Anda di halaman 1dari 8

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Hari ini 71 tahun silam, tepatnya tanggal 22 Oktober 1945,

terjadi peristiwa penting yang merupakan rangkaian sejarah perjuangan Bangsa Indonesia
melawan kolonialisme. Dikatakan penting, karena hari ini, 71 tahun silam, PBNU yang
mengundang konsul-konsul NU di seluruh Jawa dan Madura yang hadir pada tanggal 21
Oktober 1945 di kantor PB ANO (Ansor Nahdlatul Oelama) di Jl. Bubutan VI/2 Surabaya,
berdasar amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam dalam jihad
mempertahankan tanah air dan bangsanya yang disampaikan Rais Akbar KH Hasyim Asy'ari,
dalam rapat PBNU yang dipimpin Ketua Besar KH Abdul Wahab Hasbullah, menetapkan satu
keputusan dalam bentuk resolusi yang diberi nama “Resolusi Jihad Fii Sabilillah”, yang isinya
sebagai berikut:

BACA JUGA

 Ikuti Instagram TIMES Indonesia


 Bahaya Kesehatan Mental bagi Generasi Z
 Sumpah Pemuda dan Kepemimpinan Berbasis Digital
 Menakar Makna Sumpah Pemuda di Era Milenial
 Kepentingan Oligarki dan Konglomerasi Media dalam Sistem Demokrasi di Indonesia
 Dampak Negatif HP

“Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe 'ain (jang haroes dikerdjakan oleh
tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang
berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi
orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah
(jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)…”

Iklan

menutup
panah_maju_iosBaca selengkapnya
Berhenti sebentar
00:00
00:53
00:59
Membunyikan

Didukung oleh GliaStudio


Dalam tempo singkat, Surabaya diguncang oleh kabar seruan jihad dari PBNU ini. Dari masjid
ke masjid dan dari musholla ke musholla tersiar seruan jihad yang dengan kegembiraan
menyambut penduduk Surabaya yang sepanjang bulan September sampai Oktober telah
meraih kemenangan dalam pertempuran melawan sisa-sisa tentara Jepang yang menolak
tunduk kepada arek-arek Surabaya. Demikianlah, sejak dimaklumkan tanggal 22 Oktober
1945, Resolusi Jihad membakar semangat seluruh lapisan rakyat hingga pemimpin di Jawa
Timur terutama di Surabaya, sehingga dengan tegas mereka berani menolak kehadiran
Sekutu yang sudah mendapat ijin dari pemerintah pusat di Jakarta.
Sesungguhnya, saat Resolusi Jihad dikumandangkan oleh PBNU, Perang Dunia II sudah selesai
karena Jepang sudah takluk sejak 15 Agustus 1945. Kedatangan balatentara Inggris ke Jakarta,
Semarang, Surabaya adalah dalam rangka penyelesaian masalah interniran dan tawanan
perang Jepang, yang di dalam proses yang ditandai oleh maraknya isu kembalinya
pemerintah Kolonial Belanda ke Indonesia dengan membonceng balentantara
Inggris. Sementara pada pekan kedua Oktober 1945, Presiden Soekarno mengirim utusan
khusus ke Pesantren Tebuireng, menemui KH Hasyim Asy'ari, untuk meminta petunjuk dan
arah guna memecahkan kegundahan hati presiden.

Pasalnya, sampai bulan Oktober ini, belum ada satu pun Negara di dunia yang mengakui
kemerdekaan Indonesia dan mengakui Negara Indonesia, akibat usaha-usaha pemerintah
Belanda yang menyebarkan berita provokatif ke seluruh dunia bahwa Republik Indonesia
yang dipimpin Soekarno dan Hatta, adalah Negara boneka bikinan Fasisme Jepang. Betapa
meyakinkannya dunia bahwa Republik Indonesia bukanlah negara boneka Fasisme Jepang,
melainkan Negara Kebangsaan (Nation State) yang didukung rakyat seluruhnya.

Seruan Resolusi jihad yang dikumandangkan PBNU dalam keadaan perang sudah berakhir
lebih dari satu abad, dinilai sebagian elit pemimpin Negara di Jakarta mengada-ada. Bahkan
sehari setelah Resolusi Jihad diserukan, sepanjang hari sejak pagi tanggal 24 Oktober 1945,
Bung Tomo melalui pidatonya menyampaikan pesan kepada arek-arek Surabaya agar jangan
mudah berkompromi dengan Sekutu yang akan mendarat di Surabaya. Sebagai wartawan
Bung Tomo sudah mendapat bahwa pasukan Sekutu akan mendarat di Surabaya tanggal 25
Oktober 1945, informasi sampai tanggal 24 Oktober 1945 pagi, Bung Tomo sudah berpidato
mengobarkan semangat rakyat Suranaya, dengan isi pidato sebagai berikut:

“Kita ekstrimis dan rakyat, sekarang tidak percaya lagi pada ucapan-ucapan manis. Kita tidak
percaya setiap gerakan (yang mereka lakukan) demi kemerdekaan Republik tetap tidak
diakui! Kita akan menembak, kita akan mengalirkan darah siapa pun yang merantangi jalan
kita! Kalau kita tidak diberi Kemerdekaan sepenuhnya, kita akan menghancurkan gedung-
gedung dan pabrik-pabrik imperialis dengan granat tangan dan dinamit yang kita miliki, dan
kita akan memberikan tanda revolusi, menghancurkan usus setiap makhluk hidup yang
berusaha menjajah kita kembali!”

“Ribuan rakyat yang kelaparan, telanjang, dan dihina oleh kolonialis, akan menjalankan
revolusi ini. Kita kaum ekstrimis, kita yang memberontak dengan penuh semangat revolusi,
bersama dengan rakyat Indonesia, yang pernah ditindas oleh penjajah, lebih senang melihat
Indonesia banjir darah dan tenggelamnya dasar samudera daripada dijajah sekali lagi! Tuhan
akan melindungi kita! Merdeka! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”

Suasana panas yang membakar semangat penduduk Kota Surabaya akibat pengaruh Resolusi
Jihad dan pidato yang disampaikan Bung Tomo, semakin memuncak sewaktu kapal perang
Inggris HMS Wavenley menurunkan pasukan di dermaga Modderlust Surabaya pada tanggal
25 Oktober 1945. Karena tokoh-tokoh Surabaya menolak penurunan pasukan Inggris ke
Surabaya, maka pihak Inggris mengirim Kapten Mac Donald dan Pembantu Letnan Gordon
Smith untuk menemui Gubernur. Bersandarnya HMS Wavenley sendiri pada dasarnya
merupakan hasil perundingan yang sulit, karena sehari sebelumnya, tanggal 24 Oktober 1945,
sewaktu diadakan perundingan di Modderlust antara utusan Sekutu yang dihadiri Kolonel
Carwood dan pihak TKRL yang melibatkan Oemar Said, J.Soelamet, Hermawan, dan Nizam
Zachman terjadi jalan buntu. Semua permintaan Sekutu ditolak.

Pidato Bung Tomo dan jalan buntu perundingan sekutu dengan TKRL masih ditambah dengan
pidato Drg Moestopo pada malam hari jam 20.00, yang menyatakan diri sebagai Menhan RI
yang tegas-tegas menolak Sekutu untuk mendaratkan pasukan dan bahkan menyebut Sekutu
sebagai NICA. Sekutu yang dari laporan intelijennya mengetahui bahwa Drg Moestopo adalah
seorang dokter gigi yang aktif sebagai petugas PETA, membalas pidato melalui pemancar
radio dari kapal yang isinya, “Kami tidak menerima perintah apa pun dari siapa pun, kami
tidak memiliki perintah dari dokter gigi. ahli bedah!" Jawaban Inggris yang bernada humor itu,
menunjukkan bahwa pihak Inggris tidak sedikit pun memiliki bayangan bahwa mereka akan
menghadapi pertempuran di Surabaya.

Bahkan pidato Bung Tomo, ketegasan TKRL menolak permintaan Sekutu untuk mendaratkan
pasukan, tindakan Drg Moestopo yang juga melarang Sekutu mendaratkan pasukan,
dianggap aneh oleh hampir seluruh pemimpin di Jakarta, karena tindakan itu dinilai tidak
sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat di Jakarta dan berpotensi menyulut konflik
berdarah. baru. Itu sebabnya pemerintah mengirim Pak Soedarpo, Pak Kasman Singodimedjo
dan Pak Sartono untuk memberitahu Drg Moestopo agar bersedia membiarkan Sekutu
menuliskannya. Namun Drg Moestopo tidak sedikit pun mengikuti petunjuk dari para pejabat
tinggi Negara itu. Sikap tegas Drg Moestopo baru memanas setelah pagi hari tanggal 25
Oktober 1945 ia ditelpon langsung oleh Presiden Soekarno dan diperintah agar tidak
menembak Sekutu. Presiden Soekarno mengingatkan bahwa sebagai perwira mantan didikan
PETA, Drg Moestopo harus patuh kepada presidennya.

Tanggal 25 Oktober 1945 itulah HMS Wavenley bersandar di dermaga Modderlust dan
mengirim Kapten Mac Donald dan Pembantu Letnan Gordon Smith untuk berdiskusi dengan
Gubernur. Dengan siasat mengundang jamuan minum teh sambil berunding, Sekutu
memanfaatkan kunjungan gubernur untuk melihat tawanan di Kalisosok dengan mendaratkan
pasukan secara besar-besaran.

Tindakan ini mengudang reaksi keras penduduk. Lalu diadakan perundingan antara Drg
Moestopo dengan Kolonel Pugh. Hasilnya, pasukan Sekutu berhenti pada garis batas 800
meter dari pantai ke arah kota. Sekali pun pasukan sekutu berada di garis batas 800 meter
dari pantai ke arah kota, namun pasukan yang diturunkan dari kapal berjumlah sekitar 2800
personel dari Brigade ke-349 Mahratta yang dilengkapi dengan persenjataan perang modern.

Tindakan para pemimpin dan rakyat Jawa Timur untuk tegas menolak pasukan Sekutu yang
menjalankan tugas mengurusi interniran dan tawanan perang Jepang yang terlihat dari pidato
Bung Tomo, Pidato Drg Moestopo dan sikap TKRL yang mengejutkan para pemimpin di
Jakarta dalam kaitan dengan Resolusi Jihad yang dikumandangkan PBNU, tidak banyak
terungkap dalam kajian sejarah modern di sekolah.

Namun dengan memahami situasi dan kondisi waktu itu berdasarkan kesaksian para pelaku
sejarah – yang saat ini sudah banyak yang meninggal dunia – tidak bisa membalas orang lain
kecuali akibat momentum sejarah yang terjadi saat itu yang mempengaruhi cara pandang dan
keberhasilan pengobaran semangat rakyat dan pemimpin-pemimpin Jawa Timur oleh usaha
sistematis untuk memicu pecahnya konflik besar. Dan momentum sejarah itu, tidak lain dan
tidak bukan adalah dimaklumkannya Resolusi Jihad oleh PBNU tanggal 22 Oktober 1945.

Sementara itu, setelah mendaratkan pasukan Brigade ke-49 Mahratta dari HMS Wavenley,
pagi hari tanggal 26 Oktober 1945 diadakan perundingan antara pihak RI yang diwakili oleh
Wakil Gubernur Soedirman, Ketua KNI Doel Arnowo, Walikota Radjamin Nasution, dan wakil
Drg Moestopo, Jenderal Walikota Muhammad dengan pihak Sekutu yang mewakili AWS
Mallaby dan staf. Hasil perundingan, pasukan sekutu dalam menjalankan tugas mengevakuasi
tawanan Jepang dan interniran Belanda diperbolehkan menggunakan beberapa bangunan di
dalam kota. Brigade Markas ke-49 Mahratta ditetapkan di Jalan Kayoon. Namun persetujuan
menggunakan beberapa bangunan yang digunakan secara curang, di mana Sekutu justru
membangun pos-pos pertahanan yang menebar di berbagai tempat mulai dari kawasan
pantai hingga ke bagian tengah dan selatan kota. Di antara pos-pos pertahanan Sekutu yang
diperkuat senapan mesin adalah yang di Benteng Miring, gedung sekolah al-Irsyad di Ampel,
gedung Internatio, pabrik Palmboom, gedung Lindeteves, gedung Onderlingblang, jalan
Gemblongan, sekolah HBS (SMA Kompleks Wijayakusuma-pen), Rumah Sakit Darmo, Gubeng,
Dinoyo, pabrik Colibri, gudang BAT, Wonokromo, Don Bosco, dll.

Mendapati tindakan Sekutu membangun pos-pos pertahanan, Kolonel Jono Sewojo


mendatangi Brigadir Jenderal AWSMallaby dan memprotes tindakan tidak jujur itu. Namun
dengan alasan untuk pertahanan diri dan melancarkan tugas-tugas yang dijalankan pasukan
sekutu, pos-pos pertahanan memang penting dibuat. Kolonel Jono Sewojo yang pejabat
didikan PETA yang mengetahui bahwa pembangunan pos-pos pengamanan yang tersebar itu
adalah bagian dari strategi pengamanan kota dengan tegas mengingatkan Mallaby tentang
kemungkinan pecahnya pertempuran di Surabaya dengan keberadaan pos-pos pengamanan
Sekutu itu. Ketika Mallaby bersikukuh dengan keputusannya untuk mempertahankan
keberadaan pos-pos perlindungan itu, Kolonel Jono Sewojo dengan marah berdiri menunjuk
muka Mallaby sambil berkata, “ Saya ingatkan. Jika kamu menembakku, aku akan
menembakmu kembali !”

Ternyata bukan hanya Kolonel Jono Sewojo selaku kepala staf TKR Jawa Timur yang marah
terhadap tindakan Sekutu yang di luar kesepakatan dengan pihak RI telah membangun pos-
pos pertahanan, arek-arek Surabaya terutama para pemuda Islam yang terbakar seruan jihad
fi sabilillah sangat marah. Kasak-kusuk menyebarkan bahwa pos-pos pertahanan yang
dibangun Sekutu itu sebagai usaha untuk penjajah Inggris untuk memperkuat kembali
kekuasaan kolonial Belanda dengan menggunakan bantuan pasukan Sekutu. Tanpa ada yang
mengomando, sejak sore hari ratusan santri keluar pondok bersama pemuda-pemuda
kampung di kawasan utara Surabaya keluar ke jalanan menuju pos-pos perlindungan
Sekutu. Sekitar jam 16.00 tanggal 26 Oktober 1945, tanpa ada yang mengomando, dengan
didahului teriakan Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! beratus-ratus santri tua dan
muda beserta pemuda-pemuda dari kampung-kampung di Surabaya utara seperti Ampel,
Sukadana, Boto Putih, Pekulen, Pegirikan, Sawah Pulo dipimpin Ahyat Cholil, kader Anshoru
Nahdlatul Oelama (ANO) yang aktif di Hisbullah, beramai- ramai menyerang pos pertahanan
Sekutu di Benteng Miring di sebelah utara gedung sekolah Al-Irsyad.

Ketika iring-iringan santri dan pemuda dari berbagai kampung itu sudah berada di lapangan
sekolah al-Irsyad yang membentang di depan gedung sekolah al-Irsyad, pasukan Sekutu
melepaskan tembakan. Puluhan orang tumbang dengan tubuh bersimbah darah. Namun
diselingi teriakan Allahu Akbar! yang sambung-menyambung, beratus-ratus santri dan
pemuda kampung itu terus menyerbu sambil mengacungkan bambu runcing, celurit, keris,
tombak, samurai, dan senapan rampasan.

Lalu seiring berhembusnya kabar tentang gugurnya sejumlah santri dan pemuda akibat
ditembaki Sekutu, penduduk kampung beramai-ramai keluar dengan membawa aneka
macam senjata. Dalam waktu singkat, gedung sekolah Al-Irsyad yang dijadikan markas tentara
Brigade 49 Mahratta yang disebut penduduk sebagai “Gurkha” itu dikepung ribuan
penduduk. Tembak-menembak berlangsung sampai malam hari. Santri dan pemuda yang
tidak membawa senjata membalas tembakan tentara “Gurkha” dengan melemparkan batu.

Di tengah hiruk pikuk tembak-menembak di Sekolah Al-Irsyad yang terkepung, diam-diam


satu peleton pasukan Sekutu yang dipimpin Kapten Shaw dari pangkalan Inggris di Ujung
menerobos masuk ke Reineer Boulevard. Pasukan ini adalah pasukan elit Inggris yang
berusaha membebaskan Kapten Huijer, Kapten Groom dan Walikota Finley yang ditawan TKR
sejak mereka tertangkap di Kertosono. Terjadi baku tembak antara pasukan Sekutu ini dengan
para pengawal tawanan.

Penduduk kampung Surabaya yang sudah siaga perang, begitu mendengar letusan senjata
langsung berbondong-bondong ke Reineer Boulevard dan menyerang pasukan
Sekutu. Dalam waktu singkat truk dan jep yang dinaiki pasukan Sekutu dibakar. Kapten Shaw
dan prajuritnya lari tunggang-langgang dan dengan sisa kendaraannya pergi menuju
pelabuhan. Beberapa orang di antara prajurit Sekutu tertembak tetapi berhasil diangkut ke
kapal yang bersandar di pelabuhan.

Arek-arek Surabaya yang rata-rata memiliki keahlian di bidang teknik dan perbengkelan
mengetahui bahwa pertempuran melawan Sekutu tidak akan terhindarkan meskipun pihak
penduduk kalah senjata. Itu sebabnya, sejak sore hari arek-arek Surabaya sudah bergerak
sendiri dengan inisiatif sendiri untuk mengurangi listrik kota, memutus jaringan telepon,
menutup saluran air ledeng, dan menghentikan pasokan gas dalam kota. Menurut Walikota
Jenderal Soengkono panglima pertempuran Surabaya yang mencatat bahwa tanggal 26
Oktober 1945 itu ditandai pecahnya pertempuran awal di Surabaya utara, yang membuat
seluruh kota tenggelam dalam kegelapan malam yang tanpa lampu, tanpa air minum, tanpa
telepon, tanpa gas, bahkan tanpa pasokan makanan karena seluruh jalanan kota sudah
tertutup barikade-barikade yang dibikin penduduk.

Pagi hari tanggal 27 Oktober 1945 kota Surabaya gemetar diguncang kemarahan, sebab di
tengah tersebarnya kabar gugurnya santri dan pemuda yang mengelilingi pos pertahanan
Sekutu di Sekolah Al-Irsyad tersebar pula bahwa Sekutu diam-diam mendaratkan lebih
banyak pasukan ke Surabaya untuk memperkuat pos-pos pertahanannya.

Penyerangan penduduk kampung terhasdap pos pertahanan di sekolah Al-Irsyad menangkap


pihak Sekutu sebagai tolok ukur bakal pecahnya pertempuran dalam skala yang lebih
besar. Itu sebabnya bala bantuan didatangkan untuk memperkuat pos-pos pertahanan yang
tersebar di sejumlah kawasan strategis kota Surabaya. Dan warga kampung mulai memasang
barikade-barikade di gerbang masuk kampungnya dengan kayu, bambu, drum, meja, kursi,
ban, gedek, kawat, dll.

Kira-kira jam 09.00 di atas langit Surabaya melayang-layang pesawat militer jenis Dakota dari
Jakarta menebarkan ribuan selebaran yang ditanda-tangani Walikota Jenderal DCHawthorn
yang berisi perintah kepada penduduk Surabaya untuk menyerahkan segala persenjataan dan
peralatan Jepang kepada Sekutu.

Perintah itu disertai ancaman, bahwa apabila masih ada orang yang membawa senjata akan
langsung ditembak di tempat. Tentang peristiwa pesawat Dakota yang menyebarkan
selebaran berisi ancaman itu, Christopher Bayiy dan Tim Harper dalam Forgotten Wars, the
end of Brittain's Asian Empire, mengungkapnya sebagai berikut: “ Pada tanggal 27 September,
ada selebaran yang tidak disengaja, menuntut agar orang Indonesia menyerahkan senjata
mereka dalam waktu empat puluh delapan jam atau ditembak. Hal ini dilakukan tanpa
sepengetahuan Mallaby, dan bertentangan dengan kesepakatan lokal, namun kini harus
ditegakkan. Hal ini dipandang oleh pihak Indonesia sebagai basis pengkhianatan. Kini mereka
yakin bahwa Inggris sedang bersiap untuk menduduki kembali kota itu untuk Belanda ."

Ancaman Sekutu yang ditanda-tangani Walikota Jenderal DGHawthorn disambut caci-maki


dan tantangan oleh penduduk Surabaya. Suasana makin tegang. Di tengah ketegangan itu,
tiba-tiba muncul kelompok-kelompok pasukan Brigade 49 Mahratta bergerak ke jalan raya
utama Surabaya, kantor melewati Gubernuran sambil menempelkan selebaran-selebaran
sepanjang jalan yang mereka lewati.

Tindakan pasukan Inggris-India ini menyulut kemarahan para pemimpin dan seluruh
penduduk Surabaya. Kira-kira jam 12.00 pecah pertempuran di depan Rumah Sakit Darmo
yang dalam sekejap diikuti pertempuran di semua pos pertahanan Inggris di Keputran,
Kayoon, Gubeng, Simpang, Ketabang, Kompleks HBS, Gemblongan, Dinoyo, Wonokromo,
Palmboom, Lindeteves, Onderlingbelang, Benteng Miring .
serupa pertempuran sehari sebelumnya, perang “keroyokan” itu murni pertarungan missal
yang disebut tawuran, di mana tidak ada pemimpin dan tidak ada taktik maupun strategi apa
pun yang ditunjukkan penduduk. Tentara Inggris Brigade ke-49 Mahratta yang sudah
berpengalaman di medan tempur Burma dan bahkan el-Alamein di Mesir itu, kesulitan
menghadapi pertempuran dengan model tawuran dari kawanan orang-orang nekad yang
tidak tahu mati.

Tanggal 28 Oktober 1945, TKR sebagai aparat keamanan dan keamanan Negara yang harus
tunduk dan patuh pada perintah pemerintah pusat di Jakarta, ternyata terprovokasi
perlawanan arek-arek Surabaya, sehingga tanpa sadar ikut mengepung dan memburu tentara
Inggris. Oleh karena sebagian besar TKR dididik PETA, Heiho dan Hisbullah, jumlah tentara
Inggris yang tewas pun dengan cepat bertambah. Brigadir Jenderal AWSMallaby yang
menyaksikan pasukannya akan habis, buru-buru menghubungi atasannya: Jenderal Christison
di Singapura. Mallaby minta agar dilakukan gencatan senjata, pendukung tembak-
menembak.

Tanggal 29 Oktober 1945, presiden Soekarno dan wakil presiden Moch. Hatta serta Menhan
Amir Sjarifuddin datang ke Surabaya. Tanggal 30 Oktober 1945, gencatan senjata tercapai
tetapi butuh sosialisasi karena komunikasi terbatas akibat masih taksi tembak-menembak di
berbagai tempat di Surabaya. Malangnya, sore hari dalam usaha sosialisasi gencatan senjata,
Brigadir Jenderal AWS Mallaby tewas digranat.

Inggris marah sekali mendapati jenderalnya tewas justru saat perang sudah selesai. Lebih
marah lagi, yang menghancurkan pasukan Inggris beserta jenderalnya itu adalah inlander
bodoh yang lemah dan terjajah ratusan tahun oleh Belanda. Begitulah, Walikota Jenderal
ECMansergh, pada 31 Oktober 1945 melontakan ultimatum agar rakyat Surabaya
menyerahkan pembunuh Mallaby dan semua orang-orang pembohong yang bersenjatakan
senjata kepada pasukan Inggris. Jika ultimatum tidak dijalankan, maka pada 10 November
1945 jam 10.00 Kota Surabaya akan dibombardir dari darat, laut dan udara. Walikota Jenderal
ECMansergh menghitung, Kota Surabaya akan jatuh dan takluk dalam tempo tiga hari.

Pertempuran besar di Surabaya pada 10 November 1945, yang menurut William H. Frederick
(1989) adalah pertempuran paling nekat dan destruktif -- yang tiga minggu di antaranya –
sangat mengerikan jauh di luar yang bisa dibayangkan pihak Sekutu maupun
Indonesia. Dugaan Mayor Jenderal ECMansergh bahwa kota Surabaya akan jatuh dalam tiga
hari meleset, karena arek-arek Surabaya baru mundur ke luar kota setelah terjadi 100 hari.

Sementara tinjauan dari kronologi kesejarahan, Pertempuran Surabaya pada dasarnya adalah
kelanjutan dari peristiwa Perang Rakyat Empat Hari pada 26 – 27 – 28 – 29 Oktober 1945,
yaitu sebuah Perang Kota antara Brigade ke-49 Mahratta di bawah komando Brigadir Jenderal
Aulbertin Walter Sothern Mallaby dengan arek -arek Surabaya yang berlangsung sangat
brutal dan ganas, dengan kesudahan sekitar 2300 orang -- 2000 orang di antaranya pasukan
Brigade ke-49 termasuk Brigadir Jenderal AWS Mallaby yang terhenti pada tanggal 30
Oktober 1945 – tewas dalam pertempuran man to man itu. Dan Perang Rakyat Empat hari
pada 26-27-28-29 Oktober 1945 itu terjadi akibat adanya seruan Resolusi Jihad PBNU yang
dikumandangkan pada tanggal 22 Oktober 1945. (*)

* K Ng H Agus Sunyoto adalah sejarawan, Ketua Lesbumi PBNU

Anda mungkin juga menyukai