Tugas Waris Kelar

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 10

HAK WARIS ANAK ANGKAT ANTAR WARGA NEGARA

INDONESIA BERDASARKAN HUKUM ADAT DI INDONESIA


M Alzohir Aji Rimansyah a
Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya, Indonesia, Email : Alzohiraji5@gmail.com
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini agar dapat mengetahui dan menejelaskan mengenai hak waris anak
angkat antar warga negara indonesia berdasarkan hukum adat di indonesia dan mengenai
hukum yang timbul dari pengangkatan anak menurut adat. Dengan tujuan tersebut,maka
masalah yang dibahas adalah:1)Bagaimana kedudukan anak angkat dalam sistem pewarisan
menurut Hukum Adat di Indonesia; 2)Bagaimanakah sistem pewarisan dan proses pewarisan
menurut Hukum Waris Adat. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif,
yaitu suatu pendekatan masalah dengan jalan mengkaji dan membandingkan peratuuran
perundang – undangan.
Kata Kunci: Hukum Adat, Anak Angkat

Abstract
Keywords :

PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan manusia
lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari, setiap insan membutuhkan manusia lainnya buat
melakukan interaksi hubungan sosial satu dengan yang lainnya termasuk hubungan
menggunakan benda-benda. Untuk menjaga agar hubungan tadi berjalan baik, maka insan
yang hidup pada kelompoknya menghasilkan hukum aturan yang tertulis maupun tidak
tertulis yang mengikat dan dipatuhi oleh setiap orang yang berada dalam kelompok tersebut.
Selama hidupnya, pengalaman dan peristiwa penting itu antara lain, yaitu kelahiran,
perkawinan dan kematian. Ketiga peristiwa tersebut menimbulkan akibat hukum terhadap
keluarga atau orang lain yang berhubungan dengan hak atas harta bendanya. Dari awal
kehidupan, manusia dilindungi oleh hukum sepanjang kepentingannya menghendaki. Dengan
demikian, manusia merupakan subjek hukum. Setelah dewasa, manusia akan menikah dan
memiliki anak sebagai penerus keturunannya. Pernikahan yakni hubungan lahir dan batin
antara pria dan wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga yang kekal
bersumber pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam uraian pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, disebutkan bahwa tujuan dari perkawinan adalah untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, dalam hal keluarga bahagia sangat erat
kaitannya dengan keturunan. Pada kenyantaannya banyak pasangan suami-istri yang telah
menikah tetapi tidak dikaruniai keturunan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Seorang anak tidak
hanya sebagai penerus keturunan tetapi juga sebagai penerus harta peninggalan orang
tuanya.1
Bagi keluarga yang belum dikaruniai keturunan dan berusaha untuk mendapatkan
keturunan, mengangkat anak merupakan salah satu solusi yang dapat mereka lakukan.
Permasalahan tidak memiliki keturunan tersebut dapat menjadi alasan timbulnya suatu
perbuatan hukum seperti mengangkat seorang anak untuk dirawat dan diperlakukan seperti
anak kandung sendiri.2 Pada awalnya, tujuan dari pengangkatan anak adalah sebagai penerus
keturunan apabila didalam perkawinan tidak dikaruniai keturunan. Tetapi seiring dengan
perkembangan masyarakat, tujuan pengangkatan anak telah berubah semata-mata untuk
kesejahteraan. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 12 ayat 1 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak yang menyatakan
“Pengangkatan anak (adopsi) menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan
mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak”.3
Di Indonesia belum mempunyai Undang- Undang Hukum Waris Nasional yang
berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehubungan dengan belum adanya undang-undang
tersebut, di Indonesia masih diberlakukan 3 (tiga) sistem hukum kewarisan yakni hukum
kewarisan Perdata Barat, Islam dan Adat. Hal ini disebabkan sifat pluralisme suku bangsa
dan warga negara Indonesia.
Hukum kewarisan perdata Barat mengenal adanya 2 (dua) macam waris, yaitu hukum
waris tanpa wasiat (abintestato) dan hukum waris wasiat (testamen). Menurut pasal 382
KUHPerdata, dinyatakan bahwa “yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah para keluarga
sedarah baik sah maupun luar kawin dan suami atau isteri yang hidup terlama. Kalau
keluarga sedarah atau suami atau isteri yang hidup terlama tidak ada, maka segala harta
peninggalan itu menjadi milik negara dengan melunasi segala utang sekadar harta
peninggalan mencukupi untuk itu”4
Harta warisan adalah harta benda peninggalan dari pewaris. Harta benda tersebut
dapat berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud. Jenis
harta warisan adalah harta kekayaan, hak kekayaan intelektual, merek dagang/perusahaan,
dan hak kebendaan. Adapun harta warisan adalah segala harta kekayaan peninggalan pewaris

1
Riza Amina Harkaz Ritonga dkk, Kedudukan Anak Angkat Dalam Sistem Pewarisan Hukum Adat Dan
Hukum Islam (Perbandingan Antara Hukum Adat Dan Hukum Islam) (Fakultas Hukum Universitas Jambi :
Oktober 2021),hlm.1
2
Ibid.hlm.2
3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak pasal 12 ayat 1

4
Pasal 382 KUHPerdata.
setelah dikurangi dengan semua utang dan wasiat pewaris. Harta warisan sering disebut
dengan “warisan “ saja. Warisan menjadi hak ahli waris.
Menurut hukum adat, kedudukan anak angkat terhadap orangtua angkat mempunyai
kedudukan sebagai anak sendiri atau kandung yang artinya anak angkat berhak atas hak
mewaris dan keperdataan. Maka dari itu penulis akan membahas “Hak Waris Anak Angkat
Antar Warga Negara Indonesia Berdasarkan Hukum Adat Indonesia.”
1. Bagaimana kedudukan anak angkat dalam sistem pewarisan menurut Hukum
Adat di Indonesia?
2. Bagaimanakah sistem pewarisan dan proses pewarisan menurut Hukum Waris
Adat ?

METODE
Penelitian ini merupakan yuridis normatif, yaitu suatu pendekatan masalah dengan jalan
mengkaji dan membandingkan peratuuran perundang-undangan .

PEMBAHASAN
A. Kedudukan Anak Angkat Dalam Sistem Pewarisan Menurut Hukum Adat di
Indonesia
Kedudukan anak sangat penting dalam masyarakat maupun keluarga, karena anak
merupakan tumpuan harapan masa depan. Oleh karena kondisinya sebagai anak, maka perlu
perlakuan khusus terhadap proses tumbuh kembangnya. Dengan adanya ikatan perkawinan,
suami istri berkedudukan sebagai orang tua dari anak kandung maupun yang bukan anak
kandung. Namun demikian, sebelum perkawinan biasanya suami istri telah memiliki anak
bawaan, baik anak tiri, anak angkat, anak pungut maupun anak yang lahir bukan dari
perkawinan yang sah. Mengenai kedudukan anak, hukum adat dan hukum islam memiliki
ketentuan sendiri yang mengatur terkait kedudukan anak.
Hukum Adat mengenal dua macam anak, yaitu anak sah dan anak tidak sah. Anak sah
merupakan anak yang lahir dari perkawinan orang tuanya yang sah menurut agama,
sebagaimana diatur dalam pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Anak sah, baik laki-laki maupun perempuan merupakan ahli waris dari orang
tuanya, mereka berhak atas harta warisan orang tuanya. Sedangkan anak tidak sah merupakan
anak yang lahir dari perbuatan orang tua yang tidak menurut ketentuan agama, dalam pasal
43 ayat 1 disebutkan bahwa anak tidak sah hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu
dan keluarga ibunya. Dengan demikian, menurut Undang-Undang anak tidak sah hanya dapat
menjadi waris dari ibu dan keluarga ibunya, sedangkan dengan ayahnya ia belum tentu
mendapat waris. Akan tetapi, ada pula anak tidak sah yang diperlakukan sama dengan anak
sah yang merupakan ahli waris dari orang tua nya.
Hukum Adat juga mengenal beberapa anak daripada yang telah disebutkan diatas.
Selain anak sah dan anak tidak sah, terdapat juga anak tiri dan anak angkat. Anak tiri adalah
anak yang dibawa oleh suami atau istri kedalam suatu perkawinan. Terhadap ayah atau ibu
kandungnya, ia merupakan ahli waris tetapi terhadap ayah atau ibu tirinya, ia bukan
merupakan ahli waris. Anak angkat menurut Hilman Hadikusuma merupakan anak orang lain
yang diangkat oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat dikarenakan
tujuan keturunan dan/atau pemeliharaan atas harta kekayaan. 5 Dengan keanekaragaman
hukum adat tersebut, hubungan hukum yang terjalin antara anak angkat dengan orang tua
angkatnya pun juga menjadi beragam.
Kedudukan anak angkat dalam hukum waris adat di beberapa daerah tidaklah sama, hal ini
sangat bergantung pada sistem kekerabatan yang dianut oleh masing- masing daerah sehingga
terdapat perbedaan pula dalam hal pewarisannya. Sejauh mana anak angkat dapat mewarisi
orang tua angkatnya dapat dilihat dari latar belakang pengangkatan anak tersebut, pada
umumnya pengangkatan anak terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut:
1) Tidak mempunyai keturunan;
2) Tidak ada penerus keturunan;
3) Menurut adat perkawinan setempat;
4) Hubungan baik dan tali persaudaraan;
5) Rasa kekeluargaan dan peri kemanusiaan;
6) Kebutuhan tenaga kerja.6

Pada masyarakat adat yang memberikan kedudukan anak yang diangkat dalam hukum
adat sama dengan anak kandung, maka hal tersebut menempatkan anak angkat berstatus
menjadi ahli waris. Dengan demikian, anak angkat berhak mendapat bagian dari harta waris
orang tua angkatnya sebagaimana yang diberikan kepada anak kandungnya. Pada masyarakat
yang tidak menempatkan status anak angkat sebagai anak kandung dari orang tua angkatnya,
maka anak angkat tersebut tidak berhak mewarisi harta orang tua angkatnya.Kedudukan anak

5
Ellyne Dwi Poespasari, “Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat Di Indonesia”, Jakarta, Prenadamedia
Group, 2018, Cet.1, Hlm. 69.
6
Mohammad Alvian Adi Nugroho,”Kewarisan Anak Angkat Dalam Prespektif Hukum Islam Ditinjau Dari
Wasiat Wajibah”, Jurnal Hukum Universitas Negeri Surabaya, 2019, Hlm. 3.
tersebut juga sangat bergantung pada proses pengangkatannya, pengangkatan anak akan sah
apabila dilakukan dengan upacara adat dan disaksikan oleh kepala adat serta sanak saudara.
Dengan demikian, dengan tegas dikatakan bahwa anak angkat adalah ahli waris dari orang
tua angkatnya sedangkan dengan orang tua kandungnya terputus.

Dalam hukum islam, harta kekayaan dalam perkawinan diatur dalam Buku I pasal 85-
97. Pada dasarnya, harta dalam perkawinan dibagi menjadi dua, yaitu Harta Bawaan dan
Harta Bersama. Pasal 87 ayat 1 menjelaskan bahwa harta bawaan adalah merupakan harta
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan dan berada dibawah penguasaan
masing-masing. Pasal 35 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 juga
menyebutkan bahwa harta bersama merupakan harta yang diperoleh masing-masing suami
istri dari hadiah atau warisan dan berada dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan hal lain. Pembagian warisan terhadap anak angkat dapat dilihat
dalam penetapan Mahkamah Agung Nomor : 0014/Pdt.P/2011/ PA.Jb, penetapan tersebut
menyatakan bahwa anak angkat berhak mendapat warisan melalui wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta yang ditinggalkan.

B. Sistem Pewarisan Dan Proses Pewarisan Menurut Hukum Waris Adat


1. Sistem Pewarisan
Di Indonesia dikenal sistem pewarisan dalam hukum adat. Sistem pewarisan
dalam hukum adat dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yang dapat diuraikan sebagai
berikut :7
1. Sistem Pewarisan Individual
Pewarisan dengan sistem individual adalah sistem pewarisan dimana setiap waris
mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan/atau memiliki harta warisan menurut
bagiannya masing-masing. Setelah harta warisan itu diadakan pembagian, maka masing-
masing waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta warisannya untuk diusahakan,
dinikmati, atau dialihkan (dijual) kepada orang lain.
2. Sistem Pewarisan Kolektif
Sistem pewarisan kolektif yakni di mana harta peninggalan diteruskan dan dialihkan
pemiliknya dari pewaris kepada ahli waris sebagai kesatuan yang tidak terbagi-bagi
penguasaannya dan pemilikannya. Oleh sebab itu, ahli waris berhak untuk mengusahakan
7
Ellyne D Poespasari, Op-cit, hal 39
menggunakan atau mendapat hasil dari harta peninggalan tersebut. Cara pemakaian harta
peninggalannya untuk kepentingan dan kebutuhan masing- masing ahli waris diatur bersama-
sama atas dasar musyawarah mufakat oleh semua anggota kerabat yang berhak atas harta
peninggAada sistem pewarisan kolektif ini misalnya, terdapat di masyarakat Minangkabau.
Di Minangkabau, harta yang dikuasai oleh kaum secara kolektif, sedangkan ahli waris adalah
anggota kaum secara kolektif juga, maka kematian seseorang dalam kaum tidak banyak
menimbulkan masalah. Harta tetap tinggal pada rumah yang ditempati oleh kaum untuk
dimanfaatkan bersama oleh seluruh anggota kaum itu. Di Minangkabau sistem kolektif
berlaku atas tanah pusaka yang diurus bersama di bawah pimpinan atau pengurusan mamak
kepala waris,di mana para anggota family hanya mempunyai hak pakai.
3. Sistem Pewarisan Mayorat.
Sistem pewarisan mayorat ini sebenarnya juga merupakan sistem pewarisan kolektif,
hanya saja pengalihan dan pengusaan atas yang tidak terbagi- bagi itu dilimpahkan kepada
anak tertua (dari sistem mayorat laki-laki atau sistem mayorat perempuan) yang bertugas
sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala keluarga menggantikan kedudukanya sebagai
orangtua (ayah atau ibu) sebagai kepala keluarga.
Anak tertua dalam kedudukanya sebagai penerus tanggung jawab orang tua
yang meninggal dunia berkewajiban mengurus dan memelihara saudara-saudara yang lain,
terutama bertanggung jawab atas harta warisan dari orang tuanya dan kehidupan saudara-
saudaranya (adik- adiknya) yang masih kecil sampai mereka berumah tangga dan berdiri
sendiri dalam suatu kekerabatan mereka yang turun-temurun.

2. Proses Pewarisan
a. Sebelum pewaris meninggal dunia.
Di dalam hukum waris adat prosesmpewarisan dapat dilaksanakan dengan cara: 8
1) Cara penerusan atau pengalihan
Pada saat pewaris masih hidup, sering kali pewaris melakukan penerusan atau
pengalihan kedudukan atau jabatan adat, hak dan kewajiban harta kekayaan kepada ahli
warisnya. Cara ini biasanya berlangsung menurut hukum adat setempat, misalnya terhadap
kedudukan , hak dan kewajiban dan harta kekayaan yang tidak terbagi-bagi kepada anak laki-
laki sulung atau bungsu di Tanah Batak atau kepada anak perempuan sulung di Minangkabau
atau kepada tunggu-tubang di Semendo. Ada pula pemberian harta kekayaan tertentu sebagai
bekal kekayaan untuk kelanjutan yang diberikan oleh pewaris kepada anak-anaknya pada saat
8
Ibid, hal 45
anaknya akan kawin dan mendirikan rumah baru, di Batak tersebut Manjae. Pemberian itu
dapat berupa rumah, tanah, sawah,perhiasan. Di Batak biasanya untuk anak laki-laki diberi
bekal rumah atau tanah dan untuk anak perempuannya bekal perhiasan.
2) Cara penunjukan
Pada saat pewaris masih hidup, ia menunjuk kepada ahli waris atas hak dan kewajiban
atas harta tertentu, dimana perpindahan penguasaan dan pemilikan baru berlaku dengan
sepenuhnya kepada ahli warisnya pada saat si pewaris sudah meninggal dunia.
3) Cara meninggalkan pesan atau wasiat
Biasanya pesan atau wasiat ini diucapkan atau dituliskan pada saat pewaris masih
hidup, akan tetapi dalam keadaan sakit parah atau mau pergi jauh dan ada kemungkinan tidak
kembali lagi ke kampong halamannya. Hal ini biasanya harus diucapkan atau ditulis dengan
terang dan disaksikan oleh para ahli waris, anggota keluarga, tetangga, dan tua-tua desa.

b. Sesudah Pewaris meninggal dunia.


Sesudah si pewaris meninggal dunia, terkadang timbul permasalahan apakah harta
warisan diteruskan kepada ahli warisnya dalam keadaan terbagi-bagi atau tidak terbagi-bagi.
Apabila harta waris diteruskan dalam keadaan tidak terbagi-bagi maka perlu ditentukan harta
waris tersebut berada dalam penguasaan.

3. Penguasaan Harta Waris


a) Penguasaan janda
Pada umumnya di Indonesia apabila ahli waris meninggal dunia meninggalkan istri
dan anak-anak, maka harta warisan terutama harta bersama suami dan istri yang didapat
sebagai hasil pencarian bersama selama perkawinan mereka dapat dikuasai oleh janda
almarhum untuk kepentingan kelanjutan hidup dan anak- anak ditinggalkan.
b) Penguasaan Anak
Apabila janda dari almarhum pewaris sudah tua dan anak-anak sudah dewasa dan
berumah tangga, maka harta warisan yang diteruskan dalam keadaan tidak terbagi- bagi
tersebut dikuasai dan diatur oleh salah satu anak-anaknya yang dianggap cukup cakap dalam
mengurus dan mengatur harta warisan tersebut.
c) Penguasaan Anggota Keluarga
Apabila pewaris meninggalkan anak-anak yang masih kecil dan belum dewasa, serta
tidak ada jandanya yang dapat bertanggung jawab mengurus harta warisannya, maka
penguasaan atas harta warisan yang diteruskan dalam keadaan tidak terbagi- bagi tersebut
diberikan kepada orangtua pewaris, bila sudah tidak ada lagi, maka akan dikuasai oleh
saudara-saudara pewaris yang seketurunan atau dari kerabat yang paling dekat.
d) Penguasaan Tua-tua Adat
Apabila harta warisan tersebut merupakan harta pusaka tinggi, misalnya keris,
tombak,rencong, pedang, dan jimat. Dalam hal ini penguasaannya ada pada tetua adat (kepala
adat).

4. Pembagian Harta Waris


Apabila harta warisan diteruskan dalam keadaan tidak terbagi-bagi, maka perlu
ditentukan kapan waktu pembagiannya dan bagaimana cara pembagian itu akan dilaksanakan
sebagai berikut :
a) Waktu pembagian.
Pada umumnya hukum adat tidak menentukan kapan waktunya harta warisan tersebut
akan dibagi, namun menurut hukum adat waktu pembagian warisan biasanya dilakukan
setelah upacara selamatan terhadap pewaris yang meninggal dunia.
b) Juru bagi.
Biasanya anggota keluarga/kerabat, yaitu :
 Orangtua yang masih hidup;
 Janda atau duda pewaris;
 Anak laki-laki atau anak perempuan tertua;
 Anak keluarga tertua yang dipandang jujur, adil dan bijaksana;danAnggota kerabat tetangga,
pemuka masyarakat atau pemuka agama diminta, ditunjuk atau dipilih oleh para ahli waris.
c) Cara pembagian harta waris.
Dalam hukum adat biasanya di dasarkan atas pertimbangan tertentu mengingat wujud
benda dan kebutuhan dari para ahli

KESIMPULAN
1. Dalam Hukum Adat dikenal 2 macam Anak yaitu anak sah dan anak tidak sah dimana Sah
nya seorang anak merupakan hasil dari Perkwinan orang tuanya yang dianggap sah menurut
agama, Anak sah dapat menjadi Ahli Waris dari Orang Tuanya baik Laki-Laki atau
Perempuan, Sedangkan anak tidak sah merupakan anak yang lahir yang dari penyimpangan
ketentuan Agama, Di dalam pasal 43 Ayat 1 anak tidak Sah tidak memiliki hubungan
Keperdataan terhadap orang tua nya termasuk jenis Anak tidak sah yaitu anak angkat, Tetapi
berbanding terbalik Pada Kasus nya yang terjadi di Hukum Adat jika terjadi pengangkatan
terhadap anak maka Hal tersebut menyimpangi juga Hukum Keperdataan dan dianggap
sebagai anak kandung dan juga sebagai ahli waris, Hukum Islam pun memberikan
pengecualian terhadap harta warisan terlebih kepada Anak Angkat seperti yang terkandung
di dalam penetapan Mahkamah Agung Nomor : 0014/Pdt.P/2011/ PA.Jb, penetapan tersebut
menyatakan bahwa anak angkat berhak mendapat warisan melalui wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta yang ditinggalkan.
2. Di Indonesia terdapat 3 Macam yang menjadi pembagian dalam Hukum Waris Adat, dimana
hal tersebut mengatur yang Namanya Sistem Pewarisan Individual, Sistem Pewarisan
Kolektif, dan Sistem Pewarisan Mayorat, secara keseluruhan sistem pewarisan ini bertujuan
untuk memberikan keadilan bagi seluruh keturunan yang secara sah/tidak sah dengan proses-
proses tertentu seperti terdapat cara-cara penerusan berupa pengalihan kedudukan/jabatan
dan juga bisa berupa harta kekayaan seperti adat batak dimana pewaris akan memberikan
hartanya berupa sebidang sawah/didirikan rumah terhadap anaknya yang baru saja menikah,
cara penunjukan dimana perpindahan penguasaan dan pemilikan baru berlaku dengan
sepenuhnya kepada ahli warisnya pada saat si pewaris sudah meninggal dunia, cara
meninggalkan wasiat harus diucapkan atau ditulis dengan terang dan disaksikan oleh para
ahli waris, anggota keluarga, tetangga, dan tua-tua desa, hukum adat juga mengatur cara
pembagian harta waris dimana menurut waktu pembagian dilakukan setelah upacara
selamatan terhadap pewaris yang meninggal dunia, juru bagi pun terbagi kepada anggota
keluarga/kerabat dekat, cara pembagian Dalam hukum adat biasanya di dasarkan atas
pertimbangan tertentu mengingat wujud benda dan kebutuhan dari para ahli waris.

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ali Afandi. 1997. Hukum Waris Hukum Pembuktian. Jakarta: Rineka Cipta.
Anisitus Amanat. 2000. Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum
Perdata
BW. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ellyne Dwi Poespasari. 2018. Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat Di Indonesia.
Jakarta:
Prenadamedia Group.

Mohammad Alvian Adi Nugroho. 2019. Kewarisan Anak Angkat Dalam Prespektif Hukum
Islam Ditinjau Dari Wasiat Wajibah. Jurnal Hukum Universitas Negeri Surabaya.

Riza Amina Harkaz Ritonga dkk. 2021. Kedudukan Anak Angkat Dalam Sistem Pewarisan
Hukum Adat Dan Hukum Islam (Perbandingan Antara Hukum Adat Dan Hukum Islam)
Fakultas Hukum Universitas Jambi.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak


pasal
12 ayat

Anda mungkin juga menyukai