Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN MINI PROJECT

TINGKAT KEPATUHAN KONSUMSI OBAT HIPERTENSI


PADA PASIEN HIPERTENSI DI PUSKESMAS MEJOBO
TAHUN 2023

Disusun Oleh
dr. Ancillia Wijaya

Pendamping
dr. Dian Ardianto

DINAS KESEHATAN KABUPATEN KUDUS


UPTD PUSKESMAS MEJOBO
KABUPATEN KUDUS
2023
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan darah sistolik ≥ 140

mmHg dan/atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan

selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang. Hipertensi merupakan

faktor resiko terbesar untuk terjadinya penyakit kardiovaskular, menyebabkan 54%

terjadi stroke dan 47% menyebabkan penyakit jantung iskemik (Aru W & Sudoyo, 2014).

Hipertensi merupakan salah satu kondisi medis dengan prevalensi yang tinggi.

Kasus hipertensi global diestimasi sebesar 22% dari total populasi dunia. World Health

Organization (WHO) menyebutkan jumlah penderita hipertensi akan terus meningkat

seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk pada tahun 2025 mendatang, dimana

diperkirakan sekitar 29% warga dunia akan terkena hipertensi. Data WHO menyebutkan

bahwa di negara dengan ekonomi berkembang, prevalensi hipertensi mencapai 40%. Di

Indonesia, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 didapati bahwa

prevalensi hipertensi mencapai angka 34.11% pada penduduk berusia diatas 18 tahun,

dimana yang terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan/atau memiliki riwayat minum obat

hanya 8.8%.

Prevalensi penderita hipertensi tidak terkontrol semakin meningkat dalam satu

dekade terakhir. Dari total 8.8% jumlah pasien hipertensi di Indonesia, sebanyak 54.4%

pasien rutin minum obat, 32.3% pasien tidak rutin minum obat, dan tidak minum obat

sama sekali sebanyak 13.3%. Proporsi riwayat minum obat dan alasan tidak minum obat
pada penduduk dengan hipertensi antara lain karena pasien merasa sudah sehat (59.8%),

tidak rutin ke fasyankes (31.3%), minum obat tradisional (14.5%), sering lupa (11.5%),

tidak mampu beli obat rutin (8.1%), tidak tahan efek samping obat (4.5%), dan obat tidak

ada di Fasyankes (2%). Kepatuhan pasien merupakan salah satu faktor utama penentu

keberhasilan terapi. Beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai wilayah di dunia

termasuk Indonesia melaporkan masalah ketidakpatuhan pasien dalam mengkonsumsi

obat. Penelitian di Puskesmas Tuntungan Medan menemukan sebanyak 58% pasien

memiliki tingkat kepatuhan yang rendah. Selain itu, salah satu penelitian yang dilakukan

di kota Banjarmasin, menemukan bahwa kepatuhan pasien sebelum diberikan intervensi,

sebanyak 60% pasien masuk dalam kategori kepatuhan rendah dan hanya 16,67% pasien

yang masuk dalam kategori kepatuhan tinggi.

II. Rumusan Masalah

Bagaimana tingkat kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi di Puskesmas Mejobo?

III. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui gambaran tentang tingkat kepatuhan minum obat pada pasien

hipertensi di Puskesmas Mejobo.

2. Tujuan Khusus

a. Mendeskripsikan karakteristik responden berdasarkan usia, jenis kelamin,

tingkat pendidikan, dan pekerjaan.

b. Menggambarkan secara garis besar faktor yang mempengaruhi

pengetahuan dan tingkat kepatuhan minum obat.

IV. Manfaat Penelitian


a. Manfaat Untuk Puskesmas Mejobo:

- Meningkatkan pengetahuan mengenai karakteristik pasien hipertensi di

wilayah Puskesmas Mejobo.

b. Manfaat Untuk Dokter Internship:

- Mendapatkan kesempatan untuk menerapkan ilmu yang sudah didapatkan

- Menambah pengetahuan mengenai hipertensi.


BAB II

LANDASAN TEORI

I. Hipertensi

Hipertensi atau yang biasa disebut tekanan darah tinggi merupakan peningkatan

tekanan darah sistolik di atas batas normal yaitu ≥ 140 mmHg dan/atau tekanan darah

diastolik ≥ 90 mmHg (WHO, 2013). Definisi beberapa istilah dalam hipertensi, yaitu

(Rampengan, 2014):

1. Hipertensi Esensial (Primer atau idiopatik): peningkatan tekanan darah tanpa

mengetahui penyebabnya.

2. Hipertensi sekunder: peningkatan tekanan darah akibat diketahui penyebabnya atau

kasus yang diketahui.

3. Hipertensi darurat atau hipertensi ganas: meningkatnya tekanan sistolik dan

tekanan diastolik arteri, atau hipertensi terkait dengan kerusakan organ (edema papil,

encefalopati, eklamsia, dan lain – lain) yang harus diturunkan dalam satu jam.

4. Urgensi hipertensi atau krisis hipertensi: hipertensi yang tidak terkontrol harus

diturunkan dalam 24 jam. Tidak ada kerusakan akhir organ ini sebagaimana disebutkan

dalam keadaan darurat hipertensi.

5. Pseudo Hipertensi: kesalahan elevasi TD terlihat pada (1) pasien usia lanjut dengan

arteri brakialis aterosklerotik, (2) white coat hypertension, atau (3) ketidakcocokan dalam

manset tekanan darah dan lengan pasien.

Menurut American College of Cardiology (ACC) dan American Heart

Association (AHA) tahun 2017, klasifikasi hipertensi yaitu:


Tabel 1. Klasifikasi hipertensi

Kategori TD Sistolik (mmHg) TD Diastolik


Normal < 120 < 80
Elevated 120 - 129 < 80
Hipertensi stage I 130 - 139 80 - 89
Hipertensi stage II ≥ 140 ≥ 90
Krisis Hipertensi
Hipertensi urgensi > 180 > 120
Hipertensi emergensi > 180 + kerusakan organ > 120 + kerusakan organ

Gambar 1. Alur diagnosis hipertensi menurut Pedoman Tatalaksana Hipertensi oleh

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular (PERKI) tahun 2015


Tatalaksana hipertensi dapat dibagi menjadi beberapa langkah. Langkah pertama

merupakan modifikasi gaya hidup dan terapi kombinasi dua obat, kemudian langkah

kedua adalah kombinasi tiga obat, dan langkah terakhir pada hipertensi resisten yaitu

dengan penambahan spironolakton (25-50 mg/hari), alpha-blocker, atau beta-blocker

(ISH, 2019). Modifikasi gaya hidup dilakukan pada awal pengobatan sekaligus sebagai

pencegahan kerusakan organ. Pada pasien hipertensi stage I tanpa faktor kardiovaskular,

terapi modifikasi gaya hidup harus dijalani minimal 4-6 bulan. Modifikasi gaya hidup

dapat dilakukan dengan penurunan berat badan, mengganti makanan dengan sayur dan

buah, mengurangi asupan garam dianjurkan tidak lebih dari 2 gram per hari, olahraga

teratur yang dilakukan 30 – 60 menit setidaknya 3 hari dalam seminggu, berhenti

merokok, tidak mengkonsumsi alkohol, pertahankan berat badan pada BMI 18,5 – 24,9

dan lingkar perut < 90 cm dan < 88 cm. Selain modifikasi gaya hidup, terapi farmakologi

juga menjadi salah satu langkah awal pengobatan hipertensi. Terdapat lima jenis obat lini

pertama pada pengobatan hipertensi yaitu diuretik, beta-blocker, ACE inhibitor,

Angiotensin Receptor Blocker (ARB), dan Calcium Channel Blocker (CCB). Target

penurunan TD pada pasien tanpa komplikasi adalah < 140/85 mmHg, pasien dengan

diabetes dan penyakit ginjal < 130/80 mmHg, dan pasien dengan penyakit jantung

<120/80 mmHg (Sudoyo et al., 2014).

II. Kepatuhan Minum Obat

Kepatuhan konsumsi obat dapat dijelaskan dalam beberapa terminologi. Horne

(2006) menyatakan ada tiga istilah, yaitu: compliance, adherence, dan concordance.

Menurut Horne (2006), compliance merupakan suatu ketaatan pasien dalam

mengkonsumsi obat sesuai dengan saran pemberi resep (dokter). Adherence merupakan
suatu perilaku mengkonsumsi obat yang merupakan kesepakatan antara pasien dengan

pemberi resep. Dalam hal ini, kelebihan dari adherence adalah adanya kebebasan dari

pasien untuk menyetujui rekomendasi dari dokter atau tidak, dimana dibandingkan

dengan compliance, adherence lebih menekankan pada kebutuhan akan kesepakatan.

Selanjutnya, Horne (2006) juga menjelaskan pengertian dari concordance, yaitu perilaku

mematuhi resep dari dokter, dimana sebelumnya terdapat hubungan yang bersifat dialogis

antara pasien dan dokter dan mempresentasikan keputusan yang dilakukan bersama.

Dalam proses ini, kepercayaan dan pikiran dari pasien juga dijadikan bahan

pertimbangan, terdapat proses konsultasi dan komunikasi dua arah antara pasien dan

dokter. Dari ketiga pengertian mengenai kepatuhan obat ini, Horne (2006) menyarankan

penggunaan istilah adherence sebagai pengertian kepatuhan konsumsi obat, dan hal ini

banyak didukung oleh peneliti-peneliti lain karena adanya keterlibatan pasien dalam

pengambilan keputusan tentang pengobatan yang dibuat oleh dokter.

Ada tiga teori utama yang dapat menjelaskan munculnya perilaku patuh dalam

mengkonsumsi obat, yaitu Health Belief Model, Theory of Planned Behaviour, dan Model

of Adherence. Health Belief Model (HBM) menjelaskan model perilaku sehat merupakan

fungsi dari keyakinan personal tentang besarnya ancaman penyakit dan penularannya,

serta keuntungan dari rekomendasi yang diberikan petugas kesehatan (Weinman &

Horne, 2005). Theory of Planned Behaviour (TPB) berusaha menguji hubungan antara

sikap dan perilaku, norma subjektif terhadap perilaku, dan kontrol terhadap perilaku.

Sikap terhadap perilaku merupakan produk dari keyakinan tentang hasil akhir dan nilai

yang dirasakan dari hasil akhir tersebut, norma subjektif berasal dari pandangan orang

sekitar tentang perilaku berobat, dan kontrol perilaku merupakan gambaran tentang
seberapa jauh pasien merasa bahwa berperilaku patuh dapat dikendalikannya (Weinman

& Horne, 2005). Model of Adherence mengacu pada hambatan pasien dalam proses

pengobatan. Hambatan dapat muncul dari keterbatasan dan kapasitas dari pasien itu

sendiri, seperti defisiensi memori, keterampilan, pengetahuan, atau kesulitan dalam

menjalankan rutinitas normal (Morgan & Horne, 2005).

Selain dari ketiga model tersebut, Horne (2006) menyampaikan bahwa secara

umum terdapat empat hal yang mempengaruhi kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi

obat, yaitu: (a) persepsi dan perilaku pasien, (b) interaksi antara pasien dan dokter dan

komunikasi antara kedua belah pihak, (c) kebijakan dan praktek pengobatan yang dibuat

oleh pihak berwenang, dan (d) intervensi yang dilakukan agar kepatuhan dalam

mengkonsumsi obat terjadi.

Beberapa cara untuk meningkatkan kepatuhan adalah:

a. Memberikan informasi kepada pasien akan manfaat dan pentingnya kepatuhan

untuk mencapai keberhasilan pengobatan

b. Mengingatkan pasien untuk melakukan segala sesuatu demi keberhasilan

pengobatan melalui telepon atau alat komunikasi lain

c. Menunjukkan kepada pasien kemasan obat yang sebenarnya

d. Memberikan keyakinan kepada pasien akan efektivitas obat

e. Memberikan informasi risiko akibat ketidakpatuhan

f. Adanya dukungan dari pihak keluarga, teman, dan orang-orang disekitar untuk

selalu mengingatkan pasien agar teratur minum obat.


BAB III

IDENTIFIKASI MASALAH DAN METODE PENELITIAN

I. Identifikasi Masalah

Di Indonesia, kejadian hipertensi masih terus meningkat, pernyataan ini didukung

oleh data yang dikeluarkan oleh Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 yang

menyatakan bahwa prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 34.1%. Hasil Riskesdas

tahun 2018 oleh Provinsi Jawa Tengah menyatakan bahwa prevalensi hipertensi

berdasarkan pengukuran di Kabupaten Kudus mencapai 34.82%. Selain melalui

perubahan gaya hidup, salah satu cara untuk mengontrol hipertensi adalah dengan terapi

farmakologis. Namun, melalui beberapa penelitian ditemukan bahwa kepatuhan minum

obat pada pasien hipertensi sangat rendah. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk

melihat kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi di Puskesmas Mejobo.

II. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Populasi dalam penelitian ini

adalah pasien hipertensi sesuai dengan kriteria inklusi yang datang berobat ke Poli Umum

Puskesmas Mejobo dari 11 Desember 2023 - 12 Januari 2024. Kriteria inklusi berupa

pasien dengan tekanan darah sistolik ≥ 140 dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 pada

setidaknya dua kali pengukuran dalam enam bulan terakhir. Pasien kemudian dibagi

menjadi dua kategori, pasien yang mengkonsumsi obat hipertensi dan tidak. Pada pasien

yang mengkonsumsi obat hipertensi, dilakukan penilaian tingkat kepatuhan minum obat.

Instrumen pengambilan data untuk mengetahui tingkat kepatuhan minum obat

menggunakan kuesioner Morisky Medication Adherence Scale (MMAS). Analisis data


secara univariat untuk melihat distribusi frekuensi, yang disajikan dalam bentuk tabel dan

narasi.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. Hasil dan Pembahasan

Bagian ini mendeskripsikan hasil dan membahas data yang didapat. Dari 40

responden dengan hipertensi, sebanyak 19 orang (47.5%) tidak berobat rutin untuk

kondisi yang diderita dan 21 orang (52.5%) rutin berobat ke fasilitas kesehatan atau rutin

membeli obat sendiri. Oleh karena itu, kuesioner MMAS hanya diberikan kepada 21

responden yang rutin berobat. Tabel 1 menunjukkan bahwa karakteristik responden

dengan hipertensi terbanyak dengan jenis kelamin perempuan dengan persentase 95.2%.

Hasil penelitian selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Falah (2019), pada

masyarakat di Kelurahan Tamansari Kota Tasikmalaya, dimana perempuan memiliki

peluang 4 kali lebih besar menderita hipertensi dibandingkan laki-laki. Hasil ini juga

sesuai dengan hasil Riskesdas Jateng dimana penderita hipertensi lebih banyak berjenis

kelamin perempuan dibandingkan laki-laki (2018).

Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan karakteristik

Karakteristik Responden Jumlah (n) Persentase (%)


Jenis Kelamin
Laki-laki 1 4.8
Perempuan 20 95.2
Usia
25-34 1 4.8
35-44 0 0
45-54 2 9.5
55-64 7 33.3
65-74 9 42.9
>75 2 9.5
Pendidikan
Tidak sekolah 4 19
SD/SMP 13 61.9
SMA 3 14.3
S1 1 4.8
Pekerjaan
IRT 8 38
Buruh 9 42.9
Pedagang 2 9.5
PNS 1 4.8
Pensiun 1 4.8
Total 21 100

Dari kategori usia, didapatkan bahwa sebagian besar responden berada pada

rentang usia 65-74 tahun sebanyak 42.9%. Hal ini sesuai dengan data Riskesdas Jateng

bahwa prevalensi hipertensi terbanyak terjadi pada kelompok usia diatas 65 tahun (2018).

Kementerian Kesehatan RI juga menyatakan bahwa hipertensi ditemukan terbanyak pada

populasi yang berusia di atas 65 tahun dengan persentase 60-70% (2013).

Karakteristik dari segi pendidikan didapatkan sebagian besar responden memiliki

tingkat pendidikan dasar, dengan persentase responden yang sekolah hingga SD atau

SMP mencapai 61.9%. Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh

Patenrengi (2020), dimana ditemukan bahwa hipertensi lebih banyak diderita oleh

responden dengan tingkat pendidikan rendah (86.6%).

Pekerjaan responden dengan proporsi yang hampir sama adalah buruh sebanyak

42.9% dan ibu rumah tangga (IRT) sebanyak 38%. Sebuah penelitian yang dilakukan

oleh Mangendai et al. (2017) mengatakan bahwa responden terbanyak adalah IRT,

dimana IRT biasanya memiliki kesibukan mengurus rumah tangga sehingga pasien

menjadi malas untuk mengontrol tekanan darah. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Mathavan dan Pinatih (2017) juga mengatakan bahwa penderita hipertensi yang tidak

bekerja memiliki waktu dirumah sehingga dapat mengikuti aturan pengobatan dengan

lebih baik dibandingkan dengan para pekerja.

Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan kepatuhan minum obat

Kepatuhan Jumlah (n) Persentase (%)


Rendah 16 76.2
Sedang 4 19
Tinggi 1 4.8
Total 21 100

Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar responden memiliki

kepatuhan yang rendah dalam minum obat hipertensi. Hasil penelitian ini didukung oleh

penelitian yang dilakukan oleh Mathavan dan Pinatih (2017) pada penderita hipertensi di

Wilayah Kerja Puskesmas Kintamani I Bali. Penelitian tersebut melibatkan 50 responden

dengan hasil sebanyak 70% penderita hipertensi tidak patuh dengan pengobatan

hipertensi. Harmili dan Huriah (2019), dalam penelitiannya menyatakan bahwa salah satu

faktor penyebab ketidakpatuhan minum obat hipertensi adalah usia yang berhubungan

dengan fungsi kognitif. Seiring dengan bertambahnya usia, terjadi juga penurunan fungsi

kognitif yang menyebabkan pengobatan yang buruk. Hal ini sering terjadi karena

kemampuan mengingat yang berkurang. Selain karena usia, lama pengobatan juga

mempengaruhi kepatuhan. Sebuah penelitian oleh Ihwatun et al. (2020) menyatakan

bahwa konsumsi obat terus menerus menyebabkan timbulnya rasa jenuh sehingga hanya

meminum obat ketika muncul gejala seperti nyeri kepala, pusing, badan lemas, dll.
BAB V

KESIMPULAN

I. Kesimpulan

Melalui penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden dengan

hipertensi tidak patuh dalam konsumsi obat hipertensi. Selain itu, juga ditemukan

sebagian pasien dengan hipertensi bahkan tidak rutin berobat dan tidak konsumsi obat

hipertensi. Oleh karena itu, Puskesmas Mejobo dapat meningkatkan kembali edukasi

mengenai hipertensi yang mencakup tujuan pengobatan, risiko hipertensi tidak terkontrol,

efek samping pengobatan, serta pentingnya melakukan pengobatan dan evaluasi secara

rutin.
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association (AHA), 2017. Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation

and Management of High Blood Pressure in Adults.

Harmili, H.T., 2019. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Pengobatan Hipertensi Pada

Lansia: A Literature Review. J. Ners Community Nomor 10, (01): 115–131.

Horner, R., et al., 2005. Concordance, Adherence & Compliance in Medicine Taking. Centre for

Health Care Research, University of Brighton, Falmer, Brighton.

Horne, R., 2006. Compliance, Adherence & Concordance: Implications for Asthma Treatment.

CHEST, Official Publications of America College of Chest Physicians, 130:65-72.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013. Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di

Indonesia.

Kementerian Kesehatan RI. Hasil Utama RISKESDAS 2018. Jakarta: Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan. 2018. Kementerian Kesehatan RI. Info Data dan Informasi:

Hipertensi. 2021. [26 Januari 2024]

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018. Laporan Provinsi Jawa Tengah RISKESDAS

2018.

Mangendai, Y., Rompas, S., Hamel, R., S., 2017. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan

Kepatuhan Berobat Pada Pasien Hipertensi di Puskesmas Ranotana Weru. E-J.

Keperawatan E-Kp Vol. 5 Nomor 1 Mei 2017.

Mathavan, J., Pinatih, G.N. indraguna, 2017. Gambaran Karakteristik Penderita hipertensi dan

Tingkat Kepatuhan Minum Obat di Wilayah Kerja Puskesmas Kintamani I. Intisari Sains

Media. No. 8(2):130-134, 130–134.


Morgan, M. & Horne, R., 2005. Explaining patient’s Behaviour. Report for the national

Co-ordinating Centre for NHS Service Delivery & Organisation R & D (NCCSDO). Centre

for Health Care Research, University of Brighton, Falmer, Brighton.

PERKI, 2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular. Edisi Pertama.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, Jakarta.

Sudoyo A. W., et al., 2015. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II Edisi VI. Jakarta: Interna

Publishing.

Weinman, R. & Horne, R., 2005. Patient Provider Interaction & Health Care Communication.

Report for the national Co-ordinating Centre for NHS Service Delivery & Organisation R

& D (NCCSDO). Centre for Health Care Research, University of Brighton, Falmer,

Brighton.

World Health Organization (WHO), 2019. Hypertension. [26 Januari 2024]

Anda mungkin juga menyukai