Mini Project PKM
Mini Project PKM
Disusun Oleh
dr. Ancillia Wijaya
Pendamping
dr. Dian Ardianto
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan darah sistolik ≥ 140
mmHg dan/atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan
selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang. Hipertensi merupakan
terjadi stroke dan 47% menyebabkan penyakit jantung iskemik (Aru W & Sudoyo, 2014).
Hipertensi merupakan salah satu kondisi medis dengan prevalensi yang tinggi.
Kasus hipertensi global diestimasi sebesar 22% dari total populasi dunia. World Health
seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk pada tahun 2025 mendatang, dimana
diperkirakan sekitar 29% warga dunia akan terkena hipertensi. Data WHO menyebutkan
Indonesia, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 didapati bahwa
prevalensi hipertensi mencapai angka 34.11% pada penduduk berusia diatas 18 tahun,
dimana yang terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan/atau memiliki riwayat minum obat
hanya 8.8%.
dekade terakhir. Dari total 8.8% jumlah pasien hipertensi di Indonesia, sebanyak 54.4%
pasien rutin minum obat, 32.3% pasien tidak rutin minum obat, dan tidak minum obat
sama sekali sebanyak 13.3%. Proporsi riwayat minum obat dan alasan tidak minum obat
pada penduduk dengan hipertensi antara lain karena pasien merasa sudah sehat (59.8%),
tidak rutin ke fasyankes (31.3%), minum obat tradisional (14.5%), sering lupa (11.5%),
tidak mampu beli obat rutin (8.1%), tidak tahan efek samping obat (4.5%), dan obat tidak
ada di Fasyankes (2%). Kepatuhan pasien merupakan salah satu faktor utama penentu
memiliki tingkat kepatuhan yang rendah. Selain itu, salah satu penelitian yang dilakukan
sebanyak 60% pasien masuk dalam kategori kepatuhan rendah dan hanya 16,67% pasien
Bagaimana tingkat kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi di Puskesmas Mejobo?
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
LANDASAN TEORI
I. Hipertensi
Hipertensi atau yang biasa disebut tekanan darah tinggi merupakan peningkatan
tekanan darah sistolik di atas batas normal yaitu ≥ 140 mmHg dan/atau tekanan darah
diastolik ≥ 90 mmHg (WHO, 2013). Definisi beberapa istilah dalam hipertensi, yaitu
(Rampengan, 2014):
mengetahui penyebabnya.
tekanan diastolik arteri, atau hipertensi terkait dengan kerusakan organ (edema papil,
encefalopati, eklamsia, dan lain – lain) yang harus diturunkan dalam satu jam.
4. Urgensi hipertensi atau krisis hipertensi: hipertensi yang tidak terkontrol harus
diturunkan dalam 24 jam. Tidak ada kerusakan akhir organ ini sebagaimana disebutkan
5. Pseudo Hipertensi: kesalahan elevasi TD terlihat pada (1) pasien usia lanjut dengan
arteri brakialis aterosklerotik, (2) white coat hypertension, atau (3) ketidakcocokan dalam
merupakan modifikasi gaya hidup dan terapi kombinasi dua obat, kemudian langkah
kedua adalah kombinasi tiga obat, dan langkah terakhir pada hipertensi resisten yaitu
(ISH, 2019). Modifikasi gaya hidup dilakukan pada awal pengobatan sekaligus sebagai
pencegahan kerusakan organ. Pada pasien hipertensi stage I tanpa faktor kardiovaskular,
terapi modifikasi gaya hidup harus dijalani minimal 4-6 bulan. Modifikasi gaya hidup
dapat dilakukan dengan penurunan berat badan, mengganti makanan dengan sayur dan
buah, mengurangi asupan garam dianjurkan tidak lebih dari 2 gram per hari, olahraga
merokok, tidak mengkonsumsi alkohol, pertahankan berat badan pada BMI 18,5 – 24,9
dan lingkar perut < 90 cm dan < 88 cm. Selain modifikasi gaya hidup, terapi farmakologi
juga menjadi salah satu langkah awal pengobatan hipertensi. Terdapat lima jenis obat lini
Angiotensin Receptor Blocker (ARB), dan Calcium Channel Blocker (CCB). Target
penurunan TD pada pasien tanpa komplikasi adalah < 140/85 mmHg, pasien dengan
diabetes dan penyakit ginjal < 130/80 mmHg, dan pasien dengan penyakit jantung
(2006) menyatakan ada tiga istilah, yaitu: compliance, adherence, dan concordance.
mengkonsumsi obat sesuai dengan saran pemberi resep (dokter). Adherence merupakan
suatu perilaku mengkonsumsi obat yang merupakan kesepakatan antara pasien dengan
pemberi resep. Dalam hal ini, kelebihan dari adherence adalah adanya kebebasan dari
pasien untuk menyetujui rekomendasi dari dokter atau tidak, dimana dibandingkan
Selanjutnya, Horne (2006) juga menjelaskan pengertian dari concordance, yaitu perilaku
mematuhi resep dari dokter, dimana sebelumnya terdapat hubungan yang bersifat dialogis
antara pasien dan dokter dan mempresentasikan keputusan yang dilakukan bersama.
Dalam proses ini, kepercayaan dan pikiran dari pasien juga dijadikan bahan
pertimbangan, terdapat proses konsultasi dan komunikasi dua arah antara pasien dan
dokter. Dari ketiga pengertian mengenai kepatuhan obat ini, Horne (2006) menyarankan
penggunaan istilah adherence sebagai pengertian kepatuhan konsumsi obat, dan hal ini
banyak didukung oleh peneliti-peneliti lain karena adanya keterlibatan pasien dalam
Ada tiga teori utama yang dapat menjelaskan munculnya perilaku patuh dalam
mengkonsumsi obat, yaitu Health Belief Model, Theory of Planned Behaviour, dan Model
of Adherence. Health Belief Model (HBM) menjelaskan model perilaku sehat merupakan
fungsi dari keyakinan personal tentang besarnya ancaman penyakit dan penularannya,
serta keuntungan dari rekomendasi yang diberikan petugas kesehatan (Weinman &
Horne, 2005). Theory of Planned Behaviour (TPB) berusaha menguji hubungan antara
sikap dan perilaku, norma subjektif terhadap perilaku, dan kontrol terhadap perilaku.
Sikap terhadap perilaku merupakan produk dari keyakinan tentang hasil akhir dan nilai
yang dirasakan dari hasil akhir tersebut, norma subjektif berasal dari pandangan orang
sekitar tentang perilaku berobat, dan kontrol perilaku merupakan gambaran tentang
seberapa jauh pasien merasa bahwa berperilaku patuh dapat dikendalikannya (Weinman
& Horne, 2005). Model of Adherence mengacu pada hambatan pasien dalam proses
pengobatan. Hambatan dapat muncul dari keterbatasan dan kapasitas dari pasien itu
Selain dari ketiga model tersebut, Horne (2006) menyampaikan bahwa secara
umum terdapat empat hal yang mempengaruhi kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi
obat, yaitu: (a) persepsi dan perilaku pasien, (b) interaksi antara pasien dan dokter dan
komunikasi antara kedua belah pihak, (c) kebijakan dan praktek pengobatan yang dibuat
oleh pihak berwenang, dan (d) intervensi yang dilakukan agar kepatuhan dalam
f. Adanya dukungan dari pihak keluarga, teman, dan orang-orang disekitar untuk
I. Identifikasi Masalah
oleh data yang dikeluarkan oleh Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 yang
tahun 2018 oleh Provinsi Jawa Tengah menyatakan bahwa prevalensi hipertensi
perubahan gaya hidup, salah satu cara untuk mengontrol hipertensi adalah dengan terapi
obat pada pasien hipertensi sangat rendah. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk
Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Populasi dalam penelitian ini
adalah pasien hipertensi sesuai dengan kriteria inklusi yang datang berobat ke Poli Umum
Puskesmas Mejobo dari 11 Desember 2023 - 12 Januari 2024. Kriteria inklusi berupa
pasien dengan tekanan darah sistolik ≥ 140 dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 pada
setidaknya dua kali pengukuran dalam enam bulan terakhir. Pasien kemudian dibagi
menjadi dua kategori, pasien yang mengkonsumsi obat hipertensi dan tidak. Pada pasien
yang mengkonsumsi obat hipertensi, dilakukan penilaian tingkat kepatuhan minum obat.
narasi.
BAB IV
Bagian ini mendeskripsikan hasil dan membahas data yang didapat. Dari 40
responden dengan hipertensi, sebanyak 19 orang (47.5%) tidak berobat rutin untuk
kondisi yang diderita dan 21 orang (52.5%) rutin berobat ke fasilitas kesehatan atau rutin
membeli obat sendiri. Oleh karena itu, kuesioner MMAS hanya diberikan kepada 21
dengan hipertensi terbanyak dengan jenis kelamin perempuan dengan persentase 95.2%.
Hasil penelitian selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Falah (2019), pada
peluang 4 kali lebih besar menderita hipertensi dibandingkan laki-laki. Hasil ini juga
sesuai dengan hasil Riskesdas Jateng dimana penderita hipertensi lebih banyak berjenis
Dari kategori usia, didapatkan bahwa sebagian besar responden berada pada
rentang usia 65-74 tahun sebanyak 42.9%. Hal ini sesuai dengan data Riskesdas Jateng
bahwa prevalensi hipertensi terbanyak terjadi pada kelompok usia diatas 65 tahun (2018).
tingkat pendidikan dasar, dengan persentase responden yang sekolah hingga SD atau
SMP mencapai 61.9%. Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh
Patenrengi (2020), dimana ditemukan bahwa hipertensi lebih banyak diderita oleh
Pekerjaan responden dengan proporsi yang hampir sama adalah buruh sebanyak
42.9% dan ibu rumah tangga (IRT) sebanyak 38%. Sebuah penelitian yang dilakukan
oleh Mangendai et al. (2017) mengatakan bahwa responden terbanyak adalah IRT,
dimana IRT biasanya memiliki kesibukan mengurus rumah tangga sehingga pasien
menjadi malas untuk mengontrol tekanan darah. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Mathavan dan Pinatih (2017) juga mengatakan bahwa penderita hipertensi yang tidak
bekerja memiliki waktu dirumah sehingga dapat mengikuti aturan pengobatan dengan
kepatuhan yang rendah dalam minum obat hipertensi. Hasil penelitian ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Mathavan dan Pinatih (2017) pada penderita hipertensi di
dengan hasil sebanyak 70% penderita hipertensi tidak patuh dengan pengobatan
hipertensi. Harmili dan Huriah (2019), dalam penelitiannya menyatakan bahwa salah satu
faktor penyebab ketidakpatuhan minum obat hipertensi adalah usia yang berhubungan
dengan fungsi kognitif. Seiring dengan bertambahnya usia, terjadi juga penurunan fungsi
kognitif yang menyebabkan pengobatan yang buruk. Hal ini sering terjadi karena
kemampuan mengingat yang berkurang. Selain karena usia, lama pengobatan juga
bahwa konsumsi obat terus menerus menyebabkan timbulnya rasa jenuh sehingga hanya
meminum obat ketika muncul gejala seperti nyeri kepala, pusing, badan lemas, dll.
BAB V
KESIMPULAN
I. Kesimpulan
Melalui penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden dengan
hipertensi tidak patuh dalam konsumsi obat hipertensi. Selain itu, juga ditemukan
sebagian pasien dengan hipertensi bahkan tidak rutin berobat dan tidak konsumsi obat
hipertensi. Oleh karena itu, Puskesmas Mejobo dapat meningkatkan kembali edukasi
mengenai hipertensi yang mencakup tujuan pengobatan, risiko hipertensi tidak terkontrol,
efek samping pengobatan, serta pentingnya melakukan pengobatan dan evaluasi secara
rutin.
DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association (AHA), 2017. Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation
Harmili, H.T., 2019. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Pengobatan Hipertensi Pada
Horner, R., et al., 2005. Concordance, Adherence & Compliance in Medicine Taking. Centre for
Horne, R., 2006. Compliance, Adherence & Concordance: Implications for Asthma Treatment.
Indonesia.
Kementerian Kesehatan RI. Hasil Utama RISKESDAS 2018. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. 2018. Kementerian Kesehatan RI. Info Data dan Informasi:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018. Laporan Provinsi Jawa Tengah RISKESDAS
2018.
Mangendai, Y., Rompas, S., Hamel, R., S., 2017. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Mathavan, J., Pinatih, G.N. indraguna, 2017. Gambaran Karakteristik Penderita hipertensi dan
Tingkat Kepatuhan Minum Obat di Wilayah Kerja Puskesmas Kintamani I. Intisari Sains
Co-ordinating Centre for NHS Service Delivery & Organisation R & D (NCCSDO). Centre
PERKI, 2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular. Edisi Pertama.
Sudoyo A. W., et al., 2015. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II Edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing.
Weinman, R. & Horne, R., 2005. Patient Provider Interaction & Health Care Communication.
Report for the national Co-ordinating Centre for NHS Service Delivery & Organisation R
& D (NCCSDO). Centre for Health Care Research, University of Brighton, Falmer,
Brighton.