Anda di halaman 1dari 3

Sisi Humanis Perang Salib

Oleh: Eril Sadewa.


Peneliti Sejarah Islam Mandiri.

Sumber: Dzargon
Tema Perang Salib biasanya ramai dibahas apabila sedang terjadi konflik antara Palestina dan
Israel, terutama saat ini. Perang Salib dianggap sebagai konflik agama yang sakral dan
merupakan pertemuan dua peradaban yaitu barat dan timur.
Di artikel ini, saya tidak akan coba membahas Perang Salib dari sudut pandang barat atau
Islam. Saya tidak akan membenarkan satu pihak dan menyalahkan pihak yang lain, saya
hanya akan memaparkan sisi lain dari konflik bersejarah ini yaitu sisi humanis yang kerapkali
dilupakan mereka yang menulis sejarah tentang peperangan bersejarah ini.
Menurut Sejarawan Philip.K.Hitti, Perang Salib tidak hanya melulu masalah konflik
bersenjata saja. Perang Salib juga menjadi ajang pertukaran budaya antara Kaum Muslimin
di Timur Tengah dengan bangsa-bangsa Eropa.
Kala itu, Pasukan Salib yang telah berhasil mendirikan beberapa negara antara lain Antiokhia,
Edessa, Tripoli, dan Yerusalem di Pesisir Mediterrania Timur kebanyakan tinggal di benteng-
benteng dan markas mereka. Perlahan, mereka mulai beradaptasi dengan budaya Timur
Tengah diantaranya membangun rumah-rumah bergaya Timur Tengah dengan halaman
terbuka dan air mengalir. Bahkan, banyak pula Tentara Salib yang menikahi wanita pribumi
dan melahirkan suku bangsa baru yang disebut sebagai Poulains.
Catatan Usamah bin Munqidz, seorang Bangsawan Muslim dari Syaizar menjadi bukti otentik
adanya hubungan damai antara Kaum Muslimin dan Pasukan Salib, dan juga catatan ini
termasuk sumber primer yang kuat mengenai masa-masa Perang Salib.
Usamah bin Munqidz hidup antara 1095-1188 M, beliau berasal dari Keluarga Munqidz yang
memimpin Kota Syaizar dan menjalin hubungan damai dengan Tentara Salib.
Usamah sendiri adalah seorang pengembara dan beliau menjalin hubungan dengan banyak
sekali penguasa diantaranya penguasa-penguasa Mesir, Damaskus, dan Tentara Salib.
Catatan inipun terkadang mencatat hal-hal lucu yang dilihat Usamah dari Tentara Salib, salah
satunya suatu hari Usamah berkunjung ke Tiberias yang dikuasai Tentara Salib dan kala itu
orang-orang Eropa sedang merayakan salah satu hari raya mereka. Diadakan perlombaan
dimana babi bakar diletakkan di ujung lapangan dan disana ada dua nenek-nenek tua yang
mana mereka harus berlari untuk meraih babi bakar tersebut. Masing-masing nenek diiringi
pasukan berkuda yang menyemangatinya, kedua nenek itu berkali-kali jatuh ke tanah dan
bangkit lagi, setiap kali mereka terjatuh, akan disambut tawa para penonton. Hingga salah
satu nenek berhasil mencapai ujung lapangan dan mendapatkan babi bakar.
Dalam catatan tersebut, tercatat pula Penguasa Munaytirah yang berkebangsaan Eropa
menulis surat pada Raja Syaizar yang merupakan paman Usamah dan meminta dikirimkan
seorang dokter untuk mengobati pasien-pasien disana. Karena pasien-pasien disana
beragama Kristen, dokter yang dikirim pun juga seorang Kristen bernama Tsabit.
Ada dua pasien antara lain prajurit yang kakinya bernanah dan bengkak serta seorang wanita
sinting. Dokter Tsabit memberi tuam untuk mengobati si prajurit dan bengkaknya mulai
membaik. Adapun untuk wanita sinting itu, Dokter Tsabit menerapkan diet sehingga kondisi
si wanita membaik. Kemudian datanglah seorang dokter Eropa yang mengatakan pada para
pasien: “Orang ini ( Tsabit) tidak tahu bagaimana cara mengobati mereka”
Dokter Eropa inipun mengobati para pasien secara asal-asalan, antara lain dengan
memotong kaki prajurit yang terluka menggunakan kampak dan menggunduli si perempuan
sinting, si perempuan kembali memakan makanan yang membuat ia alergi dan ia kembali
sinting. Akhirnya, dokter Eropa beranggapan bahwa setan telah masuk ke dalam kepala si
perempuan dan memarut kepala si perempuan dengan gambar salib, lalu menggarami
lukanya. Perempuan dan prajurit inipun wafat karena pengobatan yang asal-asalan tersebut.
Usamah bin Munqidz seringkali mengunjungi Yerusalem yang masih diduduki Pasukan Salib.
Setiap kali kesana, Usamah seringkali shalat di Masjid Al-Aqsha yang telah dijadikan markas
oleh pasukan elit Tentara Salib yaitu Ksatria Templar. Suatu hari saat beliau shalat disana,
seorang Eropa mengganggunya dan para Ksatria Templar berupaya mencegah orang itu
mengganggu Usamah. Orang Eropa ini baru datang ke Timur Tengah dan ia belum mengerti
adat kebiasaan disana.
Orang-orang Eropa yang telah lama tinggal di Palestina dan Suriah bukan hanya menjadi
lebih halus dan berbudaya. Tak sedikit pula kebiasaan-kebiasan Kaum Muslimin yang mereka
adopsi. Bahkan pada abad ke-12 M, ada seorang Bangsawan Eropa yang telah masuk Islam
bernama Walter Mahomet ( Mahomet adalah pengucapan Muhammad dalam dialek Eropa)
dan menjadi Penguasa Hebron pada 115 M.
Bahkan, di tengah-tengah kecamuk pertempuran, sisi humanisme ini masih ada, salah
satunya saat Perang Salib Ketiga. Pada 1192 M, pecah Pertempuran Yafa antara Shalahuddin
Al-Ayyubi dari Dinasti Ayyubiyah melawan Richard si Hati Singa dari Inggris yang memimpin
Pasukan Salib untuk merebut Yerusalem. Pertempuran berlangsung seri, kedua kubu sama
kuatnya. Sayangnya, Richard jatuh sakit. Shalahuddin mengirimkan buah persik dan pir serta
minuman sedingin es untuk Richard.
Dan tak lama kemudian disepakatilah Perjanjian Jaffa yang isinya Shalahuddin mengakui
wilayah kekuasaan Pasukan Salib di pesisir sepanjang 100 Kilometer, menurut Sejarawan
John Mann dan para peziarah boleh datang dan pergi ke Yerusalem.
Sebelum pulang ke Eropa, sekelompok kecil Tentara Salib mengunjungi Yerusalem dan
Shalahuddin menerima mereka dengan baik, bahkan Shalahuddin menyempatkan diri
mengobrol dengan Uskup Salisbury bernama Hubert Walter.
Sebuah puisi Prancis mengabadikan kebaikan hati Shalahuddin Al-Ayyubi, puisi itu berjudul
Le Pas Saladin, dimana cerita puisi tersebut adalah pertempuran antara Shalahuddin dan
Pasukan Salib memperebutkan suatu jalan kecil. Akan tetapi, Shalahuddin memilih mengalah
karena tidak ingin banyak ksatria yang berguguran dalam pertempuran.
Sejarawan Philip.K.Hitti juga mencatat, bahwa Perang Salib memengaruhi Orang Eropa
dalam hal kemiliteran. Orang Eropa belajar dari Orang Timur Tengah bagaimana melatih
merpati pos untuk menyampaikan pesan. Dari peristiwa ini pulalah, Orang Eropa banyak
mempelajari arsitektur Arab dan menerapkannya pada benteng-benteng mereka.
Diantaranya adalah Benteng Akrad, Markab, Syaqif, dan lainnya. Dari Perang Salib pulalah,
Orang Eropa mengenal rempah-rempah dan parfum.
Semua ini, merupakan bukti bahwa Perang Salib tidaklah melulu perang antara dua
peradaban besar. Perang Salib juga ajang pertukaran budaya yang sangat berarti baik bagi
Peradaban Arab Muslim maupun bagi Peradaban Eropa Kristen. Darisini, kita mendapat
pelajaran untuk memandang segala sesuatu secara bijaksana. Sesuatu yang berbeda tidak
harus saling membenci, saling menghargai adalah kunci kerukunan.
Refrensi:
Hitti, Philip.K: History Of The Arabs, Penerbit Serambi, 2006 M.
Mann, John: Shalahuddin Al-Ayyubi: Legenda, riwayat hidup,dan Imperium Islam, Penerbit
Alvabet, 2021 M.
Alatas, Habib Alwi: Nuruddin Zanki Dan Perang Salib, Penerbit Zikrul, 2012 M.

Anda mungkin juga menyukai