Anda di halaman 1dari 15

DILEMATIKA PREMANISME HALAL JURU PARKIR: ANTARA PRIVATISASI

RUANG PUBLIK DAN IKHTIAR STABILITAS EKONOMI KAUM MARGINAL

Ananta Ardyansyah

Pendahuluan
Relakah kita sebagai kaum pas-pasan memberikan uang untuk sebuah pelayanan yang
penuh ketidakjelasan?. Ikhlaskah kita meberikan harta pada seseorang yang muncul dengan
tiba-tiba?. Maukah kita menyerahkan uang pada seseorang yang memberikan jasa tanpa
persetujuan?. Juru parkir merupakan profesi yang tak lepas dari kontroversi dingin batin. Tidak
banyak orang yang angkat bicara soal permasalahan jukir, namun jika ditanya apakah mereka
tidak ingin bertemu jukir dalam hidupnya? Mungkin banyak orang yang menjawab “iya”. Hasil
survei Litbang Kompas yang menunjukkan bahwa 84% masyarakat tidak setuju dengan
hadirnya juru parkir liar1. Ketidaksetujuan masyarakat juga tercermin dari beberapa kasus yang
melibatkan jukir liar yang kian hari semakin mudah ditemui bahkan tidak jarang kita alami.
Seperti kasus jukir yang mengajak berkelahi di Pekanbaru, jukir yang mematok “harga” yang
tidak wajar di Senayan, dan tukang parkir yang mengeroyok seorang pemuda hanya karena
lirikan mata di Yogyakarta2. Kasus-kasus tersebut memperparah stigma masyarakat pada juru
parkir, sehingga tak jarang masyarakat mengalami kekesalan dan merasa lebih aman jika ada
toko tanpa tukang parkir. Jukir yang seharusnya membuat rasa aman malah menjadi penyebab
hilangnya rasa nyaman.
Meski terdapat banyak permasalahan dan kurangnya pelayanan yang ada, tukang parkir
telah menjadi mata pencaharian utama yang menjanjikan bagi sebagian besar masyarakat,
khususnya kaum marginal. Tidak ada kualifikasi khusus, tidak ada kompetensi khsusus, tidak
ada kerugian. Hanya menunggu dan “prit-prit” untuk mendapatkan minimal 2000 rupiah per
kunjungan. Meskipun profesi ini terlihat main-main, namun pendapatannya sungguh tidak

1
Ihsanuddin, ‘“Survei Kompas: 84 Persen Tak Setuju Keberadaan Juru Parkir Liar,” KOMPAS.Com,’ KOMPAS,
2023 <https://megapolitan.kompas.com/read/2022/01/31/13192181/survei-kompas-84-persen- tak-setuju-
keberadaan-juru-parkir-liar.> [accessed 25 August 2023].
2
A. N. K Movanita, ‘Jukir Yang Patok Harga Parkir RP 10.000 Di Senayan Dilepas, Polisi: Tidak Ada
Pemerasan’, KOMPAS, 2023 <https://megapolitan.kompas.com/read/2023/06/15/15274801/jukir-yang-patok-
harga- parkir-rp-10000-di-senayan-dilepas-polisi-tidak.> [accessed 25 August 2023]; A. Septiawan, ‘Pemuda Di
Jogja Dikeroyok Tukang Parkir Gegara Lirikan Mata. 20DETIK.’, Detik.Com, 2023
<https://20.detik.com/detikupdate/20230814-230814104/pemuda-di- jogja-dikeroyok-tukang-parkir-gegara-
lirikan-mata> [accessed 25 August 2023]; D Iskandar, ‘Enggan Bayar Parkir Karena Tak Diberi Karcis Jukir
Marah-Marah Ajak Kelahi’, Riau Pos, 2023
<https://riaupos.jawapos.com/pekanbaru/12/06/2023/303443/enggan-bayar-parkir- karena-tak-diberi-karcis-
jukir-marahmarah-ajak-kelahi.html> [accessed 25 August 2023].
main-main. Pendapatan tukang parkir bisa mencapai 4,5 juta – 7,5 juta dalam 30 hari kerja
dengan rata-rata jam kerja 4 – 5 jam saja sehari3. Dengan pendapatan mencapai UMR tersebut,
juru parkir dapat hidup sejahtera, sehingga profesi ini semakin menjanjikan dan semakin
banyak orang yang melakoni profesi ini. Nahasnya, tanpa disadasari, menjamurnya jukir
menjadi keresahan tersendiri bagi masyarakat, sehingga seringkali memangkas perekonomian
dari kaum “pas-pasan”. Tak heran terdapat kejengkelan tersendiri ketika menghadapi
perpakiran.
Layaknya sebuah patogen yang merugikan inangnya, fenomena juru parkir yang
menjamur rasanya telah menjadi sebuah dominasi ruang publik oleh suatu pihak demi
keuntungan sepihak4. Ruang publik yang seharusnya dapat diakses oleh siapapun tanpa biaya,
dimonetisasi sepihak oleh jukir untuk keuntungan pribadi tanpa adanya perjanjian yang jelas5.
Secara tidak langsung, aksi tersebut menjadi kegiatan ilegal, terlebih jika ada pemaksaan.
Adanya dominasi suatu pihak dalam ruang terbuka tersebut menciptakan sebuah teritori gaib
yang menjadi lahan uang, sehingga tak heran juga sering menjadi perebutan. Selain itu, jukir
selalu menjadi penentu kewenangan tanpa ada pengawasan dan dapat bebas mementukan
perlakuannya kepada pihak pelanggan6. Batasannya? Batasannya hanya berupa nurani moral
kemanusian jukir yang terkadang juga semena-mena. Meskipun demikian, “parkir” tetap
menjadi salah satu roda ekonomi kaum marginal.
Dalam prespektif agama, Q.S. An-Nisa (4): 29 telah menjelaskan bahwa Allah Swt.
melarang orang yang beriman mengambil harta orang lain dengan cara yang batil atau tidak
benar. Cara-cara seperti riba, maupun tipu muslihat menjadi hal yang tidak dibenarkan oleh
agama karena perniagaan harus didasarkan pada rasa suka sama suka. Nyatanya, seringkali
aspek “suka sama suka” tidak terlihat ketika membicarakan profesi tukang parkir. Bahkan,
dalam prakteknya terjadi pemaksaan atau intimidasi verbal yang mencirikan premanisme.
Padahal, dalam hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, Rasullullah telah
melarang perilaku intimidasi atau mengancam orang lain. Anehnya, meskipun termasuk dalam

3
K. R. Ucu, ‘Jangan Remehkan Tukang Parkir, Penghasilan Sebulannya Hampir Dua Kali Lipat UMR Jakarta’,
Republika, 2022 <https://news.republika.co.id/berita/rl0y5m282/jangan-remehkan-tukang-parkir- penghasilan-
sebulannya-hampir-dua-kali-lipat-umr-jakarta> [accessed 24 August 2023].
4
Mariwan Hasan, Lona Ahmed, and Roman Muhammad, ‘Imperialism, Colonialism and Racism in Joseph
Conrad’s Heart of Darkness: A Postcolonial Approach’, Acuity: Journal of English Language Pedagogy,
Literature and Culture, 6.1 (2020), 36–50 <https://doi.org/10.35974/acuity.v6i1.2385>.
5
Ghoustanjiwani Adi Putra and Daim Triwahyono, ‘Privatisasi Dalam Ruang Publik Studi Kasus: Taman
Merbabu Malang’, PAWON: Jurnal Arsitektur, 3.1 (2019), 69–78.
6
Abdiana Ilosa, ‘Kualitas Pelayanan Parkir Di Tepi Jalan Umum Kota Yogyakarta’, NATAPRAJA: Jurnal Kajian
Ilmu Administrasi Negara, 4.2 (2016), 107–26.
premanisme dan menimbulkan keresahan, fenomena ini dihalalkan. Serasa tidak ada keberatan
akan hal ini.
Paradoks tersebut tentunya tidak lepas dari kebutuhan akan tukang parkir (hakiki) di
jalanan serta fakta bahwa profesi ini menjadi jalan rezeki jutaan orang di negeri ini. Namun,
agar tidak menjadi sebuah pathology social yang merugikan sang inang (masyarakat secara
umum), perlu adanya rekonstruksi agar semua pihak dapat memahami batasannya. Dalam Q.S.
Asy-Syu'ara' (26): 181 – 184 juga dijelaskan bahwa perniagaan harus dilakukan secara adil,
tidak boleh ada perbedaan timbangan yang pada dasarnya menunjukkan perlunya kepuasan
diantara penjual dan pembeli. Oleh karena itu, penulis ingin mengeksplorasi batasan yang ada
dalam premanisme halal agar benar-benar halal dan didasarkan atas rasa “suka sama suka”.
Paradoks Premanisme Jukir: Superioritas Patogen Sosial
Perilaku jukir yang sangat penuh kuasa dan semena-mena sejatinya tak jauh dari kata
premanisme. Sebuah neo-premanisme yang tanpa disadari telah dihalalkan untuk eksis dan
berkembang di negeri ini. Padahal, jika direnungkan, jukir liar juga tidak memiliki kuasa atau
hak atas tanah parkir. Jukir liar tidak memiliki izin, seperti jukir resmi yang telah diatur dan
diawasi oleh dinas perhubungan7. Tanpa pengendalian, tanpa pengawasan, dan tanpa aturan
jukir liar menginfeksi masyarakat. Layaknya sebuah patogen yang tiba-tiba muncul di tempat
yang bukan miliknya, jukir menggrogoti ekonomi masyarakat tanpa sebuah kesepakatan yang
jelas. Mirisnya, patogen ini menjadi superior dan kian hari makin sulit dihilangkan. Benar-
benar sebuah patogen sosial.
Tak dapat dipungkiri bahwa semakin hari, semakin banyak manusia, sehingga
diperlukan semakin banyak pekerjaan agar roda ekonomi berputar di setiap orang. Peningkatan
densitas penduduk menyebabkan jumlah pengangguran, sehingga angka kemiskinan semakin
tinggi. Keadaan demikian menyebabkan angka kejahatan termasuk premanisme meningkat8.
Premanisme dapat diartikan sebagai kegiatan sekelompok orang yang meresahkan serta
melakukan pemerasan pada masyarakat lain untuk mendapatkan penghasilkan9. Meski sudah
ditertibkan berkali-kali, premanisme tidak pernah benar-benar hilang. Premanisme tetap eksis
dengan wajah lama dengan dukungan pihak lain dan bahkan muncul dengan wajah baru, neo-
premanisme. Hal ini diperparah dengan penanganan premanisme yang belum optimal.

7
M Azka Hadiyan and Euis D Suhadriman, ‘Penegakan Hukum Terhadap Pungutan Liar Biaya Parkir Yang
Dilakukan Oleh Preman Di Kota Subang Di Tinjau Dari Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)’, in
Prosiding Ilmu Hukum (Bandung: Universitas Islam Bandung, 2018), pp. 234–36.
8
Marwan Busyro, ‘Doktrina : Journal of Law’, 2.2 (2019), 99–116 <https://doi.org/10.31289/doktrina.v>.
9
Farras Thifaal Nadaa, Martinus Nanang, and Adi Rahman, ‘Dampak Dari Sikap Premanisme Terhadap
Pedagang Pasar Segiri Kota Samarinda’, Jurnal Pembangunan Sosial, 11.3 (2023), 149–59.
Kepoloisian sebagai penegak hukum masih miss dalam mengkategorikan tindak premanisme
di negeri ini10. Dengan demikian, tak heran premanisme ada tanpa kita rasakan.
Keberadaan premanisme tak lepas dari latar belakang kelompok masyarakat yang
banyak melakoninya. Dari segi kriminologi, premanisme lahir dari beberapa faktor, yaitu
kurangnya pendidikan di masyarakat, malas bekerja, dan kebutuhan ekonomi yang belum
terpenuhi11. Kurangnya pendidikan membuat masyarakat menjadi seseorang yang tidak
berkompeten. Seseorang yang tidak memiliki kemampuan atau skill khusus, sehingga kesulitan
melakukan pekerjaan dan menjalankan peran di masyarakat. Keadaan ini kemudian ditambah
dengan perasaan malas bekerja yang muncul ketika merasa tidak bisa melakukan apa-apa. Di
lain sisi, dorongan ekonomi terus meningkat, sehingga premanisme muncul ke permukaan.
Dampak premanisme tidak hanya dirasakan dari segi finansial, akan tetapi juga
emosional12. Efek finansial pasti dirasakan masyarakat sebagai korban premanisme karena
preman selalu melakukan pemerasan yang mengurangi keuangan. Hal tersebut memacu pada
dampak emosional sebagai efek lanjutan. Masyarakat merasakan keresahan, sakit hari, bahkan
marah pada pelaku premanisme yang semena-mena dan terus memeras mereka. Secara tidak
langsung, hal ini juga dirasakan pada premanisme jukir. Masyarakat merasakan
ketidaknyamanan dengan adanya jukir.
Keresahan masyarakat tidak lepas dari penyimpangan yang terjadi pada praktik parkir
liar. Pertama, parkir liar semakin menjamur di berbagai tempat, tidak hanya di minimarket saja,
tapi sampai jalan-jalan di warteg, tempat ATM, hingga taman. Setiap lahan yang ramai
kunjungan selalu tidak lepas dari pandangan tukang parkir bahkan ruang terbuka publik
sekalipun. Kedua, kebanyakan jukir kurang memberikan pelayanan yang maksimal, seperti
tidak bertanggung jawab ketika barang hilang, tidak membantu untuk menyebrang, tidak
membantu memarkir dan mengeluarkan kendaraan, dan muncul secara tiba-tiba. Bahkan, tidak
jarang terjadi tindak pemaksaan dan kekerasan, seperti kasus-kasus di atas. Ketiga, perizinan
dan pengelolaan parkir liar kadang bertentangan dengan peraturan yang ada13. Kurangnya
campur tangan pemerintah dalam penertiban dan rekonstruksi aturan menjadikan permasalahan

10
Susi Retnowati, Asri Agustiwi, and Putri Maha Dewi, ‘Efektivitas Peran Kepolisian Dalam Menangani
Premanisme Di Inonesia’, Jurnal Hukum Dan Kebijakan Sosial Ratu Adil UNSA, 6.2 (2022), 1–20.
11
Berlin Sinaga, Triono Eddy, and T Erwinsyahbana, ‘Penanggulangan Premanisme Di Kota Medan (Studi Di
Satuan Reskrim Polresta Medan)’, Journal of Education, Humaniora, and Social Sciences (JEHSS), 3.2 (2020),
333–41.
12
Nadaa, Nanang, and Rahman.
13
Dewi Citra Larasati and Abd. Rohman, ‘Tumpang Tindih Pengelolaan Tempat Parkir ( Studi Tentang Retribusi
Dan Pajak Parkir Di Kota Malang )’, Reformasi, 10.1 (2020), 45–60.
parkir semakin pelik. Apakah memang sebenarnya semua dibuat “abu-abu” demi stabilitas
ekonomi kaum marginal?.
Kurangnya lapangan pekerjaan dengan kualifikasi minimal membuat profesi seperti
jukir sangat dibutuhkan demi menjaga stabilitas ekonomi masyarakat ekonomi bawah.
Masyarakat ekonomi bawah memiliki keterbatasan akses pendidikan. Hal tersebut membuat
kompetensi yang dimilikinya juga sangat minimal. Jukir menjadi profesi dengan syarat yang
sangat minimal, sehingga banyak digandrungi masyarakat. Di lain sisi, profesi ini semakin viral
dan menjadi primadona dengan adanya dorongan faktor kultural14.
Meskipun jukir telah menjadi profesi utama sebagian orang, seyogianya jalan ekonomi
ini tidak menjadi infeksi bagi orang lain. Dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 29 telah dijelaskan bahwa
seorang mukmin memakan harta dengan cara yang batil.
َ ْ َ ً َ َ َ ْ ُ َ ْ َ َّ َ ْ ْ ُ َ ْ َ ْ ُ َ َ ْ َ ْ ُ ُ ْ َ َ ْ ُ َ َ ْ َّ َ َ ٰٓ
َ ُّ
‫اض‬ ِ ‫يايها ال ِذين امنوا لا تأكلوْٓا اموالكم بينكم ِبالب‬
ٍ ‫اط ِل ِال ْٓا ان تكون ِتجارة عن تر‬

ً ْ َ ْ ُ َ َ َ ‫ْ ُ ْ َ َ َ ْ ُ ُ ْ َ ْ ُ َ ُ ْ َّ ه‬
‫ِمنكمۗ ولا تقتلوْٓا انفسكمۗ ِان اّٰلل كان ِبكم ر ِحيما‬

Artinya
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara
yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di antara kamu.
Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.”
Prof Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsirnya menjelaskan bahwa al-bathil adalah segala
cara yang bertolak belakang degan syari’at. Ibnu Abbas dan Hasan al-Basri menjelaskann
bahwa yang dimaksud dengan “al-bathil” adalah memakan harta orang dengan tanpa
memberikan bayaran15. Meskipun tak sepenuhnya sama, nilai universal yang terkandung dalam
ayat ini seharusnya cukup untuk menjadi landasan dalam melaksanakan segala kegiatan sosial-
ekonomi. Tak hanya dalam bidang perdagangan atau jual beli, roda ekonomi dalam bidang jasa
juga semestinya berpatokan ayat ini. Oleh karena itu, jelas dalam penawaran jasa apapun
termasuk parkir, prinsip al-bathil dan suka sama suka perlu diterapkan.

14
Luky Artha Gumilar and Sholahuddin Harahap, ‘Tinjauan Yuridis Terhadap Praktik Pungutan Parkir
Kendaraan Liar Secara Paksa Dan Faktor-Faktor Terjadinya Pungutan Tersebut Di Indomaret Margahayu Raya
Bandung’, in Prosiding Ilmu Hukum, 2020, pp. 615–19.
15
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Jilid 3 (Jakarta: Gema Insani, 2016).
Ketidakseimbangan yang muncul pada dinamika profesi jukir menyebabkan infeksi
pada emosional-ekonomi masyarakat. Seperti patogen, jukir menganggu dinamika masyarakat
dalam berkegiatan. Benar-benar seperti patogen yang menginfeksi16. Jika terus dibiarkan, jukir
sebagai patogen sosial akan terus berkembang dan tanpa sadar merusak tatanan masyarakat
sosial serta menjadi bom waktu kemuakan masyarakat akan profesi ini. Oleh karena itu,
layakanya sebuah patogen, jukir perlu dikendalikan, dikontrol, dan diberikan penanganan yang
tepat agar tidak terjadi penjajahan patogen sosial.
Kolonialisme Lokal Kaum Marginal demi Cuan Kaum “Pas-Pasan”
Perkembangan zaman yang terus meningkat mendorong munculnya profesi baru
sebagai mata pencaharian masyarakat. Digital analyst, content creator, cloud storage
specialist, dan big data specialist merupakan sebagian kecil dari contoh lahirnya profesi baru
masa kini17. Teknologi seakan menjadi kunci utama transformasi pekerjaan yang menggeser
pada profesi menjanjikan. Namun, alih-alih terhapus oleh pekerjaan digital, perkejaan sebagai
juru parkir (jukir) makin menjadi-jadi dan fenomenal. Seperti mudahnya menemukan fast food
hari ini, kita dapat menjumpai profesi jukir hampir di setiap sudut kota, di setiap tempat
terbuka, di setiap daerah di Indonesia. Sayangnya, bukannya malah menciptakan rasa aman,
jumlah tukang parkir yang membludak ini malah menimbulkan keresahan. Bahkan tidak jarang
terjadi bentrok antara masyarakat dan jukir akibat privatisasi ruang publik.
Ruang publik merupakan sebuah tempat yang harusnya dapat diakses oleh seluruh
masyarakat secara mudah dan tanpa biaya. Setidaknya agar dapat disebut sebagai ruang publik,
sebuah tempat harus (1) dapat diakses oleh seluruh orang, (2) menyediakan kebebasan untuk
berkegiatan, dan (3) tidak benar-benar dimiliki oleh suatu pihak18. Dalam sebuah tatanan
masyarakat, ruang publik menjadi sebuah tempat yang memudahkan dan memfasilitasi setiap
orang untuk melakukan kegiatan yang diinginkannya. Di tempat ini, orang-orang dengan
berbagai latar belakang berbeda melakukan kegiatan individu, maupun publik. Adanya ruang
publik berkontribusi dalam pengingkatan kualitas hidup masyarakat. Dengan demikian, adanya
ruang publik sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Namun sayangnya, masih sering terjadi
dominasi ruang publik yang berujung pada privatisasi. Hal inilah yang menyebabkan kualitas
dan kuantitas dari ruang publik terus mengalami penurunan.

16
Alta de Vos and others, ‘Pathogens, Disease, and the Social-Ecological Resilience of Protected Areas’,
Ecology and Society, 21.1 (2016) <https://doi.org/10.5751/ES-07984-210120>.
17
Johnsons Fork, Digital Jobs and Digital Skills: A Shifting Landscape in Asia and the Pacific, Journal of
Education and Learning Systems, 2020, XI.
18
Jacinta Francis and others, ‘Creating Sense of Community: The Role of Public Space’, Journal of
Environmental Psychology, 32.4 (2012), 401–9 <https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2012.07.002>.
Privatisasi ruang publik yang sering terjadi di perkotaan besar di Indonesia kerap kali
memunculkan permasalahan sosial yang kompleks. Ekonomi sering kali menjadi motif utama
dalam privatisasi ruang publik, akan tapi banyak juga masalah sosial yang ditimbulkan dari
pemanfaatan tersebut 19
. Adanya prinsip demand and supply membuat sejumlah tempat
menjadi lahan uang yang dikelola beberapa pihak. Pemanfaatan ruang publik harusnya dikelola
pemerintah agar menghindari monestisasi sepihak yang membatasi masyarakat. Namun, dalam
praktiknya, kelemahan “law enforcment” membuat ruang publik didominasi oleh suatu pihak.
Peliknya, privatisasi ruang publik terkadang didukung oleh pemerintah karena kebutuhan
pemerintah untuk memperoleh uang20. Praktek yang sering ditemukan dalam hal ini adalah
penarikan retribusi untuk PKL, maupun “setoran” dari tukang parkir liar.
Privatisasi ruang publik mengurangi fungsi sebuah tempat sampai pembatasan
penggunaan. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa privatisasi menimbulkan beberapa
efek negatif, seperti keterbatasan akses, meningkatnya konsumerisme, memunculkan
kesenjangan sosial, dan berkurangnya ekspresi serta interaksi sosial. Pedagang kaki lima dan
tukang parkir di area jalan raya merupakan contoh fungsi privat yang menggerogoti ruang
publik. Selain mengurangi hak masyarakat dalam pemanfaatan, privatisasi ruang publik
memicu rusaknya tata letak kota yang berujung pada pengurangan nilai estetika. Tak hanya itu,
privatisasi juga tidak memberikan jaminan bahwa ruang publik yang masih dapat digunakan,
memiliki kualitas yang lebih baik21. Pengelolaan ruang publik yang diprivatisasi juga tidak
terbuka, sehingaa masyarakat tidak dapat melihat transparansi pengelolaan22. Hal tersebut
tentunya dapat menicu terjadi nya kesewenangan dari pihak pengelola.
Mirisnya privatisasi ruang publik banyak dilakukan oleh sektor informal yang banyak
diisi kaum marginal. Motif ekonomi dan keterbelakangan pendidikan menyebabkan banyak
kaum marginal menduduki sektor ekonomi informal yang sering kali memanfaatkan ruang
publik. Kaum marginal dapat dimaknai sebagai suatu kelompok masyarakat yang memiliki
keterbatasan akses terhadap fasilitas untuk menjadi manusia yang lebih berkembang.

19
Edi Purwanto, ‘Privatisasi Ruang Publik Dari Civic Centre Menjadi Central Business District (Belajar Dari
Kasus Kawasan Simpang Lima Semarang)’, Jurnal Tataloka, 16.3 (2014), 153
<https://doi.org/10.14710/tataloka.16.3.153-167>.
20
Achmad Delianur Nasution and Wahyuni Zahrah, ‘Public Open Space Privatization and Quality of Life, Case
Study Merdeka Square Medan’, Procedia - Social and Behavioral Sciences, 36.June 2011 (2012), 466–75
<https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.03.051>.
21
Eka Adhitya Hari Putra and Parfi Khadiyanto, ‘Pengaruh Privatisasi Ruang Terbuka Publik Taman Tabanasa
Gombel Semarang Terhadap Tingkat Kenyamana Pengunjung’, Jurnal Teknik PWK, 3.3 (2014), 446–60.
22
Jeremy Németh and Stephen Schmidt, ‘The Privatization of Public Space: Modeling and Measuring
Publicness’, Environment and Planning B: Planning and Design, 38.1 (2011), 5–23
<https://doi.org/10.1068/b36057>.
Kelompok ini adalah kelompok masyarakat yang memiliki ekonomi rendah, sehingga kesulitan
mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan fasilitas sosial yang layak di tengah kemajuan
perkembangan23. Alhasil, mereka menjadi kelompok yang tersingkirkan. Kelompok ini
didominasi oleh masyarakat ekonomi dan pendidikan rendah, seperti gelandangan, pengemis,
dan pengamen. Definisi tersebut juga selaras dengan keadaan kebanyakan jukir yang ada saat
ini banyak didominasi oleh mereka yang memiliki ekonomi dan berpendidikan rendah.
Uniknya, superiotas perparkiran negeri ini muncul dari kaum yang inferior. Hal ini tidak
jauh dari fakta bahwa rasa inferiotas yang berlebih menimbulkan rasa tidak aman, sehingga
orang yang mengalami keadaan ini cenderung agresif24. Inferiotas ini berubah menjadi
superiotas yang mendominasi ruang publik. Perilaku jukir yang semena-mena memang tidak
jauh dari rasa kecemasan mereka akan ekonomi. Demi kelancaran rezeki mereka menarik sana-
sini agar bisa makan di esok hari. Masalah ini semakin pelik ketika membicarakan akamsi
(anak kampung sini).
Rasanya tidak berlebihan tidak berlebihan jika kita menyebut dominasi ini sebagai
kolonialisme, kolonialisme lokal lebih tepatnya. Kolonialisme yang merupakan usaha untuk
mendominasi sesuatu untuk keutungan pribadi atau sepihak terjadi secara nyata dalam masalah
perparkiran25. Kolonialisme yang dilakukan oleh orang lokal terhadap fasilitas publik tentunya
tetap tidak dibenarkan. Meski mengelak, fakta tersebut tetap tidak terbantahkan. Jika ditanya,
mungkin sebagian jukir liar akan setuju dengan pernyataan “ini hak saya sebagai jukir disini
karena saya orang sini”. Secara tak langsung keadaan ini menciptakan segregasi sosial yang
ada pada ruang publik. Ada kelompok akami atau warlok (warga lokal), ada juga kelompok
warga pendatang. Hal lumrah yang terjadi di kota-kota besar. Jika ditanya pelakunya siapa?
Tentunya adalah kaum-kaum marginal yang membutuhkan cuan. Korbannya? Orang-orang
pendatang atau masyarakat yang terpisahkan dalam tatanan sosial yang sebenernya juga kaum
“pas-pasan”. Kaum “pas-pasan” adalah orang-orang dengan tingkat ekonomi di ambang batas,
seperti anak kos dan keluarga dengan tingkat ekonomi menengah.
Kolonialisme lokal yang melibatkan premanisme halal jukir ini memang masalah yang
cukup pelik jika ditelisik lebih jauh. Di satu sisi, akamsi yang tergolong masyarakat marginal
merasa memiliki hak untuk privatisasi ruang publik dan membutuhkan pekerjaan agar
mendapat uang, namun di sisi lain pelayanan yang diberikan tidak memuaskan, salah tempat,

23
Ratnah Rahman, ‘Peran Agama Dalam Masyarakat Marginal’, Sosioreligius, 4.1 (2019).
24
Ichiro Kishimi and Fumitake Koga, Berani Tidak Disukai, 1st edn (Jakarta: Gramedia, 2019).
25
Liza Amalia Putri and Katherine Clayton, ‘The Identity Issue of the Colonized and the Colonizer in Cloud
Nine by Caryl Churchil’, International Journal of Cultural and Art Studies, 04.1 (2020), 1–8.
dan salah sasaran. Mungkin sebagian orang akan berpikir “sekalian sedekah”, tapi ketika
“sekalian sedekah” terjadi berkali-kali, hal ini menjadi polemik tersendiri. Kultur premanisme
jukir ini pun semakin halal ketika tidak ada orang yang menyuarakannya. Sebuah keadaan yang
membahayakan tentunya, karena konflik batin yang hadir di masyarakat hanya akan menjadi
bom waktu yang meledak ketika setiap sudut kota telah diprivatisasi. Oleh karena itu, perlu
adanya paradigma baru dalam dunia parkir agar profesi jukir di-“iya”-kan seutuhnya oleh
semua orang.
Reinvensi Regulasi Jukir demi Terciptanya Istimarur Ridha
Saat ini, banyaknya jukir membuat profesi ini menjadi patogen sosial dan selayaknya
patogen, kontrol patogen diperlukan agar tindakan seperti premanisme halal tidak menyebar.
Peraturan terkait tempat parkir diatur dalam UU 22 tahun 2009 pasal 43, namun detail
pelaksanaan peraturan tersebut diserahkan pemerintah pusat pada pemerintah daerah. Setiap
daerah memiliki aturan masing-masing terkait tarif parkir sampai perizinan. Sayangnya,
adanya aturan tersebut tidak terlalu berlaku dalam pelaksanaannya. Masih banyak jukir liar
yang tidak memiliki izin dan tanpa pengawasan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya
pengaturan ulang yang baru demi terciptanya “suka sama suka” yang berkelanjutan di layanan
parkir, istimrarul ridha.
Istimrar dapat diartikan sebagai “terus menerus”, sehingga istimrarul ridha dimaknai
sebagai perasaan ridha yang terus menerus. Hubungannya dengan parkir? Seringkali uang yang
kita berikan pada tukang parkir tidak dibarengi dengan keikhlasan hati. Mungkin di awal
“sekalian sedekah”, tapi jika hal ini terus menerus terjadi, pemikiran akan sedekah dan kerelaan
kita melepaskan uang terus memudar. Dengan demikiran, tujuan akhir reinvensi regulasi ini
bertujuan agar “suka sama suka” atau keridhaan kita dalam membayar jasa parkir dapat terus
menerus. Tidak hanya sekali dua kali atau hanya terbatas di satu tempat saja. Keridhaan ini
dapat muncul jika hal-hal yang membuat kita kesal tentang perpakiran dapat hilang26.
Menilik problematika parkir saat ini, jukir liar yang menjadi patogen memiliki beberapa
permasalahan. Masalah-masalah yang ditimbulkan jukir, yaitu (1) ada di segala tempat karena
kurangnya peraturan terkait lokasi perparkiran; (2) tindakan semena-mena akibat rendahnya
pengawasan; dan (3) fokus pada pemenuhan finansial bukan pelayanan. Berdasarkan aspek-
aspek permasalahan tersebut, dapat dirumuskan langkah perbaikan kebijakan dalam
perparkiran. Langkah-langkah yang disusun tersebut perlu diperhatikan agar kerelaan dalam

Ahliwan Ardhinata and Sunan Fanani, ‘Keridhaan (Antaradhin) Dalam Jual Beli Online: Studi Kasus UD.
26

Kuntajaya Kabupaten Grestik’, JSETT, 2.1 (2015), 1576–80.


parkir dapat tercapai. Kerelaan ini dapat tercapai jika sesuatu yang diberikan seseorang sama
nilainya dengan apa yang diberikan oleh orang lain. Oleh karena itu, kesetaraan atau
kesetimbangan menjadi aspek yang penting dalam sebuah perniaagaan.
Hal terssebut diperkuat dengan Q.S. Asy-Syura (26): 181 – 184.

ُ َ َْ ََ ْ َ ْ ُ ْ َ ْ ْ ُْ َ َْ ْ ُ ْ َ ْ ُ ْ ُ َ ََ َ ْ َ ْ َُْ
‫اس المست ِقي ِمۚ ولا تبخسوا‬ ِ ‫ط‬ ‫س‬ ‫ق‬ ‫ال‬
ِ ِ ِ‫ب‬ ‫ا‬ ‫و‬ ‫ن‬ ‫ز‬‫و‬ ۚ‫ن‬ ‫ي‬‫ر‬ ‫س‬
ِ ِ ‫خ‬ ‫م‬ ‫ال‬ ‫ن‬‫م‬ِ ‫ا‬ ‫و‬‫ن‬ ‫و‬‫ك‬ ‫ت‬ ‫ا‬ ‫ل‬‫و‬ ‫ل‬ ‫ي‬‫ك‬ ‫ال‬ ‫وا‬‫ف‬‫او‬
َّ ُ َّ
َ ْ ََّ ْ َ َّ ْ َ ْ ُ َ َ َ ْ َ َ ْ ْ ُ ْ َْ ْ َ ْ َ َ َ ْ ُ َ َ ْ َ َ َّ
ۗ‫الج ِبلة الا لِو ين‬
ِ ‫الناس اشياۤءهم ولا تعثوا ِفى الار ِض مف ِس ِدينۚ واتقوا ال ِذي خلقكم و‬
Artinya:
“Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan orang
lain. Timbanglah dengan timbangan yang benar. Janganlah kamu merugikan manusia dengan
mengurangi hak-haknya dan janganlah membuat kerusakan di bumi. Bertakwalah kepada
Allah yang telah menciptakanmu dan umat-umat yang terdahulu.”
Dalam Tafsir Al-Munir dijelaskan bahwa kita perlu menyempurnakan takaran dan tidak
boleh mengurangginya27. Pengurangan timbangan sama saja dengan pengurangan hak-hak
seseorang dan hal ini dilarang. Dalam sebuah perniagaan, persamaan dalam penerimaan dan
pemberian merupakan sebuah kewajiban. Dijelaskan juga bahwa “ambillah sebagaimana
kalian memberi dan berikanlah sebagaimana kalian mengambil”. Pada ayat selanjutnya juga
dijelaskan bahwa kita tidak boleh mengurangi hak dan harta dalam segala sesuatu. Bahkan
dalam segi moral dan mental, seperti menjaga kehormatan dan kemuliaan.
Dalam ayat tersebut diperjelas bahwa sebuah perniagaan harus seimbang. Hal tersebut
bukan hanya dipandang sebagai perintah agama, namun juga kepedulian perintah agama
terhadap efek kausal. Perniagaan yang adil dapat menyebabkan kerelaan atau keridhaan
diantara penjual dan pembeli. Keridhaan inilah yang mendefinisikan “suka sama suka” pada
Q.S. An-Nisa (4): 29. Selain itu, hal ini senada dengan larangan mengambil harta dengan cara
batil yang ada pada ayat tersebut. Dalam konteks jukir, keridhaan antara pemilik tanah,
pengguna parkir, dan jukir perlu hadir.
Langkah nyata invensi yang dapat dilakukan dalam penanggulangan parkir didasarkan
pada problematika tukang parkir. Yang pertama, perlu adanya penentuan lokasi parkir.
Penentuan lokasi parkir sangat krusial karena tidak semua tempat dapat menjadi tempat parkir.
Bukan hanya soal faktor keselamatan, namun juga soal kebutuhan parkir itu sendiri. Peninjauan
tempat parkir yang sudah ada saat ini perlu dilakukan. Beberapa aspek yang dapat menjadi

27
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Jilid 10 (Jakarta: Gema Insani, 2016).
pertimbangan tempat parkir ini, yaitu (1) keamanan lokasi dari segi lalu lintas serta kriminalitas
dan (2) tempat tujuan pengunjung. Pertama, terkait kemanan lokasi parkir. Seringkali kita
menemui bahwa parkir diadakan pada tempat yang sempit, memakan bahu jalan, atau
menggunakan fasilitas publik lainnya. Hal ini seharusnya tidak terjadi, selain mengurangi hak
publik, keamanan lalu lintas yang ada pada tempat parkir perlu diperhatikan. Selain, dari segi
keamanan lalu lintas, keamanan tingkat kriminalitas perlu diperhatikan. Jukir sangat
dibutuhkan di tempat dengan tingkat kriminalitas tinggi dan sebaliknya, parkir tidak terlalu
dibutuhkan jika tempat parkir tersebut aman. Jika tidak ada pencurian, tidak ada pemalakan,
dan tidak ada kriminalitas lain, layanan jukir seharusnya tidak diadakan di daerah tersebut.
Selanjutnya, tempat parkir juga perlu memperhatikan tempat kunjungan utama. Tempat ATM
kecil, warteg, dan toko yang sudah menggratiskan parkir seharusnya tidak menjadi objek jukir.
Tempat-tempat tersebut merupakan tempat kaum “pas-pasan’ yang juga membutuhkan uang,
sehingga seharusnya digratiskan parkirnya. Seringkali kita temui bahwa adanya parkir
berfokus pada kesempatan adanya cuan bukan berdasarnya pada kebutuhan. Hal tersebut
tentunya perlu dihindari.
Kedua, langkah invensi yang perlu dikembangkan adalah pengawasan. Rendahnya
pengawasan pada jukir membuat dapat bertindak semena-mena, sehingga tindakan
premanisme lainnya dapat terjadi. Pengawasan dapat dilakukan oleh dishub sebagai pihak yang
berwenang dalam penyelenggaraan lalu lintas. Pengawasan disini memiliki artian pihak dishub
memiliki kewajiban dalam memberikan peraturan, menerima pengaduan kualitas jukir dari
masyarakat, dan memberikan edukasi kepada jukir terkait pelayanan yang semestinya. Dishub
juga memiliki tanggungjawab dalam pengecekan perjanjian parkir yang ada. Hal ini dapat
membantu menghindari penggunaan lahan secara sepihak oleh jukir.
Ketiga, paradigma jukir perlu diubah dari money oriented menjadi service oriented. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan melakukan edukasi pada jukir, sehingga jukir dapat mengerti
tupoksinya dengan baik. Pemahaman tentang pentingnya pelayanan pada masyarakat sebagai
pelaku ekonomi di bidang jasa perlu ditumbuhkan dalam diri jukir. Adanya kesadaran tersebut
dapat membuat jukir lebih bertanggung jawab dalam pelayanannya. Kedepannya, pemerintah
juga dapat membantu menetapkan standar penyelenggaraan parkir agar parkir lebih aman.
Standar tersebut, seperti adanya kamera cctv di parkir, pembatas parkir yang jelas, dan mungkin
asuransi parkir agar setiap pengguna parkir merasa lebih aman.
Dengan adanya invensi regulasi tersebut diharapkan pengguna parkir dapat mencapai
Istimarur Ridha. Langkah-langkah tersebut merupakan regulasi awal yang semestinya dibenahi
oleh pemerintah. Kedepannya, inovasi lain terkait parkir tetap perlu digalakkan agar jukir tidak
menjadi patogen sosial dan tetap menjadi profesi yang bermartabat bagi sebagian besar orang.
Penutup
Fenomena jukir yang merajalela sangat berpotensi menjadi patogen sosial di
masyarakat. Jukir yang semena-mena melakukan privatisasi ruang publik tidak jauh dari kata
premanisme halal yang hingga saat ini nyata terjadi. Jukir yang memiliki superioritas dapat
mengatur semena-mena daerah kolonialnya yang didapat dari privatisasi ruang publik. Selain
mengurangi hak publik, jukir juga dapat menimbulkan keresahan alih-alih sebuah keamanan
dan kenyamanan. Meskipun banyak problematika pada profesi ini, profesi jukir ini juga tidak
bisa serta-merta dieliminasi. Jukir telah menjadi jalan ekonomi sebagian besar kaum marginal
yang tidak memiliki kualifikasi tinggi dan kesulitan mencapai kemandirian finansial. Paradoks
tersebut semakin rumit ketika melihat kenyataan bahwa parkir telah menjadi bagian dari kultur
masyarakat. Dalam prspektif Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa segala perniaagaan perlu
dilakukan berdasarkan suka sama suka, bahkan dalam pelayanan. Dengan demikian,
seyogianya penyelenggaraan parkir juga menganut pada prinsip ini. Oleh karena itu, perlu
adanya upaya invensi dalam penyelanggaraan parkir di negara ini.
Invensi langkah supresi jukir agar tidak menjadi patogen setidaknya mencakup tiga hal
penting yang krusial, yaitu tempat, pengawasan, dan pelayanan. Perlu adanya penetapan dan
pengaturan kembali tentang tempat yang dapat digunakan sebagai tempat parkir. Tempat-
tempat tersebut juga perlu mengecualikan tempat yang banyak dikunjungi kaum pas-pasan.
Jukir juga perlu diberikan pengawasan oleh pihak berwenang agar penyelenggaraan parkir
dapat berjalan dengan baik. Selain itu, perlu adanya upaya edukasi kepada jukir agar berfokus
pada service oriented, bukan money oriented. Dengan langkah invensi tersebut diharapkan
pengguna parkir dapat lebih nyaman dalam menggunakan jasa parkir, sehingga tercipta
istimrarur ridha.
REFERENSI

Ardhinata, Ahliwan, and Sunan Fanani, ‘Keridhaan (Antaradhin) Dalam Jual Beli Online:
Studi Kasus UD. Kuntajaya Kabupaten Grestik’, JSETT, 2.1 (2015), 1576–80

Az-Zuhaili, Wahbah, Tafsir Al-Munir Jilid 10 (Jakarta: Gema Insani, 2016)

———, Tafsir Al-Munir Jilid 3 (Jakarta: Gema Insani, 2016)

Busyro, Marwan, ‘Doktrina : Journal of Law’, 2.2 (2019), 99–116


<https://doi.org/10.31289/doktrina.v>

Fork, Johnsons, Digital Jobs and Digital Skills: A Shifting Landscape in Asia and the Pacific,
Journal of Education and Learning Systems, 2020, XI

Francis, Jacinta, Billie Giles-Corti, Lisa Wood, and Matthew Knuiman, ‘Creating Sense of
Community: The Role of Public Space’, Journal of Environmental Psychology, 32.4
(2012), 401–9 <https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2012.07.002>

Gumilar, Luky Artha, and Sholahuddin Harahap, ‘Tinjauan Yuridis Terhadap Praktik
Pungutan Parkir Kendaraan Liar Secara Paksa Dan Faktor-Faktor Terjadinya Pungutan
Tersebut Di Indomaret Margahayu Raya Bandung’, in Prosiding Ilmu Hukum, 2020, pp.
615–19

Hadiyan, M Azka, and Euis D Suhadriman, ‘Penegakan Hukum Terhadap Pungutan Liar
Biaya Parkir Yang Dilakukan Oleh Preman Di Kota Subang Di Tinjau Dari Kitab
Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)’, in Prosiding Ilmu Hukum (Bandung:
Universitas Islam Bandung, 2018), pp. 234–36

Hasan, Mariwan, Lona Ahmed, and Roman Muhammad, ‘Imperialism, Colonialism and
Racism in Joseph Conrad’s Heart of Darkness: A Postcolonial Approach’, Acuity:
Journal of English Language Pedagogy, Literature and Culture, 6.1 (2020), 36–50
<https://doi.org/10.35974/acuity.v6i1.2385>

Ihsanuddin, ‘“Survei Kompas: 84 Persen Tak Setuju Keberadaan Juru Parkir Liar,”
KOMPAS.Com,’ KOMPAS, 2023
<https://megapolitan.kompas.com/read/2022/01/31/13192181/survei-kompas-84-persen-
tak-setuju-keberadaan-juru-parkir-liar.> [accessed 25 August 2023]

Ilosa, Abdiana, ‘Kualitas Pelayanan Parkir Di Tepi Jalan Umum Kota Yogyakarta’,
NATAPRAJA: Jurnal Kajian Ilmu Administrasi Negara, 4.2 (2016), 107–26

Iskandar, D, ‘Enggan Bayar Parkir Karena Tak Diberi Karcis Jukir Marah-Marah Ajak
Kelahi’, Riau Pos, 2023
<https://riaupos.jawapos.com/pekanbaru/12/06/2023/303443/enggan-bayar-parkir-
karena-tak-diberi-karcis-jukir-marahmarah-ajak-kelahi.html> [accessed 25 August
2023]

Kishimi, Ichiro, and Fumitake Koga, Berani Tidak Disukai, 1st edn (Jakarta: Gramedia,
2019)

Larasati, Dewi Citra, and Abd. Rohman, ‘Tumpang Tindih Pengelolaan Tempat Parkir ( Studi
Tentang Retribusi Dan Pajak Parkir Di Kota Malang )’, Reformasi, 10.1 (2020), 45–60

Movanita, A. N. K, ‘Jukir Yang Patok Harga Parkir RP 10.000 Di Senayan Dilepas, Polisi:
Tidak Ada Pemerasan’, KOMPAS, 2023
<https://megapolitan.kompas.com/read/2023/06/15/15274801/jukir-yang-patok-harga-
parkir-rp-10000-di-senayan-dilepas-polisi-tidak.> [accessed 25 August 2023]

Nadaa, Farras Thifaal, Martinus Nanang, and Adi Rahman, ‘Dampak Dari Sikap Premanisme
Terhadap Pedagang Pasar Segiri Kota Samarinda’, Jurnal Pembangunan Sosial, 11.3
(2023), 149–59

Nasution, Achmad Delianur, and Wahyuni Zahrah, ‘Public Open Space Privatization and
Quality of Life, Case Study Merdeka Square Medan’, Procedia - Social and Behavioral
Sciences, 36.June 2011 (2012), 466–75 <https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.03.051>

Németh, Jeremy, and Stephen Schmidt, ‘The Privatization of Public Space: Modeling and
Measuring Publicness’, Environment and Planning B: Planning and Design, 38.1
(2011), 5–23 <https://doi.org/10.1068/b36057>

Purwanto, Edi, ‘Privatisasi Ruang Publik Dari Civic Centre Menjadi Central Business
District (Belajar Dari Kasus Kawasan Simpang Lima Semarang)’, Jurnal Tataloka, 16.3
(2014), 153 <https://doi.org/10.14710/tataloka.16.3.153-167>

Putra, Eka Adhitya Hari, and Parfi Khadiyanto, ‘Pengaruh Privatisasi Ruang Terbuka Publik
Taman Tabanasa Gombel Semarang Terhadap Tingkat Kenyamana Pengunjung’, Jurnal
Teknik PWK, 3.3 (2014), 446–60

Putra, Ghoustanjiwani Adi, and Daim Triwahyono, ‘Privatisasi Dalam Ruang Publik Studi
Kasus: Taman Merbabu Malang’, PAWON: Jurnal Arsitektur, 3.1 (2019), 69–78

Putri, Liza Amalia, and Katherine Clayton, ‘The Identity Issue of the Colonized and the
Colonizer in Cloud Nine by Caryl Churchil’, International Journal of Cultural and Art
Studies, 04.1 (2020), 1–8

Rahman, Ratnah, ‘Peran Agama Dalam Masyarakat Marginal’, Sosioreligius, 4.1 (2019)

Retnowati, Susi, Asri Agustiwi, and Putri Maha Dewi, ‘Efektivitas Peran Kepolisian Dalam
Menangani Premanisme Di Inonesia’, Jurnal Hukum Dan Kebijakan Sosial Ratu Adil
UNSA, 6.2 (2022), 1–20

Septiawan, A., ‘Pemuda Di Jogja Dikeroyok Tukang Parkir Gegara Lirikan Mata.
20DETIK.’, Detik.Com, 2023 <https://20.detik.com/detikupdate/20230814-
230814104/pemuda-di- jogja-dikeroyok-tukang-parkir-gegara-lirikan-mata> [accessed
25 August 2023]

Sinaga, Berlin, Triono Eddy, and T Erwinsyahbana, ‘Penanggulangan Premanisme Di Kota


Medan (Studi Di Satuan Reskrim Polresta Medan)’, Journal of Education, Humaniora,
and Social Sciences (JEHSS), 3.2 (2020), 333–41

Ucu, K. R., ‘Jangan Remehkan Tukang Parkir, Penghasilan Sebulannya Hampir Dua Kali
Lipat UMR Jakarta’, Republika, 2022
<https://news.republika.co.id/berita/rl0y5m282/jangan-remehkan-tukang-parkir-
penghasilan-sebulannya-hampir-dua-kali-lipat-umr-jakarta> [accessed 24 August 2023]

de Vos, Alta, Graeme S. Cumming, David H.M. Cumming, Judith M. Ament, Julia Baum,
Hayley S. Clements, and others, ‘Pathogens, Disease, and the Social-Ecological
Resilience of Protected Areas’, Ecology and Society, 21.1 (2016)
<https://doi.org/10.5751/ES-07984-210120>

Anda mungkin juga menyukai