universal berarti
tidak mengenal batas ruang dan waktu. Nilai universalitas yang kemudian diterjemahkan
dalam berbagai produk hukum di berbagai negara untuk dapat melindungi dan menegakkan
nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan nilai unversal ini dikukuhkan dalam instrumen internasional. 3
Dalam kenyataan, menunjukan bahwa nilai-nilai HAM yang universal ternyata dalam
penerapannya tidak memiliki kesamaan dan keseragamaan. Penafsiran right to live (hak
untuk hidup), misalnya, bisa di terapkan secara berbeda antara satu negera dengan negara
lain, khususnya antara Islam dan Barat. Dalam penterjemahan right to live tiap-tiap negara
memiliki penafsiran yang berbeda tentang seberapa jauh negara dapat menjamin right to
live ini.
Islam adalah agama yang sempurna yang menyentuh segala aspek kehidupan
manusia, didalamnya terdapat hukum-hukum poilitik, tata negara, ekonomi, sosial, dan lain
sebagainya dari sisi kehidupan manusia.[27] Dari pada itulah, umat islam dalam kehidupan
sehari-harinya selalu berlandaskan pada dua sumber utama yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, yang
terkandung didalamnya konsep-konsep Hak Asasi Manusia. ,[28].
Cara pandang Islam terhadap hak asasi manusia tidak terlepas dari cara pandangnya
terhadap status dan fungsi manusia. Manusia adalah makhluk Allah yang terhormat (Q.S.
17:70 dan 15:28-29) dan fungsional (Q.S. 6:165 dan 33:72). Dari eksistensinya yang ideal,
manusia ditarik pada kehidupan yang riil (realitas empirik) agar ia dapa: teruji sebagai
makhluk yang fungsional. Dalam kaitan ini, ia disebut khalifah, dalam pengertian
mandataris, yang diberi kuasa, dan bukan sebagai penguasa. Dalam status terhormat dan
fungsi mandataris ini, manusia hanya mempunyai kewajiban-kewajiban kepada Allah (karena
itu, Allah semata yang mempunyai hak-hak) dengan cara mematuhi hukum-hukumNya.

3
A. Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum
Hak Asasi Manusia (Hakham), .Bogor: Ghalia Indonesia, 2005, hlm.78-79.
Semua kewajiban itu merupakan amanah yang diemban (33:72), sebagai realisasi dari
perjanjiannya dengan Allah pada awal mula penciptaannya (9:111). Walaupun manusia
mempunyai kewajiban-kewajiban kepada penciptanya, namun kewajiban-kewajiban ini
pada gilirannya menimbulkan segala hak yang berkaitan dengan hubungannya dengan
sesama manusia. Kewajiban bertauhid (mengesakan Allah), misalnya, bila dilaksanakan
dengan benar akan menimbulkan kesadaran akan hak-hak yang berkaitan dengan
hubungan antar sesama manusia, sepeti hak persamaan, hak kebebasan, dan hak
memperoleh keadilan.4
Seorang manusia mengakui hak-hak manusia lain karena hal itu merupakan kewajiban
yang dibebankan kepadanya dalam rangka mematuhi Allah. Karena itu, Islam memandang hak
asasi manusia dengan cara pandang yang berbeda dari Barat, tidak bersifat anthroposentris,
tetapi bersifat theosentris (sadar kepada Allah sebagai pusat kehidupan). Penghargaan kepada
hak asasi manusia, dengan demikian, merupakan bentuk kualitas kesadaran keagamaan,
yaitu kesadaran kepada Allah sebagai pusat kehidupan.5
Falsafah dasar bagi hak asasi manusia dalam Islam terdapat daIam ajarannya yang
utama, yaitu tauhid, kemahaesaan Tuhan. Dalam tauhid terkandung pengertian bahwa yang
ada hanya satu Pencipta bagi alam semesta; alam semesta beserta isinya (manusia, hewan,
tumbuh-tumbuhan dan benda tak bernyawa) berasal dari Yang Maha Esa.Dalam kaitan
dengan hak asasi manusia, ajaran lauhid, dengan demikian, mengandung ide persamaan
dan persaudaraan seluruh manusia (Cf. Q.S. 4:1; dan 49:13). Karena manusia itu bersaudara
dan 51sama derajatnya, manusia tidak boleh diperbudak oleh manusia lain. Manusia dalam
Islam adalah manusia bebas (Q.S. 33:72), bebas dalam kemauan dan perbuatan (Q.S. 76:2-3),
bebas dari tekanan dan paksaan manusia lain, bebas dari eksploitasi manusia lain, bebas
dari pemilikan manusia lain (Q.S. 90:13), dan bahkan bebas dalam beragama (Q.S. 2: 256; dan
10:99) .
Dari ajaran-ajaran dasar tentang persamaan, persaudaraan, dan kebebasan manusia,
timbullah hak-hak asasi manusia yang lain. Karena manusia itu bersaudara (yang
mengimplisitkan adanya kasih sayang) dan memperoleh kebebasan, misalnya, dia secara
individual perlu diberi hak untuk hidup dan memperoleh keamanan (Q.S. 4:29), hak
berkeluarga (Q.S. 4:1 dan 30:21), hak mengecap pendidikan (Q.S. 2:129 dan 3: 164), hak
mendapat pekerjaan, upah yang layak dan memiliki kekayaan (Q.S. 2:188 dan 4:29), hak untuk
bebas bergerak/mobilitas (Q.S. 30:20 dan 67:15), hak berfikir, berbicara, berbeda
pendapat, dan berserikat (Q.S. 3:159; dan 42:38), hak memperoleh jaminan sosial (Q.S. 51:19
dan 90:14-16). Dan secara kolektif, perlu diberi hak untuk bebas menentukan nasib mereka
sendiri (Q.S. 13:11). Lebih lanjut, karena manusia itu bersaudara dan sama derajatnya, dia
secara individual perlu diberi hak memperoleh keadilan di depan hukum dan perlindungan
dari perlakuan yang tidak manusiawi (sewenang-wenang) dalam penyelesaian tertib sosial
(Q.S. 4:58; dan 5:8). Dan secara kolektif, perlu diberi hak untuk bebas dari neokolonialisme
dan segala bentuk diskriminasi (Q.S. 49:13).

4
M.A Fattah Santoso, Islam Dan Hak Asasi Manusia, dalam Fajar Riza Ul Haq dan Endang Tirtana (ed), Islam, HAM,
dan Keindonesiaan, Maarif Institute for Culture and Humanity, 2007, hlm. 49.

5
Ibid, lihat juga Abul A’la Maududi, Hak Asasi manusia dalam Islam, Pustaka Bandung, 1985, hlm. 18-19.
Ajaran Islam tentang hak asasi manusia di atas telah diaktualisasikan dalam
kehidupan bermasyarakat pada zaman Nabi Muhammad SAW dan Khulafa’ur Rasyidin (empat
khalifah pertama) seperti tersirat dalam beberapa Sunnah dan tradisi Sahabat berikut ini.
a. Sebagian dari khutbah Rasulullah SAW di depan umatnya pada peristiwa Haji Wada’:
“.....Hai manusia, sesungguhnya darah dan harta bendamu adalah suci sehingga kamu
menemui Tuhanmu, sebagaimana hari ini, bulan ini, dan negeri ini adalah suci .....
Barang siapa yang telah menerima amanah maka tunaikanlah amanah itu kepada
yang telah mengamanahkannya ..... Kamu mempunyai hak atas diri isteri-isteri
kamu dan isteri-isteri kamu mempunyai hak atas diri kamu ..... Ketahuilah bahwa
semua kaum Muslimin itu bersaudara. Engkau hanya boleh mengambil dari seorang
saudaramu sesuatu yang dengan sukarela diberikannya kepadamu .... Hai
manusia, Tuhan kamu satu, ayahmu pun satu; kamu semua anak Adam, sedang
Adam dari tanah ..... Tidaklah orang Arab lebih tinggi daripada orang non-Arab,
kecuali karena kesalehannya .....” (AK Brohi,1978).
b. Petuah Rasulullah SAW kepada seorang wanita yang datang berkonsultasi kepadanya atas
anjuran Usamah:
“Dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa Usamah suatu saat menganjurkan
kepada seorang wanita untuk datang kepada Nabi. Nabi berkata, ‘beberapa bangsa
sebelum kamu telah dihancurkan karena mereka menjatuhkan hukuman pada
masyarakat kelas bawah tetapi tidak menghukum anggota masyarakat kelas atas
(pada waktu mereka melakukan tindak kejahatan). Demi Tuhan yang ditangan-Nya
terletak kehidupanku, andaikata anak perempuanku Fatimah melakukannya, tentu
saya potong tangannya”.
c. Persetujuan Rasulullah SAW kepada pendapat sahabatnya:
“Dalam peristiwa Perang Badar, Nabi memilih suatu tempat khusus yang dianggapnya
pantas untuk menyerang musuh. Salah seorang sahabatnya, Hubab bin Mandhar,
bertanya kepada Nabi, apakah yang menyebabkannya memilih tempat khusus itu
karena hasil dari wahyu Tuhan. Nabi menjawab tidak. Dengan ucapan itu, Hubab bin
Mandhar lantas mengajukan suatu tempat alternatif untuk memberikan serangan
terhadap musuh, karena menurut anggapannya, tempat itu secara strategis lebib
baik tempatnya. Nabi menyetujuinya.” (A.K. Brohi, 1987).
d. Perjanjian Rasulullah SAW dengan golongan Kristen Najran:
“Dari Muhammad Sang Nabi kepada Abu Harist, uskup Najran, pendeta-pendeta,
rahib-rahib, orang-orang yang hidup di gereja-gereja mereka dan budak-budak
mereka; semuanya akan berada di bawah lindungan Allah dan NabiNya: tidak ada
uskup yang diberhentikan dari keuskupannya, tidak ada rahib yang akan
diberhentikan dari biaranya dan tidak ada pendeta yang akan diberhentikan dari
posnya, dan tidak akan terjadi perubahan dalam hak-hak yang mereka telah nikmati
sejak lama”. (AK Brohi, 1987).
e. Pesan Khalifah Abu Bakar ketika mengirim ekspedisi pertama ke negeri Syam:
“Hendaklah kamu bersikap adil. Jangan patahkan keyakinan yang telah kamu
ikrarkan. Jangan memenggal seseorang pun. Jangan bunuh anak-anak, lelaki-lelaki
dan perempuan-perempuan. Jangan rusakkan atau membakar pohon-pobon
korma, dan jangan tebang pobon-pohon yang menghasilkan buah-buahan. Jangan
bunuh domba-domba, ternak-ternak atau unta-unta, kecuali sekedar untuk dimakan.
Mungkin sekali secara kebetulan kamu akan bersua dengan orang-orang yang telah
mengundurkan diri ke dalam biara-biara, maka biarkanlah mereka dan kegiatan
mereka dalam keadaan yang damai “.
Berdasarkan kajian terhadap ajaran-ajaran Islam tentang hak-hak asasi manusia dan
aktualisasinya pada zaman Nabi dan Khulafa’ur Rasyidin, dapatlah disimpulkan bahwa
prinsip-prinsip dasar yang berkaitan dengan hak asasi manusia, seperti persamaan,
persaudaraan, kebebasan, kemerdekaan, dan penghormatan terhadap sesama dengan jelas
telah dikukuhkan sejak tahap awal Islam, sehingga (menurut pengakuan objektif Jean Claude
Vatin, 1987) “menempatkan dunia Islam beberapa abad di depan Barat”.6
C. Perkembangan HAM secara Nasional dan Internasional
1. Perkembangan HAM Nasional
a. Periode Sebelum Kemerdekaan (1908-1945)
b. Periode Setelah Kemerdekaan
Perdebatan tentang HAM terus berlanjut sampai periode pasca-kemerdekaan
Indonesia: 1945-1950, 1950-1959, 1959-1966, 1966-1998, dan periode HAM Indonesia
kontemporer (pasca-Orde Baru).
1) Periode 1945-1950
Pemikiran HAM pada periode awal pasca-kemerdekaan masih menekankan pada
wacana hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang
didirikan, serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen.
Sepanjang periode ini, wacana HAM bisa dicirikan pada:
a) Bidang sipil dan politik, melalui:
b) Bidang ekonomi, sosial, dan budaya, melalui:
2) Periode 1950-1959
3) Periode 1959-1966
4) Periode 1966-1998

5) Periode Pasca-Orde Baru


1. Perkembangan HAM Internasional

6
M.A Fattah Santoso, Op.Cit. hlm 51-54, lihat juga Syu’bah Asa, HAM Dalam Kajian Khutbah Haji Wada, dalam
Fajar Riza Ul Haq dan Endang Tirtana, Op.Cit, hlm, 17-20

Anda mungkin juga menyukai