Anda di halaman 1dari 24

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori
1. Model Problem Based Learning (PBL)
a. Pengertian Model Problem Based Learning (PBL)
Model Problem based learning (PBL) merupakan pembelajaran
yang menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran konstruktivis dan
mengharapkan siswa dapat memperoleh pengetahuan, kepercayaan diri,
dan keterampilan yang lebih baik secara mandiri. Model ini juga
menggunakan masalah yang benar-benar terjadi di dunia nyata (Wena,
2013). Menurut Syamsidah et al., (2018) pembelajaran berbasis
masalah adalah sebuah pendekatan atau metode bagi peserta didik
untuk memberikan pengetahuan baru dan solusi dalam memecahkan
masalah yang dihadapinya.
Pembelajaran berbasis masalah diyakini dapat meningkatkan
kemampuan menyelesaikan masalah dan berpikir. Oleh karena itu,
model ini banyak digunakan dalam pembelajaran (Eggen et al., 2012).
Selain itu, model ini menciptakan lingkungan pembelajaran yang
menyenangkan, yang mencakup mengajukan pertanyaan, berfokus
pada koneksi interdisipliner, penyelidikan asli, kolaborasi, dan produksi
karya (Hosnan, 2014).
Berdasarkan berbagai uraian pendapat di atas, dapat disimpulkan
bahwa model pembelajaran berbasis masalah adalah model yang
inovatif untuk mempelajari konsep berbasis masalah dan model
pembelajaran yang menghadapkan siswa pada masalah dunia nyata
untuk memulai pembelajaran. Dalam model ini, siswa dihadapkan pada
masalah yang berbeda dan diberi kesempatan untuk memecahkan
masalah mereka sendiri dengan menggunakan metode ilmiah. Hal ini
memungkinkan siswa untuk memperluas pengetahuan dan
keterampilan pemecahan masalah mereka.

11
12

b. Karakteristik Model Problem Based Learning (PBL)


Model pembelajaran Problem based learning (PBL) merupakan
pembelajaran yang menggunakan baragam macam kecerdasan dalam
memecahkan permasalahan dunia nyata dan kompleksitas yang ada
(Nurdiansyah, et al., 2016). Dengan demikian, untuk membedakan
model Problem based learning (PBL) harus melihat karakteristik
tertentu, seperti karakteristik sebagai berikut:
Pertama, model pembelajaran berdasarkan masalah terdiri dari
serangkaian kegiatan yang dimulai dengan proses merencanakan,
melaksanakan, dan mengevaluasi. Selama proses ini, siswa tidak hanya
mendengarkan dan melihat, tetapi juga menjadi pusat kegiatan atau
masalah yang berpusat pada siswa. Masalah-masalah ini harus berbasis
pada kehidupan nyata peserta didik (Sanjaya, 2016).
Kedua, model pembelajaran berbasis masalah menggunakan
masalah sebagai kata kunci dalam proses pembelajaran. Oleh karena
itu, pembelajaran dimulai ketika masalah telah ditemukan. Guru
disarankan untuk memberikan peluang kepada siswa untuk menemukan
masalah sendiri yang berkaitan dengan lingkungan sekitar mereka dan
tetap konsisten dengan ide dan kurikulum pembelajaran (Syamsidah et
al., 2018)
Ketiga, model pembelajaran berbasis masalah memiliki kerangka
ilmiah yang luas untuk berpikir induktif (Jujun, 2010). Ini juga
dilakukan secara sistematis dan empiris (Syamsidah et al., 2018). Selain
itu, model pembelajaran berbasis masalah memiliki beberapa fitur
tambahan yang membedakan mereka dari model lain, yaitu:
1) Learning is student centered atau peserta didik sebagai pusat
pembelajaran, yaitu peserta didik dijadikan mitra belajar untuk
mendorong peserta didik untuk belajar secara mandiri (Syamsidah
et al., 2018).
13

2) Authentic problem form the organizing focus for learning, yaitu


pembelajaran dimulai dengan masalah nyata agar siswa lebih mudah
memahami dan menerapkannya dalam kehidupan nyata (Jujun,
2010).
3) New information is acquired through self-directing learning, yaitu
melatihkan peserta didik untuk berusaha mencari sendiri sumber
informasi secara tepat dan sesuai baik dari buku atau media, karena
seringkali siswa belum memiliki pengetahuan awal.
4) Learning occurs in small groups, yaitu proses pembelajaran yang
dilakukan dalam kelompok kecil untuk memungkinkan interaksi
ilmiah dan pertukaran ide dalam rangka kerja sama untuk
membangun pengetahuan (Syamsidah et al,. 2018).
5) Teachers act as facilitators, yaitu guru ditugaskan untuk
memfasilitasi pembelajaran. Namun, saat melakukannya, mereka
hanya akan melacak dan mendorong pertumbuhan siswa untuk
mendukung tujuan yang telah ditetapkan (Syamsidah et al, 2018)
c. Tujuan Model Problem Based Learning (PBL)
Model Problem based learning memiliki tujuan untuk
meningkatkan keterampilan berpikir peserta didik dalam proses
pemecahan masalah dan keterampilan mengkonstruksi pengetahuan,
bukan hanya untuk menyampaikan pengetahuan. Selain itu, model ini
bertujuan untuk meningkatkan keterampilan sosial dan kemandirian
peserta didik saat mereka bekerja sama, menemukan strategi, sumber,
dan metode untuk memecahkan masalah (Nurdiansyah et al., 2016).
d. Faktor yang Perlu Diperhatikan dalam Menerapkan Model
Problem Based Learning (PBL)
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan saat menerapkan
model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) agar
pembelajaran mencapai tujuan yang diinginkan menurut Rusman,
(2014) yaitu:
14

1) Memperhatikan kesiapan siswa, meliputi dasar pengetahuan,


kedewasaan berpikir dan kekuatan motivasinya.
2) Mempersiapkan siswa dalam hal cara berpikir dan kemampuan
dalam rangka melakukan pekerjaan secara kelompok, membaca,
mengatur waktu, dan menggali informasi.
3) Merencanakan proses dalam bentuk langkah-langkah model
problem based learning.
4) Menyediakan sumber bimbingan yang tepat, menjamin bahwa ada
akhir yang merupakan hasil akhir.
Dari penjelasan faktor-faktor yang harus diperhatikan di atas,
dapat disimpulkan bahwa untuk menerapkan model pembelajaran
berbasis masalah, siswa harus siap untuk belajar. Selain itu, guru harus
mendorong siswa untuk menjadi kreatif saat belajar.
e. Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran Problem Based
Learning (PBL)
1) Kelebihan Model Pembelajaran Problem based learning (PBL)
Menurut Imas Kurniasih, (2015) model Problem based learning
(PBL) memiliki banyak keunggulan, sebagai berikut:
a) Meningkatkan keterampilan kreatif dan pemikiran kritis siswa;
b) Berpotensi meningkatkan kemampuan siswa untuk
menyelesaikan masalah secara mandiri.
c) Meningkatkan keinginan siswa untuk belajar.
d) Membantu siswa mentransfer pengetahuan ke situasi baru.
e) Dapat mendorong siswa untuk belajar secara mandiri.
f) Dapat mendorong kreativitas siswa dalam mengungkapkan
masalah yang mereka pelajari.
g) Model pembelajaran ini akan menghasilkan pembelajaran
yang bermakna.
h) Model ini mendorong siswa untuk menggabungkan
kemampuan dan keterampilan mereka dan menggunakannya
dalam konteks yang sesuai.
15

i) Model pembelajaran ini dapat meningkatkan kemampuan


berpikir kritis siswa, meningkatkan inisiatif mereka untuk
bekerja, dan menumbuhkan hubungan interpersonal dalam
kerja kelompok.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran berbasis masalah (PBL) memiliki kelebihan karena
membuat pembelajaran lebih terpusat pada siswa. Guru tidak
mendominasi kegiatan pembelajaran sepenuhnya, tetapi lebih
banyak membantu dan membimbing siswa sehingga mereka dapat
berpartisipasi secara aktif dalam proses pembelajaran. Selain itu,
model pembelajaran ini lebih menekankan hasil belajar siswa,
sehingga meningkatkan kreativitas dan hasil belajar mereka.
2) Kelemahan Model Problem Based Learning (PBL)
Meskipun model pembelajaran ini terlihat begitu baik dan
sempurna dalam meningkatkan kemampuan serta kreativitas siswa,
tetapi tetap saja memiliki kelemahan seperti yang dikemukakan oleh
Imas Kurniasih, (2015) diantaranya:
a) Model ini butuh pembiasaan, karena model ini cukup rumit
dalam teknisnya, serta siswa harus dituntut untuk konsentrasi
dan daya kreasi yang tinggi.
b) Proses pembelajaran harus dipersiapkan dalam waktu yang
cukup panjang. Karena sedapat mungkin setiap persoalan yang
akan dipecahkan harus tuntas, agar maknanya tidak terpotong.
c) Siswa tidak dapat benar-benar tahu apa yang mungkin penting
bagi mereka untuk belajar, terutama bagi mereka yang tidak
memiliki pengalaman sebelumnya.
d) Sering juga ditemukan kesulitan terletak pada guru, karena guru
kesulitan dalam menjadi fasilitator dan mendorong siswa untuk
mengajukan pertanyaan yang tepat dari pada menyerahkan
sebuah solusi.
16

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa


kelemahan dari model Problem based learning (PBL) ini adalah
memerlukan waktu yang sangat lama dalam
mengimplementasikannya pada proses belajar mengajar, sehingga
guru sulit menyesuaikan dengan waktu yang telah ditentukan dan
dalam merencanakan pembelajarannya cukup sulit karena guru
masih mendominasi atau guru yang lebih aktif, dan guru juga belum
terbiasa menjadi fasilitator dalam pembelajaran.
f. Sintak Model Problem Based Learning (PBL)
Menurut Muiz Lidinillah, (2013) sintaks dari model Problem
based learning yaitu sebagai berikut:
1) Berorientasi masalah, yaitu pendidik membantu peserta didik
untuk menjabarkan tujuan, logistik dan memotivasi agar
berpartisipasi aktif dalam memecahkan masalah.
2) Mengorganisasikan peserta didik terhadap pembelajaran, yaitu
pendidik mendorong peserta didik untuk mengorganisasikan
berbagai tugas yang berkaitan dengan masalah.
3) Menginstruksikan pemeriksaan dalam bentuk individual ataupun
berkelompok, yaitu proses mendukung peserta didik untuk
mengumpulkan informasi relevan dalam melakukan percobaan
agar mendapatkan solusi untuk pemecahan masalah.
4) Mengembangkan dan mempresentasikan hasil karya, yaitu
pendidik mendorong peserta didik untuk mengembangkan dan
mempresentasikan hasil karya berupa video, poster dan modul
serta berkolaborasi pekerjaan dengan teman.
5) Menganalisis dan mengevaluasi, yaitu pendidik merefleksi
langkah-langkah dan investigasi yang digunakan peserta didik
dalam proses pelaksanaan proses pembelajaran.
Adapun tahapan atau sintaks dari model Problem based learning
(PBL) disajikan pada tabel 2.1 berikut ini:
17

Tabel 2.1 Sintaks Model Problem Based Learning (PBL)


No Fase pembelajaran Aktivitas
Problem Based
Learning (PBL)

1 Orientasi Masalah Peserta didik diarahkan untuk


menjabarkan tujuan dan diberikan
memotivasi untuk aktif dalam
proses memecahkan masalah

2 Mengorganisasikan Guru mendorong peserta didik


belajar kepada peserta untuk mengorganisasikan berbagai
didik pekerjaan yang berkaitan dengan
permasalahan.

3 Membimbing Peserta didik diminta untuk


penyelidikan baik mengumpulkan informasi relevan
secara individual dalam melakukan eksperimen agar
maupun berkelompok memperoleh solusi pemecahan
masalahnya.

4 Mengembangkan dan Peserta didik diberikan motivasi


menyajikan hasil karya untuk mengembangkan dan
mempresentasikan hasil karya.

5 Menganalisis dan Pendidik melakukan refleksi


mengevaluasi terhadap peserta didik dalam
langkah dan penyelidikan yang
mereka gunakan saat pembelajaran.
(Nurdiansyah et al., 2016)
2. Education for Sustainable Development (ESD)
ESD (Education for Sustainable Development), salah satu agenda
baru sampai tahun 2030 dari Suistainable Development Goals (SDGs)
dalam bidang pendidikan, dimaksudkan untuk mempersiapkan pendidikan
yang mendukung pembangunan global dari sumber daya manusia. SDGs
adalah program pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan oleh
UNESCO dari tahun 2015 hingga 2030. SDGs memiliki 17 tujuan untuk
memastikan masa depan yang damai, sejahtera, berkelanjutan, dan adil
(Eilks, 2015).
18

Gambar 2.1 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan


Sumber: Sustainable Depelopment Goals-EcoEdu.id
a. No poverty artinya tanpa kemiskinan.
b. Zero hunger artinya tanpa kelaparan.
c. Good health and well being artinya menciptakan kehidupan yang sehat
dan sejahtera.
d. Quality education menghadirkan pendidikan yang berkualitas.
e. Gender equality yaitu adanya kesetaraan gender.
f. Clean water and sanitation yaitu menyediakan air bersih dan sanitasi.
g. Affordable and clean energy yaitu penggunaan energi bersih dan
terjangkau.
h. Decent work and economic growth adanya pekerjaan yang layak serta
peningkatan ekonomi.
i. Industry innovation and infrastructure menghadirkan inovasi di bidang
industri dan infrastruktur.
j. Reduce inequalities mengurangi/berkurangnya kesenjangan.
k. Sustainable cities and communities menciptakan kota serta komunitas
yang berkelanjutan.
l. Responsible consumption and production yaitu menjadikan konsumsi
dan produksi yang bertanggung jawab.
m. Climate action melakukan penanganan perubahan iklim.
19

n. Life below water memperhatikan ekosistem kelautan.


o. Life on land memperhatikan ekosistem daratan.
p. Peace, justice and strong institution memunculkan perdamaian,
keadilan serta kelembagaan yang tangguh.
q. Partnerships for the goals memunculkan kemitraan untuk pencapaian
tujuan.
Menurut Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), pencapaian
tujuan pendidikan merupakan komponen sosial penting dalam
pembangunan nasional. Isu-isu krisis lingkungan dan masalah kemanusiaan
yang dihadapi saat ini, serta tantangan yang akan datang, adalah sumber
gagasan Education for Sustainable Development (ESD). UNESCO
memimpin langsung program ini, yang dicanangkan oleh PBB. Pendidikan
untuk Pembangunan Berkelanjutan bertujuan untuk memberikan
pendidikan yang relevan yang menempatkan tanggung jawab terhadap masa
yang akan datang sebagai prioritas utama (UNESCO, 2020).
ESD merupakan konsep pendidikan untuk pengembangan
berkelanjutan. ESD terdiri dari 3 kata yang masing-masing memiliki makna,
yaitu education, sustainable, dan development. Education, artinya adalah
pendidikan, baik pendidikan secara moril maupun immateriil, mencakup
pendidikan dasar hingga lanjutan, dan suatu cara untuk memberitahu
(mendidik) orang lain akan suatu hal menurut suatu metode. Sustainable,
artinya terus-menerus atau berkelanjutan, memiliki makna suatu hal atau
kegiatan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk suatu kurun waktu
guna mencapai hasil maksimal. Development, artinya perkembangan,
kembang, atau mengembangkan, memiliki makna untuk memperluas fungsi
yang sudah ada dengan tidak membuang unsur-unsur pokok (UNESCO,
2020). Dari 3 pengertian tersebut, disimpulkan bahwa ESD merupakan
pendidikan untuk perkembangan unsur-unsur yang terjadi secara kontinu
atau berkelanjutan.
Education for Sustainable Development (ESD) adalah pendidikan
yang holistik dan transformasional yang membahas pedagogi, lingkungan
20

belajar, konten, dan hasil pembelajaran. Education for Sustainable


Development (ESD) tidak hanya memasukkan konten seperti konsumsi
berkelanjutan, kemiskinan, dan perubahan iklim ke dalam kurikulum, tetapi
juga membuat lingkungan pembelajaran yang interaktif dan berpusat pada
peserta didik. Education for Sustainable Development (ESD) dapat
mengajarkan siswa bagaimana menangani ketidakpastian, memahami
konsekuensi, memecahkan masalah, dan lebih banyak lagi (Laurie et al,
2016).
Konteks Education for Sustainable Development (ESD) yang
dicetuskan oleh UNESCO yaitu belajar sepanjang hayat yang dapat
dihubungkan dengan sebuah model pembelajaran berbasis masalah.
Konteks ESD dalam sebuah pembelajaran bertujuan untuk
menginformasikan dan melibatkan peserta didik agar aktif, kreatif juga
memiliki keterampilan menyelesaikan masalah, saintifik, dan sosial
literasi, lalu berkomitmen untuk terikat pada tanggung jawab pribadi
dan kelompok yang mana tindakan ini akan menjamin kesejahteraan
lingkungan secara ekonomi di masa saat ini dan masa depan.
Education for Sustainable Development (ESD) memandang masalah
dengan berdasarkan pada tiga pilar yaitu: lingkungan, sosial dan ekonomi.
Pilar tersebut tentunya memiliki keterkaitan dengan isu global, dan juga
berkaitan dengan keberlanjutan hidup manusia. Sehingga dengan adanya
konteks Education for Sustainable Development (ESD) ini diharapkan
peserta didik akan memiliki kompetensi berpikir sistem yang berkelanjutan
terutama dalam menghadapi permasalahan global, dan juga memikirkan
secara sistematik bagaimana cara untuk mengatasi suatu permasalahan
dengan memerhatikan dampak yang akan ditimbulkan.
WCED (World Commission on Environmental and Development)
yaitu komisi dunia dan pembangunan lingkungan dengan PBB (Perserikatan
bangsa-bangsa) menciptakan istilah ESD. Global Action Program (GAP
pada tahun 2005-2019) memiliki tujuan untuk berkontribusi pada
21

pembangunan berkelanjutan hingga tahun 2030 dengan 2 tujuan utama


(Glavi, 2020):
1) Terdapat reorientasi pendidikan dengan pembelajaran menyatakan
bahwa setiap orang memiliki kesempatan untuk mendapatkan
pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap pengembangan dirinya
untuk berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan.
2) Memperkuat bidang pendidikan dan pembelajaran pada semua bidang,
program serta kegiatan untuk mendorong pembangunan berkelanjutan.
Berdasarkan (UNESCO, 2020) terdapat 8 kemampuan kunci untuk
menunjang pembangunan berkelanjutan meliputi:
a) System thinking competency yaitu kompetensi berpikir sistem.
b) Anticipatory competency yaitu kompetensi antisipasif.
c) Normative competency yaitu kompetensi normatif.
d) Strategic competency yaitu kompetensi strategi.
e) Collaboration competency yaitu kompetensi kolaborasi.
f) Critical thinking competency yaitu kompetensi berpikir kritis.
g) Self awareness competency yaitu kompetensi kesadaran diri.
h) Integrated problem-solving competency yaitu kompetensi dalam
memecahkan masalah berintegrasi.
Pada penelitian ini dengan menggunakan model Problem Based
Learning dengan konteks Education for Sustainable Development (ESD)
terhadap kompetensi berpikir sistem, dengan tujuan capaian poin 15 “Life
on Land” yaitu melindungi, merestorasi dan meningkatkan pemanfaatan
berkelanjutan eksosistem daratan, mengelola hutan secara lestari,
menghentikan penggurunan, memulihkan degradasi lahan, serta
menghentikan kehilangan keanekargaman hayati (Bappenas, 2020).
Poin 15 “Life on Land” melakukan penanganan ekosistem daratan,
yang bertanggung jawab menghentikan dan mengakhiri kerusakan alam,
serta promosi berkelanjutan yang dikaitkan dengan tiga tujuan khusus
berdasarkan (UNESCO, 2020) sebagai berikut:
22

Tabel 2.2 Tujuan Pembelajaran Untuk SDGs 13 “Life on land”


Tujuan Kegiatan

Pembelajaran 1. Peserta didik memahami ekologi dasar dengan


kognitif mengacu pada ekosistem lokal dan global,
mengidentifikasi spesies lokal dan memahami
ukuran keanekaragaman hayati.
2. Peserta didik memahami berbagai ancaman yang
ditimbulkan terhadap keanekaragaman hayati,
termasuk hilangnya habitat, penggundulan
hutan, fragmentasi, eksploitasi berlebihan dan
spesies invasif, dan dapat menghubungkan
ancaman tersebut dengan keanekaragaman
hayati lokal mereka.
3. Peserta didik mampu mengklasifikasikan jasa
ekosistem setempat yang meliputi jasa
penunjang, penyediaan, pengatur dan budaya
serta jasa ekosistem untuk pengurangan risiko
bencana.
4. Pelajar memahami lambatnya regenerasi tanah
dan berbagai ancaman yang merusak dan
menghilangkannya jauh lebih cepat daripada
yang dapat pulih sendiri, seperti praktik
pertanian atau kehutanan yang buruk.
5. Pelajar memahami bahwa strategi konservasi
yang realistis bekerja di luar cagar alam murni
untuk juga memperbaiki undang-undang,
memulihkan habitat dan tanah yang terdegradasi,
menghubungkan koridor satwa liar, pertanian
dan kehutanan berkelanjutan, dan memperbaiki
hubungan manusia dengan satwa liar.

Sosial-emosional 1. Peserta didik mampu berargumen menentang


Tujuan praktik lingkungan yang merusak yang
Pembelajaran menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati.
2. Peserta didik mampu berargumen untuk
konservasi keanekaragaman hayati dalam
berbagai alasan termasuk jasa ekosistem dan
nilai intrinsik.
3. Pembelajar dapat terhubung dengan wilayah
alam lokal mereka dan merasakan empati
dengan kehidupan bukan manusia di Bumi.
4. Peserta didik mampu mempertanyakan dualisme
manusia/alam dan menyadari bahwa kita adalah
bagian dari alam dan tidak terpisah dari alam.
5. Peserta didik mampu menciptakan visi hidup
23

yang selaras dengan alam.

Pembelajaran 1. Peserta didik dapat terhubung dengan kelompok


perilaku tujuan lokal yang bekerja untuk konservasi
keanekaragaman hayati di wilayah mereka.
2. Pelajar dapat secara efektif menggunakan suara
mereka secara efektif dalam proses pengambilan
keputusan untuk membantu daerah perkotaan
dan pedesaan menjadi lebih dapat ditembus oleh
satwa liar melalui pembentukan koridor satwa
liar, skema agro-lingkungan, ekologi restorasi,
dan lainnya.
3. Peserta didik mampu bekerja sama dengan
pembuat kebijakan untuk memperbaiki undang-
undang keanekaragaman hayati dan konservasi
alam, serta implementasinya.
4. Siswa mampu menyoroti pentingnya tanah
sebagai bahan tanam untuk semua makanan dan
pentingnya meremediasi atau menghentikan
erosi tanah.
5. Peserta didik mampu mengkampanyekan
kesadaran internasional tentang eksploitasi
spesies dan bekerja untuk implementasi dan
pengembangan peraturan CITES (Convention on
International Trade in Endangered Species of
Wild Fauna and Flora).
(UNESCO, 2020)
3. Kompetensi Berpikir Sistem
Dari delapan kompetensi yang harus dimiliki peserta didik untuk
memasuki program Education for Suistainable Development, salah satunya
adalah kompetensi berpikir sistem, yang merupakan kompetensi penting
dalam ESD, karena bertujuan untuk memperluas tujuan berpikir tentang
sistem dalam pendidikan, sehingga bukan aspek kognitif saja tetapi
kecapakan siswa dalam mengatasi permasalahan dan keterampilan hidup
(life skills) serta sikap yang dapat terhubung dengan sistem (Weinert, 2013).
Selain itu, kompetensi berpikir sistem dapat membantu memperbaiki
prosedur operasi standar dalam penanggulangan bencana dan kejadian
serupa di masa depan.
24

Kompetensi berpikir sistem sangat tepat untuk dikembangkan di


sekolah menengah pertama termasuk sekolah Madrasah Aliyah Negeri
sebagai sebuah kompetensi yang dapat membantu peserta didik untuk
memahami sistem kehidupan dan menangani permasalahan keberlanjutan.
Berkaitan dengan hal tersebut maka dari itu menurut penelitian Segera,
(2015) mengemukakan bahwa pendidikan untuk Pembangunan
Berkelanjutan (ESD) saat ini mempelajari banyak hal, bukan hanya tentang
sumber daya alam atau lingkungan hidup. Itu juga mempelajari banyak hal
tentang kebudayaan, hubungan sosial, tanggung jawab sebagai warga
negara, dan menjadi warga dunia.
Kompetensi adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup
aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan
standardisasi yang diharapkan (Badan Nasional Sertifikasi Profesi , 2014).
Definisi lainnya menyatakan bahwa kompetensi merupakan suatu hal yang
berkaitan dengan kemampuan dan keterampilan individu untuk mencapai
hasil yang diharapkan (International Organization for Standardization,
2012). Berdasarkan definisi ini, maka beberapa hal penting yang terkait
dengan kompetensi diantaranya adalah pengetahuan, sikap, pemahaman,
nilai, bakat atau kemampuan, dan minat.
Menurut Ruggiero, (1998) mengartikan berpikir sebagai tindakan
mental yang membantu membuat keputusan, memformulasikan atau
memecahkan masalah, atau memenuhi hasrat untuk memahami. Pendapat
ini menunjukkan bahwa melakukan aktivitas berpikir merupakan tindakan
ketika seseorang merumuskan suatu masalah, memecahkan masalah, atau
ingin memahami sesuatu. Berpikir, sebagai aktivitas mental, sangat
dipengaruhi oleh pengalaman dan kecerdasan seseorang saat berusaha
memecahkan dan memahami masalah. Sedangkan sistem adalah
sekumpulan elemen yang saling terkait dan membentuk fungsi tertentu
(Ackoff, 1994).
Berpikir sistem atau Systems Thinking merupakan suatu pendekatan
untuk dapat memahami berbagai macam sistem dengan menekankan pada
25

hubungan antar elemen yang ada pada suatu sistem. Berbeda dengan cara
analisis tradisional yang mempelajari suatu sistem dengan memisahkan
elemen-elemennya, systems thinking melihat sistem melalui perspektif yang
lebih luas. Hal itu menyebabkan output yang dihasilkan oleh systems
thinking lebih akurat dan realistis. Contoh objek dari systems thinking
adalah ekosistem makhluk hidup pada keanekaragaman hayati dimana
terdapat berbagai unsur seperti udara , air, manusia, tumbuhan hewan dan
lain – lain (Checkland, P. 1999).
Berpikir sistem didefinisikan sebagai pendekatan untuk
menyelesaikan permasalahan yang membutuhkan pemikiran holistik
maupun pemikiran reduksionis secara seimbang. Dengan memahami sistem
secara keseluruhan juga secara mendetail dapat menghindari munculnya
output yang tidak diinginkan. Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat
disimpulkan bahwa kompetensi berpikir sistem, yang berarti kemampuan
untuk menganalisis dan memahami hubungan, mengenali dan memahami
suatu sistem, memprediksi perilaku manusia, dan keterampilan
merencanakan dan memodifikasi sesuatu untuk mendukung pekerjaan
seseorang serta sikap mengambil keputusan dalam wacana berkelanjutan
sebagai solusi dari ketidakpastian suatu fenomena permasalahan yang
dihadapi nya. Dengan kompetensi berpikir sistem, peserta didik dapat
mencapai tujuan program dengan memanfaatkan kemampuan mereka untuk
memahami sistem dan memahami hubungannya (Hidayatno, 2013).
Karakter dari berpikir sistem mampu menyelesaikan permasalahan
yang sulit dengan sangat efektif, dan didalamnya melibatkan permasalahan
kompleks, memiliki banyak feedback baik internal maupun eksternal dan
masalah yang sangat bergantung pada kejadian di masa lalu ataupun
kejadian lain dibanding dengan cara berpikir linier (Checkland, P. 1999).
Menurut PISA (OECD, 2012) salah satu karakter sebuah sistem yaitu living
system (sistem kehidupan), tujuan hirarki dalam living system yaitu sel,
organ, sistem organ, individu, populasi, ekosistem dan biosfer, selain sistem
lingkungan, sistem fisika dan sistem bumi (Rustaman, 2019). Oleh karena
26

itu, penelitian ini memilih topik keanekaragaman hayati yang tesmasuk ke


dalam hirarki dalam living system, karena meliputi jumlah atau frekuensi
dari ekosistem, spesies, hingga gen di suatu tempat, yang dapat dilihat pada
faktor genetik dan faktor luar (lingkungan), dengan mempelajari tingkat
keanekaragaman hayati yang terjadi dalam sebuah sistem hidup meliputi
dua aspek besar, yaitu aspek lingkungan (ruang tempat hidup) dan aspek
organisme hayati.
Dalam systems science juga dijelaskan bahwa satu-satunya cara untuk
dapat memahami dengan baik bagaimana suatu masalah dapat terjadi adalah
dengan memahami hubungannya dalam keseluruhan sistem. Berpikir sistem
mencoba untuk mengilustrasikan bahwa suatu kejadian kecil yang
dipisahkan oleh ruang dan waktu dapat memiliki dapat yang lebih besar
pada sistem yang lebih kompleks (Checkland et al., 1999). Kompetensi
berpikir sistem yang baik akan membantu siswa dalam membuat keputusan
sehingga mereka tidak melakukan kesalahan, dengan berpikir sistem ini
mampu membantu membuat keputusan yang komprehensif dengan melihat
dampak dari keputusan atau persoalan di bidang lain (Dawidowicz, 2012).
Peserta didik diharuskan mempunyai kompetensi berpikir sistem yang
ada di Education for Sustainable Education (ESD) berdasarkan (UNESCO,
2020) meliputi:
a. Peserta didik mampu mengenali dan memahami hubungan
permasalahan.
b. Peserta didik mampu menganalisis sistem yang kompleks.
c. Peserta didik mampu berpikir tentang bagaimana suatu sistem berada
dalam daerah dan ukuran yang berbeda.
d. Peserta didik mampu mengambil keputusan dalam wacana
berkelanjutan sebagai solusi dari ketidakpastian suatu fenomena
permasalahan yang dihadapi nya.
Keempat indikator tersebut diklasifikasikan ke dalam 4 domain
berpikir sistem menurut Checkland et al., (2019) sebagai berikut:
27

Tabel 2.3 Indikator Kompetensi Berpikir Sistem


Domain Indikator Sub Indikator

Pola pikir Mampu mengenali dan memahami Mengidentifikasi


hubungan permasalahan hubungan antar
lingkungan

Konten Mampu menganalisis sistem yang Menganalisis


kompleks keterkaitan antar
aspek (interkoneksi)

Struktur Mampu berpikir tentang Menganalisis


bagaimana suatu sistem berada komponen suatu
dalam daerah dan ukuran yang sistem
berbeda

Tingkah Mampu mengambil keputusan Mengembangkan


laku dalam wacana berkelanjutan empati terhadap
sebagai solusi dari ketidakpastian makhluk hidup selain
suatu fenomena permasalahan manusia
yang dihadapi nya
(UNESCO, 2020)
4. Topik Keanekaragaman Hayati
a. Capaian Pembelajaran dan Tujuan Pembelajaran Topik
Keanekaragaman Hayati
Pada kurikulum merdeka, topik keanekaragaman hayati termasuk
bagian materi yang dipelajari oleh peserta didik sekolah MAN kelas X
pada semester genap. Adapun capaian pembelajaran topik
keanekaragaman hayati sebagai berikut:
Tabel 2.4 Capaian Pembelajaran (CP)
Elemen Capaian Pembelajaran (CP)
Pemahaman Pada akhir fase E, peserta didik memiliki
Biologi kemampuan untuk responsif terhadap isu-isu global
dan berperan aktif dalam memberikan penyelesaian
masalah. Kemampuan tersebut antara lain
mengamati, mempertanyakan dan memprediksi,
merencanakan dan melakukan penelitian,
memproses dan menganalisis data dan informasi,
mengevaluasi dan merefleksi, serta
mengkomunikasikan dalam bentuk projek sederhana
atau simulasi visual menggunakan aplikasi teknologi
yang tersedia terkait dengan energi alternatif,
28

pemanasan global, pencemaran lingkungan dalam


kehidupan sehari-hari, pemanfaatan limbah dan
bahan alam, pandemic akibat infeksi virus. Semua
upaya tersebut diarahkan pada pencapaian tujuan
pembangunan yang berkelanjutan (SDGs) poin 13
yaitu “Life on land” melakukan penanganan
ekosistem daratan. Melalui kompetensi juga
dibangun sikap ilmiah dan profil pelajar pancasila.

Tabel 2.5 Tujuan Pembelajaran Topik Keanekaragaman Hayati


Nomor Tujuan Pembelajaran
10.1.1 Peserta didik dapat mengindentifikasi tingkat
keanekaragaman melalui kegiatan diskusi dengan
tepat.
10.1.2 Peserta didik dapat menganalis ancaman dan upaya
pelestarian keanekaragaman hayati melalui kegiatan
mengamati video dengan tepat.
b. Materi
Tinjauan topik keanekaragaman ini diperoleh berdasarkan hasil
analisis capaian pembelajaran terkait topik keanekaragaman hayati
yaitu tujuan pembelajaran 10.1.1 Peserta didik dapat mengindentifikasi
Tingkat Keanekaragaman melalui kegiatan diskusi dengan tepat dan
tujuan pembelajaran 10.1.2 Peserta didik dapat menganalis Ancaman
dan Upaya Pelestarian Keanekaragaman Hayati melalui kegiatan
mengamati video dengan tepat. Berdasarkan analisis terhadap capaian
pembelajaran tentang keanekaragaman hayati maka telah dirumuskan
materi yang akan disampaikan meliputi keanekaragaman gen,
keanekaragaman jenis dan keanekaragaman ekosistem, serta ancaman
terhadap keanekaragaman hayati dan upaya pelestarian. Topik yang
digunakan pada penelitian ini merujuk pada buku paket sekolah
SMA/MA kelas X, buku Campbell Edisi 3 (2012) dan jurnal pendukung
yang akan dijabarkan sebagai berikut:
1) Tingkat Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman hayati dapat didefinisikan sebagai
keragaman kehidupan di bumi, dijelaskan dalam hal jumlah spesies
yang berbeda. Saat ini dunia dalam krisis keanekaragaman hayati,
29

jumlah kepunahan (kehilangan spesies) diperkirakan akan terjadi


dalam waktu dekat untuk pertama kalinya disebabkan oleh
aktivitas manusia. (Mader et al., 2017).
Keanekaragaman hayati (biological diversity atau
biodiversity) merupakan istilah yang digunakan untuk
menerangkan keragaman ekosistem dan berbagai bentuk
variabilitas hewan, tumbuhan, serta jasad renik di alam. Dengan
demikian keanekaragaman hayati mencakup keragaman ekosistem
(habitat), jenis (spesies), dan genetik (Dahuri, 2003).
Kita dapat mempelajari banyak hal tentang suatu spesies
apabila kita mengetahui sejarah evolusinya. Suatu organisme
mungkin memiliki banyak kesamaan gen, jalur metabolik, dan
protein struktural dengan kerabat-kerabat dekatnya. (Campbell,
2012, hlm. 96). Pendekatan molekular membantu kita memahami
hubungan filogenik yang tidak dapat ditentukan oleh metode-
metode non molekular, misalnya anatomi perbandingan
(Campbell, 2012, hlm.109).
Gen yang berbeda berevolusi dengan laju yang berbeda-
beda, bahkan pada garis keturunan yang sama (Campbell, 2012,
hlm. 109). Para ahli taksonomi zaman dahulu mengelompokkan
semua spesies yang mereka ketahui menjadi dua kingdom
tumbuhan dan hewan. Bahkan dengan penemuan dunia mikroba
yang beranekaragam, sistem dua-kingdom masih bertahan: karena
menyadari bahwa bakteri memiliki dinding sel yang kaku, para ahli
taksonomi menempatkan bakteri dalam kingdom tumbuhan
(Campbell, 2012, hlm 112-113). Berikut adalah lingkup
keanekaragaman hayati:
a). Keanekaragaman Tingkat Gen
Keanekaragaman tingkat gen adalah keanekaragaman
yang dapat ditemukan di antara individu satu dengan individu
lainnya dalam satu spesies, yang disebabkan oleh variasi
30

susunan gen. Variasi gen menyebabkan fenotipe dan genotipe


makhluk hidup berbeda (Irnaningtyas, 2014).
Contoh :
(1). Manusia memiliki perbedaan morfologi tubuh seperti mata,
rambut, warna kulit, dan sebagainya.
(2). Bunga mawar ada yang warnanya merah dan ada yang
putih.

Gambar 2.2 Variasi Warna Pada Bunga Zinnia


Sumber: (E-book Biologi Kelas X)
b). Keanekaragaman Tingkat Jenis
Merupakan keanekaragaman antar individu yang berbeda
spesiesnya (jenisnya).
Contoh :
(1). Keanekaragaman pada famili Gramineae, diantaranya padi,
jagung, tebu, dan alang-alang.

Gambar 2.3 Variasi Famili Gramineae


Sumber:https://images.app.goo.gl/tvTsuaFkauB6v6fCA
31

c). Keanekaragaman Tingkat Ekosistem


Keanekaragaman tingkat ekosistem merupakan
keanekaragaman yang ditemukan diantara ekosistem.
Keanekaragaman ekosistem terbentuk karena adanya kesamaan
dan perbedaan komponen biotik dan komponen abiotik
penyusun suatu ekosistem (Irnaningtyas, 2014).
Contoh : Keanekaragaman ekosistem padang rumput, ekosistem
sistem gurun pasir, ekosistem sungai, dan sebagainya.

Gambar 2.4 Keanekaragaman Tingkat Ekosistem


Sumber: (E-book Biologi Kelas X)
2) Ancaman Terhadap Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman hayati yang luas menyebabkan banyak
jenis hayati di Indonesia memiliki populasi yang kecil atau daerah
penyebarannya sangat terbatas (endemis), sehingga rentan
terhadap punah. Selain itu, ada jenis pemangsa puncak, jenis
megaherbivora, jenis yang berbiak dalam kelompok, dan jenis yang
migrasi. Beberapa kelompok hayati rentan terhadap kepunahan
karena aktivitas manusia. Proses tersebut mencakup pemanfaatan
yang sangat besar sampai melampaui kapasitas reproduksinya.
Penebangan kayu, yang memecah hutan, adalah aktivitas
tambahan. Kehilangan habitat menghalangi spesies flora yang
hanya dapat hidup di rimba (Irnaningtyas, 2014).
32

3) Upaya Pelestarian Keanekaragaman Hayati


a). Pelestarian Insitu
Merupakan keanekaragaman hayati di dalam habitat
aslinya. Misalnya pelestarian komodo di NTT.
b). Pelestarian Exsitu
Merupakan keanekaragaman hayati di luar habitat
aslinya. Misalnya, pelestarian kebun binatang dan kebun raya.
B. Kerangka Berpikir
Berdasarkan landasan teori dan permasalahan yang telah dikemukakan
maka dapat disusun kerangka berpikir yang menghasilkan suatu hipotesis.
Peneliti akan mengadakan penelitian tentang seberapa besar pengaruh model
Problem based learning dengan konteks ESD sebagai variabel bebas (X) dan
terhadap kompetensi berpikir sistem sebagai variabel terikat (Y).
Berdasarkan beberapa teori pembelajaran dapat disimpulkan bahwa,
pembelajaran merupakan usaha yang dilakukan guru untuk mengelola kegiatan
belajar mengajar guna mencapai tujuan pembelajaran. Rendahnya kompetensi
berpikir sistem peserta didik perlu ditingkatkan, salah satunya dengan model
pembelajaran. Diketahui bahwa kelas X MAN 2 Kota Sukabumi belum
menerapkan model Problem based learning dengan konteks ESD pada proses
belajar mengajar, khususnya dalam pembelajaran biologi.
Berdasarkan alasan tersebut, maka sangatlah penting bagi para pendidik
untuk memahami karakteristik materi, peserta didik, dan metodologi
pembelajaran dalam proses pembelajaran terutama berkaitan dengan pemilihan
model pembelajaran. Oleh karena itu, peneliti mencoba menggunakan model
Problem based learning dengan konteks ESD untuk mengetahui seberapa besar
pengaruhnya terhadap kompetensi berpikir sistem peserta didik. Sebelum
pembelajaran, penulis melakukan pretest awal pada kedua kelas untuk
mengetahui kompetensi berpikir sistem peserta didik menggunakan model
yang berbeda. Setelah pembelajaran selesai kedua kelas diberikan posttest
untuk membandingkat hasil kompetensi berpikir sistem peserta didik. Adapun
skema dari kerangka berpikir tersebut dapat dilihat pada gambar 2.5 berikut:
33

Permasalahan
Kurangnya pembekalan kompetensi berpikir sistem pada pembelajaran biologi
khususnya pada topik keanekaragaman hayati, karena dapat meningkatkan
kompetensi berpikir sistem.

Peluang
Masih minimnya penelitian mengenai model Problem based learning
dengan konteks Education for Suistainable Development (ESD) yang
dapat di aplikasikan dalam pembelajaran biologi dan mampu
membekalkan kompetensi berpikir sistem pada tujuan poin 15 Life on
land.

Strategi
Pengaruh Model Problem Based Learning dengan Konteks Education for
Sustainable Development (ESD) Terhadap Kompetensi Berpikir Sistem Pada
Topik Keanekaragaman Hayati.

Hasil
Diketahui adanya pengaruh model problem based learning dengan konteks
Education for Sustainable Development (ESD) terhadap kompetensi berpikir
sistem pada topik keanekaragaman hayati.

Gambar 2.5 Kerangka Berpikir


C. Hipotesis
Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka berpikir yang telah dijabarkan,
maka dapat dirumuskan hipotesis untuk penelitian ini dengan berjudul
“Pengaruh Model Problem Based Learning dengan Konteks Education
Sustainable Development (ESD) Terhadap Kompetensi Berpikir Sistem Pada
Topik Keanekaragaman Hayati”. Adalah sebagai berikut:

H0: Model Problem based learning (PBL) dengan konteks ESD tidak
berpengaruh terhadap kompetensi berpikir sistem peserta didik pada
topik keanekaragaman hayati.
34

H1: Model Problem based learning (PBL) dengan konteks ESD


berpengaruh terhadap kompetensi berpikir sistem peserta didik pada
topik keanekaragaman hayati.

Anda mungkin juga menyukai